BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Biologi Lele Dumbo Salah satu komoditas perikanan yang cukup populer di masyarakat adalah lele dumbo (Clarias gariepinus). Ikan ini berasal dari Benua Afrika dan pertama kali didatangkan ke Indonesia pada tahun 1984. Lele dumbo memiliki berbagai kelebihan yang menyebabkan lele dumbo termasuk ikan yang paling mudah diterima masyarakat. Kelebihan tersebut diantaranya adalah pertumbuhannya cepat, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi. Maka tak heran, apabila minat masyarakat untuk membudidayakan lele dumbo sangat besar. Ikan lele bersifat nocturnal, yaitu aktif bergerak mencari makan pada malam hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan berlindung di tempat-tempat gelap. Di alam lele memijah pada musim penghujan (BPP Teknologi 2000). Clarias gariepinus atau dikenal sebagai lele dumbo merupakan ikan introduksi, sedangkan yang lainnya merupakan spesies asli (indigenous species) diperairan umum Indonesia. Berdasarkan taksonominya, klasifikasi ikan lele menurut Ghufran dan Kordi (2010) ke dalam: Filum Kelas Subkelas Ordo Subordo Famili Genus Spesies
: Chordata : Pisces : Teleostei : Ostariophysi : Siluridae : Claridae : Clarias : Clarias gariepinus
Tengah badannya mempunyai potongan membulat, dengan kepala pipih ke bawah (depressed), sedangkan bagian belakang tubuhnya berbentuk pipih ke samping (compressed). Dengan demikian, pada lele ditemukan tiga bentuk potongan melintang, yaitu pipih ke bawah, bulat dan pipih ke samping (Ghufran dan Kordi 2010).
5
6
Kepala bagian atas dan bawah tertutup oleh tulang pelat. Tulang pelat ini membentuk rongga di atas insang. Disinilah terdapat alat pernapasan tambahan (arborescent) yang bergabung dengan busur insang kedua dan keempat. Alat pernafasan tambahan yang berupa lipatan menyerupai spons (arborescent) yang dimiliki oleh lele, ikan ini dapat mengikat O2 bebas dari udara (Gambar 1). Lele dapat bernafas dengan mengambil udara langsung kepermukaan air dan tahan terhadap pencemaran bahan organik sehingga dapat hidup pada lingkungan yang jelek (Sumaryanto 1989 dalam Rahardja 2005).
G
Gambar 1. Morfologi lele dumbo (http://www.fao.org)
Ikan lele memiliki 4 pasang sungut yang terdiri dari 1 pasang sungut hidung, 1 pasang sungut maksilar dan 2 pasang sungut mandibular (Jayaram 1981 dalam Nugroho 1999). Penglihatan ikan lele berfungsi dengan baik tetapi ikan lele memiliki 2 buah alat olfaktori yang terletak yang terletak bedekatan dengan sungut hidung untuk mengenali mangsanya melalui perbedaan dan penciuman (Handojo, et al. 1986 dalam Nugroho 1999). Sirip ekor lele membulat, tidak bergabung dengan sirip punggung dan sirip anal. Sirip perut membulat dan panjangnya mencapai sirip anal. Sirip dada pada lele lokal (Clarias batrachus) dilengkapi sepasang duri tajam yang umumnya disebut patil atau taji. Patil ini beracun, terutama pada ikan-ikan remaja, sedangkan ikan yang sudah tua agak berkurang kadar racunnya (Ghufran dan Kordi 2010). Jenis kelamin lele dapat dibedakan berdasarkan perbedaan bentuk papila yang berbeda dibelakang anus, pada lele jantan berbentuk memanjang, sedangkan pada lele betina berbentuk
7
oval. Perbedaan ini hanya dapat dilihat setelah lele berumur kurang lebih setahun dan berat tubuh mencapai 300 gram (Nugroho 1999).
Gambar 2. Lele dumbo (Clarias gariepinus)
2.2
Perkembangan Larva Stadia perkembangan awal hidup ikan secara umum terdiri dari tahapan stadia telur, larva dan juvenil. Telur akan menetas menjadi larva dengan kantung kuning telur (yolk-sac) yang belum berkembang dan kemudian berenang lemah (Amarullah 2008). Larva adalah anak ikan yang baru menetas dari telur berukuran sangat kecil dan membawa cadangan makanan pada tubuhnya berupa kuning telur dan butiran minyak. Pada fase larva, organ–organ tubuhnya belum sempurna karena masih dalam proses perkembangan. Larva lele khususnya lele dumbo mempunyai kisaran ukuran antara 5 sampai 7 mm dengan berat 1,2 sampai 3 mg yang baru menetas memiliki panjang total 1,21 hingga 1,65 mm dengan rata-rata 1,49 mm (Nugroho 1999). Larva masih dalam proses perkembangan menuju bentuk definitif sehingga belum memiliki organ tubuh yang lengkap, bahkan organ yang ada pun masih bersifat primitif sehingga belum berfungsi maksimal. Oleh karena itu, pada saat dilakukan 15 penimbangan larva tidak ditemukan perbedaan bobot yang signifikan antar perlakuan (Effendi 2004).
8
Menurut Effendie (1997), Perkembangan larva terdiri dari dua tahap yaitu prolarva dan postlarva. Prolarva adalah larva yang masih mempunyai kantung kuning telur yang terletak dibagian depan bawah dan tubuh transparan dengan beberapa butir pigmen yang belum diketahui fungsinya. Sirip dada dan ekor sudah ada tetapi belum terbentuk sempurna bentuknya. Kebanyakan prolarva yang baru keluar dari cangkang telur tidak mempunyai sirip perut nyata, hanya bentuk tonjolan. Mulut dan rahang belum berkembang dan ususnya masih berupa tabung yang lurus. Sistem pernafasan dan peredaran darah belum sempurna dan memperoleh asupan nutrisi berasal dari kuning telur.
Gambar 3. Larva lele dumbo (D-2)
Massa postlarva adalah larva yang kuning telurnya telah habis dan organorgan tubuhnya telah terbentuk sampai larva tersebut memiliki bentuk menyerupai ikan dewasa. Sirip dorsal sudah mulai dapat dibedakan, demikian pula sirip ekor terbentuk mendekati bentuk yang sempurna. Pada masa postlarva, larva sudah mulai berenang aktif dan kadang-kadang memperlihatkan sifat bergerombol walaupun tidak selamanya demikian (Effendie 1997). Dijelaskan pula bahwa ikan-ikan yang masih berada pada stadia telur dan larva digolongkan serta diistilahkan sebagai ichthyoplankton. Larva yang baru menetas bersifat pasif karena mulut dan matanya belum membuka sehingga pergerakannya tergantung arus air. Larva yang baru menetas dari telurnya disebut larva berumur 0 hari (D-0) dengan membawa cadangan kuning telur dan gelembung minyak. Ukuran cadangan kuning telur dan gelembung minyak serta letak gelembung minyak pada kuning telur tergantung pada jenis ikan. Pada ikan kakap dan beronang, letak gelembung minyak cenderung berada pada ujung mendekati bagian kepala atau bagian depan,
9
sedangkan pada larva ikan kerapu cenderung berada lebih jauh dari bagian kepala atau lebih dekat ke arah bagian belakang (http://akuakultur.blogspot.com/2011). Menurut Amarullah (2008), Pada stadia penyerapan kuning telur, larva akan mengalami perkembangan karakter sementara (transients larval character) seperti pola pigmen, duri dan sirip dibagian kepala ataupun bagian lainnya yang memang dibutuhkan dalam adaptasinya dengan kondisi lingkungan. Secara bertahap larva kemudian mengalami perkembangan yang mendekati karakter dewasa terutama karakter meristik. Pada tahap akhir perkembangan larva, ikan mengalami perubahan ketika memasuki stadia juvenil baik secara bertahap ataupun secara tiba-tiba seperti pada ikan demersal. Stadia juvenil ikan bentuk tubuh telah mendekati bentuk tubuh ikan dewasa meskipun pada dimensi yang lebih kecil, seluruh jari-jari sirip dan sisik telah lengkap terbentuk serta tulang sudah hampir seluruhnya mengeras.
Gambar 4. Stadia perkembangan lele dumbo (Sumber: Jansen 1987 dalam http://www.fao.org)
2.3
Kuning Telur (Yolk-sac) Menurut Kamler (1992), Kuning telur merupakan sumber energi utama kebanyakan ikan selama periode kebutuhan pakan tersedia dalam tubuh (endegenous feeding), dimana dimulai setelah proses fertilisasi dan berakhir pada saat larva sudah mendapatkan pakan dari luar (exogenous feeding). Sebagian besar larva ikan air tawar memiliki kuning telur dengan kandungan protein sekitar 59,2-67%, lemak 20-30%, karbohidrat 0-3,7% dan abu
10
0-9,8% (Heming dan Buddington 1988 dalam Nugroho 1999). Rata-rata panjang kantong kuning telur 0,86 mm. Pigmentasi awal tidak seragam, mata, saluran pencernaan, kloaka dan sirip kaudal transparant. Tiga hari setelah menetas, sebagian besar kuning telur diserap dan butir minyak berkurang hingga ukuran yang tidak signifikan (http://akuakultur.blogspot.com). Penyerapan kuning telur oleh larva diperlukan untuk aktivitas gerak larva dan penyempurnaan organogenesis tubuh larva. Ketidaksempurnaan dalam proses organogenesis dalam mempengaruhi kemampuan larva untuk mengambil pakan dari luar rendah yang berkaitan dengan pembentukan organ-organ pemangsaan yang rendah sebagai akibat dari penggunaan kuning telur yang tidak efisien (Budiardi et al. 2005). Menurut Heming dan Buddington (1998) dalam Budiardi et al. (2005), efisiensi pemanfaatan dilihat dari pemanfaatan kuning telur yang dikonversikan menjadi jaringan tubuh. 2.3.1 Hubungan Suhu Dengan Penyerapan Kuning Telur Perbedaan kecepatan penyerapan kuning telur, terjadi karena perbedaan kuning telur dan pengaruh lingkungan salah satunya suhu. Penyerapan kuning telur semakin cepat ketika kondisi lingkungan berada pada kondisi optimum (Kamler 1992; Konho 1990 dan Swanson 1996 dalam Usman et al. 2003). Suhu air mempunyai pengaruh yang besar terhadap proses pertukaran zat atau metabolisme ikan termasuk pada larva ikan, hal ini dikarenakan suhu dapat mempengaruhi aktivitas larva
ikan. Larva
membutuhkan energi untuk
beraktivitas, semakin tinggi suhu maka semakin tinggi aktivitas larva ikan maka semakin besar energi yang dibutuhkan larva, kuning telur merupakan sumber energi bagi larva ikan. Suhu air yang terlalu rendah dapat mengakibatkan proses metabolisme menjadi lambat hal ini dapat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan larva ikan akan menjadi lambat tumbuh. Dijelaskan sebelumnya Kurniawan (2012), laju penyerapan kuning telur semakin meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Pada suhu ruang terjadi fluktuasi suhu yang mengganggu laju akumulasi energi dan laju metabolisme dalam tubuh larva ikan betok sehingga laju penyerapan kuning telur lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan suhu yang
11
konstan (Pramono dan Marnani 2006). Hubungan antara suhu inkubasi dengan laju penyerapan kuning telur berbanding lurus pada kisaran suhu optimal. Suhu berpengaruh
terhadap
laju
metabolisme
hewan
akuatik
yang
bersifat
poikilotermal, aktivitas metabolisme yang tinggi memerlukan energi yang besar sehingga laju penyerapan kuning telur menjadi lebih cepat (Nugraha et al. 2012). Pada fase prolarva, kuning telur (yolk-sac) merupakan sumber energi. Kuning telur merupakan cadangan makanan dan sebagai sumber energi untuk perkembangan dan pertumbuhan larva. Larva dengan kuning telur dapat hidup sekitar 4-5 hari tanpa pakan dari luar. Dikatakan pula bahwa, selain digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan, kuning telur juga merupakan sumber energi bagi metabolisme, aktivitas rutin larva dan pembentukan sel-sel organ tubuh larva (Kamler 1992). 2.3.2 Hubungan Suhu Dengan Laju Metabolisme Mahluk multiseluler, baik manusia, hewan maupun tumbuhan tersusun atas jutaan sel. Setiap sel memiliki fungsi tertentu untuk kelangsungan hidup suatu organisme. Untuk menjalankan fungsinya, sel melakukan proses metabolisme (Mustahib 2011 dalam http://biologi.blogsome.com/2011/08/16/metabolisme/). Metabolisme adalah segala proses reaksi kimia yang terjadi didalam makhluk hidup, mulai dari bersel satu yang sangat sederhana seperti bakteri, protozoa, jamur, tumbuhan, hewan; sampai kepada manusia, makhluk yang susunan tubuhnya sangat kompleks. Didalam proses ini mahluk hidup mendapat, mengubah dan memakai senyawa kimia dari sekitarnya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Wirahadikusumah 1985). Metabolisme meliputi proses sintesis dan proses penguraian senyawa atau komponen dalam sel hidup. Proses sintesis disebut anabolisme dan proses pengurai disebut katabolisme. Anabolisme dibedakan dari katabolisme dalam beberapa hal, anabolisme merupakan proses sintesis molekul kimia kecil menjadi molekul kimia yang lebih kompleks, sedangkan katabolisme merupakan proses penguraian molekul-molekul kompleks menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana. Hal lain yang penting dari metabolisme adalah peranannya dalam penawar racun atau detoksifikasi, yaitu mekanisme reaksi pengubah zat yang
12
beracun menjadi senyawa tak beracun yang dapat dikeluarkan dari tubuh (Wirahadikusumah 1985). Ikan
membutuhkan
komponen-komponen
nutrisi
seperti
protein,
karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air. kebutuhan protein untuk ikan berbeda-beda menurut spesiesnya dan pada umumnya berkisar antara 20% sampai 60%. Variasi dari kebutuhan akan protein dipengaruhi oleh jenis ikan, umur ikan, daya cerna ikan, kondisi lingkungan, kualitas protein, temperatur air, dan sumber protein tersebut. Tingginya kebutuhan protein bagi ikan disebabkan karena ikan cenderung menggunakan protein sebagai sumber energi untuk metabolisme dibandingkan karbohidrat dan lemak (Fujaya 1999). Ikan merupakan salah satu makhluk yang hidupnya dipengaruhi oleh temperatur lingkungan poikiloterm, yang hidupnya sangat tergantung pada temperatur lingkungan. Apabila temperatur meningkat, maka laju metabolisme yang terjadi pada tubuh ikan pun akan meningkat pula (Morgan 1997 dalam Soraya et al.). Dijelaskan pula, suhu merupakan variabel penting untuk organisme akuatik, suhu dapat mempengaruhi aktivitas makan dalam hal ini penyerapan kuning telur, peningkatan suhu berbanding lurus dengan peningkatan metabolisme ikan (SITH; ITB 2009). Aktivitas metabolisme yang tinggi memerlukan energi yang besar sehingga laju penyerapan kuning telur menjadi lebih cepat, suhu yang rendah menghalangi perkembangan dan produksi enzim (Budiardi et al. 2005 dalam Nugraha et al. 2012). Berikut proses metabolisme larva dengan kuning telur sebagai energi utama. Zat kuning telur diserap melalui sinsitium vitelline, kuning telur diserap oleh larva melalui mekanisme kegiatan fagositas bagian dalam dari lapisan sinsitial (zona vitelolisis), kemudian dipecah-pecah menjadi zat dengan bobot molekul rendah dan selanjutnya ditransformasikan ke dalam darah. Selanjutnya, molekul rendah tersebut diangkut keseluruh bagian tubuh. molekul-molekul rendah tersebut nantinya terbagi menjadi dua, ada yang di rombak langsung menjadi energi dan ada yang melalui hormon insulin diserap oleh sel jaringan yang nantinya digunakan untuk proses pembentukan organ tubuh larva.
13
2.3.3 Hubungan Penyerapan Perkembangan Larva
Kuning
Telur
Dengan
Pertumbuhan
dan
Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran baik bobot maupun panjang dalam waktu tertentu (Effendie 1997). Proses pertumbuhan berbeda pada setiap spesies ikan bergantung kepada lingkungan serta jumlah dan kualitas pakan (Nikolsky 1963 dalam Nugroho 1999). Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran panjang atau bobot ikan dalam kurun waktu tertentu yang dapat dipengaruhi pakan yang tersedia, jumlah ikan yang menggunakan pakan, suhu, umur dan ukuran ikan (Effendie 1997). Pertumbuhan ikan disebabkan oleh perubahan jaringan akibat pembelahan mitosis sel-sel tubuh. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan faktor intrinsik dari tubuh ikan. Faktor intrinsik meliputi umur ikan, sifat genetik, kemampuan mencerna pakan dan ketahanan terhadap penyakit. Hampir semua kasus pertumbuhan, ukuran dan umur saling berhubungan dalam beberapa hal, laju pertumbuhan menurun dengan bertambahnya ukuran tubuh (umur). Kelimpahan pakan, ukuran pakan dan nilai gizinya serta sifat fisiko kimia lingkungan merupakan faktor ekstrinsik (Heut 1979 dalam Nugroho 1999). Pertambahan umur larva berarti akan terjadi peningkatan penggunaan energi yang lebih besar, sebab larva akan mengalami tingkat perkembangan yang tubuhnya terutama masa perkembangan saluran pencernaan yang menuju sempurna dengan mendekati terbukanya lubang anus (Bulanin dan Affandi 2003). Cepatnya pertambahan panjang larva pada fase awal tergantung kepada cepatnya penyerapan kuning telur (Kohno et al. 1986 dalam Usman et al. 2003). Dijelaskan juga bahwa fase penyerapan kuning telur pada larva ikan seabass, Lates calcarifer terbagi atas; (1) fase cepat yaitu dari 0 sampai 16 jam setelah menetas, (2) fase lambat dari 16 sampai 60 atau 70 jam setelah menetas (sampai kuning telur habis). Penyerapan kuning telur meningkat dengan meningkatnya umur larva, bahkan pada umur satu hari volume kuning telur larva ikan milkfish, Chanos chanos, hanya tinggal 12-25% (Swanson 1996 dalam Usman et al. 2003).
14
Larva
memanfaatkan
cadangan
energi
berupa kuning
telur
(endogenous feeding) untuk keperluan pemangsaan perkembangan organ tubuh, terutama mata, mulut, sirip, dan saluran pencernaan. Saat penyerapan kuning telur terganggu maka proses perkembangan organ tubuh pun menjadi terhambat (Effendi 2004). Ditegaskan pula oleh Pramono dan Marnani (2006), bahwa
selama
proses
perkembangan
organogenesis,
larva
ikan
brek
memanfaatkan kuning telur sebagai sumber energi. Hal serupa juga terjadi pada larva ikan bandeng, kerapu bebek, betutu dan jenis-jenis ikan lainya (Swanson 1996; Usman 2003; Pramono, 2004). Telah dijelaskan sebelumnya oleh Pramono dan Marnani (2006), larva yang tidak mampu memanfaatkan kuning telur untuk proses organogenesis secara sempurna dapat menyebabkan kematian larva. Ketidaksempurnaan dalam proses organogenesis dengan memanfaatkan energi dari kuning telur (endogenous feeding) akan mengakibatkan ketidakmampuan larva dalam memanfaatkan pakan dari luar (exogenous feeding). Hal lain yang diduga menyebabkan kematian adalah ketidakmampuan larva beradaptasi dengan baik pada suhu air yang berfluktuatif. Air dengan suhu yang berflukuatif dapat mengakibatkan ikan stress dan mengakibatkan kematian bagi ikan. Disamping itu, penyerapan kuning telur yang terjadi pada suhu fluktiatif tidak optimal sehingga menyebabkan perkembangan organ tubuh tidak berjalan dengan baik. Sembiring (2011) mengatakan bahwa salah satu konsekuensi dari hal tersebut adalah keterlambatan perkembangan bukaan mulut larva sehingga pada saat kuning telur larva telah habis dan larva memerlukan pakan dari luar, larva tidak dapat memanfaatkan pakan tersebut dengan baik. Secara energenetik, pertumbuhan larva yang yang baru menetas dari telur merupakan perubahan dalam kandungan energi ikan total, yaitu perbedaan antara energi masuk dan energi keluar yang diperoleh dari pakan yang di konsumsi, sumber pakan dan energi tersebut berasal dari kuning telur larva.
15
2.4
Derajat Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup didefinisikan sebagai peluang untuk hidup dalam selang waktu tertentu. Dijelaskan pula, kelangsungan hidup adalah perbandingan jumlah organisme yang hidup pada akhir suatu periode dari jumlah organisme yang hidup pada awal periode Kelangsungan hidup dapat digunakan untuk mengetahui toleransi dan kemampuan ikan untuk hidup (Effendi 1997 dalam Bratamihardja 2004). Kelangsungan hidup dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti ketersediaan pakan, ruang gerak, hama penyakit, predator dan kualitas air. Allen (1974) dalam Bratamihardja (2004) bahwa semakin tinggi padat penebaran ikan, semakin sempit pula ruang gerak ikan sehingga dapat mengakibatkan beberapa hambatan dalam perkembangan ikan. Dijelaskan pula oleh Sheperd dan Bromage (1988) dalam Bratamihardja (2004), yang menyatakan bahwa pada kondisi kepadatan yang relatif tinggi, hewan air mudah mengalami stress dan berpengaruh terhadap kelangsungan hidupnya. Derajat kelangsungan hidup larva ikan lele setelah kuning telurnya habis dan dipelihara selama 14 hari sangat rendah, yaitu mencapai 50%. Kematian yang tinggi disamping disebabkan oleh adanya transisi pakan dan lingkungannya juga sifat larva yang kanibal (Effendie 1997 dan Rustidja 1984 dalam Nugroho 1999). Masa paling kritis dalam siklus hidup ikan adalah fase larva yang ditandai dengan tingginya tingkat kematian dan satu sebabnya belum cocok larva dengan pakan itu sendiri (abbas 1995 dalam Monalisa 2008). Kelangsungan hidup ikan sangat ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu sifat genetika dari spesies itu sendiri sebagai faktor internal dan faktor lingkungan dimana ikan itu hidup sebagai faktor eksternal. Ditegaskan pula oleh Bratamihardja (2004), faktor biotik dan abiotik sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan. Faktor abiotik meliputi kandungan oksigen terlarut, suhu, pH, salinitas dan adanya senyawaatau unsur yang dapat mengganggu bagi ikan. Faktor biotik adalah ada atau tidaknya organisme menguntungkan atau merugikan yang bersifat parasit, bersaing atau pemangsa.