BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Karakteristik Benih Ikan Nila Nirwana (Oreochromis niloticus) Benih ikan merupakan ikan yang baru menetas sampai mencapai ukuran
panjang tubuh sekitar 5-6 cm. Benih berkualitas merupakan salah satu jaminan keberhasilan suatu budidaya. Benih berkualitas rendah akan menimbulkan usaha pemeliharaan yang tidak ekonomis, karena penggunaan pakan yang tidak efisien, pertumbuhan yang lambat, tidak seragam, mudah terserang penyakit, dan akhirnya produksi budidaya sangat rendah. Benih unggul dapat dilihat dari pertumbuhan yang cepat, tingkat keseragaman yang tinggi, kelangsungan hidup yang tinggi, tahan terhadap perubahan lingkungan dan tahan terhadap serangan penyakit. Adapun menurut SNI: 01-6141-1999, ikan nila kelas benih sebar terdiri dari kriteria berdasarkan ukuran yaitu larva (0,6-0,7 cm), kebul (1-3 cm), gabar (3-5 cm), belo (5-8 cm), dan sangkal (8-12 cm). Ikan nila diklasifikasikan adalah sebagai berikut (Ghufran 2011): Filum Kelas Ordo Family Genus Species
: Chordata : Pisces : Periciformes : Cichilidae : Oreochromis : Oreochromis niloticus
Gambar 1. Benih Nila Nirwana (Oreochromis niloticus) Nila mempunyai banyak varietas, strain atau ras. Varietas-varietas tersebut dihasilkan dari perkawinan silang antara spesies dalam genus Oreochromis,
6
7
terutama untuk menghasilkan nila unggul. Beberapa varietas yang beredar dan dibudidayakan di Indonesia, terdiri dari varietas yang diimpor maupun yang dihasilkan oleh para pembenih dan ahli pemulia ikan di tanah air salah satu contohnya ialah nila Nirwana. Nila Nirwana atau nila ras wanayasa bisa dikenal oleh masyarakat merupakan hasil seleksi famili dari ikan Nila GIFT (Genetic Improvement of Farm Tilapia) dan Nila GET dari Filipina. Nila Nirwana dirilis pada 15 Desember oleh Dirjen Budidaya melalui Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan. Keunggulan dari nila Nirwana itu terletak pada kecepatan pertumbuhanya. Pemeliharaan sejak larva hingga berbobot diatas 650 gram dapat dicapai dalam kurun waktu 6 bulan selain itu keunggulan dari nila Nirwana ini memiliki struktur daging yang tebal dibandingkan dengan nila jenis lainnya (Ghufran 2011). Benih berkualitas baik dalam suatu produksi maupun kriteria benihnya sesuai dengan standar yang berlaku tertera pada Tabel 1. Benih berkualitas dapat dikenali berdasarkan sifatnya dalam memenuhi kriteria kualitatif maupun kuantitatif. Kriteria kualitatif adalah kondisi yang ditunjukan oleh benih berdasarkan asal usul dan hasil pengamatan secara kasat mata. Benih yang baik merupakan hasil dari pemijahan yang bukan satu keturunan dan bentuk tubuhnya normal dengan pergerakan yang aktif, baik terhadap arus air maupun terhadap rangsangan dari luar. Kriteria kuantitatif dapat diketahui dari data umur, panjang, keseragaman ukuran, bobot minimal, serta keseragaman kelincahan pergeraknnya terhadap rangsangan dari luar dan terhadap arus air. Kriteria kualitas benih menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) tertera pada Tabel 1. Kualitas benih berbuhungan erat dengan jumlah kelangsungan hidup (survival rate). Semakin tinggi kelangsungan hidup maka hasil dari produksi ikan akan tinggi.
8
Tabel 1. Kriteria kualitas benih nila berdasarkan karakter kuatitatif No
Kriteria
Larva
Kebul
Gabar
Belo
Sangkal
7
20
40
70
100
0,6-0,7
1-3
3-5
5-8
8-12
0,02
0,1
1,5
3,0
15
1
Umur maksimal hari
2
Panjang total (cm)
3
Bobot minimal (gram)
4
Keseragaman ukuran (%)
90
90
90
80
80
5
Keseragaman warna (%)
90
90
90
100
100
6
Keseragaman kelincahan gerak akibat
80-90
90-100
90-100
90-100
90-100
80-90
90-100
90-100
90-100
90-100
ragsangan luar (%) 7
Keseragaman gerak melawan arus (%)
Sumber: BSN (1999)
2.2
Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup (survival rate) adalah persentase ikan yang hidup dari
jumlah ikan yang dipelihara selama masa pemeliharaan tertentu dalam suatu wadah pemeliharaan. Kelangsungan hidup ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kualitas air, ketersediaan pakan yang sesuai dengan kebutuhan ikan, kemampuan untuk beradaptasi dan padat penebaran. Tingkat kelangsungan hidup dapat digunakan dalam mengetahui toleransi dan kemampuan ikan untuk hidup (Effendi 1997). Kelangsungan hidup sebagai salah satu parameter uji kualitas benih. Effendi (1979) dalam Wulandari (2008), peluang hidup suatu individu dalam waktu tertentu, sedangkan mortalitas adalah kematian yang terjadi pada suatu populasi organisme yang dapat menyebabkan turunnya
populasi
(Royce 1973 dalam Wulandari 2008). Ikan yang berukuran kecil (benih) akan lebih rentan terhadap parasit, penyakit dan penanganan yang kurang hati-hati. Kelangsungan hidup larva ditentukan oleh kualitas induk, telur, kualitas air, serta rasio antara jumlah makanan dan kepadatan larva (Effendi 1997) Salinitas mempunyai peranan penting untuk kelangsungan hidup dan metabolisme ikan, di samping faktor lingkungan maupun faktor genetik spesies ikan tersebut (Holiday 1967 dalam Suyantri 2011). Kelangsungan hidup ikan air tawar di dalam lingkungan berkadar garam bergantung pada jaringan insang, laju
9
konsumsi oksigen, daya tahan (toleransi) jaringan terhadap garam-garam dan kontrol permeabilitas (Black 1957dalam Wulandari 2008). Peningkatan padat tebar akan mengganggu proses fisiologi dan tingkah laku ikan terhadap ruang gerak yang pada akhirnya dapat menurunkan kondisi kesehatan dan fisiologis sehingga
pemanfaatan
makanan,
pertumbuhan
dan
kelangsungan
hidup
mengalami penurunan Wedemeyer (1996) dalam Darmawangsa (2008). Respon stres terjadi dalam tiga tahap yaitu tanda adanya stres, bertahan, dan kelelahan. Proses adaptasi ikan pada tahap awal akan mulai mengeluarkan energinya untuk bertahan dari stress. Selama proses bertahan ini pertumbuhan akan menurun. Dampak dari stress ini mengakibatkan daya tahan tubuh ikan menurun dan selanjutnya terjadi kematian. Gejala ikan sebelum mati yaitu warna tubuh menghitam, pergerakan tidak berorientasi, dan mengeluarkan lendir pada permukaan kulitnya (Darmawangsa 2008).
2.3
Pertumbuhan Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam satu
waktu yang diperngaruhi oleh faktor lain seperti pakan, suhu, umur, dan ukuran (Effendi 1997). Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam terdiri dari keturunan, jenis kelamin, umur dan umumnya sulit dikendalikan, sedangkan faktor luar terdiri dari makanan, suhu, parasit dan penyakit yang pada umumnya mempengaruhi pertumbuhan (Effendi 1997). Pengaturan kualitas air dan manipulasi pakan dapat meningkatkan pertumbuhan ikan (Stickney 1979 dalam Bestian 1996). Parasit dan penyakit juga dapat mempengaruhi pertumbuhan terutama jika yang terserang itu ialah alat pencernaan makanan atau organ lain yang vital sehingga efisiensi berkurang karena kekurangan makanan (Effendi 1997). Terlalu banyak individu di perairan yang tidak sebanding dengan keadaan makanan akan terjadi kompetisi terhadap makanan itu. Keberhasilan mendapatkan makanan akan menentukan pertumbuhan. Oleh karena itu dalam satu keturunan akan didapatkan ukuran bervariasi (Effendi 1997).
10
Laju pertumbuhan menurun dengan bertambahnya ukuran tubuh (umur) dan umur mempengaruhi kebutuhan energi. Bertambahnya ukuran benih menyebabkan pertumbuhan biomassa semakin besar tetapi laju pertumbuhan setiap individu semakin menurun sejalan dengan bertambahnya ukuran bobot tubuh ikan. Ikan yang ukurannya lebih besar memerlukan lebih banyak makanan untuk tumbuh dan mempertahankan hidupnya (Winberg et al. 1956 dalam Bestian 1996). Pertumbuhan terjadi apabila jumlah makanan yang dikonsumsi ikan lebih dari pada yang diperlukan untuk pemeliharaan tubuhnya (Huet 1971 dalam Bestian 1996), .
2.4
Kualitas Air Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan sebagai sumber
kehidupan bagi semua makhluk hidup. Semua mahkluk hidup membutuhkan air untuk kelangsungan hidupnya sehingga sumber daya air perlu dilindungi agar tetap dimanfaatkan dengan baik oleh manusia serta makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu untuk kualitas air merupakan hal yang sangat penting dan harus tetap untuk dijaga kestabilannya (Effendi 1997). Kualitas air merupakan faktor penting dalam budidaya ikan sebagai media hidup ikan. Selain sumber dan kuantitas harus memadai, air yang digunakan untuk pemeliharaan ikan harus memenuhi kebutuhan optimal ikan (Ghufran 2011). Oleh karena itu ada beberapa parameter yang dapat dijadikan sebagai faktor parameter dalam menilai kualitas suatu perairan seperti suhu, DO, pH dan Amonia.
2.4.1
Suhu Suhu merupakan parameter lingkungan yang penting untuk organisme
akuatik. Suhu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang, waktu penyinaran, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalam air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air (Ghufran 2011). Suhu air dapat mempengaruhi sifat fisik dan kimia perairan maupun fisiologis ikan (Wardoyo 1992). Suhu ialah faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kecepatan metabolisme tubuh (Philips 1972 dalam Bestian 1996).
11
Kecepatan metabolisme ikan akan berlangsung optimal pada suhu optimal. Ikan mempunyai selang suhu optimum untuk memenuhi laju metabolisme yang diinginkan (Dean Goodnight et al. dalam Bestian 1996). Ikan merupakan hewan poikilothermik yang suhu tubuhnya mengikuti suhu lingkungan sekitarnya. Keluarnya suhu air dari suhu optimum menyebabkan ikan berada di luar kondisi dari suhu optimumnya (Philips 1972 dalam Bestian 1996). Pengaruh temperatur terhadap pertumbuhan ikan tergantung interaksi antara konsumsi pakan dan metabolisme (Breet 1979 dalam Bestian 1996). Pertumbuhan dan kehidupan ikan sangat dipengaruhi suhu air. Kisaran suhu optimal bagi kehidupan ikan diperairan tropis adalah antara 28-32°C. Kisaran tersebut konsumsi oksigen mencapai 2,2 mg/g berat tubuh-jam. Kisaran suhu 25°C konsumsi oksigen mencapai 1,2 mg/g berat tubuh-jam. Kisaran suhu 18-25°C, ikan masih bertahan hidup, tetapi nafsu makannya menurun. Suhu air 12-18°C mulai berbahaya bagi ikan, sedangkan pada suhu dibawah 12°C ikan tropis mati kedinginan. Secara teoritis, ikan tropis masih hidup normal pada suhu 30-35°C jika konsentrasi oksigen terlarut cukup tinggi (Ahmad dkk. 1998 dalam Ghufran 2011). Suhu air dapat mempengaruhi kehidupan biota secara tidak langsung, yaitu melalui pengaruhnya terhadap kelarutan oksigen dalam air. Semakin tinggi suhu air, maka semakin rendah daya larut oksigen di dalam air, dan sebaliknya (Ghufran 2011).
2.4.2
Oksigen Oksigen (O₂) terlarut adalah suatu jenis gas terlarut dalam air dengan
jumlah yang sangat banyak, yaitu menempati urutan kedua setelah nitrogen. Namun, jika dilihat dari segi kepentingan untuk budidaya perairan oksigen menempati urutan teratas (Ghufran 2011). Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas sehingga bila ketersediaan di dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segala aktivitas biota akan terhambat. Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai kepentingan pada dua aspek, yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang
12
tergantung pada metabolisme ikan. Perbedaan kebutuhan oksigen dalam suatu lingkungan bagi ikan dari spesies tertentu disebabkan oleh adanya perbedaan struktur molekul sel darah ikan yang mempengaruhi hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen dalam sel darah (Zonneveld et al 1991 dalam Ghufran 2011).
2.4.3
Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman atau pH merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen
yang menunjukan suasana asam atau basa dalam suatu perairan. Faktor yang mempengaruhi pH adalah konsentrasi karbondioksida dan senyawa yang bersifat asam. Derajat keasaman yang baik untuk pertumbuhan nila berkisar antara 7-8 (Arie 2009). Derajat keasaman air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif dan dapat membunuh hewan budidaya. Oleh karena itu jika pH rendah (kesamaan tinggi), maka kandungan oksigen terlarut akan berkurang, sebagai akibatnya konsumsi oksigen menurun, aktivitas
pernafasan naik, dan selera
makan akan berkurang. Hal yang sebaliknya terjadi pada suasana basa. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimia perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah (Novotny dan Olem 1994, Ghufran 2011).
2.4.4
Amonia (NH₃) Kegiatan budidaya sebagian besar pakan yang dikonsumsi oleh biota
budidaya akan dirombak menjadi daging atau jaringan tubuh, sedangkan sisanya dibuang berupa kotoran dan terlarut menjadi amonia (Ghufran 2011). Semakin tinggi pH air, maka daya racun amonia semakin meningkat sebab sebagian besar berada dalam bentuk NH₃, sedangkan amonia dalam bentuk molekul (NH₃) lebih beracun dari pada yang berbentuk ion NH4+. Amonia dalam bentuk molekul dapat menembus bagian membran sel lebih cepat dari pada ion NH4+ (Colt dan Amstrong, Ghufran 2011). Kandungan (NH₃) tidak boleh lebih dari 1 mg/L.
13
Kadar amonia tertinggi yang masih dapat ditolerir oleh nila adalah 2,4 mg/L (Sudjana 1988; Minggawati 2001; Ghufran 2011).
2.5
Sistem Osmotik Osmoregulasi adalah sistem pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh
yang layak bagi kehidupan ikan agar proses fisiologis tubuhnya berjalan dengan normal (Rahardjo 1970 dalam Bestian 1996). Osmoregulasi merupakan fungsi fisiologis yang membutuhkan energi, dikontrol oleh penyerapan selektif ion-ion yang melewati insang dan pada beberapa bagian tubuh lainnya dikontrol oleh pembuangan yang selektif terhadap garam-garam (Stickney 1979 dalam Bestian 1996). Osmoregulasi erat kaitannya dengan salinitas, yakni upaya untuk mengontrol keseimbangan air denga konsentrasi total dari ion-ion yang terlarut dalam air, seperti Na (nstrium), K (kalium), Ca (kalsium), Mg (magnesium), Cl (khlor), SO4 (sulfat), dan HCO3 (asam karbonat) antara tubuh dan lingkungannnya (Effendi 2003). Selama osmoregulasi, hewan air membutuhkan keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dan media yang sangat penting terhadap kelangsungan hidupnya. Kemampuan osmoregulasi bervariasi yang dapat dipengaruhi oleh suhu, musim, umur, kondisi fisiologis ikan, jenis kelamin, dan perbedaan geografis yang disebabkan oleh perbedaan genotif (Kimne 1964 dalam Bestian 1996). Osmoregulasi pada ikan air laut berbeda dengan ikan air tawar. Ikan air laut hidup dalam medium yang memiliki konsentrasi osmotik lebih tinggi dari cairan tubuhnya sehingga ikan cenderung kehilangan kandungan air melalui kulit dan insang serta masuknya garam-garam melalui proses difusi (hipoosmotik). Ion-ion natrium dan klorida diserap oleh usus dan dibuang melalui ginjal. Sementara ikan air tawar memiliki konsentrasi media yang lebih rendah dari konsentrasi cairan tubuhnya (hiperosmotik) sehingga secara alami air bergerak masuk kedalam tubuh dan ion-ion keluar ke lingkungan secara difusi.
Beberapa
organ yang berperan dalam osmoregulasi antara lain: insang, kulit, ginjal, usus, dan darah. Insang menurut Tridjoko (2009), tempat pertukaran antara oksigen yang masuk kedalam darah dengan CO2 yang keluar dari darah yang terjadi secara
14
difusi pada pembuluh darah dalam insang. Peredaran darah dalam filamen insang merupakan pertemuan antara pembuluh darah yang berasal dari jantung yang masih banyak mengandung CO2 dengan pembuluh darah yang akan meninggalkan filamen insang yang kaya akan oksigen. Difusi oksigen pada filamen insang dibantu oleh tekanan air yang terdapat pada rongga mulut dan air dipaksa keluar melului insang yang dijelaskan pada Gambar 2.
Gambar 2. Morfologi Insang Sumber: Artawan (2009) Insang memiliki sel-sel yang berperan dalam proses osmoregulasi adalah sel-sel khlorida yang terletak pada dasar lembaran-lembaran insang. Insang Teleostei mengindikasikan bahwa pompa ion untuk khlorida (Cl-), natrium (Na+) dan Kalium (K+). Perubahan ion-ion pada ikan air laut berbeda dengan ikan-ikan air tawar. Perbedaan utama yaitu bahwa Na+, NH4+, Cl-, dan HCO3- semuanya bergerak keluar pada ikan air laut sedangkan pada ikan air tawar Na+ dan Cl-, keduanya masuk dan keluar yang disebabkan oleh suatu perubahan difusi (Artawan 2009). Ginjal melakukan dua fungsi utama: pertama, mengekresikan sebagian produk akhir metabolisme tubuh dan kedua, mengatur konsentrasi cairan tubuh. Fungsi nefron teleostei yang terdiri dari glomerulus dan tubulus. Glomerulus berfungsi untuk menyaring cairan, sedangkan tubulus mengubah cairan yang disaring menjadi urin. Oleh karena itu, nefron
dapat membersihkan atau
15
menjernihkan plasma darah dari zat-zat yang tidak dikehendaki ketika melalui ginjal. Filtrasi dapat terjadi pada glomerulus karena jaringan kapiler glomerulus merupakan jaringan bertekanan tinggi sedangkan jaringan kapiler pertubulus adalah jaringan yang bertekanan rendah. Ginjal ikan berupa pronefros dan mesonefros yang memiliki fungsi sebagai organ osmoregulator. Ginjal pada ikan air tawar berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan ion-ion dan membebaskan air. Ginjal pada ikan air laut berfungsi untuk membebaskan ion-ion dan menyimpan di air. Sebagian besar sisa metabolisme berupa senyawa-senyawa nitrogen yang dibebaskan melalui insang. Ginjal juga berfungsi dalam haematoplesis pada jaringan haemotopletik yang terdapat pada interstilium ginjal. Haemotoplesis berlangsung pada bagian anterior ginjal, akan tetapi proses tersebut dapat berlangsung diseluruh bagian ginjal. Selanjutnya sisa metabolisme akan dibuang ke luar tubuh (Irianto 2009). Diagram nefron akan dijelaskan pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram Nefron Sumber: Bond (1979) dalam Trijoko (2009) Kulit terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan luar yang disebut epridermis dan lapisan dalam yang disebut dermis (corium). Epidermis selalu memiliki tekstur basah karena adanya lendir yang dihasilkan oleh sel-sel yang berbentuk plata yang terdapat diseluruh permukaan tubuhnya. Epidermis bagian dalam terdiri dari
16
lapisan sel yang selalu melakukan pembelahan untuk menggantikan sel-sel bagian luar yang terlepas dan untuk persediaan pengembangan tubuh. Lapisan ini dinamakan stratum germinativum (lapisan melphigi). Dermis berperan dalam pembentukan sisik pada ikan-ikan yang bersisik. Derivat-derivat kulit juga dibentuk di dalam lapisan ini. Dermis mengandung pembuluh darah, saraf, dan jaringan pengikat. Kulit juga digunakan sebagai alat ekokresi dan osmoregulasi (Tridjoko 2009). Usus memiliki banyak variasi dari bentuk dan warna.
Beberapa ikan
seringkali bagian depan ususnya berbentuk besar menyerupai lambung sehingga bagian ini dinamakan sebagai lambung palsu, misalnya ikan mas (Tridjoko 2009). Setelah air masuk ke dalam usus ikan air laut, dinding mengambil
usus
aktif
ion-ion monovalen (Na+, K+, dan Cl-) dan air, sebaliknya
membiarkan lebih banyak ion-ion divalen (Mg2+, Ca2+, dan SO42), di dalam usus sebagai cairan rektal agar osmolaritas usus sama dengan darah. Hal ini penting dilakukan untuk menghindarkan air yang telah diserap usus kembali ke dalam rektal. Proses minum pada ikan air tawar dibutuhkan oleh usus untuk mengambil kembali ion-ion yang hilang melalui difusi dan juga melalui urin. Selain itu organ yang terlibat dalam osmoregulasi diatur oleh hormon kelenjar yang bertanggung jawab terhadap proses osmoregulsi antar lain pituitari, ginjal dan urophisis (Bestian 1996). Proses osmoregulasi pada ikan akan secara rinci dijelaskan pada Gambar 4.
Gambar 4.
Proses pengeluaran dan penyerapan ion dan air dalam tubuh ikan air tawar dan ikan air laut.
17
Selama osmoregulasi, hewan air membutuhkan keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dan media yang sangat penting terhadap kelangsungan hidupnya. Hormon memainkan peran sebagai pengontrol terhadap proses kondisioning ikan dan transport ion (Bestian 1996). Organ seperti ginjal, insang, kulit dan usus melakukan fungsi kondisioning dibawah hormon osmoregulasi, terutama hormon-hormon yang disekresikan oleh pituitari, ginjal dan uropisis, diantaranya hormon prolaktin (PRL) dan hormon tiroid yang akan dijelaskan secara rinci pada Gambar 5.
Gambar 5. Kontrol endokrin terhadap osmoregulasi ikan Kenaikan salinitas akan menyebabkan kenaikan kekentalan air yang dapat menyebabkan kelarutan oksigen menurun, sedangkan osmoregulasi membutuhkan banyak energi sehingga konsumsi oksigen juga akan meningkat. Oleh karena itu, toleransi terhadap kelarutan oksigen yang rendah merupakan faktor pembatas ekologis bagi spesies yang mendiami media dengan salinitas yang berfluktuasi (Bestian 1996). Salinitas adalah konsentrasi seluruh larutan garam yang diperoleh dalam air laut ataupun air yang telah melalui proses pencampuran dengan air garam. Salinitas sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik air, semakin tinggi
18
salinitas semakin besar pula tekanan osmotiknya. Semua ikan nila lebih toleran terhadap lingkungan payau (Ghufran 2011). Ikan nila hitam tumbuh dengan sangat baik pada salinitas 15 ppt, blue tilapia (Tilapia aurea) tumbuh dengan baik pada salinitas hingga di atas 20 ppt. Hal ini berbeda dengan nila merah dan mujair yang dapat tumbuh pada salinitas mendekati air laut, namun perkembangan alat reproduksinya mengalami penurunan pada salinitas di atas 10-15 ppt. Tilapia aurea dan ikan nila hitam dapat bereproduksi pada salinitas 10-15 ppt, namun kemampuan adaptasinya lebih baik pada kadar di bawah 5 ppt. Jumlah benih yang dihasilkan mengalami penurunan pada tingkat salinitas sebesar 10 ppt (Ghufran 2011). Awal pemeliharaan di tambak, nila hasil adaptasi dari air tawar (0 ppt) ke air asin (10 ppt-30 ppt) mengalami pertumbuhan yang lambat. Hal ini disebabkan pada minggu awal atau bulan pertama nila masih menyesuaikan diri terhadp kondisi lingkungan. Nila yang dipindahkan dari air tawar ke air laut atau payau, akan mengalami osmoregulaasi karena konsentrasi senyawa-senyawa dalam darah, juga tekanan darah berbeda dengan lingkungan air laut. Setelah mengkondisikan dengan lingkungan yang baru, baru insang dan ginjal mulai berfungsi dengan baik untuk membuang kelebihan garam yang keluar dari tubuhnya. Dengan demikian, nila setelah minggu ke 4, baru akan hidup dengan normal (Ghufran 2011). Ikan air tawar, air secara terus menerus masuk ke dalam tubuh ikan melalui insang, sehingga garam-garam tersebut juga terserap ke dalam tubuhnya melalui kulit atau melalui osmoregulasi. Penyesuaian ikan terhadap pengaruh lingkungan itu merupakan homoestatis, yang berfungsi untuk mempertahankan keadaan yang stabil melalui suatu proses aktif melawan perubahan yang dimaksud (Affandi dan Tang 2002). Proses ini secara pasif berlangsung melalui suatu proses osmosis, yaitu terjadi sebagai akibat dari garam dalam tubuh ikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lingkungannya. Apabila ikan tidak mampu mengontrol proses osmosis yang terjadi, maka ikan akan mengalami kematian yang diakibatkan karena tidak adanya keseimbangan konsentrasi larutan tubuh, yang akan berada di batas toleransinya. Osmoregulasi diperlukan untuk mempertahankan konsentrasi cairan dalam tubuh, karena pada saat ikan stress atau
19
sakit maka proses osmosis akan terganggu sehingga air akan lebih banyak masuk kedalam tubuh ikan dan garam lebih banyak keluar tubuh, sehingga mengakibatkan beban kerja ginjal akan meningkat. Bila beban kerja ginjal meningkat secara terus menerus maka ikan pun akan mati. Menurut Affandi dan Tang (2002), organisme hewan air dapat dibagi menjadi dua kategori yang saling berhubungan, mekanisme fisiologi dalam menghadapi tekanan osmotik, antara lain: 1)
Osmokonformer adalah organisme yang karakteristik osmotik internalnya sama dengan lingkungannya. Saat terjadi perubahan-perubahan tekanan osmotik dalam lingkungan, organisme osmokonformer dapat segera menyesuaikan kondisi internalnya dengan cara mengubah tonisitasnya. Sifat osmotik pasif semacam itu dimiliki oleh avertebrata-avertebrata yang hidup dilaut. Contoh jenis ikan antara lain: salmon, sidat, dan ikan-ikan tilapia.
2)
Osmoregulator adalah organisme yang dapat menjaga lingkungan osmotik internalnya dalam kondisi konstan, tidak tergantung pada lingkungan eksternal. Contoh jenis ikan antara lain: ikan air tawar.