BAB II KAJIAN PUSTAKA
Kajian
pustaka
merupakan
landasan
dalam
merencanakan
dan
melaksanakan perbaikan pembelajaran yang menyajikan berupa teori atau konsep menjadi rujukan dalam membahas hasil penelitian yang terkait dengan masalah yang dirumuskan, dalam hal ini berupa modul dan buku-buku ilmiah, sebagai berikut:
2.1. Kajian Teori 2.1.1. Hasil Belajar Menurut Hamalik (2002: 146) mengemukakan: “Hasil belajar itu sendiri dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah, yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu”. Ada dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar yang diperoleh oleh siswa yakni faktor dari dalam diri siswaitu dan faktor datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Faktor kemampuan siswa besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai. Hasil belajar siswa 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan. Disamping faktor kemampuan yang dimiliki siswa juga ada faktor lain, seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis (Susianha, 2009). Menurut Dimyati (2002: 3), “Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar”. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi belajar yang merupakan tindak lanjut atau cara yang dilakukan untuk mengukur tingkat penguasaan siswa dalam proses pembelajaran yang telah dilakukan, sehingga dengan evaluasi pendidik juga dapat mengukur tentang perubahan tingkah laku siswa secara nyata setelah dilakukan proses belajar mengajar yang sesuai tujuan pengajaran. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan
tingkat
perkembangan
dibandingkan pada saat sebelum belajar. 8
mental
yang
lebih
baik
bila
9
Davis (1987) berpendapat hasil belajar adalah kemampuan yang berupa pengetahuan, pemahaman dan kemampuan siswa dalam kurun waktu tertentu yang memprediksikan performance dan kompetensi siswa dalam materi peelajaran yang dipelajari siswa pada akhir pembelajaran dalam kurun waktu meliputi satu kurun waktu satu bulan, catur wulan, semester atau satu tahun, berdasarkan tes prestasi belajar yang ditetapkan sekolah. Prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh individu setelah mengalami suatu proses belajar dalam jangka waktu tertentu. Hasil belajar juga diartikan sebagai kemampuan maksimal yang dicapai seseorang dalam suatu usaha yang menghasilkan pengetahuan atau nilai- nilai kecakapan. Nurkancana dan Sunartana (1992) mengatakan hasil belajar bisa juga disebut kecakapan aktual (actual ability) yang diperoleh seseorang setelah belajar, suatu kecakapan potensial (potensial ability) yaitu kemampuan dasar yang berupa disposisi yang dimiliki oleh individu untuk mencapai prestasi. Kecakapan aktual dan kecakapan potensial ini dapat dimasukkan kedalam suatu istilah yang lebih umum yaitu kemampuan (ability). Dari beberapa pengertian hasil belajar diatas dapat disimpulkan bahwa Hasil belajar adalah kemampuan maksimal yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya, dan sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Hasil belajar digunakan guru sebagai ukuran dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Ukuran hasil belajar dapat diperoleh dari aktivitas pengukuran. Menurut Cangelosi (1995) yang dimaksud dengan pengukuran (Measurement) adalah suatu proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris untuk mengumpulkan informasi yang relevan dengan tujuan yang telah ditentukan. Jadi pengukuran memiliki arti suatu kegiatan yang dilakukan dengan cara membandingkan sesuatu dengan satuan ukuran tertentu sehingga data yang dihasilkan adalah data kuantitatif atau data angka. Untuk menetapkan angka dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan instrumen. Dalam dunia pendidikan instrumen yang sering digunakan untuk mengukur kemampuan siswa seperti tes, lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap dan angket.
10
Dari pengertian pengukuran yang telah dipaparkan untuk mengukur hasil belajar peserta didik digunakanlah alat penilaian hasil belajar. Teknik yang dapat digunakan untuk mengukur hasil belajar ada 2 yaitu tes dan non tes. 1.
Tes Tes secara sederhana dapat diartikan sebagai himpunan pertanyaan yang
harus dijawab, pernyataan-pernyataan yang harus dipilih/ditanggapi, atau tugastugas yang harus dilakukan oleh peserta tes dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek tertentu dari peserta tes. Dalam kaitan dengan pembelajaran aspek tersebut adalah indikator pencapaian kompetensi. Menurut Ebster’s Collegiate (dalam Arikunto, 1995), tes adalah serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensia, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Menurut Endang Poerwanti, dkk (2008:1-5), tes adalah seperangkat tugas yang harus dikerjakan atau sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur tingkat
pemahaman
dan
penugasannya
terhadap
cakupan
materi
yang
dipersyaratkan dan sesuai dengan tujuan pengajaran tertentu. Tes adalah seperangkat pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang trait atau sifat atau atribut pendidikan yang setiap butir pertanyaan tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar (Suryanto Adi, dkk, 2009). Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tes adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa dengan kriteria-kriteria yang telah di tentukan. Bentuk dan jenis tes bermacam-macam misalnya: 1.
Jenis tes berdasarkan bentuk jawaban a.
Tes esai tes yang menuntut siswa mengemukakan gagasan-gagasan tentang materi yang telah dipelajari dalam bentuk tulisan
b.
Tes jawaban pendek Tes dimana peserta didik diminta menuangkan jawabannya dalam bentuk rangkaian kata-kata pendek, kata-kata lepas, maupun angkaangka.
11
c.
Tes obyektif Tes dimana keseluruhan informasi yang diperlukan untuk menjawab soal telah tersedia.
2.
Jenis tes berdasarkan cara mengerjakan a.
Tes Lisan Pada tes lisan baik pertanyaan maupun jawaban dalam bentuk lisan. Sehingga tidak memiliki soal maupun jawaban yang baku.
b.
Tes Tertulis Pada tes tertulis baik pertanyaan maupun jawaban dalam bentuk tulisan
2. Non Tes Teknik non tes sangat penting dalam mengakses siswa pada ranah afektif dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih menekankan pada aspek kognitif. Ada beberapa macam teknik non tes, yaitu: 1. Wawancara Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi mendalam yang diberikan secara lisan dan sepontan, tentang wawasan, pandangan atau aspek kepribadian siswa. 2. Observasi Observasi terkait dengan kegiatan evaluasi proses dan hasil belajar, dapat dilakukan secara formal yaitu observasi dengan menggunakan instrumen yang sengaja dirancang untuk mengamati unjuk kerja dan kemajuan belajar siswa, maupun observasi informal yang dapat dilakukan oleh pendidik tanpa menggunakan instrumen. 3. Task Analisis (Analisis Tugas) Dipergunakan untuk menentukan komponen utama dari suatu tugas dan penyusun skills dengan urutan yang sesuai dan hasil berupa daftar komponen tugas dan daftar skills yang diperlukan. 4. Komposisi dan Presentasi Siswa menulis dan menyajikan karyanya 5. Proyek Individu dan Kelompok
12
Mengintregrasikan pengetahuan dan ketrampilan serta dapat digunakan untuk individu maupun kelompok. Alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran dinamakan dengan alat ukur atau instrumen. Instrumen sendiri terdiri atas instrumen
butir-butir
soal
apabila
cara
pengukuran
menggunakan tes, dan apabila pengukurannya
dilakukan
dengan
dengan cara mengamati atau
mengobservasi akan menggunakan instrumen lembar pengamatan atau observasi, pengukuran dengan teknik skala sikap dapat menggunakan instrumen butir-butir pernyataan. Instrumen sebagai alat yang digunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran maupun kompetensi yang dimiliki siswa harus valid, maksudnya adalah instrumen tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah besarnya skor siswa yang diperoleh dari skor tes, diskusi, kerja lapangan dan presentasi. Dalam membuat alat ukur yang akan dipergunakan haruslah membuat kisikisi. Kisi-kisi (test blu-printatau table of specification) adalah format atau matriks pemetaan soal yang menggambarkan distribusi item untuk berbagai topik atau pokok bahasan berdasarkan kompetensi dasar, indikator dan jenjang kemampuan tertentu.penyusunan kisi-kisi ini digunakan untuk pedoman menyusun atau menulis soal menjadi perangkat tes. Dalam menyusun atau menulis kisi-kisi soal menurut Wardani Naniek Sulistya dkk, (2010, 3.5-3.6) menjelaskan bahwa Indikator perilaku dalam kisi-kisi merupakan pedoman untuk merumuskan soal yang dikehendaki. Untuk merumuskan indikator dengan tepat, guru harus memperhatikan materi yang akan diujikan, indikator pembelajaran, kompetensi dasar, dan stsndar kompetensi. Indikator yang baik dirumuskan secara singgkat dan jelas. Dalam hubungan ini kita mengenal ranah kognitif yang dikembangkan oleh Benyamin S. Bloom dan kawan-kawan yang kemudian direvisi oleh Krathwoll (2001) revisi Kratwoll terhadap tingkatan dalam ranah kognitif adalah ingatan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), evaluasi (C5), dan kreasi (C6).
13
2.1.2 Pembelajaran Matematika SD Istilah “matematika“ berasal dari bahasa Yunani, “matheirl“ atau “mantheneirl” yang berarti mempelajari. Kata matematika diduga erat hubungannya dengan kata sansekerta “Medha” atau “Widya” yang berarti kepandaian, ketahuan atau intelegensia. Menurut
Herman Hudojo (1992:2)
menyatakan bahwa matematika merupakan ide abstrak yang diberi simbol-simbol yang tersusun secara hierarkis dan penalarannya deduktif,sehingga belajar matematika itu merupakan kegiatan mental yang tinggi. Jerome S. Bruner dalam teorinya (dalam Suherman E., 2003;43) menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajarannya diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam materi yang diajarkan, di samping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memehami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak. Dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah melekat pada anak. Ada dua bagian yang penting dari teori Bruner (dalam Suwarsono, 2002;25) yaitu : 1.
Tahap-tahap dalam proses belajar Jika seseorang mempelajari suatu pengetahuan (Misalnya mempelajari suatu konsep matematika), pengetahuan itu perlu dipelajari dalam tehap-tahap tertentu, agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) orang tersebut. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguhsungguh (yang berarti proses belajar terjadi secara optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga tahap, yang macamnya dan urutannya adalah sebagai berikut (dalam Suwarsono,2002;26) :
14
1. Tahap enaktif, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda kongkret atau menggunakan situasi yang nyata. 2. Tahap Ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pegetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imagery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas. 3. Tahap simbolik, yaitu suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan itu direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (Abstract symbols yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan), baik simbol-simbol verbal (Misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimatkalimat) lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak lainnya. 2.
Teorema-teorema tentang cara belajar dan mengajar Matematika Teorema-Teorema Tentang Cara Belajar Dan Mengajar Matematika Menurut Bruner ada empat prinsip prinsip tentang cara belajar dan mengajar matematika yang disebut teorema. Keempat teorema tersebut adalah teorema penyusunan
(Construction
theorem),
teorema
notasi
(Notation
theorem), teorema kekontrasan dan keanekaragaman (Contras and variation theorem), teorema
pengaitan (Connectivity
theorem) (dalam
Suherman
E., 2003;44-47). a. Teorema penyusunan (Construction theorem) Teorema ini menyatakan bahwa bagi anak cara yang paling baik untuk belajar konsep dan prinsip dalam matematika adalah dengan melakukan penyusunan representasinya. Pada permulaan belajar konsep pengertian akan menjadi lebih melekat apabila kegiatan yang menujukkan representasi konsep itu dilakukan oleh siswa sendiri. Dalam proses perumusan dan penyusunan ide-ide, apabila anak disertai dengan bantuan benda-benda konkrit mereka lebih mudah mengingat ide-ide tersebut. Dengan demikian,
15
anak lebih mudah menerapkan ide dalam situasi nyata secara tepat. Dalam hal ini ingatan diperoleh bukan karena penguatan, akan tetapi pengertian yang menyebabkan ingatan itu dapat dicapai. Sedangkan pengertian itu dapat dicapai karena anak memanipulasi benda-benda konkrit. Oleh karena itu pada permulaan belajar, pengertian itu dapat dicapai oleh anak bergantung pada aktivitas-aktivitas yang menggunakan benda-benda konkrit. b. Teorema Notasi Teorema notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa. Ini berarti untuk menyatakan sebuah rumus misalnya, maka notasinya harus dapat dipahami oleh anak, tidak rumit dan mudah dimengerti. Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit. Urutan penggunaan notasi disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif anak. c. Teorema pengkontrasan dan keanekaragaman Dalam teorema ini dinyatakan bahwa dalam mengubah dari representasi konkrit menuju representasi yang lebih abstrak suatu konsep dalam
matematika,
dilakukan
dengan
kegiatan
pengontrasan
dan
keanekaragaman. Artinya agar suatu konsep yang akan dikenalkan pada anak mudah dimengerti, konsep tersebut disajikan dengan mengontraskan dengan konsep-konsep lainnya dan konsep tersebut disajikan dengan beranekaragam contoh. Dengan demikian anak dapat memahami dengan mudah karakteristik konsep yang diberikan tersebut. Untuk menyampaikan suatu konsep dengan cara mengontraskan dapat dilakukan dengan menerangkan
contoh
dan
bukan
contoh.
Sebagai
contoh
untuk
menyampaikan konsep bilangan ganjil pada anak diberikan padanya bermacam-macam bilangan, seperti bilangan ganjil, bilangan genap, bilangan prima, dan bilangan lainnya selain bilangan ganjil. Kemudian
16
siswa diminta untuk menunjukkan bilangan-bilangan yang termasuk contoh bilangan ganjil dan contoh bukan bilangan ganjil. d. Teorema pengaitan (Konektivitas) Teorema ini menyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi, namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan. Materi yang satu mungkin merupakan prasyarat bagi yang lainnya, atau suatu konsep tertentu diperlukan
untuk
menjelaskan
dalil Pythagoras diperlukan
untuk
konsep
lainnya.
menentukan tripel
Misalnya
konsep
Pythagoras atau
pembuktian rumus kuadratis dalam trigonometri. Guru harus dapat menjelaskan kaitan-kaitan tersebut pada siswa. Hal ini penting agar siswa dalam belajar matematika lebih berhasil. Dengan melihat kaitan-kaitan itu diharapkan siswa tidak beranggapan bahwa cabang-cabang dalam matematika itu sendiri berdiri sendiri-sendiri tanpa keterkaitan satu sama lainnya. Perlu dijelaskan bahwa keempat teorema tersebut di atas tidak dimaksudkan untuk diterapkan satu persatu dengan urutan seperti di atas. Dalam penerapannya, dua teorema atau lebih dapat diterapkan secara bersamaan dalam proses pembelajaran suatu materi matematika tertentu. Hal tersebut bergantung pada karakteristik dari materi atau topik matematika yang dipelajari dan karakteristik dari siswa yang belajar. Mulyono Abdurahman (2003:252) menyatakan bahwa matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia,suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang menghitung dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa matematika merupakan suatu ilmu yang tersusun secara deduktif yang menyatakan hubungan-hubungan dan struktur-struktur yang diatur menurut aturan yang logis, sistematis dan dilambangkan dengan simbol-simbol
17
dimana simbol-simbol tersebut merupakan bahasa yang bebas dari emosi. Matematika digunakan sebagai wahana yang dapat membentuk dan mengembangkan cara berfikir yang logis, sistematis, kreatif dan cermat karena matematika mempunyai karakter yang menuntut manusia yang mempelajarinya untuk berfikir logis, sistematis, kreatif, kritis dan membutuhkan kecermatan yang tinggi. Selain itu, matematika merupakan ilmu yang mendasari untuk mempelajari ilmu lainnya, seperti fisika, biologi, hukum, akuntasi, ekonomi, elektro, kimia, komputer dan lainnya. Begitu pentingnya matematika dalam kehidupan manusia dan sebagai salah satu penentu pengusaan ilmu dan bidang lainnya sehingga matematika digunakan dan ditetapkan menjadi salah satu mata pelajaran yang wajib diberikan di dunia pendidikan. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB I mendefinisikan “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.” Dalam kelas, penciptaan situasi tersebut dilakukan oleh warga kelas yang dikendalikan dan didesain sepenuhnya oleh guru. Tentu saja dalam proses penciptaan pengendalian kondisi tersebut guru menggunakan suatu pendekatan pembelajaran tertentu. Udin S Winataputra dan Tita Rosita (1995 : 124) mendefinisikan “pendekatan pembelajaran sebagai jalan yang digunakan oleh guru atau pembelajar untuk menciptakan suasana yang memungkinkan siswa belajar.” Merujuk pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu pembelajaran di kelas pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai jalan yang ditempuh guru atau siswa untuk menciptakan suasana kelas yang memungkinkan siswa untuk belajar. Oleh karenanya, peran guru sangat penting dalam pembelajaran di kelas, tugas guru adalah mendesain termasuk memilih pendekatan pembelajaran yang sesuai dan mengendalikan pembelajaran sesuai dengan pendekatan yang dipilih sehingga tercipta suasana kelas dimana siswa terkondisi untuk belajar. Berdasarkan pendapat tersebut, maka desain dari pendekatan pembelajaran Matematika harus berorientasi pada upaya bagi siswa untuk : (a) membangun sikap dan persepsi positif terhadap belajar dan terhadap matematika sebagai objek
18
belajar, (b) memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan matematika, (c) memperluas dan memperbaiki pengetahuan matematika yang dimiliki, (d) mampu menggunakan pengetahuan matematika yang dimiliki baik dalam belajar matematika, ilmu-ilmu lain, maupun dalam kehidupan sehari-hari, dan (e) membangun kebiasaan berfikir produktif. Desain pendekatan pembelajaran harus mengacu pada objek atau materi pembelajarannya. Matematika di SD merupakan pelajaran di sekolah yang memuat sebagai pelajaran, Demuth dalam Herman Majer (1985 : 8-9) mengemukakan empat konsepsi : 1) matematika berorientasi formalitas. 2) matematika berorientasi pada dunia di sekelilingnya. 3) heuristik yaitu sistem pelajarannya dilatih untuk menemukan sesuatu secara mandiri dalam pelajaran matematika. 4) matematika sebagai perkakas. Sejalan dengan pendapat tersebut maka belajar matematika dapat dipandang sebagai
proses
mengkonstruksi
konsep-konsep
matematika
dan
strategi
penyelesaian masalah. Merujuk pendapat Freudenthal, Gravvenmeijer (1994) dalam Yansen Marpaung (2006 : 5-6), bahwa belajar matematika harus dipandang sebagai suatu proses
untuk
mengkonstruksi
konsep-konsep
matematika
dan
strategi
penyelesaian suatu masalah. Proses tersebut disebut Matematisasi yang dibedakan menjadi
dua,
yaitu
matematisasi
horisontal dan
matematisasi
vertikal.
Matematisasi horisontal sebagai proses yang bertolak dari kehidupan nyata ke dunia simbol sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses membawa halhal matematis ke dalam jenjang yang lebih tinggi. Dalam peraturan menteri pendidikan nasional tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu memperhatikan Standar proses dan Standar Penilaian. Adapun standar kompetensi
19
dan kompetensi dasar mata pelajaran Matematika di SD kelas IV semester 2 yaitu dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2.1 Standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Matematika untuk SD kelas IV semester 2 Kelas
Semester
IV
2
Standar Kompetensi 5. Menjumlahkan mengurangkan bilangan bulat
Kompetensi Dasar
dan 5.1 5.2 5.3 5.4
6. Menggunakan 6.1 pecahan dalam pemecahan masalah 6.2 6.3 6.4 6.5 7. Menggunakan lambang bilangan Romawi Geometri Pengukuran 8. Memahami bangun sederhana hubungan bangun datar
7.1 7.2
dan 8.1 sifat ruang dan antar
8.2 8.3 8.4
2.1.3
Mengurutkan bilangan bulat Menjumlahkan bilangan bulat Mengurangkan bilangan bulat Melakukan operasi hitung campuran Menjelas-kan arti pecahan dan urutannya Menyederhanakan berbagai bentuk pecahan Menjumlahkan pecahan Mengurangkan pecahan Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pecahan Mengenal lambang bilangan Romawi Menyatakan bilangan cacah sebagai bilangan Romawi dan sebaliknya Menentukan sifat-sifat bangun ruang sederhana Menentukan jaring-jaring balok dan kubus Mengidentifikasi benda-benda dan bangun datar simetris Menentukan hasil pencerminan suatu bangun datar
Pembelajaran Matematika Realistik Pembelajaran Matematika Realistik ini merupakan sebuah pendekatan
mengajar matematika hasil terjemahan dari realistic mathematics education yang dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika dari freudenthal institute, Utrecht university di negara Belanda. Pendekatan ini didasarkan gagasan yang dikembangkan oleh Hans Freudenthal (1905 - 1990), yang berpendapat bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan merupakan aktivitas manusia.
20
Dalam pembelajaran dengan pendekatan RME, siswa menemukan sendiri konsep-konsep dalam matematika dengan cara mereka sendiri. Konsep ini diharapkan muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks. Penggunaan soal-soal kontekstual yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari diharapkan membantu terwujudnya proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Treffers dalam http://www.fi.uu.nl menformulasikan dua tipe matematisasi, yaitu matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal. Di luar Belanda, RME dikenal sebagai “pendidikan matematika dunia nyata” (real-world mathematics education). Kebingungan ini ditimbulkan oleh istilah “realistic” yang dikandung dalam RME. Padahal penggunaan istilah “realistic” bukan hanya dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan matematika dengan dunia nyata, melainkan juga terkait dengan penekanan RME untuk menyajikan masalah-masalah yang dapat dibayangkan siswa dalam pembelajaran. Bahasa Belanda untuk kata kerja “to imagine” (membayangkan) adalah “zich realiseren”. Artinya, masalah-masalah yang disajikan kepada siswa dalam pembelajaran tidak harus berupa konteks-konteks dunia nyata. Dunia fantasi atau imajinasi, bahkan dunia matematika formal, termasuk dalam konteks yang dapat digunakan dalam pembelajaran dengan RME, asalkan substansi-substansi tersebut nyata dalam benak siswa atau dapat dibayangkan oleh siswa (http://www.fi.uu.nl). Dalam RME, siswa difasilitasi dan didorong untuk melakukan aktivitasaktivitas
matematik,
sehingga
siswa
secara
perlahan
mengembangkan
pemahamannya sendiri ke tingkat yang lebih formal (http://www.fi.uu.nl).
Perbandingan
Pendekatan
Matematika
Realistik
dengan
Pendekatan
Tradisional Dalam pendekatan pendidikan matematika tradisional, masalah disajikan secara gamblang dan terurai. Masalah kontekstual kebanyakan digunakan untuk menarik kesimpulan dalam proses pembelajaran. Masalah kontekstual hanya berfungsi sebagai sarana mengaplikasikan teori-teori yang telah dipelajari sebelumnya Sedangkan dalam pendekatan matematika realistik, masalah kontekstual juga berfungsi sebagai sumber proses pembelajaran. Masalah
21
kontekstual dan situasi hidup sehari-hari digunakan untuk merumuskan dan mengaplikasikan konsep matematis (http://www.fi.uu.nl). Berbeda dengan pendekatan tradisional, pendekatan matematika realistik menolak cara mengajar yang berfokus pada prosedur dan mekanisme. Dalam pengajaran tradisional, materi pembelajaran terpisah ke dalam bagian-bagian kecil
yang tidak bermakna. Selain itu, siswa dijejali dengan prosedur baku, yang harus digunakan dalam tugas-tugas yang diberikan guru, termasuk dalam tugas individu. Sebaliknya, pendekatan matematika realistik memiliki konseptualisasi belajar yang lebih kompleks dan bermakna. Siswa, bukan sebagai penerima bahan jadi, berperan aktif dalam proses belajar mengajar dimana siswa mengembangkan pemahaman matematisnya (http://www.fi.uu.nl). Teori yang diusung oleh PMR sejalan dengan teori yang berkembang saat ini, antara lain konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, disingkat CTL). Pendekatan konstruktivis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, sedangkan PMR adalah teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika (Sutarto Hadi, 2006). Akibatnya PMR memiliki karakteristik yang serupa dengan kedua pendekatan tersebut. Pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan diciptakan atau ditemukan secara aktif oleh siswa, bukan diterima secara pasif dari lingkungan. Pernyataan ini didukung oleh teori Piaget yang menyatakan bahwa gagasan-gagasan dalam matematika dibuat oleh siswa, bukan ditemukan atau diterima dari orang lain. Gagasan-gagasan tersebut dikonstruksikan saat siswa menggabungkannya dengan struktur pengetahuan yang telah dimilikinya. Menurut konstruktivisme, belajar adalah proses sosial dimana siswa berkembang menuju
kehidupan intelektual
bersama dengan
lingkungan
sekitarnya. Gagasan matematika secara kooperatif dibangun oleh anggota kebudayaan tertentu. Dalam hal ini, kelas konstruktivis tidak hanya dipandang sebagai kebudayaan dimana siswa melibatkan diri dalam berbagai penemuan, melainkan juga berperan sebagai setting komunikasi sosial yang melibatkan penjelasan, egosiasi, dan proses berbagi (Riedesel et. al., 1996: 64).
22
Kemampuan otak untuk menemukan makna dengan membuat hubunganhubungan menjelaskan mengapa siswa yang didorong untuk menghubungkan tugas sekolah dengan kenyataan saat ini, dengan situasi pribadi, sosial, dan budaya, serta konteks kehidupan keseharian mereka, akan mampu memasangkan makna pada materi akademik mereka sehingga mereka dapat mengingat apa yang mereka pelajari. Jika kehilangan makna, otak mereka akan membuang materi akademik yang telah mereka terima (Johnson, 2007: 64) CTL adalah suatu pendekatan pendidikan yang bertujuan menolong siswa melihat makna di dalam materi akademik yang dipelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam hidup sehari-hari. CTL adalah sistem yang menyeluruh, yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Johnson (2007: 65) menyebutkan delapan komponen dalam CTL, yaitu: 1) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna 2) Melakukan pekerjaan yang berarti 3) Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri 4) Bekerjasama 5) Berpikir kritis dan kreatif 6) Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang 7) Mencapai standar yang tinggi 8) Menggunakan penilaian autentik Merujuk pada pendapat di atas, guru sebaiknya tidak menolak konsep spontan siswa, melainkan membantu agar konsep itu diintegrasikan dengan konsep ilmiah. Konsep dan pengetahuan seseorang akan terus berkembang, sehingga setiap saat seseorang akan mempunyai pemahaman baru akan suatu hal. Dapat dikatakan bahwa pemahaman seorang siswa tidaklah salah, melainkan terbatas. Prinsip dan Karakteristik PMR PMR, sebagai adopsi RME yang dikembangkan di Indonesia, tidak digunakan secara persis sama dengan RME yang dikembangkan di Belanda. Berbagai unsur lokal, terutama dalam hal konteks bahasa, sosial, dan budaya, merupakan unsur yang sedikit membedakan PMR dengan RME (Sugiman, 2004).
23
Perbedaan unsur lokal tersebut berpengaruh pada konteks permasalahan yang disodorkan dan digali oleh siswa. Namun secara filosofis, PMR memiliki prinsipprinsip RME dan memenuhi karakteristik RME. Gravemeijer (1994: 90) menyebutkan tiga prinsip utama dalam PMR, yaitu: 1) Penemuan terbimbing dan bermatematika secara progresif Prinsip penemuan terbimbing berarti siswa diberi kesempatan untuk mengalami proses pembelajaran yang sama dengan proses yang dilalui oleh para pakar matematika ketika menemukan konsep-konsep matematika. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendorong atau mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat menemukan atau membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Penemuan kembali dapat diupayakan melalui pemberian masalah nyata atau masalah kontekstual yang mempunyai beberapa cara penyelesaian. Kegiatan berikutnya adalah matematisasi prosedur penyelesaian yang sama dan perancangan rute belajar sehingga siswa menemukan sendiri konsep yang dipelajarinya. 2) Fenomena didaktik Prinsip ini berarti bahwa dalam pembelajaran diberikan topik-topik matematika yang berasal dari fenomena sehari-hari, yang dipilih berdasarkan dua pertimbangan, yaitu: aplikasi dan kontribusi untuk perkembangan matematika lanjut. Hal ini merupakan kebalikan dari pembelajaran matematika pada umumnya, dimana guru berusaha memberitahu cara menyelesaikan masalah dengan runtut, sehingga siswa dapat langsung mengggunakan pengetahuan siap pakai tersebut untuk menyelesaikan masalah. Biasanya guru menyajikan suatu konsep, memberikan contoh dan non contoh, kemudian siswa diminta untuk mengerjakan soal. 3) Model yang dikembangkan sendiri Prinsip ini mengandung makna bahwa saat siswa menyelesaikan masalah nyata, siswa mengembangkan model sendiri sebagai jembatan antara pengetahuan informal dengan pengetahuan formal. Urutan pembelajaran yang diharapkan terjadi dalam PMR adalah: penyajian masalah nyata, membuat model masalah, model formal dari masalah, dan pengetahuan formal. Dengan
24
demikian, sangat dimungkinkan terjadi variasi model, yang diharapkan akan dipahami siswa dalam bentuk pengetahuan matematika formal. Menurut Gravemeijer (1994: 114 – 115), RME memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: 1) Penggunaan konteks nyata untuk dieksplorasi Pembelajaran matematika dengan PMR diawali dari sesuatu yang nyata atau sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa. Melalui abstraksi dan formalisasi, siswa akan mengembangkan konsep yang lebih lengkap dari konteks real yang dihadapi. Kemudian siswa mengaplikasikan konsep matematika tersebut ke dunia nyata, sehingga pemahaman siswa terhadap konsep tersebut menjadi lebih kuat (Putu Suharta, 2002). Penggunaan konteks nyata tersebut diwujudkan dalam soal kontekstual. 2) Digunakannya instrumen vertikal atau model Model yang dimaksud dalam pembelajaran matematika dengan RME berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri. Peran pengembangan model adalah untuk menjembatani situasi nyata dengan situasi abstrak yang ada dalam dunia pemahaman siswa. Ada beberapa tahap pemodelan, yaitu: situasional, model-of, model-for, dan pengetahuan formal. Pada awalnya, situasi dihubungkan dengan aktivitas nyata. Siswa dapat membayangkan pengalaman yang telah dimiliki, strategi, dan penerapannya ke dalam situasi. Kemudian siswa menggeneralisasi dan melakukan formalisasi model menjadi model-of, yaitu ungkapan tertulis. Kemudian siswa bekerja dengan bilangan menggunakan penalaran matematis tanpa membayangkan situasi konkretnya. Pada tahap ini, model-of berubah menjadi model-for, yang pada akhirnya berkembang menjadi pengetahuan formal (Gravemeijer, 1994: 100– 101). 3) Digunakannya produksi dan konstruksi oleh siswa Dalam RME ditekankan adanya penggunaan produksi bebas, dimana siswa didorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang dianggap penting dalam proses pembelajaran. Strategi informal siswa, berupa prosedur pemecahan
masalah
kontekstual,
merupakan
sumber
inspirasi
dalam
25
pengembangan pembelajaran lanjut, yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal (Putu Suharta, 2002). 4) Adanya interaktivitas Proses interaksi antara siswa dengan guru maupun antar siswa merupakan hal yang mendasar dalam RME. Bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, persetujuan, ketidak setujuan, pertanyaan atau refleksi, digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentukbentuk informal yang diperoleh siswa. Pembelajaran matematika menggunakan RME merupakan suatu aktivitas social, dimana di dalamnya siswa diberi kesempatan untuk berbagi strategi dan penemuan. Dengan mendengarkan penemuan teman dan mendiskusikannya, siswa mendapat ide untuk memperbaiki strategi mereka (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000). 5)
Adanya keterkaitan antara beberapa bagian dari materi pembelajaran. Matematika terdiri dari unit-unit yang saling berkaitan. Jika dalam matematika, hubungan atau keterkaitan dengan bidang lain tersebut diabaikan, maka akan berpengaruh terhadap pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks. Artinya, bukan hanya unsur-unsur matematika yang dibutuhkan dalam aplikasinya, melainkan juga pengetahuan-pengetahuan dalam bidang lain. Freudenthal dalam Sutarto Hadi (2005 : 8) menyatakan konsep matematika
muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian suatu masalah yang terkait dengan konteks (context-link solution) atau mematematikakan dunia nyata, maka secara perlahan siswa mengembangkan alat dan pemahaman matematika ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematika siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berfikir matematika ke tingkat yang lebih tinggi. Mengacu pada pendapat Freudenthal, Akbar Sutawijaya (2001) menyatakan pendekatan matematika realistik menuntun siswa untuk berfikir menggunakan pengalamannya mulai dari objek nyata (konkrit) yang bersifat kontekstual bagi siswa melalui skema atau model ke arah yang abstrak, dengan kata lain, dari masalah yang bersifat informal ke matematika yang bersifat formal.
26
Pembelajaran menggunakan pendekatan matematika realistik sesuai dengan teori perkembangan kognitif anak Jean Piaget yang demikian tahap pertama, yaitu tahap sensorimotor (0-2 tahun) pada tahap ini anak menggunakan penginderaan dan aktivitas motorik untuk mengenal lingkungannya. Pada tahap kedua tahap pra-operasional (2-7 tahun) pada tahap ini anak belajar mengenal lingkungan dengan menggunakan simbol bahasa, peniruan dan permainan. Tahap yang ketiga yaitu, tahap konkret operasional (7-11) pada tahap ini anak sudah bisa melakukan berbagai macam tugas mengkonversi angka melalui tiga macam proses operasi. Tahap terakhir yaitu tahap formal operasional (11-dewasa) pada fase ini anak sudah dapat berfikir abstrak, hipotesis, dan sistematis mengenai sesuatu yang abstrak. Berdasarkan teori perkembangan kognitif tersebut, diyakini pada usia 7 sampai dengan 11 tahun anak berada pada tahap operasi konkrit. Maka pada tahap operasional konkrit anak akan lebih mudah memahami sesuatu melalui bendabenda nyata yang dapat ditangkap oleh panca indra dalam mempelajari sesuatu. Reewjik dalam Yansen Marpaung (2006 : 5) menyatakan secara singkat prinsip Pendidikan Matematika Realistik (PMR) sebagai berikut: ”(a) Dunia nyata, (b) Produksi bebas dan konstruksi, (c) Matematisasi, (d) Interaksi, dan (e) Aspek pembelajaran secara terintegrasi”. Oleh karenanya hubungan antara belajar dalam matematika realistik memiliki ciri khusus. Suryanto dalam majalah PMRI (2007 : 8) mengemukakan kekhususan pembelajaran dengan pendekatan realistik sebagai berikut: a)
Pengenalan konsep matematika baru dilakukan dengan memberikan kepada siswa realistic contextual problem (masalah kontekstual yang realistik).
b) Siswa dipersilahkan memecahkan masalah kontekstual yang realistik tersebut dengan bantuan guru maupun teman yang lainnya. Dengan demikian, diharapkan siswa re-invent (menemukan kembali) konsep atau prinsip-prinsip matematis atau menemukan model. c)
siswa diarahkan menemukan dan mendiskusikan penyelesaian mereka (yang biasanya ada yang berbeda, baik jalannya maupun hasilnya).
27
d) Siswa dipersilahkan untuk merefleksikan (memikirkan kembali) apa yang telah dikerjakan dan apa yang telah dihasilkan, baik hasil kerja mandiri maupun hasil diskusi. e)
Siswa juga dibantu agar mengaitkan pelajaran matematika yang ada hubungannya.
f)
Siswa diajak mengembangkan, memperluas atau meningkatkan hasil-hasil dari pekerjaannya agar menemukan konsep atau prinsip matematika yang lebih rumit.
g) Menekankan matematika sebagai kegiatan bukan sebagai produk jadi, atau hasil siap pakai. Untuk mempelajari matematika sebagai kegiatan, cara yang cocok adalah learning by doing (belajar dengan mengerjakan matematika). Fase-fase model pembelajaran matematika Realistik mengacu pada Gravemeijer, Sutarto Hadi, dan Treffers yang menunjukan bahwa pengajaran matematika dengan pendekatan realistik meliputi fase-fase berikut (Kemendiknas, 2010) 1.
Fase pendahuluan Pada fase ini, guru memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” atau “real” bagi siswa yang berarti sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna.
2.
Fase pengembangan. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan atau masalah yang diajukan.
3.
Fase penutup atau penerapan. Melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran. Fauzi
(2002:)
mengemukakan
langkah-langkah
di
dalam
proses
pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik, sebagai berikut:
28
1.
Memahami masalah kontekstual,
yaitu guru memberikan masalah
kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. 2.
Menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.
3.
Menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.
4.
Membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.
5.
Menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur. Soedjadi (2001:3) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika
realistik juga diperlukan upaya “mengaktifkan siswa”. Upaya itu dapat diwujudkan dengan cara (1) mengoptimalkan keikutsertaan unsur-unsur proses belajar mengajar, dan (2) mengoptimalkan keikutsertaan seluruh peserta didik. Salah satu kemungkinan adalah dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk dapat menemukan atau mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang akan dikuasainya. Salah satu upaya guru untuk merealisasikan pernyataan di atas adalah menetapkan langkah-langkah pembelajaran yang sesuai dengan prinsip dan karakteristik PMR sebagai berikut :
29
Langkah 1. Memahami masalah kontekstual Guru memberikan masalah kontekstual sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Kemudian meminta siswa untuk memahami masalah yang diberikan tersebut. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa, guru memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum dipahami siswa. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi. Langkah 2. Menyelesaikan masalah kontekstual Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah. Selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang lainnya.
Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas,
sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua menggunakan model. Langkah 3. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban Guru
menyediakan
waktu
dan
kesempatan
pada
siswa
untuk
membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka secara berkelompok, selanjutnya membandingkan dan mendiskusikan pada diskusi kelas. Pada tahap ini, dapat digunakan siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya meskipun pendapat tersebut berbeda dengan lainnya. Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah karakteristik ketiga yaitu menggunakan kontribusi siswa (students constribution) dan karakteristik keempat yaitu terdapat interaksi (interactivity) antara siswa dengan siswa lainnya. Langkah 4. Menyimpulkan
30
Berdasarkan hasil diskusi kelas, guru memberi kesempatan pada siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur yang terkait dengan masalah realistik yang diselesaikan. Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah adanya interaksi (interactivity) antara siswa dengan guru (pembimbing). Massova (2008:13) menyebutkan langkah-langkah dalam pembelajaran matematika realistik adalah sebagai berikut: 1.
Memahami masalah atau soal konteks Guru memberikan masalah / persoalan konstekstual dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. Langkah ini sesuai dengan karakteristik 1- PMR, yaitu menggunakan masalah kontekstual
2.
Menjelaskan masalah kontekstual Langkah ini dilaksanakan apabila ada siswa yang belum paham dengan masalah yang diberikan. Jika semua siswa sudah memahami maka lanagkah ini tidak perlu dilakukan. Pada lanagkah ini guru menjelaskan situasi dan kondisi soal dengan memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian tertentu yang belum dipakai siswa. Langkah ini sesuai dengan karakteristik 4 – PMR, yaitu adanya interaksi antara siswa dengan guru maupun dengan siswa yang lain.
3.
Menyelesaikan masalah kontekstual Siswa secara kelompok atau individu. Dalam menyelesaikan masalah atau soal siswa diperbolehkan berdeda dengan siswa yang lain. Dengan menggunakan lembar kegiatan siswa, siswa mengerjakan soal dalam tingkat kesulitan yang berbeda. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri-sendiri. Guru hanya memberikan arahan berupa pertanyaan langkah atau pertanyaan penggiring agar siswa mampu menyelesaikan masalah sendiri. Ini sesuai dengan karakteristik 2 – PMR.
4.
Membandingkan dan mendiskusikan jawaban Guru
memfasilitasi
diskusi
dan
menyediakan
waktu
untuk
membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari soal secara kelompok, dan
31
selanjutnya dengan diskusi kelas. Langkah ini sesuai dengan karakteristik 3 – PMR dan 4 – PMR yaitu menggunakan kontribusi siswa dan interaksi antar siswa yang satu dengan yang lain. 5.
Menyimpulkan hasil diskusi Guru mengarahkan untuk menarik kesimpulan suatu konsep, lalu guru meringkas atau menyelesaikan konsep yang termuat dalam soal. Mengacu pada pendapat-pendapat di atas bahwa secara prinsip pendekatan
matematika realistik merupakan gabungan dari pendekatan konstruktivisme dan kontekstual, dalam arti memberi kesempatan pada siswa untuk membentuk (mengkonstruksi) sendiri pemahaman mereka tentang ide, dan konsep matematika, melalui penyelesaian masalah dunia nyata (kontekstual). Dan memiliki langkah – langkah sebagai berikut : 1.
Memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.
2.
Menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.
3.
Menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individu atau kelompok menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.
4.
Membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok dan diskusi kelas. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.
5.
Menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.
32
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang relevan Penelitian yang berjudul “Peningkatan Hasil Belajar Matematika Pokok Bahasan Membandingkan Dua Pecahan Dengan Pendekatan Belajar Aktif Pada Siswa Kelas III SDN Mutisari Kecamatan Watumalang Kabupaten Wonosobo Tahun Pelajaran 2008/2009”. Dengan hasil penggunaan pendekatan belajar aktif meningkatkan hasil belajar siswa mata pelajaran Matematika pokok bahasan membandingkan dua pecahan kelas III SDN Mutisari Kecamatan Watumalang Kabupaten Wonosobo tahun pelajaran 2008/2009 dengan prosentase ketuntasan pada siklus I , II dan III adalah 70; 83,33 dan 100. ( Erwina Andriani W,2009 ). Kelebihan dari penelitian ini adalah dapat meningkatkan hasil belajar siswa pokok bahasan membandingkan dua pecahan. Kekurangan dari penelitian ini adalah membutuhkan waktu dan banyak siswa yang belum aktif dalam proses pembelajaran. Penelitian yang berjudul “Upaya Peningkatan Hasil Belajar Menggunakan Pendekatan
Pembelajaran
Matematika
Realistik
Pada
Pokok
Bahasan
Penjumlahan Bilangan Pecahan Di Siswa Kelas V SD Negeri Sumogawe 01 Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2008/2009”. Menyatakan hasil bahwa dengan pembelajaran menggunakan matematika realistik hasil belajar siswa meningkat dari pada sebelum penggunaan matematika realistik. Matematika realistik dapat disarankan untuk menunjang proses pembelajaran yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Kelebihan dari penelitian ini adalah hasil belajar dan keaktifan siswa meningkat. Sedangkan kekurangan dari penelitian ini adalah kenaikan ketuntasanya terlalu kecil. Penelitian yang berjudul,”Pembelajaran Pecahan Pengan Pendekatan Matematika Realistik Indonesia(PMRI) di kelas III MIN Yogyakarta II” hasil pembelajarannya adalah: Menemukan bahwa terasa sekali siswa dapat menghayati pelajaran tentang pecahan dan dapat memberikan penjelasan,dapat menemukan pecahan lain serta paham mencari dan menemukan cara menjawab suatu masalah serta berkarya dengan kertas-kertas yang sudah dipotong-potong menjadi hiasan yang menarik. Siswa dapat memahami matematika,jiwa seni dan kreativitas
33
berkembang. Budaya diskusi dan kerja sama mewarnai setiap kegiatan pembelajaran(Ratini,2005) Penelitian yang berjudul,”Pemanfaatan Media Visual Pada Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Islam Terpadu Permata Bunda Bandar Lampung”,hasil penelitiannya adalah:Menemukan bahwa meningkatnya hasil b elajar dari setiap siklusnya baik secara individu maupun klasikal. Rata-rata hasil belajar individu,persentase siswa dengan nilai minimal 70 masing-masing sebanyak 10%, 68%, dan 84%. Rata-rata hasil belajar siswa secara klasikal 57,4 (siklus I), 76,36 (siklus II), dan 90,8 (siklus III). Kelebihan dari penelitian ini adalah
kenaikan
rata-rata
hasil
belajar
sangat
meningkat.
Sedangkan
kekurangannya adalah belum semua siswa aktif pada saat proses pembelajaran. Sugeng Sutiarso(2005). Penelitian yang berjudul”Aktivitas Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Sub Topik Pengukuran Waktu di Kelas IIA SD Percobaan 2 Yogyakarta.” hasil penelitiannya adalah: Ditemukan bahwa siswa menggunakan konteks
nyata
yang
biasa
dilakukan
siswa,siswa
mengkontruksi
dan
menyelesaikan masalah dengan cara mereka,siswa bertanya atau mengemukakan kepada guru atau temannya atas masalah yang dihadapinya.(Suhartini,2005) Penelitian tersebut relevan dengan penelitian yang kami lakukan karena sama-sama menggunakan Pendekatan Metematika Realistik sebagai variabel untuk menyelesaikan masalah.
2.3
Kerangka Berpikir Kondisi awal hasil belajar Matematika pada materi pecahan masih sangat
rendah di kelas IV SD Negeri 3 Trimulyo, terbukti masih banyak siswa yang hasil belajarnya di bawah kriteria ketuntasan minimal ( KKM ) ada 78% dari jumlah siswa. Salah satu penyebabnya yaitu karena guru dalam melakukan pembelajaran menggunakan metode konvensional yang menitik beratkan metode ceramah dan di selingi dengan tanya jawab lebih memberikan informasi oleh guru secara aktif sedangkan siswa hanya melakukan kegiatan mendengarkan dan
34
mencatat saja tidak memberikan pengalaman langsung yang mengakibatkan pembelajaran kurang bermakna dan mempengaruhi hasil belajar siswa. Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik mengedepankan pembelajaran yang bersifat kontekstual dan akan memberikan pengalaman nyata bagi siswa, selanjutnya siswa akan terlibat langsung secara personal dalam aktivitas matematika. Pendekatan ini memberikan kebebasan berfikir kepada siswa dengan caranya sendiri, membuat model-model simbolik dari aktivitas matematika informal, dan pembelajaran berlangsung interaktif yakni terjadinya komunikasi antara siswa dengan siswa serta antara siswa dengan guru, dan terdapatnya keterkaitan antara konsep matematika yang dapat membantu siswa memperoleh banyak pengalaman memecahkan masalah, yang didukung adanya aktivitas refleksi maka akan menghasilkan kemampuan menyelesaikan soal matematika lebih baik. Karakteristik matematika yang tersusun secara hierarkis, meletakkan kemampuan
awal
matematika merupakan
representasi
dari
sekumpulan
pengetahuan dan pengalaman siswa tentang matematika memungkinkan siswa mengembangkan pengetahuan matematika ke jenjang yang lebih tinggi dan akan mempengaruhi hasil belajar siswa. Untuk meningkatkan hasil belajar, guru mencoba menggunakan Pendekatan Matematika Realistik adalah sebuah pembelajaran yang memiliki langkah-langkah sebagai berikut: 1.
Memahami masalah kontekstual Guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.
2.
Menjelaskan masalah kontekstual Jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjukpetunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.
3.
Menyelesaikan masalah kontekstual Siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih
35
diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri. 4.
Membandingkan dan mendiskusikan jawaban Guru
menyediakan
waktu
dan
kesempatan
kepada
siswa
untuk
membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran. 5.
Menyimpulkan Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.
36
Gambar 2.1 Skema Kerangka berpikir Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Tentang Pecahan Melalui Pendekatan Matematika Realistik KD. Menjelaskan arti pecahan dan urutannya
Pendekatan Konvensional
Guru ceramah, tanpa menggunakan alat peraga.
KD. Menjelaskan arti pecahan dan urutannya
Pembelajaran menggunakan Pendekatan Matematika Realistik
Siswa pasif
Penilaian = tes formatif
Hasil belajar < KKM
Siswa membagi satu buah apel untuk 2 orang sama besar.
Penilaian proses
Menjelaskan nilai dari masing-masing bagian apel yang dibagi dua
Hasil belajar > KKM
Membagi siswa menjadi 6 kelompok
Mengerjakan soal tentang pecahan secara berkelompok
Penilaian hasil
Presentasi hasil kerja kelompok
Membuat kesimpulan dari hasil pembelajaran
Tes tertulis
37
Kerangka pikir di atas menggambarkan tentang alur penelitian yang dilakukan. Yang didasarkan pada kondisi awal pembelajaran yang menggunakan metode konvensional (ceramah) yang berpengaruh pada hasil belajar siswa rendah ≤ KKM. Setelah diberikan tindakan dengan cara menggunaan model pembelajaran Pendekatan Matematika Realistik kepada siswa dalam proses belajar mengajar di kelas maka diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika.
2.4
Hipotesis Tindakan Dari refleksi hasil kajian pustaka dan kerangka berpikir tersebut di atas
dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : Upaya penggunaan pendekatan matematika realistik diduga dapat meningkatkan hasil belajar matematika tentang pecahan siswa kelas IV SD N 3 Trimulyo kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo semester 2 tahun pelajaran 2011/2012.