BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak 2.1.1
Pengertian Pajak Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat penting, disamping minyak dan gas bumi. Hal ini dapat diketahui dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bahwa setiap tahun,
pajak
merupakan
sumber
penghasilan
terbesar
bagi
Pemerintah. Ada beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro dalam buku Mardiasmo (2006:1) bahwa : Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Sedangkan menurut Suandy (2006:5) mengatakan bahwa pajak merupakan pungutan berdasarkan undang-undang oleh Pemerintah, yang sebagian dipakai untuk penyediaan barang dan jasa publik. Berdasarkan definisi Soemitro dan Suandy diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur :
8
1) Iuran dari rakyat kepada negara Negara berhak memungut pajak berupa uang (bukan barang) sebagai iuran rakyat kepada negara. 2) Berdasarkan Undang-undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undangundang serta pelaksanaannya. 3) Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Pembayaran pajak, tidak dapat ditunjuk adanya kontraprestasi individual oleh Pemerintah. 4) Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Dari dua pengertian pajak diatas dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki beberapa unsur penting seperti berikut ini : a) Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. luran tersebut berupa uang (bukan barang). b) Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. c) Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan
adanya
kontraprestasi
individual
oleh
Pemerintah. d) Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
9
2.1.2
Fungsi Pajak Terdapat dua fungsi pajak, yaitu : a) Fungsi budgetair Pajak sebagai sumber dana bagi Pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. b) Fungsi mengatur (regulerend) Pajak
sebagai
alat
untuk
mengatur
atau
melaksanakan
kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contoh : Tarif pajak ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia. 2.1.3
Jenis Pajak Menurut
Mardiasmo
(2006:5) jenis-jenis
pajak
yang dapat
dikenakan dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan yaitu : a) Menurut sifatnya Menurut sifatnya pajak dapat dibedakan menjadi : (1) Pajak langsung yaitu pajak-pajak sendiri
oleh
wajib
pajak
yang harus dipikul dan
tidak
dapat
dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu, misalnya : Pajak Penghasilan (PPh). (2) Pajak tidak langsung yaitu pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada
10
hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja, misalnya: Pajak Pertambahan Nilai (PPN). b) Menurut sasarannya/objeknya Menurut
sasarannya
atau
objeknya
pajak
dapat
dibagi
menjadi : (1) Pajak subjektif yaitu jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama
memperhatikan
keadaan
pribadi
WP
(subjeknya). Setelah diketahui keadaan subjeknya barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai daya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak, misalnya : Pajak Penghasilan (PPh). (2) Pajak objektif yaitu jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan atau melihat objeknya. Baik berupa keadaan perbuatan atau peristivva yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui objeknya barulah dicari subjeknya
yang mempunyai
hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui, misalnya : Pajak Pertambahan Nilai (PPN). c) Menurut lembaga pemungutannya Menurut lemhaga pemungutannya jenis pajak dapat dibagi menjadi : (1) Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut dan dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini dikelola oleh Direktorat
11
Jendral Pajak - Departemen Keuangan, meliputi : PPh, PPN, PPn BM, Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). (2) Pajak daerah yaitu pajak yang dipungut dan dikelola oleh Pemerintah Daerah baik tingkat propinsi maupun Kabupaten /Kota. Pajak yang dikelola oleh Pemerintah Propinsi misalnya : pajak kendaraan bermotor, sedangkan pajak yang dikelola oleh Daerah Kabupaten / Kota meliputi : Pajak Hotel dan Restoran (PUR), pajak reklame, pajak penerangan jalan.
2.2 Pengertian Pajak Penghasilan Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1991, Undang-undang No. 10 Tahun 1994 dan Undang-undang No. 17 Tahun 2000 pasal 1 yang dimaksud dengan pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak. 2.2.1
Subjek Pajak Penghasilan Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memenuhi persyaratan subjektif dan menurut ketentuan peraturan perundangundangan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan. Dalam Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2000 subjek pajak dalam pajak penghasilan dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu :
12
a) Subjek pajak dalam negeri yang terdiri dari orang pribadi, warisan yang belum dibagi, dan badan Perseroan Terbatas (PT), yayasan atau organisasi-organisasi sejenis, koperasi, BUMN, BUMD, Perseroan Komanditer (CV), persekutuan, perkumpulan, kongsi, Firma, Dana Pensiunan dan bentuk badan usaha lain. b) Subjek pajak luar negeri yang terdiri dari Badan Usaha Tetap (BUT) yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi luar negeri atau badan luar negeri untuk melakukan usaha di Indonesia dan Non BUT. Sedangkan yang bukan merupakan subjek pajak menurut Pasal 3 Undang-undang No. 17 Tahun 2000 adalah badan perwakilan negara asing, organisasi internasional yang ditetapkan Menteri Keuangan, pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat, pejabat lain dari negara asing, orang yang diperbantukan, bekerja dan tinggal dengan mereka, serta pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 2.2.2
Objek Pajak Penghasilan Didalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang pajak penghasilan dalam Pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa : Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
13
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dari pengertian tersebut berarti setiap tambahan kemampuan ekonomis dikenakan pajak tanpa meneliti dari mana sumbernya dan untuk apa kemampuan tersebut dipergunakan. Tambahan kemampuan ekonomis ini akan dikenakan pajak bila telah direalisasi yaitu telah dijual atau dialihkan kepada pihak lain, atau dengan kata lain jika telah dicatat berdasarkan basis akuntansi yang dipakai oleh Wajib Pajak Badan yang bersangkutan. Pengertian tambahan kemampuan ekonomis
sebagai
penghasilan
disini
merupakan
pengertian
penghasilan secara materiil. Jadi untuk menentukan ada tidaknya dan besarnya penghasilan harus didasarkan atas keadaan materiil yang sesungguhnya. Yang termasuk objek pajak dalam UU No. 17 Tahun 2000, antara lain : a) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima
atau
diperoleh
termasuk
gaji,
upah,
tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. b) Hadiah
dari
undian
dan penghargaan. c) Laba usaha
14
atau
pekerjaan
atau
kegiatan
d) Keuntungan
karena
penjualan
atau
karena
pengalihan
harta termasuk : (1) Kemampuan
karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. (2) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota. (3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha. (4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau pengusahaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. e) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. f) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian uang.
15
g) Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian sisa hasil usaha koperasi. h) Royalti i) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. j) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. k) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. l) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. m) Premi asuransi n) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, sepanjang iuran tersebut ditentukan berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan bebas anggotanya. o) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, sepanjang iuran tersebut ditentukan berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan bebas anggotanya. p) Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Di dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan juga diberikan batasan-batasan terhadap penghasilan yang tidak dikenakan pajak penghasilan atau penghasilan yang bukan merupakan objek penghasilan.
16
Adapun penghasilan yang bukan merupakan objek pajak penghasilan adalah sebagai berikut : a) Bantuan/sumbangan, harta hibahan untuk keluarga sedarah dalam garis keturunan satu derajat, harta hibahan yang diterima oleh badan keagamaan, badan sosial, pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. b) Warisan c) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. d) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah. e) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa. f) Deviden atau hagian laba yang diterima oleh PT. Koperasi, Yayasan, atau organisasi sejenis, dan BUMN/BUMD dari penyertaan modalnya pada badan usaha yang didirikan di Indonesia. g) luran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleb Menteri Keuangan, baik yang
17
dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai, dan penghasilan dari modal yang ditanamkan dalam bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. h) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi. i) Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana. j) Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pangsa usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan usaha tersebut : (1) Merupakan
pengusaha
kecil,
menengah,
atau
yang
menjalankan kegiatan dalam sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan (2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 6 ayat 1 UU No. 17 Tahun 2000 tentang pajak penghasilan menyatakan bahwa yang termasuk dalam pengertian beban yang dapat mengurangi penghasilan bruto adalah sebagai berikut : a) Biaya
untuk
mendapatkan,
menagih,
dan
memelihara
penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa (upah, gaji, honorarium, dan
18
tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang), bunga sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, pajak kecuali pajak penghasilan, dan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. b) Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud, dan amortisasi atas pengeluaran untuk hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. c) Iuran kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. d) Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. e) Kerugian karena selisih kurs mata uang asing. f) Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia. g) Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan. h) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. Sedangkan berdasarkan ketentuan dalam pasal 9 ayat 1 UU No. 17 Tahun 2000 menyatakan bahwa yang termasuk beban yang tidak dapat dikurangi dari penghasilan bruto adalah : a) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden, termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan
19
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. b) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota. c) Pembentukan atau penumpukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk pertambahan usaha yang ketentuan dan syaratsyaratnya akan ditentukan oleh Menteri Keuangan. d) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan Wajib Pajak yang bersangkutan. e) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali didaerah (tertentu dan berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan. f) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan. g) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan.
20
h) Pajak penghasilan. i) Biaya yang dikenakan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya. j) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. k) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
2.3 Tinjauan Umum Perencanaan Pajak 2.3.1
Pengertian Tax Planning Pengertian perencanaan pajak (tax planning) menurut Zain (2003:43) adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak lainnya, berada pada posisi yang minimal, sepanjang hal ini dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan maupun secara komersial.
2.3.2
Langkah-langkan Tax Planning Tax planning merupakan hagian dari manajemen pajak dan merupakan upaya legal yang dilakukan oleh wajib pajak dengan cara memanfaatkan hal-hal yang tidak diatur (loop holes) oleh undangundang perpajakan (Zain 2003:70). Adanya celah-celah yang tidak diatur didalam peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut,
21
dapat ditempuh langkah-langkah dalam melakukan tax planning, yaitu : 1) Menetapkan sasaran atau tujuan manajemen pajak, yang meliputi: (a) Usaha-usaha mengefisiensikan beban pajak yang masih dalam ruang lingkup pemajakan dan tidak melanggar ketentuan undang-undang perpajakan. (b) Mematuhi segala ketentuan administrasi, sehingga terhindar dari pengenaan sanksi-sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana, seperti bunga, kenaikan, denda dan hukuman kurungan/penjara. (c) Melaksanakan secara efektif segala ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan
yang
terkait
dengan
pelaksanaan pemasaran, pembelian dan fungsi keuangan, seperti pemotongan dan pemungutan pajak (PPh pasal 21, pasal 22 dan pasal 23). 2) Situasi
sekarang
dan
identifikasi
pendukung
dan
penghambat tujuan, yang terdiri dari: a) Identifikasi faktor lingkungan perencanaan pajak jangka panjang. Dalam hal ini, perencanaan pajak jangka panjang memiliki sifat yang permanen yang secara eksplisit terdapat dan melekat pada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Faktor ini merupakan parameter-parameter yang berpengaruh terhadap perencanaan jangka panjang.
22
b) Etika kebijakan perusahaan dan ketentuan yang jelas mengenai fungsi dan tanggung jawab manajemen perpajakan serta memiliki manual tentang ketentuan dan tata cara manajemen perpajakan yang berlaku bagi seluruh personil perusahaan. c) Strategi dan perencanaan pajak yang terintegrasi dengan perencanaan perusahaan jangka pendek maupun jangka panjang. 3) Pengembangan rencana atau perangkat tindakan untuk mencapai tujuan, dilakukan antara lain dengan cara mengadakan: a) Sistem informasi yang memadai dalam kaitannya dengan penyampaian perencanaan keefektifan pengendalian pajak penghasilan dan pajak-pajak lainnya, seperti pencantuman masalah-masalah perpajakan dalam setiap kontrak bisnis, sehingga tidak terjadi pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal-hal
ini sangat erat
kaitannya dengan sistem akuntansi perusahaan. b) Mekanisme monitor,
pengendalian
dan penyesuaian
sedemikian rupa sehingga modifikasi rencana dan tindakan dapat dilakukan tepat waktu. 2.3.3
Cara-cara yang dipertimbangkan untuk menghemat pajak Cara dan ide yang dapat dipertimbangkan untuk menghemat pajak antara lain (Suandy, 2006:125):
23
1) Mengambil keuntungan dari berbagai pilihan bentuk badan hukum (legal entity) yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan jenis usaha. Bila dilihat dari perpektif perpajakan, terkadang pemilihan bentuk badan hukum bentuk perseorangan, firma dan kongsi (patnership) adalah bentuk yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan perseoran terbatas. 2) Memiliki lokasi perusahaan yang akan didirikan. Umumnya pemerintah memberikan pajak secara insentif / fasilitas perpajakan khususnya untuk daerah tertentu (misalnya di Indonesia Bagian Timur), banyak pengurangan pajak penghasilan yang diberikan sebagaimana diatur dalam pasal 26 Undangundang Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000. 3) Mengambil keuntungan sebesar-besarnya atau semaksimal mungkin dari berbagai pengecualian, potongan atau pengurangan atas penghasilan kena pajak yang diperbolehkan oleh undangundang. 4) Memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk uang atau natura dan kenikmatan (fringe benefit) dan sebagai salah satu pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum (shift to low bracket). Karena pada dasarnya pemberian dalam bentuk kenikmatan/natura dapat dikurangkan sebagai biaya oleh pemberi kerja sepanjang pemberian tersebut diperhitungkan sebagai
24
penghasilan
yang
dikenakan
pajak
bagi
pegawai
yang
menerimanya. 5) Pemilihan metode persediaan, ada dua metode penilaian persediaan yang diizinkan oleh peraturan perpajakan, yaitu metode rata-rata dan metode masuk pertama keluar pertama (first in first out). Dalam kondisi perekonomian yang cenderung mengalami inflasi, metode rata-rata (average) akan menghasilkan harga pokok penjualan yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode masuk pertama keluar pertama (first in first out). Harga Pokok Penjualan (HPP) yang lebih tinggi akan mengakibatkan laba kotor menjadi kecil sehingga penghasilan kena pajak juga akan menjadi lebih kecil. 6) Melalui pemilihan metode penyusutan yang diperbolehkan peraturan perpajakan yang berlaku. Jika perusahaan mempunyai prediksi laba yang cukup besar maka dapat dipakai metode penyusutan yang dipercepat (saldo menurun) sehingga atas biaya penyusutan tersebut dapat mengurangi laba kena pajak dan sebaliknya jika diperkirakan pada awal-awal tahun investasi belum bisa memberikan keuntungan atau timbul kerugian maka pilihannya adalah menggunakan metode penyusutan yang memberikan biaya yang lebih kecil (garis lurus) supaya biaya penyusutan dapat ditunda untuk tahun berikutnya.
25
7) Menghindari dari pengenaan pajak dengan mengarahkan pada transaksi yang bukan objek pajak. Sebagai contoh, untuk jenis usaha PPh badannya dikenakan pajak secara final, maka efisiensi PPh 21 karyawan dapat dilakukan dengan cara memberikan semaksimal mungkin tunjangan karyawan dalam bentuk natura, mengingat pemberian natura bukan merupakan objek PPh Pasal 21.
2.4 Saat Pembayaran Pajak dan Saat Pelaporan Pajak Penghasilan 2.4.1
Saat Pembayaran Pajak Pembayaran pajak dilakukan dengan menggunakan media Surat Setoran Pajak (SSP). Adapun fungsi SSP adalah sebagai sarana membayar pajak dan sebagai bukti serta laporan pembayaran pajak. Surat Setoran Pajak yang digunakan terdiri dari 5 lembar yaitu : 1. Lembar 1 : untuk arsip Wajib Pajak. 2. Lembar 2 : untuk Kantor Kas Pajak melalui Kantor Penerimaan Keuangan Negara. 3. Lembar 3 : untuk dilaporkan oleh wajib pajak ke Kantor Pelayanan Pajak. 4. Lembar 4 : untuk Bank Persepsi/Kantor Pos dan Giro. 5. Lembar 5 : untuk arsip wajib pungut atau pihak lain. Batas waktu pembayaran atau penyetoran pajak penghasilan dapat dilihat pada Tabel 2.1 scbagai berikut :
26
Tabel 2.1 Batas Waktu Pembayaran / Penyetoran Penghasilan
Pajak
Jenis PPh
Batas Pembayaran
Pembayaran Masa : PPh Pasal 21
Selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwin berikutnya setelah masa pajak berakhir. Dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan Tanggal yang sama dengan tanggal pembayaran atas penyerahan barang yang di biayai dari Belanja Negara.
PPh Pasal 22 – Bea Cukai PPh Pasal 22 Bendaharawan PPh Pasal 23 dan 36
Selambat-lambarnya tanggal 10 bulan takwin berikutnya setelah bulan saat terhutangnya pajak. PPh Pasal 25 Selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwin berikutnya setelah masa pajak berakhir. Pembayaran Tahunan PPh Selambat-lambatnya tanggal 25 bulan Pasal 29, pajak kurang ketiga setelah tahun pajak berakhir, bayar akhir tahun sebelum SPT disampaikan. Sumber : Kep. Men Keu. No. 541/KMK. 04/2000
2.4.2
Saat Pelaporan Pajak Penghasilan Pajak dilaporkan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT). Adapun fungsi surat pemberitahuan bagi wajib pajak penghasilan adalah : sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
perhitungan
jumlah
pajak
yang
sebenarnya terutang, untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak dilaksanakan sendiri dan untuk melaporkan pajak dari pemotongan atau pemungutan pajak yang telah dilakukan dalam satu masa pajak.
27
1) SPT Masa SPT masa yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu masa pajak atau bulan, untuk PPh Pasal 25, pelaporan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). 2) SPT Tahunan SPT Tahunan digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan perhitungan pajak yang terhutang dalam suatu pajak tahunan. Sedangkan mengenai formulir SPT Tahunan PPh wajib pajak orang pribadi dan atau wajib pajak badan serta batas waktu penyampaian SPT tersebut dapat dijelaskan berikut ini : (a) Formulir SPT Tahunan PPh wajib pajak SPT Tahunan PPh wajib pajak orang pribadi menggunakan formulir 1770, sedangkan SPT Tahun PPh wajib pajak Badan menggunakan formulir 1771. (b) Batas waktu penyampaian SPT Adapun batas waktu penyampaian surat pemberitahuan dapat dilihat pada Tabel 2.2.
28
Tabel 2.2 Batas Waktu Pelaporan Pajak Penghasilan Jenis Pajak Penghasilan Pelaporan masa - PPh Pasal 21 - PPh Pasal 22 - Bea dan Cukai - PPh Pasal 22Bendaharawan - PPh Pasal 23 dan 26 - PPh Pasal 25 Pelaporan Tahunan
Batas Pelaporan Selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir. Selambat-lambatnya 14 hari setelah masa pajak berakhir. Selambat-lambatnya 14 hari setelah masa pajak berakhir. Selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir. Selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir. Selambat-lambatnya 3 bulan setelah akhir tahun pajak (biasanya tanggal 31 Maret tahun berikutnya).
Sumber : Kep. Men Keu. No. 541/KMK.04/2000
2.4.3
Pengertian dan Tujuan Perencanaan Pajak (Tax Planning) Perencanaan pajak adalah proses dengan memperhatikan aspek perpajakan tanpa mengesampingkan pertimbangan aspek non pajak yang signifikan dengan maksud menentukan apakah, kapan, bagaimana dengan siapa melakukan transaksi, kegiatan dan hubungan dengan tujuan mengoptimalkan beban pajak atau objek dan subjek pajak dalam rangka mengamankan tujuan-tujuan perusahaan. Pada umumnya tax planning menunjuk kepada proses merencanakan usaha dan transaksi wajib pajak, sehingga hutang pajaknya berada dalam jumlah minimal sesuai dengan ketentuan perpajakan. Namun sebetulnya perencanaan pajak dapat pula mempunyai konotasi positif konstruksi dalam arti perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar dan tepat
29
waktu, sehingga dapat dihindari pemborosan sumber daya secara optimal. Perencanaan perpajakan umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi atau fenomena terkena pajak. Kalau fenomena tersebut terkena pajak, selanjutnya apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran pajak yang dimaksud dapat ditunda pembayarannya dan lain sebagainya. Wajib pajak akan membuat rencana pengenaan pajak atas setiap tindakan (taxable events) secara seksama. Dengan demikian bisa dikatakan bahvva tax planning adalah proses pengambilan tax factor yang relevan dan non factor yang material untuk menentukan apakah, kapan, bagaimana dan dengan siapa melakukan transaksi, operasi dan hubungan dagang yang memungkinkan tercapainya beban
pajak
pada
tax
events
yang
serendah-rendahnya
memungkinkan tercapainya tujuan perusahaan. Untuk dapat melaksanakan perencanaan pajak secara sehat dan benar, manajemen perlu memahami aspek formal administratif dan material substantif dari Undang-undang perpajakan. Perencanaan pajak yang sehat, dapat mengeliminir pemborosan sumber dana perusahaan, karena diberlakukannya sanksi perpajakan. Karena pajak lebih mengutamakan substansi suatu fenomena dari pada bentuk formalnya, serta melihat setiap perbuatan selaras dengan jiwa ketentuan perpajakan, maka perencanaan yang sehat harus bebas dari
30
rekayasa formal yang mengundang sanksi pidana yang berdampak pada pemborosan (kerugian financial dan psikologis). Sepanjang tax planning ditujukan untuk keperluan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar dan tepat waktu untuk menghindari pemborosan sumber daya perusahaan akibat sanksi baik administrai (berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak) maupun sanksi pidana, maka tax planning disini berbeda dengan tax avoidance. Akan tetapi jika tujuan dari tax planning adalah merekayasa agar beban pajak (tax burden) serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada, tetapi berbeda dengan tujuan pembuat undang-undang maka tax planning disini sama dengan tax avoidance. Karena secara hakekat ekonomis kedua-duanya berusaha untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak (after tax return) karena pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia baik untuk
dibagikan
kepada
pemegang
saham
maupun
untuk
diinvestasikan kembali. Apabila tax planning dilakukan secara ilegal dan dikemudian hari melalui pemeriksaan oleh fiscus diketahui hal tersebut, maka akan dikenakan sanksi baik berupa sanksi administrasi maupun sanksi pidana, yang dengan demikian tujuan awal dilakukan tax planning tidak akan tercapai malah menimbulkan kerugian baik material maupun moril. Adapun tujuan dari tax planning yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau wajib pajak adalah untuk meningkatkan efisiensi
31
pengelolaan pajak untuk mendapatkan alternatif terbaik dalam hal penghematan pajak yang tidak melanggar ketentuan. .Dengan tujuan agar
dapat
meminimalisasi
hambatan
dari
sektor
pajak
dan memaksimalkan pertumbuhan perusahaan. Suatu tax planning yang kurang baik akan menyebabkan adanya pemborosan karena adanya sanksi-sanksi administrasi dan atau pidana sehingga hal ini dapat mengurangi laba setelah pajak atau laba ditahan dan menghambat pertumbuhan, sehingga akan menyebabkan kinerja suatu usaha menjadi tidak optimal. 2.4.4
Aspek Perencanaan Dalam Pajak Perencanaan pajak merupakan bagian dari manajemen pajak. Menurut Sophar (2000 : 485) manajemen pajak dapat didefinisikan sebagai memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar, tetapi jumlah pajak dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Manajemen memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut : 1) Perencanaan Pajak (tax planning) Perencanaan
pajak
adalah
tahap
pertama
dalam
penghematan pajak. Strategi penghematan pajak disusun pada saat perencanaan. Karena itu, penelitian dan pengumpulan ketentuan peraturan perpajakan dilakukan pada tahap ini. Dari penelitian tersebut akan diketahui jenis tindakan penghematan pajak. Tindakan ini legal karena penghematan pajak hanya
32
dilakukan dengan memanfaatkan hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang Perpajakan. Menurut Mardiasmo (2006 : 177)
menyatakan bahwa
manfaat perencanaan pajak adalah sebagai berikut : a) Penghematan kas keluar. perencanaan pajak dapat menghemat pajak yang merupakan biaya oleh perusahaan. b) Mengatur aliran kas, perencanaan pajak dapat mengestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat. Untuk menghemat pajak dapat dilakukan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) Memanfaatkan
secara
optimal
ketentuan-ketentuan
perpajakan yang berlaku. (2) Mengambil keuntungan dari pemilihan bentuk-bentuk perusahaan yang tepat. (3) Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sehingga dapat diatur secara keseluruhan penggunaan tarif pajak dan potensi penghasilan. (4) Menyebarkan penghasilan ke beberapa
tahun
untuk
menghindari pengenaan pajak tarif pajak tertinggi. 2) Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan Apabila telah diketahui jenis dan cara pengelakan pajak. tahap selanjutnya adalah pelaksanaan kewajiban perpajakan baik
33
secara formal atau material. Harus dipastikan bahwa pelaksanaan kewajiban itu telah memenuhi peraturan perpajakan yang berlaku. 3) Pengendalian Pajak Pengendalian pajak adalah tahap pekerjaan untuk memastikan bahwa
peraturan
perpajakan
telah
dilaksanakan.
Dalam
pengendalian dan pengaturan arus kas sangat penting dalam strategi penghematan pajak. 2.4.5
Perencanaan pajak terhadap dan kenikmatan bagi karyawan
perlakuan
biaya
natura
Dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 pasal 9 ayat 1 point
8,
disebutkan
natura/kenikmatan
tidak
bahwa dapat
pemberian dijadikan
dalam
sebagai
bentuk
pengurang
penghasilan kena pajaknya. Strategi efisiensi PPh Badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan yaitu : 1) Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak yang telah dikenakan tarif tertinggi (diatas Rp. 100 juta) dan pengenaan PPh Badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena pengeluaran ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya. 2) Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak secara final, sebaiknya memberikan kesejahteraan karyawannya dalam bentuk natura dan kenikmatan karena tidak termasuk pajak PPh
34
Pasal 21. Scdangkan pengeluaran untuk pemberian natura dan kenikmatan
tersebut tidak mempengaruhi besarnya PPh
Badan. karena PPh Badan final dihitung dari persentase penghasilan bruto sebelum dikurangi biaya-biaya. 3) Bagi perusahaan
yang masih merugi, pemberian natura
dan kenikmatan akan menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil. Menurut Suandy (2006 : 107), kesejahteraan karyawan
yang
dapat direkayasa terdiri dari : 1) PPh Pasal 21 Karyawan (a) PPh ditanggung karyawan yang bersangkutan. (b) Tunjangan PPh. (c) PPh ditanggung oleh perusahaan. 2) Pengobatan/kesehatan karyawan (a) Perusahaan
mendirikan
klinik
sendiri
atau
bekerja
sama dengan pihak rumah sakit tertentu. (b) Karyawan diberi tunjangan keschalan secara rutin baik sakit maupun tidak. (c) Karyawan diikutkan asuransi kesehatan, sehingga klaim jika sakit dialihkan ke perusahaan asuransi. 3) Pembayaran premi asuransi untuk pegawai (a) Premi ditanggung perusahaan. (b) Premi ditanggung oleh karyawan yang bersangkutan
35
(c) Premi ditanggung perusahaan dan sebagian karyawan. 4) Rumah dinas karyawan (a) Perusahaan menyediakan rumah dinas. (b) Perusahaan memberikan tunjangan perusahaan. 5) Transportasi untuk karyawan (a) Perusahaan menyediakan mobil dinas. (b) Perusahaan memberikan tunjangan transport. 6) Pakaian kerja karyawan (a) Pakaian kerja sehubungan dengan lingkungan kerja, misalnya: Satpam, seragam pegawai hotel, pilot dll. (b) Seragam karyawan pada umumnya. 7) Makanan dan natura lainnya (a) Perusahaan
memberikan
beras
atau
menyediakan
catering untuk karyawan. (b) Tunjangan beras atau uang makan. 8) Bonus dan jasa produksi (a) Dibebankan dalam tahun berjalan. (b) Dibebankan pada laba yang ditahan.
2.5 Pengertian Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal Laporan keuangan komersial merupakan ringkasan dari suatu proses pencatatan yang terdiri dari suatu transaksi-transaksi keuangan yang terjadi selama tahun buku yang bersangkutan (proses pelaporan
36
keuangan).
Laporan
ini
dibuat
oleh
manajemen
dengan
tujuan
untuk
mempertanggungjawabkan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya oleh para pemilik perusahaan. Disamping itu pula laporan keuangan digunakan untuk memenuhi tujuan lain yaitu sebagai laporan kepada pihak-pihak diluar perusahaan (Baridwan, 2000:17). Adapun laporan keuangan yang disusun pihak manajemen baik Neraca, Laporan laba rugi, laporan perubahan modal serta laporan perubahan posisi keuangan dimaksudkan untuk menyediakan informasi tentang posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan. Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan perpajakan dan digunakan untuk keperluan pajak. Undangundang Pajak tidak mengatur secara khusus bentuk dari laporan keuangan, hanya memberikan pembatasan untuk hal-hal tertentu, baik dalam pengakuan penghasilan maupun biaya. Akibat dari perbedaan pengakuan ini menyebabkan laba komersial dan laba fiskal dapat berbeda. 2.5.1
Perbedaan Laporan Keuangan Keuangan Fiskal
Komersial
dengan
Laporan
Penyusunan laporan keuangan komersial dibuat berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) untuk kepentingan berbagai pihak. Sedangkan untuk pelaporan pajak. perusahaan harus menyesuaikan laporan keuangannya dengan peraturan perpajakan yang dalam perhitungan penghasilan kena pajak dihitung setelah dilakukan penyesuaian/koreksi fiskal. Adanya perbedaan antara
37
laporan akuntansi keuangan dengan laporan akuntansi fiskal dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu (Suandy, 2006:89): 1) Perbedaan Waktu (timing differences) Beda waktu adalah perbedaan waktu pengakuan pendapatan dan beban tertentu menurut akuntansi secara komersial dan perpajakan. Perbedaan ini mengakibatkan pergeseran pengakuan penghasilan dan biaya antara satu tahun pajak ke tahun pajak lainnya. Contoh lain yang dapat menimbulkan beda waktu adalah perbedaan pengakuan terhadap: (a) Piutang (b) Tagihan/hutang dalam valuta asing (c) Harta berwujud dan tidak berwujud (d) Biaya pendirian dan perluasan usaha (e) Biaya sebelum produk komersial (f) Selisih kurs pencadangan bersyarat/pencadangan lain (g) Hak dan penambangan dan pengusahaan hutang 2) Perbedaan Permanen (permanent differences) Beda
tetap
penghasilan/biaya perundang-undangan
adalah
perbedaan
berdasarkan perpajakan
ketentuan dengan
pengakuan dan
suatu
peraturan
akuntansi
secara
komersial yang sifatnya permanen. Dengan kata lain penghasilan/ biaya tidak diakui untuk selamanya dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP). Misalnya seperti pemberian
38
kenikmatan atau natura kepada pegawai, sama sekali tidak dapat dikurangkan sebagai biaya, sedangkan bagi perusahaan hal ini merupakan biaya. Perbedaan inilah yang disebut sebagai perbedaan permanen. Hal-hal
yang
termasuk
beda
permanen
antara
lain
(Lumbantoruan, 1996:62): (a) Pemberian kenikmatan atau natura (b) Biaya jamuan tamu (c) Sumbangan (d) Rugi penarikan harta dari pemakaian (e) Pajak penghasilan pasal 26 royalti yang ditanggung oleh pemberi hasil (f) Pendapatan bunga (g) Bunga dan dividen 2.5.2
Koreksi Fiskal Penyebab terjadi perbedaan permanen dan perbedaan waktu dikarenakan oleh perbedaan konsep, cara pengukuran, dan pengakuan penghasilan dan biaya antara peraturan perpajakan dengan prinsip akuntansi berlaku umum. Untuk memperoleh laporan keuangan fiskal, maka perbedaan-perbedaan tersebut harus dikoreksi sesuai aturan
fiskal.
Maksud
dari
penyesuaian
ini
adalah
untuk
menyesuaikan laba komersial dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku sehingga diperoleh penghasilan kena pajak. Adapun
39
koreksi fiskal yang dilakukan dapat dibedakan menjadi dua jenis (Zain, 2003:242) yaitu: 1) Koreksi fiskal positif Koreksi fiskal
positif adalah koreksi-koreksi
yang akan
menyebabkan laba komersial bertambah (penghasilan kena pajak bertambah). Untuk memperoleh penghasilan kena pajak, laba komersial harus ditambah dengan koreksi-koreksi fiskal positif dan berdampak pada bertambahnya penghasilan kena pajak. 2) Koreksi fiskal negatif Koreksi fiskal negatif adalah koreksi-koreksi yang akan menyebabkan laba komersial berkurang (penghasilan kena pajak berkurang). Koreksi-koreksi ini dikurangkan terhadap laba komersial untuk memperoleh penghasilan kena pajak dan berdampak mengurangi penghasilan kena pajak.
2.6 Penelitian Sebelumnya Putu Onik Rahayu (2006) meneliti tentang peranan perencanaan pajak dalam meminimalkan beban pajak pada PT. BPR Bali Dewata. Variabel yang digunakan pendapatan, biaya, perencanaan pajak, pajak penghasilan badan. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis kuantitatif deskriptif yaitu dengan menganalisis data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud memberikan kesimpulan yang berlaku umum. Yang menjadi objek penelitian adalah laporan laba rugi komersial dcngan analisis
40
biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk disewakan dengan peraturan perpajakan yang berlaku serta penerapan perencanaan terhadap biaya natura dan kenikmatan bagi karyawan. Hasil dari penelitian adalah : 1 melalui perencanaan pajak maka diperoleh besarnya pajak penghasilan badan dengan metode Non Gross Up sebesar Rp 51.452.000,00 sedangkan dengan metode Gross Up sebesar Rp 46.348.700,00 ; 2) Apabila pajak penghasilan PPh Pasal 2 karyawan yang ditanggung perusahaan digantikan dengan memberikan tunjangan pajak maka besar pajak PPh Pasal 21 akan meningkat sebesar Rp 3.894.600,00. Jenni Warita Ginting (2006) meneliti tentang perencanaan pajak pada penghasilan badan pada PT. Khrisna Bali International Cargo yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah laporan laba rugi komersial dengan menganalisis
biaya-biaya
yang dikeluarkan
oleh perusahaan untuk
direkonsiliasi dengan peraturan perpajakan yang berlaku, dan penyetoran angsuran pajak pasal 25 setiap masanya. Adapun variabel yang digunakan yaitu : penghasilan/ pendapatan, biaya-biaya, penghasilan kena pajak, pajak penghasilan terutang. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif non statistik yaitu analisis terhadap data yang dinyatakan dalam bentuk angka yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti sehingga dapat ditarik kesimpulan. Hasil dari penelitian adalah : 1) melalui perencanaan pajak maka dipero.leh besarnya pajak penghasilan badan dengan metode Non Gross Up sebesar/ Rp dengan
metode
Gross
Up
51.452.000, 00
sedangkan
sebesar Rp 46.348.700,00 ; 2) Apabila
41
pajak penghasilan PPh Pasal 2 karyawan yang ditanggung perusahaan digantikan dengan memberikan tunjangan pajak maka besar pajak PPh Pasal 21 akan meningkat sebesar Rp 3.894.600,00. Ni Nyoman Ayu Indradewi (2006) meneliti tentang besarnya pajak terutang (PPh Badan, PPh Pasal 21, 22, 23, 25 dan PPN) tahun pajak 2004 dan 2005 pada PT. Witala Jaya Abadi. Yang menjadi objek penelitian adalah tanggal pembayaran pajak, tanggal penyampaian SPT, Pajak Penghasilan badan, Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 25 dan PPN. Variabel yang terkait : tanggal pembayaran pajak, tanggal penyampai SPT, PPh badan, PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 25, PPN. Teknik analisis data yang dipergunakan adalah teknik analisis deskriptif komparatif yaitu dengan
menggambarkan
kewajiban
perpajakan
seperti
menghitung,
memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan mekanisme pelaksanaan kewajiban perpajakan berdasarkan undang-undang. Hasil dari penelitian adalah : 1) melalui perencanaan pajak maka diperoleh besarnya pajak penghasilan badan dengan metode Non Gross Up sebesar Rp 51.452.000, sedangkan dengan metode Gross Up sebesar Rp 46.348.700,00 ; 2). Apabila pajak penghasilan PPh Pasal
21 karyawan yang ditanggung perusahaan digantikan dengan
memberikan tunjangan pajak maka besar pajak PPh Pasal 21 akan meningkat sebesar Rp 3.894.600,00. Agus Swadewa (2007) meneliti tentang Pajak Penghasilan Badan PT. Antares Bali Medika pada tahun 2005 yang seharusnya terhutang dan
42
perencanaan pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2005 yang seharusnya dilakukan oleh PT. Antares Bali Medika. Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah pajak penghasilan wajib pajak badan serta pajak pertambahan nilai pada PT. Antares Bali Medika. Variabel yang dipergunakan : penghasilan biaya, penghasilan kena pajak, pajak penghasilan yang terutang, penjualan dan Pajak Pertambahan Nilai. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis kuantitatif deskriptif yaitu dengan melakukan perhitungan berapa jumlah pajak penghasilan terutang sebelum perencanaan maupun jumlah pajak penghasilan yang terutang sebagai akibat perencanaan. Hasil dari penelitian adalah : 1) melalui perencanaan pajak
maka diperoleh besarnya pajak penghasilan badan dengan metode
Non Gross Up sebesar Rp 51.452.000 sedangkan dengan metode Gross Up sebesar Rp 46.348.700,00 ; 2). Apabila pajak penghasilan PPh Pasal 2 karyawan yang ditanggung perusahaan digantikan dengan memberikan tunjangan pajak rnaka besar pajak PPh Pasal 21 akan meningkat sebesar Rp 3.894.600,00. Ronald Ricardo Siagian (2007) meneliti tentang peranan perlakuan tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 dalam meminimalkan beban pajak pada PT. Jabato Internasional Tours and Tavel. Variabel yang diteliti adalah Pajak Penghasilan Pasal 21, tunjangan pajak dan pajak penghasilan badan. Teknik analisis yang digunakan yaitu tcknik analisis deskriptif komperatif. Hasil dari penelitian adalah : 1) melalui perencanaan pajak maka diperoleh besarnya pajak penghasilan badan dengan
43
metode
Non
Gross
Up
sebesar
Rp 51.452.000,00, sedangkan dengan metode Gross Up sebesar
Rp 46. 348. 700;) 2) Apabila pajak penghasilan PPh Pasal 21 karyawan yang ditanggung perusahaan digantikan dengan memberikan tunjangan pajak maka besar pajak PPh Pasal 21 akan meningkat sebesar Rp 3.894.600. Persamaan dari penelitian diatas dengan penelitian yang penulis lakukan adalah terletak pada tujuan penelitian dimana sama-sama ingin mengetahui besarnya pajak yang seharusnya terutang dan pengaruh perencanaan pajak dalam meminimalkan beban pajak. Sedangkan perbedaannya terletak pada lokasi penelitian, tahun penelitian dan dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan perencanaan pajak
pada
biaya
natura
dan
kenikmatan
bagi
karyawan
dalam
meminimalkan beban pajak. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 2.3 yang menjabarkan pokok permasalahan, objek penelitian, variabel penelitian, teknik analisis dan hasil dari penelitian sebelumnya.
44
Tabel 2.3 Tabel Penelitian Sebelumnya Nama (Tahun) Pt. Onik Rahayu (2006)
Pokok Permasalahan Bagaimana peranan perencanaan pajak dalam meminimalkan beban pajak pada PT. BPR Bali Dewata.
Jenis Warita Ginting (2006)
Bagaimana perencanaan pajak pada penghasilan badan PT Khrisna Bali International Cargo
Objek Penelitian Laporan laba rugi komersial dengan analisis biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk disesuaikan dengan peraturan perpajakan yang berlaku serta penerapan perencanaan terhadap biaya natura dan kenikmatan.
Laporan laba rugi komersial dengan menganalisis biayabiaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk rekonsiliasi dengan peraturan perpajakan yang berlaku dan penyetoran angsuran pajak Pasal 25 setiap masanya.
Variabel Penelitian - Pendapatan - Biaya - Pajak Penghasilan Badan
- Penghasilan/ pendapatan - Biaya-biaya - Penghasilan kena pajak - Pajak penghasilan terutang
45
Teknik Analisis
Hasil Penelitian
Teknik analisis kuantitatif deskriptif yaitu dengan menganalisis data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud memberikan kesimpulan yang berlaku umum.
- Melalui perencanaan pajak maka diperoleh besarnya pajak penghasilan badan dengan metode Non Gross Up sebesar Rp 51.452.000,00 sedangkan dengan metode Gross Up sebesar Rp 6.348.700,000 - Apabila pajak penghasilan PPh Pasal 2 karyawan yang ditanggung perusahaan digantikan dengan memberikan tunjangan pajak maka besar pajak PPh pasal 21 akan meningkat sebesar Rp 3.894.000,00
Analisis kuantitatif non statistik yaitu analisis terhadap data yang dinyatakan dalam bentuk angka yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti sehingga dapat ditarik kesimpulan
- Perencanaan pajak penghasilan dilakukan dengan cara perencanaan terhadap perlakuan biaya natura dan kenikmatan bagi karyawan diperlakukan sebagai tunjangan dan metode akuntansi pajak yang tepat untuk diterapkan yaitu metodep pajak penghasilan yang ditangguhkan sehingga dari perencanaan tersebut perusahaan dapat menghemat pajak sebesar Rp 3.411.480.00
Nama (Tahun) Ni Nyoman Ayu Indradewi (2006)
Pokok Permasalahan Berapakah besarnya pajak terutang (PPh Badan, PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 25 dan PPN) tahun pajak 2004 dan 2005.
Agus Swadawa (2007)
Berapakah pajak penghasilan badan PT. Antares Bali Medika pada tahun 2005 yang seharusnya terutang dan bagaimana perencanaan pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2005 yang seharusnya dilakukan oleh PT. Antares Bali Medika.
Objek Penelitian
Variabel Penelitian Tanggal pembayaran Tanggal Penyampaian PPh Badan PPh Pasal 21 PPh Pasal 22 PPh Pasal 23 PPh Pasal 25 PPN
Tanggal pembayaran pajak, tanggal penyampaian SPT, Pajak Penghasilan Badan, Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 25 dan PPN
-
Pajak penghasilan wajib pajak badan serta pajak pertambahan nilai pada PT. Antares Bali Medika.
- Penghasilan - Biaya - Penghasilan kena pajak - Pajak Penghasilan Terutang - Penjualan Pajak Pertambahan Nilai.
-
46
Teknik Analisis
Hasil Penelitian
Teknik analisis deskriptif komparatif yaitu degan menggambar kewajiban perpajakan seperti memperhitungkan, menyetor dan melaporkan pajak yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan mekanisme pelaksanaan kewajiban perpajakan berdasarkan UU perpajakan yang berlaku.
- Terdapat perbedaan perhitungan PPh Badan untuk tahun 2004 sebesar Rp 1.331.900 dan sebesar Rp 1.386.380 untuk tahun 2005. - Dan untuk tahun 2004 dan 2005 masih terdapat beberapa proyek yang tidak dipotong PPh Pasal 23 oleh pihak ke-3 untuk tahun 2004 sebesar Rp 35.491.936 dan tahun 2005 sebesar Rp 9.123.277.
Teknik analisis kuantitatif deskriptif yaitu dengan melakukan perhitungan berapa jumlah pajak penghasilan terutang sebelum perencanaan dan berapa jumlah pajak penghasilan terutang sebagai akibat perencanaan.
- Perusahaan dapat menghemat pajak sebesar Rp 5.081.000 apabila biaya natura berupa seragam karyawan diberikan dalam bentuk uang tunai dan ditambahkan ke dalam gaji karyawan dan dianggap sebagai tunjangan. - Bila pembayaran dan penyetoran dilakukan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku bunga Rp 82.695,31
Nama (Tahun) Ronal Ricardo Siagian (2007)
Pokok Permasalahan Bagaimana peranan perlakuan tunjangan pajak penghasilan pasal 21 dalam meminimalkan beban pajak pada PT. Jabato International Tours and Travel
Objek Penelitian Pajak penghasilan orang pribadi karyawan serta laporan pajak Penghasilan Pasal 25
Variabel Penelitian - Pajak Penghasilan Pasal 21 - Tunjangan pajak - Pajak Penghasilan Badan.
47
Teknik Analisis Teknik analisis deskriptif komparatif yaitu dengan menggambarkan dan menganalisis data yang telah terkumpul tanpa bermaksud memberikan kesimpulan yang berlaku umum.
Hasil Penelitian - Terdapat tunjangan PPh Pasal 21 metode Gross Up yang dilakukan perusahaan dapat meminimalkan beban pajak yang dibayar oleh perusahaan sebesar Rp 29.697.594,00 - Perencanaan pajak yang paling tepat adalah dengan menanggung PPh Pasal 21 atas 4 karyawan yang berpenghasilan diatas 100 juta karena pengenaan tarif PPh melebihi tarif 30 % sehingga dapat menghemat kerugian pajak pengasilan sebesar Rp 29.697.594,00