BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1
Paradigma Kajian Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada
dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandang terhadap dunia, penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran yang dilakukan oleh para filusuf, peneliti, maupun oleh para praktisi melalui model-model tertentu. Model itu disebut dengan paradigma, (Moleong, 2010: 49). Paradigma sangat penting dalam mempengaruhi teori, analisisi maupun tindak perilaku seseorang. Secara tegas dikatakan bahwa tidak ada suatu pandangan atau teori yang bersifat netral dan objektif, melainkan salah satu di antaranya sangat bergantung pada paradigma yang digunakan. Karena menurut Kuhn (1970) paradigma menetukan apa yang tidak kita pilih, tidak kita inginkan, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin kita ketahui. Paradigma mempengaruhi pandangan seseorang apa yang baik dan buruk, suka atau tidak suka. Oleh karena itu, jika ada dua orang yang melihat sebuah realitas sosial yang sama atau membaca lembaran tulisan buku yang sama, akan menghasilkan pandangan, penilaian, sikap dan perilaku yang berbeda pula. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan paradigma yang dimiliki, yang secara otomatis mempengaruhi presepsi dan tindak komunikasi seseorang. Ada bermacam-macam paradigma dalam mengungkap hakekat realitas atau ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini yaitu: positivisme, postpositivsme, konstruktivisme (constructivism) dan teori kritik (critical theory). Perbedaan paradigma ini bisa dilihat dari cara mereka memandang realitas dan melakukan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan, di tinjau dari empat dimensi pertanyaan: Epitemologis, Ontologis, Metodologis dan aksiologis.
Universitas Sumatera Utara
II.1.1 Paradigma Konstruktivis Paradigma Konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teoriteori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. Littlejohn mengatakan bahwa Paradigma konstruktivis berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya (Wibowo, 2011: 27). Paradigma dalam penelitian semiotika banyak mengacu pada paradigma konstruktivis, meski sejumlah penelitian lainnya menggunakan paradigma kritis namun paradigma konstruktivis lebih relevan jika digunakan untuk melihat realitas signifikannya objek yang diteliti,dari paradigma konstruktivis dapat dijelaskan melalui empat dimensi seperti diutarakan oleh (Hidayat dalam Wibowo, 2010: 28) sebagai berikut: 1. Ontologis: relativism, relaitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku seseuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. 2. Epstemologis: transactionalist/subjectivist, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. 3. Axiologis: Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang menjebatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Tujuan penelitian lebih kepada rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti. 4. Metodologis: menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti denagn responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti, melalui metode-metode kualitatif seperti participant observasion. Kriteria kualitas penelitian authenticity dan revlectivty: sejauh mana temuan merupakan refleksi otentik dari realitas yang di hayati oleh para pelaku sosial. II.1.2 Semotika Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.
Tanda pada awalnya dimaknai sebagai sesuatu hal yang
menunjuk adanya hal lain. Contohnya asap menandaai adanya api, sirine mobil
Universitas Sumatera Utara
yang keras meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota (Wibowo, 2011: 5). Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas dari objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/ wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic (Wibowo, 2011: 5) Konteks semiotik yang paling penting dalam pemikiran Saussure adalah pandangan mengenai tanda. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilihan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Kedua unsur ini seperti dua sisi dari sekeping mata uang atau selembar kertas (Wibowo, 2011: 6). Tanda bahasa dengan demikian menyatukan, bukan hal dengan nama, melainkan konsep dan gambaran akustis. Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut : Sign
Composed Of signification Signifier
plus
(physical existence of the sign)
Signified
external reality
(mental concept)
Of meaning
Gambar II.1 Elemen-Elemen Makna Saussure Sumber: (Sobur, 2004 :125)
Universitas Sumatera Utara
Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Sobur, 2004:125).
II.2
Kajian Pustaka
II.2.1 Analisis Semiologi Roland Barthes Kancah penelitian semiotika tak bisa begitu saja melepaskan nama Roland Barthes (1915-1980), ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental dalam strukturalisme semiotika teks. Sebagai pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity ) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify ) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (The reader ). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologiesnya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Demi memperjelas signifikasi dua tahap, Barthes menciptakan peta bagaimana tanda bekerja sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
2. Signified (Petanda)
1. Signifier (penanda) 3. denotative sign (tanda denotatif)
4. CONOTATIVE SIGNIFIER
5. CONOTATIVE SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Gambar II.2. Peta Tanda Roland Barthes Sumber: (Barthes, 1991: 113) Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes. Di dalam semiotika Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua (Colbey dan Jansz, 1999 :51). Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa makna harfiah merupakan sesuatu yang bersifat. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu
Universitas Sumatera Utara
rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Didalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda (http://www.scribd.com). Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya, Barthes menggunakan versi yang jauh lebih sederhana membahas model ‘glossematic sign’ (tanda-tanda glossematic). Mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi, dan fokus pada makna konotasi. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Pada level ini, keseluruhan tanda yang diciptakan dalam denotasi menjadi penanda bagi babak kedua pemunculan makan. Petanda pada level ini adalah konteks, baik personal maupun budaya, yang didalamnya pembaca pendengar, atau pengamat tanda memahami dan menafsirkannya (Barton, 2010 :108). Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaanya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, konotasi bekerja dalam tingkat intersubjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misereading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda (Wibowo, 2011: 174). Barthes Salah seorang
pengikut Saussure. Ia membuat sebuah model
sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) seperti terlihat pada gambar berikut:
Universitas Sumatera Utara
First Order
Reality
Second order
Sign
Culture
Signifier ----------------
Denotation
Connotation
Form Content
Signified
Myth
Gambar II.2.1 Signifikasi Dua Tahap Barthes Sumber: (Sobur, 2004: 127). Melalui gambar 3 ini Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan: signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi
mempunyai
makna
yang
subjektif
atau
paling
tidak
intersubjektif. Pemilihan kata-kata kadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan” dengan memberi “uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.
Universitas Sumatera Utara
Charles Morris memudahkan kita memahami ruang lingkup kajian semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurutnya, kajian semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda, kajian semiotika pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (Branches of inquiry) yakni sintaktik, semantik dan pragmatik (Wibowo, 2011: 4).
II.2.1.1
Semantik
Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Semiotika menggunakan dua dunia, yaitu dunia benda (world of things) dan dunia tanda yang menjelaskan hubungan keduanya. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantarai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morissan, 2009: 29). Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani ‘seme’ (kata benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah‘semaino’ yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda linguistik (Perancis : signé linguistique). Menurut Ferdinand de Saussure (1966), semiotika dilihat melalui sudut pandang lingustik yang terdiri dari: 1) Komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa. 2) Komponen yang diartikan atau makna dari komponen pertama. Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, dan sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai referensi acuan atau hal yang ditunjuk. Jadi, Ilmu Semantik adalah : a. Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. b. Ilmu tentang makna atau arti (http://www.scribd.com).
Universitas Sumatera Utara
Semantik mengacu pada makna dari sebuah tanda. Sebagai contoh, dua jari dipasangkan di belakang kepala seseorang adalah sebuah cara untuk memanggilnya seorang “setan”(John, 1996 :159). Dalam analisis semantik, bahasa bersifat unik dan memiliki hubungan yang erat dengan budaya masyarakat penuturnya. Maka, suatu hasil analisis pada suatu bahasa, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Contohnya penutur bahasa Inggris yang menggunakan kata ‘rice’ pada bahasa Inggris yang mewakili nasi, beras, gabah dan padi. Kata ‘rice’ akan memiliki makna yang berbeda dalam masing-masing konteks yang berbeda. Dapat bermakna nasi, beras, gabah, atau padi. Tentu saja penutur bahasa Inggris hanya mengenal ‘rice’ untuk menyebut nasi, beras, gabah, dan padi. Itu dikarenakan mereka tidak memiliki budaya mengolah padi, gabah, beras dan nasi, seperti bangsa Indonesia. Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa tidak selalu penanda dan referennya memiliki hubungan satu lawan satu yang artinya berbeda, setiap tanda lingustik tidak selalu hanya memiliki satu makna. Adakalanya, satu tanda lingustik memiliki dua acuan atau lebih, dan sebaliknya, dua tanda lingustik dapat memiliki satu acuan yang sama. Hubungan tersebut dapat digambarkan dengan contoh-contoh berikut : Racun Bisa Dapat
Buku Lembar kertas berjilid Kitab Gambar II.2.2. Hubungan satu tanda linguistik Sumber: (Sobur, 2004: 127).
Universitas Sumatera Utara
II.2.1.2 Sintaktik Sintaktik (syntactics) yaitu studi mengenai hubungan di antara tanda. Dalam hal ini, tanda tidak pernah mewakili dirinya, tanda adalah selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui cara tertentu. Sistem tanda seperti ini disebut kode (code). Kode dikelola dalam berbagai aturan. Dengan demikian, tanda yang berbeda mengacu atau menunjukkan benda berbeda dan tanda digunakan bersama-sama melalui caracara yang diperbolehkan (Morissan, 2009:30). Tanda-tanda tersebut disusun ke dalam sistem dengan tanda lainnya. Sebagai contoh, seseorang mungkin menyimpan dua buah jarinya di belakang kepala seseorang, tertawa dan berkata “mengejek Anda!” Hal tersebut adalah sebuah gerak tubuh, sebuah tanda suara (tertawa), ekspresi wajah dan bahasa bersatu untuk menciptakan makna. Menurut pandangan semiotika tanda selalu dipahami dalam hubungannya dengan tanda lainnya. Dalam situasi pembicaraan biasa tanda-tanda dari berbagai sistem tanda berfungsi secara bersama-sama, sistem tanda bahasa berdampingan dengan sistem tanda paralinguistik (getaran suara, intonasi) dan yang lain (gerak, sikap, pancaran mata, mimik dan jarak). Sintaksis semiotis menganalisis hubungan antar tanda. Dalam suatu sistem yang sama, sintaksis semiotis tidak dapat membatasi diri dengan hanya mempelajari hubungan antar tanda, tetapi harus melihat hubunganhubungan lain yang pada prinsipnya bekerja sama (Morissan, 2009 :33).
II.2.1.3 Pragmatik Pragmatik yaitu bidang yang mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia atau dengan kata lain, pragmatik adalah studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Aspek pragmatik dari tanda memiliki peran penting dalam komunikasi, khususnya untuk mempelajari mengapa terjadi pemahaman (understanding) atau kesalahpahaman (misunderstanding) dalam berkomunikasi. Pragmatik mengacu pada pengaruh
Universitas Sumatera Utara
atau perilaku yang dimunculkan oleh sebuah tanda atau sekelompok tanda, seperti ketika tanda “setan” dianggap sebuah lelucon daripada sebuah penghinaan. Dari perspektif semiotika, kita harus memiliki pengertian sama, tidak saja terhadap setiap kata dan tata bahasa yang digunakan, tetapi juga masyarakat dan kebudayaan yang melatarbelakanginya, agar komunikasi dapat berlangsung dengan baik. Sistem hubungan diantara tanda harus memungkinkan komunikator untuk mengacu pada sesuatu yang sama. Kita harus memiliki kesatuan rasa (sense of coherance) terhadap pesan. Jika tidak, maka tidak akan ada pengertian komunikasi. Kita juga harus memastikan bahwa apabila kita menggunakan aturan tata bahasa, maka mereka yang menerima pesan kita juga harus memiliki pemahaman yang sama terhadap tata bahasa yang kita gunakan. Dengan demikian, makna yang kita maksudkan, people can communicate if they share meaning (orang hanya dapat berkomunikasi jika mereka melihat makna yang sama) (Morissan, 2009: 38). Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai (user atau interpreter ), menjadi bagian dari sistem semiotik sehingga juga menjadi salah satu cabang kajiannya karena keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya. Bahkan lebih luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya, kedalam konteks sosial budaya yang dimiliki. Sehubungan dengan itu Abrams (1981) mengungkapkan bahwa the focus of semiotic interest is on the under lying system of language,not on the parol. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa adalah cermin kepribadian dan budaya bangsa.
II.3
Lima Kode yang Ditinjau Roland Barthes Dalam bukunya Barthes selalu membuat judul yang aneh dan beberapa
dari bukunya tersebut menjadi rujukan penting untuk studi semiotika, Barthes berpendapat bahwa sarrasine ini terangkai dalam kode rasionalisasi suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode (Sobur, 2004: 65).
Universitas Sumatera Utara
II.3.1 Kode Hermenuetik Kode Hermenuetik sering juga disebut kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatau peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita. II.3.2 Kode semik Kode semik sering juga disebut kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan suatu konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konoyasi melekat pada suatu nama tertentu kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. II.3.3 kode simbolik Kode simbolik merupakan aspek pengkodeaan fiksi yang paling khas bersifat struktural atau tepatnya menurut konsep barthes, pasca kultural di dasari gagasan bahwa makan berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dari tahap bunyi menjadi fenom dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf psikoseksual yang melalui proses, dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan simbol istimewa dalam sistem simbol barthes. II.3.4 kode Proaretik Kode Proaretik sering juga di sebut kode tindakan di anggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca setiap orang, artinya semua teks yang bersifat naratif, barthes menerapkan beberapa prisnsip seleksi, kita mengenal kode lakuaan karena kita memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharapakan lakuan di “isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks.
Universitas Sumatera Utara
II.3.5 Kode Gnomik Kode Gnomik sering juga di sebut kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya, menurut barthes, relaisme tradisional didefinisi oleh acuan teks ke apa yang sudah diketahui, rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah di kodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu. Bukan hanya untuk membangun sistem klarifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata (Sobur, 2004: 65-67). II.4
Iklan Dalam peradaban manusia, tulisan pertama yang terkait dengan iklan
adalah tanda-tanda yang ditampilkan di atas pintu toko kota-kota kuno di Timur Tengah. Sejak tahun 3000 Sebelum Masehi orang-orang Babilonia menggunakan tanda seperti itu untuk mengiklankan toko mereka. Orang-orang Yunani dan Romawi Kuno juga menggantungkan tanda-tanda tersebut di luar toko mereka. Ketika orang sudah mulai bisa membaca, para pedagang di zaman itu menatahkan simbol-simbol yang bisa dikenal pada batu, tanah liat atau kayu untuk menampilkan tanda-tanda yang ingin mereka tunjukan. Bahkan sebenarnya, sepanjang sejarah iklan poster dan gambar di pasar dan kuil merupakan media populer yang dipakai untuk menyebarkan informasi dan untuk mempromosikan barter serta penjualan barang dan jasa (Danesi, 2010: 225). Diawal
tahun
1920-an,
semakin
banyaknya
penggunaan
listrik
menghasilkan kemungkinan semakin besar dalam memapankan iklan di dalam cakrawala sosial melalui penggunaan media elektronik baru. Munculnya radio dan televisi telah menghasilkan perpaduan iklan dalam bentuk komersial disertai sebuah narasi mini atau jingle musik yang berkisar pada suatu barang atau jasa dan kegunaannya. Komersial segera menjadi satu bentuk iklan yang sangat persuasif, karena secara serentak bisa mencapai massa konsumen potensial, baik melek huruf maupun tidak. Selanjutnya komersial televisi menjadi tidak asing
Universitas Sumatera Utara
dalam menciptakan persepi tentang produk sebagai yang terjalin sangat erat dengan gaya dan isi komersial yang dipakai untuk mempromosikannya. Belum lama berselang, internet bergerak maju dalam melengkapi dan menambahi bentuk-bentuk iklan baik yang tercetak maupun komersial (radio dan televisi). Meskipun demikian, teks iklan tidak pernah berubah secara drastis dari sejak dibentuk oleh media tradisional. Seperti di dalam komersial televisi, para pemasang iklan di internet menggunakan gambar, audio dan berbagai teknik visual untuk meningkatkan efektivitas pesan yang akan mereka sampaikan. Pada akhirnya iklan menjadi salah satu bentuk diskursus sosial yang paling tersebar dan menyeluruh yang pernah dibuat manusia. Seperti yang pernah disinggung McLuhan (1964), dalam hal ini medium sudah menjadi pesan. Sekarang bahkan sudah ada situs seperti AdCritic.com yang menampilkan iklan sebagai iklan itu sendiri, sehingga para pengakses situs itu bisa melihatnya hanya dari segi estetiknya saja (Sobur, 2004:114). Pada
abad ke-20, iklan berevolusi menjadi sebentuk diskursus sosial
persuasif yang terutama diarahkan untuk mempengaruhi bagaimana kita memahami pembelian dan konsumsi barang-barang. Diskursus iklan berkisar dari pernyataan sederhana di bagian terklasifikasi pada suratkabar dan majalah sampai iklan gaya hidup majalah yang canggih serta komersial televisi dan internet. Oleh sebab itu, iklan telah menjadi diskursus istimewa yang telah menggantikan bentuk-bentuk diskursus lebih tradisional seperti khotbah, pidato politik, peribahasa, kata-kata bijak dan sebagainya (Danesi, 2010: 235). Dalam proses periklanan terjadi proses yang berkaitan dengan disiplin psikologi; mulai dari tahap penyebaran informasi sebagai proses awal, hingga ke tahap menggerakkan konsumen untuk membeli atau menggunakan jasa adalah suatu proses psikologi. Iklan dapat dikatakan berhasil apabila mampu menggerakkan konsumen untuk pertama kali saat melihat penampilan iklan tersebut; rangsangan visual dari penampilan iklan langsung mendapat perhatian dari pemerhati. Proses berikut adalah hadirnya penilaian akhir terhadap isi atau pesan dari iklan, dengan mempertimbangkan perasaan calon konsumen, yang memunculkan tindakan atau sikap sesuai dengan penilaian akhirnya. Iklan melihat
Universitas Sumatera Utara
manusia sebagai ‘satuan-satuan berulang’ yang bisa diklasifikasikan kedalam berbagai ‘kelompok selera’, ‘kelompok gaya hidup’ atau ‘pangsa pasar’ yang bisa dikelola dan dimanipulasi mengikuti hukum statistik (Danesi, 2010: 265). Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik yang verbal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televisi dan film (Sobur, 2004:116). Fenomena-fenomena sosial-budaya seperti fashion, makanan, furni-tur, arsitektur, pariwisata, mobil, barang-barang konsumer, seni, desain dan iklan dapat dipahami berdasarkan model bahasa (Piliang, 2003: 27). Menurut rancangan semiotik apabila keseluruhan praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya juga dapat dianggap sebagai "tanda-tanda" (signs). Dalam semiotika Saussurean 'tanda' merupakan dua bidang yang tak dapatdipisahkan, yaitu bidang penanda (signifier) atau bentuk dan bidang petanda (signified) atau makna. Menurut semiotika Saussurean tanda harus mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil dan pasti (http://andriew.blogspot.com). Objek iklan adalah hal yang diiklankan. Dalam iklan produk atau jasa, produk atau jasa itulah objeknya. Yang penting dalam menelaah iklan adalah penafsiran kelompok sasaran dalam proses interpretan. Jadi, sebuah kata seperti eksekutif meskipun dasarnya mengacu pada manajer menengah, tetapi selanjutnya manager menengah ini ditafsirkan sebagai “suatu tingkat keadaan ekonomi tertentu“ yang juga kemudian dapat ditafsirkan sebagai “gaya hidup tertentu” yang selanjutnya dapat ditafsirkan sebagai “kemewahan”dan seterusnya. Penafsiran yang bertahap itu merupakan segi penting dalam iklan. Proses seperti itu disebut semiosis (Hoed, 2004 : 97). Pada saat ini budaya terbuat dari makna antara konsumen dan pasar. hal ini digambarkan dalam tanda-tanda dan simbol yang dikodekan dalam benda sehari-hari. Semiotika adalah studi tentang tanda dan bagaimana suatu tanda itu ditafsirkan. Periklanan memiliki tanda-tanda tersembunyi dan arti dalam nama merek, logo, desain kemasan, cetak iklan dan iklan televisi. Tujuan dari semiotika
Universitas Sumatera Utara
adalah untuk mempelajari dan menginterpretasikan pesan yang disampaikan dalam iklan . Logo dan iklan dapat ditafsirkan pada dua tingkatan yang dikenal sebagai tingkat permukaan dan tingkat yang mendasarinya. Tingkat permukaan menggunakan tanda-tanda kreatif untuk membuat gambar atau kepribadian untuk suatu produk mereka. Tanda-tanda ini dapat berupa gambar, kata, font, warna atau slogan. Sedangkan tingkat mendasarinya terdiri dari makna tersembunyi (Berger, 2000 : 28). Kombinasi gambar, kata, warna, dan slogan harus ditafsirkan oleh penonton atau konsumen. Kunci untuk analisis iklan adalah penanda dan yang ditandakan. Penanda adalah obyek dan Petanda adalah konsep mental. Sebuah produk terdiri dari penanda dan yang ditandakan.Penanda adalah warna , nama merek, desain logo, dan teknologi. Petanda memiliki dua makna denotatif dan satu lagi bisa berupa sebagai konotatif. Makna denotatif adalah makna dari produk. Makna denotatif sebuah televisi akan menjadi bahwa itu adalah definisi yang sebenarnya. Makna konotatif adalah makna produk dalam dan tersembunyi. Sebuah makna konotatif dari televisi memerlukan penafsiran untuk dipecahkan. Saat ini banyak produk-produk menerapkan konsep semiotika dalam pertarungan pasar, semiotika tampaknya telah menjadi tren dalam dunia periklanan, kini hampir semua produk kita dapat menemui semiotika seperti yang terdapat pada iklan rokok, produk-produk perawatan kulit dan tubuh, produkproduk yang menerapkan semiotika didominasi oleh rokok dan perawatan wanita. Inilah ranah tektualitas berupa tanda dan makna yang masih menjadi misteri menunggu untuk dipecahkan dan dibedah. II.5
Komposisi Warna Warna memegang peranan penting dalam sebuah iklan, yakni untuk
mempertegas dan memperkuat kesan atau tujuan iklan tersebut. Warna juga mempunyai fungsi untuk memperkuat aspek identitas menurut pakar Psikologi, J. Linschoeten dan Mansyur (dalam Kasali, 1992 : 87) warna itu bukanlah suatu gejala yang hanya dapat diamati saja, warna itu mempengaruhi kelakuan,
Universitas Sumatera Utara
memegang peranan penting dalam penilaian estetis dan turut menentukan suka tidaknya kita terhadap berbagai benda. Bagi yang ingin mendesain sebuah gambar visual periklanan tidak terlepas dari artistik, desain, warna serta tema dari gambar yang ingin di buat. Dibawah ini dipaparkan potensi karakter warna yang mampu memberikan kesan pada seseorang, yang akan dideskripsikan sebagaimana yang diungkapkan Barker (1954) (dalam Mulyana, 2005: 48). 1. Merah Merah melambangkan kesan energi, kekuatan, hasrat, erotisme, keberanian, simbol dari api, pencapaian tujuan, darah, resiko, ketenaran, cinta, perjuangan, perhatian, perang, bahaya, kecepatan, panas, kekerasan. Warna ini dapat menyampaikan kecenderungan untuk menampilkan gambar dan teks secara lebih besar dan dekat. warna merah dapat mengganggu apabila digunakan pada ukuran yang besar. Merah cocok untuk tema yang menunjukkan keberanian seseorang. energi misal mobil, kendaraan bermotor, olahraga dan permainan. 2. Putih Putih menunjukkan kedamaian, Permohonan maaf, pencapaian diri, spiritualitas, kedewaan, keperawanan atau kesucian, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan, cahaya, tak bersalah, keamanan, persatuan. Warna putih sangat bagus untuk menampilkan atau menekankan warna lain serta memberi kesan kesederhanaan dan kebersihan. 3. Hitam Hitam melambangkan perlindungan, pengusiran, sesuatu yang negatif, mengikat, kekuatan, formalitas, misteri, kekayaan, ketakutan, kejahatan, ketidak bahagiaan, perasaan yang dalam, kesedihan, kemarahan, sesuatu yang melanggar (underground), modern music, harga diri, anti kemapanan. Sangat tepat untuk menambahkan kesan misteri. latar belakang warna hitam dapat menampilkan perspektif dan kedalaman.
Universitas Sumatera Utara
Sangat bagus untuk menampilkan karya seni atau fotografi karena membantu penekanan pada warna-warna lain. 4. Biru Biru memberikan kesan Komunikasi, Peruntungan yang baik, kebijakan, perlindungan, inspirasi spiritual, tenang, kelembutan, dinamis, air, laut, kreativitas, cinta, kedamaian, kepercayaan, loyalitas, kepandaian, panutan, kekuatan dari dalam, kesedihan, kestabilan, kepercayaan diri, kesadaran, pesan, ide, berbagi, idealisme, persahabatan dan harmoni, kasih sayang. Warna ini memberi kesan tenang dan menekankan keinginan. Biru tidak meminta mata untuk memperhatikan. Obyek dan gambar biru pada dasarnya dapat menciptakan perasaan yang dingin dan tenang. Warna Biru juga dapat menampilkan kekuatan teknologi, kebersihan, udara, air dan kedalaman laut. Selain itu, jika digabungkan dengan warna merah dan kuning dapat memberikan kesan kepercayaan dan kesehatan. 5. Hijau Hijau menunjukkan warna bumi, penyembuhan fisik, kelimpahan, keajaiban,tanaman dan pohon, kesuburan, pertumbuhan, muda, kesuksesan materi, pembaharuan, daya tahan, keseimbangan, ketergantungan dan persahabatan. Dapat digunakan untuk relaksasi, menetralisir mata, memenangkan pikiran, merangsang kreatifitas. 6. Kuning Kuning merujuk pada matahari, ingatan, imajinasi logis, energi sosial, kerjasama, kebahagiaan, kegembiraan, kehangatan, loyalitas, tekanan mental, persepsi, pemahaman, kebijaksanaan, penghianatan, kecemburuan, penipuan, kelemahan, penakut, aksi, idealisme, optimisme, imajinasi, harapan, musim panas, filosofi, ketidakpastian,resah dan curiga. Warna kuning merangsang aktivitas mental dan menarik perhatian, Sangat efektif digunakan pada blogsite yang menekankan pada perasaan bahagia dan kekanakan.
Universitas Sumatera Utara
7. Merah Muda Merah Muda menunjukkan simbol kasih sayang dan cinta, persahabatan, feminin, kepercayaan, niat baik, pengobatan emosi, damai, perasaan yang halus, perasaan yang manis dan indah. 8. Ungu Ungu menunjukkan pengaruh, pandangan ketiga, kekuatan spiritual, pengetahuan yang tersembunyi, aspirasi yang tinggi, kebangsawanan, upacara, misteri, pencerahan, telepati, empati, arogan, intuisi, kepercayaan yang dalam, ambisi, magic atau keajaiban, harga diri. 9. Oranye Oranye
menunjukkan
kehangatan,
antusiasme,
persahabatan,
pencapaian bisnis, karier, kesuksesan, kesehatan pikiran, keadilan, daya tahan, kegembiraan, gerak cepat, sesuatu yang tumbuh, ketertarikan, independensi. Pada Blog dapat meningkatkan aktifitas mental. Disamping itu warna Orange memberi kesan yang kuat pada elemen yang dianggap penting. 10. Coklat Coklat menunjukkan Persahabatan, kejadian yang khusus, bumi, pemikiran yang materialis, reliabilitas, kedamaian, produktivitas, praktis, kerja keras. Warna coklat sangat tidak menarik apabila digunakan tanpa tambahan gambar dan ornamen tertentu, coklat harus didukung ornament lain agar menarik. 11. Abu-Abu Abu-abu mencerminkan keamanan, kepandaian, tenang dan serius, kesederhanaan, kedewasaaan, konservatif, praktis, kesedihan, bosan, profesional, kualitas, diam, tenang. 12. Emas Emas mencerminkan prestis (kedudukan), kesehatan, keamanan, kegembiraan, kebijakan, arti, tujuan, pencarian kedalam hati, kekuatan mistis, ilmu pengetahuan, perasaan kagum, konsentrasi.
Universitas Sumatera Utara
II.6
Teknik Pengambilan Gambar Dalam analisis visual gambar menjadi suatu elemen terpenting yang
menjadikannya bermakna, Ada dua aspek yang difokuskan dalam menganalisis iklan yakni aspek visual yang berupa ekspresi para tokoh, cara pengambilan gambar dan setting. Kedua aspek audio yang berupa narasi, gaya bahasa dan pilihan kata yang ada pada iklan. Konsep pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera yang dijelaskan oleh Asa Berger. Cara pengambilan gambar dalam penelitian ini dapat berfungsi sebagai penanda. Konsep cara pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera. Gambar menjadi elemen terpenting untuk membentuk suatu tayangan berdurasi. Teknik pengambilan suatu gambar akan menentukan kualitas gambar yang dihasilkan apakah memenuhi kriteria menjadi gambar yang layak. Teknik pengambilan suatu gambar memiliki kode-kode yang memiliki makna tersendiri. Kode-kode tersebut menginformasikan hampir seluruh aspek tentang keberadaan kita dan menyediakan konsep yang bermanfaat bagi analisis seni populer dan media (Berger, 2000: 33). Beberapa elemen gambar dapat ditemui dalam kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang bisa dilihat sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
PENANDA (SIGNIFIER)
MENANDAKAN (SIGNIFIED)
PENGAMBILAN GAMBAR Extreme Long Shot Full Shot Big Close Up Close Up Medium Shot Long Shot SUDUT PANDANG Pengambilan Gambar: High Eye-Level Low TIPE LENSA Wide Angle Normal Telephoto FOKUS Selective Focus Soft Focus Deep Focus PENCAHAYAAN High Key Low Key High Contrast Low Contrast
Kesan luas dan keluarbiasaan Hubungan sosial Emosi, dramatik, moment penting Intim atau dekat Hubungan personal dengan subjek Konteks Perbedaan dengan publik (Angle) Dominasi, Kekuasaan dan otoritas Kesejajaran, keamanan dan sederajat Didominasi, dikuasai dan kurang otoritas Dramatis Normalitas dan keseharian Tidak personal, Voyeuristik Meminta perhatian (tertuju pada satu objek) Romantis serta nostalgia Semua unsur adalah penting (melihat secara keseluruhan objek) Riang dan Cerah Suram dan Muram Dramatikal dan teartikal Realistik serta terkesan dokumenter
seperti
PEWARNAAN Warm (kuning,orange, merah dan abu- Optimisme, harapan, hasrat dan agitasi abu) Cool (biru dan hijau) Pesimisme, tidak ada harapan Black and White (hitam dan Putih) Realisme, aktualisme dan faktual Tabel II.6. Teknik Dalam Pengambilan Gambar Sumber : (Selby, keith, Codery dan Ron,1995: 28)
Universitas Sumatera Utara
Penanda Pan down Pan up Dolly in Fade in/out Cut Wipe
Definisi Petanda Kamera mengarah ke Menunjukkan kekuasaan, bawah kewenangan Kamera mengarah ke Menunjukkan kelemahan, atas pengecilan Kamera mengarah ke Memperlihatkan sebuah dalam observasi, fokus Image muncul dari gelap Permulaan dan akhir cerita ke terang dan sebaliknya Perpindahan dari gambar Simultan, kegairahan satu ke gambar yang lain Gambar terhapus dari “penutupan”kesimpulan layar Tabel II.6.1 Teknik Editing dan Gerakan Kamera
Sumber : (Berger 2000: 33)
Menurut Berger, TV merupakan medium “close up” untuk menunjukkan sebuah karakter (Berger, 2000:33).
Dalam penerapan semiotik pada televisi
pengetahuan tentang aspek-aspek medium yang berfungsi sebagai tanda. Setiap angel gambar yang diambil mempunyai makna dan interpretasi tersendiri. Dari cara pengambilan gambar di atas dapat disimpulkan bahwa setiap cara pengambilan gambar dapat menggambarkan hubungan personal antar tokoh, ekspresi, emosi, waktu, kejadian dan tempat secara lebih jelas. Dari gambar tersebut kita juga dapat melihat makna-makna dan ideologi tertentu yang ada dibalik potongan sebuah adegan. II.7
Mitologi Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat
berangakai menjadi suatu mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan budaya-budaya. Sedangkan Van Zoest (1991) menegaskan, siapapun bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat didalamnya. Dalam pandangan Umar Yunus (1990), mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan oleh karenannya lebih banyak hidup dalam masyarakat. Ia
Universitas Sumatera Utara
mungkin hidup dalam ‘gosip’ kemudian ia mungkin dibuktikan dengan tindakan nyata. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap sesuatu yang dinyatakan dalam mitos. Sebuah teks, Aart van Zoest tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca kearah suatu ideologi. Sedangkan Eriyanto (2001:146) menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini menurutnya, karena teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Secara etimologis ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata idea dan logos, Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat, sedangkan kata logia berasal dari kata logos yang berarti kata-kata. Dan arti kata logia berarti science (pengetahuan) atau teori. Konsep ideologi juga bisa dikaitkan dengan semiotik. Menurut Teun A van Dijk, ideologi terutama dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi membuat anggota suatu kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka dan memberinya kontribusi dalam membentuk solidaritas dari kohesi di dalam kelompok (Eriyanto 2001:102). Dalam perspektif ini, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting. Pertama, ideologi secara inharen bersifat sosial, tidak personal atau individual: ia membutuhkan ’share’ diantara anggota kelompok organisasi atau kreativitas dengan orang lainnya. Hal-hal yang dibagi (sharing) tersebut bagi anggota kelompok digunakan untuk membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap. Misalnya, kelompok tertentu yang mempunyai ideologi feminis, antirasis dan pro lingkungan akan membawa nilai-nilai itu dalam semua tindakan mereka. Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal di antara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu ideologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinat dan kohesi. Tetapi juga membentuk identitas diri
Universitas Sumatera Utara
kelompok, membedakannya dengan kelompok lain. Ideologi di sini bersifat umum, abstrak dan nilai-nilai yang terbagi antar kelompok menyediakan dasar bagaimana masalah harus dilihat. Dengan pandangan semacam itu, wacana lalu tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral dan berlangsung secara ilmiah, karena dalam setiap wacana selalu terkandung ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh (Eriyanto 2001:106). II.8
Konsep Diri Konsep diri menurut William D. Brooks mendefinisikan konsep diri
sebagai “ those physical, social, and psychological precepctions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others” dalam (Rakhmat, 2005: 99). Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Konsep diri bukan hanya merupakan gambaran secara deskriptif, tetapi juga merupakan penilaian anda tentang anda. Konsep diri meliputi apa yang anda pikirakan dan anda rasakan terhadap diri anda. II.8.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep diri 1.Orang lain Menurut Gabriel Marcel, filusuf eksistensialis “ The fact is that we can understand ourselves by starting from the other, or from others, and only by starting from them.” Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain lebih dahulu. Bagaimana anda menilai diri saya, akan membentuk konsep diri saya. Dalam sebuah perjalanan hidup pasti kita menemukan sesuatu yang membuat diri kita lebih baik dan bahagia, terutama dalam kehidupan seseorang yang dalam masa pendewasaan diri, maka ia cederung sekali menilai diri sendiri karena pendapat oaring-orang di sekelilingnya. Ketika menjadi seseorang yang tertutup oleh lingkungannya, ia tidak bergaul, cenderung tertutup, mudah menyerah dengan lingkungannya, tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita. Ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang paling dekat dengan diri kita.
Universitas Sumatera Utara
George Herbert Mead (1934) menyebutkan mereka dengan significant others, orang lain yang sangat penting. Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yag tinggal satu rumah dengan kita, ketika tumbuh menjadi dewasa, kita mencoba menghimpun penilaian semua orang yang pernah berhubungan dengan kita. Anto memperolah informasi tentang dirinya dari kedua orang tuanya, kakak-kakaknya, tetanggganya, gurunya, dan teman-temannya semua memandang anto adalah seorang yang nakal maka, Anto berpikir, “ saya Nakal”. Menurut pandangan George Herbert Mead. Memandang diri kita seperti orang-orang lain memandangnya, berarti mencoba menempatkan diri kita sebagi orang lain. Bila saya seorang ibu, bagaimanakah ibu memandang saya. Jika saya seorang guru, bagaimanakah guru memandang saya. Menagmbil peran sebagi ibu, sebagi ayah, atau sebagi generalized others disebut role taking. Role taking amat penting artinya dalam pembentukan kosep diri (Rakhmat, 2005: 99). 2. Kelompok Rujukan (Reference group) Dalam pergaulan bemasyarakat, kita pasti menjadi anggota berbagai kelompok : RT, persatuan Bulutangkis, Ikatan Warga Bojongkaso, atau Ikatan sarjana Komunikasi. Setiap kelompok mempunyai norma-norma tertentu. Ada kelompok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap konsep diri kita. Ini disebut kelompok rujukan (Rakhmat, 2005: 104). Konsep diri seseorang dapat menjadikan seseorang itu berbeda dari orang lain yang berada di sekelilingnya, kalau boleh kita melihat dan mendengar serta pasti selalu kita amati di antara kita berbeda kepribadian terutama dalam konsep dirinya. Belum lagi kita merasakan menjadi orang yang tidak sempurna secara fisik atau sakit, pasti membuat diri kita minder (kurang percaya diri).konsep diri seseorang ditentukan oleh baik atau buruk pendapat orang lain. Dari seseorang maupun beberapa orang sesuai penilaian individualnya. Menurut William D Brooks dan Philip Emmert (dalam Rakhmat, 2005: 104). Ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif.
Universitas Sumatera Utara
1. Ia peka terhadap kritik. Orang tersebut tidak tahan kritik yang di terimanya dan mudah marah. 2. Responsif sekali terhadap pujian, mereka pun bersikap hiperkritis terhadap orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela, atau meremehkan apapun atau siapapun. 3. Sikap Hiperkritis, mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan oaring lain. 4. Cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia tidak mersa di perhatikan. Karena itulah ia ia bereaksi pada orang lain sebagi musuh, sehinggga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak akan pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagi korban dari sistem sosial yang tidak beres. 5. Bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing denagn oaring lain dalam membuat prestasi. Ia menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.
Sebaiknya, orang yang memiliki konsep diri positif di tandai dengan lima hal: 1. Ia yakin akan kemampuannnya mengatasi masalah. 2. Ia merasa setara dengan orang lain. 3. Ia menerima pujian tanpa rasa malu 4. Ia menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat; 5. Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspekaspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya. 6. Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sangggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya. Dalam kenyataan, memang tidak ada orang yang betul-betul sepenuhnya berkonsep diri positif ataupun negatif. Tetapi untuk efektifitas komunikasi interpersonal, sedapat mungkin kita memperoleh sebanyak mungkin tanda-tanda konsep diri positif. Menurut D.E Hamachek (dalam Rakhmat, 2005: 106), ada sebelas karakteristik orang yang mempunyai konsep diri positif:
Universitas Sumatera Utara
1. Ia meyakini betuk prisip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat yang kuat dari kelompok yang kuat. Tetapi, dia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk menubah prinsip-prinsip itu bila pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan ia salah. 2. Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya. 3. Ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang terjadi besok, apa yang telah terjadi pada waktu yang lalu dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang. 4. Ia memiliki keyakinan dan kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran. 5. Ia merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya. 6. Ia sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling tidak orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya. 7. Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa rasa bersalah. 8. Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya. 9. Ia sanggup mengatakan kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan bebagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula. 10. Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi kerjaaan, prmainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekedar mengisi waktu. 11. Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah di terima dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain. Kita banyak membicarakan konsep diri positiflah lahir pola perilaku komunikasi interpersonal yang positif pula, yakni melakukan presepsi yang lebih cermat, dan mengungkapkan petunjuk-petunjuk yang membuat orang lain menafsirkan kita dengan cermat pula. Komunikan yang berkonsep diri positif adalah orang yang “tembus pandang”, terbuka pada orang lain.
Universitas Sumatera Utara
3.Membuka diri Hubungan antara konsep diri dan membuka diri dapat di jelaskan dengan johari window dalam johari window diungkapkan tingkat keterbukaan dan tingkat kesadaran tentang diri kita.sebelah atas jendela menunjukkan aspek siri kita yang diketahui orang lain- pubic self. Sebelah bawah adalah aspek diri yang kita tidak kita ketahui orang lain – private self. Bila kedua jendela ini di gabung, kita membuat johari window yang lengkap Kita ketahui
Tidak kita ketahui
Terbuka
Buta Pubik Privat
Tersembunyi
Tidak dikenal
Gambar II.8.1 Teori Johari Window Sumber: (Rahkmat, 2005: 108) Kamar pertama disebut daerah terbuka (open area), meliputi perilaku dan motivasi yang kita ketahui dan di ketahui orang lain. Pada daerah ini kita sering melakukan kesan yang sudah kita bicarakan. pada kamar kedua daerah tersembunyi (hidden area) sering sekali kita menggunakan topeng, sehingga diri kita sendiri tidak menyadari. Orang lain sebaliknya mengetahuinya. Kamar ketiga buta (blind area). Tentu ada diri kita sebenarnya. Orang yang rendah diri berusaha menjual tampangnya, meyakinkan orang lain atas keunggulan dirinya dan merendahkan orang lain. Kamar yang ketiga tidak dikenal (unknown area). Makin luas pada publik, makin terbuka kepada orang lain, makin akrab hubungan kita dengan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
4. Percaya diri (self confidence) Seseorang yang kurang percaya diri membuat dirinya menjadi orang yang tertutup, orang yang seperti ini cenderung menghindari interaksi komunikasi terhadap orang lain, bila di berbicara di depan umum terbata-bata, dan tentu tidak semua aprehensi komunikasi disebabkan kurangnya percaya diri tetapi di antara berbagai factor, percaya diri adalah yang paling menentukan. Dalam komunikasi, kita masih dapat menggunakan nasihat tokoh psikosibernetik yang popular, Maxwell Maltz “ believe in your self and you’ll succeed.”Untuk meningkatkan percaya diri, menumbuhkan konsep diri yang sehat menjadi perlu (Maltz dalam Rakhmat 2005: 109). 5.Selektivitas Konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita karena konsep diri mempengaruhi pesan kita terhadap bersedianya diri membuka diri. Dengan singkat konsep diri menyebabkan terpaan selektif (selective exposure), presepsi selektif
(selective
perception),
dan
ingatan
selektif
(selective
attention).Penyandian selektif (selective encoding). 1. Terpaan selektif (selective exposure) Bila kita seseorang yang mempercayai tuhan yang maha kuasa ,kita percaya dan beribadah kepadanya, bila kita beragama islam maka kita melaksanakan shalat, dan mengaji, dan membeli buku dan perangkat ibadah yang menyangkut sunnah Rasul, bila beragama Kristen katolik maka kita sering pergi ke gereja dan membeli buku –buku katolik. 2. Presepsi selektif (selective perception) Bila konsep diri kita menjadi negatif anda cenderung cendrung memperbesar reaksi-reaksi negative, bila anda merasa diri anda menjadi orang yang bodoh maka, anda cenderung mengabaikan karya –karya anda sendiri dan memperbesar kritik orang terhadap anda. 3. Ingatan selektif (selective attention) konsep diri yang terjadi bila anda ingat dengan baik pemain tim bulutangkis Indonesia dan formasi serta berita yang anda tahu namun orang lain tidak tahu, tetapi tidak tahu berapa jumalah uang yang di dapat dari pebulutangkis Negara lain. Atau anda ingat dengan penyayi ariel peter
Universitas Sumatera Utara
pan dan hafal semua tentang nya namu tidak tahu tentang lagu” gugur bunga” ciptaan siapa dan sejak kapan lagu itu lahir. 4. Penyandian selektif (selective encoding) Penyandian adalah proses penyusunan lambing-lambang sebagai terjemahan yang ada dalam pikiran kita. Jika kita merasa jadi seorang bangsawan maka sikap,pakaian,cara kita berkata-kata sesuai dengan martabat seorang yang bangsawan sama halnya bila kita menjadi seorang guru maka sikap dan perilaku kita harus mengajarkan kebaikan kepada murid-murid untuk menjaga sikap, biarpun di depan teman-teman kita sesama guru, seseorang yang “ kocak dan lucu” (Rakhmat, 2005: 111113).
Universitas Sumatera Utara