BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
State of The Art Review Pada tugas akhir ini dicantumkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan
dilaksanakan terlebih dahulu tentang penerapan penerangan jalan umum menggunakan solar cell sebagai berikut : Ega Kusumayogo, yakni pada penelitian yang berjudul “Analisis Teknis dan Ekonomis Penerapan Penerangan Jalan Umum Solar Cell Untuk Kebutuhan Penerangan Di Jalan Tol Darmo Surabaya” yang diterbitkan pada jurnal Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
tahun 2013, Pada penelitian ini dilakukan analisa mengenai
perencanaan lampu penerangan jalan umum solar cell dari segi teknis meliputi penentuan jenis tiang, jumlah titik lampu, jenis lampu, dasar penerangan, dan pengaturan penerangan. Dari segi ekonomis meliputi perhitungan biaya penggantian PJU dan biaya oprasional selama menyala satu bulan. Selain itu penelitian telah pula dilakukan oleh Donny T B Sihombing, yakni pada penelitian yang berjudul “Perencanaan Sistem Penerangan Jalan Umum dan Taman di Areal Kampus Usu dengan Menggunakan Teknologi Tenaga Surya (Aplikasi di Areal Pendopo dan Lapangan Parkir)” yang diterbitkan pada jurnal Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Sumatra Utara tahun 2013, Pada penelitian ini dilakukan perencanaan sistem penerangan jalan umum dan taman di areal kampus Universitas Sumatra Utara menggunakan solar cell, dari perencanaan ini didapatkan hasil Penerangan Jalan Umum dengan menggunakan tenaga surya (solar cell) dapat mengurangi konsumsi akan tenaga listrik dari PLN. Setiap hari dalam 12 jam, daya yang dikeluarkan PLN untuk penerangan umum adalah sebesar 76,66% sedangkan dengan menggunakan baterai accu 12 Ah adalah sebesar 23,3% . selain dari Ega Kusumayogo dan Donny T B Sihombing penelitian ini telah dilakukan oleh Sardono Sarwito, tahun 2010 dengan judul penelitian “Analisa Teknis dan Ekonomis Penerapan Sel Surya untuk Kebutuhan Penerangan Jembatan Suramadu” yang diterbitkan pada jurnal Jurusan Teknik Sistem Perkapalan Institut Teknologi Surabaya, Pada penelitian ini dilakukan
6
7
analisa dari segi teknis mengenai pencahayaan yang diperlukan pada Jembatan Suramadu, serta dari segi ekonomis dianalisis tentang biaya investasi peralatan lampu penerangan jalan solar cell.
2.2
Jalan
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. 2.2.1
Klasifikasi jalan Jalan di Indonesia menurut Bina Marga (1997) dapat diklasifikasikan
berdasarkan fungsi jalan, kelas beban dan tipe medan yang disusun pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Fungsi, Kelas Beban Dan Tipe Medan Fungsi Jalan Kelas Jalan Muatan Sumbu Terberat (ton)
Arteri I > 10
II 10
Kolektor IIIB
IIIA
Lokal IIIC Tidak ditentukan
8
Tipe Medan D B Kemiringan Medan (%) <3 3-25 Sumber : Ditjen Bina Marga, 1997
G
D
B
G
D
B
G
>25
<3
3-25
>25
<3
3-25
>25
Keterangan : D :Datar
B : Bukit
G : Gunung
Fasilitas jalan yang selama ini kita gunakan dibedakan atas beberapa klasifikas kelas jalan. Berikut ini adalah klasifikasi kelas jalan tersebut: (Hamzah, 2008) 1. Jalan arteri primer: jalur jalan penampung kegiatan lokal dan regional, lalu lintas padat pada jalan ini adalah lampu dengan 50 lux, menurut SNI 2000. 2. Arteri sekunder: merupakan arteri penampung kegiatan lokal dan regional sebagai pendukung jalan arteri primer. Dimana kondisi lalu lintas pada jalur
8
ini padat, sehingga memerlukan jenis lampu yang sama dengan arteri primer. Lux penerangan jalan ini menurut SNI 2000 adalah 50 lux. 3. Kolektor primer: jalur pengumpul dari jalan-jalan lingkungan di sekitarnya yang bermuara pada jalur kolektor primer, jalan arteri primer maupun sekunder pada jalan ini diperlukan lampu setingkat dibawah lampu untuk kolektor primer. Lux penerangan dari kelas jalan ini, menurut SNI 2000 adalah 30 lux. 4. Jalan lingkungan: jalur jalan di lingkungan perumahan, pedesaan atau perkampungan jalan ini membutuhkan penerangan, yang menurut SNI 2000 adalah 15 lux.
2.2.2
Volume Lalu Lintas Menurut Sukirman (1999), volume lalu lintas menunjukkan jumlah
kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari, jam, menit). Volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar perkerasan jalan yang lebih lebar sehingga tercipta kenyamanan dan keamanan. Volume lalu lintas harian rata-rata (VLHR) yang dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp/hari) merupakan salah satu volume lalu lintas yang umum dipergunakan untuk menentukan jumlah dan lebar jalur. Berikut ini merupakan penentuan lebar jalur dan bahu jalan berdasarkan VLHR (Ditjen Bina Marga, 1997).
Tabel 2.2 Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan VLHR Smp /hari
Arteri Ideal Jalur
Bahu
<3000 6,0 1,5 300010000 7,0 2,0 100017,0 2,0 25000 >25000 2n x 2,5 3,5
Kolektor Minimum
Ideal
Lokal
Minimum Ideal
Minimum
Jalur
Bahu
Jalur
Bahu
4,5
1,0
6,0
1,5
4,5
1,0
6,0
1,0
4,5
1,0
6,0
1,5
7,0
2,0
6,0
1,5
7,0
1,5
6,0
1,0
7,0
2,0
7,0
2,0
2n x 7,0 2,0
Sumber : Ditjen Bina Marga, 1997
2n x 3,5
2,5
Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur
Mengacu Pada Persyaratan Lokal
Bahu
Tidak ditentukan
9
2.2.3
Kecepatan rencana Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan
perencanaan setiap bagian jalan raya seperti : ruas jalan, tikungan, kemiringan jalan, jarak pandang dan lainnya. Kecepatan yang dipilih tersebut adalah kecepatan tertinggi menerus dimana kendaraan dapat berjalan dengan aman (Sukirman, 1999). Berikut ini merupakan VR untuk masing-masing fungsi jalan dan tipe medan (Ditjen Bina Marga, 1997).
Tabel 2.3 Kecepatan Rencana Sesuai Klasifikasi Fungsi Jalan dan Medan Jalan Fungsi Jalan Kecepatan Rencana (VR) km/jam Datar
Bukit
Gunung
Arteri
70-120
60-80
40-70
Kolektor
60-90
50-60
30-50
Lokal
40-70
30-50
20-30
Sumber : Ditjen Bina Marga, 1997
2.3
Kuat Penerangan Berdasarkan
fungsi
dan
kondisi
jalan
maka
SNI
(2008),
merekomendasikan tingkat intensitas penerangan (iluminansi) yang dibutuhkan oleh masing-masing jalan sebagai berikut : Tabel 2.4 Klasifikasi Jalan Kondisi Jalan dan Tingkat kepadatan dan kompleksitas jalan : Tinggi Sedang Rendah Berkecepatan tinggi, 2 arah : Jalan Pengkontrolan, pemisahan, dan Utama pencampuran lalu lintas : Kurang Baik Baik Jalur-jalur penting distribusi : Pengkontrolan, pemisahan, dan Jalan Penghubung pencampuran lalu lintas : Kurang Baik Baik Jalan-jalan lingkungan / lokal Pengkontrolan, pemisahan, dan pencampuran lalu lintas : Kurang Baik Baik Spesifikasi Jalan Berkecepatan tinggi, 1 arah mempunyai pemisah jalan : Jalan Bebas Hambatan Jalan Utama
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2008
Klasifikasi
M1 M2 M3
M1 M2
M2 M3
M4 M5
10
Tabel 2.5 Rekomendasi Intensitas Penerangan Jalan Semua Jalan Klasifikasi E ave (Lux) M1 M2 M3 M4 M5
30 20 15 10 7.5
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2008
2.4
Lampu Penerangan Jalan Umum Lampu penerangan jalan adalah bagian dari bangunan pelengkap jalan
yang dapat dipasang di kiri atau kanan jalan serta di tengah (di bagian median jalan). Fungsi lampu penerangan jalan pada umumnya adalah menerangi jalan maupun lingkungan di sekitar jalan yang diperlukan termasuk persimpangan jalan (intersection), jalan layang (interchange, overpass, fly over), jembatan dan jalan di bawah tanah (underpass, terowongan). Lampu penerangan yang dimaksud adalah suatu unit lengkap yang terdiri dari sumber cahaya (lampu /luminer), elemen – elemen optic (pemantul /reflector, pembias / refractor, penyebar / diffuser). Elemen – elemen elektrik (konektor ke sumber tenaga / power supply dan lain - lain), struktur penopang yang terdiri dari lengan penopang, tiang penopang vertikal dan pondasi tiang lampu. Muhaimin (2001) menguraikan bahwa konsep mendasar dari merancang sebuah sistem penerangan adalah menentukan jarak tiang penerangan. Dalam menentukan jarak tiang faktor pemakaian dan faktor kehilangan sangat berpengaruh. Faktor kehilangan cahaya adalah faktor – faktor yang menyebabkan menurunnya kualitas pencahayaan pada suatu bidang sehingga mempengaruhi kualitas dari penerangan itu sendiri. Muhaimin dalam bukunya yang berjudul teknologi pencahayaan menyatakan bahwa dalam mencari interval lampu penerangan jalan harus mempertimbangkan faktor kehilangan cahaya dan menyimpulkan bahwa :
11
Jarak =
faktor pemakaian∙faktor kehilangan cahaya∙fluks cahaya lebar jalan∙kuat penerangan
(2.1)
Dari rumus 2.1 di atas faktor pemakaian hanya terdiri atas lama penggunaan lampu penerangan yaitu selama 12 jam , faktor kehilangan atau lebih dikenal dengan cahaya light-loss factor (LLF) dipengaruhi 2 faktor yaitu : 1. Penurunan kemampuan sumber penerangan (lampu dan armatur) karena umur pemakaian. 2. Pengotoran terhadap armaturnya, disebabkan pengotoran atau perubahan sifat penutup armatur. Pada tabel 2.1 menunjukkan bagaimana hubungan antara waktu pemakaian lampu penerangan serta lingkungan tempat dari lampu penerangan jalan tersebut akan dipasang Tabel 2.6 Faktor Kehilangan Cahaya Lampu Penerangan Jalan Raya
No. Lingkungan 1 Sangat bersih 2 Bersih 3 Sedang 4 Kotor 5 Sangat kotor
Waktu pemakaian (tahun) 1 2 3 0,98 0,94 0,93 0,95 0,92 0,90 0,92 0,87 0,84 0,87 0,81 0,75 0,72 0,63 0,57
Sumber : Muhaimin, 2001
Selain 2 faktor yang telah disebutkan dari rumus di atas terdapat faktor formulasi penerangan yang terdiri atas arus cahaya, intensitas cahaya, iluminasi, efikasi cahaya, serta steradian.
2.5
Fungsi Lampu Penerangan Jalan Penerangan jalan di kawasan perkotaan mempunyai fungsi antara lain
(SNI 7391 : 2008) : 1) Menghasilkan kekontrasan antara obyek dan permukaan jalan; 2) Sebagai alat bantu navigasi pengguna jalan; 3) Meningkatkan keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan, khususnya pada malam hari;
12
4) Mendukung keamanan lingkungan; 5) Memberikan keindahan lingkungan jalan. Faktor pemeliharaan menyatakan bahwa pada semua lampu atau sumber cahaya akan mengalami penurunan yang disebabkan oleh kumpulan debu atau kotoran yang menghitam pada bagian lampu seperti reflector. Faktor perawatan lampu sangat berkaitan dengan faktor luminair. Menurut Philips Lighting, faktor perawatan suatu lampu berhubungan dengan periode pembersihan, indeks proteksi luminair dan kondisi lingkungan dimana lampu tersebut ditempatkan. Berikut ini merupakan data faktor perawatan suatu armature lampu sesuai dengan indeks proteksi pada kategori pengotoran tinggi, sedang dan rendah. Tabel 2.7 Faktor Perawatan Lampu Indeks Proteksi Luminair Min. IP2… Periode Polusi Kategori Pembersihan (Bulan) H M L 12 0.53 0.62 0.82 18 0.48 0.58 0.80 24 0.45 0.56 0.79 36 0.42 0.53 0.78 Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2008
Min. IP5… Polusi Kategori H M L 0.89 0.90 0.92 0.87 0.88 0.91 0.84 0.86 0.90 0.76 0.82 0.88
Min. IP6… Polusi Kategori H M L 0.91 0.92 0.93 0.90 0.91 0.92 0.88 0.89 0.91 0.83 0.87 0.90
2.6
Instalasi Penerangan Jalan Umum
2.6.1
Pemasangan PJU dengan cara under ground kabel (kabel bawah tanah) Syarat penghantar yang bisa digunakan pada pemasanngan PJU dengan
cara under ground cabel (kabel bawah tanah) antara lain : 1. Pemasangan penghantar sistem under ground harus mengikuti ketentuan pemasangan kabel tanah sesuai PUIL 2000. 2. NYY bisa ditanam dengan cara diberi pelindung (pipa, pasir + bata,dan lainlain ). tetapi sangat dihindari apa bila dipasang di daerah yang rawan tekanan mekanis (Contoh penyebrangan jalan atau perempatan jalan ). 3. NYFGBY bisa ditanam langsung ditanah karena kabel jenis ini sudah dilengkapi prisai baja yang bisa melindungi terhadap gangguan mekanis.
13
4. Kabel instalasi jenis NYM bukanlah jenis kabel tanah, karena itu dalam keadaan bagaimanapun tidak boleh ditanam di dalam tanah.
2.6.2
Penyambungan kabel atau penghantar pada PJU
1. Sambungan Penghantar dengan sistem Under ground cabel (kabel bawah tanah ) bisa dengan cara disolder,diterminal , dipres atau cara lain yang sederajat dan dimasukan dalam kotak sambung ( mof ) 2. Sambungan penghantar dengan sistem kabel udara bisa dengan cara kotak box terminal dan konektor. 3. Dua penghantar logam yang tidak sejenis (seperti tembaga dan aluminium atau tembaga berlapis aluminium) tidak boleh disatukan dalam terminal atau penyambung punter kecuali jika alat penyambung itu cocok untuk maksud dan keadaan penggunaannya. 4. Penghantar aluminium tidak boleh dihubungkan dengan terminal dari kuningan atau logam lain berkadar tembaga tinggi, kecuali bila terminal itu telah diberi lapisan yang tepat atau telah diambil tindakan lain untuk mencegah korosi. 5. Sambungan kabel almunium dan tembaga bisa dilakukan dengan konektor, sekun, terminal dari bahan bimetal 2.6.3
PHB pada instalasi penerangan jalan umum Perangkat Hubung Bagi (PHB) dalam penerangan jalan umum memiliki
beberapa kriteria yaitu : 1. Pemasangan PHB untuk PJU harus mengikuti ketentuan Pemasangan PHB tutup pasang diluar pada PUIL 2000. 2. Ketinggian PHB tidak boleh kurang 1.2 meter. 3. Inti pokok komponen PHB, Pada sisi penghantar masuk dari PHB yang berdiri sendiri harus dipasang setidak-tidaknya satu saklar, sedangkan pada setiap penghantar keluar setidak-tidak dipasang satu proteksi arus . 4. Pada komponen PHB seperti saklar utama dan MCB (Pengaman ),dan lainlain harus bertanda SNI.
14
2.6.4
Arde dan Penghantar Proteksi Arde (jalur langsung dari arus listrik menuju bumi atau koneksi fisik
langsung ke bumi) dan penghantar proteksi dalam instalasi penerangan jalan raya memiliki fungsi yaitu : 1. Arde dan penghantar proteksi mempunyai peranan yang sangat penting pada suatu instalasi, karena semua BKT seperti PHB, armatur, tiang, dll harus di groundingkan untuk menghindari teganan sentuh terlalu tinggi. 2. Pada sistem TN-C-S semua BKT dihubungkan dengan Pembumian di PHB dengan mengunakan penghantar proteksi ( PE ). 3. Pada sistem TT semua BKT dibumikan terpisah dengan Pembumian pada PHB ( Dengan kata lain semua BKT dibumikan / digrounding sendiri ).
2.7
Satuan Penerangan Sistem Internasional Satuan penerangan sistem internasional yang digunakan adalah sebagai
berikut : 1. Tingkat/kuat penerangan (Iluminasi - Lux), didefinisikan sebagai sejumlah arus cahaya yang jatuh pada suatu permukaan seluas 1 (satu) meter persegi sejauh 1 (satu) meter dari sumber cahaya 1 (satu) lumen. 2. Intensitas Cahaya adalah arus cahaya yang dipancarkan oleh sumber cahaya dalam satu kerucut ("cone") cahaya, dinyatakan dengan satuan unit Candela. 3. Luminasi
adalah
permukaan
benda
yang
mengeluarkan/memantulkan
intensitas cahaya yang tampak pada satuan luas permukaan benda tersebut, dinyatakan dalam Candela per meter persegi (Cd/m2) 4. Lumen adalah unit pengukuran dari besarnya cahaya (arus cahaya). 2.8
Spesifikasi Lampu Penerangan Jalan Ada beberapa jenis lampu penerangan jalan. Jenis lampu penerangan jalan
ditinjau dari karakteristik dan penggunaannya sesuai dengan BSN (2008) dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
15
Tabel 2.8 Jenis Lampu Penerangan Jalan Ditinjau dari Karakteristik dan Penggunaannya. Jenis Lampu
Efikasi rata-rata (lumen / watt)
Umur rencana rata-rata (jam)
Lampu tabung fluoresen tekanan rendah
60 – 70
8.000 10.000
Lampu gas merkuri tekanan tinggi (MBF/U)
50 – 55
Lampu gas sodium tekanan rendah (SOX)
Lampu gas sodium tekanan tinggi (SON)
Pengaruh terhad warna obyek
Daya (watt) –
Keterangan
18 - 20
Sedang
- untuk jalan kolektor dan lokal - efisiensi cukup tinggi tetapi berumur pendek - jenis lampu ini masih dapat digunakan untuk hal-hal yang terbatas
16.000– 24.000
125; 250; 400; 700
Sedang
- Untuk jalan kolektor, lokal, dan persimpangan - Efisiensi rendah, umur panjang, dan ukuran lampu kecil - Jenis lampu ini masih dapat digunakan secara terbatas
100-200
8.000 10.000
90 -180
Sangat buruk
-
110
12.00020.000
150, 250, 400
Buruk
- Untuk jalan tol, arteri, kolektor, persimpangan besar/luas dan interchange; efisiensi tinggi, umur sangat panjang, ukuran lampu kecil, sehingga mudah pengontrolan cahayanya; - Jenis lampu ini sangat baik dan sangat dianjurkan untuk digunakan.
untuk jalan kolektor, lokal,persimpangan, penyeberangan, terowongan, tempat peristirahatan (rest area), efisiensi sangat tinggi, umur cukup panjang, ukuran lampu besar. sehingga sulit untuk mengontrol cahayanya dan cahaya lampu sangat buruk karena warna kuning. - Jenis lampu ini dianjurkan digunakan karena faktor efisiensinya yang sangat tinggi.
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2008 hlm. 5
Rumah lampu penerangan ( lantern ) dapat diklasifikasikan menurut tingkat perlindungan terhadap debu / benda dan air. Hal ini dapat diindikasikan dengan istilah IP ( Index of Protection ) atau indek perlindungan, yang memiliki 2 ( dua )
16
angka, angka pertama menyatakan indek perlindungan terhadap debu / benda, dan angka kedua menyatakan indek perlindungan terhadap air. Sistem IP merupakan penggolongan yang lebih awal terhadap penggunaan peralatan yang tahan hujan dan sebagainya, dan ditandai dengan lambang. Semakin tinggi indek perlindungan ( IP ), semakin baik standar perlindungannya. Ringkasan pengkodean IP mengikuti Tabel 2.9 ( A Manual of Road Lighting in Developing Countries ). Pada umumnya, indek perlindungan ( IP ) yang sering dipakai untuk klasifikasi lampu penerangan adalah : IP 23, IP 24, IP 25, IP 54, IP 55, IP 64, IP 65, dan IP 66. Angka pertama
Tabel 2.9 Kode Indek Perlindungan IP ( Index of Protection ) Angka kedua
(a) Perlindungan terhadap manusia/benda jika
(a) Perlindungan rumah lampu jika
bersentuhan dengan komponen dalam rumah
kontak atau bersentuhan dengan
lampu
benda cair
(b) Perlindungan terhadap rumah lampu jika bersentuhan dengan benda No.
Tingkat perlindungan
/Simbol 0
No.
Tingkat perlindungan
/Simbol (a) Tanpa perlindungan.
0
Tanpa perlindungan
(b) Tanpa perlindungan. 1
(a) Perlindungan terhadap sentuhan yang tidak disengaja oleh bagian tubuh,
Perlindungan terhadap 1
seperti tangan.
tetesan air, tetapi tidak menimbulkan efek yang bahaya dan merusak.
(b) Perlindungan terhadap masuknya benda padat, berdiameter < 50 mm
2
(a) Perlindungan terhadap sentuhan seukuran jari tangan. (b) Perlindungan terhadap masuknya
2
-
Tahan tetesan air ;
-
Perlindungan terhadap tetesan air : Tetesan air
benda, yang berdiameter < 12 mm dan
yang jatuh ke rumah
panjang < 80 mm.
lampu tidak menimbulkan efek bahaya ketika rumah lampu dimiringkan
17
dengan membentuk sudut sampai 150. 3
(a) Perlindungan tersentuh peralatan, kawat atau sejenisnya yang tebalnya
3
-
Tahan hujan ;
-
Perlindungan pada air
lebih dari 2,5 mm
hujan dalam berbagai sudut s/d 600.
(b) Perlindungan terhadap masuknya benda yang sangat kecil tapi padat 4
(a) Seperti pada No. 3 tetapi tebalnya
4
lebih dari 1,00 mm
-
Tahan percikan air’
-
Percikan air yang terkena dari arah
(b) Perlindungan terhadap masuknya
manapun tidak akan
benda asing
menimbulkan efek bahaya. (a) Perlindungan sempurna terhadap
5
sentuhan.
5
-
Tahan semburan air;
-
Tahan terhadap semburan air yang
(b) Tahan debu: Perlindungan terhadap debu, tetapi
keluar dari keran.
debu masih dapat masuk walau tidak
Misalnya keran taman.
dalam jumlah banyak yang dapat mengganggu operasionalisasi. (a) Perlindungan sempurna terhadap
6
sentuhan.
6
-
Tahan derasan air;
-
Tahan terhadap air deras misalnya
(b) Tahan debu:
gelombang air laut.
Perlindungan yang sempurna dan debu tidak dapat masuk ke rumah lampu Keterangan : 7
-
Tahan dan kedap air;
-
Air tidak mungkin
-
Tingkat perlindungan dinyatakan dengan IP XX;
-
Perlindungan terhadap sentuhan atau empat masuk
masuk pada kondisi
air yang mana terlebih dahulu merubah X angka
waktu dan tekanan
pertama atau kedua yang ada pada tabel diatas.
yang tetap.
Contohnya : IP 2X diartikan bahwa pagar member
8
perlindungan terhadap sentuhan jari, tetapi tanpa
-
Tahan dan kedap air;
-
Air tidak mungkin
perlindungan spesifik terhadap tempat masuk air
masuk pada kondisi
atau cairan lainnya.
waktu dan tekanan yang tinggi/khusus.
Sumber : Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2008 hlm. 6 – 7
18
2.9
Penempatan Lampu Penerangan
1. Penempatan lampu penerangan jalan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan : a) Kemerataan pencahayaan; b) Keselamatan dan keamanan bagi pengguna jalan; c) Pencahayaan yang lebih tinggi di area tikungan atau persimpangan, dibanding pada bagian jalan yang lurus; d) Arah dan petunjuk (guide) yang jelas bagi pengguna jalan dan pejalan kaki. 2. Sistem penempatan lampu penerangan jalan yang disarankan seperti pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Sistem Penempatan Lampu Penerangan Jalan Sistem penempatan lampu Jenis jalan / jembatan yang digunakan - Jalan arteri - Jalan kolektor - Jalan lokal - Persimpangan, simpang susun, ramp - Jembatan - Terowongan
sistem menerus dan parsial. sistem menerus dan parsial. sistem menerus dan parsial. sistem menerus. sistem menerus. sistem menerus bergradasi pada ujung-ujung terowongan
3. Pada sistem penempatan parsial, lampu penerangan jalan harus memberikan adaptasi yang baik bagi penglihatan pengendara, sehingga efek kesilauan dan ketidaknyamanan penglihatan dapat dikurangi. 4. Perencanaan dan penempatan lampu penerangan jalan dapat dilihat pada Gambar 2.1
19
i
H
S2
S
1 Gambar 2.1 Penempatan Lampu Penerangan Sumber : SNI 7391: 2008
Dimana : H
= tinggi tiang lampu
L
= lebar badan jalan, termasuk median jika ada
E
= jarak interval antar tiang lampu
S1+S2
= proyeksi kerucut cahaya lampu
S1
= jarak tiang lampu ke tepi perkerasan
S2
= jarak dari tepi perkerasan ke titik penyinaran terjauh,
i
= sudut inklinasi pencahayaan/penerangan
5. Batasan penempatan lampu penerangan jalan tergantung dari tipe lampu, tinggi lampu, lebar jalan dan tingkat kemerataan pencahayaan dari lampu yang akan digunakan. Jarak antar lampu penerangan secara umum dapat mengikuti batasan seperti pada Tabel 2.11 (A Manual of Road Lighting in Developing Countries). Dalam tabel tersebut dipisahkan antara dua tipe rumah lampu. Rumah lampu (lantern) tipe A mempunyai penyebaran sorotan cahaya/sinar lebih luas, tipe ini adalah jenis lampu gas sodium bertekanan rendah, sedangkan tipe B mempunyai sorotan cahaya lebih ringan/kecil, terutama yang
20
langsung ke jalan, yaitu jenis lampu gas merkuri atau sodium bertekanan tinggi. Tabel 2.12 Jarak Antar Tiang Lampu Penerangan Berdasarkan Tipikal Distribusi Pencahayaan Dan Klasifikasi Lampu Pada Lampu Tipe A
Jenis
Tinggi
Lebar jalan (m)
lampu
lampu
4
5
6
Tingkat
7
8
9
10
11
(m) 35W SOX
pencahayaa n
4
32
32
32
-
-
-
-
-
5
35
35
35
35
35
34
32
-
6
42
40
38
36
33
31
30
29
55W SOX
6
42
40
38
36
33
32
30
28
90W SOX
8
60
60
59
55
52
50
48
46
90W SOX
8
36
35
35
33
31
30
29
28
135W SOX 10
46
45
45
44
43
41
40
39
135W SOX 10
-
-
25
24
23
22
21
20
180W SOX 10
-
-
37
36
35
33
32
31
180W SOX 10
-
-
-
-
22
21
20
20
3,5 LUX
6,0 LUX
10,0 LUX
20,0 LUX 30,0 LUX
Tabel 2.13 Jarak Antar Tiang Lampu Penerangan Berdasarkan Tipikal Distribusi Pencahayaan Dan Klasifikasi Lampu Pada Lampu Tipe B Jenis lampu 60W SON atau 80W MBF/U 70W SON atau 125W MBF/U 70W SON atau 125W MBF/U 100W SON 150W SON atau 250W MBF/U 100W SON
Tinggi Lampu (m) 4 5
Lebar jalan (m) 4
5
6
7
8
9
10
11
31 33
30 32
29 32
28 31
26 30
29
28
27
6
48
47
47
44
43
41
39
37
6
34
33
32
31
30
28
26
24
Tingkat pencahayaan
3,5 LUX
6,0 LUX 6 8
48 -
47 -
45 48
42 47
40 45
38 43
36 41
34 39
6
-
-
28
26
23
-
-
-
10 LUX
21
Jenis lampu
250W SON atau 400W MBF/U 250W SON atau 400W MBF/U 400W SON
Keterangan :
Tinggi Lampu (m)
Lebar jalan (m) 4
5
6
7
8
9
10
11
10
-
-
-
-
55
53
50
47
10 LUX
36
35
33
32
30
28
20 LUX
39 38 (Sumber : SNI 7391:2008)
37
36
30 LUX
10
12
-
Tingkat pencahayaan
- Jarak antar tiang lampu dalam meter. - Rumah lampu (lantern) tipe A mempunyai penyebaran sorotan cahaya/sinar lebih luas. - Rumah lampu (lantern) tipe B mempunyai penyebaran sorotan cahaya lebih ringan/kecil, terutama yang langsung ke jalan.
2.10
Tiang Lampu Penerangan jalan Pemasangan lampu dengan tiangnya terdiri dari tiang lampu lengan
tunggal, tiang lampu lengan ganda serta tiang lampu tegak tanpa lengan.
a. Tiang lampu dengan lengan tunggal Tiang lampu ini pada umumnya diletakkan pada sisi kiri atau kanan jalan. Tipikal bentuk dan struktur tiang lampu dengan lengan tunggal seperti diilustrasikan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Tipikal Tiang Lampu Dengan Lengan Tunggal Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2008
22
b. Tiang lampu dengan lengan ganda Tiang lampu ini khusus diletakkan di bagian tengah / median jalan, dengan syarat jika kondisi jalan yang akan diterangi masih mampu dilayani oleh satu tiang. Tipikal bentuk dan struktur tiang lampu dengan lengan ganda seperti diilustrasikan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Tipikal Tiang Lampu Dengan Lengan Ganda Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2008
c. Tiang lampu tegak tanpa lengan Tiang lampu ini terutama diperlukan untuk menopang lampu menara, yang pada umumnya ditempatkan di persimpangan – persimpangan jalan ataupun tempat – tempat yang luas seperti interchange, tempat parkir, dan lain – lain. Jenis tiang lampu ini sangat tinggi, sehingga sistem penggantian / perbaikan lampu dilakukan di bawah dengan menurunkan dan menaikkan kembali lampu tersebut menggunakan suspension cable. Detail konstruksi tiang lampu tegak tanpa lengan ini diilustrasikan pada Gambar 2.4.
23
Gambar 2.4 Tipikal Tiang Lampu Tegak Tanpa Lengan Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2008
Untuk menentukan sudut kemiringan stang ornamen, agar titik penerangan mengarah ke tengah tengah jalan, maka :
T = √𝒉𝟐 + 𝑪𝟐
(2.2)
Sehingga :
𝐶𝑜𝑠 𝜑 =
ℎ 𝑡
(2.3)
24
Gambar 2.5 Penentuan sudut kemiringan stang ornamen terhadap lebar jalan Sumber : SNI 7391, 2008
Keterangan : h :tinggi tiang t :jarak lampu ke tengah-tengah jalan c :jarak horizontal lampu-tengah jalan W1 :tiang ke ujung lampu W2 :jarak horizontal lampu ke ujung jalan
2.11
Jenis Lampu Penerangan Jalan Umum Berdasarkan jenis sumber cahaya, lampu penerangan jalan umum dapat
dibedakan 5 jenis yaitu :
1.
Lampu LVD (Low Voltage Discharge) Lampu LVD memiliki tiga bagian utama, yaitu sebuah ballast dengan
frekuensi tinggi, sebuah kumparan induksi, sebuah lampu. Cahaya dihasilkan dari benturan elektron dari pelepasan dua elektroda yang mengenai lapisan / dinding
25
fluor pada tabung lampu. Pada lampu induksi Elektroda yaitu anoda dan katoda dihilangkan. Pengganti untuk menggerakkan elektron digunakan medan magnet yang dihasilkan dari lilitan yang diinduksi listrik. Kalau listrik tidak mengaliri lilitan maka tidak ada induksi dan tidak ada medan magnet maka lampu tidak menyala.Tetapi apabila listrik mengalirinya lampu secara serta merta dengan instan menyala. Itulah prinsipnya yang dipakai pada lampu induksi. Itulah makanya jenis lampu ini disebut lampu electrode – less, atau lampu induksi. LVD Induction sangat cocok digunakan untuk penghematan energy dan tempat yang tinggi yang susah dijangkau, seperti: lampu tinggi untuk pabrik, lampu sorot, lampu penerangan jalan / PJU, terowongan, maupun lemari pendingin. (Pringatun, dkk. 2011)
2.
Lampu HPM (High Pressure Mercury) Pada jenis lampu merkuri tekanan tinggi, pembatas arus pelepasan
menggunakan ballast, karena itu factor dayanya relatif rendah yaitu 0,5. Tabung dalam terbuat dari gelas keras sehingga mampu digunakan pada temperature relatif tinggi(Muhaimin,2001). Cara kerja lampu merkuri terdiri dari 3 tahapan yaitu pengapian, proses pencapaian stabil dan stabil. Pada saat suplai tegangan diberikan terjadi medan listrik antara elektroda kerja awal dengan salah satu elektroda utama. Hal ini menyebabkan pelepasan muatan kedua elektroda dan memanaskan merkuri yang ada disekelilingnya. Untuk menguapkan merkuri tersebut diperlukan waktu 4 hingga 8 menit. Setelah semua merkuri menjadi gas, resistansi elektroda kerja awal naik karena panas dan arus mengalir antar elektroda utama melalui gas. Warna kerja awal kemerahan dan setelah kerja normal sinar yang dihasilkan berwarna putih. (Pringatun, dkk. 2011) Kelemahan lampu HPM adalah semakin sering pensaklaran (switching) akan memperpendek umur lampu karena pada awal penyalaan terjadi panas yang melebihi normal. Contoh lampu HPL – N. (Pringatun, dkk. 2011)
3.
Lampu HPS (High Pressure Sodium)
26
Lampu HPS lebih kecil dan mengandung unsur tambahan seperti raksa, dan menghasilkan cahaya oranye kemerahjambuan. Beberapa bola lampu juga menghasilkan cahaya putih kebiruan. Ini mungkin dari cahaya raksa sebelum natrium menguap sempurna. Jalur-D natrium adalah sumber cahaya utama dari lampu HPS, dan spectrum sempit ini dilebarkan oleh natrium tekanan tinggi dalam lampu, karena pelebaran ini dan pancaran dari raksa, warna benda yang diterangi dapat dibedakan. Ini membuatnya digunakan di tempat yang diinginkan pembedaan warna yang baik.Lampu HPS disukai untuk penyinaran tumbuhan dalam ruang karena lebarnya spektrum suhu warna yang dihasilkan dan efisiensinya yang relatif tinggi. (Pringatun, dkk. 2011)
4.
Lampu Metal Halide Lampu discharge dimana sebagian besar dari cahaya dihasilkan oleh
radiasi dari campuran uap logam (misalnya: air raksa) dan penguraian (dissosiasi) halide (halide thallium, indium atau natrium). (Pringatun dkk. 2011)
5.
Lampu LED (Light Emiting Diode) LED didefinisikan sebagai salah satu semikonduktor yang mengubah
energi listrik menjadi cahaya. Sebagaimana dioda lainnya LED terdiri dari bahan semikonduktor P dan N. Bila sumber diberikan pada LED kutub negatif dihubungkan dengan N dan kutub positif dengan P maka lubang ( hole ) akan mengalir kearah N dan elektron mengalir kearah P. (Pringatun, dkk. 2011) LED merupakan perangkat keras dan padat ( solid-state component ) sehingga unggul dalam hal ketahanan ( durability ). Umur Lampu LED dapat mencapai 50.000 jam, hal ini dikarenakan tegangan kerja arus searah ( VDC ) konstan, meskipun di suplai dari arus AC, namun di dalam LED terdapat stabiliser yang menstabilkan suplai arus AC tersebut. (Pringatun, dkk. 2011)
27
2.12
Penataan penempatan lampu jalan Penyusunan armature dengan ornament cabang dua pada median
digunakan untuk jalan-jalan yang lebar dan dipisahkan oleh median. Biasanya adalah untuk jalan dua arah yang mana masing-masing arah terdiri lebih dari satu jalur. Penataan tipe ini dapat disamakan dengan pemasangan single side bagi masing-masing jalur jalan. Berikut ini merupakan rumus yang digunakan untuk penyusunan armature dengan ornament cabang dua pada median (Muhaimin, 2001). Erata-rata =
𝜑.𝜂.𝑀𝐹 𝑊.𝑠
(2.4)
Dimana : Erata-rata : Tingkat pencahayaan rata-rata (Lux).
2.13
Ф
: Fluk cahaya (Lumen).
η
: Faktor Utilitas.
MF
: Faktor perawatan
W
: Lebar jalan (m)
S
: Jarak antar tiang (m).
Dasar Pencahayaan
2.13.1 Arus Cahaya / Fluks Cahaya Arus cahaya adalah jumlah cahaya yang dipancarkan setiap detik oleh sebuah sumber cahaya satuannya lumen (lm), simbolnya (phi). Menurut Abdul Kadir (1995) fluks cahaya adalah sebagai jumlah total cahaya yang dipancarkan oleh sumber cahaya setiap detik. Dari pengertian di atas kemudian dirumuskan pada rumus : 𝜙=
𝑄
(2.5)
𝑡
Dimana : 𝜙 = fluks cahaya dalam lumen (lm) Q = Energi cahaya dalam lumen detik (lm.dt) t = waktu dalam detik (dt)
28
2.13.2 Intensitas Cahaya Intensitas berasal dari bahasa latin yaitu intentio yang berarti ukuran kekuatan, keadaan tingkatan atau ukuran intensnya.Sedangkan cahaya adalah sebuah gelombang elektromagnetik yang dapat kita lihat apabila mengenai suatu bidang tertentu. Sedangkan menurut Hermawan,2008 intensitas cahaya adalah Arus cahaya dalam lumen yang diemisikan setiap sudut ruang (pada arah tertentu) oleh sebuah sumber cahaya mempunyai rumus seperti di bawah ini : I=
ϕ
(2.6)
𝜔
Dimana: 𝜙 = fluks cahaya dalam lumen (lm) I = intensitas cahaya dalam candela (cd) = lm⁄sr 𝜔 = sudut ruang dalam steradian (sr)
2.13.3 Iluminasi Kuat penerangan ialah kuantitas/jumlah cahaya pada level pencahayaan / permukaan tertentu dengan satuan = lux (lumen/m2). Iluminasi menurut Stevenson (1983) adalah kepadatan arus gaya bercahaya yang jatuh pada permukaan seluas satu satuan luas, kalau permukaan diterangi secara seragam. Iluminasi dirumuskan dengan : E=
Φ
(2.7)
𝐴
Dimana: E = iluminasi dalam lux (lx) = lm⁄m2 Φ = fluks cahaya dalam lumen (lm) A = luas bidang (m²) Karena arus cahaya Φ = 𝜔 ∙ 𝐼 dan 𝐴 = 𝜔 ∙ 𝑅 2
(2.8)
maka E=
𝐼 𝑅²
(2.9)
29
Luminasi (L) Adalah pernyataan kuantitatif jumlah cahaya yang dipantulkan oleh permukaan pada suatu arah (Muhaimin, 2001). L=
Φ ω∙R
(2.10)
Maka L=
𝐼
(2.11)
R
Dimana: L = luminasi dalam nit (nt) = 𝑐𝑑⁄𝑚2 I = intensitas cahaya dalam candela (cd) = lm⁄sr R = titik jarak / luas (𝑚2 )
2.13.4 Efikasi Cahaya Efikasi cahaya adalah perbandingan fluks cahaya dengan daya. Suryatmo (1996) pada buku pencahayaan arsitektur menjelaskan bahwa efikasi cahaya adalah perbandingan antara kekuatan arus cahaya (fluks) dengan daya yang dipergunakan untuk menerangi suatu luas bidang tertentu.Efikasi cahaya dirumuskan dengan :
η=
Φ
(2.11)
𝑝
Dimana:
η = efikasi cahaya dalam (𝑙𝑚⁄𝑤) = 𝑙𝑢𝑚𝑒𝑛⁄𝑤𝑎𝑡𝑡 P = daya listrik dalam watt (w) Φ = fluks cahaya dalam lumen (lm)
2.14
Konsumsi energi
2.14.1 Daya Lampu Total Menurut Kusumayogo, dkk (2013), daya lampu total dapat dirumuskan sebagai berikut : Ptotal = P x n x cos 𝜑
(2.12)
30
Dimana : Ptotal = Daya lampu total (W) P
= Daya lampu (W)
n
= Jumlah lampu per APP
2.14.2 Daya Lampu Tiap Bulan Menurut Kusumayogo, dkk (2013), daya lampu total dapat dirumuskan sebagai berikut :
Pbulan = Ptotal x t
(2.13)
Dimana : P bulan = Daya lampu total tiap bulan (kWh/bulan) P total = Daya lampu total t
= waktu nyala (jam/bulan)
2.14.3 Biaya Pemakaian Energi Mengenai biaya pemakaian energi menurut Kusumayogo, dkk (2013) , dapat dirumuskan sebagai berikut :
M = U x P bulan
(2.14)
Dimana : M
= biaya pemakaian tiap bulan (Rp/bulan)
U
= Tarif biaya pemakaian tiap bulan (Rp/kWh)
Pbulan = Daya total lampu tiap bulan (W)
2.15 Potensi Matahari Indonesia merupakan daerah sekitar khatulistiwa dan daerah tropis dengan luas daratan 2 juta Km2; dikaruniai penyinaran matahari lebih dari 6 jam sehari
31
atau sekitar 2.400 jam dalam setahun. Pada keadaan cuaca cerah, permukaan bumi menerima energi matahari sekitar 1000Wh/m2 Berdasarkan letak astronomis, Indonesia termasuk ke dalam daerah tropis. Dimana daerah tropis adalah suatu daerah yang terletak di antara 0° lintang utara (LU) – 23,5° LU dan 0° lintang selatan (LS) – 23,5° LS. Daerah tropis ini merupakan daerah peredaran matahari semu tahunan . Karena Indonesia terletak pada garis lintang 6° LU dan 11° LS, maka Indonesia termasuk daerah tropis. Dilihat dari letak astronomisnya pulau Bali berada di antara 7⁰ – 9⁰ LS Daerah tropis adalah daerah yang memiliki dua musim, yakni musim kemarau dan musim hujan yang bergantian setiap enam bulan sekali. Musim kemarau berlangsung antara bulan April sampai Oktober dan musim hujan berlangsung antara bulan Oktober sampai April. Terjadinya perubahan musim ini disebabkan oleh terjadinya peredaran matahari semu setiap tahun. Gambar 2.6 merupakan garis peredaran matahari semu tahunan. (Setiawan, 2013)
Gambar 2.6 Garis peredaran matahari semu tahunan Sumber : Agus Setiawan, 2013 Tabel 2.14 Waktu kedudukan matahari NO
Tanggal dan Bulan
Kedudukan Matahari
1
21 Maret – 21 Juni
Antara 0° - 23,5° LU
2
21 juni – 23 September
Antara 23,5° - 0° LU
3
23 September – 22 Desember
Antara 0° - 23,5° LS
4
22 Desember – 21 Maret
Antara 23,5° - 0° LS
Sumber : Agus Setiawan, 2013
32
Berdasarkan waktu kedudukan matahari (tabel 2.14), dapat dilihat bahwa peredaran matahari dalam satu tahun dapat dibedakan menjadi empat kedudukan. Yang mana untuk kuartal I berada antara 21 Maret – 21 Juni, kuartal II berada antara 21 juni – 23 September, kuartal III berada antara 23 September – 22 Desember, dan kuartal IV berada antara 22 Desember – 21 Maret. Dari keempat kuartal waktu kedudukan matahari itu, untuk daerah Bali memiliki peak hour per day (insonasi matahari) seperti tabel dibawah ini :
Tabel 2.15 Peak hour per day rata-rata daerah Bali
Kuartal I
Energi Matahari ( MJ/m2) 20
Kuartal II
15
4,16
Kuartal III
20
5,55
Kuartal IV
15
4,16
Kuartal
Rata-rata peak hour per day
Peak Hour per day (h) 5,55
4,85h
Sumber : BAPPEDA, 2004
2.16
Solar Cell Energi listrik dapat dibangkitkan dengan mengubah sinar matahari melalui
sebuah proses yang dinamakan photovoltaic (PV). Photo merujuk kepada cahaya dan voltaic merujuk kepada tegangan. Terminologi ini digunakan untuk menjelaskan sel elektronik yang memproduksi energi listrik arus searah dari energi radian matahari . Photovoltaic cell dibuat dari material semikonduktor terutama silikon yang dilapisi oleh bahan tambahan khusus. Jika cahaya matahari mencapai cell maka elektron akan terlepas dari atom silikon dan mengalir membentuk sirkuit listrik sehinnga energi listrik dapat dibangkitkan. Sel surya selalu didesain untuk mengubah cahaya menjadi energi listrik sebanyakbanyaknya dan dapat digabung secara seri atau paralel untuk menghasilkan tegangan dan arus yang diinginkan seperti yang dinyatakan oleh (Chenni dkk, 2007).
33
Unjuk kerja dari photovoltaic cell sangat tergantung kepada sinar matahari yang diterimanya. Kondisi iklim (misal awan dan kabut) mempunyai efek yang signifikan terhadap jumlah energi matahari yang diterima sel sehingga akan mempengaruhi pula unjuk kerjanya seperti dibuktikan dalam penelitian (Youness dkk, 2005) 2.17
Jenis-Jenis Panel Surya Panel sel surya mengubah intensitas sinar matahari menjadi energi listrik.
Panel sel surya menghasilkan arus yang digunakan untuk mengisi batere. Panel sel surya terdiri dari photovoltaic, yang menghasilkan listrik dari intensitas cahaya, saat intensitas cahaya berkurang (berawan, hujan, mendung) arus listrik yang dihasilkan juga akan berkurang. Dengan menambah panel sel surya (memperluas) berarti menambah konversi tenaga surya. Umumnya panel sel surya dengan ukuran tertentu memberikan hasil tertentu pula. Contohnya ukuran a cm x b cm menghasilkan listrik DC (Direct Current) sebesar x Watt per hour/ jam. Sel surya terbuat dari teknologi irisan silikon (silicon wafers), pembuatannya dengan cara memotong/mengiris tipis silikon dan balok batang silikon. Sel surya juga bisa terbuat dan teknologi film tipis biasa disebut thin filrn technologies, dimana lapisan tipis dan bahan semikonduktor diendapkan pada low-cost substrates. Sel surya digolongkan sesuai dengan batasan struktur dari bahan semikonduktornya seperti, mono-crystalline, multi crystalline (polycrystalline) atau amorphous material. (Setiawan, 2013)
Gambar 2.7 Kelas Teknologi Sel Surya Sumber: Setiawan,2013
34
a.
Polikristal (Poly-crystalline) Merupakan panel surya yang memiliki susunan kristal acak. Type
Polikristal memerlukan luas permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan jenis monokristal untuk menghasilkan daya listrik yang sama, akan tetapi dapat menghasilkan listrik pada saat mendung. Memiliki efisiensi sampai dengan 12 – 14 %.
Gambar 2.8 Modul Surya Polycrystalline Sumber : Setiawan, 2013
b.
Monokristal (Mono-crystalline) Merupakan panel yang paling efisien, menghasilkan daya listrik persatuan
luas yang paling tinggi. Memiliki efisiensi sampai dengan 14 – 17 % serta tahan lebih lama dibandingkan dengan polycrystalline yaitu efektif hingga 20 tahun penggunaan. Kelemahan dari panel jenis ini adalah tidak akan berfungsi baik ditempat yang cahaya mataharinya kurang (teduh), efisiensinya akan turun drastis dalam cuaca berawan.
Gambar 2.9 Modul Surya Monocrystalline Sumber : Setiawan, 2013
35
c.
Thin film Crystalline wafers menghasilkan sel surya dengan efisiensi tinggi tetapi
relatif mahal dalam pabrikasinya, dibanding dengan sel thin film yang lebih murah baik dan segi pemakaian bahan yang terbuat dan substrat yang murah, dan proses pabrikasi yang lebih sederhana, akan tetapi sel thin film kurang efisien. Sel surya jenis thin film disusun oleh bahan semikonduktor dan bebarapa bahan campuran lainnya seperti, campuran gas, bahan pendukung dan kaca, polirner, aluminium, yang bertujuan untuk menghasilkan konsistensi atau kemantapan campuran. Jenis sel surya ini memiliki ketebalan yang sangat tipis, dan lebih fleksibel sehingga meningkatkan pengaplikasian dilapangan.
Kelas thin film semikonduktornya terbuat dan campuran bahan seperti: a) Amorphous silicon (a-Si) b) Cadmium telluride (CdTe), cadmium sulfide (CdS) c) Gallum arsenide (GaAs) d) Copper indium selenide (CIS) e) Copper indium di-seleiiide (CIGS)
Gambar 2.10 Modul Surya Thin Film Sumber : Setiawan, 2013
2.18
Solar change controller Solar change controller adalah peralatan elektronik yang digunakan untuk
mengatur arus searah yang diisi ke baterai dan diambil dari baterai ke beban. Solar charge controller mengatur overcharging (kelebihan pengisian – karena baterai sudah ‘penuh’) dan kelebihan voltase dari panel surya/solar cell. Kelebihan voltase dan pengisian akan mengurangi umur baterai. Solar charge controller menerapkan teknologi Pulse width modulotion (PWM) untuk mengatur fungsi pengisian baterai dan pembebasan arus dari baterai ke beban. Panel
36
surya/solar cell 12 Volt umumnya memiliki tegangan output 16 – 21 Volt. Jadi tanpa solar charge controller, baterai akan rusak oleh overcharging dan ketidakstabilan tegangan. Baterai umumnya charging pada tegangan 14 – 14.7 Volt. Beberapa fungsi detail dari solar charge controller adalah sebagai berikut (Agus Setiawan, 2014): a) Mengatur arus untuk pengisian ke baterai, menghindari overcharging, dan overvoltage. b) Mengatur arus yang dibebaskan/ diambil dari baterai agar baterai tidak ‘full discharge’, dan overloading. c) Monitoring temperatur baterai
Gambar 2.11 Solar change controller Sumber : DISHUBKOMINFO, 2013
2.19
Baterai Baterai merupakan salah satu komponen yang digunakan pada sistem
solar cell yang dilengkapi dengan penyimpanan cadangan energi listrik. Baterai memiliki fungsi untuk menyimpan energi listrik yang dihasilkan oleh panel surya dalam bentuk energi arus searah. Energi yang disimpan pada baterai berfungsi sebagai cadangan (back up), yang biasanya dipergunakan pada saat panel surya tidak menghasillcan energi listrik, contohnya pada saat malarn hari atau pada saat cuaca mendung, selain itu tegangan keluaran ke sistem cenderung lebih stabil. Satuan kapasitas energi yang disimpan pada baterai adalah ampere hour (Ah), yang diartikan arus maksimum yang dapat dikeluarkan oleh baterai selarna satu
37
jam. Namun dalam proses pengosongan (discharger), baterai tidak boleh dikosongkan hingga titik maksimumnya, hal ini dikarenakan agar baterai dapat bertahan lebih lama usia pakainya (life time), atau minimal tidak mengurangi usia pakai yang ditentukan dan pabrikan. Batas pengosongan dan baterai sering disebut dengan istilah depth of discharge (DOD), yang dinyatakan dalam satuan persen, biasanya ditentukan sebesar 80%. Banyak tipe dan kiasifikasi baterai yang diproduksi saat ini, yang masing-masing memiliki desain yang spesifik dan karakteristik performa berbeda sesuai dengan aplikasi khusus yang dikehendaki. Pada sistem solar cell jenis baterai lead-acid lebih banyak digunakan, hal ini dikarenakan ketersediaan ukuran (Ah) yang ada lebih banyak, lebih murah, dan karateristik performanya yang cocok. Pada beberapa kondisi kritis, seperti kondisi temperatur rendah digunakan baterai jenis nickel-cadmium, namun lebih mahal dan segi pernbiayaannya ( Setiawan, 2013 ) .
2.20
Sistem Solar Cell LPJU
Solar Cell
Lampu LED
Tiang Lampu Box Controler dan Baterai
Gambar 2.12 Lampu Penerangan Jalan Umum Mengguankan Solar Cell Sumber : Kusumayogo, 2013
Prinsip dasar Lampu Jalan Tenaga Surya hampir sama dengan lampu jalan konvensional. Bedanya hanya sumber listriknya yang diperoleh dari energi
38
matahari yang telah disimpan di Battery. Komponen dari LPJU solar cell terdiri dari , Lampu LED, Tiang Lampu, solar cell / photovoltaic module , serta box controller yang di dalamnya terdapat solar change controller dan baterai
Gambar 2.13 Konfigurasi Dasar System Lampu Penerangan Jalan Solar Cell Sumber : Kusumayogo, 2013
Diagram diatas merupakan konfigurasi dasar dari Sistem Lampu Jalan Tenaga Surya. Modul Surya berfungsi untuk mengubah sinar matahari menjadi energi listrik DC (arus searah). Energi listrik DC ini kemudian disimpan di Battery. Tetapi penyimpanan energi ini harus diatur, tidak boleh diisi berlebihan (over-charged) juga tidak boleh dipakai dibebani secara berlebihan (over-load). Karena itu harus dipasang alat yang disebut solar charge control yang bertugas sebagai pengatur lalu-lintas arus pada battery dan sebagai pengamankan sistem dari kerusakan akibat hubungan pendek, over charged dan over load. Listrik yang disimpan dalam battery adalah arus searah (DC) yang kemudian akan langsung disalurkan ke lampu LED, namun ada juga sistem yang mengubah arus searah (DC) menjadi arus bolak-balik (AC) dengan menggunakan inverter untuk menyalurkan energi listrik ke lampu, dikarenakan lampu yang digunakan memerlukan sumber arus bolak-balik (AC) . Sementara untuk mengontrol hidup dan matinya lampu dapat dipakai Timer, Sensor Tegangan ataupun Sensor Cahaya Matahari (Photo Switch)
39
2.21
Inklinasi dan Orientasi Panel Surya Efisiensi maksimum dari panel surya akan meningkat jika sudutnya saat
terjadi sinar matahari selalu berada pada 90°. Namun kenyataannya peristiwa dan radiasi matahari bervariasi berdasarkan pada keduanya yaitu garis lintang (lattitude), dan seperti halnya dekilnasi matahari selama setahun. Faktanya poros rotasi bumi adalah dengan kemiringan sekitar 23,45° terhadap bidang dan orbit bumi oleh matahari, pada garis lintang tertentu tinggi dari matahari pada langit bervariasi setiap harinya. Untuk mengetahui ketinggian maksimum (dalarn derajat) ketika matahari mencapai langit (𝛼), secara mudah dengan menggunakan rumus berikut: 𝛼 = 90° − lat + δ(N ℎ𝑒𝑚𝑖𝑠𝑝ℎ𝑒𝑟𝑒); 90° + lat − δ(S ℎ𝑒𝑚𝑖𝑠𝑝ℎ𝑒𝑟𝑒)
(2.15)
Dimana : Lat
= garis lintang (latitude) lokasi instalasi panel surya terpasang (dalam satuan derajat)
𝛿
= sudut dari deklinasi matahari (23,45°)
Apabila sudut dan ketinggian maksimum matahari (𝛼) diketahui, maka sudut kemiringan dan panel surya (𝛽) juga dapat diketahui. Namun tidak cukup hanya rnengetahui 𝛼 saja untuk menentukan orientasi yang optimal dan panel surya. Orientasi dari panel surya dapat diindikasikan dengan sudut asimut (azimuth angle) dalam notasi 𝛾, pada deviasi terhadap arah optimum dan selatan (untuk lokasi di belahan bumi utara), atau dari utara (untuk lokasi di belahan bumi selatan). Nilai positif dari sudut asimut menunjukan orientasi ke barat, sebaliknya nilai negatif menunjukan orientasi ke timur.
Gambar 2.14 Kombinasi inklinasi dan orientasi menentukan eksposisi panel surya Sumber : Setiawan, 2013