BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 PKn Sebagai Pendidikan Nilai Moral 2.1.1 Hakekat Pendidikan Rumusan tujuan negara ” mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 telah menjadi konsensus nasional sejak awal negeri ini dibentuk (Suparlan, 2004). Rumusan tersebut perlu dijewantahkan dalam suatu usaha sadar untuk mencapainya. Usaha sadar tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan, karena pendidikan merupakan perkembangan peradaban dalam kehidupan manusia yang tidak lain merupakan hasil dari proses pendidikan (Suparlan, 2004), “ The root of educations are bitter, but the fruits are sweet”, demikianlah makna yang ada dalam pendidikan. Dimana akar dalam pendidikan itu memang pahit, tetapi buahnya manis. Dalam pendidikan yang dimaksud akar adalah fondasi yang dalam membangunnya memerlukan usaha yang ulet dan pantang menyerah seperti semboyan ”Jer basuki mawa beya”. Akar tersebut akan menjadi kuat dan dapat menopang serta menunjang ketercapaian buah yang manis, jika dalam proses pendidikan ada kesiapan mental untuk mengubah diri, sikap, dan perilaku atau changes of behaviour untuk menjadi lebih baik dan lebih maju dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya (Suparlan, 2004). Selanjutnya John Dewey (Suparlan, 2004) mengungkapkan bahwa pendidikan adalah pembentukan dan penataan berbagai aktivitas individu-individu dan kemudian memasukkan
14
15
manusia dalam cetakan-cetakan tertentu, sehingga ada perubahan proses menjadi sebuah aksi sosial yang diterima oleh orang lain. Hal tersebut juga sejalan dengan yang tercantum dalam Pasal I butir I UUSPN No 20 Tahun 2003 yang mengungkapkan demikian “ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Sedangkan Mc. Donald (Hamalik, 2008) memberi pernyataan demikian: “ Educational, in the sense used here, is a process or an activity which is directed at producing desirable changes in the behavior
of human being”. Artinya
pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang bertujuan menghasilkan perubahan tingkah laku manusia. Berkaitan dengan hal yang telah dipaparkan di atas, maka pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh manusia melalui proses yang ada disertai dengan keuletan dan sikap pantang menyerah demi mendapatkan perubahan perilaku yang lebih baik. Pendidikan berkaitan dengan perilaku dapat dimunculkan dalam aktifitas manusia. 2.1.2 Konsep Pendidikan Pendidikan yang berkaitan dengan proses mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran akan lebih baik jika tidak berpedoman pada konsep pendidikan tradisional, namun konsep pendidikan baru. Konsep pendidikan baru adalah pendidikan yang mewujudkan tujuan kebaikan bersama bukan untuk kepentingan salah satu pihak saja. Berkaitan dengan itu, ada perbedaan konsep
16
pendidikan tradisional dengan konsep pendidikan baru sesuai dengan perubahan kehidupan dalam masyarakat yang diungkapkan oleh Margaret Mead (Hamalik, 2009). Konsep pendidikan tradisional berpijak pada konsep umum dimana pendidikan terhadap anak-anak (immamature) dicapai melalui transmisi kebijaksanaan zaman (the wisdom of the age) melalui kata-kata pendidik (educator) dalam halaman-halaman buku. Konsep pendidikan yang demikian disebut sebagai vertical transmission yang dilakukan oleh orang dewasa (guru) yang berpengalaman kepada siswa yang belum berpengalaman (Hamalik, 2009). Hal ini menyebabkan siswa hanya sebagai pendengar dan penyimak saja dan tidak terlibat secara aktif dalam proses belajar. Berbeda dengan konsep pendidikan baru yang sesuai dengan perubahan dalam kehidupan bermasyarakat dan juga mendorong semua tingkat kemampuan (kompetensi), dimana konsep tersebut dapat disebut lateral tansmission.Lateral transmission diperuntukkan kepada setiap anggota masyarakat termasuk siswa tentang hal- hal yang telah atau baru ditemukan, diselidiki, diciptakan, dan dibuat, sebagaimana dikatakan Margaret Mead (Hamalik, 2009) demikian:“.......lateral transmission is a sharing of knowledge by the informed with the uninformed, whatever their ages. The primary prerequisite is teh desire to know” yang berarti transmisi lateral adalah pertukaran pengalaman dengan saling memberi informasi dari segala zaman, terutama adalah hasrat ingin tahu. Jadi konsep pendidikan yang demikianlah yang seharusnya digunakan karena di dalamnya siswa tidak menjadi pendengar atau penyimak saja, tetapi ikut terlibat secara aktif dalam proses
17
mendapat pengetahuan melalui pertukaran informasi yang dapat diselidiki, diciptakan, dan dibuat. Hal tersebut juga merupakan sarana pengembangan tanggungjawab pada siswa agar tidak melakukan hal lain selain aktifitas belajarnya. 2.1.3 Pendidikan Nilai Moral Istilah pendidikan nilai, moral, etika dalam pandangan masyarakat pada umumnya sering dicampuradukkan. Kerancuan pengertian tersebut dapat dimengerti karena nilai, moral, etika, akhlak, budi pekerti, bahkan karakter dalam kehidupan sehari-hari memang sering digunakan dalam pengertian yang hampir sama. Seperti dalam pandangan Brian Hill (Adisusilo, 2011) yang menyatakan :” When people talk about values education, they are usually talking about moral, religius beliefs, values and etchics”. Artinya ketika orang berbicara tentang pendidikan nilai, mereka biasanya berbiacara tentang moral, agama, nilai-nilai dan etika. Menurut Thapar (Adisusilo, 2011) secara singkat dikatakan “Value education is education in values and education towards the inculcation of values”. Artinya pendidikan nilai adalah pendidikan dalam nilai dan pendidikan yang mengkalkulasi nilai-nilai. Sementara itu, Hill (Adisusilo, 2011) mengatakan hakekat
pendidikan
nilai
adalah
mengantar
peserta
didik
mengenali,
mengembangkan dan menerapkan nilai-nilai, moral dan keyakinan agama, untuk memasuki kehidupan budaya zamannya. Sementara itu jika seseorang berbicara tentang pendidikan moral, maksudnya adalah pendidikan yang berusaha untuk mengembangkan pola perilaku seseorang sesuai dengan kehendak atau kebiasaan masyarakatnya. Berwujud moralitas atau kesusilaan yang berisi nilai-nilai dan
18
kehidupan nyata yang berada dalam masyarakat. Selanjutnya menurut Nurul Suriah (2008) berdasarkan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN dan tujuan kelembagaan sekolah serta tujuan pendidikan moral yang diberikan pada tingkat sekolah dan perguruan tinggi, maka pendidikan moral di Indonesia bisa dirumuskan sebagai berikut ”Pendidikan moral adalah suatu program pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang mengorganisasikan dan “menyederhanakan” sumber-sumber moral dan disajikan dengan memperhatikan pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan”. Dengan demikian pendidikan nilai moral adalah
pendidikan yang
berusaha mengembangkan pola perilaku peserta didik sesuai dengan nilai, moral, keyakinan dan kebiasaan masyarakat. 2.1.4 Tujuan Pendidikan Nilai Moral Emanuel Kant (Adisusilo, 2011) merumuskan tujuan pendidikan moral yang disampaikan secara formal di sekolah atau secara nonformal oleh orang tua, sebagai berikut: a)
Memaksimalkan rasa hormat kepada manusia sebagai individu. Oleh karena itu, setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang hendaknya diarahkan demi kebaikan orang lain sebagai tujuan akhir dan bukan sebagai alat atau demi dirinya sendiri.
b)
Memaksimalkan nilai-nilai moral universal, maksudnya tujuan pendidikan moral bukan saja demi terlaksananya prinsip-prinsip moral universal yang diterima dan diakui secara universal, seperti keadilan, kebebasan dan persamaan tiap individu manusia.
19
Selanjutnya Frankena (Adisusilo,2011), merumuskan tujuan pendidikan moral sebagai berikut: a) Membantu peserta didik untuk dapat mengembangkan tingkah laku yang secara moral baik dan benar. b) Membantu peserta didik untuk dapat meningkatkan kemampuan refleksi secara otonom, dapat mengendalikan diri, dapat meningkatkan kebebasan mental spiritual dan mampu mengkritisi prinsip-prinsip atau aturan-aturan yang sedang berlaku. c) Membantu peserta didik untuk menginternalisasi nilai-nilai moral, normanorma dalam rangka menghadapi kehidupan konkretnya. d) Membantu peserta didik untuk mengadopsi prinsip-prinsip universalfundamental, nilai-nilai kehidupan sebagai pijakan untuk pertimbangan moral dalam menentukan suatu keputusan. e) Membantu peserta didik untuk mampu membuat keputusan yang benar, bermoral, dan bijaksana. Menurut Kohlberg (Adisusilo, 2011) tujuan pendidikan moral adalah mendorong perkembangan tingkat pertimbangan moral peserta didik. Kohlberg mempunyai keyakinan bahwa tujuan dasar pendidikan moral di sekolah adalah membantu peserta didik meningkatkan tingkat pertimbangan moral, pemikiran dan penalaran moralnya. Tingkat pemikiran dan pertimbangan moral seseorang secara empiris sudah terbukti dapat ditingkatkan melalui pendidikan moral dengan menggunakan pendekatan dan metode pembelajaran yang tepat, seperti dilema moral.
20
2.2 Pendidikan Kewarganegaraan 2.2.1 Pengertian PKn Suatu negara dikatakan menganut prinsip Rule of Law apabila memenuhi beberapa syarat yang ditentukan oleh International Commission of Jurist dalama konfrensi di bangkok tahun 1965 yaitu perlindungan konstitusional, badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi,
serta
diselenggarakannya
Pendidikan
Kewarganegaraan/Civic
Education (Rahardja, 2009). Indonesia adalah negara yang menganut prinsip Rule of Law, maka syarat-syarat seperti diatas harus dipenuhi, serta salah satu diantaranya adalah adanya Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). PKn merupakan salah satu nama mata pelajaran yang penting bagi kehidupan bangsa dan negara ini. PKn penting karena dapat digunakan untuk membina generasi bangsa sehinggga mereka sadar terhadap hak dan kewajiban dalam hidup berbangsa agar dapat menjadi warga negara yang dapat diandalkan senantiasa oleh negara. Demikian juga bagi negara Indonesia pada masa lalu dan sekarang. PKn menjadi sarana untuk menanamkan hal terkait dengan ideologi negara baik melalui jalur formal (sekolah) ataupun nonformal (Rahardja, 2008). Terkait dengan ideologi negara, maka PKn dalam konteks pendidikan formal di sekolah memiliki peran untuk membangun watak, karakter, sikap dan potensi lain termasuk pengetahuan dan ketrampilan demi terwujudnya tujuan bangsa dan negara. Pengembangan karakter dilakukan karena pendidikan dewasa ini menghadapi berbagai masalah yang amat kompleks, salat satu di anataranya
21
adalah menurunnya tatakrama kehidupan sosial, etika moral dalam praktik kehidupan sekolah yang menumbuhkan sejumlah akibat negatif yang merisaukan masyarakat. Akibat tersebut antara lain semakin maraknya penyimpangan norma kehidupan agama sosial kemasyarakatan yang terwujud dalam bentuk perlakuan siswa yang kurang hormat kepada guru dan staf sekolah, kurang disiplin dan tidak mengindahkan tatatertib, kurang menjaga kebersihan, dan keindahan lingkungan, terjadinya perkelahian antar pelajar, penggunaan obat terlarang dan lain-lain. Dari kejadian itu, maka misi pendidikan yang hendak diwujudnyatakan saat ini adalah mengembangkan budi pekerti luhur yang diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran yang termasuk salah satunya mata pelajaran PKn supaya dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Hal tersebut juga membekali siswa mengembagkan dan mengekpresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat dan minat siswa sesuai dengan kondisi sekolah (Sukur, 2010). Di dalam menumbuhkembangkan itu semua juga perlu berpatokan pada tata tertib yang ada serta memberi kewenangan kepada siswa untuk bekerja dan terlibat dalam proses pendidikan sehingga dalam pelaksanaannya tidak lagi terjadi penyimpangan. Mata pelajaran PKn beserta pengembangannya seperti tersebut di atas, saat ini dikemas dalam KTSP 2006. Mata pelajaran PKn yang ada dalam KTSP 2006pada saat ini juga sedang diproses dan ditata ulang terkait dengan fungsinya bagi pembangunan karakter bangsa dimana secara substansial dirancang untuk kepentingan nasional agar dapat diwujudkan sebagai praksis pendidikan yang konsisten dan koheren dengan komitmen kebangsaan Indonesia pada tingkat satuan pendidikan (Balitbang, 2010). Mata pelajaran PKn di masing-masing
22
tingkat satuan pendidikan ditata ulang berdasarkan penekanan pada aspek etika, SMP/MTs menekankan aspek formal, SMA/MA/SMK menekankan pada aspek civics.Hal ini juga senada dengan pasal 37 UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 yang menyatakan kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat beberapa isi pelajaran, salah satunya adalah mata pelajaran PKn yang dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan tentang maksud PKn yaitu digunakan untuk membentuk peserta didik manjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Selain itu PKn juga bertujuan untuk mempersiapkan para peserta didik sebagai warga negara yang cerdas dan baik (to be smart dan good citizen). Warga negara yang dimaksud adalah warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skills), sikap dan
nilai (attitudes and values) yang dapat
dimanfaatkan untuk menubuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air (Balitbang, 2010). Dari berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa PKn adalah mata pelajaran yang ada dalan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)
2006
dimana
di
dalamnya
mencakup
aspek
pengetahuan
kewarganegaraan, aspek keterampilan kewarganegaraan, serta dapat digunakan untuk membentuk peserta didik menjadi warga negara yang baik. 2.2.2 Visi dan Misi PKn Mata pelajaran PKn harus memiliki visi dan misi yang hendak dicapai. Visi mata pelajaran PKn adalah terwujudnya suatu mata pelajaran yang berfungsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa (nation and character building) dan pemberdayaan warga negara (BNSP, 2006). Untuk mewujudkan visi tersebut,
23
maka diperlukan pendidikan karakter yang mana perlu ditanamkan dalam diri siswa sejak dini melalui kegiatan belajar dan pengembangan diri di sekolah (Sukur, 2010). Adapun misi mata pelajaran ini adalah membentuk warga negara yang baik, yakni warga negara yang sanggup melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 (BNSP, 2006). 2.2.3 Tujuan PKn Mata pelajaran
Pkn juga memiliki tujuan yang mana dipaparkan
Depdiknas (Sulasmono, 2008), yaitu mengembangkan kompetensi sebagai berikut: 1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif, dalam menanggapi isu kewarganegaraan 2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara tegas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta antikorupsi. 3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya. 4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
24
2.2.4 Kompetensi PKn PKn juga memiliki berbagai aspek yang menjadi kompetensinya. Aspek kompetensi dalam PKn meliputi aspek kompetensi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), aspek kompetensi keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan aspek kompetensi watak/karakter kewarganegaraan (civics dispositions) yang mana kesemuanya saling berkaitan. Aspek kompetensi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) menyangkut kemampuan akademik keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori dan konsep
politik,
kewarganegaraan skills)
hukum
dan
moral;
aspek
kompetensi
keterampilan
(civic skills) meliputi keterampilan intelektual (intelectual
dan keterampilan berpartisipsi (participatory skills) dalam kehidupan
berbangsa
dan
bernegara;
serta
aspek
kompetensi
watak/karakter
kewarganegaraan (civic dispositions) dimana sesungguhnya merupakan dimensi paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran PKn (BNSP, 2006). Dengan adanya aspek kompetensi tersebut, maka mata pelajaran PKn tidak hanya berpusat pada pengembangan aspek pengetahuan semata, namun juga mengembangkan
aspek
keterampilan
dan
watak/karakter.
Berawal
dari
pengembangan pengetahuan, berlanjut ke terciptanya keterampilan intelektual dan partisipasif dengan pengetahuan yang dimiliki kemudian barulah tercipta watak dan karakter. Kompetensi itu dapat dikemas melalui aktivitas belajar siswa yang mana dirinya sebagai pusat dalam pelaksanaannya. Karena siswa sebagai pusat dalam aktivitas belajar, maka dirinya harus diberi hak dan kebebasan serta
25
tanggung jawab untuk memperoleh pengetahuan juga membentuk watak sesuai dengan tujuan pembelajaran.
2.2.5 Ruang Lingkup PKn Selain aspek kompetensi yang perlu dikembangkan, maka perlu juga diketahui ruang lingkup atau isi mata pelajaran PKn yaitu yang mencakup dimensi politik, hukum, dan moral. Ruang lingkup mata pelajaran PKn meliputi aspek-aspek sebagai berikut: 1. Persatuan dan kesatuan bangsa meliputi hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia,Sumpah pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan Negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, keterbukaan dan jaminan keadilan 2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi:tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan internasional 3. Hak asasi manusia meliputi: hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM 4. Kebutuhan warga negara meliputi: hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan
26
pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga negara 5. Konstitusi negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi. 6. Kekuasaan
dan
politik
meliputi:
pemerintah
desa
dan
kecamatan,
pemerintahan daerah dan otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi. 7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, proses perumusan pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilainilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka. 8. Globalisasi meliputi: globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi. Setiap ruang lingkup mata pelajaran PKn memunculkan beberapa standar kompetensi dan kompetensi dasar sesuai dengan dimensinya masing-masing, namun sesuai dengan semester genap bagi kelas VIII yang berlansung di tingkat SMP/MTs dapat dijelaskan demikian:
27
Tabel 2.1 Ruang Lingkup PKn Tingkat SMP/MTs No 1
Dimensi Kekuasaan dan politik
Standar kompetensi 4. Memahami pelaksanaan demokrasi dalam berbagai kehidupan
2
Kekuasaan dan politik
5.Memahami kedaulatan rakyat dan sistem pemerintahan di Indonesia
Kompetensi dasar 4.1Menjelaskan hakikat demokrasi 4.2Menjelaskan pentingnya kehidupan demokratis dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara 4.3 Menunjukkan sikap positif terhadap pelaksanaan demokrasi dalam berbagai kehidupan 5.1 Menjelaskan makna kedaulatn rakyat 5.2 mendeskripsikan sistem pemerintahan Indonesia 5.3 Menunjukkan sikap positif terhadap kedaulatan rakyat dan sistem pemerintahan Indonesia
Terkait dengan materi tersebut perlu suatu metode pembelajaran yang tepat sehingga siswa secara bersama-sama dapat memahami keberadaannya sebagai warga negara, serta mampu menunjukkan sikapnya sebagai warga negara yang baik. Maka diterapkanlah teknik klarifikasi nilai yang bertujuan pada pencapaian tujuan pembelajaran PKn pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian siswa akan memperoleh nilai yang baik pada pencapaian tujuan pembelajaran aspek kognitif, memiliki kemampuan dan keterampilan dalam mempribadikan sikap-sikap yang menjadi tujuan pembelajaran aspek afektif dan psikomotorik. 2.2.6 Rambu-Rambu PKn Mata pelajaran PKn memiliki rambu-rambu dalam penyusunannya. Rambu-rambu penyusunannya berpatokan pada Undang-Undang Pendidikan yang diterapkan di masing-masing satuan pendidikan, yaitu mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
28
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Permendiknas No 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi lulusan, serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BNSP (Mulyasa, 2006). Oleh karena itu, dalam penyusunan perencanaan pembelajaran mata pelajaran PKn harus berpedoman pada hal tersebut di atas serta disesuaikan dengan materi dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
2.3 Teknik Klarifikasi Nilai (TKN) 2.3.1
Pengertian Teknik Klarifikasi Nilai (TKN)
Salah satu strategi pengajaran yang digunakan dalam pembelajaran PKn adalah teknik klarifikasi nilai (TKN) atau dalam bahasa Inggris disingkat VCT. VCT merupakan singkatan dari Value Clarification Technique. Kata Value berarti nilai yang berasal dari kata Vlure (bahasa latin), yang artinya baik atau kuat. Sedangkan
arti
Clarification
Technique
adalah
teknik
mengklarifikasi
(memperjelas, mengungkapkan, memperinci) nilai, jadi VCT adalah teknik mengklarifikasi nilai atau teknik pengungkapan nilai. Dengan klarifikasi nilai, siswa tidak disuruh menghapal dan tidak disuapi dengan nilai-nilai yang sudah dipilihkan pihak lain, melainkan dibantu untuk menemukan, menganalisis, memilih, mengembangkan, mengambil sikap dan mengamalkan nilai-nilai hidupnya sendiri. Siswa tidak dipilihkan nilai mana yang baik dan benar untuk dirinya, melainkan diberi kesempatan untuk menemukan pilihan sendiri nilai-nilai
29
mana yang mau dikejar, diperjuangkan dan diamalkan dalam hidupnya (Adisusilo, 2011). Menurut Hall (Adisusilo, 2011) definisi teknik klarifikasi nilai VCT sebagai:“ By value clarification we mean a methodology or process by which we help a person to discover values through behaviour, feelings ideas, and through important choices he has made and is continually, in fact, acting upon in and through life”. Artinya dengan klarifikasi nilai kita maksud sebuah metodologi atau proses yang kita lakukan untuk membantu dan menemukan nilai-nilai seorang melalui perilaku, perasaan dan pilihan penting telah ia buat secara terus menerus, pada kenyataannya, dan tindakan hidup. Definisi teknik klarifikasi nilai berdasarkan kurikulum tahun 1975, sebagai suatu pendekatan yang dimana bertujuan untuk membantu mendapatkan kesadaran tentang nilai-nilai. Pengertian lain menurut Zubaidi (2005) value clarification tehnique adalah teknik pengungkapan nilai. Melalui teknik klarifikasi nilai peserta didik dibina kesadaran emosional nilainya melalui cara yang kritis rasional melalui pengujian kebenaran, kebaikan, kelayakan, keadilan, dan ketepatannya. VCT menurut Wina Sanjaya
(2008) adalah sebagai teknik pengajaran untuk
membantu siswa dalam mencapai dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. Sedangkan menurut Djahiri Kosasih (1985) menyatakan VCT (Value Clarification Technique) adalah “suatu nama/label dari suatu model pendidikan nilai dari moral atau pendidikan afektif”.
30
Dari beberapa defenisi VCT menurut pendapat para ahli di atas, maka yang dimaksud dengan model pembelajaran VCT ini adalah suatu model klarifikasi nilai yang terletak pada proses penilaian yang bertujuan untuk menata situasi agar siswa mendapat nilai-nilai mereka sendiri dengan cara terlibat dalam memilih, menghargai dan berbuat dalam suatu tindakan dan keputusannya sendiri. 2.3.2
Syarat Teknik Klarifikasi Nilai
Sama halnya dengan model-model pembelajaran lainnya, model VCT juga memiliki syarat dalam penggunaannya. Menurut Harmin (Adisusilo, 2011) penerapan VCT akan efektif bila fasilitator atau pendidik : 1) Bersikap menerima dan tidak mengadili pilihan nilai siswa, menghindari kesan memberi nasihat, menggurui seakan pendidik lebih tahu dan lebih baik. 2) Membiarkan adanya kebhinekaan pandangan, dialog dilakukan secara terbuka, bebas dan individual 3) Menghargai kesediaan siswa untuk ikut berpartisipasi atau tidak, hindari unsur pemaksaan untuk berpendapat atau bersikap 4) Menghargai jawaban siswa, tidak memaksa siswa untuk memberi respon tertentu apabila memang siswa tidak menghendakinya 5) Mendorong siswa untuk menjawab, mengutarakan pilihan dan mengambil sikap secara jujur 6) Mahir
mendengarkan
dan
mengklarifikasi nilai hidup
mengajukan
pertanyaan
yang
bersifat
31
7) Mahir
mengajukan/
membangkitkan
pertanyaan-pertanyaan
yang
menyangkut kehidupan pribadi dan sosial Hal di atas harus didukung berbagai keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh guru dalam mengajar yaitu: 1) Keterampilan bertanya (dasar dan lanjutan), pertanyaan guru dimaksud agar murid meningkatkan kemampuan memperoleh pengetahuan dan kemampuan berpikirnya. Atas dasar itu dibedakan adanya dua macam ketrampilan
bertanya
dasar
memperoleh pengetahuan, dan
terutama
diarahkan
kepada
peningkatan
pertanyaan lanjut kepada peningkatan
kemampuan berpikir murid. 2) Keterampilan memberi penguatan, tujuannya meningkatkan perhatian siswa, membangkitkan dan memelihara motovasi siswa, memudahkan siswa belajar, dan mengontrol dan memodifikasi tingkah laku yang produktif. 3) Keterampilan mengadakan variasi, tujuannya, untuk menimbulkan dan meningkatkan perhatian siswa kepada aspek-aspek belajar mengajar yang relevan, memberikan kesempatan berkembangnya bakat ingin mengetahui dan menyelidiki dari siswa tentang hal-hal yang baru, untuk lebih meningkatkan pada cara belajar siswa aktif proses belajar mengajar dengan melibatkan siswa dalam berbagai pengalaman yang menarik dan terarah pada berbagai tingkat kognitif dan lain-lain. 4) Keterampilan menjelaskan, tujuannya membimbing siswa menjawab pertanyaan (mengapa), menolong siswa mendapatkan dan memahami hukum, dalil, prinsip umum secara objektif dan bernalar, melibatkankan murid untuk
32
berpikir dengan memecahkan masalah, untuk mendapatkan balikan dari siswa mengenai tingkat pemahamannya dan mengatasi kesalah pengertian, serta menolong siswa untuk menghayati dan mendapatkan proses penalaran. 5) Keterampilan membuka dan menutup pelajaran, tujuannya timbulnya perhatian dan motivasi siswa, untuk menghadapi tugas-tugas yang akan dikerjakan, siswa tahu batas-batas tugas yang akan dikerjakan, siswa mempunyai gambaran yang jelas, mengenai cara menghadapi tugas yang akan dilaksanakan, siswa dapat menghubungkan antara pengalaman yang telah dikuasai dengan pengalaman yang baru/asing baginya, dan lain-lain. 6) Keterampilan memimpin diskusi kelompok kecil, yaitu suatu proses yang teratur yang melibatkan sekelompok orang dalam interaksi tatap muka yang informal dengan tujuan berbagi informasi, mengambil keputusan, memecahkan masalah. Diskusi yang dilakukan diawal, ditengah serta pada akhir kegiatan belajar bertujuan untuk mempertajam/memperjelas materi pelajaran. 7) Keterampilan mengelola kelas, adalah ketrampilan guru untuk menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal, dan ketrampilan untuk mengembalikan kondisi belajar yang optimal jika terdapat gangguan dalam proses belajar. 8) Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan, bentuk pengajarn yang ditandai adanya keterbatasan jumlah siswa, yaitu berkisar 3-8 siswa serta hanya seorang siswa. Dalam pengajaran ini tidak berarti bahwa guru hanya menghadapi satu kelompok dan satu orang saja sepanjang waktu belajar. Guru
33
banyak menghadapi kelompok dan banyak siswa, yang masing-masing mempunyai kesempatan untuk bertatap muka secara kelompok dan perorangan. Secara singkat peran guru adalah sebagai organisator kegiatan belajar mengajar, sumber informasi bagi siswa, pendorong siswa untuk belajar, fasilitator, mendiaknosa kesulitan dan memberi bantuan serta penyumbang pendapat. 2.3.1
Kelebihan Teknik Klarifikasi Nilai
Dengan menggunakan
model
VCT
ini
dapat
bermanfaat
untuk
meningkatkan kemampuan siswa. Simon (Adisusilo, 2011), dengan menggunakan model VCT kita dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk : 1. Memilih, memutuskan, mengomunikasikan, mengungkapkan gagasan, keyakinan, nilai-nilai dan perasaannya 2.
Berempati (memahami perasaan orang lain, memilih dari sudut pandang orang lain)
3. Memecahkan masalah 4. Menyatakan sikap: setuju, tidak setuju, menolak atau menerima pendapat orang lain. 5. Mengambil keputusan 6. Mempunyai pendirian tertentu, menginternalisasikan dan bertingkah laku sesuai dengan nilai yang telah dipilih dan diyakini. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kelebihan dalam penerapan model VCT adalah mampu melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran, karena didalamnya terjadi suatu komunikasi dua arah yang dapat
34
dilakukan dalam bentuk tanya jawab atau diskusi. Disini sangat dibutuhkan peran aktif dari guru bersangkutan, akan tetapi guru bukan menjadi teaching centeretetapi guru berperan sebagai fasilitator dan motivator yang selalu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi, mengembangkan kemampuan serta keberanian dalam mengemukakan pendapat, dengan demikian akan tercipta proses pembelajaran yang interaktif dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. 2.3.2
Kelemahan Teknik Klaraifikasi Nilai
Sama halnya dengan model perkembangan kognitif, model ini juga mengandung kelemahan sebab dapat menampilkan bias budaya barat. Dalam metode ini, kriteria benar-salah dapat relatif, karena sangat mementingkan nilai perseorangan. VCT memang dikembangkan dalam budaya barat yang cenderung amat individualistis dan liberal. Oleh sebab itu, seorang pendidik harus bijak dalam memberi pendampingan agar dalam pemilihan, penentuan nilai, siswa tidak tercabut dari akar budayanya (Adisusilo, 2011). 2.3.3
Proses Teknik Klarifikasi Nilai
Teknik Mengkalirifikasi nilai atau disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. Maka yang ditekankan dalam klarifikasi nilai adalah proses pemilihan dan penentuan nilai (the proses of valuing) serta sikap terhadapnya dan bukan isi nilai-nilai atau daftar nilai-nilai hidup. Juga bukan untuk melatih peserta didik untuk menilai salah benarnya suatu
35
nilai, tetapi melatih peserta didik untuk berproses menghargai dan melaksanakan nilai-nilai yang dipilih secara bebas. Howe (Adisusilo, 2011) menulis sebagai berikut: “Value clarification is not an attempt to teach students ’right’ and ’wrong’ values. Rather, it is an approach designed to help students prize and act upon their own freely chosen values”. Artinya klarifikasi nilai tidak mencoba untuk mengajarkan nilai-nilai siswa yang benar dan salah. Bukan, itu adalah pendekatan yang dirancang untuk membantu siswa
menilai dan bertindak
berdasarkan nilai mereka sendiri yang dipilih secara bebas. Jadi fokusnya adalah bagaimana
orang
sampai
pada
pemilikkan
nilai-nilai
tertentu
dan
menginternalisasikannya dalam tingkah laku serta sikap. Proses penentuan nilai dan sikap mencakup tujuh sub-proses atau aspek yang biasanya digolongkan menjadi tiga kategori. Menurut John Jarolimek (Djahiri, 1985), menjelaskan langkah-langkah pembelajaran dengan VCT dalam tujuh tahap yang dibagi kedalam tiga tingkat. 1) Kebebasan memilih, pada tingkat ini terdapat 3 tahap: a) Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan yang menurutnya baik. b) Memilih dari beberapa alternatif. Seperti untuk menentukan pilihan dari beberapa alternatif pilihan secara bebas. c) Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya.
36
2) Menghargai, terdiri atas dua tahap pembelajaran: a) Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian integral dari dirinya. b) Menengaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di depan umum. 3) Berbuat, terdiri atas: a) Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya b) Mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya. Jadi ketujuh sub-proses atau aspek tersebut harus ada agar sesuatu benar-benar merupakan nilai bagi seseorang. Ketujuh sub-proses itulah yang dipandang sebagai kriteria untuk menentukan apakah sesuatu itu merupakan nilai yang sesungguhnya (true value) bagi orang yang bersangkutan. Kalau ada yang kurang, maka belum merupakan nilai yang sesungguhnya, itu baru merupakan indikator nilai (a valueindicator).Jadi inti proses value clarification tehnique adalahmelatih peserta didik untuk berproses menghargai dan melaksanakan nilai-nilai yang dipilih secara bebas yang terdiri dari memilih, menghargai/menjunjung tinggi serta bertindak. 2.3.4 Model –Model Teknik Klarifikasi Nilai Menurut Ali Emran (1984), teknik klarifikasi nilai memiliki berbagai model diantaranya adalah model percontohan, model pungutuan suara, model kartu keyakinan, model analisis nilai, model yurisprudensi, model analisis tulisan,
37
model reportase, model perisai, model cerita tidak selesai, model daftar matrik, model tingkat urutan, gejala kontinum dan penilaian diri sendiri, model membaca penilaian orang lain tentang diri kita sendiri, model wawancara dan sebagainya. Mengacu pada penelitian yang dilakukan
maka model-model teknik
klarifikasi nilai yang digunakan adalah model reportase, model analisis nilai akurat, model kartu keyakinan serta model pungutan suara. Dibawah ini dijelaskan secara rinci masing-masing model teknik klarifikasi nilai yang diterapkan dalam Pembelajaran Kewarganegaraan dalam penelitian ini.
2.3.4.1 Model Reportase Akurat Menurut Ali Emran (1984) adalah suatu teknik analisa nilai yang penekanannya pada daya imajinasi, abstraksi, menyusun fakta dan konsep tentang apa yang telah dilihat dan didengar. Adapun langkah-langkah pembelajarannya adalah: (1) Pasang gambar dipapan tulis atau gambar/media tersebut untuk beberapa saat (biarkan anak bergerombol dan berkomentar). Monitor komentar dan raut wajah anak sebagai masukan (entry behavior) mereka diawal berklarifikasi ini. (2) Identifikasi liputan siswa (individual lalu kelompok). Jangan dahulu dikomentari guru dan jangan diminta alasan temuan. (3) Klarifikasi masalah: ungkapan terperinci dan argumentasi (guru merumuskan kejelasan jawaban/tanggapan siswa sambil mengarahkan ke konsep/materi pelajaran).
38
(4) Penyimpulan (oleh siswa/kelompok atau kelas bersama guru atau langsung oleh guru) dan pelurusan – redicrecting – menuju konsep/materi pelajaran/target nilai. (5) Tindak lanjut kegiatan belajar berupa pengayaan/remedial serta uji coba tindakan. 2.3.6.2 Model Kartu Keyakinan Pengertian model kartu keyakinan menurut Ali Emran (1984) adalah teknik klarifikasi nilai yang digunakan untuk membina siswa dalam mengklarifikasi masalah dan pemecahannya secara rasional untuk selanjutnya menentukan sikap, pendirian dan penilaiannya. Model ini baik untuk membina siswa mengklarifikasi masalah dan pemecahannya secara rasional untuk selanjutnya menentukan sikap/ pendirian/ penilaiannya. Instrumen yang digunakan sederhana sekali dan cukup menarik siswa (dan juga merupakan selingan dari pola belajar mengajar biasa) ialah secarik kertas/kwarto manila yang mungkin disiapkan guru atau dari buku tulis siswa sendiri. Bentuk kartu ini bisa dipilih
tergantung pada masalah yang akan
dipecahkan (pelikkah, pentingkah atau tidak) serta waktu yang ingin digunakan, yaitu dalam format: (a). Kartu sederhana (bila waktu terbatas atau masalahnya hanya masalah ringan saja). Contoh: Kasus teknik klarifikasi nilai dengan model kartu keyakinan Tema : Persatuan dalam pembangunan negara. Target nilai yang diharapkan antara lain:
39
a.
Siswa menyadari pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa sebagai wadah hidup dan kehidupan bernegara serta syarat keberhasilan pembangunan.
b.
Bahwa persatuan kesatuan hanya terbina bila toleransi, musyawarah mufakat dapat dilaksanakan.
c.
Pembangunan merupakan tanggungjawab moril setiap warga, dan seterusnya.
Petunjuk khusus bagi guru: a. Dalam pengisian suatu kartu hendaknya jangan digabungkan masalah negatif dengan yang positif. b. Dalam memproses (saat klarifikasi) sebaiknya kartu-kartu itu dipertukarkan antar siswa. Setiap item minta dibacakan isian kartu yang bersangkutan tanpa menyebut nama pengisinya. c. Jawaban yang baik atau mendekati target, dicatat guru dipapan tulis untuk bahan penyimpulan dan pengarahan kembali kepada materi pelajaran. d. Waktu bagi pelaksanaan mengisi kartu diperkirakan antara 15-25 menit. e. Untuk tindak lanjut pelajaran bisa saja sisa masalah dijadikan pekerjaan kelompok. 2.3.6.3 Model Analisis Akurat Pengertian teknik model analisis secara akurat menurut
Ali Emran
(1984) adalah teknik analisa nilai yang penekanannya pada imajinasi, abstraksi menyusun fakta dan konsep nilai tentang apa yang diperoleh sebagai hasil liputan
40
secara akurat. Maka langkah-langkah dalam pembelajarannya adalah sebagai berikut: (1) Pasang gambar dipapan tulis atau edarkan gambar/ media tersebut untuk beberapa saat (biarkan anak bergerombol dan berkomentar). Monitor komentar dan raut wajah anak sebagai masukan entery behavior mereka diawal berteknik klarifikasi nilai ini. (2) Siswa secara individual atau kelompok kecil diminta melakukan kajian terhadap media dan diminta mencatatkan: a) Meneliti secara detail media tersebut dan membuat deskripsi hal tersebut. b) Membuat perbandingan-perbandingan dengan hal yang sama/sejenis yang diketahui mereka. c) Membuat hasil telaahan/ analisis yang didasarkan konsep/argumen yang mereka miliki. d) Menarik kesimpulan-kesimpulan dan komentar lainnya. (3) Pelaporan hasil kajian terhadap media, sementara guru membuat catatan kesimpulan di kertas/ papan tulis (4) Fase adu pendapat/argumentasi antar siswa (5) penyimpulan (bersama siswa atau guru sendiri) dan pengarahan kembali oleh guru menuju konsep/ materi target (6) Tindak lanjutan kegiatan belajar siswa baik berupa pengayaan/ remedial serta uji coba tindakan.
41
2.3.6.4 Model Pungutan Suara Menurut Rahardja (2002) pengertian model pungutan suara adalah adalah teknik dalamk larifikasi nilai yang bertujuan untuk melatih keberanian siswa untuk menyatakan niat, identitas, sikap, pilihannya dengan dilihat oleh teman lain dan juga tahu sikap/pendapat orang lain dan harus menghargainya. Tujuan dari teknik ini, untuk melatih keberanian siswa menyatakan pilihannya dengan dilihat oleh teman lain dan juga tahu sikap atau pendapat orang lain dan harus menghargainya. Contoh: Jawablah dengan spontan/lisan untuk setiap pertanyaan dibawah ini, “ Ya” bila kamu setuju dan “Tidak” bila kamu tidak setuju. 1.
YA – TIDAK Apakah kalian memeluk agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha?
2.
YA – TIDAK Apakah kamu taat menjalankan ibadah agama mu?
3.
YA – TIDAK Apakah kamu juga rajin membaca Kitab Suci agamamu?
4.
YA – TIDAK Sebagai orang
yang beragama apakah kamu suka
membenci orang lain? 5.
YA – TIDAK Saling menghormati antar pemeluk agama itu tidak perlu dalam kehidupan kita.
2.4 Tujuan Pembelajaran Aspek Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik 2.4.1 Pengertian Tujuan Pembelajaran Tujuan pembelajaran (instructional objective) adalah perilaku hasil belajar yang diharapkan terjadi, dimiliki oleh peserta didik setelah mengikuti
42
pembelajaran tertentu. Mager
(Hamalik, 2008) mendefinisikan tujuan
pembelajaran sebagai tujuan perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh peserta didik sesuai kompetensi. Sedangkan Dejnozka dan Kavel (Hamalik, 2008) mendefinisikan tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan spesifik yang dinyatakan dalam bentuk perilaku yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Pengertian lain menyebutkan
bahwa
tujuan
pembelajaran
adalah
pernyataan
mengenai
ketrampilan atau konsep yang diharapkan dapat dikuasai oleh peserta didik pada akhir pembelajaran (Hamalik, 2008). Tujuan pembelajaran merupakan arah yang hendak dituju dari rangkaian aktivitas yang dilakukan dalam proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran dirumuskan dalam bentuk perilaku kompetensi spesifik, aktual, dan teratur sesuai yang diharapkan terjadi, dimiliki, atau dikuasai siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tertentu. Fred Percival dan Henry Ellington (Hamalik, 2008), menyatakan tujuan intruksional adalah suatu pernyataan yang jelas menunjukkan penampilan atau ketrampilan siswa tertentu yang diharapkan dapat dicapai sebagai hasil belajar. Dari beberapa uraian diatas maka tujuan intruksional adalah tujuan yang menggambarkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa sebagai akibat dari hasil pengajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku (behavior) yang dapat diamati dan diukur (Hamalik, 2008). Tujuan pengajaran (instruktional) dikelompokkan menjadi dua: a) Tujuan instruksional umum (TIU), yaitu menggariskan hasil-hasil dianeka bidang studi yang harus dicapai oleh siswa.
43
b) Tujuan instruksional khusus (TIK), yaitu merupakan penjabaran tujuan instruksional umum yang menyangkut suatu pokok bahasan atau topik pelajaran tertentu sebagai tujuan pengajaran yang konkret dan spesifik, yang dianggap cukup berharga, wajar dan pantas yang dapat direalisasikan dan bertahan lama demi tercapainya tujuan instruksional umum. Tujuan instruksional khusus dapat dibedakan menjadi dua aspek yaitu: 1. aspek jenis perilaku yang dituntut oleh siswa 2. aspek isi yakni aspek terhadap hal yang harus dilakukan. Adapun manfaat tujuan intruksional adalah: a) guru mempunyai arah untuk memilih bahan pelajaran dan memilih metode mengajar b) siswa mengetahui arah belajarnya c) setiap guru mengetahui batas-batas tugas dan wewenang mengajarkan suatu bahan sehingga diperkecil kemungkinan timbulnya celah (gap) atau saling menutup (overlap) antar guru. d) guru mempunyai patokan dalam mengadakan penilaian kemampuan belajar siswa e) guru sebagai pelaksana dan petugas pemegang kebijaksanaan mempunyai kriteria untuk mengevaluasi kualitas maupun efisiensi pengajaran.
2.4.2 Pengertian Tujuan Pembelajaran Aspek Kognitif Konsep kognitif, afektif, dan psikomotorik dicetuskan oleh Benyamin Bloom pada tahun 1956. Karena itulah konsep tersebut juga dikenal
44
dengan istilah Taksonomi Bloom. Aspek kognitif adalah kemampuan intelektual siswa dalam berpikir, mengetahui dan memecahkan masalah. Menurut Bloom (Sardiman, 2011) tujuan domain kognitif terdiri atas enam bagian : a) Pengetahuan (knowledge), mengacu kepada kemampuan mengenal materi yang sudah dipelajari dari yang sederhana sampai pada teori-teori yang sukar. b) Pemahaman (comprehension), mengacu kepada kemampuan memahami makna materi.
Pemahaman satu tingkat di atas pengetahuan dan
merupakan tingkat berpikir rendah. c) Penerapan(application), mengacu kepada kemampuan menerapkan materi yang sudah dipelajari pada situasi baru dan menyangkut penggunaan aturan dan prinsip. Penerapan merupakan tingkat kemampuan berpikir lebih tinggi pemahaman. d) Analisis (analysis),mengacu kepada kemampuan menguraikan materi ke dalam komponen-komponen penyebabnya dan mampu memahami hubungan di antara bagian satu dengan lainnya sehingga struktur dan aturannya dapat lebih dimengerti. Analisis merupakan tingkat kemampuan berpikir lebih tinggi dari aspek pemahaman maupun penerapan. e) Sintesa (syntesis), mengacu kepada kemampuan memadukan konsep sehingga membentuk suatu pola struktur baru. Aspek ini memerlukan tingkah laku yang kreatif. Sintesis merupakan kemampuan tingkat berpikir lebih tinggi dari kemampuan sebelumnya.
45
f) Evaluasi (evaluation), mengacu kemampuan memberikan pertimbangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan tertentu. Evaluasi merupakan tingkat kemampuan berpikir yang tinggi. Aspek kognitif lebih didominasi oleh alur-alur teoritis dan abstrak. Pengetahuan akan menjadi standar umum untuk melihat kemampuan kognitif seseorang dalam proses pengajaran. Contohnya siswa disuruh untuk menghafal UUD 1945 apabila siswa mampu menghafal sampai alinea ke-4 nilai 50, alinea ke-3 nilai 25, alinea ke-2 nilai 15, alinea ke-1 nilai 10. Selain itu tentunya dilakukan juga tes tertulis. Apabila melihat kenyataan yang ada dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan, pada umumnya baru menerapkan beberapa aspek kognitif tingkat rendah, seperti pengetahuan, pemahaman dan sedikit penerapan. Sedangkan tingkat analisis, sintesis dan evaluasi jarang sekali diterapkan. Jika semua tingkat kognitif diterapkan secara merata dan terusmenerus maka hasil pendidikan akan lebih baik. Pengukuran hasil belajar aspek kognitif dilakukan dengan tes tertulis. Bentuk tes kognitif diantaranya tes atau pertanyaan lisan di kelas, pilihan ganda, uraian obyektif, uraian non obyektif atau uraian bebas, jawaban atau isian singkat, menjodohkan, portofolio, dan performance. 2.4.3
Pengertian Tujuan Pembelajaran Aspek Afektif
Aspek afektif adalah aspek yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan
46
perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Aspek afektif tidak dapat diukur seperti halnya aspek kognitif, karena dalam aspek afektif kemampuan yang diukur adalah menerima (memperhatikan),
merespon,
menghargai,
mengorganisasi,
dan
karakteristik suatu nilai. Maka dalam penilaiannya digunakan skala, skala yang digunakan untuk mengukur aspek afektif
seseorang terhadap
kegiatan suatu objek diantaranya skala sikap. Hasilnya berupa kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif), dan netral. Salah satu skala sikap yang sering digunakan adalah skala Likert. Dalam skala Likert, pernyataan-pernyataan yang diajukan, baik pernyataan positif maupun negatif, dinilai oleh subjek dengan sangat setuju, setuju, tidak punya pendapat, tidak setuju, sangat tidak setuju. Ada 5 tipe karakteristik afektif yang penting berdasarkan tujuannya, yaitu: 1. Sikap Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya. Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya PKn, harus lebih positif setelah peserta
47
didik mengikuti pembelajaran PKn dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif. 2. Minat Menurut Getzel (Sardiman, 2011) minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990), minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi. 3. Konsep Diri Menurut Smith (Sardiman, 2011), konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi. Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karier peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karier yang tepat bagi
48
peserta didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat. 4. Nilai Nilai menurut Rokeach (Sardiman, 2011) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu. Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (Sardiman, 2011), adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan
personal
dan
memberi
konstribusi
positif
terhadap
masyarakat. 5. Moral Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal
49
atau dugaan, bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak. Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang. Aspek afektif tidak dapat diukur seperti halnya aspek kognitif, karena dalam aspek afektif kemampuan yang diukur adalah: 1. Menerima (receiving) meliputi, kepekaan terhadap kondisi, gejala, kesadaran, kerelaan, mengarahkan perhatian. 2. Merespon (responding) meliputi merespon secara diam-diam, bersedia merespon, merasa puas dalam merespon, mamatuhi peraturan. 3. Menghargai (valuing) meliputi menerima suatu nilai, mengutamakan suatu nilai, komitmen terhadap nilai. 4. Mengorganisasi (organization) meliputi mengkonseptualisasikan nilai, memahami hubungan abstrak, mengorganisasi suatu sistem nilai. 5. Mempribadikan
(characteritation),
meliputi
mencintai,
meyakini,
mempertahankan, menginginkan, meragukan, menolak dengan tegas suatu nilai. Berdasarkan penjelasan di atas maka ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Seperti
50
perhatiannnya terhadap mata pelajaran PKn, kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai PKn yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru PKn dan sebagainya.
2.4.4
Pengertian Tujuan Pembelajaran Aspek Psikomotorik Aspek
psikomotorik
merupakan
aspek
yang
berkaitan
dengan
keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Aspek psikomotorik untuk menilai aplikasi atau penerapan dari materi yang diajarkan. Hasil belajar aspek psikomotor dikemukakan oleh Simpson (Sardiman, 2011) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk ketrampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan berperilaku). Hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam aspek kognitif dan aspek afektif materi pelajaran. Maka wujud nyata dari hasil psikomotor yang merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif afektif itu. Ada beberapa ahli yang menjelaskan cara menilai hasil belajar psikomotor. Ryan (Sardiman, 2011) menjelaskan bahwa hasil belajar keterampilan dapat diukur melalui :
51
(1) pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung. (2) sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Contoh wujud nyata dari hasil psikomotor yang merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif afektif adalah:
(1) peserta didik bertanya kepada guru PKn tentang contoh-contoh kedisiplinan; (2) peserta didik mencari dan membaca buku-buku, majalah-majalah atau brosur-brosur, surat kabar dan lain-lain yang membahas tentang kedisiplinan; (3) peserta didik dapat memberikan penjelasan kepada teman-teman sekelasnya di sekolah, atau kepada adik-adiknya di rumah atau kepada anggota masyarakat lainnya, tentang kedisiplinan diterapkan, baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat; (4) peserta didik menganjurkan kepada teman-teman sekolah atau adik-adiknya, agar berlaku disiplin baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat; (5) peserta didik dapat memberikan contoh-contoh kedisiplinan di sekolah, seperti datang ke sekolah sebelum pelajaran di mulai, tertib dalam mengenakan seragam sekolah, tertib dan tenang dalam mengikuti pelajaran, disiplin dalam mengikuti tata tertib yang telah ditentukan oleh sekolah, dan lain-lain;
52
(6) peserta didik dapat memberikan contoh kedisiplinan di rumah, seperti disiplin dalam belajar, disiplin dalam menjalankan ibadah, disiplin dalam menjaga kebersihan rumah, pekarangan, saluran air, dan lain-lain; (7) peserta didik dapat memberikan contoh kedisiplinan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, seperti menaati rambu-rambu lalu lintas, tidak kebutkebutan, dengan suka rela mau antri waktu membeli karcis, dan lain-lain, (8) peserta didik mengamalkan dengan konsekuen kedisiplinan dalam belajar, kedisiplinan dalam beribadah, kedisiplinan dalam menaati peraturan lalu lintas, dan sebagainya.
2.5
Karakteristik Siswa SMP Dalam Kaitannya Dengan Pendidikan Nilai Moral
2.5.1
Tahap Perkembangan Kognitif Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 dijelaskan bahwa peserta didik adalah manusia dengan segala fitrahnya. Mereka mempunyai perasaan dan pikiran serta keinginan atau aspirasi. Mereka mempunyai kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi (pangan, sandang, papan), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan dan kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensinya. Pada tahap perkembangannya, siswa SMP berada pada tahap perkembangan yang sangat
pesat,
dari
segala
aspek.
Secara
garis
besar
Piaget
mengelompokkan tahap-tahap perkembangan kognitif seseorang anak menjadi empat tahap, yaitu tahap sensomotor, tahap pra-operasi, tahap
53
operasi konkret, dan tahap operasi formal. Secara skematis, keempat tahap itu dapat digambarkan dalam tabel berikut: Tabel 2. 2 Tahap Perkembangan Kognitif Menurut Piaget Tahap Umur Ciri-ciri pokok Perkembangan Sensomotor 0 - 2 tahun Berdasarkan tindakan Langkah demi langkah Pra-operasi 2 – 7 tahun Penggunaan symbol/bahasa tanda Konsep intuitif Operasi konkret 8 – 11 tahun Pakai aturan jelas/logis Reversible dan kekekalan Operasi formal 11 tahun keatas Hipotesis Abstrak Deduktif dan induktif Logis dan probabilitas Sumber: Adisusilo, 2011
Sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, terhadap siswa kelas VIII SMP maka termasuk tahap operasi formal, maka berikut penjelasannya.Tahap operasi
formal
(formal
operations)
merupakan
tahap
terakhir
dalam
perkembangan kognitif menurut Piaget. Ini terjadi pada umur sekitar 11 atau 12 tahun ke atas. Pada tahap ini seorang remaja sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoritis formal berdasarkan proposisi-proposisi dan hipotesis, dan dapat mengambil kesimpulan lepas dari apa yang dapat diamati saat itu (Adisusilo, 2011). Pada tahap ini ada beberapa ciri pokok pemikiran operasi formal yaitu: a) Pemikiran deduktif hipotesis Pada tahap pemikiran ini, operasi berkaitan langsung dengan objek, kumpulan objek, hubungan antara objek, dan perhitungan objek yang konkret. Fungsi operasi didasarkan pada pengamatan atau pengalaman dan bukan pada hipotesis. Operasi formal, seseorang dapat berargumentasi secara benar tentang proposisi yang tidak ia percayai sebelumnya. Ia dapat mengambil keputusan yang
54
penting dari kebenaran yang masih berupa kemungkinan (hipotesis), yang membentuk pemikiran deduktif hipotesis atau formal. Ia dapat mengambil keputusan lepas dari pernyataan konkret. Pemikiran deduktif adalah pemikiran yang menarik kesimpulan yang spesifik dari sesuatu yang umum. Kesimpulan benar hanya bila premis-premis yang dipakai dalam pengambilan keputusan benar. Alasan deduktif hipotesis adalah alasan yang berkaitan dengan kesimpulan yang ditarik dari premis-premis yang masih hipotesis. Jadi seseorang dapat mengambil kesimpulan dari suatu proses yang diasumsikan, tidak perlu berdasarkan kenyataan yang real. b) Pemikiran induktif saintifik Pemikiran iduktif adalah pengambilan kesimpulan yang lebih umum berdasarkan kejadian-kejadian yang khusus. Anak sudah mulai dapat membuat hipotesis, menentukan eksperimen, menentukan variabel kontrol, mencatat hasil dan menarik kesimpulan. Karena seorang anak remaja sudah dapat memikirkan sejumlah variabel yang berbeda pada waktu yang sama. c) Pemikiran abstraksi refleksif Abstraksi reflesif adalah abstraksi tidak langsung terhadap objek itu sendiri,
abstraksi
jenis
ini
diperlukan
dalam
pengetahuan
matematis-
logis.Misalnya, remaja menyusun keping uang. Susunan keping entah dijajar, atau ditumpuk, atau dimasukkan kedalam kaleng, jumlahnya tetap 10. Pengertian “10” ini adalah abstraksi dari aksi remaja terhadap keping uang tersebut. Dalam jenis adalah pemikiran analogi karena pemikiran analogis tidak dapat disimpulkan dari pengalaman. Misalnya hubungan ular dengan bisa.
55
d) Skemata operasi formal Pada usia 11 atau 12 tahun, skema operasi formal seorang remaja sudah terbentuk. Termasuk skema-skema ini adalah pengertian-pengertian proporsional, sistem referensi ganda, pemahaman ekuiliberium hidrostatis dan bentuk-bentuk probabilitas tertentu. Proporsi adalah pemikiran untuk membandingkan dua hal atau membagikan antar dua hal. Remaja seusia 11 atau 12 tahun juga sudah mulai mengerti probabilitas dengan unsur kombinasi dan permutasinya. Piaget berpendapat bahwa sedikitnya ada empat faktor utama yang memengaruhi perkembangan kognitif anak, yaitu: 1) Perkembangan organik dan kematangan sistem saraf 2) Latihan dan pengalaman 3) Interaksi sosial dan transmisi 4) Ekuiliberium dan mekanisme Empat hal diatas memang amat berpengaruh, namun yang terpenting adalah bagaimana seorang anak mengembangkan self-regulasi untuk mencapai suatu ekuiliberasi dalam proses pemikirannya. Yang terakhir ini didapat dari proses asimilasi dan akomodasi yang terus menerus terhadap lingkungan dan masalah yang dihadapi seorang anak. Dalam proses yang terakhir itulah, anak senantiasa ditantang untuk selalu mengembangkan pemikirannya dan dengan demikian juga mengembangkan pengetahuannya.
56
2.5.2 Tahap Perkembangan Afektif Aspek afektif seseorang tercermin dalam sikap dan perasaan diri seseorang menurut Muhibbin Syah (2007) yang meliputi: 1) Self-conceft atau konsep diri adalah totalitas sikap dan persepsi seseorang terhadap didrinya sendiri dan self esteem atau harga diri adalah tingat pandangan dan penilaian seseorang mengenai kualitas dirinya berdasarkan prestasinya. 2) Self-efficacy (efikasi diri) adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuan sendiri dalam membangkitkan gairah dan kegiatan orang lain dan contextual efficacy adalah kemampuan seseorang dalam berurusan dengan keterbatasan faktor luar dirinya pada suatu saat tertentu. 3) Attitude of self-acceptance atau sikap penerimaan terhadap diri sendiri adalah gejala perasaan seseorang dalam kecendrungan positif atau negatif terhadap diri sendiri berdasarkan penilaian jujur atas bakat dan kemampuannya dan others acceptance attitude adalah sikap mampu menerima keberadaan orang lain, yang amat dipengaruhi oleh kemampuan untuk menerima diri sendiri. Perkembangan aspek afektif sama ragamnya dengan perkembangan kognitif, maksudnya adalah tingkat perkembangannya amat beragam. Secara umum perkembangan aspek afektif menurut Dupont (Adisusilo, 2011) meliputi:
57
Tabel 2.3 Tahap Perkembangan Afektif Menurut Dupont Tahap 1 Impersonal
Karakteristik Pribadi yang tidak jelas (afek menyebar). Pada tahap impersonal egosentrik, afeksi tidak memiliki struktur yang jelas. Perasaan seseorang belum terkontrol, masih berubah-ubah
2 Heteronomi 3 Antarpribadi
Pribadi yang jelas (afek uniteral). Perasaan mulai dapat dikendalikan Pribadi-teman sejawat (afek mutual). Tahap dimana seseorang dapat memahami perasaan orang terdekat atau teman akrab 4 PsikologisAfek yang dapat dibedakan satu sama lain (afek interaktif yang Personal kompleks). Tahap dimana seseorang dapat merasakan perasaan orang lain sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan 5 Otonomi Pusat afektif di sekitar konsep abstrak tentang otonomi diri dan orang lain (afek yang didominasi oleh sifat otonomi). Tahap dimana seseorang dapat mengambil keputusan secara otonom dengan memerhatikan perasaan orang lain dan atas dasar hati nurani 6 Integritas Pusat afektif di sekitar konsep abstrak integritas diri dan orang lain. Tahap dimana seseorang dapat mengambil keputusan otonom dengan memerhatikan perasaan orang lain serta nilai-nilai universal Sumber: Adisusilo, 2011
Sedangkan menurut Erickson(Adisusilo, 2011) tentang perkembangan afektif, sebagai berikut: Tabel 2.4 Tahap Perkembangan Afektif Menurut Erickson Fase Karakteristik 1 Trust (kepercayaan Pada usia 0 – 1 tahun anak membangun kepercayaan pada hal-hal dasar) yang ada di sekitarnya berdasarkan pengalaman indrawinya. Perasaan percaya ini akan terbawa dalam perkembangan selanjutnya 2 Autonomy Pada usia 1 – 3 tahun, dimensi otonomi anak timbul karena (otonomi) kemampuan motoris dan mental mulai berkembang, namun pada usia ini perasaan masih amat labil, berubah-ubah tergantung lingkungannya. 3 Initiative (inisiatif) Pada usia 3 – 5 tahun anak sudah mulai menguasai badan dan gerakannya, sosialitas mulai berkembang, daya imajinatif dan inisiatif mulai tumbuh 4 Productivity Pada usia 6 – 11 tahun, anak mulai mengembangkan sifat ingin (produktifitas) menghasilakn sesuatu sesuai dengan keinginannya 5 Identity (identitas) Pada usia 12 – 18 tahun, ketika kematangan fisik dan mental mulai sempurna, maka dimensi interpersonal dan intrapersonal mulai muncul 6 Intimacy Pada usia 19 – 25 tahun, kemampuan berbagi rasa dan memerhatikan (keakraban) orang lain mulai berkembang 7 Generativity Pada usia 24 – 45 tahun, orang mulai memikirkan orang-orang lain (generasi berikut) di luar keluarganya sendiri, memikirkan generasi yang akan datang, serta masyarakatnya 8 Integrity Pada usia 45 ke atas, orang memikirkan jati dirinya yang penuh, (integritas) menemukan intergritas diri Sumber: Adisusilo,2011
58
Sementara menurut Piaget et.al (Adisusilo, 2011), kesadaran moral seseorang dimulai dengan: 1) Kesadaran diri akan pentingnya tanggung jawab entah karena faktor dari luar, atau karena faktor dari dalam 2) Heteronom, yaitu ekpresi perasaan seseorang yang mulai menampilkan jati dirinya 3) Realisme moral, kesadaran diri seseorang akan sesuatu karena menyadari adanya nilai-nilai, norma yang harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan atau sikap tertentu 4) Otonom, yaitu ungkapan kemandirian seseorang yang hanya peduli pada nilainilai universal sebagai pertimbangan dalam bertingkah laku. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek afektif seseorang mengalami perkembangan seperti halnya aspek kognitif, namun perkembangan kedua aspek tersebut tidaklah sejajar, bahkan antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Perkembangan aspek kognitif maupun aspek afektif dalam diri seseorang tidak secara otomatis sejalan dengan pertambahan usia seseorang, tetapi amat tergantung banyak faktor eksternal maupun internal yang memengaruhinya. Pendidikan dapat merupakan salah wahana yang dapat membantu perkembangan aspek kognitif maupun aspek afektif peserta didik, dengan pengandaian pendidik secara tepat mendampingi peserta didik (Adisusilo, 2011).
59
2.5.3 Tahap Perkembangan Psikomotorik Aspek psikomotor merupakan salah satu aspek yang penting untuk diketahui oleh guru. Perkembangan aspek psikomotor juga melalui beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut antara lain: 1. Tahap kognitif Tahap ini ditandai dengan adanya
gerakan-gerakan yang kaku dan
lambat. Ini terjadi karena siswa masih dalam taraf belajar untuk mengendalikan gerakan-gerakannya. Dia harus berpikir sebelum melakukan suatu gerakan. Pada tahap ini siswa sering membuat kesalahan kadang-kadang terjadi tingkat frustasi yang tinggi. 2. Tahap asosiatif Pada tahap ini, seorang siswa membutuhkan waktu yang lebih pendek untuk memikirkan tentang gerakan-gerakannya. Dia mulai mengasosiasikan gerakan yang sedang dipelajarinya dengan gerakan yang sudah dikenal. Tahap ini masih dalam tahap pertengahan dalam perkembangan psikomotor. Oleh karena itu, gerakan-gerakan pada tahap ini merupakan gerakan-gerakan yang sifatnya otomatis. Pada tahap ini, seorang siswa masih menggunakan pikirannya untuk melakukan suatu gerakan tetapi waktu yang diperlukan untuk berfikir lebih sedikit dibanding pada waktu dia berada pada tahap kognitif. Dan karena waktu yang diperlukan untuk berfikir lebih pendek, gerakan-gerakannya sudah tidak kaku.
60
3. Tahap otonomi Pada tahap ini, seorang siswa sudah mencapai tingkat otonomi yang lebih tinggi. Proses belajarnya sudah hampir lengkap meskipun dia tetap dapat memperbaiki gerakan-gerakan yang dipelajarinya. Tahap ini disebut tahap autonomi karena siswa sudah tidak memerlukan kehadiran instruktur untuk melakukan gerakan-gerakan. Pada tahap ini, gerakan-gerakan telah dilakukan secara spontan dan oleh karenanya gerakan-gerakan yang dilakukan juga tidak mengharuskan pembelajar untuk memikirkan tentang gerakannya. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan aspek psikomotor siswa memiliki tiga tahapan, mulai dari tahapan yang paling sederhana yaitu tahap kognitif dimana siswa secara total masih sangat lemah dan terbatas untuk melakukan gerakan-gerakan sehingga diperlukan bantuan guru secara total untuk kemajuannya, selanjutnya tahapan asosiatif dimana tahapan ini sedikit lebih tinggi dari kognitif namun sedikit lebih pendek menggunakan waktunya untuk berpikir sebelum melakukan gerakan-gerakannya. Sedangkan tahap otonomi adalah level paling tinggi dalam perkembangan aspek psikomotor siswa, kehadiran instruktur sebagai pemandu dalam melakukan gerakan tidak diperlukan lagi, siswa sudah mampu melakukan gerakan-gerakan secara spontan. 2.4 Penelitian yang Relevan Dian Puspitasari (2005) yang berjudul Penerapan Teknik Klarifikasi Nilai Dalam Pembelajaran PKn bagi Siswa Kelas I SMPN I Salatiga Tahun pelajaran 2004/2005, menyatakan bahwa TKN dapat meningkatkan perhatian siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas yang ditunjukkan prosentase dari tiap-tiap tatap
61
muka. Yaitu putaran pertama dalam pertemuan I (86%), pertemuan II (88%) dan putaran kedua pertemuan I (93%) dan pertemuan II (97%). TKN dapat meningkatkan perhatian siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas yang di tunjukkan prosentase dari kiap TKN dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas yang di tunjukkan prosentase dari tiap-tiap tatap muka. Yaitu putaran pertama dalam pertemenuan I (81%), pertemuan II (86%), dan putaran kedua dalam pertemuan I (90%), pertemuan II (97%). TKN dapat menumbuhkan sikap keberanian siswa dalam penyampaian pendapat atau gagasan (ketrampilan berbicara). Yaitu putaran pertama dalam pertemuan I (79%), pertemuan II (86%), dan putaran kedua pertemuan I (93%), pertemuan II (95%). TKN juga menumbuhkan kreatifitas guru dalam proses pembelajaran dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh tim guru mata pelajaran PKn SMA Negeri II Palembang, yang berjudul “ Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran VCT Teknik Reportase/Liputan terhadap Keaktifan Belajar Siswa Pada Mata pelajaran PKn Di SMA Negeri II Palembang tahun 2011/2012 menyatakan terdapat pengaruh yang signifikan antara penerapan VCT
model
reportase terhadap keaktifan siswa pada mata pelajaran PKn di SMA Negeri II Palembang tahun 2011/2012. Hal ini disebabkan oleh VCT
model reportase
merupakan model pembelajaran yang melibatkan siswa belajar dengan aktif. Karena dalam VCT model reportase siswa harus mengusahakan kemampuan dalam dirinya secara optimal agar terlibat aktif dalam proses pembelajaran pada saat guru mengajar.