BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Pembelajaran Penggunaan istilah pembelajaran dalam konteks pendidikan di Indonesia tergolong baru, setelah istilah pengajaran dan belajar mengajar dipandang kurang tepat karena memberi kesan teacher centered. Pembelajaran merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “instruction”, maknanya lebih luas dari mengajar, bahkan mengajar masuk dalam aktivitas pembelajaran. Pembelajaran atau instruction berpusat kepada tujuan yang hendak dicapai berdasarkan perencanaan. Dalam hal ini Arief S. Sadiman menyatakan sebagai berikut : Kata pembelajaran sengaja dipakai sebagai padanan kata dari bahasa Inggris instruction. Kata instruction mempunyai pengertian yang lebih luas daripada pengajaran. Jika kata pengajaran ada dalam konteks guru-murid di kelas (ruang) formal, pembelajaran atau instruction mencakup pula kegiatan belajar mengajar yang tak dihadiri guru secara fisik. Oleh karena dalam instruction yang ditekankan adalah proses belajar maka usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri peserta didik kita sebut pembelajaran. (Arief S. Sadiman, 1993: 7). Perubahan ini tidak sekedar perubahan istilah semata, tetapi mengandung perubahan lain secara lebih operasional, dimana istilah pembelajaran memberi makna dan tuntutan adanya keseimbangan aktivitas maupun partisipasi pendidik dengan peserta didik. Tidak didominasi oleh pendidik, tidak pula lebih menitikberatkan pada partisipasi peserta didik (student centered), dalam prosesnya terdapat keseimbangan aktivitas serta 22
23
partisipasi, juga keseimbangan dalam pengembangan aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Pembelajaran adalah proses yang terjadi yang membuat seseorang atau sejumlah orang, yaitu peserta didik melakukan proses belajar sesuai dengan rencana pengajaran yang telah diprogramkan (Aminuddin Rasyad, 2003: 14). Dalam pandangan Mohamad Surya, pembelajaran ialah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (M. Surya, 2004: 7). Sedangkan dengan pernyataan tersebut adalah pernyataan Ngainun Naim dan Achmad Patoni sebagai berikut : Dalam kata pembelajaran terkandung arti yang lebih konstruktif, yaitu upaya membuat peserta didik dapat belajar, butuh belajar, terdorong belajar, mau belajar, dan tertarik untuk terus menerus belajar. Dari pengertian ini sekilas terlihat bahwa dalam pembelajaran, titik tekannya adalah membangun dan mengupayakan keaktifan anak didik. Dengan keaktifan anak didik tersebut diharapkan mereka dapat memperoleh hasil lebih maksimal dari proses pembelajaran yang dilakukan. (Ngainun Naim dan Achmad Patoni, 2007: 66). Berdasarkan beberapa pendapat tentang pembelajaran dalam tulisan ini pembelajaran diartikan sebagai proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Hal ini juga yang disebutkan dalam Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 20 ayat 1. Mengajar atau “teaching” adalah membantu peserta didik memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekpresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar (Joyce dan Well, 1996).
24
Sedangkan pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan peserta didik. Secara implisit dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode didasarkan pada kondisi pembelajaran yang ada. Kegiatan-kegiatan tersebut pada dasarnya merupakan inti dari perencanaan pembelajaran. Dalam hal ini istilah pembelajaran memiliki hakekat perencanaan atau perancangan (desain) sebagai upaya untuk membelajarkan peserta didik. Itulah sebabnya dalam belajar peserta didik tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar, tetapi berinteraksi juga dengan keseluruhan sumber belajar yang lain. Oleh karena itu pembelajaran menaruh perhatian pada “bagaimana membelajarkan peserta didik”, dan bukan pada “apa yang dipelajari peserta didik”. Dengan demikian pembelajaran menempatkan peserta didik sebagai subyek bukan sebagai obyek. Oleh karena itu agar pembelajaran dapat mencapai hasil yang optimal guru perlu memahami karakteristik peserta didik. Pembelajaran atau pengajaran pada dasarnya merupakan kegiatan guru menciptakan situasi agar peserta didik belajar. Tujuan utama dari pembelajaran atau pengajaran adalah agar peserta didik belajar. Mengajar dan belajar merupakan dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan, ibarat sebuah mata uang yang bermata dua. Bagaimanapun baiknya guru mengajar, apabila tidak terjadi proses belajar pada para peserta didik, maka pengajarannya tidak baik, tidak berhasil. Sebaliknya, meskipun cara atau metode yang digunakan guru sangat sederhana, tetapi apabila mendorong para peserta didik banyak belajar, pengajaran tersebut cukup berhasil.
25
Melalui proses belajar tersebut terjadi perubahan, perkembangan, kemajuan, baik dalam aspek fisik-motorik, intelek, sosial-emosional maupun sikap dan nilai. Makin besar atau makin tinggi atau banyak perubahan atau perkembangan itu dapat dicapai oleh peserta didik, maka makin baiklah proses belajar. Proses belajar-mengajar disini adalah dalam rangka pendidikan, dan di dalam pendidikan semua aktivitas dan perubahan atau perkembangan mengarah kepada yang baik. Perkembangan ke arah yang tidak baik, itu bukanlah pendidikan. Kegiatan pendidikan selalu normatif. Jadi perubahan atau perkembangan yang diarahkan dalam proses belajar mengajar juga adalah perubahan dan perkembangan yang sifatnya normatif atau digunakan secara normatif. Belajar merupakan proses mental yang dinyatakan dalam berbagai perilaku, baik perilaku fisik-motorik maupun psikis. Meskipun suatu kegiatan belajar merupakan kegiatan fisik-motorik (keterampilan) tetapi di dalamnya tetap terdapat kegiatan mental, tetapi kegiatan fisik-motoriknya lebih banyak dibandingkan dengan proses mentalnya. Pada kegiatan belajar yang bersifat psikis, seperti belajar intelektual, sosial-emosi, sikap-perasaan-nilai, segi fisiknya sedikit yang sangat banyak adalah segi mentalnya. Aspek-aspek perkembangan tersebut, bisa dibeda-bedakan tetapi tidak bisa dipisahkan secara jelas. Suatu aspek selalu ada kaitannya dengan aspek lainnya. Mengajar atau membelajarkan bukan pekerjaan yang mudah, membutuhkan kesungguhan, semangat, pengetahuan, keterampilan dan seni. Mengajar berbeda dengan membuat kursi, atau beternak ayam. Dalam
26
membuat kursi atau beternak ayam, berhadapan antara subyek dengan obyek. Pembuat kursi atau peternak ayam adalah subyek, sedang kursi atau kayu bahan kursi dan ayam adalah obyek. Kayu bahan kursi memiliki sejumlah sifat, tetapi sifat-sifatnya sederhana dan kondisinya statis, mudah dipahami. Ayam hidup, di samping sifat-sifat terdapat dinamika tetapi masih sederhana, relatif masih mudah difahami. Berbeda dengan membelajarkan peserta didik. Peserta didik adalah individu manusia, yang memiliki karakteristik yang sangat kompleks dan unik serta berkembang dinamis. Tiap siswa atau mahasiswa memiliki potensi dan kecakapan berpikir, sosial, komunikasi, seni, keterampilan yang berbeda, tiap peserta didik juga memiliki karakteristik fisik, sosial, emosi, sikap, nilai yang berbeda pula. Semua potensi, kecakapan dan karakteristik tersebut membentuk satu kepribadian yang khas yang unik, berbeda satu dengan yang lainnya. Keunikannya bertambah kompleks karena manusia itu berkembang, dan perkembangannya dinamis karena selalu dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya. Dalam
mengajar
seorang
guru
dihadapkan
pada
keragaman
karakteristik dan dinamika perkembangan peserta didik. Sesungguhnya secara psikologis, tidak ada dua individu peserta didik yang tepat sama, yang ada adalah keragaman. Oleh karena itu mengajar itu adalah ilmu dan sekaligus seni. Ada ilmu mengajar, tetapi itu saja belum cukup, diperlukan juga seni mengajar. Seni mengajar merupakan kreativitas guru menemukan pendekatan atau
model
mengajar
yang
memungkinkan
setiap
peserta
mengembangkan potensi, kecakapan dan karakteristiknya secara optimal.
didik
27
B. Efektivitas Proses Pembelajaran 1. Konsep Efektivitas Efektivitas
adalah
sejauhmana
suatu
organisasi
berhasil
mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usahanya mengejar tujuan secara operasional. Efektivitas keseluruhan, dalam arti sejauhmana organisasi melaksanakan tugas untuk mencapai semua sasaran. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relatif terhadap harganya (Ertiany Syaodih, 1993). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 219), efektif berarti ada efeknya (akibat, pengaruhnya, kesennya), manjur, mujarab, dapat membawa hasil. Jadi efektivitas adalah keefektifan, daya guna. Adanya kesesuaian dalam suatu kegiatan orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju. Setiap orang merumuskan istilah efektivitas ini berbeda-beda, tergantung dari aspek mana definisi efektivitas tersebut dikaitkan. Hal ini perlu dimaklumi karena setiap orang akan mengartikan efektivitas tersebut dari titik pandang masing-masing. Dengan demikian secara harfiah, efektif mengandung arti ”mampu memberikan efek”. Efektivitas merupakan kemampuan mengakibatkan atau menghasilkan sesuatu hal. Secara terminologis istilah efektivitas dipergunakan dengan kandungan makna yang beragam tergantung pada perspektif yang
28
dipergunakannya;
misalnya
dalam
teori-teori
organisasi
perilaku
organisasi atau manajemen, dikenalnya pendekatan model untuk memahami konsep efektivitas. Model pendekatan partisipan, yaitu model pendekatan yang melihat efektivitas suatu organisasi dengan menggunakan individu partisipasi sebagai kerangka acuan utama. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa suatu aktivitas organisasi ditentukan oleh orang yang terlibat didalamnya, baik buruknya kualitas organisasi sangat ditentukan oleh kualitas kerja anggota. Berdasarkan pengertian efektivitas dari berbagai pendapat di atas maka dapatlah diambil secara luas, bahwa konsep efektivitas berhubungan dengan masalah bagaimana pencapaian tujuan atau hasil yang diperoleh, bagaimana tingkat daya fungsi unsur/ komponen organisasi, serta masalah tingkat kepuasan anggota organisasi.
2. Pembelajaran yang Efektif Pembelajaran dikatakan efektif jika memenuhi kriteria yang ditentukan. Kriteria kefektifan dalam model ini mengacu pada hal-hal berikut ini : a. Ketuntasan Belajar Menurut kurikulum 1994 pembelajaran dikatakan tuntas jika sekurangkurangnya 85% dari jumlah siswa telah memperoleh skor > 65%. b. Penurunan Miskonsepsi Model konstruktivis dikatakan efektif jika mampu mengurangi miskonsepsi yang patokannya identik dengan ketuntasan klasikal.
29
c. Peningkatan Hasil Belajar Model konstruktivis efektif meningkatkan hasil belajar siswa jika secara statistik menunjukkan hasil belajar yang berbeda secara signifikan.
Slavin
(1994:
310)
mengatakan
bahwa
keefektifan
proses
pembelajaran terdiri dari empat indikator, yaitu kualitas pembelajaran (quality of instruction), kesesuaian tingkat pembelajaran (appropriate level of instruction), insentif (incentive), dan waktu (time). Kualitas pembelajaran maksudnya adalah banyaknya informasi atau keterampilan yang disajikan sehingga peserta didik dapat mempelajarinya dengan mudah. Dengan kata lain, makin kecil tingkat kesalahan yang diperoleh makin efektiflah tingkat pembelajaran. Penentuan tingkat efektivitas pembelajaran tergantung pada pencapaian tujuan pembelajaran, biasanya disebut ketuntasan belajar. Dalam kurikulum 1994, ketuntasan belajar secara individual jika peserta didik sudah mencapai skor 65%, sedangkan ketuntasan klasikal jika paling sedikit 85% peserta didik di kelas tersebut telah tuntas belajar. Kesesuaian tingkat belajar, yaitu sejauh mana guru memastikan kesiapan peserta didik untuk mempelajari pengetahuan baru (peserta didik mempunyai
pengetahuan
dan
keterampilan
yang
berkaitan
dengan
pengetahuan baru tersebut). Insentif, yaitu seberapa besar seorang guru memotivasi peserta didik untuk mengerjakan tugas-tugas belajar. Semakin besar motivasi yang
30
diberikan guru kepada peserta didik maka keaktifan peserta didik semakin besar pula. Dengan demikian, pembelajaran akan efektif. Waktu, yaitu banyaknya waktu yang diberikan kepada peserta didik untuk mempelajari materi yang disajikan. Pembelajaran akan efektif apabila peserta didik dapat menyelesaikan pembelajaran sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Menurut Eggen dan Kauchak (1988: 1) pembelajaran akan efektif jika peserta didik secara aktif dilibatkan dalam pengorganisasian dan penemuan informasi (pengetahuan). Hasil pembelajaran ini tidak hanya meningkatkan pemahaman saja, melainkan meningkatkan keterampilan berpikir peserta didik. Menurut Susanto (1998: 26) tingkat efektivitas proses pembelajaran dalam meningkatkan pemahaman konsep difokuskan pada seberapa jauh proses itu dapat mengurangi miskonsepsi. Oleh karena itu, daya serap klasikal diidentikan dengan pengurangan miskonsepsi. Jika pada awal pembelajaran ada n relasi antara banyaknya peserta didik yang memahami konsep secara keliru dan pada akhir pembelajaran yang menggunakan proses pembelajaran konstruktivistik ada m buah relasi antara banyaknya peserta didik yang memahami konsep secara keliru (m < n), maka efektivitasnya adalah E = (1 −
m ) x100% . n
Berdasarkan pendapat di atas maka yang menjadi indikator keefektifan proses pembelajaran dalam penelitian ini berupa ketuntasan hasil belajar secara klasikal, pengurangan miskonsepsi, dan pertambahan hasil belajar.
31
Dalam ilmu administrasi pendidikan terdapat delapan dimensi administrasi yaitu : 1. Konteks sosoiologis dan budaya dalam manajemen pendidikan, 2. Proses belajar mengajar, 3. Ekonomi dan pembiayaan pendidikan, 4. Studi dan teori organisasi 5. Kepemimpinan dan manajemen 6. Pengembangan SDM pendidikan 7. Kebijakan dan politik dalam manajemen pendidikan 8. Legal dan etik dalam manajemen pendidikan Efektivitas proses pembelajaran berarti tingkat keberhasilan. Menurut Popham(2003:7) Efektivitas proses pembelajaran seharusnya ditinjau dari hubungan guru tertentu yang mengajar kelompok siswa tertentu, di dalam situasitertentu dalam usahanya mencapai tujuan-tujuan instruksionaltertentu. Efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan sejauh mana apa yang telah direncanakan dapat tercapai. Semakin banyak rencana yang dapat dicapai, semakin efektif pula kegiatan tersebut, sehingga kata efektivitas dapat pula diartikan sebagai tingkat keberhasilan. Dunne (1996:12) berpendapat bahwa Efektivitas proses pembelajaran memilikidua karakteristik. karakteristik pertama ialah ”memudahkan murid belajar” sesuatu yang ”bermanfaat”, seperti fakta keterampilan, nilai, konsep dan bagaimana hidup serasi dengan sama, atau sesuatu hasil belajar yang diinginkan. Karakteristik kedua, bahwa keterampilan diakui oleh mereka yang berkompeten menilai, seperti guru-guru, pelatih guru-guru, pengawas, tutor dan pemandu mata pelajaran atau murid-murid sendiri.
32
Selanjutnya konsep keefektifan pengajaran dikaitkan dengan peranan guru
sebagai
pengelola
proses
belajar-mengajar,
bertindak
selaku
fasilitator yang berusaha menciptakan kondisi belajar-mengajar yang efektif sehingga memungkinkan proses belajar-mengajar, mengembangkan bahan pelajaran dengan baik, dan meningkatkan kemampuan siswa untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai (Usman, 2000:21). Proses pembelajaran dapat dikatakan efektif menurut Wotruba dan Wright dapat menggunakan 7 indikator berikut. 1. Pengorganisasian materi yang baik 2. Komunikasi yang efektif 3. Penguasaan dan antusiasme terhadap materi pelajaran 4. Sikap positif terhadap siswa 5. Pemberian nilai yang adil 6. Keluwesan dalam pendekatan pembelajaran 7. Hasil belajar siswa yang baik Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Proses Pembelajaran Siswa antara lain: 1. Efektivitas proses pembelajaran ditinjau dari faktor siswa terdiri atas 2 bagian yaitu: a. Faktor internal siswa b. Faktor pendekatan belajar 2. Selain faktor internal yang mempengaruhi belajar efektif adalah keadaan fisik, tingkat kecerdasan, sikap, dan bakat.
33
3. Faktor pendekatan belajar merupakan kemampuan siswa dalam menerima dan mengelola belajarnya dan meminimalkan munculnya hambatan belajar seperti lupa dan kejenuhan. 4. Siswa perlu didorong untuk mampu mengorganisasikan belajarnya, karena pada dasarnya siswa: a. Memperbaiki kemampuan belajarnya sendiri melalui refleksi dan monitoring belajarnya b. Siswa mampu untuk dapat memilih, menyusun dan bahkan menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan c. Mampu secara aktif memilih bentuk dan materi pembelajaran yang sesuai. 5. Pengorganisasian belajar yang salah merupakan penyebab munculnya hambatan dalam belajar seperti lupa dan kejenuhan. 6. Usaha menciptakan pembelajaran yang efektif memerlukan kondisi yang menge-depankan keterlibatan dan keaktifan siswa dalam pembelajaran. Guru yang profesional perlu melakukan pembelajaran secara efektif. Efektivitas seorang guru dapat diamati dari bagaimana cara ia membelajarkan siswanya melalui kemampuan dalam 1. Menciptakan iklim belajar di kelas; 2. Strategi pengelolaan pembelajaran; 3. Memberikan umpan balik dan penguatan; 4. Meningkatkan kemampuan dirinya.
34
Guru dapat dikatakan mengajar efektif jika ia tidak hanya menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya, tetapi juga dapat menjalankan perannya sebagai pengolah pesan, organisator, motivator, mediator, moderator, fasilitator, administrator dan evaluator. Hasil belajar siswa yang baik Menurut Sudarwan (1996;23).” Apa yang dapat kita hasilkan dari pendidikan”. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Sampurna (dalam Sudarwan, 1993;8) yang menyatakan:”Bahwa pendidikan kita mulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi
belum mampu secara signifikan melahirkan insan yang mampu
berkreasi,
berinisiatif,
dan
memiliki
daya
adaptabilitas
yang
yang
dipersyaratkan oleh dunia kerja dan masyarakat pada umumnya dan peningkatan sumber daya manusia”. "Sementara itu makna pembelajaran merupakan suatu sistem yang tersusun dari unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi pencapaian
tujuan
pembelajaran."
(Taufik;2003:7.2). Di dalam proses belajar mengajar guru sebagai pengajar senantiasa mengharapkan agar anak didiknya dapat memperoleh hasil belajar yang sebaik-baiknya. Salah satu upaya untuk membantu keberhasilan belajar siswa dalam pembelajaran yang dapat dilakukan oleh seorang guru adalah dengan menggunakan metode pembelajaran. Ada dua istilah yang berkaitan dengan pembelajaran, salah satunya adalah pendidikan. Pendidikan menitikberatkan pada pembentukan dan pengembangan kepribadian dan dilaksanakan dalam lingkungan sekolah.
35
Dalam pengajaran, perumusan tujuan merupakan hal yang utama dan setiap proses pengajaran senantiasa diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sebagaimana yang dikemukakan Oemar Hamalik (dalam Mikarsa); 2003 : 72 “…Untuk itu proses pengajaran harus direncanakan agar dapat dikontrol sejauh mana tingkat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan tersebut, itu sebabnya, suatu sistem pengajaran selalu mengalami dan mengikuti tiga tahapan, yaitu: [1] tahap analisis untuk menentukan dan merumuskan tujuan; [2] tahap sintesis yaitu tahap perencanaan proses yang akan ditempuh, [3] tahap evaluasi untuk menilai tahap pertama dan kedua Pembelajaran juga berarti meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor (keterampilan siswa). Kemampuan–kemampuan tersebut dikembangkan bersama dengan perolehan pengalaman belajar sesuatu. Perolehan pengalaman–pengalaman tersebut merupakan suatu proses yang berlaku secara deduktif, induktif, atau proses yang lain. Dengan menghadapi sejumlah siswa, berbagai pesan yang terkandung dalam tahap ajar, peningkatan kemampuan siswa, dan proses perolehan pengalaman, maka setiap
guru
memerlukan
pengetahuan
tentang
pembelajaran.Menurut Dimyati dan Mujiono dalam
pendekatan
Mikarsa (2003:73)
mengemukakan: “Pendekatan pembelajaran pada hakekatnya merupakan kerangka acuan yang dianut seorang guru dalam praktek pembelajaran yang dilakukan melalui pengorganisasian siswa dan pengolahan pesan untuk mencapai sasaran belajar berupa peningkatan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor serta kepribadian siswa secara keseluruhan.” Dalam proses pembelajaran guru juga
menghadapi
bahan
pengetahuan yang berasal dari buku teks, kehidupan, sumber informasi lain,
36
atau kenyataan
di sekitar sekolah, ini menunjukkan
betapa pentingnya
keterampilan guru untuk mengolah pesan karena sebagaimana (Suciati, 2003). Proses belajar mengajar tidak bisa lepas
dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya yaitu tujuan, materi, metode, dan alat penilaian. Pendapat ini diperkuat oleh (E.Suriyat 2003:36). ‘…proses pembelajaran sebenarnya bukan hanya menekankan adanya keaktifan dan kreatifitas siswa, tetapi juga mengandung makna adanya guru yang aktif dan kreatif. Perpaduan dan keselarasan aktifitas dan kreativitas guru dengan aktifitas dan kreatifitas siswa tercermin dalam proses pembelajaran”.Tujuan ini yang pada dasarnya merupakan tingkah laku dan kemampuan yang harus dimiliki anak setelah penyelesaian pengalaman belajar tertentu. Sedangkan
Azyumardi Azra
(2005:66) berpendapat,” Sekolah pada hakekatnya bukanlah sekedar “transfer of knowledge” belaka. Sekolah juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai (value-orientedenterprise).” Menurut Fraenkel (dalam Azra) 2005:66, “Organisasi sebuah sistem sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral interprise), karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola perkembangannya.”
C. Manajemen Kelas 1. Konsep dan Ruang Lingkup Pendidikan Pendidikan
bagi
sebagian
besar
orang,
berarti
berusaha
membimbing anak untuk menyerupai orang dewasa, sebaliknya bagi Jean Piaget (1986) dalam Syaiful Sagala (2005: 1), pendidikan atau pedagogi
37
berarti menghasilkan, mencipta, sekalipun tidak banyak, sekalipun suatu penciptaan dibatasi oleh pembandingan dengan penciptaan yang lain. Lebih lanjut Piaget menjelaskan bahwa pendidikan sebagai penghubung dua sisi, di satu sisi individu yang sedang tumbuh dan di sisi lain nilai sosial, intelektual, dan moral yang menjadi tanggung jawab pendidik untuk mendorong individu tersebut. Individu berkembang sejak lahir dan terus berkembang, perkembangan ini bersifat kausal. Namun terdapat norma yang berfungsi sebagai penunjuk dalam menuntut nilai. Nilai ini adalah norma yang berfungsi sebagai penunjuk dalam mengidentifikasi apa yang diwajibkan, diperbolehkan, dan dilarang. Jadi, pendidikan adalah hubungan normatif antara individu dan nilai. Pandangan tersebut memberi makna bahwa pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Dalam arti sempit pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan umumnya di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Sedangkan para ahli psikologi memandang pendidikan adalah pengaruh orang dewasa terhadap anak yang belum dewasa agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubunganhubungan dan tugas-tugas sosialnya dalam bermasyarakat. Makna pendidikan secara sederhana juga dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau
38
berlangsung suatu proses pendidikan. Karena itulah sering dinyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia. Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia untuk melestarikan hidupnya. Istilah pendidikan menurut Carter V. Good dalam “Dictionary of Education” dalam Tim Dosen FIP-IKIP Malang dijelaskan bahwa pedagogy is: (1) the art, pratice, or profession of teaching, (2) the systematized learning or instruction concerning principles and methods of teaching and of student control and guidance; largely by the term education. Konsep pendidikan di atas mengangkat derajat manusia sebagai mahluk yang diberkati kemampuan untuk menciptakan nilai kebudayaan, dan fungsi budaya dari pendidikan adalah kegiatan melantarkan nilai-nilai kebudayaan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Pendidikan sebagai proses adalah suatu kegiatan memperoleh dan menyampaikan pengetahuan tentang kebudayaan, sebagai pengetahuan adalah rumpun informasi-informasi kebudayaan dengan segala segi dan aspeknya. Konsep dan hakekat pendidikan relatif ditentukan oleh konsep tentang sifat hakekat manusia, yang dalam rumusannya ada empat aspek, yaitu : kekuatan, bakat, kemampuan dan minat kepentingannya. Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan. Dengan tugas profesional dan didukung oleh kompetensi menjelaskan kelas, guru berfungsi membantu orang lain (peserta didik) untuk belajar dan berkembang; membantu perkembangan intelektual, personal dan social
39
warga masyarakat yang memasuki sekolah (Cooper, 1982: 2). Guru harus memperhatikan dan memahami suasana kelas dan menangani kelas secara sejuk, tidak meledak-ledak (Silberman, 1970), karena “language of acceplance is so powerful” (Gordon, 1974: 55). Sikap guru sangat berpengaruh terhadap tingkah laku dan kegiatan belajar siswa (Smith, 1978). Suasana kelas harus dibuat menjadi demokratis dengan pola hubungan “Saya oke, kamu juga oke” (Beechhold, 1971) dalam (Prayitno, 2005: 7).
2. Mengajar dan Manajemen Kelas Kgiatan guru di dalam kelas meliputi dua hal pokok yaitu kegiatan mengajar dan kegiatan manajerial (Depdikbud, 1983: 9; M. Entang dan T. Raka Joni, 1983). Kegiatan mengajar dimaksudkan secara langsung menggiatkan peserta didik mencapai tujuan-tujuan pelajaran. Kegiatan mengajar antara lain seperti menelaah kebutuhan peserta didik, menyusun rencana pelajaran, menyajikan bahan, mengajukan pertanyaan, menilai kemajuan siswa. Kegiatan manajerial kelas bermaksud menciptakan dan mempertahankan suasana kelas agar kegiatan mengajar dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Kegiatan manajerial antara lain seperti mengembangkan hubungan yang baik antara guru dan peserta didik, memberi ganjaran dengan segera, mengembangkan aturan permainan dalam kegiatan kelompok, penghentian tingkah laku peserta didik yang menyimpang atau tidak sesuai dengan tata tertib. Dengan demikian, dalam
40
proses belajar mengajar di sekolah dapat dibedakan adanya dua kelompok masalah yaitu masalah pengajaran dan masalah manajemen kelas. Masalah manajemen kelas harus ditanggulangi dengan tindakan korektif, sedangkan masalah pengajaran harus ditanggulangi dengan tindakan pembelajaran. Pak Kusno guru bidang studi PPKn, misalnya mengajar dengan menggunakan pendekatan strategi yang menarik, mengembangkan variasi metode, dan multi media agar siswa yang enggan mengambil bagian dalam diskusi kelompok tertarik, aktif, dan rajin. Pemecahan masalah yang dilakukan Pak Kusno sudah barang tentu tidak tepat, sebab membuat pelajaran lebih menarik adalah masalah pengajaran, sedangkan peserta didik enggan mengambil bagian di dalam kegiatan kelompok merupakan masalah manajemen kelas. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa penarikan diri peserta didik akan menghalangi tercapainya tujuan khusus pengajaran yang hendak dicapai melalui kegiatan kelompok yang dimaksud. Sebaliknya, hubungan antar pribadi (interpersonal) yang baik antara guru dan siswa, antara siswa dan siswa (suatu petunjuk keberhasilan manajemen kelas) tidak dengan sendirinya menjamin proses belajar mengajar akan menjadi efektif. Berkaitan dengan hal tersebut maka manajemen kelas merupakan prasyarat mutlak bagi terjadinya proses belajar mengajar yang efektif (M. Entang dan T. Raka Joni, 1983). Walaupun istilah mengajar (teaching) dan pengajaran (instruction) sering digunakan searti, adalah sangat berguna apabila memandang
41
mengajar sebagai sesuatu yang memiliki dua dimensi yang saling berhubungan: pengajaran dan manajemen. Pengajaran dan manajemen dapat dibedakan, tetapi dalam pelaksanaan pembelajaran keduanya sulit dipisahkan. Manajemen bermaksud menegakkan dan memelihara perilaku siswa menuju pembelajaran yang efektif dan efisien memudahkan pencapaian tujuan manajerial. Pengajaran dan manajemen keduanya bertujuan menyiapkan atau memproses yaitu memproses atau menyiapkan perilaku-perilaku guru yang diharapkan memberi kemudahan kepada pencapaian tujuan tertentu (Webe, 1993: 1).
Pengajaran
Keberhasilan Siswa
Manajemen Gambar 2.1 Keterkaitan antara Manajemen dan Keberhasilan Siswa
Di bawah ini, adalah gambaran proses pengajaran dan proses manajerial yang masing-masing meliputi empat proses. Tabel 2.1 Gambaran Proses Pengajaran dan Proses Manajerial Proses Pengajaran a. Mengidentifikasi tujuan pengajaran b. Mendiagnose keberhasilan siswa
a.
Proses Manajerial Menetapkan tujuan manajerial
b.
Menganalisis kondisi yang ada
42
c. Merencanakan dan menerapkan aktivitas pengajaran d. Mengevaluasi keberhasilan siswa
c. d.
Memilih dan menerapkan strategi manajerial Menilai efektifitas manajerial
3. Pengertian dan Tujuan Manajemen Kelas Manajemen dari kata “management”, diterjemahkan pula menjadi pengelolaan, berarti proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai
sasaran.
Sedangkan
pengelolaan
adalah
proses
yang
memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan (Depdikbud, 1989). Kelas (dalam arti umum) menunjuk kepada pengertian sekelompok siswa yang ada pada waktu yang sama menerima pelajaran yang sama dari guru yang sama pula. Dengan demikian, maksud manajemen kelas adalah mengacu kepada penciptaan suasana atau kondisi kelas yang memungkinkan siswa dalam kelas tersebut dapat belajar dengan efektif. Terdapat beberapa definisi tentang manajemen kelas berikut ini : a. Berdasar konsepsi lama dan modern Menurut konsepsi lama, manajemen kelas diartikan sebagai upaya mempertahankan ketertiban kelas. Menurut konsepsi modern manajemen kelas adalah proses seleksi yang menggunakan alat yang tepat terhadap problem dan situasi manajemen kelas. Guru menurut konsepsi lama bertugas menciptakan, memperbaiki, dan memelihara sistem/organisasi kelas sehingga individu dapat memanfaatkan kemampuannya, bakatnya, dan energinya pada tugas-tugas individual (Lois V. Johnson dan Mary Bany, 1970).
43
b. Berdasar pandangan pendekatan operasional tertentu (disarikan dari Wilford A. Weber, 1986) : 1) Seperangkat
kegiatan
guru
untuk
menciptakan
dan
mempertahankan ketertiban suasana kelas melalui penggunaan disiplin (pendekatan otoriter). 2) Seperangkat
kegiatan
guru
untuk
menciptakan
dan
mempertahankan ketertiban suasana kelas melalui intimidasi (pendekatan intimidasi). 3) Seperangkat kegiatan guru untuk memaksimalkan kebebasan siswa (pendekatan permisif). 4) Seperangkat kegiatan guru menciptakan suasana kelas dengan cara mengikuti petunjuk/resep yang telah disajikan (pendekatan buku masak). 5) Seperangkat kegiatan guru untuk menciptakan suasana kelas yang efektif melalui perencanaan pembelajaran yang bermutu dan dilaksanakan dengan baik (pendekatan instruksional). 6) Seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan tingkah laku peserta didik yang diinginkan dengan mengurangi tingkah laku yang tidak diinginkan (pendekatan pengubahan perilaku). 7) Seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang baik dan iklim sosio-emosional kelas yang positif (pendekatan penciptaan iklim sosio-emosional).
44
8) Seperangkat
kegiatan
guru
untuk
menumbuhkan
dan
mempertahankan organisasi kelas yang efektif (pendekatan sistem sosial). Pengertian lain dari manajemen kelas adalah segala usaha yang diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar mengajar yang efektif dan menyenangkan serta dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik sesuai
dengan
kemampuan.
Dengan
demikian
manajemen
kelas
merupakan usaha sadar, untuk mengatur kegiatan proses belajar mengajar secara sistematis. Usaha sadar itu mengarah pada penyiapan bahan belajar, penyiapan sarana dan alat peraga, pengaturan ruang belajar, mewujudkan situasi/kondisi proses belajar mengajar dan pengaturan waktu sehingga pembelajaran berjalan dengan baik dan tujuan kurikuler dapat tercapai (Dirjen PUOD dan Dirjen Dikdasmen, 1996). Sedangkan tujuan manajemen kelas adalah : a. Mewujudkan situasi dan kondisi kelas, baik sebagai lingkungan belajar maupun sebagai kelompok belajar, yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan semaksimal mungkin. b. Menghilangkan
berbagai
hambatan
yang
dapat
menghalangi
terwujudnya interaksi pembelajaran. c. Menyediakan dan mengatur fasilitas serta perabot belajar yang mendukung dan memungkinkan siswa belajar sesuai dengan lingkungan sosial, emosional dan intelektual siswa dalam kelas.
45
d. Membina dan membimbing siswa sesuai dengan latar belakang sosial, ekonomi, budaya serta sifat-sifat individunya (Dirjen PUOD dan Dirjen Dikdasmen, 1996: 2)
4. Aspek, Fungsi dan Masalah Manajemen Kelas Tugas guru seperti mengontrol, mengatur dan mendisiplinkan peserta didik adalah tindakan guru yang sudah tidak tepat lagi. Dewasa ini aktivitas guru yang terpenting adalah memanajemeni, mengorganisir, dan mengkoordinasikan usaha atau aktivitas peserta didik menuju tujuan pembelajaran. Memanajemeni kelas merupakan keterampilan yang harus dimiliki guru dalam memutuskan, memahami, mendiagnosis, dan kemampuan bertindak menuju perbaikan suasana kelas terhadap aspek-aspek manajemen kelas. Adapun aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam manajemen kelas adalah sifat kelas, pendorong kekuatan kelas, situasi kelas, tindakan selektif dan kreatif (Lois V. Johnson dan Mary A. Bany, 1970). Kegiatan-kegiatan yang perlu dilaksanakan dalam manajemen kelas sebagai aspek-aspek manajemen kelas, seperti tertuang dalam Petunjuk Pengelolaan Kelas di Sekolah Dasar adalah berikut ini : a. Mengecek kehadiran siswa, b. Mengumpulkan hasil pekerjaan siswa, memeriksa dan menilai hasil pekerjaan tersebut, c. Pendistribusian bahan dan alat,
46
d. Mengumpulkan informasi dari siswa, e. Mencatat data, f. Pemeliharaan arsip, g. Menyampaikan materi pelajaran, h. Memberikan tugas/PR Sementara itu hal-hal yang perlu diperhatikan para guru, khususnya baru dalam pertemuan pertama dengan siswa di kelas adalah : a. Ketika bertemu dengan siswa, guru harus : 1) Bersikap tenang dan percaya diri, 2) Tidak menunjukkan rasa cemas, muka masam, atau sikap tidak simpatik. 3) Memberikan salam lalu memperkenalkan diri, 4) Memberikan format isian tentang data pribadi siswa atau guru menyuruh siswa menulis riwayat hidupnya secara singkat. b. Guru memberikan tugas kepada siswa dengan tertib dan lancar. c. Mengatur tempat duduk siswa secara tertib dan teratur. d. Menentukan tata cara berbicara dan tanya jawab. e. Membuat denah kelas (tempat duduk siswa). f. Bertindak disiplin baik terhadap siswa maupun terhadap diri sendiri (Dirjen PUOD dan Dirjen Dikdasmen, 1996: 13). Konsep dasar yang perlu dicermati dalam manajemen kelas adalah penempatan individu, kelompok, sekolah, dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Di samping sifat kelas peranan dan motif individu
47
dalam kelompok, sifat-sifat kelompok, penyesuaian yang terjadi dalam perilaku kolektif, dan pandangan guru dalam mengajar. Manajemen kelas, selain memberi makna penting bagi tercipta dan terpeliharanya kondisi kelas yang optimal, manajemen kelas berfungsi: (1) memberi dan melengkapi fasilitas untuk segala macam tugas seperti: membantu kelompok dalam pembagian tugas, membantu pembentukan kelompok, membantu kerjasama dalam menemukan tujuan-tujuan organisasi, membantu individu agar dapat bekerja sama dengan kelompok atau kelas, membantu prosedur kerja, merubah kondisi kelas, 2) memelihara agar tugas-tugas itu dapat berjalan lancar. a. Perencanaan Perencanaan dapat dipandang sebagai suatu proses penentuan penyusunan rencana dan program-program kegiatan yang akan dilakukan pada masa yang akan datang secara terpadu dan sistematis berdasarkan landasan, prinsip-prinsip dasar dan data atau informasi yang terkait serta menggunakan sumber-sumber daya lainnya (misal dana, sarana dan prasarana, prosedur, metode dan teknik) dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian produk perencanaan adalah rencana atau program yang berorientasi ke masa depan. Program seyogianya disusun secara lebih spesifik dan operasional. Rencana tersebut hendaknya memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
48
1) Rencana harus jelas Kejelasan ini harus terlihat pada tujuan dan sasaran atau target yang hendak dicapai, jenis dan bentuk tindakan atau kegiatan yang akan dilaksanakan, siapa pelaksananya, prosedur, metode dan teknik pelaksanaannya, bahan dan peralatan yang diperlukan, waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan. 2) Rencana harus realistis Hal ini mengandung arti bahwa : a) Rumusan tujuan, target atau sasaran harus mengandung harapan-harapan yang memungkinkan dapat dicapai, baik yang menyangkut aspek kuantitatif maupun aspek kualitatifnya. Untuk itu harapan-harapan tersebut harus disusun berdasarkan kondisi-kondisi dan kemampuan yang dimiliki oleh sumber daya yang ada. b) Jenis dan bentuk kegiatannya harus relevan dengan tujuan dan target atau sasaran yang harus dicapai. c) Prosedur, metode, dan teknik pelaksanaannya harus relevan dengan tujuan dan target atau sasaran yang hendak dicapai serta harus memungkinkan kegiatan-kegiatan yang telah dipilih dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. d) Sumber daya manusia yang akan melaksanakan kegiatankegiatan tersebut harus memiliki kemampuan-kemampuan dan motivasi serta aspek-aspek pribadi lainnya yang menjamin atau
49
memungkinkan terlaksananya tugas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya. e) Rencana penggunaan sarana, prasarana, dan dana harus sesuai dengan tujuan, target atau sasaran yang hendak dicapai serta memungkinkan terlaksananya kegiatan-kegiatan secara efektif dan efisien. f) Jadwal kegiatan pelaksanaannya harus memungkinkan kegiatan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien serta sesuai dengan batas waktu yang telah direncanakan. 3) Rencana harus terpadu a) Rencana harus memperlihatkan unsur-unsurnya baik yang bersifat
insani
maupun
non-insani
sebagai
komponen-
komponen yang bergantung satu sama lain, berinteraksi dan bergerak bersama secara sinkron ke arah tercapainya tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya. b) Rencana harus memiliki tata urut yang teratur dan disusun berdasarkan skala prioritas. b. Pengorganisasian Pengorganisasian adalah suatu proses yang menyangkut perumusan dan rincian pekerjaan dan tugas serta kegiatan yang berdasarkan struktur organisasi formal kepada orang-orang yang memiliki kesanggupan dan kemampuan melaksanakannya, sebagai persyaratan bagi terciptanya kerjasama yang harmonis dan optimal ke arah tercapainya tujuan secara efektif dan efisien.
50
Pengorganisasian ini meliputi langkah-langkah antara lain : 1) Mengidentifikasi tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. 2) Mengkaji kembali pekerjaan yang telah direncanakan dan merincinya menjadi sejumlah tugas dan menjabarkannya menjadi sejumlah kegiatan. 3) Menentukan personil yang memiliki kesanggupan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas dan kegiatan-kegiatan. 4) Memberikan informasi yang jelas kepada guru tentang tugas dan kegiatan yang harus dilaksanakannya, mengenai waktu dan tempatnya, serta hubungan kerja dengan guru atau pihak lain yang terkait. 5) Mengupayakan sarana dan prasarana serta dana yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas-tugas dan kegiatan-kegiatan tersebut. c. Menggerakkan Fungsi
ini
menyangkut
upaya
kepala
sekolah
untuk
memberikan pengaruh-pengaruh yang dapat menyebabkan guru tergerak untuk melaksanakan tugas dan kegiatannya secara bersamasama dalam rangka tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Fungsi ini perlu dilakukan oleh seorang kepala sekolah, karena: 1) Adanya kenyataan bahwa seseorang akan melakukan sesuatu pekerjaan, tugas atau kegiatan apabila ia terdorong untuk memenuhi sesuatu kebutuhan.
51
2) Sesudah perencanaan dan pengorganisasian dilakukan harus ditindaklanjutkan dengan pelaksanaan tugas. Fungsi ini perlu dilakukan sepanjang proses pelaksanaan pekerjaan dengan memperhatikan ragam dan tingkat kebutuhan seseorang. Dalam rangka melaksanakan fungsi ini ada beberapa teknik motivasi yang dapat digunakan oleh kepala sekolah, antara lain : 1) Pemberian pujian dan penghargaan 2) Pemberian kepercayaan untuk melaksanakan suatu pekerjaan, tugas atau kegiatan 3) Pemberian peluang atau kesempatan untuk melakukan tindakantindakan yang bersifat kreatif inovatif 4) Pemberian insentif atau imbalan 5) Menciptakan iklim kerja yang harmonis dan menyenangkan 6) Memberikan teladan yang baik 7) Memberikan petunjuk atau nasihat 8) Memberikan teguran atau sanksi, 9) Menyediakan peralatan dan bahan yang sesuai dengan tugas dan kegiatan serta sesuai dengan kondisi sekolah 10) Memberikan layanan yang layak untuk keperluan kenaikan pangkat atau promosi, dan sebagainya 11) Memberikan hasil pekerjaan atau kegiatan kepada guru yang bersangkutan sebagai umpan balik 12) Memberikan kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para guru
52
d. Memberikan arahan Fungsi
ini
menyangkut
upaya
kepala
sekolah
untuk
memberikan informasi, petunjuk, serta bimbingan kepada guru yang diipimpinnya agar terhindar dari penyimpangan, kesulitan atau kegagalan dalam melaksanakan tugas. Fungsi ini berlaku sepanjang proses pelaksanaan program kegiatan. Pelaksanaan fungsi ini dapat berupa kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1) Memberikan penjelasan atau petunjuk-petunjuk tentang tugas dan kegiatan yang harus dilaksanakan oleh guru. 2) Memberikan penjelasan atau petunjuk secara garis besar tentang cara-cara
melaksanakan
tugas
atau
kegiatan
yang
harus
dilaksanakan oleh setiap guru. 3) Memberikan gambaran yang jelas tentang cara-cara kerja yang dapat menghindarkan guru dari penyimpangan, kesulitan atau kegagalan. 4) Membangkitkan dan membina rasa tanggung jawab moral pada diri setiap guru yang dipimpinnya atas keberhasilan pekerjaan, tugas dan kegiatan yang harus dilaksanakannya. 5) Memberikan perhatian, peringatan serta bimbingan pada saat-saat tertentu terutama ketika guru yang bersangkutan sedang mengalami kesulitan atau masalah dalam pelaksanaan tugasnya.
53
e. Pengkoordinasian Fungsi
ini
menyangkut
upaya
kepala
sekolah
untuk
menyelaraskan gerak langkah dan memelihara prinsip taat asas (konsistensi) pada setiap dan seluruh guru dalam melaksanakan seluruh tugas dan kegiatannya agar dapat mencapai tujuan dan sasaran yang telah direncanakan. Hal ini dilakukan kepala sekolah melalui pembinaan kerja sama antar guru dan antara guru dengan pihak-pihak luar yang terkait. Di samping itu penyelarasan dan ketaatan pada asas diupayakan agar antar fungsi manajemen yang satu dengan yang lain seluruhnya berorientasi pada tercapainya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. f. Pengendalian Fungsi ini mencakup upaya kepala sekolah untuk : 1) Mengamati seluruh aspek dan unsur persiapan dan pelaksanaan program-program kegiatan yang telah direncanakan. 2) Menilai seberapa jauh kegiatan-kegiatan yang ada dapat mencapai sasaran-sasaran dan tujuan. 3) Mengidentifikasi permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan kegiatan beserta faktor-faktor penyebabnya. 4) Mencari dan menyarankan/menentukan cara-cara pemecahan masalah-masalah tersebut.
54
5) Mengujicobakan/menerapkan cara pemecahan masalah yang telah dipilih guna menghilangkan atau mengurangi kesenjangan antara harapan dan kenyataan tersebut. Dengan demikian, dalam melaksanakan fungsi ini seorang kepala
sekolah
dapat
menggunakan
sekurang-kurangnya
tiga
pendekatan, yaitu : 1) Pengendalian yang bersifat pencegahan 2) Pengendalian langsung 3) Pengendalian yang bersifat perbaikan
1) Pengendalian pencegahan dilaksanakan kepala sekolah dengan menitikberatkan pada usaha-usaha : a) Melakukan perencanaan yang matang b) Pengorganisasian yang tepat c) Pemberian dorongan yang tepat d) Pemberian pengarahan yang jelas dan terarah e) Menciptakan iklim kerja yang sejuk f) Pengkoordinasian yang tepat dan harmonis
2) Pengendalian langsung dapat dititikberatkan pada usaha-usaha kepala sekolah untuk : a) Mengadakan pengamatan yang cermat dan terencana secara sistematis pada setiap tahap dalam proses pelaksanaan program.
55
b) Mengsupervisi pelaksanaan program atau kegiatan yang dilakukan oleh guru. c) Memberikan
bantuan
atau
bimbingan
segera
kepada
guru/personil yang memerlukannya. d) Membina disiplin guru secara berkesinambungan.
3) Pengendalian yang bersifat perbaikan dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi dan analisis. Dengan demikian perbaikan ini dilakukan setelah sesuatu tugas atau kegiatan selesai dilaksanakan.
D. Kontribusi Motivasi Belajar Siswa 1. Konsep Motivasi Istilah motivasi berasal dari bahasa Latin “movere” yang berarti “menggerakkan”. Berdasarkan pengertian ini makna motivasi menjadi berkembang. Wlodkowski dalam Suciati (1996) menjelaskan motivasi sebagai suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan perilaku tertentu, dan yang memberi arah dan ketahanan (persistence) pada tingkah laku tersebut. Sardiman (1990) sendiri beranggapan bahwa motivasi berawal dari kata ‘motif’ yang diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, dan daya upaya yang sudah menjadi aktif disebut motivasi. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak. Menurut McDonald yang dikutip Soemanto (1998) mengatakan motivasi sebagai
56
suatu perubahan tenaga di dalam diri seseorang yang ditandai oleh dorongan-dorongan afektif dan reaksi-reaksi dalam usaha mencapai tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan Mc Donald ini mengandung tiga elemen penting yaitu : a) motivasi dimulai dengan suatu perubahan energi dalam diri seseorang. b) Motivasi ditandai oleh dorongan afektif. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia. c) Motivasi ditandai oleh reaksi-reaksi mencapai tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respon dari suatu aksi, yakni tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena dirangsang/didorong oleh adanya unsur lain dalam hal ini adalah tujuan. Pendapat Morgan dalam Winataputra (1996) motivasi dapat didefinisikan sebagai tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkahlaku ke arah suatu tujuan tertentu. Dalam buku yang sama Winataputra mengutip pendapat Worell dan Stilwell yang mengatakan bahwa adanya motivasi dapat disimpulkan dari observasi tingkah laku. Apabila mahasiswa mempunyai motivasi positif maka ia akan : 1) Memperlihat minat, mempunyai perhatian, dan ingin ikut serta; 2) Bekerja keras, serta memberikan waktu kepada usaha tersebut, dan 3) terus bekerja sampai tugas terselesaikan. Seperti halnya rumusan Houston (1985) tentang motivasi, bahwa motivasi merupakan faktor yang menjadikan perilaku untuk bekerja dengan penuh inisiatif, terarah, intensif dan gigih.
57
Dalam bekerja, motivasi tercermin melalui ketekunan yang tidak mudah patah untuk mencapai sukses, meskipun dihadang banyak kesulitan. Motivasi juga ditunjukkan melalui intensitas unjuk kerja dalam melakukan tugas. Dan semua itu dilakukan karena seseorang/guru memiliki kebutuhan untuk sukses dalam pekerjaannya. Maslow dalam Siagian (1995) menguraikan kebutuhan manusia yang bermacam-macam dan tak terhingga banyaknya. Begitu kebutuhan yang satu dipenuhi, timbullah kebutuhan yang lain. Namun demikian kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan dalam lima hirarkhi kebutuhan, yakni kelompok kebutuhan yang disusun berdasarkan urutan mendesaknya untuk dipenuhi. Kelima hirarkhi kebutuhan tersebut ialah: (1) kebutuhan fisiologis, (2) kebutuhan rasa aman, (3) kebutuhan kasih sayang, (4) kebutuhan penghargaan dan (5) kebutuhan realisasi
diri. Kelima
kebutuhan yang tersusun secara hirarkhi itu mengartikan bahwa sebelum kebutuhan kesatu terpenuhi maka kebutuhan-kebutuhan yang ada di atasnya belum menjadi kebutuhan yang utama. Moully (1973), mengelompokkan kebutuhan-kebutuhan yang dapat memotivasi manusia atas dua kelompok besar, yakni kebutuhan fisiologis dan kebutuhan psikologis. Kebutuhan fisiologis diantaranya adalah: kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, rasa aman dan lain sebagainya. Kebutuhan psikologis terdiri dari kebutuhan kasih sayang, penghargaan dan realisasi diri. Lain halnya pendapat Herzberg dalam (Houston, 1985) yang mengatakan ada dua jenis kebutuhan yang dimiliki
58
manusia yaitu kebutuhan animalistik serta kebutuhan tumbuh dan berkembang. Kebutuhan animalistik adalah kebutuhan manusia untuk menghindari diri Dari rasa tidak nyaman atau sakit. Dasar kebutuhan ini biasanya dihubung-hubungkan dengan faktor-faktor yang berkenaan dengan aspek pekerjaan seperti penghargaan, gaji, kondisi kerja, kebijaksanaan dalam pekerjaan, supervisi dan sebagainya. Menurut Crider, dkk (1983), kebutuhan berprestasi adalah salah satu diantara kebutuhankebutuhan hidup manusia. Konsep motivasi berprestasi mula-mula dikemukakan oleh Henry Murray pada tahun 1938 dalam bukunya Explorations in Personality. Beliau membagi kebutuhan-kebutuhan manusia ke dalam 17 katagori, diantaranya adalah kebutuhan untuk berprestasi. Pada tahun 1940-an David McClelland dan Jhon Attkinson, mempelajari motivasi berprestasi untuk keperluan yang lebih luas. (Irwanto dkk, 1989) McClelland dalam Djaali (2000) mengungkapkan bahwa motivasi berprestasi merupakan suatu motivasi yang berhubungan dengan pencapaian
beberapa
standar
keahlian.
Sementara
Heckhausen
mengemukakan bahwa motivasi berprestasi adalah suatu dorongan yang terdapat dalam diri seseorang sehingga ia selalu berusaha atau berjuang untuk meningkatkan atau memelihara kemampuannya setinggi mungkin dalam semua aktivitas dengan menggunakan standar keunggulan. Standar keunggulan ini, menurut Heckhausen terbagi atas tiga komponen yaitu standar keunggulan tugas, standar keunggulan diri, dan standar keunggulan lain.
59
Dalam Winataputra (1996) McClelland mengatakan seseorang mempunyai motivasi untuk bekerja karena adanya kebutuhan untuk berprestasi. Motivasi di sini merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu: (1) harapan untuk melakukan tugas dengan berhasil, (2) persepsi tentang nilai tugas tersebut, dan (3) kebutuhan untuk keberhasilan atau sukses. Filley, House, dan Kerr (1976). mengatakan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi pada umumnya memiliki rasa percaya diri akan kemampuannya, bertanggung jawab terhadap tugasnya, menyukai tugas-tugas yang menantang, berorientasi ke depan dan gigih dalam bekerja. Dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki motivasi berprestasi, merasakan kepuasan yang lebih besar bila berhasil dalam kerjanya dan mengalami kekecewaan yang lebih mendalam bila mengalami kegagalan. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Hersey dan Blanchard (1992), bahwa orang yang memiliki motivasi berprestasi lebih menyenangi keberhasilan yang dicapai atas usaha sendiri daripada memperoleh karena keberuntungan, dan lebih mementingkan karya daripada imbalan, serta selalu ingin mendapatkan umpan balik tentang apa yang telah dicapainya. Motivasi berprestasi pada hakekatnya adalah kondisi internal seseorang yang mendorongnya untuk mencapai sebuah prestasi atau keberhasilan. Motivasi berprestasi menunjukkan adanya inisiatif, arah tindakan, intensitas, dan ketekunan perilaku yang berarah-bertujuan kepada pencapaian keberhasilan. Dari uraian di atas diduga bahwa kuatnya
60
motivasi seseorang untuk berprestasi tergantung pada pandangan atau keyakinan yang terdapat dalam dirinya bahwa ia akan dapat mencapai apa yang akan diusahakan untuk dicapai. Karena itu selayaknya Kepala Sekolah perlu dan harus mengetahui sejauh mana kebutuhan gurunya untuk berprestasi. Dengan demikian mereka akan dapat memanipulasi motivasi, atau memberikan tugas-tugas yang sesuai untuk masing-masing guru. Definisi/konsep yang dapat disarikan dari kedua chapter tersebut di atas yakni motivasi adalah hasrat yang muncul dari dalam diri seseorang untuk mencapai tujuan atau suatu kebutuhan yang datang dari dalam yang dapat dilihat dari tingkah lakunya. Motivasi amat sangat berpengaruh terhadap produktivitas, yaitu output yang bisa dihasilkan oleh seseorang dalam suatu periode waktu tertentu. Produktivitas =
keluaran masukan
Motivasi yang kuat akan menimbulkan produktivitas yang tinggi. Produktivitas bertalian erat dengan efektivitas dan efisiensi. Terdapat 6 tujuan mengetahui motivasi, yaitu : a. Produktivitas meningkat b. Tumbuh kemauan untuk melakukan kegiatan c. Ada dukungan dari bawahan d. Efektivitas meningkat e. Bawahan tahu akan tujuan dari yang dilakukan f. Mencapai tujuan yang diinginkan
61
2. Teori Motivasi Dalam paparan yang praktis, Luthans dan Sweeney maupun Mc. Farlin Menyampaikan kiat bagaimana mengoptimalkan daya juang untuk menuju kesuksesan besar. Hal tersebut dapat dijelaskan dalam langkah sebagai berikut : a. Falsafah Orang Sukses 1) Bekerja “tanpa jika, tanpa tetapi, tanpa seandainya” 2) Berikan dulu yang terbaik, nanti akan ada hasilnya. Jangan banyak menuntut. 3) Ingat waktu “waktu adalah satu-satunya modal yang sama dimiliki setiap orang, maka bergantung pada pemanfaatannya” 4) Sadar
bahwa
persaingan
bisnis
sangat
keras
layaknya
“pertempuran” b. Orang yang Motif Prestasinya Tinggi Tingkah lakunya : 1) Mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatan-perbuatanya. 2) Mencari umpan balik (pandangan) orang lain tentang perbuatanperbuatannya. 3) Memilih resiko yang moderat atau sedang di dalam perbuatannya atau berbuat sesuatu yang ada tantangannya tetapi dapat dicapai secara nyata. 4) Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru atau kreatif.
62
Khayalannya : 1) Melaukan sesuatu lebih baik dari orang lain. 2) Mencapai atau melebihi ukuran keberasihan yang dietapkan sendiri. 3) Hasil kerjanya luar biasa dan khas 4) Mengaitkan atau melibatkan diri pada kair masa depan. c. Orang yang Motif kekuasaannya Tinggi Tingkah lakunya : 1) Sangat aktif dalam menentukan arah kegiatan dari oganisas dimana dia berada. 2) Peka terhadap struktur pengaruh antar pribadi dari kelompok atau organisasi. 3) Menjadi anggota suatu perkumpulan yang bisa mencerminkan prestasi. 4) Berusaha menolong orang lain mapun petolongan itu tidak diminta. Khayalannya : 1) Melakukan perbuatan yang dapat menunjukkan kekuasaannya. 2) Melakukan
sesuatu
perbuatan
yang
dapat
mengakibatkan
timbulnya suatu perasaan sangat positif atau negative pada diri orang lain. 3) Menaruh perhatian atau kecemasan terhadap bagaimana pandangan orang lain pada nama baik atau kedudukannya.
63
d. Orang yang Motif Persahabatannya Tinggi Tingkah lakunya : 1) Lebih suku bermain orang lain daripada sendiri. 2) Sering berhubungan dengan orang lain, termasuk bercakap-cakap lewat telepon, berkunjung. 3) Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaannya daripada segi tugas-tugas yang ada pada pekerjaan tersebut. 4) Mencari persetujuan atau kesepakatan dari orang lain dalam mengambil keputusan. 5) Melakukan kegiatan lebih efektif apabila bekerjasama dengan orang lain dalam suasana kooperatif. Khayalannya : 1) Sangat memperhatikan apabila ia disukai atau diterima oleh orang lain dan adanya persahabatan. 2) Menyukai persahabatan dan cemas terhadap putusnya hubungan pribadi yang baik. 3) Melukiskan kejadian dan tempat kejadian sebagai suatu situasi sosial. e. Saran untuk Meningkatkan Motif Berprestasi Melalui latihan berpikir: 1) Tulislah cerita khayal tentang diri anda dan bayangkan itu terjadi. 2) Kenanglah kehidupan lalu, carilah dimana motif berprestasi telah menolong anda.
64
3) Bayangkan tingkah laku anda dalam meraih prestasi tinggi. 4) Pikirkan cara mengukur prestasi diri anda setiap hari. Melalui latihan tingkah laku: 1) Tetapkan sasaran jangka pendek dan rencanakan cara pencapaian dalam kegiatan sehari-hari (rencana harian) 2) Mintalah umpan balik (pandangan) dari orang lain 3) Tetapkanlah sasaran untuk semua kegiatan anda 4) Mintalah bantuan orang lain untuk ikut merencanakan tindakan anda 5) Lakukan olah raga yang bermotif prestasi. f. Saran untuk Meningkatkan Motif Berkuasa Melalui latihan berpikir: 1) Bayangkan situasi dimana anda berperan sebagai orang paling berkuasa. 2) Bayangkan seandainya anda menjadi pemenang 3) Jadikanlah pemenang sebagai gaya hidup anda 4) Tetapkan prioritas tujuan hidup anda dan kerjakan cara pencapaiannya. Melalui latihan tingkah laku: 1) Melakukan tindakan kecil sehari-hari untuk dapat mempengaruhi orang lain. 2) Berpakaian yang unik menarik perhatian orang lain 3) Melakukan banyak gurau dan melucu (untuk mencari perhatian) 4) Bantulah orang lain walaupun tidak diminta
65
5) Dengarkan keinginan orang lain dan bantulah mereka 6) Ambilah peranan ketua pada setiap kesempatan g. Saran untuk Meningkatkan Motif Bersahabat Melalui latihan berpikir: 1) Kenanglah kehidupan masa lalu anda carilah situasi dimana kehadiran anda diterima oleh semua pihak. 2) Tanyakan kepada diri anda bagaimana pendapat orang terhadap tingkah laku anda. 3) Bayangkan bagaimana anda harus bersikap sebagai tuan rumah dalam situasi pesta. Melalui tingkah laku: 1) Luangkah waktu anda lebih banyak untuk orang lain, terutama keluarga. 2) Targetkan hubungan erat dengan orang lain yang anda sukai (dalam satuan waktu). 3) Dekati orang tersebut secara langsung, hindari pihak ketiga (mak comblang). 4) Carilah tambahan teman baru 5) Hormati orang lain terlebih dahulu
3. Teori Motivasi Kerja Seiring dengan perkembangan teori motivasi, maka teori tersebut mengalami kemajuan yang sangat pesat hingga dapat menyentuh segala aspek kehidupan manusia. Mulai dari teori-teori yang dikemukakan Jean
66
Piaget, Abraham Maslow, Sigmund Freud, B.F. Skinner dan lain sebagainya, hingga sampai pada teori yang dikemukakan Robert A. Baron et.. al., (1990). dikutip Rasdi Ekosiswoyo (2003: 115) ada beberapa teori tentang
motivasi
dalam
hubungannya
dengan
efektivitas
proses
pembelajaran. Teori tersebut diantaranya : a. Teori Kebutuhan Menurut Abraham Maslow secara hirarki kebutuhan manusia terdiri dari : 1) Kebutuhan yang bersifat fisiologis (physiological needs), yang dimanifestasikan dalam kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan lain. 2) Kebutuhan akan rasa aman (safety and security needs), misalnya kebutuhan akan kebebasan dari segala macam ancaman, baik dalam dinas maupun di luar. 3) Kebutuhan
sosial
dan
rasa
memiliki-dimiliki
(social
and
belongingness), yakni kebutuhan akan berkelompok (teman), afiliasi, interaksi, dicintai dan mencintai. 4) Kebutuhan akan penghargaan prestige (esteem needs), misalnya ingin dihargai. 5) Kebutuhan mempertinggi kapasitas kerja (self actialization), yaitu kebutuhan memenuhi kapasitas kerja (self actialization), dengan kemampuan, keterampilan.
67
Secara umum “Teori Kebutuhan Maslow” digambarkan sebagai berikut : Phisylogical Safetyand and security security Safety Social and belongingness Estem needs Self actualization Sumber: Wursanto dalam buku Dasar-dasar Ilmu Organisasi hal. 304 Gambar 2.2 Tingkat Kebutuhan dan Tingkat Kepuasan
Sementara David Mc. Clelland (1961) sebagaimana dikutip Wursanto (2003: 306) mengemukakan bahwa ada tiga macam kebutuhan manusia, yaitu : 1) Need for Achievement atau n-Ach adalah kebutuhan berprestasi yang merupakan refleksi dari dorongan akan tanggung jawab untuk pemecahan masalah. 2) Need for Affiliation atau n-Aff adalah kebutuhan untuk berafiliasi yang merupakan dorongan untuk berinteraksi dengan orang lain, bekerja sama dan tidak melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Memandang “Manusia itu mahluk sosial”. 3) Need for Power atau n-Po adalah kebutuhan untuk kekuasaan yang merupakan refleksi dari dorongan mencapai otoritas dalam mempengaruhi orang lain.
68
b. Teori Harapan Teori
harapan
(expectancy
theory)
disebut
juga
teori
pengutamaan pengharapan dari Victor Vroom. Di dalam teorinya, Victor Vroom sebagaimana dikutip Wursanto (2003: 306) mengatakan bahwa : Di dalam lingkungan kerja, setiap pegawai/karyawan selalu mempunyai harapan. Harapan adalah suatu istilah yang berkenaan dengan kemungkinan bahwa perilaku tertentu akan menghasilkan sesuatu pula. Ada harapan tentang usaha prestasi, dan ada harapan tentang prestasi perolehan. Perolehan bisa dalam bentuk uang atau materi maupun dalam bentuk non-materi. Berdasarkan teori tersebut seseorang akan bekerja dengan baik manakala memperoleh suatu imbalan (baik materi maupun non-materi) sesuai yang diharapkan. c. Teori Drive Kata drive merupakan aspek motivasi dari tubuh yang tidak seimbang, motivasi tersebut merupakan dorongan untuk keluar dari ketidakseimbangan tersebut. Clark L.Hull dikutip Ekosiswoyo (2003: 117) berpendapat bahwa belajar terjadi sebagai akibat reinforcement. Clark L. Hull berasumsi bahwa semua hadiah pada akhirnya didasarkan atas reduksi dan drive keseimbangan. Teori Hull dirumuskan secara matematis merupakan hubungan drive, habit dan strength, berikut : Kekuatan Motivasi = fungsi (drive x habit)
69
Habit strength adalah hasil dari faktor-faktor reinforcement sebelumnya. Drive adalah jumlah keseluruhan ketidakseimbangan fisiologis
disebabkan
kehilangan
atau
kekurangan
kebutuhan
komoditas untuk kelangsungan hidup. d. Teori Lapangan Merupakan teori menekankan pada pendekatan kognitif, dalam mempelajari perilaku dan motivasi yang digagas oleh Kurt Lewin memandang bahwa pikiran nyata lebih mempengaruhi perilaku dan motivasi seseorang daripada insting atau habit. Kurt Lewin dikutip Ekosiswoyo (2003: 118) prinsip dalam memotivasi kerja pegawai. 1) Prinsip partisipasi, pegawai diberikan kesempatan menentukan tujuan organisasi : •
Prinsip komunikasi, pemimpin perlu mengkomunikasikan segala sesuatu dalam usaha pencapaian tugas melalui informasi yang jelas.
•
Prinsip mengakui andil bawahan, pemimpin perlu mengakui bawahan memiliki andil dalam usaha pencapaian tujuan.
2) Prinsip pendelegasian wewenang, pemimpin perlu memberi wewenang bawahan sewaktu-waktu dapat mengambil keputusan terhadap pekerjaan. 3) Prinsip
memberi
perhatian,
maksudnya
pemimpin
perlu
memberikan perhatian terhadap apa yang diinginkan bawahan.
70
4. Model-model Motivasi a. Maslow’s Model Banyak pakar Barat yang menjelaskan model motivasi. Diantara mereka adalah: Abraham Maslow, Frederick Hezberg, dan Mc Leland. Maslow terkenal dengan teori Hierarki Kebutuhan, Herzberg terkenal dengan teori Dua Faktor, dan Mc Leland terkenal dengan Teori Achievement, Afiliation dan Power (AAP), di samping teori-teori motivasi lain yang banyak berkembang. Model Maslow ini sering disebut dengan model Hierarki Kebutuhan. Karena menyangkut kebutuhan manusia, maka teori ini digunakan untuk menunjukkan kebutuhan seseorang yang harus dipenuhi agar dia termotivasi untuk bekerja. Menurut A.H. Maslow, pada umumnya terdapat lima hierarki kebutuhan manusia, yang dapat dilihat pada gambar berikut.
Kebutuhan aktualisasi diri Kebutuhan harga diri Kebutuhan sosial Kebutuhan keamanan Kebutuhan fisik
Gambar 2.3 Maslow’s Need Hierarki (Ishak Arep & Hendri Tanjaung, 2005: 26)
71
Kebutuhan fisiologi (Phycological Needs), misalnya makanan, minuman, istirahat/tidur, seks. Kebutuhan inilah yang merupakan kebutuhan pertama dan utama yang wajib dipenuhi pertama-tama tiap individu. Karena dengan terpenuhinya kebutuhan ini, orang dapat mempertahankan hidup dari kematian. Kebutuhan utama inilah yang mendorong setiap individu untuk melakukan pekerjaan apa saja, karena ia akan memperoleh imbalan, baik berupa uang ataupun barang yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan utama ini. Kebutuhan keamanan/perlindungan (Safety Needs). Tiap individu mendambakan keamanan bagi dirinya, termasuk keluarganya. Setelah kebutuhan pertama dan utama terpenuhi, timbul perasaan perlunya pemenuhan kebutuhan keamanan/perlindungan. Contoh sederhana jika orang telah memiliki rumah tinggal, maka untuk dapat dirasakan aman dari gangguan penjahat, dibangun pagar di sekeliling rumah itu, apakah sekadar dari bambu, kayu, tembok, bahkan mungkin ditambah dengan memelihara anjing galak atau menggaji satpam (bagi orang yang mampu). Kebutuhan akan kebersamaan (Social Needs). Tiap manusia senantiasa merasa perlu pergaulan dengan sesama manusia lain. Selama hidup manusia di dunia ini tak mungkin lepas dari bantuan pihak lain. Walaupun sudah terpenuhi kebutuhan pertama dan kedua, jika ia tidak dapat bergaul dengan pihak lain, maka pasti ia merasakan sangat gelisah hidupnya. Hal inilah salah satu tujuan mengapa orang
72
mencari pasangan hidup (istri atau suami) yang dicintai, karena selain karena pemenuhan kebutuhan biologis, sang istri atau suami merupakan kawan hidup yang paling dekat untuk dapat mengutarakan segala isi hati, baik senang maupun ketika susah. Hal ini sangat berbeda dengan hewan yang kawin hanya semata-mata memenuhi kebutuhan biologisnya dan agar tidak punah dari muka bumi ini. Kebutuhan penghormatan dan penghargaan (kebutuhan harga diri). Sejelek-jeleknya kelakukan manusia, tetap mendambakan penghormatan dan penghargaan. Itulah sebabnya orang berusaha melakukan pekerjaan/ kegiatan
yang memungkinkan ia mendapat
penghormatan dan penghargaan masyarakat. Misalnya hebat di bidang tinju, main bola, tari-tarian dan sebagainya. Kebutuhan aktualisasi diri, yakni senantiasa percaya kepada diri sendiri. Inilah kebutuhan puncak yang paling tinggi, sehingga seseorang ingin mempertahankan prestasinya secara optimal. Jadi, hal pertama yang harus dipenuhi dulu adalah kebutuhan fisik. Jika kebutuhan fisik telah terpenuhi, maka kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan keamanan. Demikianlah seterusnya sampai pada kebutuhan tertinggi, yaitu kebutuhan aktualisasi diri. Berdasarkan kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas, yang senantiasa didambakan oleh setiap individu, maka seorang manajer sangat perlu mempelajari secara seksama tingkat-tingkat kebutuhan bagi tiap individu bawahannya (karyawannya). Dengan berpegang
73
pada teori Maslow ini, maka dalam melakukan motivasi kepada bawahannya, manajer perlu senantiasa bertindak secara adil. Istilah adil di sini tidak berarti seluruh karyawan diperlakukan sama, melainkan harus diteliti secara seksama jenis dan tingkat kebutuhan tiap karyawan atau kelompok karyawan. Misalnya, jika seorang karyawan telah memiliki kendaraan bermotor (roda dua atau roda empat), pasti yang bersangkutan tidak akan termotivasi dengan sepeda. Hal yang jadi kelemahan teori Maslow ini adalah apakah orang yang belum terpenuhi kebutuhan fisik sudah pasti tidak terpenuhi juga kebutuhan penghargaan? Bukankah banyak terjadi orang yang kebutuhan kebersamaannya (kebutuhan sosialnya) sudah terpenuhi, tetapi kebutuhan fisiknya masih memprihatinkan? b. Hezberg’s Model Di sini oleh Fedrick Hezberg, kebutuhan disebut dengan istilah Two-Factor View. Menurut dia, kepuasan manusia terdiri atas dua hal, yaitu puas dan tidak puas. Selanjutnya Pittsburg melakukan studi yang kemudian melahirkan teori Two Factor, yaitu: Motivator. Di sini ada kepuasan kerja atau perasaan positif. Hygiene. Disini ada perasaan negatif atau ketidakpuasan kerja. Menurut teori ini kita harus menciptakan dan meningkatkan faktor motivator dan mengurangi faktor hygiene. Dalam teori ini terdapat beberapa faktor yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan karyawan, yaitu: •
Kebijakan dan administrasi perusahaan
74
•
Pengawasan
•
Hubungan dengan pengawas
•
Kondisi kerja
•
Gaji
•
Hubungan dengan rekan sekerja
•
Kehidupan pribadi
•
Hubungan dengan bawahan
•
Status, dan keamanan Beberapa faktor yang sering memberikan kepuasan kepada
karyawan, yaitu : •
Tercapainya tujuan
•
Pengakuan
•
Pekerjaan itu sendiri
•
Pertanggungjawaban
•
Peningkatan
•
Pengembangan Oleh karena itu, untuk meningkatkan motivasi maka manajer
harus menghilangkan rasa ketidakpuasan. Manajer harus proaktif berusaha menghilangkan ketidakpuasan, atau paling tidak mengurangi ketidakpuasan itu sendiri. Maka perlu memberikan peluang untuk pencapaian prestasi, peningkatan prestasi dan tanggung jawab. Peluang-peluang untuk pencapaian prestasi harus selalu diberikan kepada bawahan. Di lapangan, banyak ditemukan bawahan yang
75
berprestasi ternyata tidak memberikan kontribusi terhadap organisasi. Setelah diusut lebih lanjut, ternyata manajernya tidak pernah memberikan peluang untuk memperoleh pencapaian prestasi yang baik. Model teori dua faktor dapat dilihat pada gambar berikut ini. Ketidakpuasan Kerja Tinggi
Ketidakpuasan Kerja Rendah
Gaji dan keamanan, pengawasan, lingkungan kerja, hubungan pribadi, kebijakan perusahaan Kepuasan Kerja Tinggi
Kepuasan Kerja Rendah
Pencapaian, pengakuan, pekerjaan, tanggung jawab, kemajuan, perkembangan Gambar 2.4 Model 2 Faktor Hezberg (dalam Ishak Arep & Hendri Tanjung, 2003: 30)
c. Mc Cleland’s Model Model Mc Cleland’s sangat menekankan perhatian terhadap prestasi (achievement). Ada 3 kebutuhan yang penting, yaitu: achievement. Artinya adalah adanya keinginan untuk mencapai tujuan lebih baik daripada sebelumnya (pencapaian prestasi). Orang yang dalam hatinya ada perasaan menggebu-gebu untuk meraih prestasi terbaik, akan sangat bergairah dan termotivasi dalam melaksanakan pekerjaan dan tugasnya. Sebaliknya, orang yang tidak ada niat yang kuat untuk meraih prestasi, akan ketinggalan jauh dibandingkan dengan orang yang termotivasi. Hal ini dapat dicapai dengan cara:
76
1) Merumuskan Tujuan Tujuan
yang
tidak
pernah
dirumuskan,
akan
menjerumuskan organisasi. Organisasi akan bergerak ke mana arah angin. Artinya, organisasi akan berubah setiap kali orang-orang yang mengurusnya berubah. 2) Mendapatkan Umpan Balik (Feedback) Sering kali setelah suatu pekerjaan dilakukan, tidak ada umpan balik. Padahal umpan balik diperlukan untuk pencapaian prestasi yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. 3) Memberikan Tanggung Jawab Pribadi Kelemahan para manajer kebanyakan adalah jarang memberikan tanggung jawab kepada bawahannya. Akibatnya, bawahan akan bekerja seturut perintah dengan tanggung jawab atasan. Hal ini dibalik dalam gaya manajemen Jepang. Karyawan di Jepang diberi tanggung jawab untuk memperbaiki pekerjaannya sendiri, karena prinsipnya pekerja yang mengerjakan pekerjaan itulah yang paling tahu tentang bagaimana meningkatkan mutu pekerjaannya. Akhirnya prinsip ini dikenal dengan sebutan JUST IN TIME. 4) Bekerja Keras Tidak ada orang yang tidak berhasil dengan bekerja keras. Meskipun bekerja keras saja tidak cukup, mesti diikuti dengan bekerja cerdas.
77
5) Affiliation Artinya adalah kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Hal ini dapat dicapai dengan cara : •
Bekerja sama dengan orang lain. Bekerja sama bukan berarti si A bekerja, si B bekerja, keduanya mengerjakan pekerjaan yang berbeda dan tidak ada koordinasi disebut kerja sama, tetapi kerja sama itu adalah si A dan si B bekerja dengan tujuan yang sama dan terkoordinasi.
•
Membuat kawan di tempat kerja. Bukan membuat lawan di tempat kerja. Membuat lawan mudah, tetapi membuat kawan susah. Banyak orang
yang mudah dijadikan lawan, tetapi
sedikit yang dapat dijadikan kawan. Karena kawan yang baik adalah kawan yang ada di sisi kita di saat mengalami kesusahan. •
Sosialisasi. Tidak ada orang yang dapat hidup sendiri. Bahkan untuk membuat roti yang dijadikan menu sarapan pagi dibutuhkan tangan ribuan orang, mulai dari gandum, tepung, roti, sampai ke tangan konsumen.
•
Power. Artinya ada kebutuhan kekuasaan yang mendorong seseorang bekerja sehingga termotivasi dalam pekerjaannya. Cara orang bertindak dengan kekuasaan sangat tergantung pada:
78
a) Pengalaman masa kanak-kanak. Orang yang masa kanak-kanaknya menyenangkan, maka akan menyenangkan juga
ketika
berkuasa.
Hal
ini
disebabkan
ada
kecenderungan untuk mengulangi senang masa kanakkanaknya. b) Kepribadian. Orang yang terdidik dari kecilnya untuk memelihara
kepribadian
diri,
akan
terbiasa
ketika
dewasanya. Inilah faktor kritis yang terjadi dewasa ini. Banyak manajer atau pemimpin yang gagal, karena faktor pribadinya, bukan ketidakmampuan bawahannya dalam bekerja. c) Pengalaman kerja. Orang yang mempunyai pengalaman bekerja dengan baik, tidak akan pernah berpikir untuk memperlakukan
orang
lain
dengan
buruk,
apalagi
berencana buruk terhadap orang lain. d) Tipe organisasi. Untuk tipe organisasi non profit, kekuasaan pemimpin tidak dapat dijalankan dengan efisien. Dengan kata lain, tidak ada perintah yang diinstruksikan, yang ada hanya permohonan, minta tolong. d. Expectancy Theory (Teori Harapan) Teori ini dirumuskan sebagai berikut : M = [(E – P)] [(P – O) V]
79
Penjelasannya adalah : M = Motivasi P = Prestasi (performance) V = Penilaian (value) E = Penghargaan (expectation) O = Hasil Secara sederhana dalam teori ini, motivasi merupakan interaksi antara harapan estela dikurangi prestasi, dengan kontribusi penilaian yang dikaitkan dengan prestasi dikurangi hasil. Karena kebutuhan di atas merupakan generalisasi karena kenyataannya kebutuhan orang tidak sama, maka dikenal The Expectancy Model yang menyatakan :
Kemampuan
Hasil 1
Motivasi
Usaha
Prestasi
Hasil 1 Hasil 1
Lingkungan
Hasil 1 Hasil 1 Hasil 1
Gambar 2.5 Model Ekspektasi (Ishak Arep & Hendri Tanjung, 2003: 33)
80
Dari teori ini dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk meningkatkan motivasi, maka seorang manajer harus : •
Mengakui bahwa setiap karyawan memiliki kebutuhan yang berbeda dan preferensi yang berbeda pula. Tidak ada dua orang yang benar-benar memiliki kebutuhan yang sama.
•
Mencoba
memahami
kebutuhan
utama
seorang
karyawan.
Memahami apa yang dibutuhkan apalagi kebutuhan utama pegawai, merupakan perilaku manajer-manajer yang dicintai bawahan. Tidak jarang pada manajer seperti ini, kesedihan akan mewarnai wajah bawahannya ketika ada perintah direktur untuk pindah ke kota lain, atau bagian lain. •
Membantu
seorang
pegawai
menentukan
upaya
mencapai
kebutuhannya melalui prestasi. Hal ini tidak sulit jika dilakukan dengan ketulusan, bukan pamrih. e. Equity Theory (Teori Keadilan) Teori ini dirumuskan sebagai berikut :
M = f[Eq(OW)]
Penjelasannya sebagai berikut: M
= Motivasi
Eq
= Equity, keadilan yang diterapkan pada pekerjaan lain
O
= Outcome, hasil apa yang diberikan orang lain
W
= Wages, gaji yang diterima orang lain
81
Teori ini menjelaskan bahwa motivasi merupakan fungsi dari keadilan yang didasarkan hasil (output) dan wages (pendapatan). Keadilan yang sederhana adalah menerima pendapatan sesuai dengan usahanya. Jika bekerja keras, pendapatnya tinggi. Sebaliknya, jika bekerja malas, pendapatannya rendah. Tidak adil jika orang yang rajin dengan yang malas disamakan pendapatnya. Artinya tidak berlaku jargon RMPS (Rajin Malas, Pendapatan Sama). Menurut teori ini, seseorang akan termotivasi bekerja jika ia menikmati rasa keadilan. Prestasi yang akan dipersembahkan tergantung pada persepsinya kepada apa yang diberikan dan diterima orang lain. Keadilan
dianggap
sebagai
faktor
dominan
dalam
menghasilkan motivasi. Jika seseorang tidak diperlakukan secara adil, maka ia akan : 1) Minta dibayar lebih tinggi 2) Mengurangi upaya/prestasi 3) Minta rekan lain dikurangi penerimaannya 4) Minta rekan lain agar kerja lebih keras lagi 5) Berhenti/mundur 6) Pasrah dan merasionalisasi masalah Untuk itu, seorang manajer dalam hal ini harus: 1) Menghargai seseorang sesuai pengorbanannya 2) Memperlakukan secara adil semua orang dalam organisasi
82
3) Menyadari bahwa perasaan tidak diperlakukan adil bisa muncul sewaktu-waktu 4) Melakukan tindakan koreksi jika ada perlakuan yang tidak adil f. Reinforcement Theory (Teori Penguatan) Teori ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
M = f(R&C)
Penjelasannya: M
= Motivasi
R
= Reward (penghargaan)
C
= Consequence (akibat) – positif/negatif Penguatan adalah segala sesuatu yang digunakan seseorang
manajer untuk meningkatkan atau mempertahankan tanggapan khusus individu. Jadi menurut teori ini, motivasi seseorang bekerja tergantung pada penghargaan yang diterimanya dan akibat dari yang akan dialami nanti. Teori ini menyebutkan bahwa perilaku seseorang di masa mendatang di bentuk oleh akibat dari perilakunya yang sekarang. Sedangkan jenis reinforcement ada 4, yaitu : 1) Positive Reinforcement (penguatan positif), yaitu penguatan yang dilakukan ke arah yang positif. 2) Negative Reinforcement (penguatan negatif), yaitu penguatan yang dilakukan karena mengurangi atau menghentikan keadaan yang tidak disukai. Misalnya, berupaya cepat-cepat menyelesaikan
83
pekerjaan karena tidak tahan mendengar atasan mengomel terus menerus. 3) Extinction (peredaan), yaitu tidak mengukuhkan suatu perilaku, sehingga perilaku tersebut mereda atau punah sama sekali. Hal ini dilakukan untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapkan. 4) Punishment
(hukuman),
yaitu
konsekuensi
yang
tidak
menyenangkan dari tanggapan perilaku tertentu. Agar reinforcement ini efektif, maka jadwal pemberian reinforcement perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terjadi di organisasi. Pada dasarnya ada 5 jenis jadwal pemberian reinforcement, sebagai berikut : 1) Terus menerus 2) Interval yang tetap 3) Interval yang berubah-ubah 4) Rasio tetap 5) Rasio berubah-ubah Reward adalah pertukaran (penghargaan) yang diberikan perusahaan atau jasa yang diberikan penghargaan, yang secara garis besar terbagi dalam 2 kategori, yaitu : 1) Kategori I a) Gaji b) Keuntungan c) Liburan, dll
84
2) Kategori II a) Kenaikan pangkat dan jabatan b) Insentif c) Bonus d) Promosi e) Simbol (bintang) f) Penugasan yang menarik Sistem yang efektif untuk pemberian reward (penghargaan) harus : 1) Memenuhi kebutuhan pegawai 2) Dibandingkan dengan reward yang diberikan oleh perusahaan lain 3) Didistribusikan secara wajar dan adil 4) Dapat diberikan dalam berbagai bentuk 5) Dikaitkan dengan prestasi Demikian 6 teori dan model motivasi yang telah dijelaskan. Sebagai bahan perbandingan untuk keenam model tersebut, maka dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 2.2 Teori dan Motivasi menurut Beberapa Pakar Model Herzberg Model Maslow Kebutuhan fisiologi (fisik) Motivator Mr Kebutuhan keamanan/perlindungan Hygiene Kebutuhan kebersamaan (kebutuhan sosial) Kebutuhan penghormatan dan penghargaan (kebutuhan harga diri) Kebutuhan aktualisasi diri
85
Model Mc Cleland Achievement Affiliatian Power
Expectancy Theory M = [(E-P)] [(P-O) V] M = Motivasi E = Pengharapan (Expectation) P = Prestasi O = Hasil (Outcome) V = Penilaian (Value)
Equity Theory M = f[Eq(OW)] Eq = Equito (keadilan) O = Outcome (hasil) W = Wages (gaji)
Reinforcement Theory M = f (R&C) Penjelasan : M = Motivasi R = Reward C = Consequences (akibat)
Teori motivasi lain yang tidak kalah hebat dan andalnya adalah teori Gerald Graham. Menurut Gerald Graham, ada 20 cara memotivasi pegawai, yaitu : a. Berikan informasi yang jelas kepada pegawai tentang kebutuhan yang mereka perlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan baik. b. Berikan secara reguler umpan balik terhadap apa yang mereka kerjakan. c. Tanyakan kepada pegawai mengenai tanggapan mereka terhadap pekerjaan mereka. d. Ciptakan jalur komunikasi yang mudah dipakai sehingga pegawai dapat mengajukan pertanyaan dan mendapatkan jawaban secara tepat. e. Belajarlah dari pegawai tentang apa yang dapat memotivasi mereka. f. Pelajari kegiatan pegawai dalam tugasnya selama waktu senggang. g. Berikan ucapan selamat secara pribadi kepada mereka yang melaksanakan pekerjaan dengan baik.
86
h. Pelihara kontak yang sering dengan orang yang mereka bawahi. i. Tulis memo pribadi kepada mereka mengenai prestasi mereka j. Ungkapkan secara terbuka kepada umum tentang hasil kerja mereka yang baik. k. Upayakan membangun moral kelompok untuk merayakan keberhasilan kelompok. l. Berikan kepada mereka pekerjaan yang baik untuk diselesaikan. m. Pastikan bahwa pegawai memiliki alat-alat untuk mengerjakan pekerjaan mereka. n. Akui dan kenali adanya kebutuhan pribadi karyawan. o. Gunakan prestasi sebagai dasar promosi. p. Ciptakan kebijakan promosi yang lengkap. q. Tekankan komitmen perusahaan terhadap metode bekerja jangka panjang. r. Tumbuhkan perasaan kelompok atau bermasyarakat. s. Bayar kompensasi karyawan secara bersaing. t. Janjikan pegawai pembagian laba
5. Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Salah satu hal yang prinsip dalam Chapter yang ditulis oleh Sweeney dan Mc Farlin adalah bahwa motivasi sangat berkaitan dengan hirarki kebutuhan Maslow dalam konteks pemenuhan kebutuhan hidup, baik pemenuhan kebutuhan hidup pribadi maupun organisasi. Sebagai hirarki, maka tingkat motivasi dan kebutuhan dasar manusia dimaksud dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
87
Tabel 2.3 Tingkat Prioritas Kebutuhan Manusia Menurut Abraham Maslow Faktor-faktor Umum 1. Pertumbuhan 2. Prestasi 3. Kemajuan 1. 2. 3. 4.
Pengakuan Status Harga diri Kepercayaan diri
1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4.
Persaudaraan Kehangatan/afeksi Setia kawan Keamanan Jaminan Kompetensi Stabilitas Udara Makan Rumah Seks
Tingkat Kebutuhan 1. Aktualisasi 2. 3. Diri 4. 1. Ego, Status 2. 3. dan Penghargaan 4. 5. 1. 2. Sosial 3. 1. Keamanan 2. dan 3. Jaminan 4. 1. Fisiologi 2. atau 3. Fisik 4.
Faktor-faktor Umum Organisasi Tantangan pekerjaan Kreatifitas Kemajuan dalam organisasi Kemajuan dalam pekerjaan Gelar jabatan Penghargaan Pengakuan rekan/ atasan Pekerjaan itu sendiri Tanggung jawab Kualitas pengawasan Persatuan kelompok kerja Setia kawan (professional) Keamanan kondisi kerja Tunjangan/ jaminan tambahan Kenaikan gaji Jaminan jabatan Panas dan air conditioning Gaji pokok Kantin atau cafetaria Kondisi kerja
Tabel 2.4 Perbandingan antara Tingkat Prioritas Kebutuhan Manusia dari A. Maslow dan Model Motivasi Perawatan dari Herzberg Aktualisi
Aktualisi Pergaulan social
Keselamatan dan rasa aman
Kebutuhan fisiologis
Pekerjaan itu sendiri Prestasi Kemungkinan berkembang Tanggung jawab Kenaikan dan kemajuan Penghargaan Hubungan antar manusia • Atasan • Rekan kerja • Bawahan Pengawasan teknik Kebijaksanaan dan administrasi Perusahaan Jaminan kerja Kondisi kerja Gaji
88
Adapun keterkaitan antara motivasi dengan kemampuan diri dapat dipaparkan dalam bentuk gambar sebagai berikut : Tabel 2.5 Hubungan antara motivasi (daya juang) dengan kemampuan (skill, pengetahuan) Motivasi (Daya Juang)
Kerbau
Binatang
Kayu lapuk
Masalah pekerja (pembuat masalah)
Pengetahuan (skill)
Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai prestasi (bintang), orang harus memiliki: (1) Kemauan, (2) Pengetahuan, (3) Kemampuan. IQ (Intelligence Quetinient) yang tinggi tidak menjamin seseorang selalu dapat menciptakan prestasi yang tinggi, tetapi yang jelas prestasi yang tinggi tidak diciptakan oleh orang yang tidak memiliki kemauan atau malas. Luthans mengutip gagasan David C. Mc Cleland bahwa terdapat tiga bentuk motif, yaitu: (1) Motif prestasi (need of achievement), (2) Motif persahabatan (need for affliation), (3) Motif kekuasaan (need for power).
89
Hal yang menarik ternyata secara sederhana motivasi bila dikategorikan dua tipe manusia, yaitu: (1) Anak manis (orang yang pola pikirnya manja), (2) Tahan banting (walau atasan keras, ia tetap tahan). Dalam konteks yang lain, Lutans membagi tiga golongan manusia, yakni : 1. (-) KOTOR Malas atau menunda pekerjaan, boros, menghasut, menyabot, merusak, menggerogoti tempat dia berada. 2. (0) ROBOT Tidak menyakiti, berbuat salah, kerja hanya bisa diberi, tidak merugikan. 3. (+) MOTOR Menguntungkan perusahaan, teman, sendiri, penuh inisiatif, dedikasai dan loyalitas tinggi.
6. Pengukuran Motivasi Lutans berpendapat bahwa motivasi adalah dorongan kerja yang timbul pada diri seseorang untuk berperilaku dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Motivasi juga merupakan dorongan pada diri manusia yang menyebabkan ia bertindak, berbicara dan berpikir dengan cara tertentu. Secara garis besar, Gibson dan Donely (1982: 97) membedakan adanya tiga kelompok teori-teori motives, teori yang memusatkan pada faktor-faktor “apanya” dari motivasi pada diri individu (disebut juga
90
content theories/teori kepuasan), kemudian teori yang melihat sebagai proses, dimana fokus pembahasannya adalah tentang “bagaimana” dan terhadap “tujuan” apa seseorang termotivasi, dan kelompok terakhir adalah teori pengukuhan (reinforcement theories) yang menekankan pada dimana dan bagaimana perilaku dipelajari. Bagi sutermeister (1976: 45) motivasi dipengaruhi oleh variabel kondisi fisik, lingkungan kerja, kondisi sosial dan individual needs, dimana hal ini dapat diartikan bahwa yang dikemukakan meliputi tiga kelompok teori tersebut di atas. Motivasi menghadapi
terbentuk
situasi
kerja.
dari
sikap
Motivasi
(attitude) seseorang merupakan
kondisi
dalam yang
menggerakkan diri pegawai (guru) yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja). Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong pegawai (guru) berusaha mencapai secara maksimal, yang siap secara psikofisik (siap secara mental, fisik, tujuan dan situasi). Dalam kehidupan organisasi, aspek motivasi mutlak harus mendapat perhatian. Dengan empat pertimbangan utama, yaitu: (a) filsafat hidup manusia berkisar pada prinsip ‘quid pro quo’ yang dalam ‘bahasa awam’ dicerminkan oleh pepatah yang mengatakan ada ubi ada talas, ada budi ada balas, (b) karena dinamikanya, kebutuhan manusia sangat kompleks dan tidak hanya bersifat materi, akan tetapi juga bersifat psikologis, (c) tidak ada titik jenuh dalam pemuasan kebutuhan, (d) perbedaan karakteristik individu (guru) dalam organisasi/sekolah, tidak
91
ada satupun teknik motivasi yang sama efektifnya untuk semua orang dalam organisasi, pada waktu dan kondisi yang berbeda. Siagian (2002: 102) mendefinisikan motivasi sebagai “daya dorong bagi seseorang untuk memberikan kontribusi yang sebesar mungkin demi keberhasilan organisasi mencapai tujuannya. Dengan pengertian, bahwa tercapainya tujuan organisasi berarti tercapai pula tujuan pribadi para anggota organisasi yang bersangkutan”. Dari definisi yang dikemukakan Siagian tersebut, jenis terlihat bahwa organisasi (sekolah), hanya akan berhasil mencapai tujuan dan berbagai sasarannya apabila semua komponen sekolah berupaya menampilkan kinerja yang optimal. Organisasi yang di dalamnya terdapat orang-orang senantiasa melakukan pembelajaran dan perubahan hingga tercapainya tujuan organisasi secara komprehensif. Jika person-person yang terdapat di dalam organisasi berhenti belajar dan berhenti untuk tidak melakukan perubahan, maka organisasi tersebut akan mengalami stagnan atau berjalan di tempat. Perubahan harus terus menerus dilakukan baik secara kolektif maupun individu-individu. Fullan Michael (1991: 13) mengatakan nothing new under the sun. Hal ini mengisyaratkan bahwa perubahan terus menerus terjadi di dunia ini. Siapa yang tidak melakukan perubahan maka ia akan ketinggalan dalam segala aspek kehidupan. Motivasi atau motif merupakan driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku, dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Pendapat Wexley & Yuki (2003: 97) mendefinisikan
92
motivasi sebagai the process by which behavior is energized and directed. Berikut ciri yang menandai motif individu. a. Motif adalah majemuk. Dalam suatu perubahan tidak hanya mempunyai satu tujuan tetapi beberapa tujuan yang berlangsung bersama-sama. b. Motif dapat berubah-ubah. Motif bagi seseorang seringkali mengalami perubahan. Ini disebabkan karena keinginan manusia selalu berubahubah sesuai dengan kebutuhan atau kepentingannya. c. Motif berbeda-beda bagi individu. Dua orang yang melakukan pekerjaan yang sama, ternyata terdapat perbedaan motif. d. Beberapa motif tidak disadari oleh individu. Beberapa dorongan yang muncul,
karena
berhadapan
dengan
situasi
yang
kurang
menguntungkan, seringkali ditekan dibawah sadar sehingga kalau ada dorongan yang kuat sekali, menjadikan individu bersangkutan tidak dapat memahami motifnya sendiri. Dari perspektif psikologis, menurut Abdulhak (1996: 11-12), motivasi secara hipotesis merupakan sebuah definisi yang mengungkapkan tingkah laku manusia yang memiliki hubungan sebab akibat. Para ahli psikologi pendidikan sering menggunakan istilah motivasi sebagai proses yang dapat: (1) membangun sikap kritis, (2) memberikan bimbingan perilaku yang bermanfaat, (3) secara kontinyu memberikan sikap yang sama, dan (4) memberikan bimbingan terhadap suatu maksud, ia dapat dilihat sebagai gerak tingkah laku yang ditandai oleh adanya respon
93
terhadap suatu objek dan arah tingkah laku yang ditunjukkan secara khusus terhadap tujuan yang akan dicapai.
7. Motivasi Belajar Siswa Riset sehubungan dengan proses dan motivasi anak belajar telah banyak dilakukan sejak beberapa dekade lalu. Dari hasil riset tersebut ditemukan bahwa anak sekolah umumnya telah gagal untuk memahami tujuan dari tugas-tugas yang mereka kerjakan di dalam kelas. Hal ini berkaitan erat dengan rendahnya kualitas, keterlibatan mereka di dalam aktifitas belajar (L. Anderson, 981: Corno & Mandinanch, 1983: Meece & Blumenfeld, 1987). Misalnya, L. Anderson (1984) dan L. Anderson et.al. (1985) menemukan bahwa anak-anak sekolah dasar (di USA), walaupun termasuk kelompok anak pandai, mereka jarang sekali mengetahui hubungan tugas-tugas yang dikerjakan dengan pemahaman konten yang diharapkan. Mereka umumnya hanya mengetahui bahwa tugas-tugas yang diberikan guru hanya sekedar kegiatan rutin dari suatu mata pelajaran yang harus segera dikerjakan dan diselesaikan sesuai dengan waktu yang tersedia, seperti halnya seorang anak berkata kepada dirinya sendiri “Saya tidak mengerti ini, tetapi saya dapat menyelesaikannya” (L. Anderson, 984, hal 98). Rohrkemper dan Bershon (984) menemukan bahwa dari 49 anak-anak sekolah dasar yang sedang mengerjakan tugas matematika, hanya dua orang siswa saja yang kelihatannya berusaha untuk memahami apa-apa yang mereka kerjakan. Kebanyakan dari mereka hanya berusaha untuk mendapatkan jawaban yang benar dan menyelesaikan secepat
94
mungkin. Blumenfeld dan Meence (1988) melaporkan pula bahwa muridmurid sekolah dasar yang sedang mengerjakan tugas-tugas sains, lebih mengutamakan produk dari tugas-tugasnya dari pada pemahaman masingmasing konten. Dari hasil riset lainnya murid-murid sering sekali tidak mengerti bagaimana cara mengerjakan tugas yang mereka peroleh di kelas L. Anderson et.al. (1985) menemukan bahwa tatkala mengerjakan tugas suatu mata pelajaran di sekolah, murid-murid sekolah dasar terutama bagi mereka yang termasuk kelompok rata-rata atau kurang pintar umumnya tidak mengetahui strategi yang tepat, atau malah tidak mempunyai kemampuan? Keterampilan untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut dengan baik dan benar. Akibatnya, mereka mengembangkan strategi sendiri untuk menyelesaikan tugas-tugas itu yang tidak menyokong proses pemahaman konsep yang diharapkan. Rorhkemper dan Bershon (1984) menemukan bahwa ketika anak-anak sekolah dasar menemui kesulitan di dalam memecahkan masalah matematika, mereka cenderung mencoba mencari bantuan untuk bisa menyelesaikannya, daripada mencari strategi yang dapat meningkatkan kemampuan kognitifnya. Banyak diantara mereka yang tidak mempunyai keinginan atau keterampilan untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan belajarnya. Mereka juga tidak meminta pertolongan guru atau sumber lainnya (L. Anderson et.al. 1985 & Rorhkemper dan Bershon 1984).
95
Oleh sebab itu, dari hasil riset-riset tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi baru tentang motivasi belajar anak diperlukan yang merupakan gabungan dari proses belajar dan motivasi. Aderson (1981) berpendapat bahwa mengertinya anak-anak tentang mengapa (i. e. strategi) sehubungan dengan aktivitas mereka di dalam kegiatan belajarnya merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku dan pemahaman konsep sebagai hasil belajarnya. Berdasarkan
penjelasan
di
atas
timbul
pertanyaan
yang
memerlukan penjelasan lebih lanjut. Seperti: apa sebenarnya “motivasi” itu? Faktor-faktor apa yang mempengaruhi motivasi untuk belajar? Hal-hal apa yang bisa dijadikan sebagai indeks motivasi untuk belajar? Apa hubungan antara motivasi untuk belajar dengan prestasi belajar (performance)? Dan strategi apa yang bisa digunakan untuk meningkatkan motivasi belajar? a. Konseptual Motivasi Belajar Kata motivasi berasal dari bahasa latin “movere” berarti “bergerak” yang dimaksudkan sebagai “bergerak untuk maju”. Hal ini merefleksikan bahwa motivasi sebagai sesuatu (keinginan) yang mendorong kita tetap komit dan terus berusaha untuk sukses di dalam melakukan suatu pekerjaan atau tugas. Dengan kata lain, kita akan mengatakan bahwa seseorang tidak termotivasi atau tidak mempunyai motivasi apabila orang tersebut tidak mempunyai semangat untuk melakukan sesuatu atau mengerjakan tugas-tugasnya.
96
Walaupun banyak ahli berusaha untuk membuat definisi dari kata motivasi. Namun definisi-definisi yang dihasilkan berbeda-beda. Sehingga sulit untuk mendapatkan suatu definisi yang dapat diterima oleh semua pihak. Hal ini disebabkan setiap ahli mempunyai sudut pandang yang berbeda tentang motivasi itu sendiri, sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing. Disini, definisi motivasi akan dikonseptualisasikan mengacu kepada perspektif anak belajar yang didalamnya meliputi: dorongan atau keinginan yang datang dari dalam diri anak didik sendiri, karakter abadi yang dipunyai orang bersangkutan, segala tingkah laku sebagai respon dari suatu stimulus, termasuk didalamnya belief dan afektif. Walaupun adanya perbedaan tentang apa sebenarnya motivasi, disini akan diketengahkan definisi umum yang merupakan panduan dari hasil penelitian ahli-ahli yang lebih difokuskan kepada pandangan dan belief anak. Untuk itu motivasi didefinisikan sebagai aktivitas anak (proses) dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan atas dorongan perlunya pencapaian tujuan (goal) dari pengerjaan tugas tersebut. Dari definisi tersebut, dapat dijelaskan bahwa motivasi sebagai sesuatu proses dan bukan merupakan suatu produk. Karena motivasi sebagai sesuatu proses, maka kita tidak dapat mengobservasikan motivasi secara langsung. Brophy (1983, 1987) mengusulkan konseptualisasi motivasi anak belajar sebagai “perhatian anak terhadap materi pelajaran dan
97
keterlibatannya di dalam proses belajar yang berkaitan dengan materi tersebut” (1987, hal 18). Konseptualisasi tersebut termasuk di dalamnya pengertian umum dan khusus, yang dapat dijelaskan sebagai berikut : Motivasi melibatkan goal yang sangat penting dalam rangka memberikan dorongan dan arah untuk suatu action. Sampai sejauh ini, pandangan cognitive motivasi adalah sama dalam hal pentingnya goal (tujuan yang ingin dicapai seseorang). Goal mungkin tidak diformulasikan dengan baik dan mungkin akan berubah berdasarkan pengalaman yang dipunyai. Tetapi perlu diingat juga bahwa setiap individu anak akan mempunyai “sesuatu” yang terlintas di dalam pikirannya yang ingin mereka capai atau hindari. Selanjutnya, motivasi juga memerlukan adanya aktifitas, baik secara fisik maupun mental. Aktifitas fisik memerlukan adanya effort (upaya), persistance (ketekunan), dan action (tindakan) yang jelas. Aktifitas
mental
(merencanakan),
meliputi rehearsing
aktifitas
kognitif
(melatih
seperti
kembali),
planning organizing,
monitoring, making decision (membuat keputusan), solving problem (pemecahan masalah), dan assessing progress (mengukur kemajuan yang dicapai). b. Faktor-faktor Penunjang Motivasi Pintrich, Marx, dan Boyle (1993), dan Wigfield, Eccles, dan Rodiguez (1998) menguraikan empat faktor penting yang menunjang
98
motivasi untuk belajar. Keempat faktor tersebut meliputi goals (tujuan yang ingin dicapai), values (kegunaan), selfefficacy (percaya diri), dan control beliefs (keyakinan akan sesuatu keberhasilan). Goals (tujuan yang ingin dicapai) mempunyai andil sangat besar terhadap motivasi anak untuk belajar. Locke dan Latham (1990) di dalam teorinya menjelaskan bahwa paling sedikit ada dua aspek penting sehubungan dengan goal (tujuan) belajar yang ingin dicapai anak, yaitu goal choice dan goal commitment. Goal choice diartikan sebagai pilihan utama dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai anak di dalam kegiatan belajarnya. Value juga merupakan faktor penting di dalam motivasi untuk belajar. Rokeach (1079) mengartikan value sebagai “inti dari suatu konsep yang diharapkan oleh setiap individu dan juga masyarakat umum” (hal 2). Value dapat merupakan petunjuk bagi terbentuknya kognitif, motivasi, dan tingkah laku anak. Value memberikan standard dan keyakinan yang dapat diterima oleh norma-norma umum, penting dalam rangka menghindari terbentuknya satu tingkah laku yang tidak diharapkan. Eccles dan Wigfield (1995) menguraikan sedikitnya empat model task value: attainment value, intrinsic interest value, extrinsic utility value, dan cost. Attainment value diartikan sebagai pentingnya “mengerjakan tugas-tugas dengan sebaik-baiknya”. Intrinsic interest value diartikan sebagai “pengalaman senangnya seseorang ketika mengerjakan suatu tugas, termasuk senangnya perasaan seseorang
99
dalam mengerjakan tugas-tugas, karena dia mempunyai interes terhadap konten yang dikerjakan”. Sedangkan extrinsic utility value didefinisi sebagai “sejauh mana kegunaan dari apa-apa yang mereka kerjakan bagi pencapaian tujuan”. Value pada dasarnya erat kaitannya dengan harapan untuk suksesnya apa yang mereka cita-citakan dikemudian hari. Misalnya, seorang mahasiswa mungkin kurang atau tidak mempunyai intrinsic interest untuk mata kuliah sains (e.g. fisika), tetapi karena dia ingin menjadi seorang insinyur (ahli teknik), mata kuliah ini baginya mempunyai nilai utilitas (kegunaan) yang tinggi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa sost juga merupakan komponen penting dari value. Sost diartikans sebagai aspek negative dari suatu keputusan yang diambil (Weigfield & Eccles, 1992). Self-efficacy didefinisikan sebagai “judgement (seseorang) terhadap
segala kemampuan
yang
dimilikinya
dalam
rangka
menentukan aksi atau langkah yang diperlukan dalam pencapaian performance yang diharapkan” (Bandura, 1986, hal. 391) Bandura (1982) menyisinyalir bahwa self-efficacy berpengaruh besar terhadap macam keputusan yang diambil di dalam menentukan aktifitas, effort (upaya), dan persistenc (ketekunan) seseorang. Seseorang yang mempunyai self-efficacy rendah terhadap suatu tugas, mungkin dia akan menghindarinya. Sedangkan bagi seseorang yang mempunyai
100
self-efficacy yang tinggi, cenderung untuk ikut berpartisipasi di dalam pengerjaan tugas-tugas tersebut. Faktor motivasi lainnya adalah control believs. Control believs erat kaitannya dengan seberapa banyak control yang dipunyai seseorang terhadap behavior atau performance yang diharapkannya. Conell (1985) menjelaskan bahwa terdapat 3 macam control beliefs yaitu: control, external control, unknown control. Seseorang (murid) yang mempunyai internal control (dorongan kuat dari dalam dirinya sendiri) terhadap kegiatan belajar dan performancenya, menunjukkan hasil belajar yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang cenderung dikendalikan oleh external dan unknown control. c. Indeks-indeks Motivasi Memahami konsep motivasi sangat penting bagi seorang guru yang berkeinginan untuk mengetahui cara-cara terbaik dalam rangka mengoptimalkan hasil belajar anak didiknya. Umumnya para ahli yang berkecimpung di dunia pendidikan, setuju bahwa untuk mengetahui adanya motivasi dapat dilihat dari aktivitas mereka di dalam kegiatan belajar (Barlia, 1999; Barlia dan Beeth, 1999; Barlia dan Beth, 2000; Lee 1989; Lee dan Anderson, 1993; Lee S. dan Brophy, 1960. Kualitas keterlibatan anak didik di dalam kegiatan belajar dapat dilihat dari beberapa aspek (indek). Printich dan Schunk (1996) menjelaskan empat macam indek yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya motivasi di dalam kegiatan belajar anak. Indek-indek motivasi yang
101
dimaksudkan meliputi: 1) Choice of task (interest), 2) Effort (upaya yang dilakukan anak di dalam pemecahan masalah atau hal lainnya), 3) Persistence (ketekunan), dan 4) Achievement (prestasi). Anak-anak yang termotivasi untuk belajar cenderung untuk giat dan melakukan segala upaya (effort) untuk menyelesaikan tugas-tugas dengan sebaik-baiknya. Murid-murid yang termotivasi untuk belajar umumnya ditandai dengan berkembangnya mental effort selama pelajaran berlangsung dan mereka juga ikut aktif dalam menggunakan strategi kognitif yang mereka percayai sebagai cara terbaik dalam rangka memahami sesuatu permasalahan. Strategi kognitif yang mereka
gunakan
pengkajian
termasuk
informasi,
didalamnya
memonitor
pengorganisasian
tingkat
pemahaman,
dan dan
mengkaitkan materi baru dengan pengetahuan yang telah mereka miliki dari pengalaman sebelumnya (Peterson, Swing, Braveman, & Buss, 1992, Pintrich & DeGroot, 1990). Murid-murid yang termotivasi pada dasarnya akan tetap bertahan (Persistence) dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru sampai mereka dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut dengan baik. Mereka umumnya tidak mudah putus asa atau give up walaupun menghadapi kesulitan. Pintrich dan Schunk (1996) menyimpulkan bahwa seseorang yang menunjukkan keuletan yang tinggi dan tetap bertahan untuk berusaha mencari jalan dalam pemecahan masalah sebaik-baiknya, cenderung mencapai prestasi yang tinggi (baik) pula.
102
Oleh sebab itu, persistence merupakan faktor penting yang harus dipunyai oleh seseorang, karena keberhasilan dalam belajar kadangkadang memerlukan waktu dan ketentuan. Akhirnya, kita sampai kepada indikasi motivasi yang ke empat yaitu achievement. Anak-anak yang cenderung memilih untuk terlibat aktif di dalam proses belajar (i.e. mengerjakan tugas-tugas), berusaha keras tanpa mudah menyerah (expend effort dan persistence), umumnya mereka memperoleh nilai lebih tinggi dari mereka yang sebaliknya (Pintrich & Schrauben, 1992, Schunk, 1991). Banyak hasil riset yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan positf antara prestasi anak belajar dengan indek-indek motivasi seperti choice of tasks (interes), effor (uapaya), dan persistence atau ketekunan (I.e Barlia, 1990 ). Olehsebab itu, dapat disimpulkan bahwa motivasi dapt mempengaruhi apa, kapan, dan bagaimana anak didik belajar. d. Strategi untuk Meningkatkan Motivasi Anak Belajar. Kurikulum dan strategi mengajar erat kaitannya dengan kualitas motavasi belajar anak. Misalnya bagi sementara anak mungkin akan tetap berhasil di dalam proses belajar walaupun kurikulum dan strategi
mengajar kurang mendukung. Nmun hal tersebut juga
mungkin berpengaruh juga sebaliknya bagi kelompok anak lain. Berikut ini adalah sarana-sarana umum (strategi) yang mungkin dapat dilakukan oleh guru dalamrangka mengurangi hambatan timbulnya motivasi anak untuk belajar. Sedikit ada empat strategi yang dapat
103
dilakukan dalam rangka mengantisifasi terhalangnya motivasi anak untuk belajar di dalam kelas (Barlia, 1990: Barlia & Beeth, 1990): Barlia & Beeth, 2000: Lee, 1989). Keempat strategi tersebut meliputi : 1) Membantu murid menginterprestasikan tugas-tugas dengan jelas Interprestasi anak sekolah dasar terhadap tugas tugas yang harus dikerjakan umumnya merupakan persoalan serius. Banyak diantara mereka yang susah mengerti maksud perintah atau petunjuk dari tugas-tugas tersebut. Hal ini dikarenakan anak tersebut belum bisa membaca dengan baik sehingga tidak bisa menginterprestasikan tugas-tugas tersebut sesuai dengan yang dimaksudkan (pemahaman konsep). Faktor penyebab lain, perintah atau petunjuk itu sendiri alasannya kurang jelas dan sulit untuk dipahami oleh murid-murid. Akibatnya murid menjadi salah menginterprestasikan paham konten yang mereka pelajari. Sehingga, mereka kurang berhasil untuk mengetahui ketidakcocokan bagian pengetahuan yang mereka peroleh sebelumnya dengan pengetahuan yang sebenarnya. Materi kurikulum dan strategi mengajar harusnya memberikan kejelasan kepada anak didik didik tentang konten-konten apa yang sebenarnya apa yang dikerjakan. Kedua hal tersebut, seharusnya secara explisit memuat bagaimana pengetahuan yang sedang dipelajari itu ada kaitannya dengan pengetahuan anak sebelumnya. Materi kurikulum dan strategi mengajar juga harus dapat
104
digunakan untuk mengantisipasi bagian-bagian tertentu dimana anak-anak kemungkinan akan menghadapi kesulitan. 2) Membantu anak didik dalam meningkatkan konsep Materi kurikulum dan strategi mengajar harusnya memberikan dukungan ekstensif pada anak didik untuk bisa menyadari bahwa mereka akan memahami suatu konsep apabila mereka belajar tekun dan berupaya keras. Tetapi perlu diingat, bahwa kemampuan intelektual anak didik bermacam-macam, itu itu desain materi kurikulum harus simpel yang memungkinkan dapat diakses oleh semua pihak. Di sini terlihat pentingnya peran guru untuk memberikan perhatian dan dorongan kepada setiap individu anak. Dengan terus menerus sukses dalam tes misalnya, memungkinkan anak untuk secara bertahap membangun dasar-dasar pengetahuan. 3) Membantu anak didik untuk menyadari betapa pentingnya pengetahuan suatu konsep Sebagai anak didik menyadari bahwa pemahaman konsep merupakan tujuan utama belajar. Tetapi secara umum, mereka tidak menjadikannya sebagai tujuan belajar pribadinya. Mereka umumnya lebih konsen akan perlunya berkompetisi untuk mendapatkan nilai terbaik diantara teman sekelasnya. Mereka pada umumnya beranggapan bahwa nilai tes sangat penting untuk meningkatkan status diantara teman-temannya. Sehingga dengan nilai
tes
nya
yang
tinggi
tidak
akan
ada orang
yang
105
menganggapnya sebagai orang bodoh. Sebagai konsekuensi, mereka lebih cenderung belajar untuk lulus tes, malah ada kalanya hanya menghafal jawaban-jawaban dari soal-soal bekas lainnya. Disini dapat dilihat masalah motivasi belajar mereka yang telah menempatkan rendahnya value untuk belajar pemahaman konsep. Disini pula tugas guru lebih ditantang, dalam rangka memberi pengertian kepada anak didik betapa pentingnya pemahaman suatu konsep untuk kehidupan sehari-hari terutama di era informasi dan teknologi baik masa kini maupun di masa yang akan datang. 4) Membantu anak didik untuk mengembangkan sikap positifnya Banyak pelajar yang tidak begitu senang terhadap suatu mata pelajaran tertentu, misalnya sains, matematika. Sebagian dari mereka malah dihantui oleh perasaan negatif seperti menganggap bahwa bidang sains atau matematika hanya untuk laki-laki, sains merupakan bidang pelajaran yang sulit dan memusingkan dan banyak lagi begitu pula matematika hal yang sangat ditakuti pula. Akibat dari perasaan dan sikap negatif yang demikian itu, pelajaran sains atau matematika menjadi mata pelajaran yang tidak disukai oleh siswa dan bahkan guru pula. Hal tersebut menjadikan kualitas motivasi anak untuk belajar baik pelajaran sains maupun matematika
sangat
rendah,
sehingga
menghambat
proses
pemahaman konsep. Untuk itu sikap negatif terhadap pelajaran sains atau matematika maka strategi mengajar dan materi
106
kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan setiap individu anak didik. Di sini peran guru sangat penting didalam memberikan dorongan kepada setiap individu peserta didik terutama kepada mereka yang lemah latar belakang pengetahuan sains atau matematikanya.
E. Keterkaitan Efektivitas Proses Pembelajaran, Manajemen Kelas dan Motivasi Belajar Siswa Guru yang profesional adalah sosok guru yang dapat menjadi panutan di dalam melaksanakan tugasnya baik tugas instruksional maupun tugas-tugas sosial lainnya. Penguasaan materi pelajaran yang menjadi salah satu ciri dari guru profesional akan mampu menciptakan pembelajaran yang efektif. Menurut Moh. Uzer Usman (2006: 27) bahwa sekolah dan pembelajaran di kelas akan menjadi efektif jika dilakukan oleh guru-guru yang profesional. Efektivitas proses pembelajaran yang telah dimiliki oleh guru harus ditunjang oleh manajemen kelas yang efektif yaitu mewujudkan situasi dan kondisi kelas, baik sebagai lingkungan belajar maupun sebagai kelompok belajar,
yang
memungkinkan
peserta
didik
untuk
mengembangkan
kemampuan semaksimal mungkin. Kontribusi dan manajemen kelas di atas hanya akan dapat dimiliki jika guru tersebut memiliki motivasi berprestasi. Pendapat Morgan dalam Winataputra (1996) motivasi dapat didefinisikan sebagai tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkalaku ke arah suatu tujuan
107
tertentu. Tujuan tercapainya keberhasilan di dalam menyampaikan materi pelajaran dengan cara membimbing dan melatih para siswa. Dalam Winataputra (1996) Mc Clelland mengatakan seseorang mempunyai motivasi untuk bekerja karena adanya kebutuhan untuk berprestasi. Motivasi di sini merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu: (1) harapan untuk melakukan tugas dengan berhasil, (2) persepsi tentang nilai tugas tersebut, dan (3) kebutuhan untuk keberhasilan atau sukses.
F. Studi Terdahulu yang Relevan Sudah banyak penelitian terdahulu yang memiliki kaitan dengan penelitian yang penulis lakukan. Ternyata efektivitas proses pembelajaran dipengaruhi oleh motivasi berprestasi dan kompetensi guru, seperti manajemen kelas, kepribadian, dan sosial. Adapun penelitian terdahulu yang dimaksud adalah : 1. Eka Kurniawan (2006) dkk. Manajemen motivasi pada Departemen Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung. Dari hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa motivasi dapat mempengaruhi 26.5% terhadap efektivitas proses pembelajaran karyawan/dosen pegawai. Dan motivasi perlu dibangun oleh pemimpin, baik berupa pemberian insentif, pengembangan karir secara terus menerus. 2. Rasto
(2006).
Kajiannya
difokuskan
pada
faktor-faktor
yang
mempengaruhi efektivitas proses pembelajaran, meliputi kompetensi guru, motivasi, dan budaya organisasi. Dari hasil penelitiannya dapat
108
disimpulkan bahwa kompetensi guru (X.1) 25,34% berpengaruh terhadap efektivitas proses pembelajaran. Sedangkan motivasi (X.2) 5,39% berpengaruh terhadap efektivitas proses pembelajarannya. 3. Ani Sri Rejeki (2005). Penelitiannya tentang pengaruh motivasi berprestasi dan sistem penghargaan terhadap kepuasan kerja guru. (Kajian analisis pada para guru SMP Yayasan Penyelenggaraan Ilahi). Dari hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa Pengaruh Motivasi Berprestasi Guru terhadap Kepuasan Kerjanya sebesar 26,5%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi memiliki peranan yang sangat besar untuk dapat mempengaruhi efektivitas proses pembelajaran. Untuk itu perlu direkomendasikan beberapa hal antara lain: peningkatan motivasi berprestasi dengan cara peninjauan kembali perlakuan-perlakuan yang diberikan guru, pemberian kesempatan untuk studi lanjut, berkreasi dan aktif memproses pembelajarannya. 4. Yayah Rahyasih (2006). Kontribusi Persepsi dan Motivasi Berprestasi Terhadap Efektivitas Proses Pembelajaran. Dari hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa variabel Motivasi Berprestasi (X.2) berkontribusi 36,50% terhadap efektivitas proses pembelajaran. Rekomendasi yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa untuk memperbaiki efektivitas proses pembelajaran pada Biro di lingkungan Universitas Pendidikan
Indonesia
dapat
dilakukan
diantaranya
dengan
cara
membangkitkan motivasi berprestasinya. 5. I Wayan Suena (2004). Penelitiannya mengungkap tentang pengaruh motivasi berprestasi dan latar belakang pendidikan terhadap efektivitas
109
proses pembelajaran. Penelitiannya bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan variabel motivasi berprestasi dan latar belakang pendidikan guru serta hubungan dan pengaruhnya terhadap efektivitas proses pembelajaran. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dari empat hipotesis yang diajukan semuanya diterima dan didukung oleh data empirik, disimpulkan bahwa pengaruh motivasi berprestasi terhadap efektivitas proses pembelajaran sebesar 24%. 6. Ridwan (2006). Permasalahan yang diangkat dalam penelitiannya adalah “Bagaimana kontribusi kompetensi profesional dan motivasi kerja terhadap efektivitas proses pembelajaran”. Tujuannya untuk mengetahui kontribusi kompetensi profesional dan motivasi kerja terhadap efektivitas proses pembelajaran. Dari hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa (1) kompetensi profesional secara langsung berkontribusi dengan signifikan terhadap efektivitas proses pembelajaran sebesar 3,46%. (2) motivasi kerja secara langsung berkontribusi dan signifikan terhadap efektivitas proses pembelajaran sebesar 61,94%. (3) secara simultan kompetensi professional dan motivasi kerja berkontribusi secara signifikan terhadap efektivitas proses pembelajaran sebesar 90%. 10% sisanya merupakan pengaruh yang datang dari faktor-faktor lain. Misalnya: kepemimpinan, kompensasi,
iklim kepuasan,
organisasi, loyalitas,
etos
kerja,
pelayanan,
produktivitas, bauran pemasaran dan lain-lain.
budaya
organisasi,
negosiasi,
mutu,