BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep dan Definisi 2.1.1 Mobilitas Penduduk Dan Beberapa Pendekatannya 1) Pengertian Mobilitas Penduduk Permanen Dan Nonpermanen Mantra (2003) mengungkapkan bahwa mobilitas penduduk dapat dibedakan antara mobilitas penduduk vertikal dan mobilitas penduduk horizontal. Mobilitas penduduk vertikal sering disebut dengan perubahan status, salah satu contohnya adalah perubahan status pekerjaan. Mobilitas penduduk horizontal atau sering pula disebut mobilitas penduduk geografis adalah gerak (movement) penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu. Penggunaan batas wilayah dan waktu untuk indikator mobilitas penduduk horizontal ini mengikuti paradigma ilmu geografi yang mendasarkan konsepnya atas wilayah dan waktu (space and time concept).
Pada umumnya batas wilayah yang
dipergunakan adalah provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan atau pedukuhan. Menurut bentuknya, mobilitas penduduk terdiri dari mobilitas penduduk permanen dan mobilitas penduduk nonpermanen. Mantra (2003) mendefinisikan
perbedaan antara
mobilitas permanen dan nonpermanen terletak pada ada atau tidaknya niat untuk bertempat tinggal menetap di daerah tujuan. Mobilitas penduduk permanen adalah gerak penduduk yang melintasi batas daerah asal ke daerah lain dengan ada niatan menetap di daerah tujuan. Sebaliknya mobilitas penduduk nonpermanen, adalah gerak penduduk dari satu daerah ke daerah lain dengan tidak ada niat untuk menetap di daerah tujuan. Mantra (1985, dalam Murjana Yasa, 1993) juga mengemukan pengambilan keputusan terhadap keinginan menetap atau tidak merupakan proses kumulatif. Selanjutnya dikatakan: “ ……. apabila dari sejak semula sudah tidak ada niat untuk menetap di daerah tujuan, walaupun bertempat tinggal di daerah tujuan dalam waktu lama, orang yang melaksanakan mobilitas tidak tahu akan niat mereka kelak ketika mereka meninggalkan daerah asal, atau seandainya mereka tahu, niat itu sering dirubah karena dipengaruhi oleh pengalaman – pengalaman selanjutnya di daerah tujuan”
Zelinsky (1871) mendefenisikan mobilitas penduduk nonpermanen (sirkuler) sebagai berikut : “…….a great variety of movements, usually short term, repetitive, or cyclical in nature, but all having in common the lack of any declared intention of permanent or long lasting change or residence”.
Definisi di atas kemudian oleh Steele (1983) ditinjau dan disempurnakan dan mengemukakan bahwa apabila seseorang pergi ke daerah lain dan sejak semula sudah bermaksud tidak menetap di daerah tujuan, orang tersebut digolongkan sebagai pelaku mobilitas nonpermanen. Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan mobilitas penduduk berdasarkan dua dimensi, yakni dimensi ruang (space) dan dimensi waktu (time). Pada dimensi ruang biasanya digunakan batas wilayah administratif sehingga batas wilayah perpindahan bervariasi mulai dari negara, provinsi, kabupaten / kota, kecamatan, bahkan juga desa / kelurahan. Demikian pula dilihat dari dimensi waktu, juga sangat bervariasi, seseorang dinyatakan melakukan mobilitas penduduk permanen (menetap) apabila sudah memiliki lama tinggal enam bulan atau lebih, atau bisa juga kurang dari enam bulan apabila sejak awal memutuskan untuk menetap di daerah tujuan. Ditetapkannya batas waktu enam bulan untuk membedakan migran dan bukan migran oleh Biro Pusat Statistik dalam pelaksanaan Sensus Penduduk maupun SUPAS didasarkan pertimbangan, yaitu (1) dengan batas waktu tersebut diharapkan agar kemungkinan terlewat cacah atau tercacah hilang dapat dihindarkan, atau paling tidak diperkecil; (2) batas waktu enam bulan ini merupakan konvensi yang sudah mulai digunakan pada Sensus Penduduk 1961; (3) pra - anggapan bahwa dalam waktu enam bulan seseorang sudah menetap di tempat tinggalnya sekarang (BPS, 1984;1987, dalam Mantra, 1992). Menurut Mantra (2003), gerak penduduk yang nonpermanen (circulation) ini juga dibagi menjadi dua, yaitu ulang-alik (commuting) dan menginap atau mondok di daerah
tujuan. Mobilitas ulang-alik adalah gerak penduduk dari daerah asal menuju ke daerah tujuan dalam batas waktu tertentu dengan kembali ke daerah asal pada hari itu juga. Sedangkan mobilitas penduduk mondok atau menginap merupakan gerak penduduk yang meninggalkan daerah asal menuju ke daerah tujuan dengan batas waktu lebih dari satu hari, namun kurang dari enam bulan. Tabel 2.1 Bentuk-bentuk Mobilitas Penduduk Bentuk Mobilitas Ulang-alik (commuting)
Batas Wilayah Dukuh (dusun)
Batas Waktu 6 jam atau lebih dan kembali pada hari yang sama
Menginap/mondok di daerah tujuan
Dukuh (dusun)
Lebih dari satu hari tetapi kurang dari 6 bulan
Permanen/menetap di daerah tujuan
Dukuh (dusun)
6 bulan atau lebih menetap di daerah
Sumber : Demografi Umum, 2013
2) Pendekatan Dalam Melakukan Mobilitas Penduduk Sudibia (2007) menguraikan beberapa pendekatan yang digunakan dalam studi mobilitas penduduk dapat dilihat dari pendekatan sistem, pendekatan psikologi, pendekatan sosial dan pendekatan ekonomi. 1) Pendekatan mobilitas penduduk melalui pendekatan sistem dikemukan oleh Mabogunje (1970), yaitu teori tentang proses migrasi dari desa ke kota atau yang dikenal dengan general system theory. Dalam penelitiannya tersebut yang dilaksanakan di daerah Afrika, Mabogunje menemukan tiga macam desa, yakni (1) desa yang subsistem dan terisolasi; (2) desa yang mempunyai kontak dengan desa lain, tetapi masih tertutup; dan (3) desa yang terbuka, dan telah terjadi integrasi budaya antara desa dengan kota. Sebagai contoh, desa menghasilkan dan menyediakan kebutuhan akan bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya yang sangat dibutuhkan oleh penduduk kota.
Begitu pula penduduk desa yang melakukan mobilitas ke kota dapat membeli berbagai kebutuhan hidupnya yang tidak bisa di dapatkan di desa. Antara desa dengan kota terjalin sebuah sistem, dan disertai dengan adanya saling ketergantungan satu dengan yang lainnya antara penduduk desa dengan penduduk kota. Dengan berada dalam satu sistem mobilitas yang saling berkaitan dan terikat mengakibatkan mobilitas penduduk dari desa ke kota menjadi lancar. Terwujudnya proses mobilitas penduduk yang lancar juga didukung dengan tersedianya sarana dan prasarana transportasi antara desa dengan kota, sehingga lebih mempermudah proses mobilitas penduduk yang terjadi. 2) Pendekatan psikologi yang dikembangkan oleh De Jong (1981), yaitu berupa aspek internal individu dalam pengambilan keputusan apakah melakukan mobilitas atau tidak. Model yang dikembangkan didasarkan pada manfaat yang diharapkan dapat diperoleh terdiri atas (1) kekayaan materi; (2) status; (3) rasa nyaman; (4) stimulasi; (5) otonomi; (6) afiliasi; dan (7) mobilitas, yang dibobot secara rasional oleh pelaku mobilitas. Untuk melakukan mobilitas atau tidak, sesorang akan memilih alternatif yang diharapkan dapat memberikan manfaat terbesar. Tcha (1996, dalam Susilowati, 2001) mengungkapkan bahwa beberapa ahli (Mincer,1978; Borjas,1990) menggunakan variabel non ekonomi untuk menjelaskan perilaku keputusan melakukan migrasi. Mincer melihat keterikaitan suami istri dalam peluang bermigrasi, sementara Borjas
menggunanakan variable
kesejahteraan anak-anak dalam menerangkan keputusan bermigrasi. Sehingga pendekatan psikologis dipakai sebagai aspek terpenting dalam memutuskan pilihan bermobilitas. 3) Pembahasan mobilitas penduduk tidak dapat dilepaskan dari pendekatan sosial sebab tidak dapat disangkal bahwa antara pelaku mobilitas dengan penduduk di tempat tujuan akan terjadi interaksi sosial. Menurut Sukanto (2000), interaksi sosial merupakan hubungan – hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antar personal, antar kelompok
manusia, atau antar personal dengan kelompok manusia. Adanya interaksi sosial memungkinkan terjadinya berbagai aktivitas sosial. Proses interaksi sosial dapat bergerak kedua arah, yaitu pada perwujudan kehidupan bersama yang penuh pertentangan. Atau dengan perkataan lain, proses interaksi sosial dapat berada pada dua proses dasar, yaitu (1) proses asosiatif dan (2) proses disosiatif. Proses asosiatif adalah suatu proses dimana adanya inyang diwarnai oleh adanya persamaan – persamaan kebutuhan, kegemaran atau perasaan sehingga cenderung bergerak pada perwujudan keakraban, kerja sama, asimilasi, dan integrasi. Proses disosiatif, adalah interaksi yang diwarnai oleh perbedaan-perbedaan kepentingan perasaan atau aspirasi yang cenderung menimbulkan kompetesi dan konflik. Suprapto (1997) memberikan contoh nyata dalam program transmigrasi. Disebutkan bahwa agar program transmigrasi tidak mengarah kepada proses disosiatif, melainkan lebih menekankan pada proses asosiatif seperti kerja sama, asimilasi dan integrasi, maka program transmigrasi harus mulai menata kegiatan yang mempertimbangkan dan mengantisipasi proses interaksi antar kelompok pendatang dan penduduk asli. Dengan demikian dapat dilaksanakan perencanaan yang mencari kecocokan antar kelompok dan penyiapan ladangdan tanah tempat tinggal para transmigran. 4) Pendekatan ekonomi, umumnya merupakan pendekatan yang sering dipergunakan oleh para ahli dalam mengambarkan dinamika mobilitas penduduk. Beberapa studi dan penelitian juga menyatakan bahwa faktor ekonomi adalah faktor utama penduduk melakukan mobilitas. Revenstein (1885) dalam salah satu hukum migrasinya mengatakan bahwa motif ekonomi merupakan pendorong utama seseorang melakukan migrasi. Lee (1966), Todaro (1979), dan Titus (1982) berpendapat bahwa motif seseorang untuk pindah adalah motif ekonomi. Motif tersebut berkembang karena adanya ketimpangan ekonomi antar daerah (Mantra,2003).
Studi migrasi yang dilakukan oleh LEKNAS – LIPI pada 1973 mengemukakan bahwa orang bermigrasi dari desa ke perkotaan dikarenakan untuk mendapatkan pekerjaan dan menaikkan pendapatannya. Hal tersebut juga didukung oleh Lansing dan Muller (1967, dalam Dinamika Penduduk, 2005) melakukan studi migrasi terhadap kepala keluarga berdasarkan Survey Research Center, Universitas Michigan pada 1962, dan diperoleh hampir 60 persen menyatakan bahwa faktor ekonomi menjadi alasan utama mereka melakukan migrasi. Motif ekonomi yang melandasi penduduk untuk melakukan mobilitas juga dipengaruhi oleh beberapa faktor di daerah asal yang pada umumnya berasal dari daerah miskin dalam arti bahwa mereka kekurangan tanah pertanian dan sumber daya lainnya sehingga mengakibatkan pendapatan mereka rendah. Mantra (1992) menjelaskan bahwa kondisi yang paling dirasakan menjadi pertimbangan rasional dimana individu melakukan mobilitas ke kota adalah adanya harapan untuk memperoleh pekerjaan dan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada yang diperoleh didesa. Robert dan Smith (1977, dalam Hossain, 2001,) mengemukakan bahwa tidak meratanya pekerjaan dan penghasilan pertanian di pedesaan menjadi motivasi migrasi desa-kota. Bintarto (1983, dalam Murjana Yasa, 1993) mengemukakan bahwa rendahnya penghasilan perkapita, kurangnya pemilikan tanah, terjadinya pengangguran baik nyata maupun di desa merupakan sebagian faktor pendorong penduduk desa untuk melakukan migrasi. Pada sisi yang lain, tersedianya kesempatan kerja di kota dengan upah yang menarik merupakan salah satu faktor daya tarik penduduk desa atau kota lain untuk datang ke kota tersebut. Pendekatan ekonomi dari suatu mobilitas penduduk dapat dilihat dari beberapa contoh model pendekatan mobilitas penduduk yang dikembangkan oleh beberapa ahli, antara lain (a) model dua sektor dari Lewis, (b) model migrasi desa – kota dari Todaro dan (c) model ekonomi migrasi baru dari Stark dan Bloom (1985, dalam Massey et.al, 1993).
(a) Model dua sektor Lewis (1954), yang selanjutnya dikembangkan oleh Fei dan Ranis (1961) menggambarkan adanya ketimpangan sekonomi antara dua sektor, yaitu sektor tradisional yang sifatnya subsisten, dan sektor modern yang sifatnya komersial dengan memperoleh keuntungan. Di sektor tradisional terdapat penawaran tenaga kerja tidak terbatas (unlimited supply of labor) pada tahap setelah produktivitas marjinal sama dengan nol. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian tenaga kerja di sektor tradisional seperti yang terjadi di sektor pertaniandapat ditarik ke sektor modern tanpa harus kehilangan out put sedikitpun di sektor pertanian. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan tersebut dimungkinkan oleh adanya perluasan output di sektor modern. Laju kecepatan perluasan output tersebut ditentukan oleh tingkat investasi di bidang industri dan akumulasi modal di sektor modern. Peningkatan investasi tersebut sangat ditentukan oleh adanya kelebihan di sektor modern, dengan asumsi bahwa para pemilik modal yang berkecimpung di sektor modern tersebut bersedia menanamkan kembali seluruh keuntungannya. Rangkaian proses pertumbuhan berkesinambungan sektor modern dan perluasan kesempatan kerja tersebut diasumsikan akan terus berlangsung sampai semua semua surplus tenaga kerja di sektor pertanian diserap habis oleh sektor industri. Transformasi ekonomi secara struktural akan terjadi dengan keseimbangan aktivitas ekonomi yang bergeser dari pertanian menuju industri.
(b) Model ekonomi Todaro, yang dikenal dengan model migrasi Todaro (Todaro migration model). Menurut Todaro, faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya mobilitas penduduk dari daerah perdesaan menuju perkotaan antara lain (1) adanya perbedaan upah riil yang diharapkan antara daerah daerah perkotaan dan daerah perdesaan dengan perbedaan actual upah riil antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan, (2) kemungkinan berhasil mendapat pekerjaan di sektor modern di daerah perkotaan. Kemungkinan berhasil
mendapatkan pekerjaan di daerah perkotaan berbanding lurus dengan kesempatan kerja di perkotaan atau berbanding terbalik dengan tingkat pengangguran di daerah perkotaan. (c) Model ekonomi Stark dan Bloom (1985, dalam Massey et.al, 1993), yang leboh dikenal dengan model ekonomi baru dari migrasi (new economics of migration), dimana dalam pengambilan keputusan bermigrasi tidak hanya ditentukan oleh aktor individu secara tertutup, melainkan oleh unit yang lebih luas seperti keluarga atau rumah tangga. Anggota rumah tangga akan bekerja secara kolektif tidak hanya intuk memaksimalkan pendapatan yang diharapkan, namun mereka juga berusaha untuk meminimalkan resiko – resiko dan memperlonggar kendala – kendala yang berkaitan dengan berbagai kegagalan pasar, termasuk pasar tenaga kerja. Tidak sama halnya dengan individu, keluarga atau rumah tangga memiliki posisi untuk mengendalikan resiko-resiko yang menimpa kehidupan ekonomi mereka dengan cara diversifikasi pengalokasian sumber daya yang dimiliki rumah tangga.
2.1.2 Pilihan Dalam Melakukan Mobilitas Penduduk Nonpermanen Beberapa pilihan yang melandasi keputusan sesorang dalam melakukan mobilitas dapat dikaitkan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dari setiap individu. Everet S. Lee (1974) menyebutkan volume migrasi di suatu wilayah berkembang sesuai dengan tingkat keanekaragaman daerah wilayah tersebut. Selanjutnya Lee menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk bermigrasi dapat dipengaruhi oleh empat faktor sebagai berikut : a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat asal migran (origin). b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat tujuan migran (destination). c.Faktor-faktor
penghalang
atau
pengganggu
d. Faktor-faktor yang berhubungan dengan individu migran.
(intervening
factors).
Ketidaktersedian lahan serta penghasilan yang rendah di daerah tempat asal migran merupakan faktor pendorong untuk pindah, namun adanya ikatan kekeluargaan yang erat serta lingkungan sosial yang dinamis merupakan faktor yang menahan agar seseorang tidak pindah. Adanya upah yang tinggi, ketersediaan fasilitas pendidikan, iklim yang baik serta banyaknya kesempatan kerja yang menarik di daerah tempat tujuan migran merupakan faktor penarik untuk datang kesana namun ketidakpastian, resiko yang mungkin dihadapi, pemilikan lahan yang tidak pasti dan sebagainya merupakan faktor penghambat untuk pindah ke tempat tujuan migran tersebut. Transportasi dan komunikasi yang tidak lancar, jarak yang jauh, ongkos pindah yang tinggi, birokrasi yang tidak baik, pajak yang tinggi, serta informasi yang tidak jelas merupakan contoh faktor yang menghambat. Di pihak lain adanya informasi tentang kemudahan, seperti kemudahan angkutan dan sebagainya merupakan intervening faktor yang mendorong migrasi. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah faktor individu, karena dialah yang menilai positif dan negatifnya suatu daerah, dia pulalah yang memutuskan apakah akan pindah dari daerah asal atau tidak, dan kalau pindah akan individulah yang akan memutuskan daerah mana yang akan dituju.
+ - + -+-+ +-++-++-++-+
-+-++++2. Rintangan Antara (Intervening astacles)
1. Daerah Asal Keterangan : + 0
4. Individu
+ - + -+-+ +-++-++-++-+
-+-++++-
3. Daerah tujuan
= faktor dimana kebutuhan dapat terpenuhi = faktor dimana kebutuhan tidak dapat terpenuhi = faktor netral
Gambar 2.1 Faktor – Faktor Determinan Mobilitas Penduduk Menurut Everett S. Lee (1976) Sumber : Diadaptasi dari Mantra (2003)
Di daerah asal dan daerah tujuan ada faktor positif (+) maupun faktor negatif (-), adapula faktor netral (o). Faktor positif adalah faktor yang memberikan nilai menguntungkan kalau bertempat tinggal didaerah itu. Faktor negatif adalah faktor yang memberikan nilai negatif pada daerah yang bersangkutan sehingga seseorang ingin pindah dari tempat itu karena kebutuhan tertentu tidak terpenuhi. Faktor-faktor di tempat asal migran misalnya dapat berbentuk faktor yang mendorong untuk keluar atau menahan untuk tetap dan tidak berpindah. Di daerah tempat tujuan migran faktor tersebut dapat berbentuk penarik sehingga orang mau datang kesana atau menolak yang menyebabkan orang tidak tertarik untuk datang. Perbedaan nilai kumulatif antara kedua tempat tersebut cenderung menimbulkan arus migrasi penduduk. Robert Norris (1972, dalam Mantra 2003) mengungkapkan bahwa diagram Lee perlu ditambah dengan tiga komponen yaitu migrasi kembali, kesempatan antara, dan migrasi paksaan (force migration). Kalau Lee menekankan bahwa faktor individu adalah faktor terpenting diantara empat faktor tersebut. Norris berpendapat lain bahwa faktor daerah asal merupakan faktor terpenting. Di daerah asal seseorang lahir, dan sebelum sekolah orang itu hidup di daerah tersebut, maka dia tahu benar tentang kondisi daerah asal, penuh dengan nostalgia ketika hidup dan berdomisili di daerah asal dan bermain dengan teman – teman sebayanya. Itulah sebabnya, seseorang sangat terikat dengan daerah asal, walaupun sesudah berumah tangga harus pindah dan berdomisili di daerah lain, namun mereka tetap menganggap bahwa daerah asal (daerah tempat mereka dilahirkan) merupakan home pertama, dan daerah tempat mereka berdomisili sekarang merupakan home kedua. Berdasarkan hal diatas dapatlah dikatakan bahwa penduduk migran adalah penduduk yang bersifat bi local population, sehingga dimanapun mereka tinggal pasti mengadakan hubungan dengan daerah asal.
Rozy Munir (1990) mengatakan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi migrasi ada dua, yakni faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor pendorong (daerah asal) tersebut misalnya makin berkurangnya sumber-sumber alam, menyempitnya lapangan pekerjaan akibat masuknya teknologi yang menggunakan mesin-mesin, tekanan atau diskriminasi politik dan SARA, tidak ada kecocokan secara adat dan budaya, perkawinan atau pengembangan karier pribadi, dan bencana alam. Faktor penarik (daerah perkotaan) antara lain adanya kesempatan kerja yang lebih baik, kesempatan mendapat pendidikan yang lebih tinggi, situasi yang menyenangkan di tempat tujuan, adanya tarikan dari orang yang diharapkan sebagai tempat berlindung di tempat tujuan, dan adanya aktivitas hiburan di perkotaan. Mantra (2003) mengungkapkan bahwa teori kebutuhan dan stres (need and stress) menjadi salah satu dasar sesorang dalam mengambil keputusan bermobilitas. Setiap individu mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan ekonomi, sosial, dan psikologi. Apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi terjadilah tekanan (stress), dan tingkatan stress ini berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Secara umum tinggi rendahnya stress yang dialami oleh seseorang berbanding terbalik dengan proporsi pemenuhan kebutuhan tersebut. Adapun stress yang dialami tersebut dapat dipilah menjadi dua, yaitu apabila stress yang dialami seseorang masih dalam batas – batas toleransi, orang tersebut akan memutuskan tidak akan pindah dan yang bersangkutan akan berusaha untuk menyesuaikan kebutuhannya dengan kondisi lingkungan yang ada dan apabila stress yang dialami seseorang sudah diluar batas toleransinya, orang tersebut akan mulai memikirkan untuk mengambil keputusan untuk pindah ke daerah tujuan lain, yaitu tempat dimana kebutuhannya dapat dipenuhi. Kebutuhan (needs) dan aspirasi
Terpenuhi
Tidak terpenuhi (stres)
Dalam batas toleransi
Di luar batas toleransi
Gambar 2.3 Hubungan Antara Kebutuhan dan Pola Mobilitas Penduduk Sumber : Diadaptasi dari Mantra (2003), Sudibia (2012)
Gambar 2.3 memperlihatkan apabila kondisi kebutuhan seseorang tidak terpenuhi atau terjadi stress namun masih dalam batas toleransi, yang bersangkutan memutuskan tidak pindah dan akan terus berusaha untuk menyesuaikan kebutuhannya dengan keadaan lingkungan yang ada dan memutuskan untuk menetap. Secara garis besar mereka yang memutuskan untuk pindah ke daerah tujuan baru karena kebutuhan hidupnya di daerah asal tidak terpenuhi. Bahkan sudah di luar batas toleransi akan melakukan mobilitas permanen dan mereka yang memutuskan tidak pindah, walaupun kebutuhan hidupnya di daerah asal tidak terpenuhi. Namun masih dalam batas – batas toleransi akan melakukan mobilitas nonpermanen yakni ulang alik (commuting) atau mondok di daerah tujuan. Mobilitas penduduk juga merupakan suatu pilihan yang dilandasi oleh adanya dua kekuatan yang terdapat pada di daerah asal. Mitchell, (1961) mengemukakan bahwa kekuatan tersebut adalah adanya kekuatan sentripetal (centripetal forces) dan kekuatan sentrifugal (centrifugal forces). (a) Kekuatan sentripetal, yakni kekuatan yang bersifat mengikat penduduk untuk tetap tinggal di daerah asalnya, karena disebabkan oleh berbagai faktor yakni terikat akan tanah
warisan, terikat akan adanya orang tua yang sudah lanjut usia, adanya kegotong royongan yang baik, dan daerah asal merupakan tempat kelahiran nenek moyang mereka. (b) Kekuatan sentrifugal adalah kekuatan yang yang mendorong penduduk untuk meninggalkan daerah asalnya, karena disebabkan oleh berbagai faktor yakni terbatasnya pasarana kerja dan terbatasnya fasilitas pendidikan. (c) Apabila salah satu kekuatan tersebut lebih besar daripada kekuatan lainnya, maka seseorang akan mengambil keputusan untuk tetap tinggal di daerah asal, ataukah pindah dan menetap di daerah lain yang lebih menjanjikan. Permasalahan muncul apabila kekuatan sentripetal dan kekuatan sentrifugal, ataupun kekuatan pendorong dan penarik tersebut berimbang seperti umumnya dijumpai di daerah perdesaan pada negara – negara yang sedang berkembang.
Kekuatan sentripetal
+
MP
nonpermanen Daerah asal
-
Daerah tujuan
MP sirkuler
Kekuatan sentrifugal
Gambar 2.4
Kekuatan Sentrifugal dan Sentripetal yang seimbang, dan Keputusan Melakukan Mobilitas Nonpermanen Sumber : Diadaptasi dari Mantra (2003), Sudibia (2012)
Untuk memecahkan masalah tersebut biasanya diambil kompromi dengan memilih melakukan mobilitas nonpermanen sehingga para pelaku mobilitas nonpermanen tetap memiliki status kependudukan di daerah asal, sedangkan kegiatannya di luar daerah dilakukan dengan cara komuter (ulang alik) atau dalam istilah Bali disebut “ngajag”, atau
menginap (mondok) ditempat tujuan. Sehingga dengan mengambil keputusan atau pilihan melakukan mobilitas nonpermanen, pekerja migran tidak perlu pindah menetap sehingga keluarganya masih tetap menetap di daerah asal dan hubungan kekerabatan di daerah asal tetap terjaga dengan baik. Sedangkan pada sisi lain mereka dapat meningkatkan penghasilan dengan bekerja di daerah lain. Sehingga saat mereka memutuskan untuk mencari pekerjaan di daerah lain dan memulai perjalanan penuh harapan, pekerja migran nonpermanen telah memperhitungkan berbagai kerugian dan keuntungan yang akan didapat untuk dapat memberikan manfaat yang besar kepada keluarga yang mereka tinggalkan.
2.1.3 Konsep Gender Secara mendasar menurut Mosse (1996), gender tersebut berbeda dengan jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian, seseorang dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau wanita merupakan kehendak Tuhan. Tetapi, jalan yang menjadikan maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur. Salah satu hal yang paling menarik mengenai peran gender adalah peran-peran itu berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya. Peran itu juga dipengaruhi oleh kelas, sosial, usia dan latar belakang etnis. Pada abad ke sembilan belas, di Inggris ada anggapan bahwa kaum wanita tidak pantas bekerja di luar rumah guna mendapatkan upah, tetapi pandangan berikutnya menunjukkan bahwa anggapan ini hanya berlaku bagi wanita kelas menengah dan kelas atas, dan wanita kelas bawah diharapkan bekerja sebagai pembantu bagi wanita yang dilahirkan tidak untuk bekerja sendiri. Peran gender juga dapat berubah dari masa ke masa, karena pengaruh kemajuan : pendidikan, teknologi, ekonomi, dan lain-lain, hal itu berarti peran gender dapat ditukarkan antara pria dengan wanita (Aryani, 2002 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003).
Pembahasan mengenai gender, tidak terlepas dari seks dan kodrat. Seks, kodrat dan gender mempunyai kaitan yang erat, tetapi mempunyai pengertian yang berbeda. Dalam kaitannya dengan peranan pria dan wanita di masyarakat, pengertian dari ketiga konsep itu sering disalahartikan. Untuk menghindari hal itu dan untuk mempertajam pemahaman tentang konsep gender, maka pengertian seks dan kodrat perlu dijelaskan terlebih dahulu. Istilah seks dapat diartikan kelamin secara biologis, yakni alat kelamin pria (penis) dan alat kelamin wanita (vagina). Sejak lahir sampai meninggal dunia, pria akan tetap berjenis kelamin pria dan wanita akan tetap berjenis kelamin wanita (kecuali dioperasi untuk berganti jenis kelamin). Jenis kelamin itu tidak dapat ditukarkan antara pria dengan wanita (Aryani, 2002). Menurut Aryani (2001) kodrat adalah sifat bawaan biologis sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak dapat berubah sepanjang masa dan tidak dapat ditukarkan yang melekat pada pria dan wanita. Konsekuensi dari anugerah itu, manusia yang berjenis kelamin wanita, diberikan peran kodrati yang berbeda dengan manusia yang berjenis kelamin pria. Wanita diberikan peran kodrati: (1) menstruasi, (2) mengandung, (3) melahirkan, (4) menyusui dengan air susu ibu dan (5) menopause, dikenal dengan sebutan lima M. Sebaliknya, pria diberikan peran kodrati membuahi sel telur wanita dikenal dengan sebutan satu M. Jadi, peran kodrati wanita dengan pria berkaitan erat dengan jenis kelamin dalam artian ini.
2.2 Teori-teori relevan 2.2.1 Human Capital Menurut Garry S. Becker (1992), pemenang Nobel Memorial Prize pada bidang ilmu ekonomi tahun 1992, “revolusi” modal manusia (human capital) dimulai sejak sekitar 5 dekade lalu sejak dekade ini. Menurutnya, sekolah, pelatihan komputer, pengeluaran untuk kesehatan, dan kuliah tentang kebajikan seperti ketepatan waktu dan kejujuran, juga
merupakan modal manusia dalam pengertian hal tersebut dapat memperbaiki kesehatan, meingkatkan pendapatan, atau menambah apresiasi seseorang terhadap karya sastra. Manusia sebagai salah satu sumber faktor produksi disebut sumberdaya manusia, yang memiliki arti lebih luas daripada modal manusia. Salah satu sumberdaya manusia yang paling tua adalah modal manusia dalam bentuk tenaga kerja. Modal manusia sudah ada sejak pemiliknya dilahirkan ke dunia. Modal tersebut baru dimanfaatkan setelah pemiliknya menginjak dewasa, namun tergantung juga pada negara, masyarakat, lingkungan, keluarga, dan peraturan, yang berbeda-beda antar negara. Setiap individu memiliki kebebasan untuk memanfaatkan modalnya, modal fisik dalam bentuk tenaga (kerja). Di negara-negara maju pemerintahnya menetapkan bahwa seseorang boleh bekerja setelah berumur 15 tahun, yang berarti modal manusia baru produktif setelah mereka menamatkan paling sedikit pendidikan menengah. Di negara berkembang, banyak anak-anak bekerja dibawah umur, sekedar “menjual” tenaganya untuk kelangsungan hidup mereka. Di Indonesia, sejak beberapa tahun lalu pemerintah menetapkan kebijakan wajib belajar 12 tahun yang sebelumnya 9 tahun, namun pemerintah mengikuti konvensi internasional bahwa tenaga kerja adalah mereka yang minimum berumur 15 tahun. Berdasarkan UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pasal 68 dan pasal 69, pengusaha dilarang mempekerjakan anak, kecuali untuk anak yang berumur antara 13-15 tahun dapat dipekerjakan untuk jenis pekerjaan ringan sepanjang tidak membahayakan diri anak, dan waktu kerjanya maksimum 3 jam per hari. Di Amerika menurut Fair Labor Standards Act Advisor minimum umur untuk pekerja adalah 14 tahun, kecuali pekerjaan untuk membantu rumah tangga dan usaha milik keluarga. Menggunakan tenaga sebagai modal tidak membutuhkan bantuan orang atau pihak lain, seperti perbankan yang menyediakan modal uang untuk pihak yang memerlukan. Tenaga kerja sebagai modal sangat unik karena kepemilikannya melekat pada yang bersangkutan dan
penggunaannya ditentukan pula oleh yang bersangkutan. Sebagai pekerja dia dapat menggunakannya setiap saat, memulai dan berhenti setiap saat. Ini dapat kita temui, sebagai satu contoh, di sektor pertanian subsisten dan usaha milik sendiri. Karena sepenuhnya menggunakan tenaga sebagai modal fisik tanpa bantuan modal atau sumber lainnya maka produktivitasnya juga rendah atau terbatas. Hal inilah yang menjelaskan kenapa produktivitas sektor pertanian rendah apabila hanya mengandalkan tenaga kerja sebagai modal tanpa modal komplementer lainnya seperti teknologi. Pemanfaatan hanya manusia sebagai tenaga produktif untuk tujuan pembangunan berarti lebih mengutamakan perspirasi atau peluh daripada inspirasi atau kecerdasan; dengan kata lain, otot mendominasi otak. Ini juga terjadi pada saat China mulai membangun yang menggunakan modal manusia sebagai keunggulan karena jumlahnya yang banyak. Apabila penggunaan modal selain manusia belum merupakan modal komplemen, maka produktivitas tenaga kerja sepenuhnya tergantung pada pengalaman mereka sepanjang umur mereka bekerja. Jadi, umur biasanya dipakai sebagai proksi atau indikator untuk mengukur pengalaman. Produktivitas tenaga kerja akan meningkat apabila mereka memperoleh pendidikan, baik formal maupun informal. Pendidikan akan membuka cakrawala berpikir sehingga mereka mempunyai aspirasi yang lebih tinggi. Pendidikan juga dapat membuka peluang yang lebih banyak karena dimungkinkannya membuat berbagai pilihan. Demikian pula, pendidikan dapat meningkatkan daya serap seseorang terhadap kemajuan dan modernisasi, seperti kemampuan menggunakan bibit, pupuk, dan penggunaan teknologi, maupun pilihan penggunaan obat-obatan. Intinya, pendidikan akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Pendidikan non-formal juga dapat meningkatkan produktivitas pekerja. Pelatihan atau “training” akan meningkatkan keterampilan atau “skills” terutama keterampilan-keras (hardskills) maupun keterampilan-lunak (soft-skills) mereka. Itu juga sebabnya kenapa pelatihanpelatihan perlu diberikan secara terus-menerus selepas mereka menamatkan pendidikan
formal. Melalui pelatihan dapat diberikan informasi terbaru dan perkembangan mutakhir yang diperlukan dalam meningkatkan produktivitasnya.
Modal manusia sebagai sebuah
konsep dapat dilihat dari berbagai segi dan kepentingan. Modal manusia dapat dilihat dari dunia bisnis, pembuat kebijakan, organisasi atau lembaga pemerintah maupun swasta seperti serikat pekerja. Bagi pembuat kebijakan, modal manusia adalah kapasitas penduduk yang dapat di mobilisasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam
dunia
bisnis,
para
investor
memandang modal manusia sebagai seperangkat keterampilan yang diperlukan bagi seorang pekerja. Keterampilan ini dapat diperoleh melalui pelatihan maupun pengalaman, suatu keterampilan yang dapat meningkatkan nilai ekonomi mereka di pasar kerja. Jadi, keterampilan digunakan sebagai ukuran modal manusia. Dalam kontek organisasi modal manusia merujuk pada nilai kolektif daripada modal intelektual organisasi seperti kompetensi, pengetahuan, dan keterampilan. Modal ini merupakan sumber kreativitas dan inovasi yang dapat diperbaharui terus menerus. Berbeda dengan modal struktural, modal manusia selalu dimiliki oleh individual yang memilikinya dan dapat “dijual pada pihak lain yang memerlukan” kecuali dibatasi oleh peraturan tempat yangbersangkutan bekerja. Dalam kontek ekonomi, modal manusia merupakan atribut seseorang yang produktif. Ini sangat berkaitan dengan pencapaian pendidikan formal, dengan implikasi bahwa pendidikan adalah investasi yang hasilnya akan diperoleh dalam bentuk upah, gaji, atau kompensasi lainnya. Menurut encyclopedia Britanica,human capital: intangible collective resources possessed by individuals and groups within a given population. These resources include all the knowledge, talents, skills, abilities, experience, intelligence, training, judgment, and wisdom possessed individually and collectively, the cumulative total of which represents a form of wealth available to nations and organizations to accomplish their goals.
Dalam kontek yang lebih luas, aliran atau paham, kapitalisme selalu memandang modal manusia dari sisi produktivitas atau kinerja. Produktivitas terkait dengan investasi jangka panjang, semakin produktif seseorang maka investasi akan lebih menguntungkan. Konsep modal manusia berasal dari model ekonomi kapitalisme sumber daya manusia, yang menekankan hubungan antara peningkatan produktivitas atau kinerja dan kebutuhan untuk investasi jangka panjang yang berkelanjutan dan dalam pengembangan sumber daya manusia. Model ini dapat diterapkan dalam skala yang sempit maupun luas. Dalam skala yang luas, produktivitas tenaga kerja atau modal manusia akan meningkatkan perekonomian nasional dan dalam skala yang sempit, produktivitas yang tinggi akan meningkatkan kinerja organisasi perusahaan. Di pihak lain, pandangan tradisional yang umumnya berpikir jangka pendek selalu memandang modal manusia sebagai biaya yang harus diperhitungkan dalam organisasi. Pandangan ini biasanya berjangka pendek karena selalu berpikir bagaimana cara menekan biaya untuk kepentingan keuntungan perusahaan sehingga seringkali kebutuhan-kebutuhan dasar pekerja diabaikan dalam rangka menekan biaya. Bereda dengan pandangan jangka panjang yang melihat modal manusia sebagai investasi, dimana mereka berusaha meningkatkan kinerja atau produktivitasnya melalui beberapa cara seperti pelatihan ataupun pendidikan internal perusahaan atau institusi eksternal. 1) Mengukur Modal Manusia Modal manusia bukanlah merupakan konsep satu dimensi melainkan konsep multi dimensi yang berbeda untuk pemangku kepentingan yang berbeda. Seperti disampaikan di atas, dalam dunia bisnis modal manusia adalah nilai ekonomi daripada keterampilan pekerja. Bagi pembuat kebijakan, modal manusia adalah kapasitas penduduk dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Secara konvensional modal manusia dipandang sebagai fungsi pendidikan dan pengalaman yang merefleksikan pelatihan dan pembelajaran. Namun pada
saat ini kesehatan (fisik dan mental) menjadi bagian fundamental daripada modal manusia. Nilai modal manusia juga ditentukan oleh faktor ekonomi, sosial, fisik, dan lingkungan masyarakat. World Economic Forum (WEF, 2013) dalam publikasinya The Human Capital Report, melaporkan usahanya dalam memberikan pandangan jangka panjang dan holistik tentang seberapa baik suatu negara memanfaatkan sumber daya manusianya dan membangun tenaga kerjanya yang dipersiapkan untuk permintaan ekonomi yang kompetitif. Menurut WEF, modal manusia didasarkan pada 4 pilar, yaitu: tiga pilar inti yang menentukan: pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja, ditambah faktor lain yaitu lingkungan yang membuat modal manusia mempunyai nilai lebih tinggi. Empat pilar modal manusia tersebut adalah: Pilar 1: Pendidikan. Ukuran yang digunakan untuk meliput pendidikan adalah: 1) Akses terhadap pendidikan diukur dari angka partisipasi sekolah dasar sampai sekolah lanjutan atas, dan gap jender pendidikan. 2) Kualitas pendidikan diukur dari akses internet di sekolah, kualitas sistem pendidikan, kualitas pendidikan matematika dan sain, dan kualitas pengelolaan sekolah. 3) Capaian pendidikan diukur dari persentase penduduk umur 25 tahun keatas yang mengenyam pendidikan dasar sampai pendidikan lanjutan. Pilar 2: Kesehatan dan Kesejahteraan. Pilar ini mencakup berbagai aspek sosial dan layanan kemasyarakatan, seperti: 1) Kelangsungan hidup diukur dari tingkat kematian bayi per seribu kelahiran, angka harapan hidup, dan gap jender kelangsungan hidup. 2) Kesehatan diukur antara lain dari kehidupan tidak sehat, tingkat obesitas, tingkat kematian dibawah umur 60 tahun, dampak bisnis dari penyakit menular dan tidak menular.
3) Kebahagiaan diukur dari tingkat depresi dan stres yang dialami responden. 4) Layanan kesehatan meliputi layanan air, sanitasi dan kebersihan, kualitas perawatan kesehatan, dan aksesibilitas perawatan kesehatan. Pilar 3: Tenaga kerja dan Kesempatan kerja, mengukur pengalaman, bakat, pengetahuan dan pelatihan, seperti: 1) Partisipasi diukur dari tingkat partisipasi tenaga kerja yang berumur 15-64 tahun dan 65 tahun ke atas, tingkat pengangguran, tingkat pengangguran pemuda, dan gap jender tingkat partisipasi. 2) Talenta diukur dari kemampuan negara dalam menarik dan mempertahankan orang bertalenta, kemudahan memperoleh tenaga kerja terampil, pembayaran upah sesuai produktivitas, kapasitas inovasi, dan indek kompleksitas ekonomi. tingkat daya serap teknologi perusahaan, artikel dalam jurnal sain dan teknikal per seribu penduduk, 3) Pelatihan meliputi pelatihan staf dan layanan pelatihan. Pilar 4: Lingkungan, mengukur aspek penunjang yang dapat meningkatkan nilai modal, yaitu: 1) Infrastruktur meliputi pengguna mobil, pengguna internet, dan kualitas angkutan domestik. 2) Kolaborasi meliputi keadaan kluster pembangunan, dan kolaborasi litbang dunia usaha dan universitas. 3) Kerangka hukum diukur dari indek melaksanakan usaha, perlindungan jaring pengaman sosial, dan perlindungan HAKI. 4) Mobilitas sosial.
2.2.2 Remitan Pada mulanya istilah remitan (remittance) adalah uang atau barang yang dikirim oleh migran ke daerah asal, sementara migran masih berada di tempat tujuan (Connell, 1976).
Namun definisi tersebut mengalami perluasan, tidak hanya uang dan barang, tetapi ketrampilan dan ide juga digolongkan sebagai remitan bagi daerah asal (Connell 1980). Selanjutnya dalam mengaitkan antara remitan dengan mobilitas penduduk, Conell membaginya menjadi dua tipe, yakni: 1)
Tipe bebas (individual), dimana dalam hal ini migran mengambil keputusan melakukan mobilitas bebas dari kebutuhan – kebutuhan dan kewajiban terhadap keluarga di daerah asal.
2) Tipe terikat (linked), dimana dalam hal ini migran masih terikat akan kewajiban – kewajiban dan kebutuhan – kebutuhan keluarganya di daerah asal. International Monetery Fund (IMF) dalam Balance of Payment Manual 5 (BPM5) mendefinisikan remitan secara luas dan mengandung tiga unsur atau bagian, yakni : 1)
Konpensasi pekerja (compensation of employees), dimana terdiri dari upah, gaji (salaries) dan keuntungan lainnya yang dihasilkan oleh seseorang dalam bentuk cash (uang tunai) atau bentuk lainnya yang dibayarkan sendiri selama bekerja di negara tersebut melebihi tempat tinggal asalnya.
2) Remitan tenaga kerja (workers’ remittances) atau transfer, dalam bentuk cash (uang tunai) atau yang lainnya dari migran kepada anggota rumah tangga asalnya. 3) Transfer migran (migrants’ transfers) adalah transfer capital (modal) dari aset–aset keuangan selama mereka berpindah dari suatu negara ke negara lain dan menetap sekurang-kurangnya setahun. Dalam kaitannya dengan pengertian remitan, tampaknya relevan dikaitkan dengan teori aliran kekayaan (wealth of theory) yang dikemukan oleh Caldwell (1976, dalam Hugo, 1983). Teori aliran kekayaan ini umumnya diterapkan dalam analisis penurunan fertilitas, bahwa aliran kekayaan akan terjadi antara orang tua dan anak berupa aliran uang, barang, jasa dan jaminan orang tua kepada anak, dan begitu juga sebaliknya dari anak kepada orang tua.
Berkaitan dengan aliran kekayaan diatas, dalam konteks dunia ketiga dewasa ini ditemukan adanya dua tipe aliran, yaitu : 1) Aliran hadiah – hadiah secara periodik, pembayaran secara teratur, dan jasa yang ada sejak lamadiantara individu dan kelompok yang bertempat tinggal dalam suatu kelompok. 2) Aliran kekayaan yang terjadi diantara kelompok – kelompok atau individu – individu yang disebabkan oleh adanya ikatan tetapi secara geografis tinggal dalam masyarakat yang terpisah.
A1 (1) Suami (2) Istri (3) Anak – anak (4) Orang tua A2 (1) Migran wanita (2) Anak – anak (3) Nenek B (1) Anak –anak yang lebih tua (2) Orang tua (3) Kakek C (1) Orang tua (2) Anak – anak yang lebih tua (3) Famili lain D (1) Keluarga batih (2) Kakek dan nenek (3) Familiy lain Keterangan :
Aliran remitan Migrasi
Gambar 2.5 Pola aliran remitan untuk menyokong keluarga Sumber : Curson (1981, dalam Sudibia, 2007) Curson (1981, dalam Sudibia, 2007) mengungkapkan bahwa sedikitnya ada delapan hal yang dipandang penting dalam studi remitan, yakni (1) masalah data, dimana studi remitan tidak memberikan data yang rinci tentang besarnya remitan maupun daerah asal dan daerah tujuan pengiriman; (2) sering dikacaukan antara remitan dengan transaksi - transaksi ekonomi lainnya seperti pembayaran hutang, pengiriman hadiah – hadiah, pembagian keuntungan, dan pemindahan barang dan jasa; (3) pola aliran remitan yang ruwet dilihat dari keragaman institusi, agen dan individu yang terlibat dalam pemindahan remitan dari migran ke daerah asalnya; (4) remitan mencerminkan tipe mobilitas penduduk apakah individual ataukah family linked; (5) remitan tergantung dari hubungan antara migran dengan sanak keluarganya, dilihat dari segi kebutuhan, harapan, dan tanggung jawab; (6) remitan sangat sensitif terhadap perubahan keadaan; (7) remitan bervariasi secara geografis; dan (8) remitan mencerminkan hubungan emosional antara migran dengan sanak keluarganya di daerah asal. Curson juga merumuskan enam tujuan pengiriman remitan oleh migran ke daerah asalnya sebagai berikut (1) untuk menyokong kehidupan keluarga; (2) perayaan siklus hidup keluarga; (3) aliran uang untuk migrasi berantai; (4) pengembalian hutang – hutang; (5) investasi; dan (6) perencanaan pensiun. Curson juga membahas pengaruh remitan terhadap kehidupan sosial ekonomi di daerah pedesaan ke dalam tiga hal pokok, yakni (1) aliran remitan meningkatkan ketergantungan ekonomi, keadaan ini berbahaya jika aliran remitan terganggu atau putus; (2) aliran remitan berpengaruh terhadap perubahan sosial di wilayah desa sebab remitan dapat meningkatkan pendapatan perkapita penduduk desa, meningkatkan investasi, serta mobilitas sosial; dan (3) remitan dapat meningkatkan emigrasi, dalam artian dapat menyedot kelebihan pertumbuhan penduduk.
1. Penggunaan untuk pembiayaan siklus hidup Migran Anggota keluarga / Keluarga dekat 2. Penggunaan uang untuk membayar tiket Migran Anggota keluarga / Keluarga dekat 3. Investasi untuk pensiun Migran Perumahan Tanah Usaha 4. Pengembalian hutang Migran Biaya perjalanan Lain – lain Keterangan :
Aliran remitan
Gambar 2.6 Pola aliran remitan menurut penggunaanya, kecuali untuk menyokong keluarga Sumber : Curson (1981, dalam Sudibia, 2007)
2.2.3 Pendapatan Pendapatan merupakan balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa tersebut dapat berupa sewa, upah atau gaji, bunga uang ataupun laba (Badan Pusat Statistik).
Sadono Sukirno (1995) juga berpendapat sama.
Pendapatan pada dasarnya merupakan balas jasa yang diterima pemilik faktor produksi atas pengorbannya dalam proses produksi. Masing-masing faktor produksi seperti: tanah akan
memperoleh balas jasa dalam bentuk sewa tanah, tenaga kerja akan memperoleh balas jasa berupa upah /gaji, modal akan memperoleh balas jasa dalam bentuk bunga modal, serta keahlian termasuk para enterprenuer akan memperoleh balas jasa dalam bentuk laba. Pendapatan yang berupa balas jasa atas pemanfaatan faktor produksi ini disebut dengan pendapatan yang didistribusikan. Dilihat dari pemanfaatan tenaga kerja, pendapatan yang berasal dari balas jasa berupa upah atau gaji disebut dengan pendapatan tenaga kerja (labour income). Disamping itu sebagai pendapatan dimasukkan pula pendapatan yang bukan berasal dari balas jasa atas pemanfaatan faktor produksi dan tidak bersifat mengikat. Pendapatan ini disebut dengan pendapatan transfer (Sunuharyo, dalam Sumardi dan Evers, 1982). Pendapatan transfer (transfer income) dapat berasal dari pemberian seseorang atau institusi (misalnya pemerintah). Aliran pendapatan transfer ini dapat positif dan dapat pula negatif tergantung pada besarnya pembayaran atau penerimaan transfer dalam jangka waktu tertentu (Kusnic dan Da Vanso, 1980 dalam Murjana Yasa, 1993). Dalam kenyataannya membedakan antara pendapatan tenaga kerja (labor income) dan pendapatan bukan tenaga kerja (non labor income) tidaklah selalu mudah dilakukan. Ini disebabkan karena nilai output tertentu umumnya terjadi atas kerjasama dengan faktor produksi lain. Oleh karenanya dalam perhitungan pendapatan migran dipergunakan beberapa pendekatan tergantung pada lapangan pekerjaannya. Untuk yang bekerja dan menerima balas jasa berupa upah atau gaji dipergunakan pendekatan pendapatan (income approach), bagi yang bekerja sebagai pedagang, pendapatannya dihitung dengan melihat keuntungan yang diperolehnya. Untuk yang bekerja sebagai petani, pendapatannya dihitung dengan pendekatan produksi (Production Approach). Dengan demikian berdasarkan pendekatan di atas dalam pendapatan pekerja migran telah terkandung balas jasa untuk skill/ kemampuan yang dimilikinya (Murjana Yasa, 1993).
2.2.4 Pengalaman kerja Pengalaman kerja adalah proses pembentukan pengetahuan atau keterampilan tentang metode suatu pekerjaan karena keterlibatan karyawan tersebut dalam pelaksanaan tugas pekerjaan (Manulang, 1984). Pengalaman kerja adalah ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah ditempuh seseorang dapat memahami tugas – tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakan dengan baik (Ranupandojo, 1984). Pengalaman kerja adalah pengetahuan atau keterampilan yang telah diketahui dan dikuasai seseorang yang akibat dari perbuatan atau pekerjaan yang telah dilakukan selama beberapa waktu tertentu (Trijoko, 1980). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa pengalaman kerja adalah tingkat penguasaan pengetahuan serta keterampilan seseorang dalam pekerjaannya yang dapat diukur dari masa kerja dan dari tingkat pengetahuan serta keterampilan yang dimilikinya. Pengukuran Pengalaman Kerja Pengukuran pengalaman kerja sebagai sarana untuk menganalisis dan mendorong efisiensi dalam pelaksanaan tugas pekerjaan. Beberapa hal yang digunakan untuk mengukur pengalaman
kerja
seseorang
adalah
:
1) Gerakannya mantap dan lancar Setiap karyawan yang berpengalaman akan melakukan gerakan yang mantap dalam bekerja tanpa disertai keraguan. 2) Gerakannya berirama Artinya terciptanya dari kebiasaan dalam melakukan pekerjaan sehari–hari. 3) Lebih cepat menanggapi tanda–tanda. Artinya tanda–tanda seperti akan terjadi kecelakaan kerja 4) Dapat menduga akan timbulnya kesulitan sehingga lebih siap menghadapinya. Karena didukung oleh pengalaman kerja dimilikinya maka seorang pegawai yang berpengalaman dapat menduga akan adanya kesulitan dan siap menghadapinya.
5) Bekerja dengan tenang Seorang pegawai yang berpengalaman akan memiliki rasa percaya diri yang cukup besar (Asri, 1986). Selain itu ada juga beberapa faktor yang mempengaruhi pengalaman kerja karyawan. Beberapa faktor lain mungkin juga berpengaruh dalam kondisi – kondisi tertentu, tetapi adalah tidak mungkin untuk menyatakan secara tepat semua faktor yang dicari dalam diri karyawan potensial . beberapa faktor tersebut adalah : 1) Latar belakang pribadi, mencakup pendidikan, kursus, latihan, bekerja. Untuk menunjukkan apa yang telah dilakukan seseorang di waktu yang lalu. 2) Bakat dan minat, untuk memperkirakan minat dan kapasitas atau kemampuan seseorang. 3) Sikap dan kebutuhan (attitudes and needs) untuk meramalkan tanggung jawab dan wewenang seseorang. 4) Kemampuan – kemampuan analitis dan manipulatif untuk mempelajari kemampuan penilaian dan penganalisaan. 5) Keterampilan dan kemampuan tehnik, untuk menilai kemampuan dalam pelaksanaan aspek – aspek tehnik pekerjaan (Handoko, 1984). Ada beberapa hal juga untuk menentukan berpengalaman tidaknya seorang karyawan yang sekaligus sebagai indikator pengalaman kerja yaitu. (1) Lama waktu/ masa kerja. Ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah ditempuh seseorang dapat memahami tugas – tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakan dengan baik. (2) Tingkat
pengetahuan
dan
keterampilan
yang
dimiliki.
Pengetahuan merujuk pada konsep, prinsip, prosedur, kebijakan atau informasi lain yang dibutuhkan oleh karyawan. Pengetahuan juga mencakup kemampuan untuk memahami dan menerapkan informasi pada tanggung jawab pekerjaan. Sedangkan keterampilan
merujuk pada kemampuan fisik yang dibutuhkan untuk mencapai atau menjalankan suatu tugas atau pekerjaan. (3) Penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan. Tingkat penguasaan seseorang dalam pelaksanaan aspek – aspek tehnik peralatan dan tehnik pekerjaan. (Foster, 2001). Uraian di atas menjelaskan, bahwa seorang karyawan yang berpengalaman akan memiliki gerakan yang mantap dan lancar, gerakannya berirama, lebih cepat menanggapi tanda – tanda, dapat menduga akan timbulnya kesulitan sehingga lebih siap menghadapinya, dan bekerja dengan tenang serta dipengaruhi faktor lain yaitu : lama waktu/masa kerja seseorang, tingkat pengetahuan atau keterampilan yang telah dimiliki dan tingkat penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan. Oleh karena itu seorang karyawan yang mempunyai pengalaman kerja adalah seseorang yang mempunyai kemampuan jasmani, memiliki pengetahuan, dan keterampilan untuk bekerja serta tidak akan membahayakan bagi dirinya dalam bekerja.
2.3 Keaslian Penelitian Ditinjau dari segi studi mobilitas penduduk, sampai saat ini studi-studi tentang mobilitas penduduk nonpermanen relatif lebih langka daripada studi mobilitas penduduk permanen atau migrasi (Sudibia, 2007). Namun beberapa penelitian-penelitian yang berkaitan dengan pemberian remitan kepada keluarga didaerah asal telah banyak dilakukan, baik dalam lingkup regional, nasional dan mancanegara. Fokus masalah dan alat analisis yang digunakan berbeda-beda disesuaikan dengan masalah yang diteliti. Penelitian – penelitian terdahulu antara lain. Murjana Yasa (1993), penelitian yang berjudul jam kerja, Pendapatan, dan pengeluaran Pekerja Migran Non Permanen di Daerah Wisata Denpasar Barat
menyimpulkan, bahwa pengeluaran konsumsi makanan diantaranya dipengaruhi oleh pendapatann yang siap dibelanjakan, lama tinggal,, jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tangga dan pendidikan. Teknik analisa datanya menggunakan analisis regresi sederhana.
Dimana hasil dari penelitian tersebut adalah, keempat variabel itu
berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi makanan dari rumah tangga migran, artinya makin tinggi pendapatan maka pengeluaran konsumsi juga meningkat. Sedangkan konsumsi non makanan, selain ditentukan oleh keempat faktor itu juga ditentukan daerah asal migran dan jenis pekerjaan. Pada migran yang berasal dari Jawa Timur misalnya, rata-rata mengalokasikan pendapatan lebih sedikit untuk keperluan non makanan dibandingkan daerah asal provinsi provinsi lain di Indonesia. Sebaliknya migran pada pekerjaan kantoran misalnya, rata-rata mengeluarkan lebih banyak untuk konsumsi non makanan disbandingkan dengan migran yang bekerja sebagai pekerja kasar. Perbedaan penelitian ini adalah pada variabel dependen menggunakan variabel lama tinggal, jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tangga sebagai variabel bebas sedangkan pada penelitian ini menggunakan pendapatan dan pendidikan sebagai variabel bebas. Giri (2003), penelitian yang berjudul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengeluaran Konsumsi Pekerja Migran Non Permanen di Kota Denpasar. Penelitian ini menggunakan teknik analisis yang digunakan adalah regresi linier sederhana, regresi linier berganda, uji asumsi klasik, uji F, uji t dan analisis variabel yang dominan. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hasrat konsumsi marginal pekerja migrant nonpermanen di Kota Denpasar tergolong rendah. Dilihat dari daerah hasrat konsumsi marginal para pekerja migran nonpermanen asal Bali lebih tinggi dibandingkan engan hasrat mengkonsumsi tambahan para pekerja migran non permanen asal luar Bali. Secara parsial besarnya pengeluaran konsumsi pekerja migran nonpermanen di Kota Denpasar
di pengaruhi oleh pendapatan, sedangkan
variabel lain dalam model yaitu jumlah
anggota keluarga, pendidikan, umur, jenis keamindan daerah asal para migran tidak berpengaruh secara signifikan. Namun apabila di lihat dari daerah asal apabila pengeluaran konsumsi rumah tangga para pekerja migran nonpermanen asal Bali hanya dipengaruhi oleh pendapatan, sedangkan untuk migran asal luar Bali selai pendapatan, jumlah anggota keluarga juga berpengaruh signnifikan terhadap variabel dalam pengeluaran konsumsi rumah tangga migran. Secara simultan keseluruhan variabel yang diestimasi seperti pendapatan, jumlah anggota keluarga, pendidikan, umur, jenis kelamin dan daerah asal migran juga berpengaruh secara signifikan terhadap pengeluaran konsumsi pekerja migran asal Bali maupun dari luar Bali. Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah dimana pada penelitian terdahulu menggunakan pengeluaran konsumsi pekerja migran nonpermanen sebagai variabel terikat. Perbedaan penelitian ini adalah pada variabel bebas yang digunakan dan pada lokasi penelitian. Mulyadi (2004), penelitian berjudul Dampak Mobilitas Penduduk Terhadap Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Masyarakat Di Daerah Asal Migran (Studi Kasus Pada Dua Desa di Kabupaten Karangasem), teknik analisa data pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan teknik analisis regresi linier berganda yang menyimpulkan nilai remitan terhadap pendapatan rumah tangga migran di desa lebih besar dibandingkan di kota. Berdasarkan hasil analisis uji beda dengann uji t pendapatan rumah tangga migran dengan non migran berbeda secara signifikan baik di desa, di kota maupun secara total. Pendapatan rumah tangga migran relatif lebih tinggi dari pada non migran baik di desa, di kota maupun secara total. Rata-rata pendapatan rumah tangga migran di desa lebih besar dibandingkan non migran di desa. Rata-rata pendapatan rumah tangga migran di kota lebih besar dibandingkan non migran di kota. Kemudian pendapatan
rumah tangga migran total juga lebih besar dibandingkan dengan non
migran total. Adanya remitan memberi dampak yang positif terhadap pemerataan distribusi pendapatan rumah tangga migran di daerah asal. Pemanfaatan remitan oleh rumah tangga di desa kebanyakan dipergunakan untuk merawat orang tua, iuran pembangunan di banjar/desa, kebutuhan sehari-hari, lainnya, membangun rumah dan biaya sekolah. Pemanfaatan remitan oleh rumah tangga di kota sebagian besar dipergunakan untuk
membayar iuran bangunan di banjar/desa, untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, merawat orang tua dan lainnya, membantu saudara dan membangun rumah. Adanya migrasi penduduk memberikan dampak yang positif berupa meningkatnya pendapatan rumah tangga migran yang dibarengi dengan distribusi pendapatan rumah tangga migran yang semakin merata. Mantra (1994) mengemukakan buruh-buruh bangunan yang berasal dari Jawa Timur yang bekerja di proyek pariwisata Nusa Dua Bali, tinggal di bedeng-bedeng yang kumuh untuk mengurangi pengeluaran akomodasi. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim ditemukan pada tukang becak di Yogyakarta yang berasal dari Klaten pada waktu malam hari tidur di becaknya untuk menghindari pengeluaran sewa pondokan. Begitu pula tenaga kerja yang berasal dari Jawa Timur yang bekerja sebagai buruh panen padi di Kabupaten Tabanan dan sekitarnya tinggal di tenda – tenda pinggiran sawah untuk mengurangi biaya pondokan. Apabila cuaca memungkinkan mereka akan bekerja siang dan malam hari agar pendapatan yang dibawa atau dikirim ke daerah asal semakin besar (Sudibia, 2004). Sili Antari (2008) dalam penelitiannya tentang pekerja migran nonpermanen di dua kelurahan di Kabupaten Badung mendapatkan hasil bahwa remitan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengeluaran konsumsi pekerja migran nonpermanen di Kabupaten Badung, sehingga mendukung hasil penelitian ini pula. Adapun pengeluaran terbesar para pekerja migran nonpermanen ini dialokasikan untuk keperluan konsumsi
(makan) dan rokok
sebagian kecil untuk pengeluaran tempat tinggal, baju dan
keperluan-keperluan lainnya seperti membayar iuran administrasi, membayar cicilan hutang dan sebagainya. Untuk keperluan konsumsi makan, ditengah melambungnya harga kebutuhan pokok, rata-rata pengeluaran perhari mereka adalah sebesar Rp. 19.130,00 atau 38,08 persen dari pendapatan bagi pekerja migran asal NTB dan Rp. 18.535,00 atau 34,88 persen dari pendapatan bagi pekerja migran asal Jawa dan itu pun harus dicukupkan untuk kebutuhan makan minimal 3 (tiga) kali sehari dengan lauk pauk seadanya. Adapun pengeluaran konsumsi untuk makanan mencapai 60 persen dari keseluruhan
total pengeluaran, sedangkan sisanya dialokasikan untuk pengeluaran
konsumsi non makanan seperti rokok dan sebagainya. Tarigan (2001) dalam penelitiannya pada komunitas migran di perkebunan teh rakyat di daerah Jawa Barat, yang mengkaitkan proses adaptasi sebagai suatu keberlangsungan dalam mendapatkan kesempatan kerja melalui hubungan kekerabatan yang sudah terjalin sejak di daerah asal. Proses adaptasi pekerja migran dipercepat oleh aksi peran migran terdahulu dengan penerapan bentuk kehidupan desa sama seperti di daerah asal. Dari beberapa penelitian di atas, terdapat persamaan dalam penelitian ini terutama mengambil referensi sebagai bahan masukan dalam penelitian ini dan fokusnya adalah beberapa faktor yang mempengaruhi pemberian remitan kepada keluarga di daerah asal oleh pekerja migran nonpermanen, seperti remiten dan pendapatan sebagai variabel penelitian. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah kekhususan penelitian yang fokus terhadap pekerja migran nonpermanen, lokasi penelitian seperti penelitian terdahulu dilakukan di daerah asal migran sedangkan pada penelitian ini dilakukan di daerah tujuan migran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian ini dapat dilanjutkan untuk melengkapi penelitian sebelumnya.