6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Kajian Teori
2.1.1. Pengertian Belajar Untuk
mengawali
pemahaman
tentang
pengertian
belajar
akan
dikemukakan beberapa definisi tentang belajar. Menurut Slameto, belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (2003: 2). Dalam Sujiono dan Sujiono (2010: 51) disebutkan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang terjadi sepanjang waktu sebagai hasil dari pengalaman. Sedangkan Hamalik berpendapat bahwa belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (2009: 36), yang berarti bahwa belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan, dan bukan suatu tujuan. Belajar juga disebut sebagai proses mengubah atau memperbaiki tingkah laku melalui latihan, pengalaman dan kontak dengan lingkungannya (Simanjuntak, dkk: 1992). Bukti bahwa seseorang telah belajar adalah adanya perubahan tingkah laku dari orang tersebut. Namun, tidak setiap perubahan tingkah laku dalam diri seseorang merupakan perubahan dalam arti belajar. Berikut ini ciri-ciri perubahan perilaku dalam pengertian belajar menurut Slameto (2003): 1. Perubahan terjadi secara sadar Seseorang yang telah belajar menyadari terjadinya perubahan itu atau paling tidak seseorang tersebut merasakan terjadinya suatu perubahan dalam dirinya. 2. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional Artinya, perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan atau proses belajar selanjutnya. Perubahan akan berlangsung terus hingga menjadi lebih baik dan sempurna.
7
3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif Perubahan akan bertambah dan bertujuan untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi, semakin banyak usaha belajar, makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh. Perubahan bersifat aktif apabila perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha individu sendiri. 4. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara Perubahan yang bersifat sementara atau terjadi hanya beberapa saat saja tidak dapat digolongkan sebagai perubahan dalam arti belajar. Perubahan yang dihasilkan karena proses belajar bersifat permanen. Jadi, tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap. 5. Perubahan dalam belajar bertujuan Ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena adanya tujuan yang ingin dicapai. Perbuatan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari. 6. Perubahan mencakup aspek seluruh tingkah laku Perubahan yang diperoleh individu setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jadi, aspek yang satu berhubungan erat dengan aspek lainnya. Jika seseorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan, dan sebagainya. Berdasarkan beberapa pengertian tentang belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku berdasarkan pengalaman maupun latihan yang dilakukan secara sadar baik langsung maupun tidak langsung.
2.1.2. Pembelajaran Matematika SD Matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau mathema yang berarti belajar atau hal yang dipelajari. Pembelajaran matematika yang diajarkan di sekolah dasar merupakan matematika sekolah yang terdiri dari bagian matematika yang dipilih untuk menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan
8
dan membentuk pribadi anak yang berpedoman pada perkembangan Ilmu Pengetahuan
dan
Tekhnologi.
Manusia
memerlukan
matematika
untuk
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, matematika memegang peranan penting dalam kehidupan. Fungsi matematika adalah sebagai media atau sarana siswa dalam mencapai kompetensi (Ekawati, 2011). Dengan mempelajari matematika, siswa diharapkan dapat menguasai kompetensi yang telah ditetapkan. Fungsi lain matematika adalah sebagai alat, pola pikir, dan ilmu pengetahuan. Adams dan Hamm dalam Wijaya (2012) menyebutkan ada empat macam pandangan tentang posisi dan peran matematika, yaitu: a. Matematika sebagai cara untuk berpikir. b. Matematika sebagai suatu pemahaman tentang pola dan hubungan. c. Matematika sebagai suatu alat. d. Matematika sebagai bahasa atau alat untuk berkomunikasi. Pembelajaran matematika juga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Pada teori Bruner dalam Hudojo (1988) menggambarkan perkembangan anak-anak melalui tiga tahap, yaitu enactive, iconic, dan simbolic. Tahap enactive adalah tahap saat anak belajar menggunakan objek secara langsung, tahap iconic belajar dengan menggunakan gambaran dari objek-objek, dan tahap simbolic merupakan tahapan memanipulasi symbol secara langsung dan tidak ada kaitannya dengan objek-objek. Piaget juga berpendapat bahwa proses berpikir manusia berawal dari berpikir konkret ke abstrak. Siswa sekolah dasar umumnya berumur sekitar 6 atau 7 tahun hingga 12 atau 13 tahun. Pemikiran anak-anak usia sekolah dasar berada pada tahap pemikiran operasional konkret karena berpikir logiknya berdasarkan atas manipulasi fisik dari objek-objek. Karena itu, dalam pembelajaran matematika yang abstrak siswa SD membutuhkan alat bantu berupa media dan alat peraga yang bersifat konkret. Pendekatan pembelajaran juga harus sesuai dengan materi yang diajarkan. Tujuan dari pembelajaran matematika tidak hanya untuk menguasai materi, menghafal rumus dan menekankan pada perolehan hasil. Pembelajaran
9
yang mementingkan hal tersebut akan berakibat hasil yang dicapai tidak akan bertahan lama dan siswa menjadi mudah lupa. Pada Permendiknas tahun 2006 tentang standar isi, disebutkan bahwa pembelajaran matematika bertujuan supaya siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep matematika secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika
dalam
membuat
generalisasi,
menyusun
bukti,
atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Ruang lingkup matematika pada satuan pendidikan sekolah dasar meliputi bilangan, pengukuran, geometri, dan pengolahan data (Depdiknas, 2006). Cakupan bilangan antara lain meliputi bilangan dan angka, perhitungan, dan perkiraan. Materi geometri meliputi bangun dua dimensi, tiga dimensi, transformasi dan simetri, lokasi dan susunan berkaitan dengan koordinat. Cakupan pengukuran berkaitan dengan perbandingan kuantitas suatu objek, penggunaan satuan ukur dan pengukuran.
2.1.3. Pembelajaran Matematika Realistik Pembelajaran matematika realistik adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan pada kebermaknaan ilmu pengetahuan (Wijaya, 2012). Pendekatan ini bertolak dari hal-hal yang nyata bagi siswa, menekankan ketrampilan proses, berdiskusi dan berargumentasi dengan teman sehingga mereka dapat menemukan
10
sendiri . Pendekatan ini berlandaskan pada RME. RME adalah teori matematika yang dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970an dengan berlandaskan pada filosofi matematika sebagai aktivitas manusia (mathematic is human activity) yang dicetuskan oleh Hans Freudenthal. Menurut Fruedenthal dalam Supinah (2008: 14), matematika adalah aktivitas yang harus dikaitkan dengan realitas dan siswa tidak dapat dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi. Pendidikan matematika harus diarahkan pada penggunaanya di berbagai situasi dan kesempatan, sehingga memungkinkan siswa menemukan kembali matematika dengan usahanya sendiri. Menurut Sofyan (2008), pendekatan realistik adalah sebuah pendekatan yang berusaha menempatkan pendidikan pada hakiki dasar pendidikan itu sendiri. Pendekatan realistik juga disebut sebagai pendekatan yang menggunakan masalah situasi dunia nyata. Pembelajaran matematika realistik adalah suatu inovasi pendidikan yang lebih memperhatikan potensi pada diri anak yang harus dikembangkan (Soedjadi dalam Ismail dkk, 2008: 9.4). Pada pembelajaran ini, guru akan mengurangi kebiasaannya “menggurui”, karena disini guru akan beralih fungsi menjadi fasilitator. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika realistik adalah suatu pembelajaran yang menggunakan hal-hal nyata, konkret sebagai awal untuk membentuk konsep matematika pada anak. Dalam pembelajaran matematika realistik, dunia nyata digunakan sebagai titik awal untuk mengembangkan konsep matematika. Menurut Blum&Niss dalam Supinah (2008:14), dunia nyata adalah segala sesuatu di luar matematika, seperti mata pelajaran lain selain matematika, atau kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar. Soedjadi dalam Ismail dkk ( 2008: 9.4) mengungkapkan bahwa orang menganggap matematika adalah “alat”. Namun, dalam pendekatan pembelajaran ini tidak menganggap matematika sebagai suatu alat. Matematika dianggap sebagai suatu aktivitas atau kegiatan manusia. Freudenthal dalam Wijaya (2012)
11
meyakini bahwa pembelajaran matematika yang menempatkan matematika sebagai suatu objek yang terpisah dari realita yang bisa dipahami siswa akan menyebabkan konsep matematika cepat dilupakan siswa. siswa juga akan mengalami kesulitan dalam menerapkan konsep matematika yang mereka pelajari. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan menempatkan pembelajaran matematika sebagai pengalaman hidup siswa. Ini bukan berarti matematika sebagai alat tidak digunakan lagi. Matematika sebagai alat tetap digunakan, hanya saja akan digunakan setelah tercapainya matematika formal. Jadi, dalam pendekatan pembelajaran matematika realistik ini kegiatan pembelajarannya dipusatkan pada anak. Karena sebisa mungkin mengusahakan agar anak aktif dan membangun sendiri pengetahuannya. Menurut Coughlin dalam Sujiono dan Sujiono (2010: 27), pendekatan yang berpusat pada anak diarahkan: (1) agar anak mampu mewujudkan dan mengakibatkan perubahan; (2) agar anak menjadi pemikir-pemikir yang kritis; (3) agar anak mampu membuat pilihan-pilihan dalam hidupnya; (4) agar anak mampu menemukan dan menyelesaikan permasalahan secara konstruktif dan inovatif; (5) agar anak menjadi kreatif, imajinatif, dan kaya gagasan; dan (6) agar anak memiliki perhatian terhadap masyarakat, negara, dan lingkungannya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dihadapkan pada bermacam-macam masalah. Masalah yang ada di sekitar anak atau masalah kesehariannya dapat digunakan untuk menjadi masalah kontekstual, khususnya masalah kontekstual yang bekaitan dengan materi yang akan diajarkan. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata tetapi bisa dalam bentuk permainan,penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna bagi siswa (Wijaya, 2012: 21). Dengan menggunakan konteks ini, siswa dilibatkan secara aktif untuk menyelesaikan permasalahan. Hasil pemecahan masalah dari siswa ini bukan hanya bertujuan untuk menemukan jawaban akhir dari permasalahan yang diberikan, tetapi juga untuk mengembangkan strategi penyelesaian yang digunakan. Manfaat lainnya adalah untuk meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa dalam belajar matematika (Kaiser dalam Wijaya, 2012).
12
Untuk dapat melaksanakan pembelajaran matematika realistik, terlebih dahulu
harus
mengetahui
prinsip-prinsip
yang
digunakan.
Pendekatan
pembelajaran matematika realistik menggunakan prinsip-prinsip RME. Ada tiga prinsip dari RME menurut Gravemeijer dalam Supinah (2008), yaitu: a. Guided Re-Invention atau menemukan kembali secara terbimbing Pada prinsip ini, bertujuan untuk memberi kesempatan bagi siswa untuk menemukan ide berdasarkan masalah kontekstual yang realistik bagi siswa dengan bantuan guru. Sebisa mungkin, siswa didorong dan ditantang untuk aktif bekerja bahkan diharapkan dapat membangun sendiri pengetahuannya. Pembelajaran tidak dimulai dengan definisi atau sifatsifat yang selanjutnya diikuti dengan contoh, tetapi dimulai dengan memberikan masalah yang nyata dan selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan menemukan sifat atau definisinya. Apabila diperlukan, dapat diberikan bimbingan. Tapi hanya pada hal yang belum dimengerti siswa, atau dapat juga dengan menggunakan pertanyaan pancingan. b. Didactical Phenomenology atau Fenomena Didaktik Prinsip ini menekankan pada pembelajaran yang bersifat mendidik dan pentingnya masalah kontekstual
dalam mengenalkan materi
matematika. Pembelajaran matematika yang biasanya hanya memberikan informasi kepada siswa dan memakai matematika yang sudah siap pakai untuk memecahkan masalah akan diubah menjadikan masalah sebagai sarana utama untuk mengawali suatu pembelajaran. Jadi, hal ini memungkinkan siswa dengan menggunakan caranya sendiri akan mencoba untuk memecahkan masalah. Masalah kontekstual dipilih dengan mempertimbangkan (1) aspek kecocokan apllikasi yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) kecocokan dengan proses re-invention yang berarti bahwa konsep atau sifat termasuk model matematika tidak disedikan guru, tetapi siswa berusaha untuk menemukannya sendiri. c. Self Developed Models atau Membangun Model Sendiri Dalam prinsip ini menunjukkan adanya fungsi “jembatan” yang berupa model. Model ini diharapkan dibangun sendiri oleh siswa. Siswa
13
bebas untuk memecahkan masalah, baik secara mandiri maupun kelompok. Hal ini memungkinkan munculnya berbagai model pemecahan masalah buatan siswa. Menurut Soedjadi dalam Supinah (2008: 18), dalam pembelajaran matematika realistik diharapkan terjadinya urutan “situasi nyata”-“model dari situasi itu”-“model ke arah formal”-“pengetahuan formal”. Inilah yang merupakan prinsip Self-developed Models. Treffers dalam Wijaya (2012: 22), merumuskan karakteristik pembelajaran matematika menjadi lima, yaitu: a. Penggunaan konteks Pembelajaran
dilakukan
dengan
menggunakan
masalah
kontekstual. Seperti telah dikatakan di atas, konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata, namun bisa dalam bentuk permainan, alat peraga,atau situasi lain yang dapat dibayangkan atau dipahami siswa. Masalah kontekstual tidak hanya dapat disajikan pada awal pelajaran, tetapi juga dapat diajikan di tengah atau bahkan akhir pembelajaran. Pemberian masalah di awal pembelajaran apabila dimaksudkan untuk membangun/menemukan konsep, definisi, operasi, maupun sifat matematika serta pemecahannya. Masalah kontekstual disajikan di tengah pembelajaran apabila dimaksudkan untuk memantapkan apa yang telah ditemukan. Dan masalah kontekstual disajikan di akhir pembelajaran apabila dimaksudkan untuk mengaplikasikan apa yang telah ditemukan. b. Menggunakan model atau jembatan Dalam hal ini, perhatian lebih diarahkan kepada pengembangan model daripada hanya mentransfer rumus. Model yang digunakan dapat berupa benda nyata, gambar, ataupun skema. Pemberian model dimaksudkan untuk menjembatani dari konkret ke abstrak maupun dari abstrak ke abstrak yang lain. Model yang mirip dengan masalah nyata disebut “model of”dan model yang mengarahkan ke pemikiran abstrak atau formal disebut “model for”.
14
c. Menggunakan kontribusi siswa Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah sehingga diharapkan munculnya strategi yang bervariasi. Karena itu, perlu sekali memperhatikan sumbangan atau kontribusi dari siswa yang mungkin saja berupa ide, gagasan, cara, ataupun jawaban. Kontribusi tersebut diharapkan dapat menyumbangkan konstruksi siswa sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal ke arah metode yang lebih formal. d. Interaktivitas Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu melainkan juga bersamaan merupakan suatu proses sosial. Proses belajar siswa akan lebih bermakna ketika siswa mengkomunikasikan hasil kerja mereka. Dalam pembelajaran, interaksi sangat diperlukan, baik antar siswa dengan siswa, maupun antara siswa dengan guru yang bertindak sebagai fasilitator. Interaksi juga mungkin terjadi antara siswa dengan sarana ataupun lingkungan. Bentuk interaksi bermacam-macam. Mulai dari diskusi, negosiasi, memberi penjelasan, atau komunikasi. Pemanfaatan interaksi
dalam
pembelajaran
matematika
dapat
mengembangkan
kemampuan kognitif dan afektif siswa. e. Keterkaitan antartopik (intertwining) Matematika merupakan ilmu yang terstruktur dengan ketat konsistensinya. Konsep matematika banyak yang memiliki keterkaitan. Keterkaitan dimungkinkan
antartopik, adanya
konsep, integrasi
operasi
sangat
antartopik.
kuat
sehingga
Bahkan
mungkin
antarmatematika dengan ilmu pengetahuan lain. Karena itu, konsepkonsep matematika tidak dikenalkan kepada siswa secara terpisah. Berdasarkan prinsip dan karakteriastik pembelajaran matematika di atas, Zahra (2010) menyusun langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran matematika realistik seperti berikut: Langkah 1: Memahami masalah kontestual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari kepada
15
siswa dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang masalah yang belum dipahami. Karakteristik pembelajaran matematika realistik (PMR) yang muncul pada langkah ini adalah menggunakan masalah kontekstual. Langkah 2: Menjelaskan masalah kontekstual. Apabila dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan memberikan petunjuk sebatas pada bagian yang belum dipahami, bukan menunjukkan penyelesaian namun bisa dengan menggunakan pertanyaan yang sifatnya memancing. Langkah 3: Menyelesaikan masalah. Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual dan memikirkan strategi pemecahan masalah. Lalu, siswa mencoba menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki sehingga mungkin bisa terdapat perbedaan penyelesaian soal antara siswa yang satu dengan yang lain. Dan guru terbatas hanya mengamati, mengobservasi, dan memberi bimbingan yang terbatas. Karakteristik PMR yang muncul adalah menggunakan model. Langkah 4: Membandingkan jawaban. Guru membentuk siswa menjadi kelompok, kemudian siswa mendiskusikan penyelesaian masalah yang tadi telah dikerjakan secara individu. Guru mengamati dan memberi bantuan jika dibutuhkan. Karakteristik PMR yang muncul yaitu interaksi. Langkah 5: Menyimpulkan. Dari hasil diskusi, guru menekankan apa yang telah dipelajari atau ditemukan oleh siswa sendiri. Jika perlu, siswa dapat membuat rangkumannya sendiri.
2.1.4. Bangun Ruang Bangun ruang adalah bagian ruang yang dibatasi oleh himpunan titik-titik yang terdapat pada seluruh permukaan bangun tersebut. Bagian-bagian bangun ruang adalah sisi, rusuk, dan titik sudut. Sisi adalah bidang pada bangun ruang yang membatasi antara bangun ruang dengan ruangan di sekitarnya. Rusuk adalah
16
pertemuan dua sisi yang berupa ruas garis pada bangun ruang. Sementara titik sudut adalah titik hasil pertemuan rusuk yang berjumlah tiga atau lebih. Jenisjenis bangun ruang yang umumnya dikenal ada balok, kubus, limas, prisma, tabung, kerucut, dan bola. Siswa SD yang masih dalam tahap berpikir konkret, sangat sulit untuk menangkap sifat atau karakteristik dari bangun ruang. Seperti kubus yang memiliki 6 sisi berbentuk persegi, 8 titik sudut. Karena itu, pembelajaran tentang bangun ruang harus dimulai dengan benda-benda yang konkret, seperti kotak kapur, tempat pensil, dan bentuk-bentuk lainnya. Baru setelah itu menuju ke bentuk-bentuk semi konkret yang berupa gambar bangun ruang. Sesuai dengan pembelajaran matematika realistik, dengan menggunakan benda-benda konkret diharapkan siswa dapat menyelidiki dan menemukan sendiri sifat-sifat bangun ruang di bawah bimbingan guru.
2.1.5. Hasil Belajar Setelah individu mengalami proses belajar, maka akan memperoleh hasil dari proses belajar. Ada beberapa definisi hasi belajar menurut para ahli yang dikutip dari blog Syamrilaode. Menurut Arifin (2001) hasil belajar merupakan indikator dari perubahan yang terjadi pada individu setelah mengalami proses belajar mengajar, dimana untuk mengungkapkannya menggunakan suatu alat penilaian yang disusun oleh guru, seperti tes evaluasi. Menurut Nasrun hasil belajar dapat diartikan sebagai suatu hasil pekerjaan yang telah dicapai dengan usaha atau diperoleh dengan jalan keuletan bekerja yang dapat diukur dengan alat ukur yang disebut dengan tes.
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2011: 22). Hamalik menyatakan bahwa hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, melainkan perubahan kelakuan (2009: 36). Hasil belajar merupakan tolok ukur untuk mengetahui keberhasilan seseorang. Tingkah laku manusia terdiri dari sejumlah aspek, diantaranya yaitu pengetahuan, pemahaman, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional,
17
hubungan sosial, jasmani, budi pekerti, dan sikap. Apabila seseorang telah melakukan perbuatan belajar, maka terjadi perubahan pada salah satu atau beberapa aspek tersebut (Sudjana: 2011: 22). Jadi, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil yang dicapai dari suatu kegiatan, yang dapat diartikan sebagai hasil dari proses belajar yang dapat diukur dengan tes tertentu.
2.2.
Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Berdasarkan telaah pustaka yang telah dilakukan, berikut ini dikemukakan
beberapa penelitian yang ada kaitannya dengan variabel penelitian yang dilakukan. Menurut penelitian yang dilakukan Dwiardhany, Mardianti (2009) dengan judul “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas V Dengan Menggunakan Pendekatan Pembelajaran Matematika Di SDN Sumurboto Tahun Pelajaran 2009/2010” penelitian ini menyebutkan bahwa dengan menerapkan
pembelajaran
matematika
realistik
secara
signifikan
dapat
meningkatkan prestasi belajar pada iswa kelas V. Ada peningkatan prestasi belajar dari hasil rata-rata ulangan 59,87 menjadi 70,00 (meningkat sebesar 10,13%) pada siklus I, dan pada siklus II terjadi peningkatan prestasi belajar dari hail ulangan 59,87 menjadi 76,12 (meningkat 16,25%). Penelitian yang dilakukan Janah, Miftakhul (2010) dengan judul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Pendekatan Matematika Realistik Dalam Menyelesaikan Soal Cerita Pada Pokok Bahasan Satuan Panjang Siswa Kelas IV SD Negeri Gejayan”. Hasil penelitian ini memperlihatkan peningkatan hasil belajar. Pada siklus I menunjukkan tingkat ketuntasan belajar mencapai 54%, sedangkan pada siklus II mencapai 82%. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Aprilyanis, Eka (2011) dengan judul “Upaya Peningkatan Hasil Belajar Matematika Tentang Operasi Hitung Bilangan Bulat Melalui Pembelajaran Matematika Realistik Bagi Siswa Kelas IV SDN I Buluroto Kecamatan Banjarejo Blora Semester II Tahun 2010/2011”. Pada penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan belajar dari kondisi pra siklus ke siklus I dan dari siklus I ke siklus II. Pada pra siklus tidak terjadi ketuntasan
18
belajar, yang tuntas hanya 8 siswa (26,66%) dari 30 siswa. Pada siklus I yang tuntas menjadi 17 siswa (56,66%) dari 30 siswa. Dan pada siklus II sebanyak 28 siswa (93,33%) dari 30 siswa telah tuntas mencapai KKM (65).
2.3.
Kerangka Pikir Keberhasilan suatu pembelajaran dapat dilihat dari hasil pembelajaran.
Untuk memperoleh hasil belajar yang maksimal diperlukan faktor pendukung. Faktor-faktor pendukung bisa berupa model pembelajaran, alat peraga, serta hal lain yang mempengaruhi proses pembelajaran. Dengan menggunakan pembelajaran matematika realistik, diharapkan akan mengurangi kebosanan siswa dalam pembelajaran. Selain itu, dalam mata pelajaran matematika diharapkan siswa dapat memahami konsep matematika melalui suatu masalah dalam situasi nyata, serta belajar memecahkan masalah. Hal ini dapat berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa dalam rangka perbaikan proses belajar mengajar. Dengan demikian pemahaman siswa terhadap materi dapat secara optimal dan hasil belajarnya pun menjadi optimal. Dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan hasil belajar kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Penelitian akan dimulai dengan memberikan pretest kepada kedua kelompok dengan soal yang sama. Pemberian pretest ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menguasai materi yang menjadi bahan penelitian. Kemudian akan dilakukan pembelajaran. Pada kelompok eksperimen akan diberi perlakuan dengan menggunakan pembelajaran matematika realistik, sementara kelompok kontrol menggunakan pembelajaran konvensional. Setelah adanya perlakuan, kedua kelas akan diberi posttest dengan soal yang sama. Kegiatan ini untuk mengetahui hasil belajar siswa dan adakah pengaruh penggunaan pembelajaran matematika realistik. Berikut bagan kerangka pikir Pengaruh Pembelajaran matematika realistik pada Pokok Bahasan Bangun Ruang Terhadap hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar:
19
Kelompok
pretest
kontrol
Pembelajaran Konvensional
posttest
Kondisi awal
Hasil
siswa sama
belajar
Kelompok pretest
eksperimen
Perlakuan Pembelajaran Realistik
posttest
Gambar 2.1. bagan kerangka pikir 2.4.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir yang telah dipaparkan di atas,
maka peneliti merumuskan hipotesis “Terdapat pengaruh positif penggunaan pembelajaran matematika realistik terhadap hasil belajar matematika bangun ruang pada siswa kelas IV SD Negeri Salatiga 06 semester II tahun pelajaran 2011/2012”. Hipotesis Statistika H0 : X1 = X2 Yaitu “rata-rata hasil belajar siswa kelompok eksperimen (siswa kelas IV B SD Salatiga 06) sama dengan rata-rata hasil belajar siswa kelompok kontrol (siswa kelas IV A SD Salatiga 06) yang berarti bahwa tidak ada pengaruh penggunaan pembelajaran matematika realistik terhadap hasil belajar siswa.” H1 : X1 > X2 Yaitu “rata-rata hasil belajar siswa kelompok eksperimen (siswa kelas IV B SD Salatiga 06) lebih tinggi daripada rata-rata hasil belajar siswa kelompok kontrol (siswa kelas IV A SD Salatiga 06) yang berarti bahwa terdapat pengaruh penggunaan pembelajaran matematika realistik terhadap hasil belajar siswa.”