BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dialami oleh semua manusia. Penuaan bukan hanya proses menjadi tua. Penuaan adalah apa yang membuat tua tidak sebaik baru dan ketika laju kegagalan meningkat bersamaan dengan peningkatan usia, orang menjadi sakit, lemah, dan kadang sekarat (Gavrilov, 2004). Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini tentunya banyak memberikan dampak positif bagi masyarakat. Ilmu yang sedang berkembang pesat saat ini adalah Ilmu Anti Aging Medicine (AAM). Penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik. Penuaan tidak dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup, sehingga penuaan dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung kesehatan masing-masing individu (Fowler, 2003). 2.1.1 Definisi Penuaan Definisi aging menurut American Academy of Anti-Aging Medicine (A4M) adalah perubahan fisik yang berhubungan dengan aging disebabkan oleh disfungsi fisiologik, dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat (Klatz, 2003).
1
2
Penuaan adalah suatu kumpulan gejala dari perubahan yang terus menerus, menyeluruh dan menetap. Proses penuaan terjadi pada molekul (DNA, protein, lemak), pada sel dan organ. Frekuensi penyakit yang meningkat pada usia tua seperti arthritis, osteoporosis, penyakit jantung, kanker, Alzheimer's Disease sering dikaitkan dengan terjadinya proses penuaan. Padahal pada kenyataannya tidak semua benar bahwa penyakit yang terjadi pada usia tua adalah merupakan proses penuaan (Goldman dan Klatz, 2007). Webster's New World Dictionary mendefinisikan penuaan sebagai proses menjadi tua atau menunjukkan tandatanda menjadi tua. Oleh karena itu kemudian dikenal dua macam usia, yaitu usia kronologis dan usia fisiologis atau biologis. Usia kronologis ialah usia sebenarnya sesuai dengan tahun kelahiran, sedang usia fisiologis atau biologis ialah usia sesuai dengan fungsi organ tubuh. Maka usia kronologis tidak selalu sama dengan usia fisiologis (Pangkahila, 2007). 2.1.2 Penyebab Proses Penuaan Banyak faktor yang dapat menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa kepada kematian. Pada dasarnya berbagai faktor itu dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan. Karena berbagai faktor itulah terjadi proses penuaan, sehingga orang menjadi tua, sakit, dan akhirnya meninggal. Namun, kalau faktor penyebab itu dapat dihindari,
3
proses penuaan tentu dapat dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat, dan kualitas hidup dapat dipertahankan. Dengan kata lain usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang lebih baik. Dengan melihat berbagai faktor di atas, kita dapat menentukan faktor mana yang dapat dihindari atau diatasi agar proses penuaan dapat dicegah atau diperlambat (Pangkahila, 2007). 2.1.3 Teori Proses Penuaan Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan. Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori wear and tear meliputi kerusakan DNA, glikosilasi, dan radikal bebas serta teori program meliputi terbatasnya replikasi sel, proses imun, dan teori neuroendokrin (Pangkahila, 2007). Ada empat teori pokok dari penuaan (Goldman dan Klatz, 2007), yaitu: 1. Teori Wear and Tear Tubuh dan sel mengalami kerusakan karena sering digunakan dan disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel. 2. Teori Neuroendokrin Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus,
4
sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan bertambahnya usia tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh. 3. Teori Kontrol Genetik Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA, dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental terentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita dapat hidup. 4. Teori Radikal Bebas Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi, karena kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohudoyo, 2000). Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian.
5
Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel, dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, di mana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2007). 2.1.4 Faktor yang Mempercepat Penuaan Setelah mencapai usia dewasa, secara alamiah seluruh komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi. Sebaliknya justru terjadi penurunan karena proses penuaan. Pada umumnya manusia tidak pernah mempertanyakan mengapa kita menjadi tua, sakit, dan akhirnya meninggal. Orang hanya menganggap menjadi tua memang harus terjadi, sudah ditakdirkan, dan semua masalah yang muncul harus dialami. Bahkan, ada yang berpendapat usia setiap orang sudah ditentukan oleh Tuhan, sampai usia tertentu, yang tidak sama pada setiap orang. Namun ternyata ada beberapa faktor yang dapat mempercepat proses penuaan (Wibowo, 2003), yaitu : 1. Faktor lingkungan a. Pencemaran lingkungan berupa bahan polutan dan bahan kimia yang merupakan hasil pembakaran pabrik, otomotif, dan rumah tangga akan mempercepat proses penuaan. b. Pencemaran lingkungan berupa suara bising. Dari beberapa penelitian yang ada, ternyata suara bising mampu meningkatkan kadar hormon prolaktin dan dapat menyebabkan apoptosis pada berbagai jaringan tubuh.
6
c. Pemakaian obat-obatan dan jamu yang tidak terkontrol pemakaiannya dapat menurunkan hormon tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui
mekanisme
umpan
balik
(hormonal
feedback
mechanism). d. Sinar matahari secara langsung dapat mempercepat penuaan kulit dengan hilangnya elastisitas dan kerusakan pada kolagen kulit. 2. Faktor diet atau makanan Dipengaruhi oleh jenis nutrisi, jumlahnya serta kualitas dari makanan tersebut hendaknya yang tidak menggunakan bahan pengawet, pewarna, dan perasa dari bahan kimia yang terlarang. Zat beracun yang terkandung dalam makanan tersebut, tentunya dapat menimbulkan kerusakan pada berbagai organ tubuh, yang paling utama adalah kerusakan pada organ hati. 3. Faktor genetik Genetik seseorang ditentukan oleh genetik dari orang tuanya. Ternyata, faktor genetik dapat berubah jika terpapar oleh infeksi virus, radiasi serta racun yang terdapat pada makanan, minuman dan kulit yang dapat diserap oleh tubuh. 4. Faktor psikis Stres juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya proses apoptosis pada berbagai organ atau jaringan tubuh. 5. Faktor organik Yang merupakan faktor organik adalah rendahnya kebugaran/fitness, pola makan yang tidak sehat, penurunan Growth Hormone (GH) dan IGF-1, penurunan hormon testosteron, penurunan melatonin secara konstan setelah
7
memasuki usia 30 tahun yang dapat menyebabkan gangguan pada ritme harian (circadian clock) yang kemudian akan berpengaruh juga pada kulit dan rambut yang ditandai dengan berkurangnya pigmentasi serta terjadinya gangguan pola tidur, peningkatan prolaktin yang sejalan dengan perubahan pada emosi dan stres. Serta terjadi perubahan pada FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone). Selain faktor tesebut di atas juga ada faktor pelatihan fisik berlebih (Overtraining) sebagai faktor yang mempercepat proses penuaan. Aktivitas fisik berlebih dapat meningkatkan konsumsi oksigen sampai 100 - 200 kali lipat. Peningkatan oksigen yang luar biasa ini dapat memicu pelepasan radikal bebas, yang akan terlibat dalam proses oksidasi lemak membran sel otot. Proses tersebut disebut peroksidasi lipid, dan menyebabkan sel menjadi lebih mudah mengalami proses penuaan (Cooper,2001). 2.1.5 Upaya Menghambat Penuaan Proses penuaan bukan datang dengan sendirinya tanpa sebab. Proses penuaan dapat dicegah dan dihambat jika kita dapat mengatasi faktor penyebabnya. Pada dasarnya upaya menghambat proses penuaan dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Menjaga kesehatan tubuh dan jiwa dengan gaya hidup sehat, yaitu meliputi: a. Berolahraga sesuai kaidah ilmiah. Berolahraga seuai kaidah ilmiah yakni mengatur frequency, intensity, time dan type (FITT) latihan sesuai pedoman sebagai berikut (Pangkahila, 2013):
8
Frekuensi latihan minimal 3 - 4 kali perminggu atau tidak lebih dari 300 menit perminggu dengan waktu istirahat tidak lebih dari 2 hari.
Intensitas latihan harus cukup tinggi sehingga menaikkan denyut jantung sekitar 72%-87% dari denyut nadi maksimal dan tidak boleh melebihi denyut nadi maksimal (220-umur).
Lama latihan inti minimal sekitar 30 menit sampai 60 menit dan setiap latihan terdiri dari tiga fase, yaitu fase peregangan dan pemanasan, fase latihan dan fase pendinginan. Lamanya latihan : 1) Fase peregangan dan pemanasan 15 menit ; 2) Fase Latihan 35 menit; 3) Fase pendinginan 10 menit.
Tipe latihan sesuai dengan kondisi tubuh masing-masing individu.
b. Makanan yang sehat dan cukup. c. Rendah kalori, banyak sayur dan buah-buahan, cukup protein. d. Hindari dan atasi stres. e. Hindari bahan yang bersifat racun. f. Seperti merokok dan alkohol yang berlebihan, pestisida, bahan pengawet yang tidak sehat. g. Adanya keseimbangan antara kesibukan dan relaksasi. 2. Kehidupan berkeluarga harus bahagia, termasuk dalam kehidupan seksual, hindari perilaku seksual yang tidak sehat. 3. Lakukanlah pekerjaan sebagai suatu kesenangan. 4. Hiduplah dalam lingkungan sosial yang sesuai dengan hati nurani. 5. Upayakan selalu berpikir positif dan optimis.
9
6. Jangan merasa sehat normal hanya karena tidak merasakan keluhan yang serius. 7. Jangan merasa sudah tua dan tidak berdaya 8. Jangan gunakan obat atau ramuan yang tidak punya dasar ilmiah yang jelas dan tanpa petunjuk tenaga ahli. 9. Lakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala yang diperlukan dan sesuai dengan kondisi masing-masing. 10. Gunakan obat dan suplemen yang diperlukan sesuai petunjuk ahli, untuk mengembalikan fungsi berbagai organ tubuh yang menurun dengan bertambahnya usia. Upaya pertama sampai kedelapan sebenarnya upaya yang dapat dilakukan oleh setiap orang tanpa adanya intervensi pengobatan dari luar. Tetapi pada kenyataannya untuk melaksanakan upaya tersebut tidaklah mudah, bahkan sebagian justru sulit dan nyaris hampir tidak dapat dilakukan. Upaya kesembilan dan kesepuluh merupakan upaya intervensi yang memerlukan perlakuan atau pengobatan yang disarankan atau diberikan oleh tenaga ahli (Pangkahila, 2007). 2.1.6 Tanda Penuaan Proses penuaan ditandai penurunan energi seluler yang menurunkan kemampuan sel untuk memperbaiki diri. Terjadi dua fenomena, yaitu penurunan fisiologik (kehilangan fungsi tubuh dan sistem organnya) dan peningkatan penyakit (Fowler, 2003). Menurut Pangkahila (2007), aging adalah suatu penyakit dengan karakteristik yang terbagi menjadi tiga fase yaitu :
10
1. Fase subklinik (usia 25-35 tahun) Kebanyakan hormon mulai menurun : testosteron, GH, dan estrogen. Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh, seperti diet yang buruk, stres, polusi, paparan berlebihan radiasi ultraviolet dari matahari. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Individu akan tampak dan merasa “normal” tanpa tanda dan gejala dari aging atau penyakit. Bahkan, pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal. Tetapi terkadang pada wanita usia muda sudah mulai tampak tanda gejala dari aging. Misalnya pengguna kontrasepsi hormonal. 2. Fase transisi (usia 35-45 tahun) Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Kehilangan masa otot yang mengakibatkan kehilangan kekuatan dan energi serta komposisi lemak tubuh yang meninggi. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya resiko penyakit jantung, pembuluh darah, dan obesitas. Pada tahap ini mulai muncul gejala klinis, seperti penurunan ketajaman penglihatan, pendengaran, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan seksual dan bangkitan seksual menurun. Tergantung dari gaya hidup, radikal bebas merusak sel dengan cepat sehingga individu mulai merasa dan tampak tua. Radikal bebas mulai mempengaruhi ekspresi gen, yang menjadi penyebab dari banyak penyakit aging, termasuk kanker, arthritis, kehilangan daya ingat, penyakit arteri koronaria dan diabetes.
11
3. Fase Klinik (usia 45 tahun keatas) Orang mengalami penurunan hormon yang berlanjut, termasuk DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin, GH, testosteron, estrogen, dan hormon tiroid. Terdapat juga kehilangan kemampuan penyerapan nutrisi, vitamin, dan mineral sehingga terjadi penurunan densitas tulang, kehilangan massa otot sekitar 1 kg setiap tiga tahun, peningkatan lemak tubuh dan berat badan. Di antara usia 40 tahun dan 70 tahun, seorang pria kemungkinan dapat kehilangan 20 pon ototnya, yang mengakibatkan ketidak mampuan untuk membakar 8001.000 kalori perhari. Penyakit kronis menjadi sangat jelas terlihat, akibat sistem organ yang mengalami kegagalan. Ketidakmampuan menjadi faktor utama untuk menikmati ”tahun emas” dan seringkali adanya ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sederhana dalam kehidupan sehari-harinya. Prevalensi penyakit kronis akan meningkat secara dramatik sebagai akibat peningkatan usia. 2.1.7 Penuaan dan Osteoporosis Para ahli gerontologi lebih sering menggunakan istilah senescence dalam proses penuaan dibandingkan dengan aging, karena aging memiliki makna tentang waktu yang diperlukan untuk terjadinya entropy biologik (deterioration). Penuaan yang merupakan sindrom perubahan yang bersifat mengganggu, progresif, universal dan irreversible termasuk perubahan pada tingkat molekul. Penyakit akibat penuaan yang bertambah dengan meningkatnya umur sering dibedakan dengan penuaan itu sendiri. Namun proses penuaan berbeda dengan penyakit penuaan. Proses penuaan mengakibatkan terjadinya perubahan pada tingkat
12
seluler maupun molekur yang dapat meningkatkan kemungkinan untuk terjadinya penyakit akibat usia lanjut (Nasution, 2015). Inflamm-aging kurang lebih secara parsial dapat menjadi mekanisme dasar untuk menurunnya perkembangan bone loss dan kerusakan penuaan lainnya. (Hirose et al., 2003). Penyakit yang meningkatkan sifat inflamasi seperti atherosclerosis, Alzheimer's disease dan asma (Bruunsgaard and Pedersen, 2003). Banyak sitokin, termasuk IL-6, TNF-α, IL-1, dikeluarkan selama proses penuaan dan berperan langsung dalam patogenesis penyakit tersebut (Bruunsgaard, 2002). Semua sitokin tersebut bertindak sebagai stimulator aktivitas osteoklas. Penemuan ini menyimpulkan sebuah hubungan penyebab yang potensial antara inflamasi sistemik dan prevalensi osteoporosis yang berhubungan dengan penuaan. Lalu, peningkatan sinyal katabolik yang dikendalikan oleh inflamasi tidak diketahui oleh kemampuan diagnosa klinis penyakit inflamasi (Ginaldi et al., 2005), bisa saja untuk menginduksi apoptosis osteoblast (Ruobenoff, 2003), sebagaimana apopotosis pada sel otot, ini menjelaskan hubungan penuaan, osteoporosis dan sarkopenia (Nasution, 2015). Osteoporosis, seperti kerusakan yang berhubungan dengan usia lainnya, mempunyai komponen genetik yang kuat dan tingkat densitas bone loss pada masa proses penuaan. Hal ini menjelaskan kemungkinan dan yang membedakan aktivitas sitokin masing-masing individu. Dukungan hipotesis ini telah ditunjukkan dengan polimorfisme IL-6 yang dapat menekan resiko osteoporosis pada wanita postmenopausal (Chen et al., 2002) Sejalan dengan itu, IL-1β dan reseptor antagonis IL-1 yaitu gen polimorfisme IL-1Ra berhubungan dengan
13
reduksi mineral tulang dan predisposisi wanita untuk osteoporosis pada tulang lumbar (Liu et al., 2005). Disamping itu, juga penurunan hormon seks bergerak bersama kontribusi penuaan untuk patogenesis dari senile osteoporosis selama mekanisme mediasi imunologis. Diperkirakan bahwa efek estrogen pada tulang tidak hanya melakukan aksi sendiri secara langsung, tapi juga menghambat ekspresi gen IL-6. Kejadian ini mempunyai persamaan hubungan antara androgen dengan ekspresi gen IL-6 yang juga terjadi (Pfeilschifter et al., 2002). Penurunan fungsi ovarium berhubungan dengan penurunan produksi OPG dan peningkatan spontan dalam proinflamasi dan sitokin pro-osteoclastic seperti IL-6, TNF-α,dan IL-1 (De Martinis et al., 2005).
2.2 Pelatihan Fisik Berlebih Pelatihan fisik berlebih atau Overtraining dapat didefinisikan sebagai peningkatan volume atau intensitas pelatihan yang menghasilkan penurunan kinerja jangka panjang atau bahkan ditandai oleh penurunan kinerja yang spesifik dari olahraga (Urhausen dan Kindermann, 2002). Para
pakar
mendefinisikan
overtraining
sebagai
suatu
perubahan
karakteristik fisik, fisiologis atau psikologis yang terkait dengan overtraining dan rangsangan yang mendahului atau mengikuti terjadinya sindrom overtraining saat ini (Brooks dan Carter, 2013).
14
Gambar 2.1 Definisi Overtraining (https://overtrainingsyndrome.wordpress.com/) Overtraining merupakan masalah berulang dikarenakan ada risiko yang terus-menerus akibat adanya ketidakseimbangan antara pelatihan kompetisi dan pemulihan (Brooks dan Carter, 2013; Alves et al., 2006). Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa 29% dari para atlet mengalami overtraining sepanjang karir mereka (Matos et al., 2011). Diperkirakan bahwa 60% dari semua atlet lari elite pria dan wanita yang terlibat dengan program pelatihan olahraga intensif mengalami overtraining syndrome (Kreher dan Schwartz, 2012). Peneliti membuktikan bahwa resiko mengalami overtraining lebih besar pada olahraga individual dibandingkan olahraga kelompok (Matos et al., 2011). Tanda-tanda latihan berlebih adalah sebagai berikut (Pinel, 2009) :
Psikis : kelelahan umum, konsentrasi menurun, apati, insomnia, mudah tersinggung, dan depresi.
15
Penampilan (Performance) : penampilan menurun, pemulihan terlambat, dan tidak toleran terhadap pelatihan.
Fisiologis : Peningkatan denyut nadi basal, peningkatan rasa nyeri, nyeri otot yang kronis, penurunan berat badan, mudah infeksi dan menurunnya nafsu makan. Pelatihan fisik berlebih akan mempengaruhi fungsi organ tubuh mulai dari
kardiovaskuler, hormon serta muskuloskeletal sehingga mempengaruhi fungsi untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu pelatihan berlebih menurunkan kadar testosteron dan menurunkan gairah seksual (Pangkahila, 2011a). Pemeriksaan secara mendalam dapat dilakukan pemeriksaan hormon dan radikal bebas (Pangkahila, 2011b). Banyak penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik berlebih dapat mengakibatkan stres oksidatif. Salah satu penelitian pada testis tikus yang direnangkan dengan intensitas tinggi dan durasi lama menunjukkan tingginya kadar MDA dan conjugated dienes (CD) bersamaan dengan menurunnya antioksidan enzimatik seperti glutathione (GSH), superoksid dismutase (SOD), katalase, gluthation-s-tranferase (GST) dan peroksidase (Manna et al., 2006). 2.2.1 Patofisiologi pelatihan fisik berlebih Terdapat beberapa hipotesis yang menjelaskan patofisiologi overtraining yang kemudian menyebabkan overtraining syndrome (OTS). Hipotesis ini antara lain hipotesis glikogen, central fatigue hypothesis, hipotesis glutamine, hipotesis stres oksidatif, hipotesis sistem saraf otonom, hipotesis hipotalamus dan hipotesis sitokin. Hipotesis glikogen menerangkan bahwa penurunan kadar glikogen pada
16
overtraining menyebabkan kelelahan dan penurunan performa atlet (Kreher dan Schwartz, 2012). Central fatigue hypothesis menerangkan bahwa peningkatan uptake triptofan pada otak akan merangsang peningkatan neurotransmitter serotonin (5-HT) dan merubah mood pada atlet yang overtraining (Budgett et al., 2010). Pada hipotesis glutamine, atlet yang mengalami overtraining akan mengalami penurunan kadar glutamine sehingga mengalami disfungsi sistem imun dan meningkatkan peluang penyakit infeksi (Hiscock and Pedersen, 2002). Pada overtraining akan terjadi peningkatan radikal bebas yang merupakan faktor perusak sel otot dan menyebabkan kelelahan, merupakan penjelasan hipotesis stres oksidatif (Tanskanen et al., 2010). Hipotesis sistem saraf otonom menerangkan bahwa overtraining dapat menimbulkan beberapa OTSs didomiasi oleh peran saraf parasimpatis (Halson dan Jeukendrup, 2004). Hipotesis hipotalamus menekankan pada disregulasi kontrol sekresi hormon-hormon pada hipotalamus dan menyebabkan gangguan endokrinologi (Angeli et al., 2004). Hipotesis sitokin menekankan pada peran respon peradangan dan sekresi sitokin proinflamasi pada sebagian besar OTSs (Smith, 2000). 2.2.2 Diagnosis dan biomarker pelatihan fisik berlebih Di bidang kedokteran olahraga, beberapa marker panel pemeriksaan telah dijadikan standar tes skrining yang komprehensif untuk calon atlet meliputi fungsi ginjal, kalium, magnesium, dan glukosa, hitung darah lengkap, laju endap darah, C-reaktif protein, besi, creatine kinase, dan thyroid stimulating hormone (Petibois et al., 2002). Selain itu penanda biokimia telah dipelajari dalam berbagai populasi atlet untuk mendiagnosis overtraining. Tidak ada kadar tertentu atau sensitifitas
17
yang ditetapkan untuk creatine kinase, urea, atau iron (Urhausen dan Kindermann, 2002). Biomarker stres oksidatif juga telah ditemukan berkorelasi dengan status beban latihan (Margonis et al., 2007). Marker hormonal menunjukkan beberapa hasil yang menjanjikan namun memiliki banyak variabel pengganggu seperti siklus menstruasi, status gizi (Meeusen et al., 2006). Kadar kortisol belum pernah diteliti antara atlet normal dan atlet dengan overtraining (Kreher dan Schwartz, 2012). Rasio testosteron terhadap kortisol juga telah dibuktikan dapat digunakan sebagai marker overtraining, dimana rasio ini akan menurun dengan bertambahnya intensitas overtraining (Halson dan Jeukendrup, 2004). Sebuah studi prospektif menemukan peningkatan yang signifikan secara klinis pada rasio kadar kortisol urin semalam : kortisol selama periode beban latihan yang tinggi pada atlet (Gouarne et al., 2005). 2.2.3 Pelatihan Fisik Berlebih dan Stres Oksidatif Aktivitas fisik berlebih dapat meningkatkan konsumsi oksigen sampai 100 200 kali lipat. Peningkatan oksigen yang luar biasa ini dapat memicu pelepasan radikal bebas, yang akan terlibat dalam proses oksidasi lemak membran sel otot. Proses tersebut disebut peroksidasi lipid, dan menyebabkan sel menjadi lebih mudah mengalami proses penuaan (Cooper, 2001). Proses peroksidasi lipid terdiri atas tiga fase yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi (Gambar 2.2). Proses inisiasi adalah proses ketika atom hidrogen dikeluarkan dari molekul lipid. Beberapa senyawa dapat bereaksi dengan atom hidrogen membentuk radikal hidroksil (.OH), alkoxyl (RO), peroksil (ROO)
18
mungkin juga H2O. Membran lipid umumnya adalah fosfolipid tersusun atas asam lemak tak jenuh, mudah terjadi peroksidasi karena dikeluarkannya grup methylen (-CH2) dari
atom hidrogen yang mengandung hanya satu elektron,
sehingga terdapat atom karbon yang tidak berpasangan. Adanya ikatan ganda di dalam asam lemak melemahkan ikatan C-H pada atom karbon yang berdekatan dengan ikatan ganda, sehingga mempermudah terjadinya perpindahan atom hidrogen (Catala, 2006). Reaksi inisiasi radikal hidroksil (.OH) dengan asam lemak tak jenuh menghasilkan radikal lipid yang dapat bereaksi dengan molekul oksigen (O2) membentuk radikal lipid peroksil. Radikal lipid peroksil mengambil hidrogen dari asam lemak yang berdekatan untuk membentuk lipid hydroperoxide (LOOH) serta radikal lipid yang kedua. Radikal alkoxyl maupun peroxyl memicu reaksi berantai peroksidasi lipid dengan mengeluarkan atom hidrogen (Liu et al., 2013).
Gambar 2.2 Proses Peroksidasi Lipid (Liu et al., 2013) Peroksidasi lipid mengganggu fisiologi membran, menyebabkan gangguan pada aliran cairan dan permeabilitas, mengubah transport ion serta menghambat
19
reaksi metabolisme. Peroksidasi lipid merupakan penyebab utama kerusakan sel. Proses peroksidasi asam lemak terutama terjadi pada membran fosfolipid. Peroksidasi lipid mengubah psikokemikal lapisan membran lipid menyebabkan disfungsi sel yang signifikan. Berbagai produk dihasilkan akibat peroksidasi lipid seperti
MDA,
4-hydroxy-2-noneal
(HNE),
4-hydroxy-2-hexenal
(4-HHE)
(Halliwell dan Gutteridg, 2007; Wahjuni, 2012). Peroksidasi lipid merupakan suatu proses yang rumit dan terjadi secara bertingkat. Peroksidasi lipid menyebabkan hilangnya asam lemak tidak jenuh sehingga secara sederhana prinsip pengukuran peroksidasi lipid adalah memeriksa hilangnya lemak. Hasil akhir peroksidasi lipid (terutama cytotoxic aldehydes) seperti MDA dan 4-hydroxynonenal dapat menyebabkan kerusakan pada protein dan DNA (Halliwell dan Gutteridg, 2007; Wahjuni, 2012). Selain itu, pada aktivitas fisik berlebih terjadi peningkatan metabolisme tubuh, peningkatan inflamasi dan penggunaan oksigen terutama oleh otot-otot yang berkontraksi, sehingga terjadi peningkatan kebocoran elektron bebas oleh mitokondria, yang akan menjadi ROS. Umumnya 2-5 % dari oksigen yang dipakai dalam proses metabolisme akan menjadi ion superoksid, sehingga saat aktivitas fisik berat terjadi peningkatan produksi radikal bebas (Sauza et al, 2005). Aktivitas fisik berlebih dapat meningkatkan stres oksidatif karena terjadi peningkatan konsumsi O2 oleh aktivitas otot skeletal. Meskipun O2 sangat dibutuhkan ternyata juga bersifat toksik yang dapat memicu peningkatan ROS. Pada organ yang tidak mendapat O2 dan nutrisi yang cukup akan menimbulkan keadaan iskemik dan kerusakan mikrovaskular. Keadaan ini menyebabkan
20
Reperfusion Injury, yang memicu terjadinya kerusakan jaringan dan peningkatan Radikal Bebas (Miyata et al., 2011).
Gambar 2.3 Iskemia dan Reperfusion Injury (Levy, 2014) Aktivitas fisik berlebih merangsang terjadinya leukositosis, peningkatan isoprostan dalam urine, protein carbonil (73%), catalase (96%), glutation peroxidase serta glutathione teroksidasi (25%). Dapat disimpulkan aktivitas fisik berlebih merangsang respon terhadap biomaker stres oksidatif (Margonis et al., 2007). Pelatihan fisik yang berlebih diakibatkan oleh 1) tipe pelatihan yang tidak sesuai dengan kondisi tubuh; 2) intensitas pelatihan yang terlalu tinggi (lebih dari 87% dari denyut nadi maksimal); 3) durasi pelatihan yang terlalu panjang (lebih dari 60 menit pada setiap latihan); 4) frekuensi pelatihan yang terlalu sering (lebih dari 4 kali perminggu) (Hatfield, 2001). Pelatihan fisik yang berlebih juga menyebabkan terjadinya penumpukan asam laktat dalam otot sehingga dapat menyebabkan stres fisik. Untuk itu
21
diperlukan masa pemulihan yaitu waktu yang dibutuhkan tubuh untuk kembali kekeadaan semula dari keadaan aktivitas pelatihan (Hatfield, 2001). Pada latihan fisik berat berupa lari 8 km terjadi ketidakseimbangan antara prooksidan dan oksidan intraseluler yang dapat menimbulkan kerusakan hepatosit sehingga tejadi peningkatan plasma aspartat transaminase (AST/SGOT) empat kali lipat (Droge, 2002). Latihan fisik berat akut meningkatkan kadar malondialdehyde (MDA) yang sangat bermakna pada hati, darah, dan otot yang merupakan pertanda oxidative stres (Karanth dan Jeevaratnam, 2005). 2.2.4 Pelatihan Fisik Berlebih dan Osteoporosis Pelatihan fisik merangsang respon terhadap biomaker stres oksidatif (Margonis et al., 2007). Stres oksidatif adalah keadaan dimana jumlah radikal bebas di dalam tubuh melebihi kapasitas tubuh untuk menetralkannya. Beberapa penelitian melaporkan adanya efek stres oksidatif terhadap diferensiasi dan fungsi osteoklas serta pengaruhnya terhadap peningkatan kehilangan massa tulang (Bai et al., 2004). Stres oksidatif dapat menghambat pertumbuhan tulang dengan cara menghambat diferensiasi osteoblas melalui extracellular signal-regulated kinase (ERK) dan ERK-dependent nuclear factor-kB signaling pathway (Bai et al., 2004; Shen et al., 2010) (Gambar 2.4).
22
Gambar 2.4 Stres Oksidatif Mengaktifkan Jalur NF-kB (Almeida, 2010) Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan molekul yang sangat reaktif, mengandung molekul oksigen dan radikal bebas, termasuk hidroksil (OH) dan radikal superoksida (O2), hidrogen peroksida (H2O2), oksigen singlet, dan peroksida lemak. ROS dapat mengakibatkan stres oksidatif karena sifat radikal bebasnya menyebabkan kerusakan beberapa biomolekul, seperti DNA, protein, dan lipid (Bai et al.,2004). ROS yang dihasilkan oleh mitokondria khususnya radikal hidroksil (OH∙), selanjutnya produksi ROS akan mengaktivasi jalur regulasi proses inflamasi melalui mekanisme aktivasi ERK dan ERK selanjutnya akan mengaktivasi produksi Nuclear Factor kB (NF-kB) dan NF-kB akan merangsang produksi sitokin proinflamasi, seperti TNF-α dan IL-6. TNF-α dan IL-6 akan meningkatkan
23
osteoklastogenesis, menghambat apoptosis osteoklas dan menghambat aktivasi osteoblas (Vali et al., 2007). A G I N G
Gambar 2.5 Peran ROS dalam Osteoporosis (Almeida, 2010 modified) Penuaan tulang dikaitkan dengan meningkatnya stres oksidatif, oksidasi lipid, dan kepekaan terhadap glukokortikoid (Gambar 2.5). Peningkatan ROS menginduksi apoptosis osteoblas dan osteosit melalui aktivasi p66Shc dan juga merangsang aktivitas transkripsi FoxO. Aktivasi FoxO dapat menurunkan kadar β-catenin yang merupakan faktor transkripsi T-Cell Factor (TCF) dan berperan pada
proses
osteoblastogenesis,
sehingga
aktivasi
FoxO
menghambat
osteoblastogenesis. Oksidasi lipid melalui 4-HNE berkontribusi terhadap pembentukan ROS. Ekspresi lipoxygenase Alox15 kemudian meningkat sebagai respon peningkatan kadar ROS dan meningkatkan laju oksidasi lipid. Lipid
24
teroksidasi yang dihasilkan kemudian mengaktifkan PPARγ, yang juga menurunkan kadar β-catenin. Aktivasi PPAR juga menyebabkan peningkatan adipositas
sumsum
osteoblas/osteosit
tulang.
seiring
Peningkatan
bertambahnya
usia
sensitivitas
glukokortikoid
menyebabkan
penurunan
angiogenesis tulang, volume pembuluh darah, serta menurunkan kekuatan tulang. Glukokortikoid juga meningkatkan kadar ROS dalam tulang (Almedia, 2010).
2.3 Tulang 2.3.1 Struktur tulang Struktur tulang terdiri dari atas sel, serat dan substansi dasar, namun komponen ekstraselnya mengapur menjadi substansi keras yang cocok untuk fungsi menyokong dan pelindung kerangka. Secara makroskopik, tulang dibedakan menjadi dua bentuk tulang yaitu tulang kompak (substansia kompakta) dan tulang spons (substansia spongiosa). Tulang kompak tampak sebagai massa utuh padat dengan ruang-ruang kecil yang hanya tampak dengan menggunakan mikroskop. Kedua bentuk tulang saling berhubungan tanpa batas jelas (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014). Substansi interstisial tulang terdiri atas dua komponen utama yaitu matriks organik sebanyak 35% dan garam-garam anorganik sejumlah 65%. Matriks organik terdiri atas 90 % serat-serat kolagen yang terbenam dalam substansi dasar kaya proteoglikan, terutama kolagen tipe I. Bahan anorganik tulang terdiri atas endapan sejenis kalsium fosfat submikroskopik. Pada tulang yang aktif bertumbuh, terdapat empat jenis sel yaitu sel osteoprogenitor, osteoblas, osteosit
25
dan osteoklas. Sel osteoprogenitor paling aktif selama pertumbuhan tulang dan akan diaktifkan kembali semasa kehidupan dewasa saat pemulihan fraktur tulang dan bentuk cedera lainnya. Osteoblas adalah sel pembentuk tulang yang berkembang dan dewasa. Sel utama tulang dewasa adalah osteosit, yang terdapat dalam lacuna di dalam matriks yang mengapur. Osteoklas adalah sel yang memiliki peran dalam resorpsi tulang dalam proses remodeling tulang. Osteoklas menempati lekukan yang disebut lakuna Howship yang terjadi akibat kerja erosif osteoklas pada tulang dibawahnya (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014). Sel osteoblas dan osteoklas berperan dalam pengaturan metabolisme tulang
dan
keduanya
terlibat
dalam
perkembangan
osteoporosis.
Ketidakseimbangan antara pembentukan tulang dan resorpsi tulang adalah kunci dari patofisiologi dari penyakit tulang pada orang dewasa termasuk osteoporosis (Shen et al., 2010). 2.3.2 Proses pembentukan tulang Kerangka manusia dewasa memiliki total 213 tulang yang memiliki berbagai fungsi, selain memberikan dukungan struktural untuk tubuh dan tempat melekatnya
otot-otot,
melindungi
struktur
organ
vital
dan
membantu
pemeliharaan homeostasis mineral dan keseimbangan asam-basa, berfungsi sebagai reservoir faktor pertumbuhan dan sitokin serta menyediakan lingkungan untuk hematopoesis dalam sumsum tulang. Setiap tulang selalu mengalami remodeling selama hidup untuk membantu beradaptasi dengan perubahan kekuatan biomekanik, serta perombakan tulang yang tua dan mengalami kerusakan mikro dan menggantinya dengan yang baru (Stranding, 2004).
26
Tulang memiliki beberapa fungsi penting sebagai tempat penyimpanan kalsium dan fosfor. Fungsi tersebut sangat penting untuk regulasi kalsium dan fosfor dalam darah yang dipengaruhi oleh asupan mineral dalam usus dan sekresi mineral dalam urin. Mekanisme homeostasis tulang diatur oleh hormon paratiroid (PTH), Calcitonin (CT) dan vitamin D (Lerner, 2006).
Gambar 2.6 Skema Remodeling Tulang (Subagyo, 2013) Remodeling tulang adalah proses dimana tulang diperbarui untuk menjaga kekuatan tulang dan homeostasis mineral. Perombakan melibatkan penghapusan terus menerus tulang yang sudah tua, penggantian ini memiliki sintesis matriks protein yang baru, dan mineralisasi matriks selanjutnya untuk membentuk tulang baru. Proses remodeling tulang meresorbsi tulang yang lama dan membentuk tulang baru untuk mencegah akumulasi tulang dengan kerusakan mikro. Perombakan dimulai sebelum kelahiran dan berlanjut sampai kematian. Unit
27
remodeling tulang terdiri dari osteoklas dan osteoblas yang secara berurutan melaksanakan resorpsi tulang tua dan pembentukan tulang baru. Siklus remodeling terdiri dari empat fase berurutan yaitu aktivasi, resorpsi, pembalikan dan pembentukan (Gambar 2.4). Tempat perombakan dapat berkembang secara acak tetapi juga ditargetkan ke daerah-daerah yang memerlukan perbaikan tulang (Clarke, 2008). Jaringan tulang tidaklah statik, tulang yang sehat memerlukan proses remodeling dan modeling secara kontinyu untuk mempertahankan fungsi penunjang dan sebagai regulator homeostasis mineral (Lerner, 2006). 2.3.3 Osteoblas Osteoblas adalah sel pembentuk tulang dari tulang yang berkembang dan dewasa. Selama deposisi aktif dari matriks baru, mereka tersusun sebagai lapis epiteloid sel-sel kuboid atau kolumnar pada permukaan tulang. Inti osteoblas biasanya terletak pada ujung sel paling jauh dari permukaan tulang. Sitoplasmanya sangat basofilik dan sebuah kompleks Golgi tampak mencolok sebagai daerah lebih pucat antara inti dan dasar sel (Gambar 2.7). Pada mikrograph elektrik, osteoblas memiliki struktur yang diharapkan dari sel yang aktif menghasilkan protein. Retikulum endoplasmanya yang luas ditaburi ribosom dan banyak ribosom bebas terdapat dalam sitoplasma. Meskipun osteoblas terpolarisasi terhadap tulang dibawahnya, pembebasan produknya agaknya tidak terbatas pada kutub basal karena ada sel diantaranya yang berangsur-angsur diselubungi oleh sekretnya sendiri dan ditransformasi menjadi osteosit, terkurung dalam matriks tulang yang baru dibentuk. Selain mensekresi berbagai unsur
28
matriks seperti kolagen tipe I, proteoglikan, osteokalsin, osteonektin, dan osteopoetin, osteoblas juga menghasilkan faktor penumbuh yang memiliki efek autokrin dan parakrin penting pada pertumbuhan tulang. Mereka juga memiliki reseptor permukaan terhadap berbagai hormon, vitamin, dan sitokin yang mempengaruhi aktivitasnya (Kuehnel, 2003; Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).
Gambar 2.7 Gambaran Histologis Osteoblas, Osteoklas dan Osteosit (http://www.siumed.edu/~dking2/ssb/remodel.htm) 2.3.4 Osteoklas Seumur hidup tulang tetap mengalami remodeling intern dan pembaruan yang mencakup menghilangkan matriks tulang pada banyak tempat, diikuti penggantiannya berupa deposisi tulang baru. Dalam proses ini, agen resorpsi tulang adalah osteoklas, sel-sel besar sampai berdiameter 150 μm dan mengandung sampai 50 inti sel. Sel-sel ini menempati lekukan yang disebut
29
lakuna Howship, terjadi akibat kerja erosif osteoklas pada tulang dibawahnya (Gambar 2.5) (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014). Osteoklas adalah sel multinukleus yang berperan dalam proses resorpsi tulang (Shen et al., 2010). Osteoklas merupakan satu-satunya sel yang dikenal mampu meresorbsi tulang. Osteoklas yang teraktivasi berasal dari sel-sel prekursor mononuklear dari monosit–makrofag. Sel prekursor monosit-makrofag mononuklear telah diidentifikasi dalam berbagai jaringan, tetapi sel prekursor monosit-makrofag mononuklear pada sumsum tulang diperkirakan memiliki osteoklas paling banyak (Clarke, 2008). Osteoklas menunjukkan polaritas nyata, dengan intinya mengumpul dekat permukaan bebasnya yang licin, sedangkan permukaan dekat tulang menunjukkan garis-garis radial yang dulu ditafsirkan sebagai brush border. Tetapi mikrograf elektron menunjukkan bahwa mereka tidak begitu teratur dan terdiri atas lipatanlipatan dalam dari membran yang membatasi sejumlah besar cabang mirip daun, dipisahkan oleh celah-celah sempit. Berbeda dengan brush border, yang merupakan kekhususan permukaan stabil, pada osteoklas sangat aktif dan terus mengubah konfigurasinya. Studi sinematografik merekam penjuluran dan penarikan kembali cabang-cabang bordernya dan perubahan bentuknya. Istilah deskriptif ruffled border kini banyak dipakai untuk membedakan kekhususan pada dasar osteoklas ini dari brush border pada permukaan lumen epitel absorptif (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014). Receptor activator of NF-kB ligand (RANKL) dan Macrofag Colony Stimulating Factor (M-CSF) merupakan dua sitokin yang berperan dalam
30
pembentukan osteoklas. Kedua sitokin tersebut diproduksi oleh sel stromal pada sumsum tulang dan dalam membran osteoblas, serta osteoklastogenesis memerlukan keberadaan sel stromal dan osteoblas pada sumsum tulang. RANKL merupakan bagian dari keluarga TNF dan merupakan faktor penting dalam pembentukan osteoklas. M-CSF diperlukan untuk proliferasi, pertahanan dan diferensiasi dari prekursor osteoklas, untuk pertahanan osteoklas dan keperluan penataan sitoskeletal pada saat resorbsi tulang. Osteoprotegrin (OPG) merupakan protein yang mampu mengikat RANKL dengan afinitas yang tinggi untuk menghambat aksi dari reseptor RANK (Clarke, 2008). 2.3.5 Densitas tulang Densitas tulang dipengaruhi oleh koordinasi aktivitas osteoblas dan osteoklas. Proses remodeling tulang ini tidak hanya untuk mempertahankan massa tulang, tetapi berfungsi juga untuk memperbaiki kerusakan mikro pada tulang, untuk mencegah terlalu banyak tulang yang tua dan untuk fungsi homeostasis mineral. Aktivitas osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh berbagai macam hormon dan sitokin. Yang terpenting adalah hormon seks untuk menjaga massa tulang tetap seimbang dan jika kekurangan salah satu hormon seks baik estrogen maupun testosteron dapat menurunkan massa tulang dan meningkatkan resiko osteoporosis (Lerner, 2006). Sifat mekanikal tulang sangat tergantung pada sifat material tulang tersebut. Pada tulang kortikal kekuatan tulangnya sangat tergantung pada kepadatan dan porositasnya. Semakin bertambahnya umur, tulang semakin keras karena mineralisasi sekunder semakin baik, tetapi juga tulang semakin getas, tidak
31
mudah menerima beban (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014). Pada tulang trabekular, kekuatan tulang juga tergantung pada kepadatan tulang dan porositasnya. Penurunan densitas tulang trabekular sekitar 25%, sesuai dengan peningkatan umur 15-20 tahun dan penurunan kekuatan tulang sekitar 44%. Sifat mekanikal tulang trabekular ditentukan oleh mikroarsitekturnya, yaitu susunan trabekulasi pada tulang tersebut, termasuk jumlah, ketebalan, jarak dan interkoherensi antara satu trabekulasi dengan trabekula lainnya. Dengan bertambahnya umur, jumlah dan ketebalan trabekula akan menurun, jarak antar trabekula dengan trabekula lainnya bertambah jauh dan interkoneksi juga makin buruk karena banyaknya trabekula yang putus (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).
2.4 Osteoporosis Menurut National Osteoporosis Foundation (2014), osteoporosis adalah penyakit tulang dengan karakteristik massa tulang yang rendah, terjadi kerusakan mikro-arsitektur jaringan tulang yang mempengaruhi kekuatan tulang dan meningkatkan risiko keropos tulang. Osteoporosis adalah suatu keadaan yang menyebabkan tulang kehilangan massa tulang, mengubah mikroarsitektur jaringan tulang sampai melewati ambang batas sehingga tulang menjadi rapuh dan akibatnya tulang akan mudah patah. Osteoporosis ditandai dengan adanya massa tulang yang rendah yang memicu kerapuhan tulang dan meningkatkan kejadian fraktur tulang (Shen et al., 2010).
32
Definisi osteoporosis yang sering digunakan adalah definisi dari WHO dimana osteoporosis adalah suatu penyakit yang memiliki sifat berkurangnya massa tulang dan kelainan mikroarsitektur jaringan tulang, dengan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dan risiko terjadinya fraktur tulang. Karakteristik osteoporosis ditandai dengan adanya penurunan kekuatan tulang. Kekuatan tulang ini adalah hasil integrasi antara mineralisasi, arsitektur tulang, bone turn over dan akumulasi kerusakan tulang. Osteoporosis identik dengan kehilangan massa tulang, yaitu kelainan tulang yang merujuk pada kelainan kekuatan tulang. Apabila kekuatan tulang ini menurun maka merupakan faktor predisposisi terjadinya fraktur (National Osteoporosis Foundation, 2014). Massa tulang pada manusia dipengaruhi oleh faktor genetik dengan kontribusi dari nutrisi, keadaan endokrin, aktivitas fisik dan kondisi kesehatan saat masa pertumbuhan. Proses pembentukan tulang yang memelihara kesehatan tulang dapat dikategorikan sebagai program pencegahan, secara kontinyu mengganti tulang yang lama dan menggantikannya dengan tulang yang baru. Kehilangan massa tulang terjadi saat keseimbangan proses pembentukan tulang terganggu sehingga resorpsi tulang lebih banyak dari pembentukan tulang baru. Ketidakseimbangan ini biasanya terjadi pada orang lanjut usia dan pada wanita yang mengalami menopause. Kehilangan massa tulang dapat mengubah mikroarsitek jaringan tulang dan meningkatkan resiko fraktur tulang (National Osteoporosis Foundation, 2014).
33
2.4.1 Penyebab Osteoporosis Usia, jenis kelamin dan ras merupakan faktor penentu utama dari massa tulang dan resiko patah tulang. Osteoporosis dapat terjadi pada semua usia, namun hal ini lebih banyak terjadi pada orang lanjut usia. Selama masa anak-anak dan dewasa muda, pembentukan tulang jauh lebih cepat dibandingkan dengan kerusakan tulang. Titik puncak massa tulang (peak bone mass) tercapai pada sekitar usia 30 tahun, dan setelah itu mekanisme resorpsi tulang menjadi jauh lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan tulang. Penurunan massa tulang yang cepat akan menyebabkan kerusakan pada mikroarsitektur tulang khususnya pada tulang trabekular (National Osteoporosis Foundation, 2014). Secara garis besar patofisiologi osteoporosis berawal dari adanya massa puncak tulang yang rendah disertai adanya penurunan massa tulang. Massa puncak tulang yang rendah ini diduga berkaitan dengan faktor genetik, sedangkan faktor yang menyebabkan penurunan massa tulang adalah proses menua, menopause, faktor lain yaitu obat obatan, aktivitas fisik yang kurang serta gaya hidup tidak sehat. Akibat massa puncak tulang yang rendah disertai adanya penurunan massa tulang menyebabkan densitas tulang menurun yang merupakan faktor resiko terjadinya fraktur (National Osteoporosis Foundation, 2014). 2.4.2 Jenis-jenis osteoporosis Osteoporosis dibagi dalam 2 bentuk, yaitu primer dan sekunder. Osteoporosis primer apabila penyebabnya berhubungan dengan usia (senile osteoporosis) atau penyebabnya tidak diketahui sama sekali (idiophatic
34
osteoporosis). Osteoporosis sekunder dikaitkan dengan kebiasaan gaya hidup, obat-obatan atau penyakit tertentu (Permana, 2009). Osteoporosis postmenopausal, terjadi karena kekurangan hormon estrogen, yang membantu mengatur transportasi kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Namun tidak semua wanita memiliki resiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam. Osteoporosis senilis, kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan resorpsi tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis dan postmenopausal (Mulyaningsih, 2008). Osteoporosis sekunder, dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, antikejang dan hormon tiroid yang berlebihan). Konsumsi alkohol yang berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan ini (Mulyaningsih, 2008).
35
2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Osteoporosis 1) Usia Semua bagian tubuh berubah seiring dengan bertambahnya usia, begitu juga dengan rangka tubuh. Mulai dari lahir sampai kira-kira usia 30 tahun, jaringan tulang yang dibuat lebih banyak daripada yang hilang. Tetapi setelah usia 30 tahun situasi berbalik, yaitu jaringan tulang yang hilang lebih banyak daripada yang dibuat (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013) Tulang mempunyai 3 permukaan, atau bisa disebut juga dengan envelope, dan setiap permukaan memiliki bentuk anatomi yang berbeda. Permukaan tulang yang menghadap lubang sumsum tulang disebut dengan endosteal envelope, permukaan luarnya disebut periosteal envelope, dan diantara keduanya terdapat intracortical envelope. Ketika masa kanak-kanak, tulang baru terbentuk pada periosteal envelope. Anak- anak tumbuh karena jumlah yang terbentuk dalam periosteum melebihi apa yang dipisahkan pada permukaan endosteal dari tulang kortikal. Pada anak remaja, pertumbuhan menjadi semakin cepat karena meningkatnya produksi hormon seks. Seiring dengan meningkatnya usia, pertumbuhan tulang akan semakin berkurang (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013). Proporsi osteoporosis lebih rendah pada kelompok lansia dini (usia 55-65 tahun) daripada lansia lanjut (usia 65-85 tahun). Peningkatan usia memiliki hubungan dengan kejadian osteoporosis. Jadi terdapat hubungan antara osteoporosis dengan peningkatan usia. Begitu juga dengan fraktur osteoporotik akan meningkat dengan bertambahnya usia. Insiden fraktur pergelangan tangan
36
meningkat secara bermakna setelah umur 50, fraktur vertebra meningkat setelah umur 60, dan fraktur panggul sekitar umur 70 (Fatmah, 2008). 2) Jenis Kelamin Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya osteoporosis. Wanita secara signifikan memilki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis. Pada osteoporosis primer, perbandingan antara wanita dan pria adalah 5 : 1. Pria memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis sekunder, yaitu sekitar 40-60%, karena akibat dari hipogonadisme, konsumsi alkohol, atau pemakaian kortikosteroid yang berlebihan (Migliaccio et al., 2009). Secara keseluruhan perbandingan wanita dan pria adalah 4 : 1 (Jakobsen et al., 2013) 3) Ras Pada umumnya ras Afrika-Amerika memiliki massa tulang tertinggi, sedangkan ras kulit putih terutama Eropa Utara, memiliki massa tulang terendah. Massa tulang pada ras campuran Asia-Amerika berada di antara keduanya. Penelitian menunjukkan bahwa, bahkan pada usia muda terdapat perbedaan antara anak Afrika-Amerika dan anak kulit putih. Wanita Afrika-Amerika umumnya memiliki massa otot yang lebih tinggi. Massa tulang dan massa otot memiliki kaitan yang sangat erat, dimana semakin berat otot, tekanan pada tulang semakin tinggi sehingga tulang semakin besar. Penurunan massa tulang pada wanita Afrika-Amerika yang semua cenderung lebih lambat daripada wanita berkulit putih. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan hormon di antara kedua ras tersebut (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013).
37
Beberapa penelitian lain juga menunjukkan bahwa wanita yang berasal dari negara-negara Eropa Utara, Jepang, dan Cina lebih mudah terkena osteoporosis daripada yang berasal dari Afrika, Spanyol, atau Mediterania (BurkeDoe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013). 4) Riwayat Keluarga Faktor genetika juga memiliki kontribusi terhadap massa tulang. Penelitian terhadap pasangan kembar menunjukkan bahwa puncak massa tulang di bagian pinggul dan tulang punggung sangat bergantung pada genetika. Anak perempuan dari wanita yang mengalami patah tulang osteoporosis rata-rata memiliki massa tulang yang lebih rendah daripada anak seusia mereka (kira-kira 3-7 % lebih rendah). Riwayat adanya osteoporosis dalam keluarga sangat bermanfaat dalam menentukan risiko seseorang mengalami patah tulang (Burke-Doe et al., 2008; Migliaccio et al., 2009; Jakobsen et al., 2013) 5) Aktivitas Fisik Latihan beban akan memberikan penekanan pada rangka tulang dan menyebabkan tulang berkontraksi sehingga merangsang pembentukan tulang. Kurang aktivitas karena istirahat di tempat tidur yang berkepanjangan dapat mengurangi massa tulang. Hidup dengan aktivitas fisik yang cukup dapat menghasilkan massa tulang yang lebih besar. Itulah sebabnya seorang atlet memiliki massa tulang yang lebih besar dibandingkan yang non-atlet. Proporsi osteoporosis seseorang yang memiliki tingkat aktivitas fisik dan beban pekerjaan harian tinggi saat berusia 25 sampai 55 tahun cenderung sedikit lebih rendah
38
daripada yang memiliki aktivitas fisik tingkat sedang dan rendah (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013). 6) Penggunan kortikosteroid Kortikosteroid banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit, terutama penyakit autoimun, namun kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik. Kortikosteroid dapat menginduksi terjadinya osteoporosis bila dikonsumsi lebih dari 7,5 mg per hari selama lebih dari 3 bulan (Jehle, 2003). Kortikosteroid akan menyebabkan gangguan absorbsi kalsium di usus, dan peningkatan ekskresi kalsium pada ginjal, sehingga akan terjadi hipokalsemia (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013). Selain berdampak pada absorbsi kalsium dan ekskresi kalsium, kortikosteroid juga akan menyebabkan penekanan terhadap hormon gonadotropin, sehingga produksi estrogen akan menurun dan akhirnya akan terjadi peningkatan kerja osteoklas. Kortikosteroid juga akan menghambat kerja osteoblas, sehingga penurunan formasi tulang akan terjadi. Dengan terjadinya peningkatan kerja osteoklas dan penurunan kerja dari osteoblas, maka akan terjadi osteoporosis yang progresif (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013). 7) Merokok Tembakau dapat meracuni tulang dan juga menurunkan kadar estrogen, sehingga kadar estrogen pada orang yang merokok akan cenderung lebih rendah daripada yang tidak merokok. Wanita pasca menopause yang merokok dan mendapatkan tambahan estrogen masih akan kehilangan massa tulang. Berat
39
badan perokok juga lebih ringan dan dapat mengalami menopause dini ( kira-kira 5 tahun lebih awal ), daripada non-perokok. Dapat diartikan bahwa wanita yang merokok memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis dibandingkan wanita yang tidak merokok (Burke-Doe et al., 2008; Jakobsen et al., 2013). 8) Riwayat Fraktur Beberapa penelitian sebelumnya telah menyebutkan bahwa, riwayat fraktur merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis (Tebé et al., 2011). 2.4.4 Peran Radikal Bebas terhadap Penuaan dan Osteoporosis Saat usia muda terdapat keseimbangan antara radikal bebas dan pertahanan antioksidan, seiring dengan pertambahan usia keseimbangan terganggu, oleh karena berkurangnya cadangan antioksidan dan produksi berlebih dari radikal bebas (Saxena dan Lal, 2006). Senyawa oksigen reaktif diproduksi terus menerus di dalam organisme aerobik sebagai hasil dari metabolisme energi normal. Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga hal diatas yang paling rentan adalah asam lemak tak jenuh. Senyawa radikal bebas dalam tubuh dapat merusak asam lemak tak jenuh ganda pada membran sel, yang mengakibatnya sel menjadi rapuh (Pasupathi, 2009). Ketidakseimbangan antara jumlah antioksidan dan senyawa radikal bebas akan mengakibatkan kerusakan stres oksidatif (Arief, 2010). Pada keadaan inilah perusakan tubuh terjadi oleh radikal bebas. Senyawa radikal mengoksidasi dan menyerang komponen lipid membran, senyawa ini merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas sel seperti asam lemak tak jenuh
40
yang menyusun membran sel (fosfolipid), DNA (perangkat genetik) dan protein (enzim, reseptor, antibodi) (Fouad, 2007). Radikal bebas yang bereaksi dengan komponen biologis dalam tubuh akan menghasilkan senyawa teroksidasi. Banyaknya senyawa teroksidasi dapat digunakan sebagai indeks karakteristik stress oksidatif. Belleville-Nabet melaporkan molekul DNA yang teroksidasi akan menyebabkan penuaan (aging) dan kanker. Jika yang teroksidasi protein baik berupa enzim yang terinaktivasi atau protein yang terpolarisasi, akan terjadi inflamasi (Winarsi, 2007). Inflamm-aging kurang lebih secara parsial dapat menjadi mekanisme dasar untuk menurunnya perkembangan bone loss dan kerusakan penuaan lainnya. (Hirose et al., 2003). Semua sitokin yang diturunkan selama proses penuaan bertindak sebagai stimulator aktivitas osteoklas. Peningkatan sinyal katabolik yang dikendalikan oleh inflamasi tidak diketahui oleh kemampuan diagnosa klinis penyakit inflamasi (Ginaldi et al., 2005), bisa saja untuk menginduksi osteoblast apoptosis (Ruobenoff, 2003), sebagaimana apopotosis pada sel otot, ini menjelaskan hubungan penuaan, osteoporosis dan sarkopenia (Nasution, 2015).
2.5 Anggur (Vitis vinifera) 2.5.1. Karakteristik Tanaman Anggur Pohon anggur merupakan semak yang tumbuh memanjat dan memiliki keistimewaan ranting-rantingnya yang mampu mengeluarkan buah yang lebat dan lezat (Wongsodipuro, 2010). Karena keistimewaan ini, anggur dibudidayakan sebagai tanaman penghasil buah (Nurcahyo, 2010). Di Indonesia terdapat dua
41
jenis spesies anggur yang umum dibudidayakan dan bisa dikonsumsi, yakni Vitis vinifera dan Vitis labrusca. Kedua jenis anggur ini memiliki karakter yang berbeda dengan kebutuhan tempat hidup yang berbeda pula (Wiryanta, 2008) Buah anggur berbentuk bulat. Buah yang matang kulitnya berwarna ungu kehitaman dan mengandung tepung atau lilin yang tebal. Daging buahnya berwarna putih dengan rasa manis. Setiap buah berisi 2-3 biji yang ukurannya cukup besar, berbentuk lonjong, dan berwarna coklat muda. Setiap 100 buah mempunyai bobot 535 g. Umur panennya antara 105-110 hari setelah pangkas. Karakteristik tanaman anggur lainnya antara lain batang yang berbentuk tegak, silindris, berkayu dan coklat kehijauan. Daunnya tunggal, lonjong, berseling, tepi bergigi, berambut, panjang 10-16 cm, lebar 5-8 cm, bertangkai panjang dengan panjang 10 cm dan berwarna hijau (Nurcahyo, 2010). Klasifikasi ilmiah dari anggur adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2013) : Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Vitales
Famili
: Vitaceae
Genus
: Vitis
Species
: V. vinifera
Nama Binomial
: Vitis vinifera
42
2.5.2. Kandungan Kimia Buah Anggur Buah anggur memiliki banyak sekali kandungan nutrisi seperti vitamin, mineral, karbohidrat, protein serta phytochemical. Senyawa Phytochemical pada buah anggur yang memiliki nilai manfaat paling tinggi adalah polifenol karena aktivitas biologisnya. Pada dasarnya, polifenol dalam anggur dapat dibagi menjadi 2 kelas, yakni flavonoid dan non flavonoid. Non flavonoid terdiri dari asam fenol dan resveratrol (Ivanova et al., 2010). 2.5.2.1 Flavonoid Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol dengan aktivitas antioksidan yang tinggi. Flavonoid sebagai antioksidan dapat menghambat reaksi peroksidasi lipid dan merupakan senyawa pereduksi yang baik. Flavonoid bertindak sebagai penangkal yang baik untuk radikal hidroksil dan superoksida sehingga membran lipid terlindungi (Tapas et al., 2008). Flavonoid umumnya memiliki struktur yang terdiri dari dua cincin aromatik (A dan B) yang terikat dengan tiga karbon dan biasanya dalam bentuk heterosiklik teroksigenasi. Variasi struktur flavonoid ini terjadi karena hidroksilasi, metilasi, isoprenilasi, dimerisasi dan glikosilasi (Tapas et al., 2008). Flavonoid pada anggur terbagi menjadi beberapa subkelas, yaitu flavonol (quercetin, kaempferol, myricetin), flavanol (proanthocyanidin, flavan-3ols,catechin, epicatechin, epigallocatechin, epicatechin 3-O-gallate,)flavon (rutin), anthocyanidin (cyanidin, malvidin), flavanon (hesperitin), dan isoflavon (Shi et al., 2003; Ivanova et al., 2010).
43
Gambar 2.8 Struktur Kimia Flavonoid (Navarrete et al., 2011) Flavonoid merupakan suatu antoksidan golongan phenol yang banyak ditemukan di sayuran, buah-buahan, kulit pohon, akar, bunga, teh dan wine. Ada empat golongan utama flavonoid yaitu Flavon, Flavanones, Catechins, Anthocyanin. Flavonoid dapat membantu memberikan perlindungan terhadap beberapa penyakit bersama dengan vitamin, antioksidan dan enzim, untuk pertahanan antioksidan total dalam tubuh (Nijveldt et al., 2001). Sebuah penelitian oleh Dr Van Acker di Belanda menunjukan bahwa flavonoid dapat menggantikan vitamin E sebagai pemecah rantai anti-oksidan didalam membran hati. Konstribusi flavonoid untuk sistem pertahanan antioksidan sangat besar mengingat total asupan harian flavonoid dapat berkisar 50-800 mg, konsumsi ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata asupan harian diet antioksidan lain seperti vitamin C (70 mg), vitamin E (7-10 mg) atau karotenoid (2-3 mg). Asupan Flavonoid tergantung pada asupan buah–buahan, sayuran dan minuman tertentu seperti red wine, teh, bir. Efek penting flavonoid
44
adalah sebagai pemusnah oksigen yang membawa radikal bebas. Salah satu kelompok flavonoid adalah antosianin. Antosianin banyak ditemukan di buah beri, anggur, dan buah lainnya yang berwarna merah keunguan (Nijveldt et al., 2001). Kandungan terpenting yang dimiliki oleh hampir setiap kelompok flavonoid adalah kapasitas mereka sebagai antioksidan untuk membantu tubuh melawan oksigen reaktif. Flavonoid memiliki kemampuan menambah efek dari susunan pemusnah endogen tersebut. Flavonoid bisa mengganggu sistem produksi radikal bebas atau bisa juga dengan meningkatkan fungsi antioksidan endogen (Hybertson et al., 2011). Flavonoid bisa mencegah kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dengan beberapa cara. Salah satunya adalah memakan radikal bebas secara langsung. Flavonoid dioksidasi oleh radikal, menghasilkan radikal yang lebih stabil dan kurang reaktif. Flavonoid menstabilkan senyawa oksigen reaktif dengan bereaksi dengan susunan reaktif dari radikal tersebut (Hybertson et al., 2011). Beberapa flavonoid tertentu dapat mengurangi aktivasi komplemen, sehingga menurunkan adesi sel inflamasi ke endothelium, menyebabkan berkurangnya respon inflamasi. Hal penting lain dari flavonoid adalah mengurangi pelepasan dari peroksidase, yang menghambat produksi reactive oxygen species oleh neutrofil dengan mempengaruhi aktivasi α1-antitripsin. Efek lain yang juga menarik dari flavonoid adalah menghambat metabolisme arachidonic acid. Hal tersebut memberikan efek antiinflamasi dan antitrombotik pada flavonoid.
45
Pelepasan arachidonic acid merupakan awal penting untuk terjadinya respon inflamasi secara umum (Nijveidt et al., 2001). Proanthocyanidin yang terutama terdapat pada ekstrak biji anggur telah diketahui memiliki kadar antioksidan tinggi dan melindungi tubuh terhadap penuaan dini, penyakit dan kehilangan kekuatan fisik. Proanthocyanidin ternyata memiliki kekuatan antioksidan lebih tinggi daripada vitamin E dan vitamin C (Shi et al., 2003). Selain aktivitas antioksidan, proanthocyanidin juga telah diketahui memiliki aktivitas anti-kanker, anti-alergi, kardioprotektif, dan antiinflamasi (Bagchi et al., 2000). Penelitian
yang
telah
dilakukan
menunjukkan
bahwa
kadar
proanthocyanidin berkisar antara 48,7 – 73,3 mg/ 100 gram anggur merah, dan 3426,5 –3638,1 mg/100 gram biji anggur. Proanthocyanidin merupakan oligomer atau polimer dari flavan-3-ol yang terhubung melalui ikatan tipe-B tunggal, atau ikatan tipe-A rangkap ganda. Proanthocyanidin yang hanya mengandung epicatechin disebut dengan procyanidin, yang mengandung epiafzelechin disebut propelargonidin, sedangkan yang mengandung epigallocatechin disebut dengan prodelphinidin. Di alam, propelargonidin dan prodelphinidin lebih jarang ditemukan dibandingkan procyanidin (Gu et al., 2004). 2.5.2.2 Fenol Senyawa fenol adalah metabolit sekunder tumbuhan yang berasal dari suatu jalur biosintesa dengan prekursor dari jalur sikimat dan/atau asetat-malonat. Fungsi metabolit ini adalah untuk melindungi tumbuhan dari serangan stres biologis dan lingkungan. Oleh karena itu, senyawa ini disintesa untuk merespon
46
serangan patogen seperti jamur atau bakteri. Fenol dapat berfungsi sebagai antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi radikal bebas pada oksidasi lipid (Tapas et al., 2008). Senyawa fenol yang banyak terkandung di dalam anggur adalah hydroxybenzoate (gallic acid) dan hydroxycinnamate.Gallic acid (3,4,5-Trihydroxybenzoicacid) telah diteliti memiliki aktivitas antioksidan, anti-mutagenik, anti-kanker dan anti-obesitas (Ivanova et al., 2010). 2.5.2.3 Resveratrol Resveratrol (3,5,4’-trihydroxystilbene) adalah senyawa polifenol (stilbene) yang ditemukan terutama pada kulit anggur (Burns et al., 2002). Banyak penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa resveratrol memiliki efek kardioprotektif (Bertelli dan Das, 2009), antioksidan (Cai et al., 2003), antiinflamasi (Martin et al., 2004), anti-kanker (Kim et al., 2003), anti-obesitas, antipenuaan, dan vasoprotektif (Baur et al., 2006; Lagouge et al., 2006). Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kadar resveratrol berkisar antara 0,24 – 1,25 mg/ 160 g anggur merah, dan 1,14 – 8,69 mg/L jus anggur (Burns et al., 2002). Resveratrol ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada pohon anggur dalam tanaman, akar, biji dan tangkai bunga. Kandungan tertinggi terdapat pada kulit buah anggur. Kandungan resveratrol dalam kulit anggur yang segar berkisar 50100 mikrogram per gram dan pada red wine berkisar 0,6 - 0,8 mikrogram per milliliter (Howes, 2006).
47
2.5.3. Manfaat Buah Anggur Telah diketahui secara luas bahwa buah anggur mengandung berbagai macam zat gizi dan antioksidan yang berguna bagi kesehatan. Berbagai kandungan vitamin, mineral, dan antioksidan dalam anggur memiliki banyak sekali khasiat (Wiryanta, 2008). Anggur memiliki kandungan vitamin A, B1, B2, B6 dan C. Selain itu, buah anggur juga memiliki kandungan flavonoid. Semakin hitam warna anggur maka semakin banyak kandungan atau konsentrasi flavonoid di dalamnya. Karena itu anggur Bali yang memiliki warna ungu kehitaman mengandung flavonoid yang tinggi (Ahira, 2010). Banyak dilakukan penelitian yang membuktikan bahwa kandungan polifenol dalam buah anggur memiliki manfaat sebagai antioksidan (Nile et al., 2013), menghambat proliferasi sel karsinoma, menstimulasi innate immunity (Kim et al., 2011), mencegah penuaan kulit (Richard dan Baxter, 2008), neuroprotektif (Lobo, 2010),menurunkan kadar lipid pada obesitas (Park et al., 2008), bakteristatik dan bakterisidal (Baydar et al., 2006), meningkatkan fungsi hati pada Non-alcoholic fatty liver disease (Khoshbaten, 2010), memperbaiki profil GFR pada gagal ginjal kronis (Saldanha et al., 2013), mencegah pembentukan biofilm oleh bakteri patogen pada gigi (Furiga et al., 2013),
serta menurunkan kolesterol
(Thiruchenduran et al., 2011). 2.5.4. Anggur sebagai Antioksidan untuk Osteoporosis Sebuah studi
epidemiologi
mengindikasi
hubungan
antara asupan
antioksidan dan kesehatan tulang (Rao et al., 2012). Dalam pengertian kimia,
48
senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (elektron donor). Namun dalam arti biologis, pengertian antioksidan lebih luas, yaitu merupakan senyawa– senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan (radikal bebas), termasuk enzim dan protein pengikat logam (Pangkahila, 2007) Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi 2 kelompok (Winarsi, 2007) yaitu : 1.
Antioksidan enzymatis / antioksidan primer / antioksidan endogenus / chainbreaking-antioxidant misalnya : enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase.
2.
Antioksidan non – enzimatis dibagi 2 kelompok lagi yaitu a. Antioksidan larut lemak, seperti tokoferol, karotenoid, flavonoid, qinon, dan bilirubin. b. Antioksidan larut air, seperti asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, protein pengikat heme. Antioksidan enzimatis dan non enzimatis tersebut bekerja sama memerangi
aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh. Terjadinya stres oksidatif dapat dihambat oleh kerja antioksidan dalam tubuh. Berdasarkan mekanisme pencegahan dampak negatif oksidan, antioksidan dapat dibagi menjadi 2 golongan ( Kaur dan Kapoor, 2001) yaitu: 1. Antioksidan pencegah (preventive antioksidan) Pada dasarnya tujuan antioksidan jenis ini mencegah terjadinya radikal hidroksil, yaitu radikal yang paling berbahaya. Untuk membentuk radikal hidroksil diperlukan tiga komponen, yaitu logam transisi Fe atau Cu, H2O2 dan
49
O2•, agar reaksi Fenton (Fe
++
(Cu+) ) + H2O2 Fe
+++
( Cu
++
)
+ OH
-
+
•OH tidak terjadi, maka harus dicegah keberadaan ion Fe2+ atau Cu+ bebas . Diperlukan peran beberapa protein penting, yaitu : a.
Untuk Fe : transferin atau feritin
b.
Untuk Cu : seruplasmin atau albumin
Penimbunan O2•- dicegah oleh enzim superoksida dismutase (SOD) yaitu dengan mengkatalisa reaksi dismutasi O2• - : 2O2• -
+ 2H
-------- H2O2 + O2
Penimbunan H2O2 dicegah melalui aktivitas dua enzim yaitu : a. Katalase, yang mengkatalisis reaksi dismutase H2O2 2H2O2 ---------- 2 H2O2 + O 2 b. Peroksidase, yang mengkatalisis reaksi sebagai berikut: R + H2O2 -------- RO + H2O 2. Antioksidan pemutus rantai (chain breaking antioksidan) Dalam kelompok antioksidan ini termasuk vitamin E, caroten, flavonoid, quinon bersifat lipofilik, sehingga dapat berperan pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid. Sebaliknya vitamin C, glutation dan sistein bersifat hidrofilik dan berperan dalam sitosol. Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui 3 tahapan reaksi (Winarsi, 2007) yaitu: 1.
Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas. Misal: Fe ++ + H2O2 -----. Fe +++ + OH - + • OH
50
2.
Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal. Anggur bekerja pada tahap ini karena flavonoid pada anggur bekerja sebagai pemutus rantai reaksi pemanjangan
3.
Tahap terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau penangkap radikal, sehingga potensi propagasi rendah. Reduksi oksigen memerlukan pengalihan empat elektron (elektron
transfer). Pengalihan ini tidak dapat sekaligus tetapi dalam empat tahapan, yang setiap tahapan hanya melibatkan pengalihan satu elektron. Oleh karena oksigen hanya dapat menerima satu elektron pada setiap tahap maka terjadi dua hal yaitu : 1.
Kurangnya reaktif oksigen
2.
Terjadinya senyawa senyawa oksigen reaktif seperti O2 • ( ion peroksida), H2O2 ( hydrogen peroksida ) , • OOH ( radikal peroksil) Reaksi–reaksi di bawah ini merupakan pengalihan satu elektron senyawa-
senyawa oksigen. Pembentukan senyawa oksigen reaktif tersebut secara singkat dapat sebagai berikut : O2 + e- -------- O2 - • ( ion peroksida) • OOH (radikal peroksil)
O2
+ e- + H+ ------
O2
+ 2e- + 2 H + ------- H2O2 (hydrogen peroksida)
O2
+ 3 e- + 3H + -------- • OH + H2O (radikal hidroksil)
O2
+ 4 e- + 4H+ -------- 2 H2O
Dari reaksi–reaksi diatas terlihat bahwa ion superoksida, radikal peroksil, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil terjadi karena pengalihan elektron yang kurang sempurna pada saat terjadi reduksi oksigen.
51
Tabel 2.1 Spesies Oksigen Reaktif dan Antioksidannya (Kaur and Kapoor,2001) Spesies reaktif
Antioksidan
O2
Oksigen singlet
Vitamin A, ß karoten, vitamin E
O2 - •
Radikal bebas superoksida
Superoksida Dismutase, Vitamin E, Flavonoid
OH •
Radikal bebas hidroksil
Flavonoid, Albumin.
ROO•
Radikal bebas peroksil
Vitamin E, Vitamin C, Flavonoid
H2O2
Hidrogen Peroksida
Katalase, Flavonoid
LOOH
Lipid peroksida
Glutation peroksidase, Flavonoid.
Glutation
ß-karoten,
Peroksidase,
Kandungan flavonoid pada anggur dapat meredam radikal bebas dalam tubuh melalui dua cara, yaitu meredam radikal bebas secara langsung dan mengaktivasi sintesis antioksidan endogen melalui jalur Nuclear factor-E2related factor 2 (Nrf2). Nrf2 merupakan faktor transkripsi yang terlibat dalam ekspresi antioksidan endogen dan banyak protein lain yang terlibat dalam regulasi pembelahan sel dan apoptosis. Pada keadaan fisiologis, Nrf2 terikat pada Kelchlike ECH-associated protein 1 (Keap1). Namun jika terdapat rangsangan stres oksidatif atau radikal bebas, maka ikatan ini akan terlepas. Lepasnya ikatan ini mengaktifkan kerja Nrf2 yang merupakan faktor transkripsi untuk antioksidan endogen enzimatik seperti SOD, GSH, dan katalase (Hybertson et al., 2011; Surh, 2013). Flavonoid yang banyak ditemukan dalam buah anggur seperti Quercetin, Epigallocatechin gallate (EGCG) dan curcumin bertindak sebagai antioksidan
52
eksogen yang didapat dari luar tubuh. Sebagai antioksidan, flavonoid ini dapat bekerja secara langsung meredam radikal bebas, dan bisa juga membantu aktivasi Nrf2 dengan cara memfosforilasi molekul Nrf2 sehingga Nrf2 menginduksi sistem transkripsi protein enzimatik antioksidan endogen seperti SOD, GSH, dan katalase (Hybertson et al., 2011; Surh, 2013; TRACD, 2014).
Gambar 2.9 Flavonoid dan Aktivasi Sintesis Antioksidan Endogen melalui Jalur Nrf2 (TRACD, 2014) Fenol pada buah anggur dapat berfungsi sebagai antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi radikal bebas pada oksidasi lipid (Tapas et al., 2008). Resveratrol menurunkan sekresi TNF-α, sehingga IL-6 menurun (Baile et al., 2011). Penurunan sekresi TNF-α dan IL-6 menurunkan osteoklastogenesis, meningkatkan apoptosis osteoklas dan meningkatkan aktivasi osteoblas (Vali et al., 2007).
53
2.6. Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus) Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) yang dipelihara. Tikus merupakan hewan laboratorium yang sering digunakan dalam berbagai macam penelitian karena telah diketahui sifat-sifatnya, mudah dipelihara, cepat berkembang biak, mudah ditangani, memiliki gen homolog dengan manusia, karakter anatomi dan fisiologi telah diketahui secara baik (Hubrecht dan Kirkwood, 2010). Klasifikasi tikus Wistar (Russel et al., 2008): Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Family
: Muridae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
54
Gambar 2.10 Tikus Putih (Rattus norvegicus) (Kalsum et al., 2015)
2.6.1. Penggunaan Tikus Percobaan ini menggunakan tikus Wistar (Rattus norvegicus) karena tikus jenis ini mudah dipelihara dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Tikus jenis ini panjangnya dapat mencapai 40 cm, berat antara 140-500 gram, dan dapat hidup hingga usia 4 tahun.Ciri khas tikus galur Wistar yaitu kepala besar dan ekor pendek (Kusumawati, 2004).
55
Tabel 2.2 Data Biologi Tikus (Russel et al., 2008) No. 1.
Kondisi Biologi Berat badan:
Jumlah
-jantan
300-400 g
-betina
250-300 g
2.
Lama hidup
2,5- 3 tahun
3.
Temperatur tubuh
37,50 C
4.
Kebutuhan:
-air
8-11 ml/100g BB
-makanan
5g/100g BB
5.
Pubertas
50-60 hari
6.
Lama kehamilan
21-23 hari
7.
Tekanan darah:
8.
9.
Frekuensi:
Tidal Volume
-sistolik
84-184 mmHg
-diastolik
58-145 mmHg
-jantung
330-480/menit
-respirasi
66-114/menit 0,6-1,25mm
Penggunaan tikus sebagai bahan percobaan lebih menguntungkan daripada mencit karena ukurannya yang lebih besar, serta tikus jantan lebih jarang berkelahi daripada mencit jantan. Sifat khas dari hewan percobaan tikus yaitu tidak mempunyai kantung empedu dan tidak mudah muntah. Secara umum, berat tikus laboratorium lebih ringan daripada tikus liar. Saat berumur 4 minggu rata-
56
rata memiliki berat 35-40 gram, dan saat dewasa 200-250 gram (Russel et al., 2008). 2.6.2. Pemberian makanan dan minuman Bahan dasar makanan untuk tikus dapat berupa misalnya protein 20-25%, lemak 5%, karbohidrat 45-50%, serat kasar 5%, abu 4-5%, vitamin A 4000 IU/kg, vitamin D 1000 IU/kg, alfa tokoferol 30 mg/kg, asam linoleat 3 g/kg, tiamin 4 mg/kg, riboflavin 3 mg/kg, pantotenat 8 mg/kg, vitamin B12 50 μg/kg, biotin 10 μg/kg, piridoksin 40μg/kg dan kolin 1000 mg/kg. Pemberian minum tikus ad libitum (Ngatidjan, 2006). 2.6.3. Pemantauan keselamatan tikus Tikus sebagai hewan coba harus diperhatikan pada saat penggunaan, yaitu kandang tikus harus kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan, mudah dipasang lagi, tahan terhadap gigitan tikus, sehingga hewan tidak mudah lepas. Selain itu, mudah dibersihkan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur menggunakan sekam yang mudah menyerap air. Suhu, kelembaban dan pertukaran udara di dalam kandang harus baik. Setiap hari kandang dibersihkan dan alas tidur diganti, tangan perawat harus selalu bersih ketika merawat tikus, memperhatikan bila muncul gejala sakit seperti berat badan turun, sukar bernapas ataupun mencret (Ngatidjan, 2006).