BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif Kajian 2.1.1 Perspektif Pemahaman atas komunikasi manusia, merupakan masalah perspektif yang
dipakai untuk memahamninya (Fisher,1990:86). Perspektif adalah sudut pandang dan cara pandang kita terhadap sesuatu (Ardianto dan Q-Anees, 2007:75). Cara kita memandang atau pendekatan yang kita gunakan dalam mengamati kenyataan akan menentukan pengetahuan yang kita peroleh. Suatu perspektif (cara pandang) tidak berlaku secara semena - semena. Perspektif yang kita gunakan dalam menghampiri suatu peristiwa komunikasi akan menghasilkan perbedaan yang besar dalam jawaban dan makna yang kita deduksi. Kita bisa saja mengamati suatu peristiwa dengan pikiran yang terbuka dan netral, namun begitu kita harus mengobservasi suatu hal, kita akan melakukannya dengan cara tertentu. Persperktif adalah cara memandang atau cara kita menentukan sudut pandang ketika mengamati sesuatu. Seluruh memberikan skema atau petunjuk mengenai sudut pandang mana yang akan kita gunakan untuk meneliti kebenaran peristiwa komunikasi. Nilai perspektif tidak terletak dalam nilai kebenarannya atau seberapa baik ia mencerminkan realitas yang ada. Semua perspektif yang dapat diperoleh adalah benar dan mencerminkan realitas, walaupun setiap perspektif pada tahap tertentu kurang lengkap serta didistorsi. Jadi yang menjadi inti adalah upaya mencari perspektif yang dapat memberikan kepada kita konseptualisasi realitas yang paling bermanfaat bagi pencapaian tujuan kita. Menggunakan perspektif berarti menyadari bahwa suatu pemahaman selalu dibangun oleh kaitan antara apa yang diamati dan apa yang menjadi konsep pengamatan. Penggunaan perspektif mewajibkan kita untuk toleran pada perbedaan cara pandang, juga telaten dalam menggunakan berbagai metode. Memilih suatu perspektif sama artinya dengan memilih mengerjakan hal - hal menurut suatu cara 8 Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
pandang tertentu, tidak menurut satu cara yang lain, yang serta merta berlaku secara universal (Ardianto dan Q-Anees, 2007:78). Pada perspektif yang kita pilih terkandung semua keuntungan dan keterbatasan, akan tetapi kita tidak memiliki hak untuk mengingkari nilai dan untuk mempermasalahkan validitas perspektif yang lain. Konsekuensi
dari
penggunaan
perspektif
adalah
kearifan
untuk
menyatakan bahwa apa yang kita ketahui sekarang bukanlah kebenaran mutlak, melainkan hanya pemahaman yang diciptakan manusia. Karena pemahaman kita adalah produk kemanusiaan, maka ia tunduk pada perubahan konseptual sebagaimana secara historis kita telah mengubah konsep dan perspektif untuk menciptakan pemahaman kita. Konsekuensi lainnya adalah kita bukan menemukan realitas tetapi menciptakan realitas. Alasannya karena ketika kita melakukan penelitian kita tidak mungkin tidak mengorganisasikan pengamatan dan persepsi kita dan hal ini tidak dapat kita hindarkan saat melakukan penelitian. Pengunaan perspektif yang paling nyata haruslah secara sadar tanggap pada perspektif yang dipakai, apa implikasinya, dan kemana ia mengarahkan kita. Kita harus tanggap pada pertanyaan apa yang dapat ditanyakan dan karenanya , dapat dijawab dalam rangka perspektif itu. Kita perlu mengetahui pertanyaan pertanyaan apa yang tidak dapat dipertanyakan, dan karenanya dapat dijawab dalam rangka perspektif itu. Kita perlu mengetahui pertanyaan pertanyaan apa yang tidak dipertanyakan, dan karenanya, juga tidak dapat dijawab. Kita perlu mengetahui apa yang seharusnya kita ketahui dan bagaimana menggunakan perspektif yang paling tepat untuk membawa kita pada pengetahuan/pemahaman itu (Fisher,1990:89). Perspektif yang digunakan dalam penelitian ini adalah perspektif konstruktivisme. 2.1.2 Perspektif Konstruktivisme Ilmu komunikasi dalam perspektif konstruktivisme tidak hanya mulai mempertimbangkan konstruksi namun juga menyediakan cara cara penelitian yang lebih khas. Menurut Von Glasersfelt konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Ardianto dan Q-Anees, 2007:154). Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Konstruktivisme
berpendapat
bahwa
semesta
secara
epistimologi
merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah kontruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Konstruksi membuat cakrawala baru dengan mengakui adanya hubungan antara pikiran yang membentuk ilmu pengetahuan dengan objek atau eksistensi manusia. Dengan demikian paradigma konstruktivis mencoba menjembatani dualism objektivitisme – subjektivitisme dangan mengafarmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi ilmu pengetahuan (Ardianto dan Q-Anees, 2007:152). Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyamapai pesan. Konstruktivisme justru mengaggangap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Komunikasi dipahami diatur dan dihidupkan oleh pernyataanpernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Pada perspektif konstruktivis, kebenaran bukan pada kecocokan dengan realitas ontologis melainkan pada viabilitas, yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam beroperasi. Pengetahuan yang kita kostruksikan itu dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, analisis dapat dilakukan demi membongkar maksud dan makna-makna tertentu dari komunikasi. Von Glasersfeld dan Kitchener membuat gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut: 1) Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. 2) Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang. Konstruktivisme memang merujukkan pengetahuan pada konstruksi yang sudah ada di benak subjek. Namun konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi, melainkan proses panjang sejumlah pengalaman. Banyak situasi yang memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan peubahan akan pengetahuannya. Perubahan inilah yang akan mengembangkan pengetahuan seseorang. Atau bila kita berhadapan dengan suatu persoalan atau kejadian yang baru atau berbeda, kita tertantang untuk mencari arti dan makna hal itu dengan menggunakan gagasan, ide – ide, maupun konsep konsep yang telah kita punyai. (Ardianto dan Q-Anees, 2007:153) 2.2 Kajian Pustaka 2.2.1 Teori Dramaturgi (Impression Management) Seorang individu seringkali peduli terhadap self image yang ditampilkannya terhadap orang lain. Kepedulian tersebut akan menuntun individu tersebut untuk senantiasa berusaha mengontrol tentang apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya tersebut. Self image yang dicoba ditampilkan ini dapat berbeda-beda dari satu situasi ke situasi lainnya, tergantung dari tujuannya. Self image yang dicoba untuk ditampilkan tersebut dapat dianalogikan seperti seorang aktor yang sedang bermain peran. Layaknya seorang aktor dalam pementasan teater, setiap individu akan berusaha untuk dapat menampilkan image tertentu dengan menggunakan suatu setting tingkah laku verbal maupun nonverbal secara hati-hati untuk dapat mencerminkan image tersebut. Usaha tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah impression management atau pengelolaan kesan. Menurut Robbins and Judge, impression
management adalah proses saat seorang individu berusaha mengontrol persepsi orang lain terhadapnya (Rakhmat, 2008 : 96) . Berbicara mengenai impression management tentu tidak terlepas dari kajian dramaturgi. Pada perkembanganya, Dramaturgi begitu banyak dikenal dan dijadikan sebagai bentuk komunikasi lainnya dalam kehidupan sehari-hari manusia. Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan setiap
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah - ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgi masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgi, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgi, manusia akan mengembangkan perilaku - perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Lebih jauh lagi, dengan mengelola informasi yang kita berikan kepada orang lain, maka kita akan mengendalikan pemaknaan orang lain terhadap diri kita. Hal itu digunakan untuk memberi tahu kepada orang lain mengenai siapa kita. (Mulyana, 2003 : 112)
Istilah dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia - manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan. Dramaturgi juga diibaratkan sebagai permainan peran oleh manusia. Tentu permainan peran yang dimainkan oleh manusia tersebut disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai sebelumnya. Entah itu hanya sekedar untuk menciptakan kesan tertentu tentang diri kita dihadapan penonton ataupun suatu bentuk penghargaan lainya yang kita peroleh dari permainan peran tersebut. Dalam buku yang berjudul “The Presentation of Self in Everyday Life” karangan Erving Goffman yang diterbitkan pada tahun 1959, Goffman mendalami konsep dramaturgi yang bersifat penampilan drama atau teater atau teateris di atas panggung, dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain, sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut serta mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan.
Menurut Goffman dalam Dramaturgi terdiri dari : -
Front stage (panggung depan)
-
Back Stage (panggung belakang)
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Front Stage yaitu bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Front stage dibagi menjadi 2 bagian, Setting yaitu pemandangan fisik yang harus ada jika sang aktor memainkan perannya. Ada juga Front Personal yaitu berbagai macam perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari sang aktor. Front personal masih terbagi menjadi dua bagian, yaitu Penampilan yang terdiri dari berbagai jenis barang yang mengenalkan status sosial aktor dan gaya yang berarti mengenalkan peran macam apa yang dimainkan aktor dalam situasi tertentu. Back stage (panggung belakang) yaitu ruang dimana disitulah berjalan skenario pertunjukan oleh “tim” yaitu masyarakat rahasia yang mengatur pementasan masing-masing actor (Rakhmat, 2008 : 97).
Kajian
dramaturgi
membagi dua wilayah yang biasa digunakan seorang individu dalam memainkan peran. Wilayah tersebut ialah :
1. Front stage (panggung depan) merupakan suatu panggung yang
terdiri
dari
bagian
pertunjukkan
atas
penampilan
(appearance) dan gaya (manner). Pada lingkungan yang menjadi front stage inilah dimunculkan identitas palsu oleh individu tersebut guna memaksimalkan peran yang dimainkannya dalam area front stage tersebut dimana ia dapat menyesuaikan diri dengan situasi penontonnya. Penampilan disini meliputi petunjuk artifaktual seperti pakaian, make up, dan sebagainya. Sedangkan gaya meliputi cara berbicara, berjalan dan sebagainya. 2. Back stage (panggung belakang) merupakan bagian dari individu di mana individu tersebut memperlihatkan gambaran sesungguhnya dari dirinya. Back Stage ini juga merupakan panggung persiapan aktor yang disesuaikan dengan apa yang akan dihadapi dilapangan, untuk selanjutnya menutupi identitas aslinya. Panggung ini disebut juga panggung pribadi yang tidak
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
boleh diketahui oleh orang lain (Rakhmat, 2008 : 97). Beberapa hal penting yang menjadi bagian back stage ini antara lain : a. Make Up (Tata rias) b. Pakaian c. Sikap dan Perilaku d. Bahasa Tubuh e. Mimik Wajah f. Isi Pesan g. Cara Bertutur atau Gaya Bahasa Dalam teori Dramatugi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri” (Sudikin, 2002 : 49). Goffman mengakui bahwa panggung depan mengandung anasir struktural dalam arti bahwa panggung depan cenderung terlembagakan alias mewakili kepentingan kelompok atau organisasi. Sering ketika aktor melaksanakan perannya, peran tersebut telah ditetapkan lembaga tempat dia bernaung. Meskipun berbau struktural, daya tarik pendekatan Goffman terletak pada interaksi. Ia berpendapat bahwa umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang diidealisasikan dalam pertunjukan mereka di pangung depan, meresa merasa bahwa mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukannya. Hal itu disebabkan oleh (Mulyana, 2003:116): 1. Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan - kesenangan tersembunyi
(misalnya
meminum
minuman
keras
sebelum
pertunjukan).
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
2. Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat persiapan pertunujkan, langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki
kesalahan
tersebut
(misalnya
sopir
taksi
menyembunyikan fakta bahwa ia mulai salah arah). 3. Aktor mungkin merasa perlu menunjukan hanya produk akhir dan menyembunyikan
proses
memproduksinya
(misal
dosen
menghabisakan waktu beberapa jam untuk memberi kuliah, namun mereka bertindak seolah - olah telah lama memahami materi kuliah). 4. Aktor mungkin perlu menyembunyikan “kerja kotor” yang dilakukan untuk membuat produk akhir dari khalayak (kerja kotor itu mungkin meliputi tugas-tugas yang secara fisik kotor, semi-legal, dan menghinakan. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgi, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan
ini
antara
lain
memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil. Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan (Dadang,2007:78).
2.2.2 Teori Disonansi Kognitif Teori yang berpendapat bahwa disonansi adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan. Sebagaimana Roger Brown katakan, dasar dari teori ini mengikuti sebuah prinsip yang cukup sederhana keadaan disonansi kognitif dikatakan sebagai keadaan ketidaknyamanan psikologis atau ketegangan yang
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
memotivasi usaha – usaha untuk mencapai konsonansi. Disonansi adalah sebutan untuk ketidakseimbangan dan konsonansi adalah sebutan untuk keseimbangan. Selanjutnya, Brows mengatakan bahwa teori ini memungkinkan dua elemen untuk memilikitiga hubungan yang berbeda satu sama lain. Mungkin saja konsonan (consonant),( dissonant), (irrelevant) (West&Turner,2008:137). 1. Hubungan konsonan (consonant) Ada antara dua elemen ketika dua elemen tersebut ada pada posisi seimbang satu sama lain. 2. Hubungan Disonan( dissonant), Berarti bahwa elemen – elemen tidak seimbang satu dengan lainnya. 3. Hubungan tidak relevan (irrelevant) Ada ketika elemen – elemen tidak mengimplikasikan apa pun mengenai satu sama lain : Sikap,pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten
Beraikibat pada Beraikibat pada
Mulainya disonansi
Rangsangan yang tidak menyenangkan
Perubahan yang menghilangkan inkonsistensi
Gambar 2.1 Proses Disonansi Teori ini menyatakan bahwa, agar dapat menjadi persuasif, strategi strategi harus berfokus pada inkonsistensi sembari menawarkan perilaku baru yang memperlihatkan konsistensi atau keseimbangan. Selanjutnya disonansi kognitif dapat memotivasi perilaku komunikasi saat melakukan persuasi kepada orang lainnya dan saat orang berjuang untuk mengurangi disonansi kognitifnya. Sebagaimana telah dikemukakan Teori Disonansi Kognitif adalah penjelasan mengenai bagaimana keyakinan dan perilaku mengubah sikap, Teori ini berfokus Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
pada efek inkonsistensi yang ada diantara kognisi – kognisi. Untuk itu terdapat sejumlah asumsi dasar yang mendukung teori tersebut. Teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi dasar diantaranya adalah: 1. Manusia memiliki hasrat akan konsistensi pada keyakinan, sikap dan perilakunya. Disini menekankan sifat dasar manusia yang mementingkan stabilitas dan konsistensi. 2. Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi psikologis. Teori ini merujuk pada fakta bahwa kognisi - kognisi harus tidak konsisten secara psikologis. 3. Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan tindakan-tindakan dengan dampak yang dapat diukur. 4. Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi. (West&Turner,2008:139) Orang yang mengalami disonansi akan berupaya mencari dalih untuk mengurangi disonansinya itu. Pada umumnya orang berperilaku ajeg atau konsisten dengan apa yang diketahuinya. Tetapi kenyataannya menunjukkan bahwa sering pula seseorang berperilaku tidak konsisten seperti itu. Jika seseorang mempunyai informasi atau opini yang tidak menuju ke arah menjadi perilaku, maka informasi atau opini itu akan menimbulkan disonansi perilaku. Apabila disonansi tersebut terjadi, maka orang akan berupaya mengurangi dengan jalan mengubah perilakunya, kepercayaannya atau opininya. (West&Turner,2008:141) Teori disonansi kognitif berkaitan dengan proses pemilihan terpaan selektif (selective
exposure),
pemilihan
perhatian
(selective
attention),pemilihan
interpretasi (selective interpretation), dan pemilihan retensi (selectie retention) karena teori ini memprediksikan bahwa orang akan menghindar informasi yang meningkatkan
disonansi.
Proses
perseptual
ini
merupakan
dasar
dari
penghindaran. 1. Terpaan selektif (selective exposure) Mencari informasi yang konsisten yang belum ada, membantu untuk mengurangi disonansi. CDT memprediksikan bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi dan mencari informasi yang konsisten dengan sikap dan perilaku mereka.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
2. Pemilihan perhatian (selective attention) Merujuk pada melihat informasi secara konsisten begitu konsistensi itu ada. Orang memerhatikan inforasi dalam lingkungannya yang sesuai dengan sikap dan keyakinanya sementara tidak menghiraukan informasi yang tidak konsisten. 3. Pemilihan interpretasi (selective interpretation) Melibatkan penginterpretasian informasi yang ambigu sehingga menjadi konsisten. Dengan menggunakan intepretasi
selektif, kebanyakan
otang
menginterpretasikan sikap teman dekatnya lebih sesuai dengan sikap mereka sendiri daripada yang sebenarnya terjadi. 4. Pemilihan retensi(selectie retention) Merujuk pada mengingat dan mempelajari informasi yang konsisten dengan kemampuan yang lebih besar dibandingkan yang kita lakukan terhadap informasi yang konsisten. Sikap tampaknya dapat mengelola memori dalam proses pemilihan retensi(West&Turner,2008:142).
2.2.3 Konsep Diri Salah satu faktor penentu atau gagalnya seseorang dalam menjalani kehidupan adalah konsep diri. Konsep diri yang ada pada seorang individu adalah sebagai bentuk keyakinan dirinya bahwa dia mampu dan bisa untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya. Konsep diri seseorang dinyatakan melalui sikap dirinya dalam suatu lingkungan. Manusia sebagai organism yang memiliki dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya menyebabkan ia sadar akan keberadaan dirinya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Konsep diri pada dasarnya merupakan pandangan kita mengenai siapa kita dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita (Rakhmat,2005: 99). Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial dan fisis. Sedangkan
Menurut
George
Herbet
Mead
dalam
buku
Introducing
Communication Theory Analysis an Aplication Third Edition konsep diri pada seseorang muncul bukan dari pikiran seseorang tersebut lebih dahulu, melainkan Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
dari pemikiran atau pandangan dari orang lain terhadap diri kita dan baru diikuti pemikiran yang muncul pada diri kita dari pemikiran orang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara pandang secara menyeluruh tentang diri, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya. Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan tingkah laku seseorang. Bagaimana seseorang memandang dirinya akan tercermin dari keseluruhan perilakunya. Artinya, perilaku individu akan selaras dengan cara individu memandang dirinya sendiri. Apabila individu memandang dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk melakukan suatu tugas, maka seluruh perilakunya akan menujukkan ketidakmampuannya tersebut. Menurut Felker dalam Pudjijogyanti (1998:5), terdapat tiga peranan penting konsep diri dalam menentukan perilaku seseorang, yaitu : 1. Konsep diri memainkan peranan dalam mempertahankan keselarasan batin seseorang. Individu senantiasa berusaha untuk mempertahankan keselarasan batinnya. Bila individu memiliki ide, perasaan, persepsi atau pikiran yang tidak seimbang atau saling bertentangan, maka akan terjadi
situasi
psikologis
yang
tidak
menyenangkan.
Untuk
menghilangkan ketidakselarasan tersebut, individu akan mengubah perilaku atau memililih suatu system untuk mempertahankan kesesuaian antara individu dengan lingkungannya. Cara menjaga kesesuaian tersebut dapat dilakukan dengan menolak gambaran yang diberikan oleh lingkungannya mengenai dirinya atau individu berusaha mengubah dirinya seperti apa yang diungkapkan lingkungan sebagai
cara
untuk
menjelaskan
kesesuaian
dirinya
dengan
lingkungannya. 2. Konsep diri menentukan bagaimana individu memberikan penafsiran atas pengalamannya. Seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sangat memengaruhi individu tersebut dalam menafsirkan pengalamannya. Sebuah kejadian akan ditafsirkan secara berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, karena masing – masing individu mempunyai sikap dan pandangan yang
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
berbeda terhadap diri mereka. Tafsiran negatif terhadap pengalaman hidup disebabkan oleh pandangan dan sikap negatif terhadap dirinya sendiri. Sebaliknya, tafsiran peostif terhadap pengalaman hidup disebabkan oleh pandangan dan sikap positif terhadap dirinya. 3. Konsep diri juga berperan sebagai penentu pengharapan individu. Pengharapan ini merupakan inti dari konsep diri. Bahkan McCandless sebagaimana dikutip Felker (1974) menyebutkan bahwa konsep diri seperangkat harapan harapan tersebu. Siswa yang cemas dalam menghadapi ujian akhir dengan mengatakan “Saya sebenarnya anak bodoh, pasti saya tidak akan mendapat nilai yang baik”, sesungguhnya sudah mencerminkan harapan apa yang akan terjadi dengan
hasil
ujiannya.
Ungkapan
tersebut
menunjukkan
keyakinannya bahwa ia tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh nilai yang baik. Keyakinannya tersebut mencerminkan sikap dan pandangan yang negatif terhadap dirinya sendiri. Pandangan
negatif
terhadap
dirinya
menyebabkan
individu
mengharapkan tingkah keberhasilan yang akan dicapai hanya pada taraf yang rendah. Patokan yang rendah tersebut menyebabkan individu bersangkutan tidak mempunyai motivasi untuk mencapai prestasi yang gemilang (Pudjijogyanti,1988:5). Sedangkan menurut Pudjijogyanti (1988:3) koponen – komponen konsep diri ada dua yaitu : 1. Komponen kognitif Komponen kognitif merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya, misalnya “saya anak bodoh” atau “saya anak nakal”. Jadi komponen kognitif merupakan penjelasan dari “siapa saya” yang akan memberi gambaran tentang diri saya. Gambaran diri (self picture) tersebut akan membentuk citra diri (self image).
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
2. Komponen afektif Komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap diri. Penilaian tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri (Self acceptance), serta harga diri (self esteem) individu. Konsep diri yang baik ditandai dengan sikapnya yang optimis dan terbuka terhadap lingkungan. Selain itu, dia juga memiliki keyakinan untuk mengatasi masalah yang dia hadapi dan juga mampu memperbaiki dirinya dengan cara menampilkan kepribadian dan juga perilaku yang disenangi oleh orang lain. Sedangkan konsep diri yang tidak baik ditandai dengan sikap yang pesimis, tertutup, tidak percaya diri dan mudah tersinggung. Selain itu, dia selalu minder karena dia merasa jika dia tidak disenangi oleh orang – orang yang berada disekitarnya. Dia selalu merasa jika orang lain adalah musuhnya yang tidak senang dengan dirinya. Dari pernyataan diatas, S.Frank Miyamoto dan Sanford M. Dornbusch (1956) mencoba mengkorelasikan penilaian orang lain terhadap dirinya sendiri dengan skala empat angka dari yang paling jelek sampai uang paling baik, yaitu : 1. Kecerdasan 2. Kepercayaan diri 3. Daya tarik fisik 4. Kesukaan orang lain kepada dirinya Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian tentang diri. Jadi konsep diri meliputi tentang apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan tentang diri. Interaksi simbolik berfokus pada pentingnya konsep diri atau set relatif stabil dari persepsi bahwa seseorang memegang sendiri dan membentuk dirinya sendiri. Ketika seseorang atau aktor sosial mengajukan pertanyaan “siapa saya?” Jawabannya selalu berhubungan dengan konsep diri orang tersebut. Karakteristik dalam dirinya mengakui tentang fitur fisiknya, peran, bakat, keadaan emosional, nilai keterampilan sosial dan batas, intelek dan hal itu membentuk make up konsep diri seseorang (Rakhmat,2005:101). Gagasan penting untuk interaksi simbolik, lebih lanjut adalah tertarik pada cara-cara orang mengembangkan konsep diri. Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 BentukKonsep Diri Menurut Stuart dan Sundeen memberi penjelasan bahwa konsep diri terdiri dari 5 aspek : 1. Gambaran Diri (Body Image) Gambaran diri adalah sikap mahasiswi perokok terhadap tubuhnya secara sadar maupun tidak sadar. Sikap ini menyangkut persepsi dan perasaan tentang ukuran dan bentuk penampilan, fungsi, dan potensi tubuh masa sekarang dan masa lalu. 2. Ideal Diri Ideal Diri adalah persepsi mahasisiwi perokok bagaimana ia harus berperilaku sesuai dengan standar pribadi. Standar dapat berhubungan dengan tipe orang yang diinginkannya atau sejumlah aspirasi, cita cita atau nilai yang ingin dicapainya. Ideal diri akan mewujudkan cita cita dan harapan pribadi berdasarkan norma sosial (keluarga,lingkungan) kepada siapa ia ingin melakukannya. 3. Harga diri Harga diri adalah penilaian pribadi mahasiswi perokok terhadap hasil yang ingin dicapai dengan menganalisis seberapa jauh perilaku memenuhi identitas diri sendiri.Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Semakin sering seseorang gagal kecenderungannya adalah harga diri akan rendah demikian sebaliknya. 4. Peran Peran adalah pola sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan oleh mahasiswi dari statusnya di masyarakat. Beberapa mahasiswi disibukkan dengan peran yang hendak dimainkannya. Misalkan saja selain sebagai pelajar, anak, sahabat, pemimpin, pekerjaan dan sederetan posisi yang dijalankannya. Posisi dibutuhkan oleh setiap orang untuk mengaktualisasikan dirinya. Menunjukkan seberapa besar ia cukup berguna di setiap aspek kehidupan. Harga diri yang tinggi merupakan hasil peran yang memenuhi dengan kebutuhan dan cocok dengan ideal diri.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
5. Identitas Diri Identitas diri adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian, yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan utuh). Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat maka akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, unik dan tidak ada duanya. Individu yang memiliki identitas diri yang kuat akan memandang dirinya sebagai suatu kesatuan yang utuh dan terpisah dari orang lain dan individu tersebut akan mempertahankan identitasnya walau dalam kondisi sesulit apapun. (Stuard & Sundeen, 1998:378). 2.3 Model Teoritik Dalam penelitian ini peneliti membuat model teoritik dengan memahami keterkaitan antara beberapa teori. Keterkaitan antar teori menjadi rangkaian yang berkesinambungan, berikut model teoritik yang peneliti gambarkan untuk menjelaskan keterkaitan antar teori yang menjadi rangkaian berkesinambungan :
Teori Disonansi Kognitif
Teori Dramaturgis
Konsep Diri
Mahasiswi Perokok
Latar Belakang Mahasiswi \ Merokok
Karakteristik Mahasiswi Perokok
Impression Management Mahasiswi Perokok
Gambar 2.3 Model Teoritik
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara