BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Dalam
penelitian
ini,
peneliti
mengambil
teori
mengenai IPA,
pembelajaran IPA, pembelajaran IPA SD, model pembelajaran, model pembelajaran berbasis masalah, karakteristik, langkah, sintak, tujuan, kelebihan, kelemahan model model pembelajaran berbasis masalah, belajar dan hasil belajar. Teori tersebut diambil dari berbagai sumber. 2.1.1 IPA Ilmu Pengetahuan Alam, biasa disingkat IPA adalah sebuah mata pelajaran yang mempelajari Ilmu Alam untuk siswa Sekolah Dasar (SD). Ruang lingkup IPA di Sekolah Dasar menurut Standar Isi untuk satuan Dasar dan Menengah (2006: 168) adalah ruang lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspekaspek berikut. (1) makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan, (2) benda/ materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas, (3) energi dan perubahannya meliputi gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana, (4) bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya. Ruang lingkup tersebut berhubungan dengan lingkungan alam atau lingkungan sekitar tempat tinggal kita. Namun sering kali banyak siswa yang mengabaikan pelajaran IPA karena berhubungan dengan alam sekitar dan tanpa dipelajari akan siswa akan mengetahui sendiri. Padahal sebenarnya IPA memerlukan pembelajaran yang dikemas dengan baik sehingga dapat memberikan pembelajaran yang bermakna kepada siswa. Oleh karena itu perlu dilakukan penggunaan metode yang sesuai dengan materi pembelajaran dan usia siswa. Dalam Ilmu Pengetahuan, istilah ilmu pengetahuan alam merujuk kepada pendekatan logis untuk mempelajari alam semesta. Ilmu pengetahuan alam mempelajari alam dengan menggunakan metode-metode sains. Ilmu pengetahuan jenis ini berbeda dengan Ilmu Pengetahuan Sosial yang menggunakan metode sains untuk mempelajari perilaku manusia dan masyarakat; ataupun ilmu 7
8
pengetahuan formal seperti matematika. Sehingga akan mudah diterima siswa dalam kehidupan nyata apabila siswa tersebut dapat melihat atau mengalami sendiri pembelajaran dalam IPA tersebut. Ilmu Pengetahuan Alam perlu diajarakan di sekolah dasar dengan berbagai alasan, yaitu a) Bahwa IPA berfaedah bagi suatu bangsa. Khususnya bagi generasi penerus bangsa, IPA sangat diperlukan bagi perkembangan teknologi yang setiap tahun selalu berkembang. Misalnya teknologi dapat berkembang karena adanya IPA. b) Bila IPA diajakan dengan cara yang tepat, maka IPA merupakan suatu mata pelajaran yang memberikan kesempatan berpikir kritis. Dengan adanya pelajaran IPA, maka siswa akan belajar untuk berpikir kritis melalui kegiatankegiatan yang dilakukan. Kemampuan berpikir kritis tersebut bila dilakukan secara berkesinambungan akan menciptakan generasi penerus bangsa yang cerdas dan kritis dalam menyikapi berbagai masalah dan perubahan yang terjadi. c) Bila IPA diajarkan dengan siswa melakukan percobaan percobaan sendiri, maka IPA bukan merupakan mata pelajaran hafalan. Pembelajaran yang dilakukan dengan menghafalkan saja tanpa anak mengalami apa yang akan dipelajari maka pembelajaran itu tidak akan bermakna. Sebab sesuatu yang hanya dihafalkan tidak adak tersimpan dalam memori seseorang dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, pembelajaran yang bermakna ialah siswa melakukan sendiri percobaan atau eksperimen yang membantu mengingat pelajaran yang telah dilakukan. Jadi, dalam pembelajaran IPA siswa harus dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran yang direncanaka dan dilaksanakan. d) Mata pelajaran IPA mempunyai nilai-nilai pendidikan yaitu mempunyai suatu potensi yang dapat membentuk kepribadian anak secara keseluruhan. Nilai-nilai tersebut sangat diperlukan bagi siswa dalam proses pertumbuhnnya, sehingga harus diberikan pembelajaran yang tidak keliru dan sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Supaya anak dapat memaknai pembelajaran IPA dengan sangat baik. (Usman 2011 : 4). Dari uraian diatas maka terbukti IPA sangat diperlukan dan penting bagi siswa SD, karena menyangkut ke-4 hal tersebut. Menurut Nuryani (2010) belajar sains adalah memberikan kesempatan dan bekal untuk memproses sains serta menerapkan dalam kehidupannya sehari-hari
9
melalui cara-cara yang benar dan mengikuti etika keilmuan dan etika yang berlaku dalam masyarakat. Hal tersebut terdapat dalam IPA yang dipelajari mulai sejak tingkat sekolah dasar pada pendidikan formal. Supaya siswa lebih memahami kehidupan melalui etika keilmuan yang benar dan tidak menyalahgunakan yang sudah diperolehnya dalam bangku sekolah. Sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah - langkah tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan
hipotesis,
merancang
eksperimen,
mengumpulkan
data,
menganalisis dan akhirnya menyimpulkan. Dari sini tampak bahwa karakteristik yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi artinya gejala alam dapat berbentuk kuantitas. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa IPA merupakan suatu ilmu yang mempelajari mengenai alam yang dapat dilakukan dengan melakukan mercobaan atau eksperimen agar pembelajaran tersebut dapat dipahami siswa dengan mudah. Pada penelitian ini, peneliti melakukan penelitian di kelas 4 SD dengan materi pokok Perubahan Lingkungan. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dari materi tersebut dapat dilihat dibawah ini : Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 10. Memahami perubahan 10.1 Mendeskripsikan berbagai lingkungan fisik dan penyebab perubahan lingkungan fisik pengaruhnya terhadap daratan. (angin, hujan, cahaya matahari dan gelombang laut). 10.2 Menjelaskan pengaruh perubahan lingkungan fisik terhadap daratan (erosi, abrasi, banjir, longsor). Sumber. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
10
2.1.2 Pembelajaran IPA Pembelajaran IPA adalah pendekatan yang mencakup kesesuaian antara situasi dan belajar anak dengan situasi kehidupan nyata di masyarakat (Usman, 2011: 4). Dalam pembelajaran IPA, hendaknya siswa dapat belajar mengalami sendiri atau biasa disebut dengan belajar melalui pengalaman karena dengan begitu daya ingat anak akan semakin kuat dan menghemat biaya sebab anak belajar dari lingkungan sekitar. Sebagai disiplin ilmu, IPA membuat perannya sangat penting dalam kehidupan. Yang dapat mempelajari IPA bukan hanya ilmuan saja melainkan anak anak juga harus mempelajarinya. Pada anak usia SD pembelajaran IPA lebih diarahkan dan dimodifikasi pada
perkembangan kognitif anak.
Untuk
mengembangkan ketrampilan kognitif itu dapat dilakukan dengan mengamati, mencoba memahami apa yang diamati, mempergunakan pengetahuan baru untuk menafsirkan apa yang terjadi, lalu menguji tafsiran yang sudah didapat (Usman 2011: 5). Guru harus memahami betapa pentingnya peran IPA dalam kehidupan anak anak, oleh karena itu dalam kurikulum SD IPA dicantumkan sebagai mata pelajaran yang wajib diikuti dan diterima oleh semua anak. Selain itu pemilihan metode pembelajaran juga sangat berpengaruh pada pemahaman anak. Anak – anak yang pada umumnya berusia antara 7 – 12 tahun memerlukan hal-hal yang nyata dalam proses pembelajaran dan pemahaman. Anak usia SD akan lebih cepat menerima suatu pelajaran atau pengetahuan baru ketika anak itu melihat, mendengar dan mengalami sendiri materi atau bahan yang bermanfaat untuk mengembangkan pengetahuannya. Pembelajaran IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang berhubungan dengan alam sekitar, jadi dengan memodifikasi materi agar lebih menarik dan melibatkan aktifitas siswa dalam pembelajaran maka siswa akan dengan mudah memahami pembelajaran. Dan pembelajaran IPA khususnya di Sekolah Dasar akan dapat dilaksanakan dengan maksimal.
11
2.1.3 Pembelajaran IPA di SD Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan hal yang penting dan harus dikuasai oleh siswa terutama siswa SD. IPA yang hampir keseluruhan materinya harus dilakukan dengan melakukan percobaan – percobaan seperti yang dilakukan oleh banyak ilmuwan mendorong pendidik untuk memodifikasi ketrampilan – ketrampilan proses dalam pembelajaran IPA yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak (Usman : 2007). Proses pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan kognitif anak tentu akan mudah diterima anak apabila pembelajarannya sesuai. Konsep pembelajaran IPA dapat diterima anak dengan baik apabila anak melakukan pengalaman yang sesuai dengan materi pembelajaran. Pengalaman tersebut dapat berasal dari pengalaman pribadinya, mencoba – coba atau trial and error, dan dengan melakukan praktik pembelajaran sesuai dengan bimbingan pengajar. Selain itu, pembelajaran IPA di SD juga dapat dilakukan dengan memodifikasi materi dengan model atau metode yang tentunya membuat siswa tertarik dan selalu ingin belajar IPA. 2.2 Model Pembelajaran Model pembelajaran merupakan suatu pola yang digunakan oleh guru dalam suatu pembelajaran sehingga akan mempermudah peserta didik menerima dan memahami materi pembelajaran yang pada akhirnya tujuan pembelajaran dapat dikuasai diakhir kegiatan belajar (Hamzah, 2007 : 2). Model pembelajaran harus disesuaikan dengan materi pembelajaran dan tingkat perkembangan anak. Model pembelajaran dapat pula disebut sebagai kerangka prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, model merupakan suatu pola (contoh, acuan, ragam), sedangakan pembelajaran ialah proses, cara, perbuatan mempelajari. Sehingga model pembelajaran dapat diartikan sebagai serangkaian
12
pola atau proses untuk mempelajari suatu pembelajaran yang disusun secara sistematis. Yang tentunya tujuan adanya model pembelajaran itu ialah untuk mempermudah penyampaian dan penerimaan materi yang akan dipelajari. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan suatu cara yang digunakan oleh seorang pengajar dalam merencanakan dan menyampaikan materi pembelajaran guna meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan sehingga kegiatan pembelajaran terlaksana dengan tertata dan sistematis.
2.3 Pembelajaran Berbasis Masalah Belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dengan respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan (Trianto 2006: 67). Lingkungan memberi stimulus berupa masalah kepada siswa, sedangkan siswa dengan sistem syaraf otaknya akan menafsirkan masalah agar dapat diselesaikan, diselidiki, dinilai dan dianalisis oleh siswa dengan baik. Dengan demikian belajar berdasarkan masalah merupakan proses bagi siswa untuk menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat. Dengan kemampuan berfikir siswa, maka siswa diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang menjadi problema di lingkungan. Pengajaran berdasarkan masalah menurut Ratumanan (dalam Trianto 2006: 68), merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berfikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini dapat membantu siswa untuk mengolah apa yang sudah dipikirkan dan menyusun pengetahuan mereka dengan dunia sosial dan lingkungan sekitar. Ratumanan juga berpendapat bahwa pembelajaran ini bagus untuk mengembangkan kemampuan dasar maupun kompleks yang sudah dimiliki anak. Kemampuan dasar yang sudah dimiliki anak dapat dikembangakan dengan pengetahuan dari berbagai sumber yang tentunya berkaitan dengan masalah yang akan diselesaikan siswa. Dengan keaktifan siswa untuk mencari pengetahuan dari berbagai sumber maka akan menambah pemahaman siswa mengenai penyelesaian masalah yang memerlukan pemikiran tingkat tinggi.
13
Wina Sanjaya (2010: 214) mengungkapkan bahwa strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan sebagian rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Proses pembelajaran yang menekankan masalah pada setiap pembelajaran inilah yang akan membuat siswa mengalami perkembangan tingkat berfikir yang sistematis dengan dirangkainya aktivitas pembelajaran yang akan dilakukan siswa. Sedangkan menurut Hmelo-Silver (dalam Paul Eggen 2012: 307) pembelajaran berbasis masalah ialah seperangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah, materi dan pengaturan diri. Menurut Hmelo-Silver, yang menjadi hal pokok dalam pembelajaran berbasis masalah adalah masalah. Dalam hal ini masalah merupakan hal yang sangat utama dalam mengembangkan ketrampilan anak dalam memecahkan suatu masalah. Potensi yang dikembangkan bukan hanya kemampuan berfikir secara biasa tetapi berfikir secara kritis dalam menyikapi dan menyelesaikan masalah bahkan juga kreatifitas anak dapat dikembangkan dalam model pembelajaran berbasis masalah ini. Merinda Dian Prametasari (2012) mengungkapkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai model pembelajaran yang diawali dengan pemberian masalah kepada siswa di mana masalah tersebut dialami atau merupakan pengalaman sehari-hari siswa. Selanjutnya siswa menyelesaikan masalah tersebut untuk menemukan pengetahuan baru. Secara garis besar pembelajaran berbasis masalah terdiri dari kegiatan menyajikan kepada siswa suatu situasi masalah yang autentik dan bermakna serta memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Masalah merupakan hal yang utama dalam penerapan model pembelajaran berbasis masalah, terutama masalah yang dialami atau merupakan masalah yang dialami di kehidupan seharihari. Dengan mengacu pada pendapat-pendapat diatas, model pembelajaran berbasis masalah ialah pembelajaran yang terjadi karena adanya stimulus dan respon yang berupa pemberian masalah dan mendorong siswa untuk mengolah
14
kemampuan berfikir dalam proses penyelesaian masalah sehingga tercipta ketrampilan dan pengalaman belajar siswa dalam memecahkan masalah. 2.3.1 Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah Model pembelajaran berbasis masalah merupakan sebagian rangkaian kegiatan pembelajaran yang lebih mengarah pada penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Menurut Wina Sanjaya (2007), terdapat tiga ciri utama dari model ini, yaitu (1) model pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam pembelajaran ada kegiatankegiatan yang harus dilakukan siswa agar siswa tidak hanya mendengar, mencatat kemudian menghafal materi. (2) aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Masalah merupakan kunci utama dalam pembelajaran ini, jadi siswa dalam pembelajaran akan dihadapkan dengan masalah yang harus mereka selesaikan sehingga akan mendorong anak untuk belajar secara aktif dalam menyelesaikan masalah tersebut. (3) pemecahan masalah yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan berfikir ilmiah. Dalam menyelesaikan masalah hendaknya siswa diarahkan untuk berfikir secara sistematis (berfikir ilmiah dengan tahapan tertentu) dan empiris (penyelesaian masalah yang didasarkan pada data dan fakta yang jelas). Dengan demikian, nyatalah bahwa dalam pembelajaran berbasis masalah lebih mengutamakan masalah di setiap proses belajar mengajar. Taufiq Amir (2009: 22) berpendapat, karakteristik yang tercakup dalam pembelajaran berbasis masalah meliputi: (1) Masalah digunakan sebagai awal pembelajaran, (2) masalah yang digunakan berupa masalah dunia nyata yang disajikan secara mengambang, (3) masalah biasanya menuntut prespektif majemuk, (4) masalah membuat pembelajar tertantang untuk mendapatkan pembelajaran yang baru, (5) sangat mengutamakan belajar mandiri, (6) memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi, pencarian, evaluasi serta penggunaan pengetahuan menjadi kunci penting, (7) pembelajaranya kolaboratif, komunikatif dan kooperatif. Pembelajar
15
bekarja dalam kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan dan melakukan presentasi. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah itu berbeda dengan model belajar yang lain. Model ini lebih mengarahkan siswa untuk belajar tidak hanya sekedar mengingat, meniru dan mencontoh tetapi dapat menyelesaikan masalah. Savin: Badin (dalam Taufiq Amir: 2009) menyatakan perbedaan model pembelajaran berbasis masalah dengan metode lain: Tabel 2.2 Perbedaan PBL dengan Metode lain Metode Belajar
Deskripsi
Ceramah Kasus atau studi kasus
Informasi dipresentasikan oleh pendidik. Pembahasan kasus biasanya dilakukan di akhir pembelajaran disertai dengan pembahasan di kelas mengenai materi. Informasi tertulis yang berupa masalah diberikan sebelum kelas dimulai. Fokusnya adalah bagaimana pembelajaran mengidentifikasikan isu pembelajaran sendiri untuk memecahkan masalah. Materi dan konsep yang relevan ditemukan oleh pembelajar sendiri.
Pembelajaran berbasis masalah
Savin: Badin (dalam Taufiq Amir: 2009) Beberapa perbedaan tersebut menjelaskan bahwa pengertian masalah dalam pembelajaran berbasis masalah itu berbeda dengan pertanyaan untuk diskusi. Dalam diskusi pertanyaan atau masalah diberikan supaya pembelajar terhubung dengan materi yang diajarkan, namun dalam PBL masalah tersebut menuntut penjelasan atas sebuah kejadian. Rusman (2010:232) juga mengatakan bahwa karakteristik pembelajaran berbasis masalah meliputi: (1) permasalahan menjadi strating point dalam belajar, (2) permasalahan yang diangkat ialah permasalahan yang ada di dunia nyata yang tidak terstruktur, (3) permasalah membutuhkan prespektif ganda, (4) permasalahan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh
16
siswa, sikap dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar, (5) belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama, (6) pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya dan evaluasi sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam PBM, (7) belajar adalah kolaboratif, komunikatif dan kooperatif, (8) pengembangan ketrampilan inquiry dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan, (9) keterbukaan dalam proses PBM meliputi sintesis dan integrasi dari sebuah proses belajar dan (10) PBM melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswadan proses belajar. Pendapat yang disampaikan Taufiq dan Rusman mengenai karakteristik PBM hampir sama, bedanya ialah Rusman menambahkan beberapa hal mengenai karakteristik PBM. Dengan demikian, karakteristik model pembelajaran berbasis masalah yang pertama ialah permasalahan digunakan pada awal pembelajaran, masalah diangkat dari hal yang nyata, permasalah menggunakan prespektif majemuk, masalah membuat pembelajar tertantang, mengutamakan belajar mandiri, menggunakan berbagai sumber yang bervariasi, pembelajarannya kolaboratif, komunikatif dan kooperatif, mengembangkan ketrampilan penemuan dan pemecahan masalah, PBM yang terbuka, adanya evaluasi dan review dalam PBM. 2.3.2 Langkah – Langkah Pembelajaran Berbasis Masalah Proses Pembelajaran berbasis Masalah akan dapat dijalankan apabila pengajar sudah siap dengan semua perangkatnya, terutama ialah permasalahan yang akan dibahas dalam proses belajar mengajar. Taufiq Amir (2009: 24) menjelaskan ada 7 langkah dalam pembelajaran berbasis masalah: (1) Mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas, memastikan setiap anggota kelompok memahami berbagai istilah dalam masalah. Langkah pertama ini dapat dikatakan tahap yang membuat setiap peserta berangkat dari cara yang ada dalam masalah. (2) Merumuskan Masalah, fenomena yang ada dalam masalah menuntut penjelasan hubungan-hubungan yang terjadi terkadang ada masalah yang harus diperjelas pemahamannya. (3) Menganalisis masalah, anggota mengungkapkan gagasan yang dimiliki untuk
17
menyelesaikan masalah yang terjadi dalam diskusi menganalisis masalah ini. (4) Menata gagasan dan secara sistematis menganalisisnya dengan dalam, bagian yang sudah dianalisis dikelompokkan satu dengan yang lain, dipilih apakan menunjang atau saling bertentangan dalam penyeesaian masalah. Analisis adalah upaya memilah-milah sesuatu menjadi bagian-bagian yang membentuknya. (5) Memformulasikan tujuan pembelajaran, kelompok dapat merumuskan tujuan pembelajaran karena kelompok sudah tahu pengetahuan mana yang masih kurang. Tujuan pebelajaran akan dikaitkan dengan analisis masalah yang dibuat, inilah yang menjadi dasar gagasan yang akan dibuat laporan. Tujuan pembelajaran ini juga yang dibuat menjadi dasar penugasanpenugasan individu disetiap kelompok. (6) Mencari informasi tambahan dari sumber yang lain (diluar diskusi kelompok), siswa akan mencari dari sumber lain jika dirasa informasi yang dibutuhkan masih kurang. (7) Mensintesa (menggabungkan) dan menguji informasi baru, dan membuat laporan untuk kelas, setiap kelompok akan menyusun laporan dan dipresentasikan di depan kelas dengan penggabungkan informasi yang sudah mereka temukan. Ke tujuh langkah tersebut ada dalam setiap kegiatan pembelajaran berbasis masalah namun dalam implementasinya tidak harus ke tujuh langkah tersebut dilakukan dalam satu pertemuan, bisa sampai 3 atau 4 pertemuan. Banyak ahli yang menjelaskan bentuk penerapan model pembelajaran berbasis masalah. John Dewey (Wina Sanjaya 2006: 217) menjelaskan 6 langkah model pembelajaran berbasis masalah yang kemudian dinamakan metode pemecahan masalah (problem solving) yaitu: (1) Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa menentukan masalah yang akan dipecahkan. (2) Menganalisis masalah, yaitu langkah siswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang. (3) Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. (4) Mengumpulkan data, yaitu langkah siswa mencari dan menggambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah. (5) Pengujian hipotesis, yaitu langkah siswa mengambil atau merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan. (6) Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah siswa menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.
18
David Johnson (Wina Sanjaya 2006: 217) mengemukakan ada 5 langkah PBM melalui kegiatan kelompok: (1) Mendefinisikan masalah, yaitu merumuskan masalah yang mengandung isu atau konflik untuk dipecahkan. (2) Mendiagnosis masalah, menentukan sebab-sebab terjadinya masalah serta menganalisis faktor-faktor yang terlibat dalam masalah. (3) Merumuskan alternatif model pilihan, yaitu menguji setiap tindakan yang telah dirumuskan melalui diskusi kelas. (4) Menentukan dan menerapkan model pilihan, yaitu pengambilan keputusan tentang model mana yang dapat dilakukan. (4) Melakukan evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil. Menurut Rusman (2010: 242) langkah-langkah yang harus dilalui siswa dalam PBL adalah (1) menemukan masalah, (2) mendefinisikan masalah, (3) mengumpulkan fakta, (4) pembuatan hipotesis, (5) penelitian, (6) rephrasing masalah, (7) menyuguhkan alternatif dan (8) mengusulkan solusi. Wina Sanjaya (2006) merumuskan langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut: (1) Menyadari masalah, guru membimbing siswa unutk menyadari adanya kesenjangan atau masalah dalam kehidupan seharihari. (2) Merumuskan masalah, kemudian dengan pengetahuan siswa maka siswa akan merumuskan yang menjadi sebab dari adanya masalah tersebut. (3) Merumuskan hipotesis, siswa diarahkan untuk dapat mengetahui sebab akibat dari adanya masalah tersebut. Dengan diketahuinya sebab akibat dari suatu masalah maka akan dipahami berbagai kemungkinan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah. (4) Mengumpulkan data, siswa mengumpulkan data sesuai dengan masalah. Kecakapan dan kemampuan siswa untuk mengumpulkan dan memilah data kemudian menyajikannya merupakan hal yang utama dalam tahap ini. (5) Menguji hipotesis, setelah data terkumpul maka data tersebut diuji apakah hipotesisnya diterima atau ditolak. Kemampuan siswa dalam mengambil keputusan dan membuat kesimpulan merupakan hal yang utama dalam tahap ini. (5) Menentukan pilihan penyelesaian, merupakan tahap akhir yang mana siswa dapat menentukan penyelesaian dengan tepat dan dapat memperhitungkan sebab akibat dari penyelesaian tersebut.
19
Sesuai dengan pendapat para ahli, maka secara umum model pembelajaran berbasis masalah dapat dilakukan dengan langkah-langkah: 1. Mendefinisikan masalah, mengetahui masalah yang akan dipecahkan, masalah tersebut berhubungan dengan kehidupan. 2. Merumuskan masalah, menentukan masalah yang akan dipecahkan dengan pengetahuan awal yang dimiliki siswa. 3. Membuat
hipotesis,
membuat
dugaan
jawaban
dari
masing-masing
pengetahuan siswa yang terkait dengan masalah. 4. Mengumpulkan
data,
perlu
ditambahkan
dari
sumber
lain
dalam
menyelesaikan masalah yaitu dengan mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah dikumpulkan untuk dianalisis bersama. 5. Menguji hipotesis, dugaan jawaban dan data yang sudah terkumpul dijadikan satu, diuji dan dicari yang lebih tepat dengan penyelesaian masalah. 6. Melakukan penyelesaian, setelah semua selesai maka data yang diperoleh disajikan dalam bentuk laporan yang kemudian dipresentasikan. 2.3.3 Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah Pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari 5 langkah utama yang dimulai guru dengan mengenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Langkah tersebut dijelaskan berdasarkan pada tabel 1.2 (Ibrahim dalam Trianto 2007: 71).
20
Tabel 2.3 Sintak Pembelajaran Berbasis Masalah menurut Ibrahim
Tahap
Tahap 1 Orientasi siswa pada masalah
Tahap 2 Mengorganisasi siswa untuk belajar Tahap 3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Tahap 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Tahap 5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Tingkah Laku Guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih. Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai. Seperti laporan, video dan model serta membantu siswa untuk membagi tugas dengan temannya. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan yang dilakukan dan proses yang digunakan.
21
Dari sintak pembelajaran diatas maka, dalam proses pembelajaran langkah langkahnya ialah : Tabel 2.4 Langkah Pembelajaran Model Pembelajaran Berbasis Masalah Tahapan Pendahuluan
Eksplorasi
Elaborasi
Konfirmasi
Penutup
Kegiatan Menyiapkan alat peraga berupa gambar. Menyampaikan tujuan pembelajaran. Kegiatan inti Guru menjelaskan materi. Mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih. Guru menjelaskan proses pembelajaran dalam pemecahan masalah. Siswa dibagi menjadi 8 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4 anak. Secara berkelompok siswa diberikan suatu masalah dan siswa mendentifikasi masalah dalam bentuk lembar kegiatan, kemudian dengan bimbingan guru siswa merumuskan masalah, mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Guru memotivasi siswa untuk aktif dalam penyelesaian masalah. Siswa mengumpulkan data dari berbagai sumber dan menguji hipotesis serta mempresentasikan hasil pekerjaan siswa. Guru memeriksa hasil kegiatan siswa secara kelompok. Memberi penghargaan, memberi evaluasi secara individu. Menutup pembelajaran dengan memberi motivasi agar siswa harus senantiasa belajar.
Keterangan
22
2.3.4 Tujuan Pembelajaran Berbasis Masalah Trianto (2007: 70) mengutarakan tujuan pembelajaran berbasis masalah yaitu untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan masalah, dan ketrampilan intelektual, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata. Guru berperan untuk membantu siswa dalam merumuskan tugas-tugas. berpendapat Sedangkan Wina Sanjaya (2006: 216) juga berpendapat bahwa tujuan pembelajaran berbasis masalah yaitu kemampuan berfikir siswa untuk berfikir kritis, analitis, sistematis dan logis untuk menemukan alternatif pemecahan masalah melalui eksplorasi data secara empiris dalam rangka menumbuhkan sikap ilmiah. Siswa diarahkan dengan menggunakan masalah yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggalnya atau masalah yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Hampir sama dengan pendapat Wina Sanjaya,
Tan, Ibrahim dan Nur
(dalam Rusman 2010: 242) mengemukakan tujuan pembelajaran berbasis masalah yaitu (1) membantu siswa mengembangkan kemampuan berfikir dan memecahkan masalah, (2) belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata, (3) menjadi para siswa yang otonom. PBM mendorong siswa untuk terlibat dalam setiap kegiatam penyelidikan guna menuntaskan masalah yang dihadapi. Taufiq Amir (2009: 27) menjelaskan tujuan dari model pembelajaran berbasis masalah yaitu: (1) Menjadi lebih ingat dan meningkatkan pemahamannya atas materi ajar. Pengetahuan yang di dapat dengan lebih dekat pada praktik maka materi tersebut akan mudah diingat. Apalagi bila siswa mengalami praktik itu sendiri maka akan lebih mudah mengingat materi dan akan lebih efektif dari menghafal. (2) Meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relevan. Masalah yang dekat dengan kehidupan lingkungan sekitar akan membuat lebih dengan dengan
23
praktik dan langsung dapat merasakan apa yang terjadi, sehingga pembelajaran akan lebih efektif. (3) Mendorong untuk berfikir. Siswa dianjurkan untuk tidak terburu-buru dalam menyimpulkan masalah namun didorong untuk berfikir dan mengutarakan pendapat berdasarkan landasan dan fakta yang mendukung alasan. (4) Membangun kerja tim, kepemimpinan dan ketrampilan sosial. PBL sering dikerjakan dalam kelompok-kelompok kecil sehingga mendorong kecakapan sosial dan kerja tim. Mendengarkan dan menerima pendapat dari orang lain merupakan salah satu ketrampilan yang akan dicapai pada tujuan ini. (5) Membangun kecakapan belajar. Dengan merumuskan sendiri masalah yang mengambang akan mengembangan kecakapan siswa dalam memperoleh ilmu dan pengtahuan karena siswa harus mencari sendiri pengetahuan yang relevan. (6) Memotivasi belajar. Masalah yang dihadapkan pada siswa akan membuat siswa tertantang untuk selalu belajar dan memecahkan masalah, namun tidak semua siswa menyenangi hal ini oleh karena itu peran pendidik sangat diperlukan dalam memotivasi belajar siswa. Tujuan dari pembelajaran berbasis masalah ini lebih condong pada aktivitas dan manfaat yang akan diterima siswa. Berdasarkan tujuan PBL yang sudah disampaikan oleh para ahli, maka secara umum tujuan PBL ialah mengambangkan kemampuan berfikir siswa agar dapat berfikir secara kritis, logis, sistematis dan analitis, meningkatkan ketrampilan intelektual maupun sosial melalui kelompok kecil, membangun kecakapan dan motivasi belajar karena mengangkat masalah dari pengalaman atau kehidupan nyata. 2.3.5 Kelebihan Pembelajaran Berbasis Masalah Sebagai model pembelajaran, tentunya model pembelajaran berbasis masalah ini juga mempunyai kelebihan. Menurut Wina Sanjaya (2006), kelebihan dari model ini ialah: (1) Pemecahan masalah (problem solving) merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran. (2) Pemecahan masalah (problem solving) dapat menantang kemampuan siswa serta mamberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa. (3) Pemecahan masalah (problem solving) dapat meningkatkan aktifitas belajar siswa. (4) Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa bagaimana menstransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. (5) Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu
24
siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. (6) Pemecahan masalah (problem solving) bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran (matematika, IPA, sejarah da lain sebagainya) pada dasarnya merupakan kemampuan cara berfikir dan harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya belajar dari guru atau buku-buku saja. (7) Pemecahan masalah (problem solving) diangggap lebih menyenangkan dan disukai siswa. (8) Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berfikir kritis dan mengambangkan kemampuan mereka untuk menyeuiakan dengan pengetahuan baru. (9) Pemecahan masalah (problem solving) dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata. (10)Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir. 2.3.6 Kekurangan Pembelajaran Berbasis Masalah Disamping kelebihan, model pembelajaran berbasis masalah ini juga memiliki kelemahan, yaitu: (1) Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan enggan untuk mencoba. (2) Keberhasilan model pembelajaran melalui Pemecahan masalah (problem solving) membutuhkan cukup waktu untuk persiapan. (3) Tanpa pemahaman untuk memecahkan masalah maka siswa tidak akan memahami materi yang mereka pelajari. 2.4
Belajar Gagne (Najib Sulhan, 2006: 5), berpendapat bahwa belajar adalah proses
perubahan tingkah laku yang meliputi perubahan kecenderungan manusia, seperti sikap, nilai dan perubahan kemampuannya, yakni peningkatan kemampuan untuk melakukan berbagai jenis performance (kinerja). Baharuddin (2007: 11), menyatakan bahwa belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, ketrampilan dan sikap. Fudyartanto (Baharuddin, 2007: 13) juga menyatakan belajar adalah sebuah kegiatan untuk mencapai kepandaian atau ilmu yang dilakukan dengan usaha
25
untuk mendapatkan ilmu tersebut sehingga manusia menjadi tahu, memahami, mengerti, dapat melaksanakan dan memiliki tentang sesuatu. Hampir sama dengan pendapat Dahar dalam Triyanto 2007: 25 yang menyatakan belajar menurut teori Ausubel adalah belajar bermakna yang merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat pada struktur kognitif seseorang. Menurut Oemar Hamalik (2008: 36), belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Hal ini lebih difokuskan pada suatu proses atau kegiatan bukan pada suatu hasil atau tujuan. Winkel (Darsono, 2004: 4) menyatakan belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Dari beberapa pengertian belajar yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan sebuah proses perubahan tingkah laku dan pencapaian kompetensi serta kepandaian yang diperoleh melalui pengalaman dan berinteraksi dengan lingkungan.
2.4.1 Hasil Belajar Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi hasil belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan puncak proses belajar yang merupakan bukti dari usaha yang telah dilakukan. Menurut Hamalik (2002:155) hasil belajar tampak sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang dapat diamati dan diukur dalam perubahan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan.
Perubahan
dapat
diartikan
terjadinya
peningkatan
dan
pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, sikap tidak sopan menjadi sopan dan sebagainya. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar dapat digolongkan menjadi empat, yaitu (a) bahan atau materi yang dipelajari; (b)
26
lingkungan; (c) faktor instrumental; dan (d) kondisi peserta didik. Faktor-faktor tersebut baik secara terpisah maupun bersama-sama memberikan kontribusi tertentu terhadap prestasi dan hasil belajar peserta didik. Antara proses dan hasil dalam pembelajaran merupakan dua hal yang tidak berdiri sendiri, namun saling terkait. Faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran tersebut antara lain dalah faktor siswa, guru, model atau metode mengajar, dan sarana atau perangkat pembelajaran. Berdasarkan kajian tentang berbagai pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa perolehan belajar atau hasil belajar merupakan kapasitas terukur dan perubahan individu yang diinginkan berdasarkan ciri-ciri atau variabel-variabel bawaannya melalui perlakuan pembelajaran tertentu. Hasil belajar merupakan hasil kegiatan dari belajar dalam bentuk pengetahuan sebagai akibat dari pembelajaran yang dilakukan siswa.
2.5 Kajian Penelitian Yang Relevan Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Heny Zulaikah (2010) yang melakukan penelitian dengan judul Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah pada siswa Kelas IV SDN Slorok Kabupaten Blitar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pembelajaran pada pra tindakan masih bersifat konvensional dimana pembelajaran berpusat pada guru, (2) hasil belajar IPS pada pra tindakan memperoleh presentase rata rata kelas 59,4 %, (3) penerapan model pembelajaran IPS sesuai dengan langkah langkah PBM, (4) hasil belajar siswa pada siklus I memeroleh presentase rata rata kelas 69 % sedang siklus II 82,2 %, (5) siklus I presentase keberhasilan secara klasikal dari 59,4 % menjadi 69% dengan peningkatan sebesar 96 %. Sedangakan pada siklus II dari 69 % menjadi 82,3 % dengan peningkatan sebesar 13,2 %. Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran PBM dapat menigkatkan hasil belajar IPS siswa kelas IV SDN Slorok 01 Kabupaten Blitar. Berdasarkan penelitian ini,disarankan hendaknya guru dapat
27
memilih dan menggunakan model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan materi yang diajarkan. Merinda Dian Pramesti dengan judul penelitian Efektifitas penggunaan Model Pembelajaran Berbasis Masalah ( Problem Based Learning PBL) Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V di SD Gugus Hasanudin Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2011/2012. Penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen, namun tetap menunjukkan bahwa dengan menngunakan model pembelajaran berbasis masalah hasil belajar IPA siswa kelas V mengalami kenaikan. Terbukti dengan hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan rata rata dari hasil belajar kelas kontrol dan kelas eksperimen dengn perolehan rata - rata nilai tes siswa keals kontrol lebih rendah daripada rata rata nilai tes kelas eksperimen, yaitu 74,53 < 83,38 dengan perbedaan rata rata (mean different) sebesar 8,851. Perbedaan taraf signifikansi diperoleh angka 0,002 < 0,05. Hal tersebut berarti terdapat perbedaan antara rata rata hasil belajar kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
28
2.6 Kerangka Pikir Adapun kerangka pikir dari penelitian ini adalah
Kondisi awal
Prestasi belajar siswa rendah pada mata pelajaran IPA karena guru cenderung menggunakan ceramah
Tindakan
Menerapkan model pembelajaran berbasis masalah pada mata pelajaran IPA SK memahami perubahan lingkungan fisik dan pengaruhnya terhadap daratan dengan bimbingan dari guru.
Kondisi akhir
Melalui model pembelajaran berbasis masalah hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA kelas 4 SD Negeri Kutowinangun 07 Kecamatan Tingkir Kota Salatiga meningkat. Gambar 2.1
Skema Kerangka Pikir Penelitian Tindakan Kelas
2.7. Hipotesis Tindakan Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Melalui model pembelajaran berbasis masalah, hasil belajar siswa kelas 4 SD Negeri Kutowinangun 07 Kecamatan Tingkir Kota Salatiga pada mata pelajaran IPA SK memahami perubahan lingkungan fisik dan pengaruhnya terhadap daratan dapat meningkat”. Melalui langkah dalam model pembelajaran berbasis masalah yaitu mendefinisikan masalah, merumuskan masalah, mengumpulkan data, menguji hipotesis dan melakukan penyelesaian maka siswa lebih memahami materi, sehingga dengan penerapan langkah tersebut dapat meningkatkan pemahaman siswa yang berpengaruh pada peningkatan hasil belajar.