BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Keadaan Umum Perairan Laut Jawa dan Selat Makassar Laut Jawa terletak hanya 220 mil dari pulau Kalimantan dan perairan pantai utara Jawa yang meliputi laut teritorial kepulauan. Laut Jawa terkadang disamakan sebagai “Mediterania/Laut Tengah”nya Indonesia. Perairan Laut Jawa bertemu di sebelah barat dengan laut Cina melalui Selat Karimata, di sebelah selatan dengan Samudera Hindia melalui Selat Sunda dan Selat Bali, di timur dengan Laut Flores dan Laut Sulawesi melalui Selat Makassar (Lubis et al. 2005). Laut Jawa merupakan Laut yang tidak terlalu dalam. Isodepth 20 m terletak pada jarak puluhan mil dari laut lepas, sedangkan di selatan Laut Jawa, yang ditemui pada jarak tersebut adalah Isodepth 200 m. Pada kedalaman rata-rata 40 m, Laut Jawa membentuk lereng yang menurun secara perlahan-lahan menuju timur, dengan kedalaman 30-an meter di bagian Baratnya dan di bagian kanan dari Selat Karimata, sekitar 60-an meter di bagian tengahnya dan mencapai 90 m di sebelah Barat, pada jarak beberapa mil dari Pulau Madura (Lubis et al 2005). Hal ini seperti suatu daratan yang tergenang dan terhubung dengan perluasan bagian Timur dangkal Sunda, beberapa kali terbentuk dataran di laut ini pada zaman batu atau poloelitik (Pleistocene). Garis yang membagi perairan Laut Jawa yang terletak di Selat Karimata saat ini, yang memisahkan dua daerah aliran sungai yang besar, yang pertama mengalirkan airnya ke arah utara, ke dalam Laut Cina, yang kedua mengumpulkan airnya dari selatan Kalimantan, Timur Sumatera, dan dari utara Jawa, selanjutnya mengalirkannya melalui bentuk lereng yang menurun secara perlahan – lahan sampai ke Laut Flores di bagian Timur (Potier 1998). Suhu permukaan Laut Jawa menunjukkan nilai yang stabil dengan ratarata tahunan 28 ºC dengan
simpangan suhu berkisar antara 2-3 ºC. Tetapi,
terbatasnya fluktuasi tersebut menghasilkan siklus tahunan yang tidak begitu nyata. Suhu paling rendah ditemukan pada bulan Februari dan Agustus yaitu saat musim berlangsung dengan baik. Suhu paling tinggi terjadi pada bulan April, mei, dan November pada saat peralihan musim (Potier 1998). Arus yang terdapat di Laut Jawa menyebar secara luas di seluruh perairannya. Dari bulan Mei – September arus laut mengalir ke barat dan 5
6
sebaliknya dari bulan November- Maret arus laut mengalir ke timur. Bulan April – Oktober arah arus laut berubah dan biasanya dalam bulan ini terdapat arus mengalir ke timur di lepas pantai Jawa dan arus mengalir ke barat di lepas pantai Kalimantan. Di selat – selat sempit antara Kalimantan dan Sumatera seperti di Selat karimata dan Selat Gaspar, jika angin bertiup keras maka kecepatan arus permukaan sering mencapai 100 cm/det (Romimohtarto dan Sumiyati 1998). Sepanjang tahun, arus permukaan di Selat Makassar selalu mengalir ke selatan dengan kecepatan pada umumnya rendah. Kecepatan minimum terjadi dalam bulan – bulan Desember, Januari, dan Mei, sedangkan arus terkuat terjadi dalam bulan Februari, Maret, dan dari bulan Juli September. Selama angin monsun tenggara, massa air yang keluar dari bagian selatan Selat Makassar mengalir ke Laut jawa dan Laut Flores (Romimohtarto dan Sumiyati 1998). 2.2 Karakteristik Massa Air 2.2.1 Suhu Suhu perairan bervariasi baik secara horizontal maupun vertikal sesuai dengan kedalaman. Sebaran/variasi suhu secara vertikal di perairan Indonesia pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan homogen (mixed layer) di bagian atas, lapisan termoklin di tengah, dan lapisan dingin di bagian bawah. Menurut McPhaden dan Hayes (1991), adveksi vertikal dan entrainment dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan bahang dan suhu pada lapisan permukaan. Kedua faktor tersebut bila dikombinasi dengan faktor angin yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat mengakibatkan terjadinya upwelling. Upwelling menyebabkan suhu lapisan permukaan tercampur menjadi lebih rendah. Pada umumnya pergerakan massa air disebabkan oleh angin. Angin yang berhembus dengan kencang dapat mengakibatkan terjadinya percampuran massa air pada lapisan atas yang mengakibatkan sebaran suhu menjadi homogen. 2.2.2 Salinitas Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji 1987). Ross (1970) menyatakan bahwa salinitas permukaan laut tergantung pada perbedaan evaporasi
7
dan presipitasi. Salinitas permukaan di laut terbuka, bervariasi antara 33-37‰ dengan nilai rata-rata 35‰. Pada perairan dangkal, lapisan homogen berada hingga ke dasar dengan salinitas dan suhu yang homogen (Nontji 1987). Nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Perubahan terbesar dari salinitas terjadi di kedalaman antara 100-1000 m, daerah dimana terjadi perubahan salinitas yang sangat cepat disebut lapisan haloklin. Salinitas di perairan pantai utara Jawa pada bulan Desember erat hubungannya dengan keadaan sirkulasi air laut. Keadaan nilai salinitas yang semakin tinggi ke arah timur menunjukkan adanya aliran air laut dari Laut Cina Selatan masuk ke Laut Jawa, tetapi aliran air dari Laut Cina Selatan tersebut masih belum mempengaruhi kondisi perairan di sekitar perairan utara Jawa. Hal ini ditunjukkan oleh masih adanya air yang bersalinitas di atas 33‰. Isohalin 33‰ merupakan indikator massa air Laut Flores yang masuk ke Laut Jawa. Massa air Laut Cina Selatan yang mengalir ke Laut Jawa pada bulan Desember mempunyai salinitas yang lebih rendah akibat terjadinya pengenceran oleh curah hujan dan aliran air sungai di sepanjang pantai timur Sumatera dan pantai barat Kalimantan (Hadikusumah et.al 1980 dalam Amri 2002). 2.3 Arus Laut Menurut Gross 1990, arus merupakan gerakan horizontal atau vertikal dari massa air menuju kestabilan yang terjadi secara terus menerus. Gerakan yang terjadi merupakan hasil resultan dari berbagai macam gaya yang bekerja pada permukaan, kolom, dan dasar perairan. Hasil dari gerakan massa air adalah vektor yang mempunyai besaran kecepatan dan arah. Menurut Nining (2002) sirkulasi dari arus laut terbagi atas dua kategori yaitu sirkulasi di permukaan laut (surface circulation) dan sirkulasi di dalam laut (intermediate or deep circulation). Arus pada sirkulasi di permukaan laut didominasi oleh arus yang ditimbulkan oleh angin sedangkan sirkulasi di dalam laut didominasi oleh arus termohalin. Arus permukaan laut umumnya digerakan oleh stress angin yang bekerja pada permukaan laut. Angin cenderung mendorong lapisan air di permukaan laut dalam arah gerakan angin. Tetapi karena pengaruh rotasi bumi atau pengaruh gaya Coriolis, arus tidak bergerak searah dengan arah angin tetapi dibelokan ke arah kanan dari arah angin di belahan bumi utara dan arah kiri di belahan bumi selatan.
8
Jadi angin dari selatan (di belahan bumi utara) akan membangkitkan arus yang bergerak ke arah timur laut. Arus yang dibangkitkan angin ini kecepatannya berkurang dengan bertambahnya kedalaman dan arahnya berlawanan dengan arah arus di permukaan, teori tersebut dikenal dengan nama spiral Ekman.
Gambar 1. Spiral Ekman yang digerakan angin sebesar 10 m/s di Belahan Bumi Utara (Sumber: Oceanworld, Texas A&M University 2004) Menurut Azis (2006), pada kedalaman yang cukup besar antara 500 - 2000 m, kecepatan arus yang ditimbulkan angin ini menjadi nol. Kedalaman dimana kecepatan arus sama dengan nol disebut kedalaman tanpa gerakan atau kedalaman Ekman. Perubahan arah dan kecepatan arus terhadap kedalaman menimbulkan suatu transpor massa air yang arahnya tegak lurus ke arah kanan arah angin di belahan bumi utara dan ke arah kiri di belahan bumi selatan. Transpor massa air ini juga disebut sebagai transpor Ekman. Pengetahuan tentang transpor Ekman ini dapat digunakan untuk menjelaskan mekanisme timbulnya fenomena laut yang dikenal dengan nama upwelling dan downwelling. Upwelling adalah naiknya air dingin dari lapisan dalam ke permukaan laut sedangkan downwelling merupakan turunnya air permukaan laut ke lapisan lebih dalam. Upwelling memperbesar jumlah plankton di laut, karenanya daerah upwelling merupakan daerah perikanan yang kaya. Upwelling
terjadi karena adanya kekosongan massa air di lapisan
permukaan dan harus diganti oleh massa air di lapisan dalam. Downwelling terjadi karena adanya penumpukan massa di lapisan permukaan yang harus di
9
alirkan ke lapisan dalam. Mekanisme terbentuknya upwelling diperlihatkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Angin yang menimbulkan upwelling di belahan bumi utara (Sumber: Azis 2006) 2.4 Pengaruh Kondisi Oseanografi terhadap Sumberdaya Hayati Laut 2.4.1 Pengaruh Upwelling Tingginya produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Seperti yang dikemukakan oleh Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktivitas primer meningkat di sekitar ekuator, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi ekuator. Menurut Nontji (2005), Beberapa daerah upwelling di Indonesia sebagian sudah diketahui dan dibuktikan dengan pasti, tetapi dibeberapa daerah lainnya masih merupakan dugaan yang masih perlu dikaji lebih lanjut. Pada gambar 3 ditampilkan empat daerah yang sudah diketahui secara pasti sering terjadi upwelling yaitu Laut Cina Selatan, perairan Selatan Jawa hingga Sumbawa, selatan Selat Makassar, dan Laut Banda-Arafuru.
10
Gambar 3. Peta sebaran daerah upwelling di Perairan Indonesia (Sumber: Nontji 2005) 2.4.2 Habitat dan Penyebaran Ikan Layang Menurut Saanin (1968), ikan Layang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kelas
: Pisces
Subkelas
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Sub Ordo
: Percoidea
Divisi
: Perciformes
Sub Divisi
: Carangi
Genus
: Decapterus
Spesies
: Decapterus russelli, (Ruppel) Decapterus macrosoma, (Bleeker) Decapterus lajang, (Bleeker) Decapterus curroides, (Bleeker) Decapterus maruadsi, (Temminck & Schlegel)
Nama Indonesia
: Layang
11
Gambar 4.
Spesies ikan Layang (Sumber : Isa , et al. 1998 dalam Prihartini 2006)
Berdasarkan hasil penelitian Burhanuddin et al. (1983) diketahui bahwa kehidupan ikan Layang (terutama jenis Decapterus russelli dan Decapterus lajang) sangat tergantung pada plankton, terutama plankton hewani, oleh karena itu ikan Layang akan beruaya mencari daerah yang banyak mengandung plankton. Plankton merupakan salah satu parameter oseanografi yang dapat mempengaruhi kelimpahan ikan, khususnya ikan Layang. Ikan Layang juga tergolong stenohaline yang menyukai perairan dengan bersalinitas 32 ‰ – 34 ‰. Sebagai ikan pelagis yang suka berkumpul dan bergerombol, pemakan zooplankton, serta senang dengan perairan yang jernih,
12
ikan Layang banyak tertangkap di perairan sejauh 20-30 mil dari pantai (Hardenberg 1937; Djamali 1971 dalam Astuti 1999). Lebih lanjut Djamali (1971) dalam Astuti (1999) menjelaskan bahwa ikan Layang muncul di permukaan karena dipengaruhi oleh ruaya harian dari zooplankton yang terdapat di suatu perairan. Ruaya ikan Layang di perairan Indonesia mempunyai hubungan dengan pergerakan massa air laut walaupun secara tidak langsung. Ikan Layang sangat peka terhadap perubahan lingkungan dan bisanya beruaya mengikuti kadar garam dan ketersediaan makanan. Habitat lingkungan yang disenangi umumnya sekitar umbalan (upwelling), turbulensi (putaran) dan di perairan dengan kondisi yang sesuai. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan dan ukuran kesediaan ikan Layang adalah suhu, salinitas, oksigen terlarut, curah hujan, tingkat kekeruhan air, arus, dan umbalan (Astuti 1999). Astuti (1999) juga menyatakan tingkat kehidupan larva dan juvenil ikan Layang dipengaruhi oleh kombinasi antara suhu dan salinitas. Keadaan suhu rendah dan salinitas rendah sangat tidak disukai. Salinitas tinggi yang disukai adalah 32‰-35‰. Umumnya ikan Layang pada siang hari akan relatif jauh di bawah permukaan dan bergerombol, sedangkan pada waktu malam hari naik ke dekat permukaan secara terpencar. Terdapat kecenderungan layang bergerombol berdasarkan kelompok ukurannya. Kebiasaan makan ikan Layang umumnya pada waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam. Menurut Hardenberg (1971) dalam Djamali (1995) di Laut Jawa ditemukan tiga macam populasi ikan Layang, yakni ikan Layang utara, ikan Layang barat, dan ikan Layang timur. Selama Musim Timur, air dengan salinitas tinggi mengalir dari Laut Flores masuk ke Laut Jawa dan keluar melalui Selat Gaspar, Selat Karimata, dan Selat Sunda. Pada tahap permulaan ikan Layang yang masih kecil berasal dari Laut Flores bermigrasi ke barat dan sampai di Pulau Bawean. Pada Musim Timur pada bulan Juni sampai September terdapat banyak ikan Layang di Laut Jawa. Populasi ini ikan Layang disebut Ikan Layang Timur. Menurut Burhanuddin dan Djamali (1978), ikan Layang Timur terdiri dari dua
13
populasi. Populasi pertama berasal dari Selat Makassar dan populasi ke dua berasal dari Laut Flores. Pengamatan yang dilakukan Lembaga Oseanologi Nasional LIPI di perairan seperti Labuhan, Kota Agung (Lampung), Ujung Pandang, Kendari, Pulau Masalembo, Pulau Bawean, Tegal, Tuban, Situbondo, Banyuwangi dan Muncar jumlah hasil tangkapan baru tercatat pada Musim Peralihan dan Musim Timur untuk jenis ikan Layang Decapterus russelli (Astuti 1999). Menurut catatan Hardenberg (1937) dalam Djamali (1995), ikan Layang di Laut Jawa tertangkap dalam jumlah banyak pada puncak Musim Timur. Pada saat itu ikan Layang sudah berukuan besar dan musim relatif tenang sehingga memungkinkan nelayan tradisional menangkap ikan ini di laut yang agak jauh dari daratan (Astuti 1999). 2.5 Simple Ocean Data Assimilation (SODA) Reanalysis SODA adalah program berkelanjutan untuk mengembangkan reanalisis dari upper ocean untuk kepentingan studi iklim sebagai pelengkap reanalisis atmosfer. Sejauh ini telah tercatat serangkaian percobaan reanalisis mencakup periode 44-tahun dari 1958-2001 dengan analisis diperpanjang dari tahun 20002004. Model sirkulasi laut global SODA dibangun dengan menggunakan pemodelan numerik yang berbasis kepada model Parallel Ocean Program (POP) dengan rata-rata resolusi horizontal sebesar 0,25ox0,4o dan 40 vertikal level dengan jarak 10 meter dekat permukaan, sedangkan khusus untuk di wilayah barat utara Atlantik resolusi spasialnya sebesar 25x25 km2 (Carton et al. 2005). Model POP sendiri menggunakan metode pendekatan diskritisasi finite difference. Metode pembentukan grid/mesh yang digunakan adalah structured dengan bentuk elemen berupa persegi (Carton 2006). Formulasi dalam model ini menggunakan persamaan dasar gerak fluida tiga-dimensi, yaitu persamaan hidrostatik dan pendekatan Boussinesq (Smith et al. 2010). Persamaan-persamaan tersebut secara sederhana dapat dijelaskan kedalam persamaan gerak dinamika oseanografi dalam arah x dan y (Pond dan Pickard 1983; Backhaus 1985; Rizal dan Sündermann 1994; Huang et al. 1999 dalam Rizal 2009):
14
Dalam arah z digunakan persamaan hidrostatika yang disederhanakan dalam bentuk:
Persamaan keadaan air laut:
Persamaan konservasi temperatur:
Persamaan konservasi salinitas:
Persamaan kontinuitas:
di mana u(x,y,z,t), v(x,y,z,t) dan w(x,y,z,t) merupakan kecepatan arus dalam arah x, y dan z, t waktu, sedangkan f = 2ω sin ϕ adalah parameter Coriolis, ω adalah
kecepatan sudut rotasi bumi, dan ϕ merupakan lintang geografi; ζ(x,y,t) merupakan elevasi permukaan air yang diukur dari permukaan air tenang, h(x,y) merupakan kedalaman air yang juga diukur dari permukaan air tenang, g adalah konstanta percepatan gravitasi, Hxk dan Hyk secara bersamaan merupakan ketebalan lapisan dalam arah u dan v pada lapisan ke k, dan ∇H adalah operator
gradient horizontal. Ah adalah koefisien pertukaran turbulensi horizontal dan Av adalah koefisien viskositas eddy vertikal. KH dan KV adalah koefisien difusi eddy horizontal dan vertikal. ST dan SS adalah suku temperatur dan salinitas. Persamaan (1), (2), dan (3) digunakan untuk memodelkan dinamika oseanografi melalui proses diskrisitasi menggunakan metode elemen hingga skema semiimplisit. Tekanan hidrostatis p (dengan mengabaikan suku gρ0 z dan pa,
15
dikarenakan tidak memiliki kontribusi terhadap gradien tekanan horizontal) pada arah z dituliskan (Rizal 2009):
Dikarenakan berhubungan dengan syarat stabilitas pada langkah waktu yang harus dipenuhi oleh simulasi numerik, tekanan pada persamaan (8) dipisahkan menjadi dua suku yaitu: komponen Barotropik (ζρ1 g) dan komponen Baroklinik (I), di mana p adalah tekanan hidrostatik, ρ densitas aktual, ρ0 densitas referensi (reference density) ρ’=ρ- ρ0 adalah densitas anomali (Rizal 2009). Data yang digunakan dalam reanalisis ini adalah data utama subsurface temperature dan salinitas dari World Ocean Database 2001 yang diperbaharui secara online pada bulan Desember tahun 2004. Data angin permukaan diambil dari prediksi the Europen Center for Medium Range Weather ERA-40 reanalisis untuk periode 44 tahun dari 1 Januari 1958 sampai 31 Desember 2001. Data sea level diambil dari satelit GEOSAT pada pertengahan tahun 1980-an dan berlanjut dengan data dari satelit lainnya seperti ERS/1-2, TOPEX/POSEIDON, dan JASON yang dimulai pada tahun 1991, selain itu digunakan pula data ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler) untuk keperluan reanalisis arus di daerah ekuator (Carton et al. 2005). Algoritma data asimilasi ini didasarkan pada analisis berurutan dengan siklus update 10 hari. Kemudian simulasi akan berulang dari waktu t dengan penambahan koreksi suhu dan salinitas secara bertahap pada setiap langkah waktu. Cara kerja seperti ini akan menghilangkan bias dalam model prediksi sebesar 50% (Carton et al. 2005). Output yang dihasilkan dari variabel model ini adalah suhu, salinitas, kecepatan arus, dan tinggi muka air laut (sea level) yang memiliki resolusi spasial 0,5o x 0,5o x 40-level grid, dan tersimpan pada interval per lima hari dan perbulan, tersedia dalam bentuk format netCDF (besar file per lima hari sebesar 157Mb, untuk file berisi data perbulan lebih dari 83Gb). Selain variabel suhu, salinitas, kecepatan arus, dan level muka air laut, program ini juga memproduksi data turunan dua-dimensi seperti sifat-sifat material pada permukaan kepadatan konstan.
16
Carton et al. (2005) membandingkan tinggi muka laut reanalisis dengan data yang terekam dari 20 tide gauge dengan lama waktu perekaman data rata-rata 37 tahun. Perbandingan dengan data dari satelit altimetri TOPEX/Poseidon menunjukkan bahwa korelasi altimeter dan tingkat reanalisis kondisi muka laut ketika siklus musiman yang kuat mencapai nilai tertinggi di daerah tropical Samudera Pasific dan Samudera Hindia yaitu r = 0,7, dan umumnya menurun dengan meningkatnya lintang, seperti di perairan Samudera Atlantik dan daerah lintang tengah lainnya nilai korelasi menjadi 0,4-0,5. Variabilitas tingkat rootmean-square reanalisis sea level sedikit lebih besar daripada yang diperoleh dari single-altimeter, namun sesuai dengan hasil dari multiple-altimeter.
Gambar 5. Root-mean-square variabilitas tinggi muka laut di Teluk Meksiko dalam periode sembilan tahun (1993-2001) dari data TOPEX/Poseidon altimetri dan hasil reanalisis dengan data rerata bulanan (Sumber: Carton et al. 2006) Kombinasi data altimetri dari beberapa satelit yang digunakan, terjadi peningkatan variabilitas tinggi muka laut sebesar 50%, selain itu, telah dilakukan pula beberapa perbandingan data hasil program reanalisis dengan data observasi seperti yang ditunjukkan oleh gambar 6 dan 7.
17
Gambar 6. Anomali suhu potensial relatif (oC) di seluruh perairan dunia pada kedalaman rata-rata 0/700m selama 40 tahun dengan tampilan data rerata per tahun yaitu: 1960-1969, 1970-1979, 1980-1989, dan 19901999. Empat panel disebelah kiri memperlihatkan hasil analisis observasi dari Levitus et al. (2005). Empat panel di sebelah kanan memperlihatkan hasil reanalisis (Sumber: Carton et al. 2006)
18
Gambar 7. Perbandingan nilai kecepatan zonal pada posisi 0oLU, 140oBT hasil observasi dengan hasil reanalisis (Sumber: Carton et al. 2006) Gambar 6 menunjukkan perbandingan nilai hasil observasi yang diperoleh dari ADCP (warna hitam) dengan hasil reanalisis SODA 1.4.2 (warna merah) dan percobaan reanalisis SODA 1.4.3 menggunakan data angin QuikSCAT (warna biru). Interval data yang digunakan adalah rata-rata per lima hari. Nilai korelasi antara hasil observasi dan hasil reanalisis yaitu sebesar 0,55 untuk kedalaman 25m, 0,69 untuk kedalaman 50m, 0,79 untuk kedalaman 100, dan 0,58 untuk kedalaman 150m.