BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 KAJIAN TEORITIS 2.1.1 Karakteristik Lahan Sawah Bukaan Baru Pada dasarnya lahan sawah membutuhkan pengolahan yang khusus dan sangat berbeda dengan lahan usaha tani pada lahan kering. Menurut Hardjowigeno dan Rayes (2005) tanah sawah berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan dengan membuat saluran drainase berupa sistem irigasi sehingga pengelolaan tanahnya dalam keadaan tergenang yang menyebabkan terjadinya perubahan sifat tanah dari asalnya. Sawah bukaan baru akan terjadi perubahan dari lahan kering menjadi menjadi lahan basah setelah dilakukan penggenangan sehingga hal ini selalu menjadi kendala dalam pencetakan lahan sawah. Menurut Hikmatullah (2002) salah satu kendala yang muncul apabila lahan kering digenangi untuk dibuat sawah adalah pada tahun-tahun pertama akan timbul perubahan sifat-sifat kimia tanah, yaitu bentuk reduksi Fe3+ dan Mn3+ dalam konsentrasi tinggi akan mengakibatkan keracunan pada tanaman padi dan mempengaruhi kesuburan tanah. Produktivitas tanah pada sawah bukaan baru tergolong masih rendah karena berkaitan dengan kemasaman tanah, karena konsentrasi toksik Fe dan Mn serta kahat Ca dan Mg; hara K mudah tercuci; jerapan P, S dan Mo; pengaruh buruk dari H+ dan hubungan tata air dengan udara (Suriadikarta dan Hartatik, 2004). Selama proses pembentukan sawah, sifat fisik tanah mengalami perubahan selama proses reduksi dan oksidasi dalam tanah dan proses iluviasi dan eluviasi bahan kimia atau partikel tanah akibat proses pelumpuran dan drainase (Hardjowigeno dan Rayes, 2005). Menurut Ponnamperuma (1972) tanah yang dijadikan sawah pada saat penggenangan semua pori tanah akan terisi dengan air sehingga aerasi dalam tanah sangat dibatasi dan pada hal tersebut menyebabkan tanah menjadi berlumpur dengan tekstur yang agak berat sampai berat. Menurut Bouman et al. (2007), keuntungan dalam pelumpuran dari penggenangan tanah adalah mempermudah dalam pengendalian gulma karena berkurangnya kompetisi antara
4
tanaman padi yang dibudidayakan dengan gulma dan mengurangi permeabilitas tanah. Menurut De Datta (1981) pelumpuran mempermudah pindah tanam bibit padi pada lahan yang sudah disediakan sehingga dapat mengurangi perekrutan tenaga kerja. Tentu saja pada lahan kering yang akan dijadikan lahan sawah akan mengalami proses tersebut sehingga terbentuklah lahan sawah bukaan baru dan menjadi lahan sawah yang produktif untuk pertumbuhan tanaman padi yang baik. Menurut De Datta (1981) jika keadaan tanah menguntungkan, pembentukan lahan sawah dapat terjadi pada rentang waktu 50 – 100 tahun.
2.1.2 Pengelolaan Air pada Tanah Sawah Bukaan Baru Budidaya padi dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori menurut jenis pengelolaan airnya. Menurut Vergara dan Dikshit (1982) sawah pada daerah tergenang pemberian air dilakukan dengan kedalaman air dan waktu penggenangan yang berbeda-beda, namun tingkat penggunaan air yang tinggi tidak berlangsung lama hanya kurang dari sebulan. Menurut Taslim dan Fagi (1988) pada lingkungan sawah, pengairan dibutuhkan sepanjang masa tumbuh tanaman padi, yaitu antara 120 hari hingga 175 hari didukung dengan iklim kering, panas dan matahari cerah selama periode masak dan panen serta melihat ketersediaan air selama masa tanam padi dalam satu tahun. Untuk budidaya padi sawah, pengairan dapat mendukung persyaratan tumbuh serta mengatasi kendalakendalanya (Soepraptohardjo dan Suwardjo, 1988). Menurut Bouman et al. (2007), setelah tanaman padi ditanam, tanah biasanya digenangi terus menerus hingga 1 sampai 2 minggu sebelum panen padi pada ketinggian air genangan mencapai 5 sampai 10 cm di atas permukaan tanah dan hal ini harus dilakukan untuk mencegah adanya aliran air yang tidak produktif dan hilang akibat perkolasi, transpirasi, limpasan dan rembesan yang keluar dari kawasan sawah untuk kontribusi pada lahan sawah menjamin pertumbuhkembangan tanaman padi. Air mengambil peran penting dalam produksi padi. Tidak seperti kebanyakan pada sistem budidaya komoditas lainnya, air digunakan untuk kebutuhan tanaman padi untuk berevapotransiprasi dan pengelolaan air
5
pada persiapan lahan dan drainase air sebelum tahap anakan dimulai (Hundertmark dan Facon, 2003). Kendala yang menonjol pada penggunaan lahan yang akan dicetak menjadi sawah bukaan baru adalah masalah kesuburan tanah karena kemungkinan adanya gejala keracunan besi dan mangan sehingga salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menentukan tinggi genangan air dan pencucian Fe dan Mn dengan irigasi (Hikmatullah, 2002). Menurut Ismunadji dan Roechan (1988) pemberian genangan dapat menaikkan pH pada tanah asam dan menurunkan pH pada tanah basa yang umumnya pH tanah yang sudah digenangi mendekati netral atau nilai pH 7,0 sehingga hal ini akan berpengaruh pula dalam keberadaan Fe dan Mn dengan ditiadakannya keracunan Fe dan Mn. Tentu saja penggenangan harus dilakukan guna meminimalisir permasalahan dalam rangka pembudidayaan padi sawah pada lahan sawah bukaan baru seperti pada pernyataan Kartasapoetra dkk. (1991), bahwa pemberian air pengairan terhadap petak-petak sawah hendaknya diperhatikan agar ketersediaan air sejak pembuatan persemaian, pengolahan tanah, penanaman dan kegiatan bersawah pada umunya sampai pertumbuhan dan perkembangan tanaman tetap terjamin dengan baik, penghentian pemberian air pengairan hanya dilakukan 10 sampai 14 hari sebelum masa panen. Bouman et al. (2007), jika lahan tidak digenangi secara terus menerus sampai pada waktu yang ditentukan, maka efek yang menguntungkan bagi tanaman padi akan menghilang secara bertahap dengan berkurangnya ketersediaan fosfor, besi dan seng akibat perubahan kondisi tanah menjadi aerobik yang berdampak negatif pada perubahan pH. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sulistiyono dan Hayati (2013) melaporkan bahwa penggenangan dengan tinggi genangan pada -2,5 cm ; 0 cm dan 2,5 cm di atas permukaan tanah hingga umur pengamatan 8 mst tidak mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman,jumlah anakan, hasil gabah dan komponen hasil tanaman padi sawah. Dari data tersebut menunjukkan bahwa tinggi genangan sampai pada 2,5 cm di atas permukaan tanah belum menunjukkan level tinggi genangan yang optimal untuk pertumbuhan padi sawah dilihat dari parameter tinggi tanaman dan jumlah anakan tanaman padi pada sawah bukaan baru yang baik meskipun dari sisi penghematan dan produktivitas air yang
6
digunakan baik. Karena menurut Chandler, Jr (1979) idealnya ketinggian genangan yang diaplikasikan pada padi sawah yaitu 5 cm di atas permukaan tanah sampai 7 cm di atas permukaaan tanah.
2.1.3 Produktivitas Air Sawah Bukaan Baru Menurut
Sukristiyonubowo
dkk.
(2014),
produktivitas
air
dapat
didefinisikan sebagai hasil secara ekonomi atau fisik setiap penggunaan air atau secara umum didefinisikan sebagai hasil padi atau tanaman setiap satu m3 (meter kubik) air yang digunakan. Produktivitas air ini akan berbeda beda antar daerah ataupun antar lokasi tergantung pada rotasi tanam seperti penanaman palawija kemudian padi, faktor iklim seperti curah hujan dan zona agroklimat, sistem pengairan seperti irigasi atau mengandlkan air hujan dan pengelolaan air seperti pengairan secara terus-menerus, terputus (intermittent) dan macak-macak (Cai and Rosegrant, 2003). Menurut Bouman et al., (2007) produktivitas air merupakan konsep produktifitas parsial dan menunjukkan jumlah atau nilai dari air yang digunakan untuk menghasilkan gabah yang diproduksi. Maka dari itu pengukuran produktivitas air pada sawah bukaan baru penting dilakukan untuk mengetahui jumlah penggunaan air untuk menghasilkan setiap berat dari gabah yang dihasilkan.
2.1.4 Kajian Penelitian Terdahulu Pada penelitian Sukristiyonubowo dkk. (2012), menunjukkan bahwa penggenangan setinggi 3 cm memberikan pengaruh nyata dan meningkatkan hasil tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lain terhadap jumlah anakan sampai pada panenan dan produksi panen gabah tanaman padi sawah varietas Ciliwung di sawah bukaan baru daerah Panca Agung, Kabupaten Bulungan.. Menurut hasil penelitian Sukristiyonubowo (2010) pengelolaan air dengan perlakuan tinggi genangan air 5 cm terus menerus dan tinggi penggenangan 5 cm secara intermittent (2 minggu digenangi – 1 minggu kering) meningkatkan secara nyata berat jerami segar, berat gabah saat panen dan berat gabah kering giling (kadar air 14%) jika dibandingkan dengan perlakuan tinggi genangan lainnya. Besarnya hasil yang dicapai pada tinggi genangan air 5 cm secara terus menerus
7
dan yang intermittent masing-masing adalah 8,06 ± 2,9 t ha-1 dan 10,80 ± 0,9 t ha1
untuk berat jerami segar; 4,44 ± 0,5 t ha-1 dan 4,78 ± 0,5 t ha-1 untuk berat gabah
saat panen; dan 4,04 ± 0.6 t ha-1 dan 4,14 ± 0,5 t ha-1 untuk berat gabah kering giling. Menurut hasil penelitian Junaidi dkk., (2005) pemberian air dengan cara pengeringan sampai pada 21 hari setelah tanam dan dilanjutkan dengan penggenangan interval 21 hari menunjukkan hasil yang mengindikasikan tereduksinya Fe dengan baik yang kemudian diikuti dengan perlakuan cara pengeringan
kemudian
digenangi
dengan
interval
45
hari,
sedangkan
penggenangan secara terus menerus menunjukkan hasil pertumbuhan tanaman padi pada lahan sawah bukaan baru yang paling rendah. Pada penelitian Sukristiyonubowo, dkk (2013) menunjukkan bahwa pemeberian air secara terus menerus dengan tinggi genangan 5 cm di atas permukaan tanah (kontrol) memberikan pengaruh nyata pada parameter tinggi tanaman, jumlah anakan, hasil padi dan berat 1000 butir (gram) dibandingkan dengan perlakuan macak-macak (0,5 cm di atas permukaan tanah) dan intermitten dengan dua minggu periode basah tinggi genangan 5 cm di atas permukaan tanah dan kering selama satu minggu. Pada perlakuan macak macak dengan ketinggian air 0,5 cm dan intermitten dengan tinggi genangan air 5 cm pada periode basah masing masing menghasilkan produktivitas air yang terbaik yaitu 0,78 gram liter-1 dan 0,40 gram liter-1,yang berarti pula bahwa perlakuan tersebut dapat menghemat air kurang lebih 32 sampai 172 x 105 liter musim-1.
2.2 Hipotesis Penelitian 1. Pengelolaan air berpengaruh terhadap tinggi tanaman 30 HST, 60 HST dan menjelang panen, jumlah anakan 30 HST, 60 HST dan menjelang panen, berat jerami kering, jumlah malai rumpun-1, berat gabah kering panen, berat gabah kering giling dan berat 1000 butir tanaman padi pada sawah bukaan baru. 2. Pengelolaan air secara intermitten 1-1 dengan pupuk rekomendasi mampu memberikan
pertumbuhan dan hasil tanaman padi pada lahan sawah
bukaan baru dilihat dari tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah malai
8
rumpun-1, berat jerami kering, berat gabah kering panen, berat gabah kering giling dan berat 1000 butir yang tidak berbeda nyata dengan pengelolaan air secara terus-menerus sesuai dengan standar pengelolaan air petani setempat dengan penambahan pupuk rekomendasi. 3. Pengelolaan air secara macak-macak mampu memberikan produktivitas air padi tertinggi pada sawah bukaan baru. 2.3 Pengukuran dan Definisi Variabel Variabel Terikat : Variasi tinggi genangan dan waktu penggenangan secara terputus (intermittent) yang diaplikasikan. Variabel Bebas : 1. Pengelolaan air yang dilakukan meliputi pengaturan tinggi genangan pada satuan cm di atas permukaan tanah dan pengairan yang terputus/berselang (intermittent). 2. Tinggi tanaman yang dipanjangkan (cm) pada fase vegetatif diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun terpanjang per rumpun dilakukan pada 30 HST dan 60 HST pada 10 sampel tanaman tiap petak. Tinggi tanaman fase generatif diukur pada saat menjelang panen diukur dari permukaan tanah sampai malai terpanjang pada 10 sampel tanaman tiap petak. 3. Jumlah anakan merupakan jumlah semua individu pada satu rumpun yang dihitung pada 30 HST, 60 HST dan pada saat menjelang panen pada 10 sampel per petak, sedangkan jumlah malai per rumpun adalah jumlah individu pada satu rumpun yang menghasilkan malai hanya pada saat menjelang panen pada 10 sampel per petak. 4. Berat Gabah Penen merupakan penentuan Gabah Kering Panen (GKP) dengan penentuan pada satuan gram (g) yang diukur sesaat setelah dipanen, sedangkan penentuan Gabah Kering Giling (GKG) dilakukan dilakukan dengan mengambil contoh 2 kg GKP kemudian dikeringkan dan dihitung berat kering dari 2 kg GKP. Dari hasil pengeringan diperoleh gabah kering giling (GKG) dari hasil 2 kg GKP. Dari hasil tersebut dikonversikan menjadi t ha-1.
9
5. Berat
kering jerami
ditentukan dengan
mengambil
dengan
mengambil contoh jerami basah yang telah ditimbang terlebih dahulu sebanyak 1,5 kg kemudian dikeringkan dan ditimbang kembali untuk mendapat berat kering jerami dari 1,5 kg berat jerami basah. Kemudian dapat dikonversikan menjadi t ha-1. 6. Bobot 1000 butir gabah merupakan bobot yang ditimbang pada setiap panenan gabah bernas per petak pada jumlah 1000 butir gabah bernas dari contoh gabah GKG dengan kadar air 17%, kemudian ditimbang menggunakan timbangan halus. 7. Produktivitas air merupakan rasio antara hasil gabah kering panen dengan air yang dibutuhkan (dalam liter) untuk memproduksi satu gram gabah (gram liter-1) setelah diketahui berat gabah kering panen (Sukristiyonubowo, 2010)
10