BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Kajian Teori
2.1.1 Pembelajaran Matematika SD
Pembelajaran matematika merupakan suatu upaya untuk memfasilitasi, mendorong, dan mendukung siswa dalam belajar matematika. Banyak orang yang menganggap matematika adalah pelajaran yang sulit dan menakutkan. Anggapan ini membuat siswa merasa malas untuk belajar matematika. Heruman (2008) menyatakan dalam pembelajaran matematika SD, diharapkan terjadi reinvention (penemuan kembali). Penemuan kembali adalah menemukan suatu cara penyelesaian secara informal dalam pembelajaran di kelas. Selanjut Heruman menambahkan bahwa dalam pembelajaran matematika harus terdapat keterkaitan antara pengalaman belajar siswa sebelumnya dengan konsep yang akan diajarkan. Sehingga diharapkan pembelajaran yang terjadi merupakan pembelajaran menjadi lebih bermakna (meaningful), siswa tidak hanya belajar untuk mengetahui sesuatu (learning to know about), tetapi juga belajar melakukan (learning to do), belajar menjiwai (learning to be), dan belajar bagaimana seharusnya belajar (learning to learn), serta bagaimana bersosialisasi dengan sesama teman (learning to live together). Siswa Sekolah Dasar (SD) berada pada umur yang berkisar antara usia 7 hingga 12 tahun, pada tahap ini siswa masih berpikir pada fase operasional konkret. Kemampuan yang tampak dalam fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan objek yang bersifat konkret (Heruman, 2008). Siswa SD masih terikat dengan objek yang ditangkap dengan pancaindra, sehingga sangat diharapkan dalam pembelajaran matematika yang bersifat abstrak, peserta didik lebih banyak menggunakan media sebagai alat bantu, dan penggunaan alat peraga. Karena dengan penggunaan alat peraga dapat memperjelas apa yang disampaikan oleh guru, sehingga siswa lebih cepat memahaminya. Pembelajaran matematika di SD tidak terlepas dari dua hal yaitu hakikat matematika itu sendiri dan hakikat 5
6
dari peserta didik di SD. Suwangsih dan Tiurlina (2006) menyatakan ciri-ciri pembelajaran matematika SD yaitu: 1. Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral Metode spiral dalam pembelajaran matematika merupakan metode yang membelajarkan konsep atau suatu topik matematika selalu mengaitkan atau menghubungkan dengan topik sebelumnya, topik sebelumnya merupakan prasyarat untuk topik baru, topik baru merupakan pendalaman dan perluasan dari topik sebelumnya. Konsep yang diberikan dimulai dengan benda-benda konkret kemudian konsep itu diajarkan kembali dengan bentuk pemahaman yang lebih abstrak dengan menggunakan notasi yang lebih umum digunakan dalam matematika. 2. Pembelajaran matematika bertahap Materi pelajaran matematika diajarkan secara bertahap yaitu dimulai dari konsep-konsep yang sederhana, menuju konsep yang lebih sulit, selain pembelajaran matematika dimulai dari yang konkret, ke semi konkret, dan akhirnya kepada konsep abstrak. 3. Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif Matematika merupakan ilmu deduktif yang disesuaikan dengan tahap perkembangan siswa. 4. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi Kebenaran matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya pertentangan antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lainnya. Suatu pernyataan dianggap benar jika didasarkan pada pernyataan-pernyataan sebelumnya yang telah diterima kebenarannya. Meskipun di SD pembelajaran matematika dilakukan dengan cara induktif, tetapi pada jenjang selanjutnya generalisasi suatu konsep harus secara deduktif. 5. Pembelajaran matematika hendaknya bermakna Pembelajaran matematika secara bermakna merupakan cara mengajarkan materi pelajaran yang mengutamakan pengertian dari pada hafalan. Dalam belajar bermakna aturan-aturan, dalil-dalil tidak diberikan dalam bentuk jadi, tetapi sebaliknya aturan-aturan, dalil-dalil ditemukan oleh siswa melalui
7
contoh-contoh secara induktif di SD, kemudian dibuktikan secara deduktif pada jenjang selanjutnya. Tentunya dalam mengajarkan matematika SD tidak semudah dengan apa yang dibayangkan, selain siswa yang pola pikirnya masih pada fase operasional konkret, juga kemampuan siswa juga sangat beragam. Hudojo (2005) menyatakan ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengajarkan matematika di tingkat SD yaitu sebagai berikut: 1. Siswa Pelaksanaan pembelajaran matematika untuk sebagian besar kelompok siswa yang berkemampuan sedang berbeda dengan pembelajaran matematika kepada sekelompok kecil siswa cerdas, sekelompok besar siswa tersebut perlu diperkenalkan matematika sebagai suatu aktivitas manusia, dekat dengan penggunaan sehari-hari yang diatur secara kreatif (oleh guru) agar kegiatan tersebut disesuaikan dengan topik matematika. Untuk siswa yang cerdas, akan mudah mengasimilasi dan mengakomodasi teori matematika dan masalahmasalah yang tertera dalam buku teks. 2. Guru Ada dua orientasi guru dalam mengajar matematika SD sebagai berikut: a. Keinginan guru mengarah ke kelas sebagai keseluruhan dan sedikit perhatian individu siswa baik reaksinya maupun kepribadian. Biasanya siswa membatasi dirinya ke materi matematika yang distrukturkan ke logika matematika. Mengajar matematika berarti mentranslasikan sedekat-dekatnya ke teori matematika yang sama sekali mengabaikan kesulitan yang dihadapi siswa. b. Guru tidak terikat ketat dengan pola buku teks dalam mengajar matematika. Guru mengajar matematika dengan melihat lingkungan sekitar bersamasama dengan siswa untuk mengeksplor lingkungan tersebut. Kegiatan matematika diatur sedekat-dekatnya dengan lingkungan siswa sehingga siswa terbiasa terhadap konsep-konsep matematika. 3. Alat Bantu Pembelajaran matematika di lingkungan SD didahului dengan benda-benda konkret. Secara bertahap dengan bekerja dan mengobservasi, siswa dengan
8
sadar menginterpretasikan pola matematika yang terdapat dalam benda konkret tersebut. Model konsep seyogyanya dibentuk oleh siswa sendiri. Siswa menjadi “penemu” kecil. Siswa merasa senang bila siswa “menemukan”. 4. Proses Belajar Guru seyogyanya menyusun materi matematika sedemikian sehingga siswa dapat menjadi lebih aktif sesuai dengan tahap perkembangan mental, agar siswa mempunyai kesempatan maksimum untuk belajar. 5. Matematika Yang Disajikan Matematika yang disajikan seyogyanya dalam bentuk bervariasi. Cara menyajikannya seyogyanya dilandasi latar belakang yang realistik dari siswa. Dengan demikian aktivitas matematika menjadi sesuai dengan lingkungan para siswa. 6. Pengorganisasian Kelas Matematika
seyogyanya disajikan secara terorganisasikan, baik antara
aktivitas belajarnya maupun didaktiknya. Bentuk pengorganisasian yang dimaksud antara lain adalah laboratorium matematika, kelompok siswa yang heterogen kemampuannya, instruksi langsung, diskusi kelas dan pengajaran individu. Semua itu dapat dipilih bergantung kepada situasi siswa yang pada dasarnya agar siswa belajar matematika. Dengan memperhatikan keenam hal di atas, sangat diharapkan pembelajaran matematika menyenangkan bagi siswa dan pembelajaran matematika menjadi efektif sehingga siswa tidak hanya mampu menghafal konsep-konsep matematika, tetapi juga dapat diaplikasikan dalam
kehidupan
sehari-hari,
jadi
sangat
diharapkan
dalam
proses
pembelajaran yang dipraktekkan guru juga melibatkan dan mengaktifkan siswa dalam proses menemukan konsep-konsep matematika. Sehingga pembelajaran matematika SD mampu mengembangkan kompetensi-kompetensi matematika seperti yang terdapat dalam kurikulum matematika. Tujuan pembelajaran matematika SD adalah: (1) Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan dalam kehidupan melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional, kritis, cermat, jujur dan efektif; (2) Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir
9
matematika dalam kehidupan sehari-hari dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan; (3) Menambah dan mengembangkan ketrampilan berhitung dengan bilangan sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari; (4) mengembangkan pengetahuan dasar matematika dasar sebagai bekal untuk melanjutkan kependidikan menengah dan (5) membentuk sikap logis, kritis, kreatif, cermat dan disiplin (Depdikbud, 1996). Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa matematika SD merupakan konsep awal anak untuk mengenal. Sehingga diharapkan pembelajaran yang terjadi merupakan pembelajaran menjadi lebih bermakna (meaningful), siswa tidak hanya belajar untuk mengetahui sesuatu (learning to know about), tetapi juga belajar melakukan (learning to do), belajar menjiwai (learning to be), dan belajar bagaimana seharusnya belajar (learning to learn), serta bagaimana bersosialisasi dengan sesama teman (learning to live together). Pembelajaran matematika di sekolah, pelaksanaannya mengacu pada standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang disajikan melalui tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 SK dan KD Matematika kelas III Semester II Standar Kompetensi 3. Memahami
pecahan
sederhana
Kompetensi Dasar dan
• Mengenal pecahan sederhana
penggunaannya dalam pemecahan masalah
4. Memahami unsur dan sifat-sifat bangun datar
• Mengenal pecahan sederhana
sederhana • Memecahkan
5. Geometri dan Pengukuran Memahami unsur dan sifat-sifat bangun datar
masalah
yang
berkaitan
dengan pecahan sederhana. • Mengidentifikasi berbagai bangun datar
sederhana
sederhana menurut sifat atau unsur 6. Menghitung keliling, luas persegi dan persegi panjang,
serta
pemecahan masalah
penggunaannya
dalam
• Menghitung
luas
persegi
dan
persegi
panjang • Menyelesaikan
masalah
yang
berkaitan
dengan keliling, luas persegi dan persegi panjang Sumber
:
Peraturan Pemerintah RI no. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi
10
2.1.2 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Number Heads Together (NHT) Nur (2005:78), menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe NHT pada dasarnya merupakan varian diskusi kelompok, ciri khasnya menunjuk seorang siswa yang mewakili kelompoknya tanpa memberi tahu terlebih dahulu siapa yang akan mewakili kelompoknya. Cara ini menjamin keterlibatan total semua siswa. Cara ini merupakan upaya yang sangat baik untuk meningkatkan tanggung jawab individual dalam diskusi kelompok. Menurut Lie (2008:59), model pembelajaran kooperatif tipe NHT melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah berbagai materi yang dibahas dalam sebuah pelajaran dan untuk memeriksa pemahaman mereka tentang isi pelajaran itu. Model pembelajaran kooperatif tipe NHT juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat pada sebuah pertanyaan dalam kelompok. Selain itu, teknik ini juga mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerja sama siswa. Adapun menurut Sharan (2009:186), menyatakan bahwa di saat pembelajaran melaksanakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT, guru membagi siswa dalam kelompok yang heterogen dan memberi penomoran. Setelah itu guru mengajukan pertanyaan dalam kelompok, siswa diberi waktu untuk menyamakan pemikiran untuk memastikan bahwa teman-teman sekelompok siswa juga tahu jawaban yang benar. Akhirnya satu nomor dipilih secara acak untuk mempresentasikannya. Dengan demikian, tiap-tiap anggota ingin semua teman sekelompoknya bekerja dengan baik. Siswa saling tergantung secara positif. Intredepedensi positif meningkatkan pembelajaran dan juga kedekatan diantara temen sekelompok. Semua merasakan bahwa mereka berada dipihak yang sama, saling memberi tahu dan memberi dorongan.
Dari 3 pendapat tersebut,
disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan pembelajaran berkelompok yang menggunakan nomor, dibutuhkan kerjasama serta tanggungjawab yang baik pada saat menyampaikan hasil diskusi. Pada dasarnya, model pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan varian dari diskusi kelompok. Menurut Slavin (dalam Huda Miftahul,2013: 203),
11
tahapan-tahapan pelaksanaan NHT pada hakekatnya hampir sama dengan diskusi kelompok, yang rinciannya adalah sebagai berikut : a. Siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok. b. Masing-masing siswa dalam kelompok dibagi nomor. c. Guru memberikan tugas/pertanyaan pada masing-masing kelompok untuk mengerjakannya. d. Setiap kelompok mulai berdiskusi untuk menemukan jawaban yang dianngap paling tepat dan memastikan semua anggota kelompok mengetahui jawaban tersebut. e. Guru memanggil salah satu nomor secara acak. f. Siswa dengan nomor yang yang dipanggil mempresentasikan jawaban dari hasil diskusi kelompok mereka. Dalam mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas, guru menggunakan struktur empat fase sebagai sintaks model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Trianto, 2009: 82). Fase 1 : Penomoran Dalam fase ini, guru membagi siswa kedalam kelompok 3-5 orang dan setiap anggota kelompok diberikan nomor 1-5. Fase 2 : Mengajukan Pertanyaan Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi. Fase 3 : Berpikir Bersama Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban timnya. Fase 4 : Menjawab Guru memanggil suatu nomor tertentu kemudian siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.
12
Berdasarkan sintaks model pembelajaran kooperatif tipe NHT yang disampaikan Trianto, dapat dibuat langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut: 1. Rencana pembelajaran meliputi : a. Guru menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) b. Mendesain model pembelajaran kooperatif tipe NHT c. Menyusun asesmen d. Menyusun Instrumen observasi 2. Kegiatan Pelaksanaan meliputi : a. Kegiatan Awal i. Guru memberi salam pembuka dan doa ii. Guru memberikan apersepsi iii. Guru memotivasi siswa iv. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran v. Guru menjelaskan langkah model pembelajaran kooperatif tipe NHT b. Kegiatan Inti i. Guru memberikan informasi tentang materi yang dipelajari. ii. Pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe NHT Tahap Penomoran: - Guru membagi siswa dalam kelompok dan beranggotakan 3-5 orang secara heterogen. - Siswa bergabung dengan kelompok yang ditentukan, kemudian setiap anggota kelompok diberikan nomor 1 sampai 5 (disesuaikan dengan jumlah siswa). Tahap mengajukan pertanyaan: - Guru mengajukan pertanyaan berupa tugas atau LKS untuk dikerjakan didalam kelompok. Tahap berpikir bersama: - Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban timnya. Tahap menjawab: - Guru memanggil salah satu nomor tertentu secara acak.
13
- Siswa
yang
dipanggil
nomornya
maju
kedepan
untuk
mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. - Kelompok yang lain menanggapi jawaban dari kelompok yang mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya sehingga peserta didik dapat menemukan jawaban yang utuh. c. Kegiatan akhir i. Siswa di bimbing guru membuat rangkuman ii. Siswa bersama guru melakukan refleksi iii. Guru mengamati hasil yang diperoleh masing-masing kelompok iv. Guru memberikan penghargaan bagi kelompok yang berhasil dan memberikan semangat bagi kelompok yang belum berhasil. v. guru memberikan pekerjaan rumah (PR) sebagai tindak lanjut vi. Guru menyampaikan materi yang akan dipelajari pada pertemuan berikutnya.
Dari 2 pendapat tentang langkah model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Membentuk kelompok yang terdiri dari 5 siswa 2. Masing-masing siswa dalam kelompok diberi nomor 3. Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban timnya. 4. Siswa dipanggil nomonya secara acak. 5. Mempresentasikan hasil jawaban sesuai dengan nomor yang ditunjuk secara acak dan bergantian.
2.1.3 Hasil Belajar Hasil belajar adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru (tim penyusunan KBBI, 2005.). Winkel (dalam Purwanto: 2011) berpendapat bahwa hasil belajar adalah merupakan salah satu bukti yang menunjukan kemampuan atau keberhasilan seseorang yang melakukan
14
proses belajar sesuai dengan bobot atau nilai yang berhasil diraihnya. Menurut Abdurrahman dalam Jihad dan Haris (2013:14) hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui kegiatan belajar. Hasil belajar yang diperoleh peserta didik sebagai hasil dari proses belajar yang dilakukan oleh peserta didik. Menurut Wardani, Naniek. S. (2012:24) “hasil belajar adalah kemampuan, sikap dan keterampilan yang diperoleh siswa setelah ia menerima perlakuan yang diberikan oleh guru”. Artinya hasil belajar siswa itu mencakup aktifitas yang dilakukan oleh siswa dengan fasilitasi guru dan aktifitas siswa setelah belajar. Sudjana (2008:22) menyatakan bahwa dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kuliner maupun tujuan intruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan akibat dari suatu proses belajar, perubahan perilaku, peningkatan pengetahuan. Permendikbud No.66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan dinyatakan bahwa penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar siswa mencakup: penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah/madrasah. Masing-masing penilaian yang dimungkinkan digunakan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut. 1.
Penilaian otentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran.
2.
Penilaian diri merupakan penilaian yang dilakukan sendiri oleh siswa secara reflektif untuk membandingkan posisi relatifnya dengan kriteria yang telah ditetapkan.
3.
Penilaian berbasis portofolio merupakan penilaian yang dilaksanakan untuk menilai keseluruhan entitas proses belajar siswa termasuk penugasan
15
perseorangan dan/atau kelompok di dalam dan/atau di luar kelas khususnya pada sikap/perilaku dan keterampilan. 4.
Ulangan merupakan proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi siswa secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar siswa.
5.
Ulangan harian merupakan kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk menilai kompetensi siswa setelah menyelesaikan satu KD atau lebih.
6.
Ulangan tengah semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi siswa setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan tengah semester meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan seluruh KD pada periode tersebut.
7.
Ulangan akhir semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi siswa di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua KD pada semester tersebut.
8.
Ujian Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UTK merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UTK meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut.
9.
Ujian Mutu Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UMTK merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UMTK meliputi sejumlah Kompetensi
Dasar
yang
merepresentasikan Kompetensi Inti
pada tingkat kompetensi tersebut. 10.
Ujian Nasional yang
selanjutnya
disebut
UN
merupakan
kegiatan
pengukuran kompetensi tertentu yang dicapai siswa dalam rangkamenilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan, yang dilaksanakan secara nasional.
16
11.
Ujian Sekolah/Madrasah merupakan kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi di luar kompetensi yang diujikan pada UN, dilakukan oleh satuan pendidikan. (Permendikbud No.66 Tahun 2013)
Menurut Permendikbud No.66 Tahun 2013 penilaian hasil belajar siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut. 1.
Objektif,berarti penilaian berbasis pada standard dan tidak dipengaruhi factor subjektivitas penilai.
2.
Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik dilakukan secara terencana, menyatu dengan kegiatan pembelajaran,dan berkesinambungan.
3.
Ekonomis, berarti penilaian yang efisien dan efektif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporannya.
4.
Transparan, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diakses oleh semua pihak.
5.
Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak internal sekolah maupun eksternal untuk aspek teknik, prosedur, dan hasilnya.
6.
Edukatif, berarti mendidik dan memotivasi siswa dan guru.
Pendekatan penilaian yang digunakan adalah penilaian acuan kriteria (PAK). PAK merupakan penilaian pencapaian kompetensi yang didasarkan pada kriteria tertentu, misalnya berdasarkan kriteria ketuntasan minimal (KKM). Besarnya KKM ditentukan oleh satuan pendidikan dengan mempertimbangkan karakteristik KD yang akan dicapai, daya dukung, dan karakteristik siswa (Permendikbud No.66 Tahun 2013). Ruang lingkup penilaian hasil belajar siswa mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan secara berimbang, sehingga dapat digunakan untuk menentukan posisi relative setiap peserta didik terhadap standar yang telah ditetapkan. Cakupan penilaian merujuk pada ruang lingkup materi, kompetensi mata pelajaran/kompetensi muatan/kompetensi program, dan proses.
17
Beberapa ahli lain yaitu Krathwohl, Bloom dan Masia (Suprihatiningrum, 2013: 38) membedakan hasil belajar menjadi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Pertama, aspek kognitif ini berhubungan dengan kemampuan berpikir, afektif
mengetahui
dan memecahkan masalah. Kedua, aspek
berkaitan dengan kemampuan yang berhubungan dengan sikap, nilai,
minat dan apresiasi. Ketiga, aspek psikomotorik mencakup tujuan yang berkaitan dengan ketrampilan yang bersifat manual dan motorik. Menurut Wasliman (dalam Susanto 2013:12), hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang memengaruhi, baik faktor internal maupun eksternal. Secara terperinci, uraian mengenai faktor internal dan eksternal, sebagai berikut: 1. Faktor internal; faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri peserta didik, yang memengaruhi kemampuan belajarnya. Faktor internal ini meliputi : kecerdasan, minat, dan perhatian, motivasi belajar, ketekunan, sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan kesehatan. 2. Faktor eksternal; faktor yang berasal dari luar diri peserta didik yang mempengaruhi hasil belajar yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keadaan keluarga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Keluarga yang morat-marit keadaan ekonominya, pertengkaran suami istri, perhatian orang tua yang kurang terhadap anaknya, serta kebiasaan sehari-hari berperilakuan yang kurang baik dari orang tua dalam kehidupan sehari-hari berpengaruh dalam hasil belajar peserta didik. Hasil belajar dapat diketahui apabila ada pengukuran, pengukuran menurut Arifin Zainal (2012 : 4) Pengukuran adalah suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu. Kata “sesuatu” dapat berarti peserta didik, guru, gedung sekolah, meja belajar, white board, dan sebagainya. Dalam proses pengukuran, tentu guru harus menggunakan alat ukur (tes dan non tes). Pengukuran menurut Wardani Naniek Sulistya, dkk (2012: 47) adalah kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu gejala atau peristiwa. Pengukuran juga dapat diartikan penetapan angka dengan
18
cara yang sistematik untuk menyatakan keadaan individu. (Alen dan Yen dalam Wardani Naniek Sulistya, dkk (2012:48)). Menurut Mardapi Djoemari (2008: 2), pengukuran pada dasarnya merupakan kegiatan penentuan angka bagi suatu objek secara sistematik. Penentuan angka ini merupakan usaha untuk menggambarkan karakteristik suatu objek. Kemampuan seseorang dalam bidang tertentu dinyatakan dengan angka. Teknik penilaian hasil belajar terdiri dari teknik tes dan non tes. Teknik tes sendiri menurut (Arifin Zainal 2012 : 118) merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan dalam rangka melaksanakan kegiatan pengukuran, yang di dalamnya terdapat berbagai pertanyaan, pernyataan, atau serangkaian tugas yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur aspek perilaku peserta didik. Menurut Sudijono Anas (2008 : 67), tes dapat dibedakan beberapa jenis berdasarkan: (1) fungsinya sebagai alat pengukur kemajuan belajar peserta didik (2) aspek psikis yang ingin diungkap dan (3) penggolongan lain-lain. 1. Ditinjau dari segi fungsi, tes dapat dibedakan menjadi enam golongan, yaitu : a. Tes Seleksi Tes ini dilaksanakan dalam rangka menyeleksi atau melakukan penyaringan penerimaan calon siswa atau pegawai baru. Tes seleksi dapat dilaksanakan secara lisan, secara tertulis, dengan tes perbuatan atau dengan mengkombinasikan ketiga jenis tes tersebut. b. Tes Awal Tes awal dikenal dengan istilah pre-test. Tujuan dari tes jenis ini untuk mengetahui sejauh manakah materi pelajaran yang diajarkan telah dikuasai oleh peserta didik. c. Tes Akhir Tes akhir dikenal dengan istilah post-test. Tes akhir dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui apakah semua materi pelajaran yang tergolong penting sudah dikuasai oleh peserta didik. d. Tes Diagnostik Tes diagnostik adalah tes yang dilaksanakan untuk menentukan jenis kesukaran mata pelajaran tertentu yang dihadapi oleh peserta didik
19
e. Tes Formatif Tes formatif adalah tes hasil belajar yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana peserta didik telah mencapai
tujuan pembelajaran yang
ditentukan setelah peserta didik mengikuti pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Tes formatif dilaksanakan di tengah perjalanan program pembelajaran, yaitu dilaksanakan pada setiap kali RPP berakhir. f. Tes Sumatif Tes sumatif adalah tes hasil belajar yang dilaksanakan setelah sekumpulan satuan program pembelajaran selesai diberikan. Tes sumatif disusun atas dasar materi pelajaran yang telah diberikan selama satu catur wulan atau satu semester. Materi tes sumatif jauh lebih banyak dari materi tes formatif. Tes sumatif dilaksanakan secara tertulis, agar semua siswa memperoleh soal yang sama. Butir-butir soal yang dikemukakan dalam tes sumatif ini jauh lebih sulit atau lebih berat daripada butir-butir soal tes formatif. Tujuan utama tes sumatif adalah untuk menentukan nilai yang melambangkan keberhasilan peserta didik setelah menempuh proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. 2. Penggolongan tes berdasarkan aspek psikis yang ingin diungkap Dilihat dari segi aspek kejiwaan ada beberapa lima golongan : a. Tes intelegensi (intellegency test), yakni tes yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kecerdasan seseorang. b. Tes kemampuan (aptitude test), yakni tes yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkap kemampuan dasar atau bakat khusus yang dimiliki oleh testee. c. Tes sikap (attitude test), yakni salah satu jenis tes yang dipergunakan untuk mengungkap kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu respon tertentu terhadap dunia sekitarnya, baik berupa individu- maupun obyek tertentu. d. Tes kepribadian (personality test), yakni tes yang dilaksanakan dengan tujuan mengungkap ciri-ciri khas dari seseorang yang banyak sedikitnya bersifat lahiriah, seperti gaya bicara, cara berpakaian, nada suara, dan hobi.
20
e. Tes hasil belajar (tes pencapaian / achievement tes), yakni tes yang biasa digunakan untuk mengungkap tingkat pencapaian atau prestasi belajar. 3. Ditinjau dari penggolongan lain-lain Dilihat dari segi banyaknya peserta yang mengikuti tes, tes dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu : a. Tes individual (individual test), yakni tes yang tester hanya berhadapan dengan satu orang testee saja, dan b. Tes kelompok (group test), yakni tes yang tester berhadapan dengan lebih dari satu orang testee. Dilihat dari segi waktu yang disediakan bagi testee untuk menyelesaikan tes, tes dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu : a. Power test, yakni tes yang tidak membatasi waktu yang digunakan testee untuk menyelesaikan tes, dan b. Speed test, yakni tes yang membatasi waktu yang digunakan testee untuk menyelesaikan tes. Dilihat dari segi bentuk responnya, tes dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu : a. Verbal test, yakni suatu tes yang menghendaki respon (jawaban) yang tertuang dalam bentuk ungkapan kata-kata atau kalimat, baik secara lisan maupun secara tertulis, dan b. Nonverbal test, yakni tes yang menghendaki respon (jawaban) dari testee berupa ungkapan kata-kata atau kalimat, melainkan berupa tindakan atau tingkah laku, jadi respon yang dikehendaki muncul dari testee adalah berupa perbuatan atau gerakan-gerakan tertentu. Dilihat dari segi cara mengajukan pertanyaan dan cara memberikan jawabannya, tes dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu : a. Tes tertulis (pencil and paper test), yakni tes yang testernya mengajukan butir-butir pertanyaan atau soalnya secara tertulis dan testee memberikan jawabannya juga secara tertulis.
21
b. Tes lisan (nonpencil and paper tes), yakni tes yang testernya mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau soalnya secara lisan, dan testee memberikan jawabannya secara lisan. Selain menggunakan teknik tes, hasil belajar juga dapat di ukur melalui teknik non tes.Teknik non tes berisi tentang pertanyaan atau pernyataan yang tidak memiliki jawaban benar atau salah. Instrumen non tes dapat berbentuk kuesioner atau inventori. Kuesioner berisi sejumlah pertanyaan atau pernyataan, siswa diminta menjawab atau memberikan pendapat terhadap pernyataan. Inventori merupakan instrumen yang berisi tentang laporan diri yaitu keadaan siswa, misalnya potensi siswa. Hasil pengukuran melalui instrumen non tes berupa angka disebut kuantitatif, dan bukan angka di sebut kualitatif (Wardani Naniek Sulistya, dkk. 2012:73). Wardani, N.S. dkk. (2012:73-75) membagi teknik non tes menjadi 7 macam, yakni: 1. Unjuk kerja adalah suatu penilaian atau pengukuran yang dilakukan melalui pengamatan aktivitas siswa dalam melakukan sesuatu yang berupa tingkah laku atau interaksinya seperti berbicara, berpidato, membaca puisi dan berdiskusi; kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dalam kelompok; partisipasi siswa dalam diskusi; ketrampilan menari; ketrampilan memainkan alat musik; kemampuan berolahraga; ketrampilan menggunakan peralatan laboratorium; praktek sholat; bermain peran; bernyanyi dan ketrampilan mengoperasikan suatu alat. 2. Penugasan adalah penilaian
yang berbentuk pemberian tugas
yang
mengandung penyelidikan (investigasi) yang harus selesai dalam waktu tertentu. 3. Tugas individu adalah penilaian yang berbentuk pemberian tugas kepada siswa yang dilakukan secara individu. Tingkat berpikir yang terlibat pada siswa sebaiknya
menerapkan
(apply),
(evaluate), dan membuat (create).
menganalisis
(analyse),
mengevaluasi
22
4. Tugas kelompok sama seperti tugas individu, namun tugas ini dikerjakan secara kelompok. Tugas ini diberikan untuk menilai kompetensi kerja kelompok. 5. Laporan adalah penilaian yang berbentuk laporan atas tugas atau pekerjaan yang diberikan seperti laporan diskusi, laporan kerja praktik, laporan praktikum, dan Laporan Pemantapan Praktik Kerja Lapangan (PPL). 6. Responsi atau ujian praktik adalah suatu penilaian yang dipakai untuk mata pelajaran yang ada kegiatan praktikumnya. Ujian responsi dapat dilakukan pada awal praktik ataupun pada akhir praktik. 7. Portofolio merupakan penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan informasi yang menunjukan perkembangan kemampuan siswa dalam satu periode tertentu. Berdasarkan uraian tentang teknik memperoleh hasil belajar, maka hasil belajar adalah besaran skor atau angka yang diperoleh melalui pengukuran baik tes maupun non tes dengan menggunakan kriteria tertentu.
2.2
Kajian Hasil Penelitian yang relevan Penelitian yang dilakukan oleh Mufid M. pada tahun 2007 yang berjudul “
Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Pokok Bahasan Operasi Hitung bentuk Aljabar Melalui Model Pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) pada Siswa Kelas VII-A MTs Islamiyah Sumpiuh–Banyumas Tahun Pelajaran 2006/2007“, menunjukkan hasil penelitian pada siklus 1 besarnya hasil belajar berdasarkan rata-rata sebesar 64,11 dan ketuntasan belajar sebesar 68,4%, aktivitas siswa belajar 45,5% pada pertemuan pertama dan pada pertemuan kedua 56,8%, persentase kemampuan guru 67% pada pertemuan pertama dan pada pertemuan kedua 70,8%. Hasil penelitian pada siklus 2 rata-rata hasil belajar siswa sebesar 76,63 dan persentase ketuntasan belajar sebesar 77,5%, aktivitas siswa pada pertemuan pertama 70%, pada pertemuan kedua 88,6%, persentase kemampuan guru pada pertemuan pertama 75% dan pada pertemuan kedua 93,8%.
Dari penelitian ini diperoleh simpulan bahwa dengan menggunakan
model pembelajaran NHT dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa
23
kelas VII-A MTs Islamiyah Sumpiuh–Banyumas Tahun Pelajaran 2006/2007 pada pokok bahasan operasi hitung bentuk aljabar. Saran yang dapat diajukan adalah model pembelajaran NHT perlu dilaksanakan guru untuk meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa. Kelebihan dari penelitian ini adalah bahwa pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe NHT yaitu dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Selain itu, siswa juga lebih aktif di dalam proses pembelajaran. Kekurangan dengan menggunakan model pembelajaran tipe NHT yaitu, siswa mengalami kesulitan jika tidak memperhatikan penjelasan guru, siswa akan tidak mengerti dan tidak bisa menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Jadi, solusinya siswa harus memperhatikan guru pada proses pembelajaran sampai akhir pembelajaran karena dalam proses pembelajaran NHT ini saling berkesinambungan. Penelitian yang lain dilakukan oleh Maulida, Hana (2011) dengan judul ‘Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) Dengan Derbantuan LKS Materi Pokok Luas Segiempat Pada Peserta Didik Kelas VII Semester II MTs Tarbiyatul Mubatdin Wilalung Tahun Pelajaran 2010/2011’. Dari hasil perhitungan diperoleh t table = 1,679, sedangkan nilai t hitung = 3,244. Oleh karena itu t hitung lebih besar t table maka ho ditolak dan h1 diterima. Artinya rata-rata hasil tes belajar kelompok belajar siswa eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran NHT berbantu LKS lebih baik daripada rata-rata hasil belajar kelompok kontrol dengan menggunakan pembelajaran konvensional. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe NHT berbantuan LKS lebih baik daripada model pembelajaran konvensional. Kelebihan pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe NHT yaitu dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Selain itu, siswa juga lebih aktif dan tahu materi yang disampaikan dalam proses pembelajaran. Kekurangan dengan menggunakan model pembelajaran tipe NHT yaitu, jika tidak memperhatikan apa yang sedang dijelaskan oleh guru, siswa akan tidak mengerti dan tidak dapat menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Jadi, solusinya siswa harus memperhatikan guru pada proses pembelajaran sampai
24
akhir pembelajaran karena dalam proses pembelajaran NHT ini saling berkesinambungan. Penelitian lain yang sejalan juga dilakukan oleh Ananta, Wahyu Nugroho Sandi (2011) dengan judul, ‘Penerapan model Number Heads Together (NHT) dalam pembelajaran matematika pokok bahasan penjumlahan dan pengurangan pecahan untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri Pitrosari. Kecamatan Wonoboyo, Kabupaten Temanggung’. Hasil penelitian menunjukkan menggunakan model NHT ternyata dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas IV SD Negeri Pitrosari. Pada kondisi awal atau prasiklus siswa yang nilainya diatas KKM terdapat 8 siswa (33%) dan yang belum tuntas dibawah KKM terdapat 16 (67%). Siklus 1 menerapkan model NHT terjadi peningkatan signifikan yaitu terdapat 18 siswa yang diatas KKM (75%) dan 6 siswa (25%) yang belum memenuhi KKM yang ditetapkan. Kemudian siklus 2 terjadi peningkatan yaitu 21 (87%) siswa yang sudah memenuhi KKM dan 3 (13%) yang belum memenuhi KKM. Kelebihan pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe NHT yaitu dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Selain itu, siswa juga lebih aktif di dalam proses pembelajaran. Kekurangan dengan menggunakan model pembelajaran tipe NHT yaitu, jika tidak memperhatikan apa yang sedang dijelaskan oleh guru, siswa akan tidak mengerti dan tidak bisa menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Jadi, solusinya siswa harus memperhatikan guru pada proses embelajaran sampai akhir pembelajaran karena dalam proses pembelajaran NHT ini saling berkesinambungan.
2.3
Kerangka Berpikir Keberhasilan pembelajaran merupakan hal utama yang didambakan dalam
pelaksanaan pendidikan. Agar pembelajaran berhasil guru harus membimbing siswa, sehingga siswa dapat mengembangkan pengetahuannya sesuai dengan struktur pengetahuan bidang studi yang dipelajarinya. Untuk mencapai keberhasilan itu guru harus dapat memilih model pembelajaran yang tepat untuk dapat diterapkan dalam pembelajaran. Guru di sini hanya sebagai fasilitator dan motivator dalam pembelajaran. Model pembelajaran kooperatif tipe NHT adalah
25
tipe model pembelajaran kooperatif yang merupakan struktur sederhana dan terdiri atas lima tahap yang digunakan untuk mereview fakta-fakta dan informasi dasar yang berfungsi untuk mengatur interaksi siswa. Lima tahap tersebut sebagai berikut: 1. Membentuk kelompok yang terdiri dari 5 siswa 2. Masing-masing siswa dalam kelompok menerima nomor 3. Siswa diskusi dalam kelompok 4. Siswa menerima panggilan nomor secara acak. 5. Mempresentasikan hasil jawaban sesuai dengan nomor yang ditunjuk Secara sistematis kerangka berpikir digambarkan sebagai berikut:
Pembelajaran Matematika Pembelajaran Sederhana“
Matematika
“Pecahan Pembelajaran konvensional
Model pembelajaran tipe NHT Hasil belajar ≤ KKM 65 -
1. Membentuk kelompok 5 siswa 2. Mendapat nomor 3. Diskusi dalam kelompok Skor Unjuk Kerja (Non Tes)
- 4. Menerima panggilan nomor tertentu
5. Nomor panggilan presentasi dan no tidak dipanggil memberi tanggapan
6. Mengerjakan butir soal
Skor tes
Hasil belajar > 65
Gambar 2.1 Skema Peningkatan Hasil Belajar melalui Model Pembelajaran Tipe NHT
26
2.4
HipotesisTindakan Hipotesis tindakan yang dirumuskan adalah “Peningkatan hasil belajar
matematika dapat diupayakan melalui model pembelajaran kooperatif tipe NHT siswa kelas III SDN Sidorejo Lor 06 Salatiga semester II tahun 2013/2014”.