BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Mata Pelajaran Matematika Matematika merupakan mata pelajaran yang dipelajari disetiap jenjang pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA sampai jenjang perguruan tinggi. Selain itu matematika sangat membantu dan dibutuhkan pada bidang studi atau ilmu – ilmu yang lain (Samsarif 2009). Istilah Matematika berasal dari bahasa Yunani, mathein atau manthenien yang artinya mempelajari. Kata matematika diduga erat hubungannya dengan kata Sangsekerta, medha atau widya yang artinya kepandaian, ketahuan atau intelegensia (Sri Subariah, 2010:1). Menurut Hudoyo (1988:3) pelajaran matematika berkaitan dengan konsep – konsep abstrak, sehingga pemahamannya membutuhkan daya nalar yang tinggi, dibutuhkan ketekunan, keuletan, perhatian dan motivasi yang tinggi untuk dapat memahami materi pelajaran matematika. Sedangkan menurut Sumarmo (2006:2) pelajaran matematika berkaitan dengan penalaran yang bersifat deduktif, materi matematika bersifat hierarkis dan terstruktur. Sujono (2007: 5) juga mengemukakan beberapa pengertian matematika. Di antaranya, matematika diartikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang eksak dan terorganisasi secara sistematik. Selain itu matematika merupakan ilmu pengetahuan tentang penalaran yang logik dan masalah yang berhubungan dengan bilangan. Bahkan dia mengartikan matematika sebagai ilmu bantu dalam mengiterpretasikan berbagai ide dan kesimpulan. Pengertian matematika sebagai ilmu tentang struktur yang terorganisir juga dikemukakan oleh Ruseffendi (2006: 261). Dari sisi abstaraksi matematika, (Jackson, 2009: 755) melihat tiga ciri utama matematika, yaitu; (1) matematika disajikan dalam pola yang lebih ketat, (2) matematika berkembang dan digunakan lebih luas dari pada ilmu-ilmu lain, dan (3) matematika lebih terkonsentrasi pada konsep. B. Pembelajaran Matematika Matematika sebagai ilmu dasar, dewasa ini telah berkembang dengan pesat, baik materi maupun kegunaannya, sehingga dalam perkembangannya atau pembelajarannya di sekolah harus memperhatikan perkembanganperkembangannya, baik di masa lalu, masa sekarang maupun kemungkinankemungkinannnya untuk masa depan. Matematika SMP merupakan pelajaran matematika yang diajarkan di Sekolah Menengah Pertama. Matematika sekolah (SMP) terdiri atas bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi
5
serta berpandu pada perkembangan IPTEK. Hal ini menunjukkan matematika sekolah (SMP) tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki matematika, yaitu memiliki objek kejadian yang abstrak serta berpola pikir deduktif konsisten. Berikut ini penjabaran pembelajaran yang ditekankan pada konsep-konsep matematika: 1. Penanaman konsep dasar (penanaman konsep), yaitu pembelajaran suatu konsep baru matematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep tersebut. Kita dapat mengetahui konsep ini dari isi kurikulum, yang cirikan dengan kata mengenal. Pembelajaran penanaman konsep dasar merupakan jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan kognitif siswa yang konkrit dengan konsep baru matematika yang abstrak. Dalam kegiatan pembelajaran konsep dasar ini, media atau alat peraga diharapkan dapat digunakan untuk membantu kemampuan pola piker siswa. 2. Pemahaman konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep, yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika. Pemahaman konsep terdiri dari atas dua pengertian. Pertama, merupakan kelanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan. Sedangkan kedua, pembelajaran pemahaman konsep dilakukan pada pertemuan yang berbeda, tetapi masih merupakan lanjutan dari penanaman konsep. Pada pertemuan tersebut, penanaman konsep dianggap sudah disampaikan pada pertemuan sebelumnya, disemester atau kelas sebelumnya. 3. Pembinaan ketrampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep dan pemahaman konsep. Pembelajaran pembinaan ketrampilan bertujuan agar siswa lebih terampil dalam menggunakan berbagai konsep matematika. Seperti halnya pada pemahaman konsep, pembinaan ketrampilan juga teratas dua pengertian. Pertama, merupakan kelanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dan pemahaman konsep dalam satu pertemuan. Sedangkan kedua, pembelajaran pembinaan ketrampilan dilakukan pada pertemuan yang berbeda, tapi masih merupakan lanjutan dari penanaman dan pemahaman konsep. Pada pertemuan tersebut, penanaman dan pemahaman konsep dianggap sudah disampaikan pada pertemuan sebelumnya. Beberapa karakteristik pembelajaran matematika di sekolah (Erman Suherman, 2011) yaitu sebagai berikut: 1. Pembelajaran matematika berjenjang (bertahap) Materi pembelajaran diajarkan secara berjenjang atau bertahap, yaitu dari hal konkrit ke abstrak, hal yang sederhana ke kompleks, atau konsep mudah ke konsep yang lebih sukar.
6
2.
Pembelajaran matematika mengikuti metoda spiral Setiap mempelajari konsep baru perlu memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari sebelumnya. Bahan yang baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari. Pengulangan konsep dalam bahan ajar dengan cara memperluas dan memperdalam adalah perlu dalam pembelajaran matematika (Spiral melebar dan menaik). 3. Pembelajaran matematika menekankan pola pikir deduktif Matematika adalah deduktif, matematika tersusun secara deduktif aksiomatik. Namun demikian harus dapat dipilihkan pendekatan yang cocok dengan kondisi siswa. Dalam pembelajaran belum sepenuhnya menggunakan pendekatan deduktif tapi masih campur dengan deduktif 4. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi Kebenarankebenaran dalam matematika pada dasarnya merupakan kebenaran konsistensi, tidak bertentangan antara kebenaran suatu konsep dengan yang lainnya.. Menurut Kurikulum 2013 yang baru tujuan pengajaran matematika di SMP adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut : 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang matematika, menyelesaikan dan menafsirkan solusi yang diperoleh 4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. C. Problem Posing Model problem posing dikembangkan di tahun 1997, dan pada awalnya diterapkan pada mata pelajaran matematika. Model pembelajaran ini selanjutnya dikembangkan pada mata pelajaran yang lain. Pada prinsipnya, model pembelajaran Problem posing adalah suatu model pembelajaran yang
7
mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui pelajaran soal (berlatih soal secara sendiri). Problem posing adalah kegiatan perumusan soal atau masalah siswa. Siswa hanya diberikan situasi tertentu sebagai stimulus dalam merumuskan soal atau masalah. Berkaitan dengan situasi yang dipergunakan dalam kegiatan perumusan masalah atau soal dalam pembelajaran, Walter dan Brown (1990) dalam Kadir (2003) menyatakan bahwa soal yang dibangun melalui beberapa bentuk, antara lain gambar, benda manipulatif, permainan, teorema atau konsep, alat peraga, soal, dan solusi dari soal. English (1998), dalam Nurjanah, (2002) membedakan dua macam situasi atau konteks, yaitu konteks, yaitu konteks formal bisa dalam betuk simbol (kalimat) atau dalam kalimat verbal, dan konteks informal berupa permainan dalam gambar atau kalimat tanpa tujuan khusus. Problem posing dapat juga diartikan membangun atau membentuk masalah. Suryanto dalam Yansen (2005) menjelaskan, problem posing adalah perumusan soal ulang yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana sehingga soal tersebut dapat diselasaikan. Menurut Brown dan Walker (1990), dalam Nurjanah, (2009) terdiri dua aspek penting, yaitu accepting dan challenging. Accepting berkaitan dengan kemampuan siswa memahami situasi yang diberikan oleh guru atau situasi yang sudah ditentukan. Challenging berkaitan dengan sejauh mana siswa merasa tertantang dari situasi yang diberikan sehingga melahirkan kemampuan mengajukan masalah atau soal. Setiawan (2008) mengatakan pembentukan soal atau pembentukan masalah mencakup dua kejadian yaitu: Pembentukan soal baru atau pembentukan soal dari situasi atau dari pengalaman siswa dan Pembentukan soal yang sudah ada. Menurut Menon dalam Sukarno (2006), langkah-langkah pengajuan soal dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: Berikan kepada siswa soal cerita tanpa pertanyaan, tetapi semua informasi yang diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada, tugas siswa adalah membuat pertayaan-pertanyaan berdasarkan informasi yang ada pada soal, Guru menyeleksi sebuah topik dan meminta siswa membentuk kelompok dan diberi tugas untuk membuat soal cerita sekaligus jawabannya, sebelum tugas itu didiskusikan di masing-masing kelompok dan kelas, dan Siswa diberi soal dan diminta untuk mendaftar sebuah pertanyaan yang berhubungan dengan masalah, sebuah permasalahan diseleksi dari daftar untuk diselesaikan. Pembelajaran problem posing merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang dilakukan siswa dalam struktur individu/ kelompok dengan melibatkan seluruh kemampuan siswa untuk mencari, menyelidiki, membuat soal dan
8
a.
b.
c.
menemukan jawaban dari suatu masalah. Pembelajaran problem posing menekankan kepada aktivitas siswa untuk menyelidiki, membuat soal sendiri dan menemukan jawaban sendiri dari masalah yang dipertanyakan, oleh karena itu guru hanya berperan sebagai fasilitator. Problem posing adalah istilah dalam bahasa inggris yaitu dari kata “problem” artinya masalah, soal atau persoalan dan kata “to pose” yang artinya mengajukan (Echols dan Shadily, 1995). Problem posing bisa diartikan sebagai pengajuan soal atau pengajuan masalah. Suryanto (1998) menggunakan ‘pembentukan soal’ sebagai padanan ‘problem posing’. Problem posing juga merupakan pembentukan soal atau pembentukan masalah yang di buat siswa dengan cara menyusun soal yang serupa dengan soal yang diberikan guru atau dari situasi dan pengalaman siswa itu sendiri. Tiga tipe model pembelajaran Problem Posing yang dapat dipilih guru, (Usmanto, 2007). Pemilihan tipe ini dapat disesuaikan dengan tingkat kecerdasan para siswa (peserta didik). Problem Posing type Pre-Solution Posing Siswa membuat pertanyaan dan jawaban berdasarkan pernyataan yang dibuat oleh guru. Jadi, yang diketahui pada soal itu dibuat guru, sedangkan siswa membuat pertanyaan dan jawabannya sendiri. Problem Posing type Within Solution Posing Siswa memecah pertanyaan tunggal dari guru menjadi sub-sub pertanyaan yang relevan dengan pertanyaan guru. Problem Posing type Post Solution Posing Siswa membuat soal yang sejenis dan menantang seperti yang dicontohkan oleh guru. Jika guru dan siswa siap maka siswa dapat diminta untuk mengajukan soal yang menantang dan variatif pada pokok bahasan yang diterangkan guru. Siswa harus bisa menemukan jawabannya. Tetapi ingat, jika siswa gagal menemukan jawabannya maka guru merupakan narasumber utama bagi siswanya. Guru harus benar-benar menguasai materi. Kelebihan model pembelajaran problem posing menurut (Suyitnio, 2007) yaitu: Memberi penguatan terhadap konsep yang diterima atau memperkuat konsep-konsep dasar, Diiharapkan mampu melatih siswa meningkatkan kemampuan dalamm belajar, dan Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah. Adapun langkah-langkah pembelajaran model problem possing dalam penelitian ini menurut Suryanto dalam Yansen (2008: 9) adalah sebagai berikut: Langkah Accepting (menerima), pada tahap ini adalah dimana guru memberikan stimulus terhadap kemampuan siswa dalam memahami situasi
9
yang diberikan; Langkah challenging (menantang), pada tahap ini siswa dibimbing untuk memberikan respon terhadap situasi yang diberikan yaitu dengan pertanyaan; Berdialog, guru membimbing siswa mengenai langkahlangkah yang akan ditempuh siswa dalam penyelesaian masalah; Guru bersama siswa melaksanakan rencana penyelesaian, yaitu Tanya jawab; Guru dan siswa menyelesaikan masalah bersama-sama. Hal tersebut dapat di dukung dengan langkah pembelajaran sintak. Sintaks Pembelajaran pada dasarnya mengikuti langkah-langkah (sintak) pembelajaran terpadu. Secara umum sintaks tersebut mengikuti tahap-tahap yang dilalui dalam setiap model pembelajaran yang meliputi tiga tahap yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap evaluasi (Prabowo, 2009: 6). Berkaitan dengan itu maka sintaks model pembelajaran tematik dapat direduksi dari berbagai model pembelajaran seperti model pembelajaran langsung [direct instructions], model pembelajaran kooperatif [cooporative learning], maupun model pembelajaran berdasarkan masalah [problem based instructions]. Menurut Prabowo (2009), langkahlangkah (sintaks) pembelajaran terpadu secara khusus dapat dibuat tersendiri berupa langkah-langkah baru dengan ada sedikit perbedaan yakni sebagai berikut: Pertama, Tahap Perencanaan. Pada tahap ini hal-hal yang dilakukan oleh guru antara lain; (1) Menentukan Kompetensi Dasar; dan (2) Menentukan Indikator dan Hasil Belajar. Kedua, Tahap Pelaksanaan yang meliputi sub-tahap: (1) Proses Pembelajaran Oleh Guru. Adapun langkah yang ditempuh guru, antara lain: (a) Menyampaikan konsep pendukung yang harus dikuasai siswa; (b) Menyampaikan konsep-konsep pokok yang akan dikuasai oleh siswa; (c) Menyampaikan keterampilan proses yang akan dikembangkan; (d) Menyampaikan alat dan bahan yang dibutuhkan. Ketiga, Evaluasi yang meliputi: (1) Evaluasi proses. Adapun hal-hal yang menjadi perhatian dalam evaluasi proses terdiri dari: (a) Ketetapan hasil pengamatan; (b) Ketetapan penyusunan alat dan bahan; dan (c) Ketetapan menganalisa data. (2) Evaluasi hasil, yaitu penguasaan konsep-konsep sesuai indikator yang telah ditetapkan. (3) Evaluasi psikomotorik, yaitu penguasaan penggunaan alat ukur. Ini adalah langkahlangkah kegiatan pembelajaran sintak dengan model problem posing. Table 2.1 Langkah-langkah kegiatan pembelajaran Tahap Kegiatan Guru Kegiatan Siswa Tahap 1 Guru menyajikan kejadianobservasi untuk kejadian atau fenomena menemukan yang memungkinkan siswa
10
Siswa memperhatikan yang di sampaikan guru
masalah
menemukan masalah yang berkaitan dengan sudut
Tahap 2 (Accepting (menerima)) Merumuskan masalah
Guru membimbing siswa merumuskan masalah penelitian berdasarkan kejadian dan fenomena
siswa merumuskan masalah penelitian berdasarkan kejadian dan fenomena yang disajikannya
Tahap 3 Mengajukan hipotesis
Guru membimbing siswa untuk mengajukan hipotesis terhadap masalah yang telah dirumuskannya
siswa untuk mengajukan hipotesis terhadap masalah yang telah dirumuskannya
Tahap 4 Merencanakan pemecahan masalah (melalui eksperimen atau cara lain)
Guru membimbing siswa untuk merencanakan pemecahan masalah, membantu menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan dan menyusun prosedur kerja yang tepat
Siswa untuk merencanakan pemecahan masalah, membantu menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan dan menyusun prosedur kerja yang tepat
Tahap 5 Selama siswa bekerja, guru (challenging membimbing dan (menantang)) memfasilitasi Melaksanakan eksperimen (atau cara pemecahan masalah yang lain)
Siswa berusaha memecahkan masalah
Tahap 6 Melakukan pengamatan dan pengumpulan data
Guru membantu siswa melakukan pengamatan tentang hal-hal yang penting dan membantu mengumpulkan dan mengorganisasi data
siswa melakukan pengamatan tentang halhal yang penting dan membantu mengumpilkan dan mengorganisasi data
Tahap 7 Analisis data
Guru membantu siswa menganalisis data supaya menemukan suatu konsep
siswa menganalisis data supaya menemukan suatu konsep
Tahap 8 Penarikan
Guru membimbing siswa mengambil kesimpulan
siswa mengambil kesimpulan berdasarkan
11
kesimpulan penemuan
dan berdasarkan data dan menemukan sendiri konsep yang ingin ditanamkan.
data dan menemukan sendiri konsep yang ingin ditanamkan.
Setiap model pembelajaran pasti ada kelebihan dan kekuranganya. Begitu pula dengan model pembelajaran problem posing. Norman & Bakar (2011) menguraikan bahwa kelebihan model problem posing adalah : Kemampuan memecahkan masalah/ mampu mencari berbagai jalan dari suatu kesulitan yang dihadapi, Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman siswa, terampil menyelesaikan soal tentang materi yang diajarkan, Mengetahui proses bagaimana cara siswa memecahkan masalah, Meningkatkan kemampuan mengajukan soal, dan Sikap yang positif terhadap matematika. Menurut Rahayuningsih (dalam Sutisna, 2002), kelebihan Problem Posing diantaranya adalah: Kegiatan pembelajaran tidak terpusat pada guru, tetapi dituntut keaktifan siswa, Minat siswa dalam pembelajaran matematika lebih besar dan siswa lebih mudah memahami soal karena dibuat sendiri, Semua siswa terpacu untuk terlibat secara aktif dalam membuat soal, dengan membuat soal dapat menimbulkan dampak terhadap kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah, dan Dapat membantu siswa untuk melihat permasalahan yang ada dan yang baru diterima sehingga diharapkan mendapatkan pemahaman yang mendalam dan lebih baik. Menurut Sutisna. (2010) kelebihan model pembelajaran problem posing yaitu : Siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran, minat yang positif terhadap matematika, membantu siswa untuk melihat permasalahan yang ada sehingga meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, memunculkan ide yang kreatif dari dalam mengajukan soal, dan mengetahui proses bagaimana cara siswa memecahkan masalah. Kekurangan model problem posing yaitu pembelajaran model problem posing membutuhkan waktu yang lama, dan agar pelaksanaan kegiatan dalam membuat soal dapat dilakukan dengan baik perlu ditunjang oleh buku yang dapat dijadikan pemahaman dalam kegiatan belajar terutama membuat soal. Potensi siswa sebenarnya dapat dioptimalkan dengan memberikan pembelajaran inovatif yang tentunya banyak menuntut (melatih) kreatifitas siswa hingga akhirnya siswa terampil dalam mengungkap fakta yang berkaitan dengan masalah dan menyelesaikan masalah tersebut berdasarkan fakta yang didapat. Maka problem posing dapat membantu siswa untuk mengembangkan proses nalar mereka (Surtini, Sri. 2004).
12
D. Hasil Belajar Hasil belajar Matematika adalah perubahan kemampuan siswa yang menunjukkan atas penguasaan materi pelajaran Matematika setelah menyelesaikan kegiatan belajar yang dinyatakan atas perolehan skor tes sesuai dengan tujuan pembelajaran Matematika yang telah ditentukan. Hal tersebut yaitu hasil belajar matematika sangat penting karena hal tersebut mempengaruhi nilai rata-rata pada kelas tersebut dan mempengaruhi hasil belajar pada tiap siswa. pada penelitian ini peneliti menemukan bahwa Siswa kelas VII SMP N 1 Kaliwungu cenderung diam dan kurang aktiv dalam kegiatan belajar mengajar, mereka kurang berani dalam bertanya dan menyampaikan pendapat, serta ragu-ragu dalam menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru. Siswa kelas VII SMP N 1 Kaliwungu menjadikan guru sebagai sumber belajar yang utama dikarenakan rumah mereka yang jauh dari perkotaan membuat mereka sulit untuk mengakses internet guna mencari informasi atau pengetahuan baru khususnya materi Matematika. Kondisi sosial ekonomi orang tua/ wali cukup beragam sebagian besar orang tua siswa bekerja sebagai petani. Penelitian dilakukan pada siswa kelas VII mata pelajaran Matematika, karena hasil belajar Matematika masih rendah. Hal ini diketahui karena masih rendahnya nilai tes tengah semester dan tes akhir semester, yaitu nilai rata-rata 55, ini berati masih kurang dari KKM sekolah yaitu 60 dan siswa yang nilainya lulus KKM adalah 50%. Hal itu dapat diketahui setelah peneliti melakukan obsevasi ke sekolah tersebut dan melihat nilai siswanya pada semester sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar Menurut Munadi (Rusman, 2012:124) antara lain meliputi faktor internal dan factor eksternal: 1. Faktor internal a. Faktor fisiologis. Secara umum kondisi fisiologis seperti kesehatan yang prima, tidak dalam keadaan lelah dan capek, tidak dalam keaaan cacat jasmani dan sebagaiya. Hal tersebut dapat menpengaruhi siswa dalam menerima materi pelajaran b. Faktor psikologis. Secara individu dalam hal ini siswapada dasarnya memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda, tentunya hal ni turut mempengaruhi hasil belajar 2. Faktor Ekstern a. Keadaan lingkungan keluarga b. Keadaan lingkungan sekolah c. Keadaan lingkungan masyarakat
13