BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang memungkinkan seorang peneliti untuk menginterpretasikan dan menjelaskan suatu fenomena secara menyeluruh dengan menggunakan kata-kata, tanpa harus bergantung pada sebuah angka. Menurut Bodgan dan Taylor, metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan (Bodgan & Taylor, 1975: 4). Suparlan
menjelaskan
bahwa
penelitian
kualitatif
memusatkan
perhatiannya pada prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau pola-pola. Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan menggunakan teori yang objektif (Suparlan, 1994: 6). Secara teoritis, ada beberapa paradigma yang sangat besar pengaruhnya terhadap pengembangan penelitian kualitatif. Paradigma tersebut yakni, fenomenologi, etnografi, interaksi simbolik, etnometodologi, dan kontruktivisme (Irawan, 2006: 13). Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epitemologis yang panjang (Mulyana, 2003: 19).
Universitas Sumatera Utara
Paradigma membantu memberikan definisi tentang apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus dikemukakan, bagaimana pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam menginterpretasi jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan suatu konsensus yang paling luas dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) dari yang lain. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis yaitu paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan memelihara/ mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003: 3). Menurut Patton, para peneliti konstruktivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut (Patton, 2002: 96-97). Konstruktivis beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari “skema” diri yang dimiliki pembelajar. Oleh karena itu, pengetahuan ataupun pengertian dibentuk oleh siswa secara aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari guru mereka. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (subyek belajar) karena pengetahuan bukanlah barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran seseorang kepada orang lain, subjek yang mengartikan apa yang telah diajarkan dengan penyesuaian terhadap pengalaman-pengalaman mereka. Guba menyatakan “Finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human activity; knowledge is a human construction, never
Universitas Sumatera Utara
certifiable as ultimately true but problematic and ever changing” (Guba, 1990:26), yang berarti “pengetahuan dapat digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah.” Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas. Nilai dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus. Konstruktivis ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan Rene Descartes (1596-1690) dengan ungkapannya yang terkenal: “Cogito Ergo Sum,” yang artinya “Aku berpikir maka aku ada.” Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan hasil/ kerja dari indera (mata, telinga, hidung, peraba, pengecap/ lidah), oleh karena itu hasilnya kabur. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Selanjutnya menurut Guba (1990: 27) sistem keyakinan dasar pada peneliti Konstruktivisme, yaitu: Asumsi ontologi: “Realitivis – realitas-realitas ada dalam bentuk konstruksi mental yang bersifat ganda, didasarkan secara sosial dan pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya, tergantung pada mereka yang mengemukakannya.” Asumsi epistimologi: “Subjektif – peneliti dan yang diteliti disatukan ke dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic). Temuantemuan secara harafiah merupakan kreasi dari proses interaksi antara peneliti dan yang diteliti.” Asumsi metodologi: “Hermeneutik – dialektik – konstruksi-konstruksi individual dinyatakan dan diperhalus secara hermeneutik dengan tujuan menghasilkan satu atau beberapa konstruksi yang secara substansial disepakati”.
Universitas Sumatera Utara
Konstruktivisme bukan merupakan satu teori yang berdiri sendiri, tapi lebih dari itu ia seringkali digambarkan sebagai suatu rangkaian kesatuan. Secara khusus rangkaian kesatuan konstruktivisme ini dibagi dalam tiga katagori besar yaitu konstruktivisme kognitif, konstruktivisme sosial dan konstruktivisme radikal (Suparno, 1997: 25). Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologis obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tdak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah saran terjadinya konstruksi itu. Konstruktivisme kognitif tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana menjadi tahu akan sesuatu. Sedangkan mengenai kebenaran, bagi kaum konstruktivis kebenaran diletakkan pada kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam beroperasi. Artinya, pengetahuan yang dikonstruksi dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan itu. Dengan kata lain, pengetahuan itu bukan barang mati yang sekali jadi, melainkan suatu proses yang terus berkembang.
Sebagai
teori
belajar,
konstruktivisme
kognitif
seringkali
mempertimbangkan “kelemahan” konstruksi. “Kelemahan” dalam kasus ini tidak mempunyai nilai keputusan, seperti baik atau jelek, tapi cukup hanya pada indikasi kesetiaan pada asumsi yang mendasar. Jadi, konstruksi pengetahuan adalah mempertimbangkan secara khusus proses teknik atau mengkreasi struktur mental, tapi mempunyai sedikit hubungan pada tujuan pengetahuan secara alamiah dalam otak. Namun demikian, konstruktivisme kognitif dan hubungan secara historisnya dengan pemrosesan informasi, mempunyai peran penting yang sangat signifikan dalam menemukan secara empiris berkenaan dengan belajar, ingatan, dan kognisi.
Universitas Sumatera Utara
Tidak seperti konstruktivisme kognitif dan konstrukvisme radikal, konstruktivisme sosial menekankan pada menetapkan prinsip-prinsip dalam memelihara pengetahuan alamiah sosial, dan percaya bahwa pengetahuan itu adalah hasil dari interaksi sosial dan menggunakan bahasa, jadi pengetahuan didapat lebih banyak dari hasil tukar pendapat daripada pengalaman individu (Prawatt & Floden, 1994: 37). Konstruktivisme sosial pada umumnya mengecilkan konstruksi mental pada pengetahuan (bukan karena konstruksi sosial tidak percaya pada konstruksi mental, tapi karena melihatnya relatif mudah) dan menekankan pada konstruksi arti dalam aktivitas sosial. Jadi, konstruktivisme sosial lebih memperhatikan konstruksi arti daripada struktur. Dari
ketiga
macam
konstruktivisme,
terdapat
kesamaan
dimana
konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan konstruksi sosial. Berger dan Luckman (Bungin, 2009: 195) mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman „kenyataan dan pengetahuan‟. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitasrealitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Pada hakikatnya isi media adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai
perangkat
dasarnya.
Bahasa
bukan
saja
sebagai
alat
dalam
mempresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan bentuk seperti apa yang ingin diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya. Manakala konstruksi realitas media berbeda dengan realitas yang ada di masyarakat, maka
Universitas Sumatera Utara
hakikatnya telah terjadi kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik bisa mewujud melalui penggunaan bahasa penghalusan, pengaburan, bahkan pengasaran fakta. Media sesungguhnya memainkan peran khusus dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran informasi media. Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam memandang realitas. Para produser mengendalikan isi medianya melalui cara-cara tertentu untuk menjadikan pesanpesan. Media tidak bisa dianggap berwajah netral dalam memberikan jasa informasi dan hiburan kepada khalayak pembaca. Media massa tidak hanya dianggap sekedar hubungan antara pengirim pesan pada satu pihak dan pihak lain sebagai penerima pesan. Lebih dari itu media dilihat sebagai produksi dan pertukaran makna. Titik tekannya terletak pada bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan dengan peran teks dalam kebudayaan. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan strukturalisme yang dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linear (Fiske, 1990: 39). Gagasan konstruksi sosial telah dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang melakukan interpretasi terhadap teks, wacana dan pengetahuan masyarakat. Gagasan
ini
dimulai
Deridda
(1978)
yang
terkenal
dengan
gagasan
deconstruction. Gagasan ini kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) dan metode penafsiran (interpretation) atas realitas sosial. Gagasan Deridda sejalan dengan Habermas (1972), bahwa terdapat hubungan strategis antara pengetahuan manusia dengan kepentingan, walau tidak dapat disangkal bahwa pengetahuan adalah produk kepentingan. Dengan demikian gagasan-gagasan tersebut membentuk dua kutub dengan satu garis linear atau garis vertikal. Kajian-kajian mengenai realitas sosial dapat dimulai dengan gagasan dekonstruksi sosial dari Deridda dan Habermas ataupun dari Berger dan Luckmann tentang konstruksi sosial. Kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial sebagai objek yang didekonstrusksi, sedangkan kajian konstruksi sosial menggunakan dekonstruksi sebagai bahan analisanya tentang bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tersebut. Dengan
Universitas Sumatera Utara
demikian maka dekonstruksi dan konstruksi sosial merupakan dua konsep yang senantiasa hadir dalam satu wacana perbincangan mengenai realitas sosial. Realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial di konstruksi dan dimaknai oleh individu lain sehingga memantapkan realitas sosial itu secara objektif. Individu mengonstruksi realitas sosial, dan merekonstruksikannya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.
2.2 Kajian Pustaka 2.2.1 Semiotika Basis dari seluruh komunikasi adalah tanda-tanda (signs) (Littlejohn, 1996: 64). Manusia dengan perantara tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Dasar segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda. Sebuah bendera kecil, isyarat tangan, sebuah kata, keheningan, kebiasaan makan, gejala mode, gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan semuanya itu dianggap sebagai tanda. Tanda yang digunakan untuk menyampaikan pikiran, informasi dan perintah serta penilaian, memungkinkan kita untuk mengembangkan persepsi dan pemahaman terhadap sesama dalam dunia ini. Misalnya, suatu hari saya dan beberapa teman SMA mengadakan reuni di Medan. Ditengah obrolan, kami merinci keberadaan beberapa teman, seperti siswa populer, teman satu kelas dan lainnya. Seorang teman dekat saya kemudian menceritakan tentang Irma yang satu kampus dengannya di Solo. Irma yang dikenal sebagai anak pendiam dan jarang bergaul, ternyata saat kuliah ia aktif di kampus dan menjadi anggota senat Universitas Sumatera Utara
mahasiswa. Selepas kuliah, kabarnya Irma menjadi aktivis Non Government Organization (NGO) internasional. Untuk mengetahui kebenaran mengenai Irma, saya membutuhkan informasi yang berasal dari dua sumber, yang pertama informasi dari sesorang yang mengetahui Irma adalah aktivis dan kedua, informasi yang saya ketahui langsung atau dalam istilah semiotika tanda-tanda yang saya lihat. Beberapa bulan setelah reuni, saya liburan ke Jakarta. Saya memanfaatkan busway sebagai transportasi yang murah dan praktis. Sekitar 200 meter sebelum melewati Bundaran Hotel Indonesia (tanda simbolik) gerak bus melambat. Posisi duduk saya didekat jendela menghadap ke arah bundaran, saya melihat ternyata sedang ada aksi/ demontrasi. Pandangan saya tertuju pada seorang wanita memakai baju putih bergambar hewan, memakai ikat kepala, yang sedang berteriak-teriak kepada pengguna jalan menggunakan pengeras suara (tanda ikonik) ditengah kerumunan demonstran (tanda indeksikal). Saya merasa mengenal wanita itu. Dia seperti teman saya Irma. Karena jarak pandang yang cukup jauh, sehingga wajahnya samar-samar. Dari banyaknya spanduk/ poster (tanda verbal) yang mereka pegang, mereka melakukan aksi penyelamatan hutan Indonesia dan meminta kepada presiden untuk serius mengusut pihak-pihak atau perusahaan lokal maupun asing yang melakukan eksploitasi berlebihan pada hutan. Apa yang telah saya lihat, membuat saya mengambil kesimpulan bahwa Irma yang pendiam, sekarang menjadi aktivis. Meskipun tidak menutup kemungkinan, bisa saja Irma adalah masyarakat yang hanya berpartisipasi dan mendukung aksi penyelmatan hutan. Tanda-tanda adalah perangkat yang digunakan manusia dalam berusaha mencari jalan di dunia ini, di dalam kehidupan antar sesama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2009: 15).
Universitas Sumatera Utara
Dengan tanda-tanda, kita mencoba mencari keteraturan di tengah-tengah dunia yang karut-marut ini, setidaknya agar kita sedikit punya pegangan. Pines mengungkapkan “apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita bagaimana menguraikan aturan-aturan tersebut dan membawanya pada sebuah kesadaran” (Berger, 2000a: 14). Manusia mempunyai kecendrungan untuk mencari makna dan arti serta berusaha memahami segala sesuatu yang ada disekelilingnya. Seluruh hal yang ada disekelilingnya disebut sebagai tanda, tanda tersebutlah yang kemudian akan diungkapkan melalui metode penelitian menggunakan teori semiotika. Penerima pesan ataupun pembaca memainkan peranan yang lebih aktif dalam model teori semiotika dibandingkan model proses lainnya. Semiotika lebih suka memilih arti ”pembaca” mewakili pernyataan penerima pesan bahkan untuk sebuah foto ataupun gambar. Karena hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya. Maka dari itu, pembacaan tersebut ditentukan
oleh
pengalaman
kultural
pembacanya.
Pembaca
membantu
menciptakan makna teks dengan membawa pengalaman, sikap dan emosinya terhadap teks tersebut. Secara etimologis, semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti “tanda” atau “seme” yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya asap yang menandai adanya api (Sobur, 2009: 16-17). Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Sobur, 2006: 95). Beberapa ahli yang mengungkapkan pengertian semiotika antara lain, John Lechte menyatakan semiotika adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelas lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs „tanda-tanda‟ dan berdasarkan pada sistem tanda (sign system) atau kode. Paul Cobley dan Litza Jansz menyebutnya
Universitas Sumatera Utara
sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi. Chales Sanders Peirce mendefinisikan semiotika sebagai suatu hubungan diantara tanda, objek dan makna (Sobur, 2009: 16). Scholes menyebutkan, semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of science), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (Budiman, 2004: 3). Bahkan Eco menyatakan, semiotika pada prinsipnya merupakan disiplin ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui, atau mengecoh (Sobur, 2009: 18). Maksud dari pernyataan Eco adalah, jika tanda dapat digunakan untuk berkomunikasi, maka tanda juga dapat digunakan untuk mengkomunikasikan kebohongan. Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika signifikasi yang tidak bisa terlepas dari Ferdinand de Saussure dan semiotika komunikasi yang identik dengan Charles Sanders Pierce. Namun, menurut Yasraf Amir Piliang, pembacaan ulang yang dilakukan oleh Umberto Eco dan Paul J. Thibault terhadap karya Saussure dan Pierce sesungguhnya tidak saling beroposisi atau berseteru, melainkan saling melengkapi seperti sebuah totalitas teori bahasa yang saling menghidupi. Seperti yang dikatakan Eco, bagaimanapun juga „tanda‟ adalah asal usul dari „proses semiosis‟, sehingga dengan demikian tidak ada oposisi atara aktivitas interpretasi Pierce dan kekakuan tanda Saussure (Sobur, 2009: vi). Semiotika signifikasi yang berakar pada pemikiran bahasa Saussure, meskipun lebih menaruh perhatian pada tanda sebagai sebuah sistem dan struktur, akan tetapi tidak berarti mengabaikan penggunaan tanda secara konkret oleh individu-individu di dalam konteks sosial. Semiotika komunikasi yang jejaknya ada pada pemikiran Pierce, meskipun menekankan produksi tanda secara sosial dan proses interpretasi yang tanpa akhir, akan tetapi tidak berarti mengabaikan sistem tanda. Kedua semiotika ini justru hidup dalam relasi saling mendinamisasi. Akhirnya, Eco memberikan sebuah elaborasi yang komprehensif dan kritis mengenai „model signifikasi‟ Saussure dan „model produksi tanda‟ Pierce di
Universitas Sumatera Utara
dalam buku A Theory of Semiotics (1979). Perdebatan mengenai semiotika yang akhirnya diredam oleh Eco, membuat orang-orang yang akan menggunakan pandangan Saussure maupun Pierce ataupun para ahli lainnya, akan merangkai sendiri sistem tanda dan penggunaan tanda secara sosial dalam berbagai media komunikasi (iklan, sastra, film, komik, karikatur, dan sebagainya) yang disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan. Beberapa tokoh yang menggeluti bidang semiotik atau semiotika diantaranya (Sobur, 2009: 39-63) : a) Charles Sander Peirce. Pierce terkenal karena teori tandanya. Di dalam lingkup semiotika, Pierce sebagaimana dipaparkan Lechte, seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (index) dan symbol (simbol). Dijelaskan, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan, misalnya foto dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau kenyataan. Contoh, asap sebagai tanda adanya api. Dan simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. b) Ferdinand de Saussure. Sedikitnya ada lima pandangan Saussure yang di kemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme LeviStrauss, salah satunya ialah signifier (penanda) dan signified (petanda). Dengan kata lain penanda adalah “bunyi ysng bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Bisa juga disebut aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Bisa juga disebut aspek mental dari bahasa. Yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret, kedua unsur tadi tidak dapat dilepaskan. “penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.
Universitas Sumatera Utara
c) Roman Jakobson. Jakobson adalah salah seorang dari teoritikus yang pertama-tama berusaha menjelaskan komunikasi teks sastra. Pengaruh Jakobson pada semiotika berawal pada abad ke-20. Menerangkan adanya fungsi bahasa yang berbeda, yang merupakan faktor-faktor pembentuk dalam setiap jenis komunikasi verbal: addresser (pengirim), message (pesan), addresse (yang dikirimi), context (konteks), code (kode), dan contact (kontak). d) Louis Hjelmslev. Hjelmslev mengembangkan sistem dwi pihak (dyadic system) yang merupakan ciri sistem Saussure. Sumbangan Hjelmslev terhadap semiologi Saussure adalah dalam menegaskan perlunya sebuah “sains yang mempelajari bagaimana tanda hidup dan berfungsi dalam masyarakat. Dalam pandangan Hjelmslev, sebuah tanda tidak hanya mengandung sebuah hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. e) Roland Barthes. Barthes dikenal sebagai seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussure. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua yang ia sebut dengan konotative, yang di dalam mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama. 2.2.2 Ikonografi dalam Analisis Semiotika Dalam analisis visual, ada dua pendekatan yang biasa digunakan yakni semiotika Roland Barthes dan ikonografi. Kedua pendekatan ini meminta dua pertanyaan mendasar yang sama, yakni: pertanyaan tentang representasi gambar mewakili apa dan bagaimana? dan pertanyaan tentang 'makna tersembunyi' dari gambar (apa ide-ide dan nilai-nilai yang dilakukan orang, tempat, dan sesuatu yang diwakili dalam gambar). Namun, studi semiotika visual Barthes yang hanya
Universitas Sumatera Utara
seputar gambar itu sendiri, dan memperlakukan makna budaya sebagai mata uang yang diberikan yang dibagi oleh semua orang yang terakulturasi dengan budaya populer kontemporer, dan yang kemudian dapat diaktifkan dengan gaya dan isi gambar, ikonografi juga memperhatikan konteks dimana foto tersebut diproduksi dan diedarkan, serta bagaimana dan mengapa makna budaya dan ekspresi visual mereka terjadi secara historis (Van Leeuwen, 2001: 92). Untuk menganalisis sadisme dalam fotojurnalistik, peneliti menggunakan pendekatan ikonografi. Alasan peneliti yakni, selain karena masih minimnya mahasiswa/i yang menggunakan pendekatan ini dalam penelitiannya, ikonografi tidak hanya terbatas pada analisis tekstual (semiotika visual Barthes) tetapi juga menggunakan analisis yang didasarkan pada perbandingan intertekstual dan penelitian latar belakang sejarah. Istilah ikonografi (iconography) berasal dari istilah Yunani eikonographia yang merupakan gabungan dari kata eikon yang berarti “citraan” atau “gambar” dengan graphia yang berarti “menulis”. Secara harfiah ikonografi berarti “penulisan gambar”. Dalam pemakaiannya sehari-hari, istilah ikonografi seringkali merujuk pada kegiatan mendeskripsikan dan mengklasifikasikan gambar. Ada pula masanya ketika istilah tersebut cenderung dikaitkan pada pengkajian
atas
gambar-gambar
yang
bernuansa
keagamaan.
Namun
sesungguhnya ikonografi merupakan disiplin keilmuan yang menganalisis dan menafsirkan karya-karya visual dalam suatu tinjauan yang implikasinya sangat luas. Dilihat dari awal kemunculannya, ikonografi erat berpaut pada bidang seni rupa, teristimewa menyangkut ilustrasi buku. Istilah tersebut mulai digunakan pada abad ke-18. Pada waktu itu istilah tersebut mengacu pada kajian atas karyakarya visual yang berupa engraving (produksi ilustrasi buku seni). Sebagai disiplin keilmuan tersendiri, ikonografi berkembang pada abad ke-19. Ketika itu perhatian utama para ahli ikonografi seperti Adolphe Napoleon Didron (1806-1867), Anton Heinrich Springer (1825-1891) dan Émile Mâle (1862-1954) dicurahkan pada karya-karya visual yang dibuat dalam kerangka ekspresi iman Kristiani. Sementara pada abad ke-20 disiplin ini terus berkembang,
Universitas Sumatera Utara
antara lain melalu kajian-kajian para ahli seperti Aby Warburg (1866-1929), Fritz Saxl (1890-1948) dan Erwin Panofsky (1826-1968). Mereka tidak hanya mengobservasi isi gambar, melainkan juga mengiterpretasikan makna gambar. Pada gilirannya kajian-kajian ikonografi tidak hanya berkisar di sekitar sejarah seni, melainkan juga merambah kebidang-bidang lainnya. Lagipula sebagaimana yang dikatakan Panofsky, “ahli sejarah kehidupan politik, puisi, agaman, filsafat, dan keadilan sosial patut menerapkan cara kerja yang analog dengan cara yang diterapkan atas karya seni” (Panofsky, 1939: 16). Sebagai salah satu kajian mengenai interpretasi sebuah makna dalam karya seni rupa adalah iconography (iconografi) dan iconology (iconologi). Melalui pendekatan iconography (ikonografis)-iconology (ikonologi) maka sebuah pesan piktorial dapat diinterpretasikan makna yang terkandung didalamnya. Sebagai salah satu kajian tentang interpretasi makna karya seni rupa, ikonografi merupakan pendekatan yang mempertanyakan representasi dan makna yang tersembunyi dari sebuah karya visual (Van Leeuwen, 2001: 93). Erwin Panofsky sendiri dikenal sebagai salah seorang perintis kajian ikonografi dalam sejarah seni. Dalam salah satu bukunya yang utama, Studies in Iconology (1939), Panofsky mendefinisikan bidang keilmuan ini dengan mengatakan bahwa “Ikonografi merupakan cabang dari sejarah seni yang memiliki pokok kajian yang berkaitan dengan sisi manusia (subject matter) atau makna dari suatu karya seni, sebagai sesuatu yang bertolak belakang dengan bentuk karya tersebut (sisi formalisnya)” (Panofsky, 1939: 3). Ketika Panofsky merumuskan metode kerjanya, disiplin sejarah seni cenderung didominasi oleh kajian-kajian yang memusatkan perhatian pada bentuk (form) dan penggayaan (stylistic). Dengan kata lain, metode yang diajukan oleh Panofsky, yang terfokus pada makna gambar, turut memperbaharui minat intelektual dibidang sejarah seni. Metode Panofsky pada intinya berupa “tiga strata yang menyangkut pokok atau makan” (three strata of subject matter of meaning) karya visual. Ketiga tingkatan makan yang terkandung dalam karya visual itu secara berurutan terdiri atas tingkatan praikonografi (pre-iconography), ikonografi (iconography) dan ikonologi (iconology). Pada lapisan praiconografi pengamat – sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
kerangka pemahaman dan cakupan pengalamannya sendiri – memperhatikan bagian-bagian tertentu gambar yang dianggap menarik. Pada lapisan ikonografi pengamat memperhatikan pertautan antara motif gambar dan maknanya. Sedangkan pada lapisan ikonologi pengamat berupaya menafsirkan atau menggali makna intrinsik dari gambar yang diamati. Penjelasan Panofsky mengenai ketiga lapisan makna yang dapat digali dari karya visual serta syarat-syaratnya, yaitu (Panofsky, 1939:5-8) : 1. Makna primer atau alamiah, yang terbagi dalam makna faktual dan ekspresional Makna ini digali dengan mengidentifikasi bentuk murni, yaitu : susunan garis dan warna tertentu, atau bongkahan perunggu atau batu yang dipahat sedemikian rupa sebagai representasi dari objek alamiah semisal manusia, binatang, tumbuhan, rumah, perkakas dan sebagainya, dengan mengidentifikasi hubungan timbal balik diantara objek-objek itu sebagai peristiwa, serta dengan memperhatikan kualitas-kualitas ekspresional semisal watak yang sedih dari suatu pose atau gerak-gerik, atau suasana yang menyenangkan dan menentramkan dari suatu interior. Pemerincian atas motif-motif ini merupakan deskripsi praikonografis atas karya seni. 2. Makna sekunder atau konvensional Makna ini digali dengan memahami bahwa sosok wanita yang memegang sebutir buah persik adalah personifikasi dari kejujuran, bahwa sekelompok figur yang duduk mengahadapi sebuah meja makan dengan tata letak dan pose tertentu merepresentasikan perjamuan terakhir, atau bahwa dua sosok yang sedang bertarung dengan cara tertentu merepresentasikan perlawanan antara kebaikan dan kejahatan. Dalam hal ini kita menghubungkan motifmotif artistik dan menggabungkan motif-motif artistik (komposisi) dengan tema atau konsep. Motif-motif yang kemudian dipahami sebagai penghantar makna sekunder atau konvensional dapat disebut citraan, dan gabungan citraan tiada lain dari apa yang oleh para ahli teori masa silam disebut “invenzioni”, kita biasa menyebutnya cerita dan alegori. Identifikasi atas citraan, cerita dan alegori merupakan wilayah ikonografi dalam pengertian yang lebih sempit. Sebenarnya, ketika kita secara longgar berkata tentang „makna yang dapat dibedakan dari bentuk‟ hal yang kita maksudkan adalah wilayah makna sekunder atau konvensional, yakni tema atau konsep khusus yang diwujudkan melalui citraan, cerita dan alegori, yang dapat dibedakan dari makna primer atau alamiah yang diwujudkan melalui motif-motif artistik. Jelas, analisi ikonografis dalam arti sempit yang benar mengandaikan adanya identifikasi yang tepat atas motif-motif. Makna pada tahap ini juga bisa digali melalui literaturliteratur, baik secara alamiah maupun informasi dari mulut ke mulut. 3. Makna atau isi intrinsik
Universitas Sumatera Utara
Makna ini digali dengan memastikan prinsip-prinsip mendasar yang mengungkapkan sikap dasar suatu bangsa, kelas, persuasi keagamaan atau filosofis – yang secara tidak sadar dikualifikasikan oleh suatu kepribadian dan dipadatkan dalam suatu karya. Tidak perlu dikatakan bahwa prinsipprinsip tersebut diungkapkan dan karena itu diarahkan pada, „metode kompensional‟ dan „signifikansi ikonografi‟. Interpretasi yang benar-benar mendalam atas makan atau isi intrinsik bahkan dapat menunjukkan bahwa prosedur-prosedur teknis yang khas di negeri tertentu, dalam periode tertentu, atau pada seniman tertentu, misalnya Michelangelo lebih suka membuat patung dengan batu ketimbang dengan perunggu, bersifat simptomatik pada sikap dasar yang kentara dalam seluruh kualitas khusus lain pada gayanya. Maka dengan memperhatikan bentuk-bentuk murni, motif, citraan, cerita dan alegori sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip yang mendasarinya, kita menafsirkan seluruh elemen tersebut sebagai apa yang oleh Ernst Caissar disebut nilai-nilai „simbolis‟. Penemuan dan penafsiran nilai-nilai ‟simbolis‟ ini (yang pada umumnya tidak diketahui oleh seniman itu sendiri bahkan secara empatik dapat berbeda dari apa yang secara sadar ingin dia ungkapkan) adalah tujuan dari apa yang dapat kita sebut ikonografi dalam arti mendalam: menyangkut suatu metode penafsiran yang muncul sebagai suatu sintetis ketimbang analisis. Dan sebagaimana idntifikasi yang tepat atas motif-motif merupakan syarat mutlak bagi analisis ikonografi dalam arti sempit yang benar, analisis yang tepat atas citraan, cerita dan alegori merupakan syarat mutlak bagi intrepretasi ikonografi dalam arti mendalam yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
Panofsky juga merangkum ketiga strata penafsiran tersebut dalam sebuah tabel sebagai berikut : Tabel 1. Strata Penafsiran atas Karya Visual dari Panofsky Objek Penafsiran Makna primer atau alamiah – faktual (A), Ekspresional (B) , yang membentuk juga motif artistik.
Tindak Penafsiran Deskripsi praikonografi (dan analisis semi formal).
Perangkat Penafsiran Pengalaman praktis (pengenalan atas objek dan peristiwa).
Makna sekunder atau konvensional, yang membentuk citraan, cerita dan alegori.
Analisis ikonografi dalam pengertian yang lebih ketat.
Pengetahuan mengenai bahanbahan bacaan (pengetahuan atas tema dan konsep khusus).
Makna atau kandungan intrinsik, yang membentuk nilainilai “simbolis”.
Penafsiran ikonografi dalam pengertian yang lebih mendalam (sintesis ikonografi).
Intuisi sintesis (pengenalan atas kecenderungankecenderungan hakiki dari pikiran manusia), yang dikondisikan oleh kepribadian.
Prinsip Pemandu Penafsiran Sejarah penggayaan (telaah atas cara objek dan peristiwa diungkapkan melalui bentuk, dalam berbagai kondisi historis). Sejarah ragam karya (telaah atas cara tema atau konsep khusus diungkapkan melalui objek atau peristiwa khusus, dalam berbagai kondisi historis). Sejarah gejala budaya atau “simbol” pada umumnya (telaah atas cara kecenderungankecenderungan hakiki dari pikiran manusia diungkapkan melalui tema dan konsep khusus, dalam berbagai kondisi historis).
Sumber : Panofsky, 1939: 14-15 Namun, Panofsky mengingatkan : Patut kita ingat bahwa kategori-kategori yang dibedakan secara terperinci itu, yang dalam tabel tersebut seakan-akan menunjukkan tiga wilayah makna tersendiri, sesungguhnya mengacu pada aspek-aspek dari satu Universitas Sumatera Utara
fenomena, yakni karya seni secara menyeluruh. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya, metode-metode pendekatan yang di sini tampak sebagai tiga langkah terpisah berpautan satu sama lain dalam suatu proses yang bersifat organis dan terpadu (Panofsky, 1939: 16). Patut dicatat bahwa dalam Studies in Iconology metode penafsiran karya visual dari Panofsky itu dikemukakan sebelum ia menafsirkan lukisan-lukisan dari zaman Renaissance. Lukisan-lukisan tersebut lazimnya digolongkan sebagai fine art, yang karateristiknya tentu akan dianggap sangat berlainan dengan karya visual yang ditelaah dalam penelitian ini, yakni foto-foto terkait peristiwa tewasnya Moammar Khadafi. Namun, pada dasarnya metode Panofsky dapat diandalkan untuk membaca berbagai gejala visual. Dalam penelitian ini, aspek ikonografis dari karya visual diperinci menjadi dua segi, yakni motif (motif) dan makna (meaning). Motif mengacu pada hal yang tampak pada bidang gambar, sedangkan makna mengacu pada hal yang tersirat di balik gambar. Demikianlah dengan mengkaji serangkaian foto kematian Moammar Khadafi pada Oktober 2011, diharapkan akan memperdalam pemahaman mengenai fotografi khususnya yang mengandung unsur sadis serta mengenai kehidupan masyarakat Libya. 2.2.3 Sadisme Dan Etika Fotojurnalistik Istilah sadisme diambil dari nama seorang bangsawan, yang juga penulis filsafat, Donatien Alphonse François Marquis de Sade (1740-1814). Bukan hanya melakukan sadisme seksual, dia juga menuliskannya ke dalam novel yang menggambarkan praktik tersebut (dikenal dengan novel Justine) . Di dalam novelnovel itu, ia memaparkan hal-hal yang akan menggetarkan serta mengagetkan. Juga di dalam novel-novel itu, kita akan menemukan jiwa pemberontakan total yang terdapat di dalam diri de Sade. Di balik semua itu, kita juga bisa menemukan pemahaman yang amat kaya, yang merentang dari seksualitas sampai moralitas, dari politik sampai agama, dari estetika sampai metafisika, dari kritik sastra sampai dengan persoalan hidup dan mati. Pemikiran de Sade yang kontroversial dan tajam, ia bisa dibilang adalah satu-satunya orang yang sungguh mengalami revolusi Prancis dari sisinya yang paling hitam, dan mengajukan komentar yang cukup mendalam tentangnya. Ide-idenya mendalam karena ia berhasil Universitas Sumatera Utara
mengungkapkan dan menyatakan dengan lugas siapa dan apa itu manusia sesungguhnya tanpa ragu, yakni sebagai mahluk yang memiliki tubuh seksual (sexual body). Dengan gairah semacam itu, Foucault, seorang filsuf besar asal Prancis di abad ke dua puluh, menempatkan de Sade sebagai salah satu filsuf terbesar di masa Pencerahan Eropa. Ia menulis dengan berani dan dengan stamina yang menakjubkan. Karena itu pula ia ditangkap, dan kemudian dipenjara (Phillips, 2005: 1-2). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan (daring) edisi III tahun 2008 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sadis berarti tidak mengenal belas kasihan, kejam, buas, ganas, atau kasar. Bila mendapat akhiran – isme yang artinya „faham‟ maka istilah sadisme dapat didefinisikan sebagai kenikmatan atau kepuasan yang diperoleh lewat upaya menyakiti, melecehkan, menghina dan menghancurkan pihak-pihak lain. Sadisme merupakan patologi psiko-sosial yang sangat berbahaya terutama bila bukan lagi sekedar diidap oleh segelintir orang, namun juga masyarakat luas. Apakah seseorang yang memiliki temperamen tinggi, berbicara kasar atau bertampang keras selalu indentik dengan orang berwatak sadis? Dalam kenyataan, sering kali seorang yang oleh orang-orang dekatnya dikenal sangat halus, murah hati, penuh perhatian, murah senyum, bahkan sangat dermawan malah sering dianggap berwatak sadis. Sebagai contoh yang sangat klasik (tapi kasus sadisme seberat ini memang jarang walau di dunia modern ini masih tetap terjadi) adalah Heinrich Himmler (kepala dinas rahasia Nazi) yang bersama-sama Hitler bertanggung jawab terhadap matinya sekitar 15-20 juta warga Rusia, Polandia dan Yahudi yang tak bersalah. Oleh lingkungan dekatnya Himmler pun semula dikenal sebagai orang yang sangat baik dan penuh perhatian. Pernah pada suatu hari karena merasa iba terhadap istri bawahannya karena suaminya di rumah sakit, Himmler mengirim mobilnya agar istri bawahannya itu tidak repot mondar-mandir ke rumah sakit. Himmler memang pandai menenangkan hati orang yang gelisah, sehingga orangorangpun percaya kepadanya. Tapi tanpa disangka, bawahannya itu tewas atas perintah Himmler juga.
Universitas Sumatera Utara
Erich Fromm menyebut sadisme sebagai transformasi dari ketidakkuasaan (inpotence) ke dalam pengalaman yang maha kuasa (omnipotence). Sadisme menurut Fromm, adalah keinginan untuk memiliki secara sempurna orang lain, membuat orang lain menjadi objek yang tak berdaya. Orang yang didominasi dan diperlakukan sebagai benda untuk dipergunakan dan dieksploitasi (Fromm, 1988: 84). Secara umum, orang berwatak sadis cenderung ingin mengontrol orang lain dan menjadi sesuatu yang memiliki objek untuk dikontrol. Orang semacam ini ingin menjadi "tuan" dalam hidup dan nilai hidupnya memang ditentukan oleh korban yang dijatuhkannya. Ciri lain dari watak sadis, ia hanya terangsang oleh keadaan atau orang yang lemah dan tidak pernah oleh yang kuat. Sebab bagi seorang yang berwatak sadis berhadapan dengan yang kuat tidak pernah menghasilkan kekuatan yang imbang. Lebih-lebih karena yang diinginkannya memang mengontrol orang lain yang lemah, yang tidak sanggup untuk melawannya. Sebab itu bagi seorang yang sadis ada satu hal yang sangat penting dalam hidupnya yaitu kekuasaan, baik itu kekuasaan terhadap sesuatu maupun kekuasaan untuk menjadi sesuatu. Di penghujung tahun 2011, dunia dikejutkan dengan kabar mengenai kematian Presiden Libya, Moammar Khadafi. Kematiannya menuai kecaman dari sejumlah pimpinan negara lain hingga PBB. Betapa tidak, ia meninggal dengan cara yang tragis bahkan hingga sebelum ia dikuburkan. Video dan foto detik-detik menjelang kematiannya yang mengenaskan, beredar luas bahkan menjadi headline pemberitaan media massa selama sepekan. Jurnalisme memang sudah lama membicarakan fakta, tetapi jurnalisme juga sudah lama diembargo, dimanipulasi, atau ditutup oleh tinta hitam, walaupun pada akhirnya kebenaran akan muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan (Ajidarma, 2005: 1). Tapi tidak untuk saat ini. Sebab jurnalisme sudah lama bebas bernafas dari cengkraman para diktator. Terlebih lagi setelah adanya undangundang yang menyatakan kebenaran dan perlindungan bagi mereka. Serta etika jurnalisme dan kode etik yang meluruskan moral mereka sebagai pencari berita (informasi).
Universitas Sumatera Utara
Jurnalis foto bukanlah profesi eksklusif meski dalam diri mereka melekat hak-hak yang bersifat istimewa. Dibanding masyarakat umum jurnalis foto memiliki lebih banyak keleluasaan dalam memotret. Mereka bisa menjangkau tempat-tempat terlarang atau terlindung dari penglihatan publik. Mereka leluasa memotret presiden di istana negara, aktivitas orang, alat-alat dan latihan militer, tempat privat dengan alasan komersial seperti rumah, kamar, pabrik, dan mal. Pemberian akses yang lebih luas kepada jurnalis foto semata-mata untuk memenuhi hak masyarakat akan informasi. Namun keistimewaan yang dimiliki jurnalis foto tidak luput dari hal-hal yang bisa dipertanyakan secara etis. Persoalan tersulit adalah menentukan porsi yang tepat antara boleh dan tidak boleh atau pantas dan tidak pantas. Jurnalis foto hendaknya menggunakan perasaannya untuk bertindak selayaknya ia sebagai individu dan di saat yang sama sebagai fotografer. Momen memang menjadi nilai tinggi dari sebuah karya fotojurnalistik. Ia tak dapat diulang atau direkayasa. Namun ketika bicara tentang momen, terkadang ada suatu hal yang jarang dipikirkan jurnalis foto, yaitu moralitas. Jurnalis foto memang berkewajiban merekam seluruh kejadian atau peristiwa, sekeji atau sesadis apapun itu. Tapi tak semua hasil foto itu layak dipublikasikan. Seperti halnya tulisan, foto pun bisa menimbulkan efek traumatik, kengerian, bahkan konflik. Itu sebabnya media berperan dalam penyeleksian fotofoto. Memilah mana yang layak dipublikasikan dan mana yang tidak. Namun, fakta yang ditemukan, tak sedikit foto-foto yang melanggar etika dimuat pada surat kabar lokal, maupun nasional. Louis A. Day dalam bukunnya, Ethics In Media Communications: Cases and Controversies, mengharapkan setidaknya tiga hal mengenai etika, yaitu (Wijaya. 2011: 114) :
Kredibilitas. Dalam perspektif etika, kredibilitas adalah pokok dari awal hubungan kita dengan orang lain dan komunitas. Kepercayaan adalah komoditas yang rapuh, dan kini di era persaingan ketat, matrealistis, dan masyarakat keterbukaan, mempertahankan kepercayaan adalah kegiatan yang membosankan. Namun, perjuangan untuk mempertahankannya tidak
Universitas Sumatera Utara
boleh surut, karena faktanya kekurangan kepercayaan dapat merugikan reputasi jurnalis dan medianya.
Integritas. Salah satu hal yang paling krusial dalam pendewasaan moral adalah
integritas.
Louis
mengutip
tulisan
Stephen
Carter
yang
mendefinisikan integritas sebagai, (1) melihat apa yang benar dan apa yang salah; (2) beraksi atas apa yang kamu lihat, bahkan dengan biaya sendiri; dan (3) terbukalah atas pemahamanmu pada kebenaran dari pada kesalahan.
Kesopanan. Kesopanan atau civility mungkin dijabarkan sebagai “prinsip pertama” dari moralitas karena ini meliputi satu perilaku pengorbanan oleh diri sendiri dan penghormatan pada yang lain. Bagi media, menempatkan kesopanan di tempat yang lebih tinggi mampu meningkatkan penghargaan dari publik, karena hal itu merupakan penghormatan bagi pembaca. Musuh dari kesopanan adalah egois, kerena egois tidak mendukung orang untuk melihat bagaimana sesuatu berakibat bagi orang lain. Dalam kompetisi pasar yang mengedepankan sensasi, mengejutkan, atau skandal, maka kesopanan bukan aspek yang termasuk dalam agenda liputan. Menurut Taufan Wijaya, Untuk foto-foto korban kecelakaan, tindak
kejahatan, dan musibah, menampilkan foto dengan menjaga agar wajah korban tidak sebagai point of interest adalah upaya mengedepankan empati (Wijaya, 2011: 114). Bukankah kita akan sangat sedih bahkan marah bila foto korban tersebut adalah orang yang kita sayangi? Foto seorang kriminal yang babak-belur penuh luka dan darah misalnya, dapat membuat pembaca yang seorang pengusaha muntah saat sarapan. Surat kabar harian dengan segmentasi menengah-atas bisa bermasalah dengan pelanggannya gara-gara foto seperti itu. sebagai jalan tengah, kebanyak jurnalis foto akan berupaya mencari angle supaya foto tersebut tidak terlihat vulgar, mengaburkan bagian foto yang sadis dan porno, atau membuatnya menjadi foto hitam putih. Dr. Rushworth Kidder dari The Institute for Global Ethic America menjelaskan tradisi-tradisi yang paling berpengaruh pada falsafah moral, dan bagimana tradisi itu mempengaruhi keputusan etika dalam jurnalisme professional
Universitas Sumatera Utara
saat ini. Kidder meguraikan tiga jenis pendekatan dalam pembuatan etika berdasar pada tradisi-tradisi falsafah moral. Masing-masing dapat dipakai untuk memecahkan masalah, tapi masing-masing memiliki kelemahan dan jebakannya sendiri (Prayitno, 2006: 9-12).
Utilitarianisme. Pendekatan ini meminta kita untuk menjajaki konsekuensi dari tindakan dan keputusan kita (jurnalis). Jika saya melakukan hal ini, maka akan terjadi begini; jika saya melakukan hal itu, yang akan terjadi lain lagi. Keputusan etis ini, dengan pendekatan utilitarian adalah hasil dari sebuah kalkulasi etis.
Keputusan Berdasar Peraturan: Imperatif Kategoris Kant. Istilah Emmanuel Kant ini adalah cara yang agak menakutkan untuk menyebutkan sebuah pendekatan yang relatif sederhana terhadap alasan moral; apapun yang anda putuskan, anda boleh meyakini bahwa keputusan itu bersifat moral atau etis jika anda bisa menyatakan bahwa prinsip atau peraturan yang menjadi keputusan anda adalah sebuah hukum universal. Dengan kata lain, anda (jurnalis) memutuskan untuk berlaku sama bagi siapa saja di dunia ini dalam situasi yang sama.
Aturan Emas atau Keterbalikan. Prinsip bahwa and harus “melakukan sesuatu terhadap orang lain sebagaimana orang lain melakukan terhadap anda” adalah pokok dari semua agama besar. “ini mungkin prinsip etika yang sudah lebih banyak dipakai oleh kebanyakan orang ketimbang prinsip lain manapun dalam sejarah dunia,” disini anda menempatkan diri pada kedudukan orang lain, jadi saling tukar peran. Aturan emas ini sering disebut sebagai pendekatan “berdasar kepedulian”. Ketiga pendekatan ini merupakan jalan untuk para jurnalis, setidaknya
sebagai solusi bagi mereka saat terjun di dalam masyarakat. Sebab, menurut Kidder, pengambil keputusan yang beretika melibatkan pemikiran yang kompleks dan hampir selalu merupakan usaha keras. Sebagai sebuah profesi, jurnalis berbeda dengan pekerjaan lain yang hanya mengandalkan keahlian. Perbedaan mendasar antara pekerjaan dengan profesi adalah bila pekerjaan hanya menuntut
Universitas Sumatera Utara
tanggung jawab kepada instansi yang memberinya upah, maka profesi mengemban tanggung jawab lebih luas yakni kepada masyarakat. John C Merril mengungkapkan “Lebih mudah membicarakan hukum daripada etika, sebab etika adalah tentang pribadi, sedangkan hukum berhubungan dengan sosial. Agaknya apa yang diungkapkan John C. Merril ada benarnya. Kecenderungan untuk melanggar etika dalam media massa tak hanya terlihat di berita-berita yang diproduksi tapi juga foto-foto yang dimuat. Unsur Sadisme adalah salah satu hal yang sering digambarkan dalam foto di media massa. William H Siemering sebagai instruktur penyiaran di Afrika, Eropa Timur dan Asia menambahkan, “saya perlu katakan bahwa anda (jurnalis) perlu misi yang jelas dan pemahaman soal pentingnya infromasi dalam masyarakat dunia. Dedikasi terhadap keakuratan dan kebenaran harus sejajar dengan kepercayaan. Tantangannya adalah bagaimana menyajikan infromasi dengan cara yang menarik sehingga, orang ingin mendengarkan atau membaca apa yang perlu mereka ketahui (Natasukarya, 2006: 39). Pernyataan di atas merupakan buah dari kode etik jurnalistik. Bisa juga seperti yang dikatakan seorang penulis, Robert H Estabrook, bahwa pernyataan itu merupakan kebebasan. Dan kebebasan pernyataan tersebut merupakan kode etik yang menghormati tindak tanduk pers (Prayitno, 2004: 34). Dalam menjalankan profesi sebagai jurnalis, kode etik merupakan acuan moral dalam menjalankan tugas kewartawanannya dan berikrar untuk menaatinya. Sesuai dengan pasal 7 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Maka, berdasarkan Peraturan Dewan Pers No. 6/Peraturan-DP/V/2008 yang disepakati 29 organisasi pers di Indonesia menyepakati Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) terdapat 7 pasal, yakni (Teba, 2009: 136): 1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh dan menyiarkan informasi yang benar.
Universitas Sumatera Utara
2. Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber infromasi. 3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampuradukkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran infromasi serta tidak melakukan plagiat. 4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan infromasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila. 5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi. 6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record susuai kesepakatan. 7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab. Pelarangan pemberitaan yang mengandung unsur sadis, sangat jelas tertuang dalam pada pasal 4 berbunyi: “Wartawan Indonesia tidak memuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”. Fotojurnalistik yang mengandung unsur sadis dikhawatirkan akan membuat pembaca trauma, ketakutan, atau gelisah. Tak hanya pembaca, traumatik juga akan dialami oleh korban atau keluarga korban. Namun, seringkali hal ini tidak diindahkan oleh fotografer, redaktur foto, atau pemimpin redaksi suatu media massa, terutama surat kabar. Foto-foto mengandung unsur sadis tetap dimuat agar terlihat lebih sensasional dan menarik perhatian pembaca. Berdasarkan laporan program Dewan Pers Periode 2010-2013, Dewan Pers melakukan penelitian pada wartawan pada tahun 2011. Penelitian ini melibatkan 1.200 responden dari 33 provinsi di Indonesia, dengan menggunakan metode kuantitatif survei. Responden adalah wartawan yang berasal dari suratkabar harian (27%), media mingguan (13%), media bulanan (4%), televisi (25%), radio (26%), dan online (5%). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, tingkat pengetahuan dan ketaatan wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik. Hasil penelitian ini memperlihatkan ada peningkatan jumlah wartawan yang membaca seluruh Kode Etik Jurnalistik, dari 21% responden pada tahun 2007 menjadi 42% pada tahun
Universitas Sumatera Utara
2011. Ditemukan juga data yang menunjukkan adanya korelasi: wartawan yang pernah membaca seluruh isi Kode Etik Jurnalistik sebagian besar memiliki pengetahuan yang benar tentang pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Tabel 2. Presentase Membaca Kode Etik Jurnalistik No
Uraian
Hasil survey
1
Belum pernah sama sekali membaca KEJ
10%
2
Pernah membaca seluruh isi KEJ
42%
3
Pernah membaca sebagian isi KEJ
48%
Sumber: Laporan Akhir Dewasn Pers Periode 2010 – 2013 (www.dewanpers.or.id) Dewan Pers menegaskan bahwa fungsi Dewan Pers bukanlah menjadi pembela media. Tugas Dewan Pers adalah menegakkan Kode Etik Jurnalistik dan melindungi kemerdekaan pers. Dewan Pers tidak pernah ragu menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers seandainya ada media yang melanggar kode etik. Laporan Dewan Pers tahun 2010-2013, pada tahun 2010 Dewan Pers menerima 421 pengaduan, terdiri atas 117 pengaduan langsung dan 304 tembusan. Dari pengaduan tersebut, terdapat 98 kasus yang melanggar Kode Etik Jurnalistik. Lalu pada tahun 2011 Dewan Pers menerima 502 pengaduan, terdiri atas 157 pengaduan langsung dan 345 tembusan. Dari pengaduan tersebut, terdapat 101 kasus yang melanggar Kode Etik Jurnalistik. Serta, tahun 2012 Dewan Pers menerima 439 pengaduan, terdiri atas 176 pengaduan langsung dan 263 tembusan. Dari pengaduan tersebut, terdapat 167 kasus yang melanggar Kode Etik Jurnalistik. Banyaknya pengaduan ke Dewan Pers dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Pertama, ini menunjukkan peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah pemberitaan media dan penegakan Kode Etik Jurnalistik dengan menggunakan mekanisme sebagaimana diatur dalam UndangUndang Pers. Dengan kata lain dapat dilihat sebagai peningkatan kesadaran
Universitas Sumatera Utara
berbagai pihak untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan melalui Dewan Pers, dan bukan melalui jalur hukum. Kedua, banyaknya pengaduan ke Dewan Pers menunjukkan bahwa ada banyak masalah dengan jurnalisme di Indonesia, ada banyak masalah dalam proses penegakan Kode Etik Jurnalistik. Banyak pengaduan ke Dewan Pers menunjukkan banyaknya pelanggaran yang dilakukan media dan banyaknya pihak yang merasa dirugikan olehnya. 2.2.4 Fotografi Secara etimologi, fotografi merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris, photography. Photography itu sendiri berasal dari dua kata bahasa Yunani, fotos yang berarti cahaya, dan grapos/ graphein yang berarti menulis atau melukis. Jadi, fotografi dapat diartikan menulis dengan bantuan cahaya, menggambar dengan bantuan cahaya atau merekam gambar melalui media kamera dengan bantuan cahaya. Sementara itu, kata kamera berasal dari bahasa latin Camera Obscura yang berarti kamar gelap atau dark room (Mulyanta, 2008: 5). Ilmu fotografi sudah muncul sejak zaman dahulu. Buktinya, manusia prasejarah selalu berkeinginan untuk mengabadikan setiap peristiwa yang dialaminya. Peristiwa demi peristiwa didokumentasikan melalui berbagai cara. Salah satunya dengan menggambarkan peristiwa-peristiwa tersebut pada dinding gua, kulit kayu atau kulit binatang melalui teknik melukis sampai teknik fotografi yang sangat sederhana. Sejak zaman prasejarah telah dikenal makhluk yang tinggal di goa-goa dan meninggalkan jejak-jejak visual mereka pada dinding-dinding goa yang dikenal dengan pictograph, petroglyph, dan ideograph ketika setiap gambar yang ada bermuatan makna tertentu. Karya visual yang ada di dalam goa berkembang menjadi suatu kegiatan yang turun temurun dan menjadi tradisi yang hidup dalam peradaban manusia sejak dahulu kala sampai saat ini. Tradisi itu adalah pictorialism yang merupakan bagian dari hasil kebudayaan materil yang hidup dan berkembang dalam sejarah umat manusia sebagai awal perkembangan tradisi imaji visual.
Universitas Sumatera Utara
Teknik fotografi sederhana mulai terungkap sekitar abad ke-10. Saat itu, ilmuwan Arab bernama Alhazen menjelaskan cara melihat gerhana matahari menggunakan ruang gelap. Ruangan tersebut dilengkapi dengan sebuah lubang kecil (pinhole) yang menghadap ke matahari. Untuk pertama kalinya, prinsip kerja Alhazen berhasil ditemukan oleh Reinerus Gemma-Frisius (1554), seorang ahli fisika dan matematika dari Belanda (Giwanda, 2001: 3). Fotografi secara resmi lahir di Paris tahun 1839 ketika Louis Jacques Mande Daguerre memperkenalkan kameranya yang bernama Daguerreotype. Sejak itu, era perkembangan fotografi terus berjalan mengikuti perkembangan kemajuan manusia, hingga kini memasuki masa booming teknologi kamera digital. Ada beberapa macam jenis fotografi diantaranya yaitu (Santoso, 2010: 14) : 1. Fotografi Murni atau Hobi Jenis fotografi yang digolongkan ke dalam kelompok fotografi murni ini adalah jenis karya fotografi yang dibuat semata-mata karena hobi atau kesukaan sang fotografer. Karya tersebut tidak dimasukkan sebagai ilustrasi artikel pada majalah atau surat kabar atau juga tidak dimasukkan sebagai bahan promosi atau iklan. Karya tersebut dibuat atas dasar keinginan atau mood si pemotret terhadap objek atau keindahan objek yang dilihatnya. Tujuan yang dikejar oleh sang fotografer adalah menciptakan momen eksotik. 2. Fotografi Jurnalistik Fotografi jurnalistik yang khusus menampilkan foto-foto yang memiliki nilai berita, baik benda, bahan atau situasi kehidupan manusia yang menarik perhatian umum. Bersifat aktual sebagai berita yang mampu mengungkapkan kejadian, menjelaskan dan menimbulkan rasa ingin tahu. 3. Fotografi Komersil Fotografi komersial memiliki aturan-aturan yang ditaati dan ditepati. Fotografer di bidang ini harus menunjukkan hasil yang subjektif secermat mungkin. Bahkan pada saat-saat tertentu para pemotret harus pula menjaga kerahasian, keamanan dan keselamatan objek yang dipotretnya. 4. Fotografi Iklan Pada fotografi iklan dapat dilihat bahwa faktor objektivitas agak sedikit berkurang. Alasan yang paling mendasar adalah foto-foto yang akan ditampilkan bertujuan mempengaruhi selera konsumen, agar konsumen mau membeli produk yang ditawarkan. Seorang fotografer harus berkreasi untuk mendapatkan hasil yang memiliki “magnet”.
Universitas Sumatera Utara
5. Fotografi Pernikahan Fotografi pernikahan adalah bagian dari fotografi komersial yang berfungsi sebagai sarana pendokumentasian upacara pernikahan. Fotografi pernikahan merupakan “tambang emas” bagi seorang fotografer yang tidak ada habis-habisnya. Cabang fotografi ini tidak akan pernah berakhir sepanjang masa, karena merupakan keinginan manusiawi jika pasangan yang melakukan pernikahan ingin mengabadikan hari bahagia mereka tersebut. 6.Fotografi Fashion Fotografi fashion tidak lagi berbentuk foto produk tetapi berkembang menjadi aliran yang mengutamakan artistik yang tinggi yang mewakili rancangan mode. Persaingan dalam menjual ide, konsep dan tidak hanya dari sisi rancangan mode, tapi juga teknik fotografi, make-up dan rambut, tata gaya, tata ruang dan sebagainya yang menghasilkan sebuah karya seni. Hal pokok yang penting dikuasai dalam bidang fotografi adalah kemampuan teknis dalam memotret dan kreativitas komposisi foto. Kemampuan teknis yaitu kemampuan untuk menguasai dan mengoperasikan alat-alat fotografi. Beberapa teknik perlu dikuasai apabila ingin menghasilkan foto yang indah. Sedangkan, kreativitas komposisi foto adalah kemampuan dalam mengolah suatu objek fotografi sehingga karya tersebut menjadi enak dipandang, mempunyai nilai bagi subjek yang menjadi penikmat foto. Memandang suatu benda, atau apapun, dengan kamera tentulah tidak seleluasa melihat dengan mata telanjang. Apabila seorang fotografer membidik melalui view vinder, maka hanya dapat mengambil sebagian dari yang mampu dilihat oleh mata. Oleh karena itu, untuk memperlihatkan keindahan dari suatu objek yang berhasil dibidik fotografer, diperlukan adanya komposisi foto. Komposisi merupakan susunan seni penempatan objek yang dilakukan oleh fotografer dalam sebuah foto. Unsur yang membuat gambar berhasil lebih baik dan membuat menarik adalah mutu dari komposisi yang diciptakan oleh fotografer. Dalam sebuah foto, tidak ada batasan “saklek” atau batasan jelas untuk pengaturan komposisi foto. Cara untuk memberikan komposisi yang baik dalam sebuah foto adalah dengan menempatkan pada “titik kuat” dalam sebuah foto.
Universitas Sumatera Utara
Komposisi tersebut dilakukan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu (Alwi, 2004: 42): a. Point of interest : hal atau sesuatu yang paling menonjol pada foto. Kadang orang mengatakannya adalah sebagai pusat perhatian. b. Framing : kegiatan membingkai di mana objek yang akan difoto berada dalam suatu bingkai. c. Balance : kegiatan di mana mempertimbangkan keseimbangan letak objek foto agar posisi objek foto (point of interest) saat akan melakukan framing. Dalam pengambilan gambar, jarak dalam mengambil gambar perlu diperhatikan, karena penentuan terebut mempengaruhi akan foto yang terekam dalam kamera. Kalau jaraknya jauh dari objek, maka gambar yang terekam akan terambil secara luas dan menyeluruh. Lalu ketika pengambilan gambar dengan jarak lebih mendekat dengan objek, maka hanya beberapa komponen yang terekam oleh kamera. Selain itu ada teknik close up yang lebih dekat lagi dengan objek. Komposisi lainnya, ada juga yang disusun berdasarkan jarak pemotretan. Jarak yang dimaksud adalah jarak antara fotografer dengan objek foto. Variasi komposisi tersebut antara lain (Alwi, 2004: 45-46) : a. Long shot Long shot merupakan sudut pandang yang lebar yang memberi perhatian lebih kepada objek pemotretan dengan cara memisahkannya dari latar belakang yang mungkin mengganggu (Sugiarto, 2004: 82). Sebuah foto dengan long shot menangkap seluruh wilayah dari tempat kejadian. Komposisi yang dihasilkan adalah objek (point of interest) kecil. Lebih mudahnya, jarak kamera jauh dengan objek foto. Biasanya apabila dalam memotret manusia, diperlihatkan seluruh tubuhnya. Komposisi long shot biasanya digunakan untuk menjelaskan dan memperlihatkan suasana atau situasi yang sedang terjadi. Long shot memberikan gambaran untuk melihat hubungan antara objek dengan latar belakang yang ada dalam foto tersebut.
Universitas Sumatera Utara
b. Medium shot Medium shot merupakan pandangan yang lebih mengarah kepada suatu tema pokok dengan latar belakang yang sedikit dihindari. Ketika pemotretan dengan objek manusia, maka yang diambil dalam foto tersebut dari pinggul ke atas (Sugiarto, 2004: 88). Sebuah objek manusia ditampilkan dari lutut atau sedikit di bawah pinggang sampai dengan ke atas. Komposisi yang dihasilkan adalah objek yang difoto (point of interest) sudah terlihat lebih besar dibandingkan dengan pemotretan dengan teknik long shot dan dapat menjelaskan lebih detail. Jarak antara kamera dengan objek lebih dekat. c. Close up Dengan teknik close up ini, yang difoto sebatas wajah, diambil dari jarak dekat. Fungsi dari jepretan (shot) adalah untuk mengungkapkan detail dan ekspresi wajah model. Jepretan (shot) ini banyak disukai oleh para fotografer karena dapat mengungkapkan wajah objek dengan dengan baik dan jelas (Sugiarto, 2004: 18). Komposisi yang dihasilkan hanya objek yang difoto saja atau pada wajah orang saja. Biasanya pemotretan close up dilakukan untuk memperlihatkan ekspresi orang atau detail suatu benda. Komposisi ada juga yang berdasarkan dari sudut pengambilan gambar (Alwi, 2004: 46). Sudut pengambilan gambar yang dimaksud disini adalah seberapa tinggi pengambilan gambar antara fotografer dengan objeknya. Komposisi tersebut antara lain : a. Bird Eye View atau High angle (pandangan tinggi), artinya pemotretan berada pada posisi yang lebih tinggi dari objek foto, pengambilan gambar terletak di atas garis horizontal. Sudut pandang yang dihasilkan gambar seolah-olah objek tampak lebih pendek dari aslinya, dikarenakan pandangan ini mengurangi ketinggian objek dengan tingkat pengukuran tertentu (Sugiarto, 2004: 68). Komposisi Bird Eye View atau High angle memberikan kesan kecil, dalam, lamban untuk sebuah objek yang mendekat atau menjauh dari kamera, dapat digunakan untuk pembukaan
Universitas Sumatera Utara
dalam suatu foto cerita. Apabila dalam foto pemandangan, maka dapat memperlihatkan situasi keadaan yang luas dari atas, sehingga dapat memperlihatkan secara keseluruhan pemandangan tersebut. b. Frog Eye Level atau Low angle (pandangan rendah) merupakan kebalikan dari high angle. Sudut pandang dalam teknik ini yaitu pemotretan
dengan kedudukan fotografer lebih rendah dari objek
pemotretan. Gambar yang dihasilkan seolah-olah objek lebih tinggi dari aslinya (Sugiarto, 2004: 82). Foto dengan komposisi Frog Eye Level atau Low angle (pandangan rendah) memberi kesan gagah, suasana yang penuh kekuatan atau keangkeran, membuat suasana dramatik, dapat mengurangi foreground yang tidak disukai, menurunkan cakrawala, dan menyusutkan latar belakang serta meningkatkan ketinggian yang lebih kuat dari suatu objek. c. Eye Level View atau Normal Angle (pandangan normal) yaitu pandangan setinggi mata manusia dalam posisi berdiri. Pemotreran eye level merupakan pengambilan gambar yang dilakukan dengan cara mata kamera (fotografer meletakkan posisi kamera sama dengan objek) sejajar dengan objek yang akan diambil. Dalam pemotretan dengan teknik eye level (pandangan normal) ini hasilnya akan sama dengan pandangan mata biasa (Sugiarto, 2004: 49). Komposisi ini memberikan kesan santai, landai, monoton, biasa (apa adanya), umum, dan tidak menciptakan suasana dramatik. Unsur kedekatan penikmat foto akan dapat terbangun apabila menggunakan komposisi ini. Fotografi berkembang menjadi sarana yang berguna bagi perkembangan ilmu dan teknologi untuk kemaslahatan manusia. Pengembangan lebih lanjut dari fotografi telah menciptakan suatu bentuk media baru. Media yang semula merupakan gambar “still” yang tidak bergerak telah menjadi media penghasil imaji bergerak dalam bentuk film dan video dengan fungsi dan penampilan yang mendukung esensi karekteristik fotografi sebagai imaji visual yang nyata, faktual dan terpercaya seperti realitas kehuidupan.
Universitas Sumatera Utara
2.2.5 Fotojurnalistik Ketika kebutuhan manusia untuk merekam suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai nilai berita, dalam arti bahwa suatu berita harus diketahui oleh orang banyak, maka kebutuhan untuk merekam dengan sarana yang mudah, terpercaya keotentikan detail yang memadai, relatif cepat proses produksinya telah terwakili dalam karya fotojurnalistik. Untuk itu maka pilihan yang efektif tiada lain adalah fotografi yang berfungsi sebagai pencipta imaji yang dapat disebarluaskan melalui media cetak, baik sebagai pendukung atau ilustrasi berita verbal, maupun yang berdiri sendiri sebagai imaji rekaman peristiwa (foto berita) yang faktual dan terpercaya. Maka lahirlah documentary photography yaitu foto yang sesuai dengam sifat hakiki dari fotografi yang berfungsi merekam atau mendokumentasikan sesuatu. Namun secara khusus foto tidak sekadar mendokumentasikan, tetapi juga merekam peristiwa yang harus diketahui secara umum, maka terciptalah apa yang disebut photojournalism atau fotojurnalistik. Esensi dari fotojurnalistik adalah bahwa sebuah berita harus ditampilkan secara faktual, visual, dan menarik. Sedangkan entitas fotojurnalistik yang menampilkan fakta dan realitas dalam bentuk visual yang terdokumentasikan dengan baik bila dirunutkan secara kronologis melalui alur waktu yang benar dapat dikatakan sebagai suatu sejarah fakta bergambar. Ia merupakan catatan yang terekam dalam mata visual karena mengandung jejak dan langkah kenyataan dan kejadian yang patut diketahui orang banyak karena nilai vitalitasnya dalam perjalanan peradaban manusia. Ketika kata fotografi menjadi fotojurnalistik ada makna lain yang harus ditambahkan. Ada pula aturan-aturan khusus yang mengikat. Jurnalistik identik dengan bidang kewartawanan atau pers, yaitu kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan berita melalui media massa. Ada beragam definisi tentang fotojurnalistik yang disampaikan para pakar komunikasi dan praktisi jurnalistik. Namun secara garis besar, menurut Guru Besar Universitas Missouri, Amerika Serikat, Cliff Edom fotojurnalistik adalah paduan antara gambar (foto) dan kata. Dalam berita, foto mempunyai kedudukan
Universitas Sumatera Utara
untuk membuktikan atau fungsi dokumenter bagi teks (Alwi, 2004: 4). Jadi, fotojurnalistik juga harus didukung dengan kata-kata yang disebut dengan teks atau caption. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan gambar dan mengungkapkan pesan atau berita yang akan disampaikan ke khalayak. Tanpa caption, sebuah foto hanyalah gambar yang bisa dilihat tanpa bisa diketahui apa informasi dibaliknya. Unsur 5W+1H dipaparkan lewat caption. Fotojurnalistik berbeda dengan foto-foto keluarga, foto kenangan, foto proyek bangunan dan lain-lain, karena fotojurnalistik memiliki tujuan yang berbeda dengan foto-foto tersebut. Fotojurnalistik bertujuan untuk dikonsumsi media masa yang memiliki berita. Menurut perkembangannya, fotojurnalistik tak lagi sebagai pendukung suatu berita, bahkan bisa berdiri sendiri menjadi sebuah berita dan dikenal sebagai berita foto. Sehingga, kehadirannya pada media cetak bisa memiliki fungsi ganda, yang pertama sebagai ilustrasi pendukung berita, yang kedua sebagai „berita‟ itu sendiri. Fotojurnalistik menjadi bagian penting dalam surat kabar sejak tahun 1920an. Para penerbit semula tidak terlalu suka banyak mengurus soal fotografi, namun kini cara pikir tersebut berubah sesuai dengan kemajuan jaman dan kesuksesan media cetak. Fotografi punya banyak fungsi. Selain memperindah halaman surat kabar, fotojurnalistik juga memberi gambaran visual tentang suatu peristiwa. Fotojurnalistik dalam media masa sangat diperlukan dan penting. Dikarenakan fotojurnalistik memiliki banyak unggulan, yakni (Ermanto, 2005:154) : 1. Nilai sebuah foto sama dengan sebuah berita karena mengungkapkan semua aspek dari kenyataan dengan menyiratkan rumus 5W + 1H 2. Fotojurnalistik membuat segar halaman surat kabar dan menolong pembaca untuk melihat hal-hal yang menarik 3. Fotojurnalistik dapat memisahkan dua berita agar tidak monoton 4. Fotojurnalistik dapat dibuat dengan mudah, cepat, dan akurat 5. Fotojurnalistik dapat mengejar jangka waktu 6. Fotojurnalistik tidak memerlukan penerjemahan untuk pemberitaan lintas negara
Universitas Sumatera Utara
7. Fotojurnalistik lebih kompak 8. Fotojurnalistik memiliki efek yang lebih besar kepada pembaca. Kenneth Kobre, professor yang memimpin jurusan Fotojurnalistik di San Fransisco State University dalam bukunya yang berjudul Photojournalism: The Professionals Approach menegaskan bahwa fotojurnalistik bukan hanya melengkapi berita di sebuah edisi sebagai ilustrasi atau sebagai hiasan untuk mengisi bagian abu-abu sebuah halaman. Fotojurnalistik saat ini mewakili alat terbaik yang ada untuk melaporkan peristiwa umat manusia secara ringkas dan efektif. Oscar Matuloh, pendiri Galeri Foto Jurnalistik Antara mengutip Wilson Hick, mantan redaktur foto majalah Life dari buku Words and Pictures menjelaskan bahwa fotojurnalistik adalah media komunikasi yang mengabungkan elemen verbal dan visual. Elemenen verbal yang berupa kata-kata itu disebut caption yang melengkapi informasi sebuah gambar (Wijaya, 2011: 9-10). Ada delapan karakter fotojurnalistik menurut Frank P. Hoy dari Sekolah Jurnalistik dan Telekomunikasi
Walter Cronkite, Universitas Arizona, pada
bukunya yang berjudul Photojournalism the Visual Approach. Delapan karakter ini memang harus dipenuhi sebuah fotojurnalistik, namun syarat paling utama adalah fotojurnalistik harus mencerminkan etika atau norma hukum, baik dari segi pembuatannya maupun penyiarannya. Karakter tersebut ebagai berikut : 1. Fotojurnalistik adalah komunikasi melalui foto (communication photography). Komunikasi yang dilakukan akan mengekspresikan pandangan pewarta foto terhadap suatu subjek, tetapi pesan yang disampaikan bukan merupakan ekspresi pribadi. 2. Medium fotojurnalistik adalah media cetak koran atau majalah dan media kabel atau satelit juga internet seperti kantor berita (wire service). 3.
Kegiatan fotojurnalistik adalah kegiatan melaporkan berita.
4.
Fotojurnalistik adalah paduan dari foto dan teks foto.
5. Fotojurnalistik mengacu pada manusia. Manusia adalah subjek sekaligus pembaca fotojurnalistik. 6. Fotojurnalistik adalah komunikasi dengan orang banyak (mass audiences). Ini berarti pesan yang disampaikan harus singkat dan harus segera diterima orang yang beraneka ragam.
Universitas Sumatera Utara
7.
Fotojurnalistik juga merupakan hasil kerja editor foto.
8. Tujuan fotojurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak penyampaian informasi kepada sesama, sesuai amandemen kebebasan berbicara dan kebebasan pers (freedom of speech and freedom of press) (Alwi, 2004: 4). Keunggulan fotojurnalistik dibanding medium penyampai informasi lainnya adalah ia mampu mengatasi keterbatasan manusia pada huruf dan kata. Aspek penting yang harus ada dala fotojurnalistik adalah mengandung unsurunsur fakta, informatif dan mampu bercerita. Meski begitu keindahan teknis dan sentuhan seni menjadi nilai tambah fotojurnalistik. Fotojurnalistik merupakan bagian dari kegiatan jurnalistik, sehingga berita maupun fotojurnalistik (foto berita) sebagai sebuah karya jurnalistik tentunya mempunyai nilai-nilai tertentu sehingga layak dikatakan berita. Nilai berita tersebut terdiri atas : a. Magnitude. Nilai ini menunjukkan besaran atau bobot dari sebuah peristiwa. Kejadian yang mengandung nilai magnitude layak untuk dijadikan berita. Misalnya, kapal laut tenggelam, pesawat terbang jatuh, tabrakan kereta api. b. Timeliness. Nilai kesegaran atau kebaruan sangat penting. Hal yang baru, yang belum diketahui orang lain, yang belum dipublikasikan akan menarik banyak orang. Misalnya tertundanya pelaksanaan Ujian Nasional atau berita mengenai kasus korupsi yang melibatkan pejabat atau tokoh nasional. c. Proximity. Dekatnya kejadian dengan khalayak juga merupakan nilai yang penting (geografis dan psiko-grafis). Jarak geografis dapat diukur dengan kilometer atau mil. Psiko-grafis yang berhubungan dengan kejiwaan, psikologis, politik, kebudayaan, dan lain-lain. Contoh berita yang mengandung psiko-geografis yakni terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat tahun 2009. Peristiwa tersebut menjadi semakin penting untuk Indonesia karena Obama pernah tinggal dan mengenyam pendidikan di Indonesia. d. Prominence. Sesuatu yang menonjol, atau bisa dikatakan aspek ketokohan. Misalnya, melekat pada seorang tokoh, menyangkut prestasinya, kecelakaannya, gaya hidupnya dan lain-lain. e. Importance. Sesuatu apakah mempunyai arti penting ataukah tidak. Bila memang penting maka hal tersebut layak untuk diberitakan. Kenaikan berbagai kebutuhan pokok seperti bawang, cabai, dan daging tentunya sangat penting untuk warga yang mempunyai usaha makanan atau restoran.
Universitas Sumatera Utara
f. Impact atau Consequence. Akibat atau konsekuensi yang sangat luas dirasakan masyarakat tentulah merupakan nilai yang tinggi. Kenaikan BBM misalnya, menjadi isu yang sangat penting. g. Conflict atau Controversy. Informasi yang mengandung konflik dan kontroversi jelas mempunyai nilai cukup tinggi. Konflik yang dialami warga Bali di Lampung pada Oktober 2012 dan berita mengenai penetapan lambang Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang mirip dengan bendera GAM. h. Sensation. Peristiwa yang besar disebut sensasi atau menggemparkan tapi peristiwa kecil yang dibesar-besarkan dinamakan sensasional. Sensasional tidak dibenarkan karena bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya (tidak faktual). Misalnya berita mengenai perseteruan Adi Bing Slamet dengan Eyang Subur. i. Novelty, oddity, or the unusual. Ini adalah nilai yang menyangkut halhal baru, aneh, atau yang tidak lazim. j. Human Interest. Yaitu lebih pada kepentingan manusiawi, biasanya berukuran menarik untuk semua orang. Misalnya kisah anak kecil yang merawat orang tuanya atau kisah perjuangan anak-anak melewati jurang atau jembatan berbahaya menuju sekolah. k. Unique. Ini adalah nilai yang berlaku umum tentang hal yang unik. l. Sex. Orang akan tertarik hal-hal yang berbau seks pada lawan jenisnya. Foto gadis seksi atau peristiwa perselingkuhan. m. Crime. Peristiwa yang berbau kriminal memiliki magnet yang cukup besar bagi masyarakat. Seorang perempuan diperkosa di angkot oleh tujuh pemuda tentunya termasuk berita kriminal. 2.2.6 Foto Headline Foto utama di halaman surat kabar dikenal dengan foto headline atau HL. Karena sifatnya yang lebih utaman dibanding foto-foto lainnya, biasanya foto headline dimuat paling besar dan dominan. Foto headline adalah foto terpenting sebuah edisi karena ia dipilih dari sekian banyak foto yang masuk ke meja redaktur sehari sebelumnya. Bisa dibilang foto headline adalah foto terbaik dari keseluruhan foto yang terdapat pada cetakan edisi itu. Foto headline harus menarik, berbeda dari yang lain, aktual, informatif dan lain sebagainya. Hanya dengan seketika, pembaca dibuat penasaran dan bertanya-tanya apa sebenarnya yang ada di foto itu, apa yang dilakukan, dimana terjadinya peristiwa itu dan siapa orang yang ada di foto itu. Setidaknya itu yang ada dibenak pembaca saat pertama kali melihat foto headline. Jika tidak muncul rasa seperti itu, maka foto yang tepampang di headline tidak memenuhi kriteria
Universitas Sumatera Utara
sebuah foto. Sebab, foto yang baik adalah foto yang mampu menarik perhatian pembaca. Apabila kita membuat foto yang sama dengan yang lain atau isi foto yang biasa-biasa saja maka para pembaca tidak akan tertarik untuk membaca atau membeli surat kabar tersebut. Namun, tidak ada metode khusus untuk menilai foto yang akan dijadikan sebagai headline selain foto yang menarik dan atau memuat isu terpenting. Lebih dari itu semua foto headline lahir dari selera redaktur. Selera redaktur bermain terutama saat menilai mana foto yang terbagus di antara banyak pilihan foto. Selera untuk menilai bagus dan tidaknya tampilan visual suatu foto, antara redaktur surat kabar X dan surat kabar Y tentu berbeda. Redaktur foto adalah orang yang bertanggung jawab dalam penentuan foto headline, kekuasaan redaktur untuk memilih foto diberikan karena ia dianggap paling menguasai fotojurnalistik dan kaya akan pengalaman visual. Pengalaman visual itulah yang digunakan untuk menilai seberapa menarik sebuah foto untuk tampil sebagai headline. Selain didasari pertimbangan untuk memenuhi keinginan pembaca dan memberikan infromasi terbaik, pemilihan foto headline juga mempertimbangkan aspek komersial, yaitu bagaimana membuat tampilan koran menarik pembeli ditingkat eceran. Foto yang menarik menuntut kesederhanaan visual (Wijaya, 2011: 37). Sebuah foto headline juga lebih gampang dibaca dibandingkan dengan berita tulis. Sebab, untuk memahami berita dibutuhkan kemampuan intelektual. Sedangkan foto dapat langsung dipahami karena melibatkan usnur-unsur panca indera yang langsung melekat di pikiran dan perasaan pembaca. Artinya, hanya dengan melihat foto dan keterangannya, pembaca dapat mengetahui gambaran umum dari peristiwa tersebut tanpa harus membaca dalam bentuk berita tulis. 2.2.7 Media Massa dan Surat Kabar Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah diartikan sebagai perantara atau pengantar. Media adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk memperjelas materi atau mencapai tujuan pembelajaran tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Media massa atau dalam hal ini disebut pula sebagai media jurnalistik, merupakan alat bantu utama dalam proses komunikasi massa. Sebab komunikasi massa sendiri secara sederhana, berarti kegiatan komunikasi yang menggunakan media (communicating with media). Dalam ilmu jurnalistik, media massa yang menyiarkan berita atau informasi disebut juga dengan istilah pers. Menurut Undang-Undang (UU) Pokok Pers pasal 1 ayat (1), pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelola dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media eletronik dan segala jenis yang tersedia. Misi yang diemban dan dilaksanakan oleh pers atau media massa adalah ikut mengamankan, menunjang dan menyukseskan pembangunan nasional. Baik media massa eletronik seperti media massa televisi, radio, maupun media massa cetak seperti surat kabar, majalah dan tabloid. Menurut Alex Sobur, media (pers) sering disebut banyak orang sebagai the fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini terutama disebabkan oleh suatu persepsi tentang peran yang dapat dimainkan oleh media dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosialekonomi dan politik masyarakat. Bahkan, media, terlebih dalam posisinya sebagai suatu institusi informasi, dapat pula dipandang sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses-proses perubahan sosial-budaya dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks media massa sebagai institusi informasi, Karl Deutsch, menyebutnya sebagai “urat nadi pemerintah” (the nerves of government). Alex Sobur sendiri mendefinisikan media massa sebagai: “Suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, antara lain karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris” (Sobur, 2006: 30-31).
Universitas Sumatera Utara
Bentuk-bentuk media massa seperti yang dijelaskan Ardianto (2004: 97143) yaitu sebagai berikut: a. Surat Kabar Surat kabar merupakan media massa paling tua dibandingkan dengan jenis media massa lainnya. Kelebihan surat kabar adalah mampu memberi informasi yang lebih lengkap, bisa dibawa ke mana-mana, terdokumentasi sehingga mudah diperoleh bila diperlukan. b. Majalah Menurut Dominick (Ardianto, 2004: 107) klasifikasi majalah dibagi ke dalam lima kategori utama, yakni: (1) general consumer magazine (majalah konsumen umum), (2) business publication (majalah bisnis), (3) literacy reviewsand academic journal (kritik sastra dan majalah ilmiah), (4) newsletter (majalah khusus terbitan berkala), (5) Public Relations Magazine (majalah humas). c. Radio Siaran Radio adalah media massa elektronik tertua dan sangat luwes. Selama hampir satu abad lebih keberadaannya, radio siaran telah berhasil mengatasi persaingan keras dengan bioskop, rekaman kaset, televisi, televisi kabel, electronic games dan personal casset players. Radio telah beradaptasi dengan perubahan dunia, dengan mengembangkan hubungan saling menguntungkan dan melengkapi dengan media lainnya. Radio juga dapat melakukan fungsi kontrol sosial seperti surat kabar, di samping empat fungsi lainnya yakni memberi informasi, menghibur, mendidik dan melakukan persuasi (Ardianto, 2004: 115-119). Salah satu kelebihan media radio dibanding dengan media lainnya adalah cepat dan mudah dibawa ke mana-mana. Radio bisa dinikmati sambil mengerjakan pekerjaan lain seperti membersihkan rumah, menulis, menjahit dan semacamnya. Suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada media lain seperti TV, film dan surat kabar. d. Televisi Dari semua media komunikasi yang ada, televisilah yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia. Karakteristik televisi yakni: (1) Audiovisual/dapat didengar sekaligus dapat dilihat. (2) Berpikir dalam gambar. (3) Pengoperasian lebih kompleks (Ardianto, 2004: 128). Dewasa ini televisi boleh dikatakan telah mendominasi hampir semua waktu luang setiap orang. Hasil penelitian yang pernah dilakukan pada masyarakat Amerika ditemukan bahwa hampir setiap orang di benua itu menghabiskan waktunya antara 6-7 jam per minggu untuk menonton TV.
Universitas Sumatera Utara
e. Film Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Film dalam pengertian sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih luas bisa juga termasuk yang disiarkan TV. Film (motion pictures) ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Film dengan kemampuan visualnya yang didukung dengan audio yang khas, sangat efektif sebagai media hiburan dan juga sebagai media pendidikan dan penyuluhan. Ia bisa diputar berulangkali pada tempat dan khalayak yang berbeda. Film dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film dokumenter dan film kartun. f. Komputer dan Internet Menurut LaQuey (dalam Ardianto, 2004: 143), yang membedakan internet (dan jaringan global lainnya) dari teknologi komunikasi tradisional adalah tingkat interaksi dan kecepatan yang dapat dinikmati pengguna untuk menyiarkan pesannya. Tak ada media yang memberi setiap penggunanya kemampuan untuk berkomunikasi secara seketika dengan ribuan orang. Media massa hadir sebagai sebuah institusi sosial, dan menjalankan fungsinya untuk menyediakan informasi bagi orang-orang yang berada dalam berbagai institusi sosial. Media menjadi bagian dari tataran institusional, yang melayani warga masyarakat dalam keberadaannya sebagai bagian dari suatu institusi sosial. Sebagai institusi media, media massa berbeda dengan institusi pengetahuan lainnya (misalnya seni, agama. ilmu pengetahuan, pendidikan, dan lain-lain) karena media massa memiliki fungsi pengantar bagi segenap macam pengetahuan, media massa menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkungan publik serta media massa dapat menjangkau lebih banyak orang daripada institusi lainnya. Harsono Suwardi menyatakan bahwa ada beberapa aspek dari media massa yang membuat dirinya penting (Hamad, 2004: 15-16). Pertama, daya jangkaunya yang amat luas dalam menyebarluaskan informasi yang mampu melewati batas wilayah (geografis), kelompok umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi (demografis) dan perbedaan paham dan orientasi (psikologis). Kedua, kemampuan media untuk melipatgandakan pesan yang luar biasa. Satu peristiwa dapat dilipatgandakan pemberitaannya sesuai jumlah eksemplar koran, tabloid dan majalah yang dicetak; serta pengulangannya (di radio dan televisi) sesuai kebutuhan. Universitas Sumatera Utara
Ketiga, setiap media massa dapat mewacanakan sebuah peristiwa sesuai pandangan masing-masing. Keempat, dengan fungsi penetapan agenda (agenda setting) yang dimilikinya, media massa mempunyai kesempatan yang luas untuk memberitakan sebuah peristiwa. Kelima, pemberitaan peristiwa oleh suatu media biasanya berkaitan dengan media lainnya, sehingga membentuk rantai informasi (media as link in other chains). Hal ini akan menambah kekuatan pada penyebaran informasi dan dampaknya terhadap publik. Fungsi komunikasi massa bagi masyarakat menurut Dominick (Ardianto, 2004: 16) terdiri dari : a) Surveillance (pengawasan) Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama: (1) warning or beware surveillance (pengawasan peringatan); (2) instrumental surveillance (pengawasan instrumental). Fungsi pengawasan terjadi ketika media massa menyampaikan informasi atau pesan akan ancaman yang akan terjadi dan menimpa khalayaknya. Sementara fungsi pengawasan instrumental terjadi ketika media massa menyampaikan pesan atau informasi yang berguna pada khalayak dalam kehidupan sehari-hari. b) Interpretation (penafsiran) Fungsi penafsiran hampir sama dengan fungsi pengawasan, namun pada fungsi ini media massa tidak hanya menyampaikan pesan atau informasi saja, tetapi juga memberikan penafsiran kepada pesan atau informasi yang disampaikan pada khalayak tersebut. Pesan atau informasi yang disampaikan diorganisir oleh media massa sebagai komunikator. c) Linkage (pertalian) Media massa juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk mempersatukan khalayak. Mengingat komunikasi pada media massa sangat heterogen dan anonim, maka media massa dapat menyampaikan pesan atau informasi yang berdasarkan pada kepentingan dan minat yang sama terhadap sesuatu agar komunikan yang heterogen dan anonim tersebut merasa memiliki kepentingan dan minat yang sama pula. d) Transmission of value (penyebaran nilai) Fungsi penyebaran nilai dikenal juga dengan istilah sosialisasi. Media massa disini berfungsi sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai pada khalayak. Media massa berperan sebagai sarana yang membentuk dan mengatur kehidupan sosial masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
e) Entertainment (hiburan) Fungsi hiburan merupakan fungsi yang paling banyak dicari oleh khalayak dalam menggunakan media massa. Tidak dapat dibantah lagi jika pada saat ini hampir setiap media massa berlomba dalam memberikan hiburan pada khalayaknya. Fungsi dari media massa sebagai fungsi menghibur tiada lain tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak, karena dengan membaca berita-berita ringan atau melihat tanyangan hiburan di televisi dapat membuat pikiran khalayak segar kembali. Sedangkan Karlinah (Ardianto, 2004: 123), mengemukakan fungsi komunikasi massa secara khusus adalah:
Fungsi Meyakinkan (to persuade)
Fungsi persuasi dalam media massa dapat datang dalam bentuk mengukuhkan atau memperkuat sikap, kepercayaan atau nilai seseorang; mengubah sikap, kepercayaan atau nilai seseorang; menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu; dan memperkenalkan etika atau menawarkan sistem nilai tertentu.
Fungsi Menganugrahkan Status
Penganugrahan status (status conferal) terjadi apabila berita yang disebarluaskan melaporkan kegiatan individu-individu tertentu sehingga prestise (gengsi) mereka meningkat. Dengan memfokuskan kekuatan media massa pada orang-orang tertentu, masyarakat menganugrakan kepada orang-orang tersebut suatu status publik yang tinggi.
Fungsi Membius (Narcotization)
Fungsi ini merupakan interprestasi dari Teori Peluru dimana dikatakan bahwa khalayak adalah pihak yang pasif dan menyetujui saja terhadap segala sesuatu yang disampaikan melalui media massa. Dengan demikian pada saat menerima pesan atau informasi, khalayat terbius dalam keadaan seolah-olah berada dalam pengaruh narkotika.
Fungsi Menciptakan Rasa Kebersatuan
Media massa memiliki fungsi membuat khalayaknya merasa menjadi suatu anggota suatu kelompok yang luas. Misalnya orang yang sedang sendiri di rumah mendengarkan siaran radio. Ketika sedang mendengarkan radio, ia merasa seolah-olah telah menjadi bagian dari acara tersebut dan tidak merasa sendirian lagi, walaupun pada kenyataanya seseorang itu sendirian.
Fungsi Privatisasi
Privatisasi adalah kecenderungan bagi seseorang untuk menarik diri dari kelompok sosial dan mengucilkan diri kedalam dunianya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa ahli berpendapat bahwa berlimpahnya informasi yang dijejalkan kepada kita telah membuat kita merasa kekurangan. Laporan yang gencar tentang perang, inflasi, kejahatan dan pengangguran membuat sebagian orang merasa begitu putus asa sehingga mereka menarik diri ke dalam dunia mereka sendiri. Surat kabar merupakan media massa yang paling tua dibandingkan dengan jenis media massa lainnya. Sejarah telah mencatat keberadaan surat kabar dimulai sejak ditemukannya mesin cetak oleh Johann Guttenberg di Jerman sekitar tahun 1440. Keberadaan surat kabar di Indonesia ditandai dengan perjalanan panjang melalui lima periode yakni masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, menjelang kemerdekaan dan awal kemerdekaan, zaman orde lama serta orde baru (Ardianto, 2004: 101). Surat kabar sebagai media massa dalam masa orde baru mempunyai misi menyebarluaskan pesan-pesan pembangunan dan sebagai alat mencerdaskan rakyat Indonesia. Menurut Agee (Ardianto, 2004: 98) secara kontemporer surat kabar memiliki tiga fungsi utama dan fungsi sekunder. Fungsi utama adalah : 1) To inform. Menginformasikan kepada pembaca secara objektif tentang apa yang terjadi dalam suatu komunitas, negara, dan dunia) 2) To comment. Mengomentari berita yang disampaikan dan mengembangkannya dalam fokus berita. 3) To provide. Menyediakan keperluan informasi bagi pembaca yang membutuhkan barang dan jasa melalui pemasanganiklan di media. Sedangkan fungsi sekunder media adalah (1) untuk kampanye proyek proyek yang bersifat kemasyarakatan, yang diperlukan sekali untuk kondisikondisi tertentu, (2) memberikan hiburan kepada pembaca dengan sajian cerita, komik, kartun dan cerita-cerita khusus, (3) melayani pembaca sebagai konselor yang ramah, menjadi agen informasi dan memperjuangkan hak. Media cetak atau yang lebih umum di kenal adalah surat kabar atau koran, majalah, buletin dan lain-lain. Surat kabar ada yang terbit setiap harinya atau harian, mingguan, 2 minggu sekali atau 1 bulan sekali. Surat kabar menjadi salah satu medium massa utama bagi orang untuk memperoleh berita atau informasi.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Gusnadi dalam Himpunan Istilah Komunikasi, surat kabar adalah: “Bentuk cetakan yang terbit yang memuat serba serbi pemberitaan meliputi bidang-bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.“ (1998: 112). Umumnya surat kabar memang berisikan oleh berita. Setiap harinya kita disajikan berita-berita yang terbaru di dalam surat kabar. Surat kabar menginformasikan pesan, pendapat atau opini yang lengkap terhadap masyarakat. Melalui informasi dan artikel-artikel yang ada didalamnya surat kabar adalah termasuk
alat
mendidik
masyarakat
yang
membacanya.
Untuk
dapat
memanfaatkan media massa secara maksimal demi tercapainya tujuan komunikasi, maka seorang komunikator harus memahami kelebihan dan kekurangan media tersebut. Dengan kata lain, komunikator harus mengetahui secara tepat karakteristik media massa yang akan digunakannya. Adapun karateristik surat kabar sebagaimana yang dipaparkan oleh Effendy (2005: 154) adalah sebagai berikut: 1. Publisitas Surat kabar diperuntukkan umum. Karenanya berita, tajuk rencana, artikel dan lain-lain penyebarannya yang ditujukan kepada khalayak atau masyarakat umum. Karakteristik masyarakat umum adalah bersifat heterogen atau memiliki perbedaan-perbedaan. Baik perbedaan: suku, agama, keyakinan, usia, latar belakang pendidikan, status sosial, profesi, pekerjaan, tempat tinggal dan lain sebagainya. 2. Universalitas Artinya bahwa isi dari surat kabar merupakan sesuatu yang universal (kesemestaan), berkaitan dengan keragaman dan umum. Dengan demikian isi dari surat kabar itu meliputi seluruh aspek kehidupan umat manusia seperti masalah ekonomi, seni, politik, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan dan lain lain, semua itu ada dalam surat kabar. 3. Aktualitas Yang dimaksud dengan aktualitas ialah kecepatan penyampaian laporan mengenai kejadian di masyarakat kepada khalayak. Bagi surat kabar, aktualitas ini merupakan faktor yang amat penting karena menyangkut persaingan dengan surat kabar lain dan berhubungan dengan nama baik surat kabar yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
4. Periodisitas Periodisitas merupakan penerbitan surat kabar dilakukan secara periodik, teratur. Tidak menjadi soal apakah terbitnya itu sehari sekali, seminggu sekali, sehari dua kali atau tiga kali seperti di negara-negara yang sudah maju, syaratnya ialah harus teratur. 5. Terdokumentasikan Berbagai fakta, berita, informasi, opini yang termuat di surat kabar dapat didokumentasikan atau dikliping. Jika sewaktu-waktu dokumentasi itu kita butuhkan, kita dapat membukanya kembali. Bahkan jika tulisan-tulisan kita yang telah dimuat di media massa dapat melebihi 40 halaman, dapat kita dokumentasikan dalam bentuk buku. Surat kabar dapat dikelompokkan pada berbagai kategori. Ditinjau dari bentuknya, ada bentuk surat kabar biasa dan tabloid. Dilihat dari bahasa yang digunakan, ada surat kabar berbahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa daerah (Yunus, 2010 : 29). Dilihat dari ruang lingkupnya, maka kategorisasinya adalah surat kabar internasional, nasional dan lokal. Surat kabar internasional yaitu surat kabar yang daya edarnya bersifat internasional. Seperti surat kabar Sunday Time, The Jakarta Post, The Strait Times dan lain sebagainya. Surat kabar nasional yaitu surat kabar yang daya edarnya berskala nasional. Seperti Kompas, Republika, Suara Pembaruan dan lain sebagainya. Surat kabar lokal yaitu surat kabar yang daya edar jangkauan terbitannya berskala lokal. Seperti surat kabar Harian Waspada edarnya hanya sekitar Sumatera Utara saja (Sudarman, 2008 : 11). 2.2.8 Jenis-Jenis Huruf Dan Gaya Bahasa Dalam menganalisi keteragan foto (caption) tidak hanya mengungkapkan makna dibalik kata-kata dalam caption tersebut. Penggunaan kata yang terbatas pada caption, tentulah menjadi tantangan bagi jurnalis foto untuk menyusun kalimat yang singkat dan jelas. Kemudian, ketika akan dipublikasikan/ dicetak, tentulah akan dipilih jenis huruf yang dapat mendukung tampilan caption tersebut sehingga mudah dibaca dan menarik perhatian pembaca. Seluk-beluk tentang jenis-jenis font (huruf), bermula dari perkembangan dan sejarah tipografi. Tipografi merupakan suatu ilmu dalam memilih dan menata huruf dengan pengaturan penyebarannya pada ruang-ruang yang tersedia, untuk menciptakan kesan tertentu, sehingga dapat menolong pembaca mendapatkan Universitas Sumatera Utara
kenyamanan membaca. Tipografi muncul karena adanya penggunaan pictograph oleh orang - orang Viking dan juga Suku Sioux (Indian). Sekitar 1300 SM, di Mesir muncul jenis huruf Hieratia atau Hieroglyphe. Hieroglyphe inilah yang kemudian menjadi fondasi dari bentuk Demotia, sebuah bentuk tulisan yang dihasilkan dari pena khusus. Bentuk tulisan ini tersebar sampai di Kreta (pulau besar di Yunani). Setelah itu barulah menyebar ke seluruh Eropa. Pada abad ke-8 SM, saat kekuasaan Roma mulai ada, tipografi mulai berkembang. Ada dua alasan mengapa tipografi di ranah para gladiator ini baru berkembang. Pertama tidak ada sistem tulisan resmi bangsa Romawi. Kedua, hadirnya tulisan Etruska dari penduduk asli Italia. Dua alasan inilah yang kemudian membuat Roma mengembangkan tulisannya. Sistem tulisan yang kemudian dikenal sebagai hurufhuruf Romawi (http://id.wikipedia.org/wiki/tipografi). Inilah yang pada akhirnya membuat tiap bangsa punya bentuk rupa hurufnya sendiri yang disebabkan oleh beragamnya tipografi di dunia ini. Itulah mengapa kini kita mengenal ada banyak jenis-jenis font. Meskipun ada banyak jenisnya, tetapi font - font tersebut masih bisa diklasifikasi. Pengklasifikasian ini diutarakan oleh James Craig, satu diantara tiga penulis buku Designing with Type: The Essential Guide to Typography. Craig mengklasifikasikan font menjadi lima jenis (http://m.portal.paseban.com/?mod=content&act=read&id=126292), yaitu : 1.
Roman
Untuk mengetahui suatu jenis font termasuk ketegori Roman atau tidak, maka lihatlah bagian ujungnya. Jika pada bagian ujung sebuah huruf terdapat sirip/ tangkai/ kaki (serif) dengan bentuk lancip, sudah hampir dipastikan bahwa huruf tersebut termasuk jenis Roman. Bentuk huruf Roman selain identik dengan siripnya, juga sangat identik denngan kekontrasan tebal dan tipisnnya garis-garis huruf. Contoh jenis huruf Roman adalah Times New Roman yang memiliki kesan anggun, klasik dan feminim. 2.
Egyptian
Jenis huruf yang satu ini mempunyai ciri kaki (serif) yang berbentuk persegi. Bentuk persegi tersebut mirip dengan sebuah papan yang memliki kesamaan tebal. Font jenis ini memiliki kesan kuat, kekar, tangguh, dan tidak labil. Jenis-jenis font yang masuk kategori ini adalah Courier, Campagne, dan Courier New.
Universitas Sumatera Utara
3.
Sans Serif
Jenis-jenis font seperti Arial, Bell Centennial, Calibri, Trebuchet MS, Tahoma, Verdana, Helvetica, Univers, Highway, MS Sans Serif, dan Gothic termasuk ke dalam kategori Sans Serif. San Serif sendiri berarti tanpa sirip/ kaki. Ada begitu banyak jenis font yang masuk kategori font yang mempunyai ciri tebal huruf yang sama. Jenis huruf ini sering dikaitkan dengan kesan kontemporer dan bentuk rupa yang efisien. 4.
Script
Jenis font ini mudah dikenali. Jika ada sebuah font dengan bentuk hasil goresan tangan sudah pasti itu adalah Script. Ciri font ini umumnya berbentuk miring ke sebelah kanan. Bentuk ini bertujuan untuk memberikan kesan akrab seperti sebuah surat yang saling membalas. Yang termasuk font ini adalah Kuenstler Script, Caflisch Script, dan yang terkenal Lucida Handwriting. 5.
Miscellaneous
Miscellaneous merupakan jenis font hasil pengembangan dari yang sudah ada. Ciri khas font ini adalah hiasan berupa ornamen atau hiasan yang berupa dekorasi. Font ini memiliki kesan dekoratif dan artistik. Contoh jenis font ini adalah Braggadocio, Westminster, Kahana, dan masih banyak lagi. Gaya bahasa adalah penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapat efek-efek tertentu. Oleh karena itu, penelitian gaya bahasa terutama dalam suatu karya yang diteliti adalah wujud (bagaimana bentuk) gaya bahasa itu dan efek apa yang ditimbulkan oleh penggunaannya atau apa fungsi penggunaan gaya bahasa tersebut dalam karya. Gaya bahasa dipakai pengarang hendak memberi bentuk terhadap apa yang ingin disampaikan. Dengan gaya bahasa tertentu pula seorang pengarang dapat mengekalkan pengalamannya, serta dengan itu pula ia menyentuh hati pembacanya. Karena gaya bahasa itu berasal dari dalam batin seorang pengarang maka gaya bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam karyanya secara tidak langsung menggambarkan sikap atau karakteristik pengarang tersebut. Demikian pula sebaliknya, seorang yang melankolis memiliki kecenderungan bergaya bahasa yang romantis. Seorang yang sinis memberi kemungkinan gaya bahasaya sinis dan ironis. Seorang yang gesit dan lincah juga akan memilki gaya bahasa yang hidup dan lincah. Gaya bahasa dapat dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu: (1) gaya bahasa berbandingan, (2) gaya bahasa perulangan, (3) gaya bahasa sindiran, (4) Universitas Sumatera Utara
gaya bahasa pertentangan, (5) gaya bahasa penegasan. Adapun penjelasan masing-masing gaya bahasa di atas adalah sebagai berikut : 1.
Gaya Bahasa Perbandingan Pradopo (2005: 62) berpendapat bahwa gaya bahasa perbandingan adalah
bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa perbandingan adalah gaya bahasa yang mengandung maksud membandingkan dua hal yang dianggap mirip atau mempunyai persamaan sifat (bentuk) dari dua hal yang dianggap sama. Adapun gaya bahasa perbandingan ini meliputi: hiperbola, metonomia, personifikasi, perumpamaan,
pleonasme,
metafora,
alegori,
sinekdoke,
alusio,
simile,
eufemisme, epitet, eponim, hipalase, dan pars pro toto. a. Hiperbola Keraf (2004: 135) berpendapat bahwa hiperbola yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal, contoh: hatiku hancur mengenang dikau, berkeping-keping jadinya. b. Metonomia Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa metonomia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Sementara itu, Altenberd (dalam Pradopo, 2005: 77) mengatakan bahwa metonomia adalah penggunaan bahasa sebagai sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut. Contoh: ayah membeli kijang. c. Personifikasi Keraf (2004: 140) berpendapat bahwa personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan, contoh: pohon melambai-lambai diterpa angin. d. Perumpamaan Moeliono (1989: 175) berpendapat bahwa perumpamaan adalah gaya bahasa perbandingan yang pada hakikatnya membandingkan dua hal yang
Universitas Sumatera Utara
berlainan dan yang dengan sengaja kita anggap sama. Terdapat kata laksana, ibarat, dan sebagainya yang dijadikan sebagai penghubung kata yang diperbandingkan. Dengan kata lain, setiap kalimat yang dipakai dalam gaya bahasa perumpamaan, tidak dapat disatukan, dan hanya bisa dibandingkan. Hal tersebut akan terlihat jelas pada contoh berikut ini: setiap hari tanpamu laksana buku tanpa halaman. e. Pleonasme Keraf (2004: 133) berpendapat bahwa pleonasme adalah semacam acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu gagasan atau pikiran. Apabila kata yang berlebihan tersebut dihilangkan maka tidak mengubah makna/ arti, contoh: ia menyalakan lampu kamar, membuat supaya kamar menjadi terang. f. Metafora Keraf (2004: 139) berpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal yang secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat. Kedua hal yang diperbandingkan itu mempunyai sifat yang sama, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan secara implisit yang tersusun singkat, padat, dan rapi; contoh: generasi muda adalah tulang punggung negara. g. Alegori Keraf (2004: 140) berpendapat bahwa alegori adalah gaya bahasa perbandingan yang bertautan satu dengan yang lainnya dalam kesatuan yang utuh. Contoh: hati-hatilah kamu dalam mendayung bahtera rumah tangga, mengarungi lautan kehidupan yang penuh dengan badai dan gelombang. Apabila suami istri, antara nahkoda dan jurumudinya itu seia sekata dalam melayarkan bahteranya, niscaya ia akan sampai ke pulau tujuan. h. Sinekdoke Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Contoh: akhirnya Maya menampakkan batang hidungnya. i. Alusio Keraf (2004: 141) berpendapat bahwa alusi adalah acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antar orang, tempat, atau peristiwa, contoh: memberikan barang atau nasihat seperti itu kepadanya, engkau seperti memberikan bunga kepada seekor kera.
Universitas Sumatera Utara
j. Simile Keraf (2004: 138) berpendapat bahwa simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit atau langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain, contoh: caranya bercinta selalu mengagetkan, seperti petasan. k. Eufemisme Keraf (2004: 132) berpendapat bahwa eufemisme adalah acuan berupa ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Contoh: kaum tuna wisma makin bertambah saja di kotaku. l. Epitet Keraf (2004: 141) berpendapat bahwa epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang. contoh: raja siang sudah muncul, dia belum bangun juga (matahari). m. Eponim Keraf (2004: 141) menjelaskan bahwa eponim adalah suatu gaya bahasa di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat, contoh: kecantikannya bagai Cleopatra. n. Hipalase Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa hipalase adalah semacam gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yag seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain, contoh: dia berenang di atas ombak yang gelisah. (bukan ombak yang gelisah, tetapi manusianya). o. Pars pro toto Keraf (2004: 142) Pars pro toto adalah gaya bahasa yang melukiskan sebagian untuk keseluruhaan, contoh: sudah tiga hari, dia tidak kelihatan batang hidungnya. 2. Gaya Bahasa Perulangan Ade Nurdin, Yani Muryani, dan Mumu (2002: 28) berpendapat bahwa gaya bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengulang kata demi kata entah itu yang diulang bagian depan, tengah, atau akhir, sebuah kalimat. Gaya bahasa
Universitas Sumatera Utara
perulangan
ini
meliputi:
aliterasi,
anadiplosis,
epanalipsis,
epizeukis,
mesodiplosis, dan anafora. a. Aliterasi Keraf (2004: 130) berpendapat bahwa aliterasi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Jadi aliterasi adalah gaya bahasa yang mengulang kata pertama yang diulang lagi pada kata berikutnya, contoh: Malam kelam suram hatiku semakin muram. b. Anadiplosis Keraf (2004: 128) berpendapat bahwa anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Contoh: dalam hati ada rasa, dalam rasa ada cinta, dalam cinta, ada apa. c. Epanalipsis Keraf (2004: 128) berpendapat bahwa epanalipsis adalah pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa, atau kalimat mengulang kata pertama. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa epanalipsis adalah pengulangan kata pertama untuk ditempatkan pada akhir baris dari suatu kalimat, contoh: kita gunakan akal pikiran kita. d. Epizeukis Keraf (2004: 127) berpendapat bahwa yang dinamkan epizeukis adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata-kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut untuk menegaskan maksud, contoh: kita harus terus semangat, semangat, dan terus semangat untuk menghadapi kehidupan ini. e. Mesodiplosis Keraf (2004: 128) berpendapat bahwa mesodiplosis adalah repetisi di tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan. Contoh: Hidup bagaikan surga kalau dianggap surga. Hidup bagaikan neraka kalau dianggap neraka. Namun, yang penting hidup bagai sandiwara sementara. f. Anafora Keraf (2004: 127) berpendapat bahwa anafora adalah repetisi yang berwujud pengulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya, contoh: Kita tidak boleh lengah, Kita tidak boleh kalah. Kita harus tetap semangat.
Universitas Sumatera Utara
3. Gaya Bahasa Sindiran Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa gaya bahasa sindiran atau ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Jadi yang dimaksud dengan gaya bahasa sindiran adalah bentuk gaya bahasa yang rangkaian kata-katanya berlainan dari apa yang dimaksudkan. Gaya bahasa sindiran ini meliputi: melosis, sinisme, ironi, innuendo, antifrasis, sarkasme, dan satire. a. Melosis Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002: 27) berpendapat bahwa melosis adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang merendah dengan tujuan menekankan atau mementingkan hal yang dimaksud agar lebih berkesan dan bersifat ironis. Contoh: tampaknya dia sudah lelah di atas, sehingga harus lengser. b. Sinisme Keraf (2004; 143) berpendapat bahwa sinisme adalah gaya bahasa sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinisme adalah gaya bahasa yang bertujuan menyindir sesuatu secara kasar, contoh: tak usah kuperdengarkan suaramu yang merdu dan memecahkan telinga itu. c. Ironi Ironi adalah gaya bahasa yang mengimplikasikan sesuatu yang nyata berbeda, bahkan sering kali bertentangan dengan yang sebenarnya dikatakan, dengan maksud mengolok-olok. Maksud itu dapat dicapai dengan mengemukakan makna yang berlawanan dengan makna sebenarnya, ketidaksesuaian antara suara yang dikeluarkan dan kenyataan yang mendasarinya dan ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan (Tarigan, 2009: 6), contoh: pagi benar engkau datang, Hen! Sekarang, baru pukul 11.00. d. Innuendo Keraf (2004: 144) berpendapat bahwa innuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa innuendo adalah gaya bahasa sindiran yang mengungkapkan kenyataan lebih kecil dari yang sebenarnya, contoh: dia berhasil naik pangkat dengan sedikit menyuap.
Universitas Sumatera Utara
e. Antifrasis Keraf (2004: 132) menjelaskan bahwa antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antifrasis adalah gaya bahasa dengan kata-kata yang bermakna kebalikannya dengan tujuan menyindir, contoh: lihatlah si raksasa telah tiba (si cebol). f. Sarkasme Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa sarkasme adalah suatu acuan yang lebih kasar dari ironi yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Jadi yang dimaksud dengan sarkasme adalah gaya bahasa penyindiran dengan menggunakan kata-kata yang kasar dan keras, contoh: Mulutmu berbisa bagai ular kobra. g. Satire Satire adalah gaya bahasa yang berbentuk ungkapan dengan maksud menertawakan atau menolak sesuatu (Keraf, 2004: 144). Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa satire adalah gaya bahasa yang menolak sesuatu untuk mencari kebenarannya sebagai suatu sindiran, contoh: sekilas tampangnya seperti anak berandal, tapi kita jangan langsung menuduhnya, jangan melihat dari penampilan luarnya saja. 4. Gaya Bahasa Pertentangan Gaya bahasa pertentangan adalah gaya bahasa yang maknanya bertentangan dengan kata-kata yang ada. Gaya bahasa pertentangan meliputi: litotes, paradoks, histeron prosteron, antitesis, dan oksimoron. a. Litotes Keraf (2004: 132) berpendapat bahwa litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikurangi (dikecilkan) dari makna sebenarnya dengan tujuan merendahkan diri, contoh: mampirlah ke rumah saya yang berapa luas. b. Paradoks Keraf (2004: 2004: 136) mengemukakan bahwa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang ada dengan fakta-fakta yang ada, contoh: musuh sering merupakan kawan yang akrab. c. Histeron Prosteron Histeron prosteron adalah gaya bahasa yang menyatakan makna kebalikan dari sesuatu yang logis atau dari kenyataan yang ada (Keraf, 2004: 133). Universitas Sumatera Utara
Jadi dapat dikatakan bahwa histeron prosteron adalah gaya bahasa yang menyatakan makna kebalikannya yang dianggap bertentangan dengan kenyataan yang ada, contoh: jalan kalian sangat lambat seperti kuda jantan. d. Antitesis Keraf (2004: 126) berpendapat bahwa antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan, contoh: suka duka kita akan selalu bersama. e. Oksimoron Keraf (2004: 136) oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa oksimoron adalah gaya bahasa yang menyatakan dua hal yang bagian - bagiannya saling bertentangan, contoh: kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. 5. Gaya Bahasa Penegasan Gaya bahasa penegasan adalah gaya bahasa yang mengulang kata-katanya dalam satu baris kalimat. Gaya bahasa penegasan meliputi: epifora, erotesis, klimaks, repetisi, dan anti klimaks . a. Epifora Keraf (2004: 136) berpendapat bahwa epifora adalah pengulangan kata pada akhir kalimat atau di tengah kalimat, contoh: Yang kurindu adalah kasihmu. Yang kudamba adalah kasihmu. b. Erotesis Keraf (2004: 134) mengemukakan bahwa erotesis adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Contoh: rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di negara ini? c. Klimaks Keraf (2004: 124) berpendapat bahwa gaya bahasa klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Jadi dapat dijelaskan klimaks adalah pemaparan pikiran atau hal berturut-turut dari sederhana dan kurang penting meningkat kepada hal atau gagasan yang penting atau kompleks, contoh: generasi muda dapat
Universitas Sumatera Utara
menyediakan, mencurahkan, mengorbankan seluruh jiwa raganya kepada bangsa. d. Repetisi Keraf (2004: 127) berpendapat bahwa repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang nyata. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa repetisi adalah gaya bahasa yang mengulang kata-kata sebagai suatu penegasan terhadap maksudnya, contoh: kita junjung dia sebagai pemimpin, kita junjung dia sebagai pelindung. e. Anti klimaks Keraf (2004: 124) berpendapat bahwa anti klimaks adalah gaya bahasa yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Contoh: bukan hanya Kepala Sekolah dan Guru yang mengumpulkan dana untuk korban kerusuhan, para murid ikut menyumbang semampu mereka.
2.3
Model Teoritik Dalam foto-foto tewasnya Moammar Khadafi, peneliti akan menganalisis
menggunakan semiotika ikonografi Erwin Panofsky yang terdiri dari tahap preiconography, iconography, dan iconology. Hasil analisis tersebut akan menjelaskan gambaran dan makna foto sadis, peran dunia barat dalam menjatuhkan pemerintahan Moammar Khadafi, serta alasan dibalik publikasi foto sadis. Analisis foto sadis tersebut, juga akan mengajarkan nilai-nilai kepatuhan pada Kode Etik Jurnalistik untuk mencerdaskan pembaca dan bukan untuk kepentingan politik/ ekonomi media yang bersangkutan. Model berguna untuk menggambarkan rencana atau strategi penelitian yang akan dilakukan kemudian. Adapun model teoritis dalam penelitian ini, sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Foto-Foto Kematian Moammar Khadafi, Harian Waspada, 22-26 Oktober 2011
Tahap I, Preiconography : -
Menceritakan apa saja yang tampak dalam foto Komposisi foto
Tahap II, Iconography : Analisis Ikonografi
-
Menganalisis komposisi pada foto (makna sebenarnya) Menjelaskan peristiwa/ cerita dibalik foto dari berbagai literatur Gaya bahasa pada keterangan foto
Tahap III, Iconology : -
Pembahasan
-
Memaparkan makna intrinsik dibalik perlakuan sadis pada foto dan caption Menganalisis makna dibalik gaya bahasa pada caption.
Foto sadis melanggar Kode Etik Jurnalistik Tujuan surat kabar menampilkan foto sadis sebagai foto di halaman satu/ headline Font yang dipakai pada caption
Kesimpulan
Gambar 1. Skema Model Teoritik
Universitas Sumatera Utara
Model teoritik ini disusun untuk membantu proses identifikasi, penjabaran atau pengklasifikasian komponen-komponen yang relevan dari suatu proses. Sebuah model teoritik dapat dikatakan sebagai struktur gambar dari teori yang dijabarkan. Model ini biasanya menjelaskan semua aspek yang mendukung teori untuk menggambarkan bagaimana proses dari teori tersebut. Misalnya, dapat menunjukkan hubungan antara satu komponen dengan komponen lainnya dalam suatu proses dan keberadaannya dapat dirincikan. Didalam bagan ini terlihat dan disorot dengan jelas permasalahan sadisme dalam fotojurnalistik. Pada tahap awal akan dijelaskan bagaimana penggambaran sadis yang ditunjukkan dan komposisi yang dihadirkan pada foto tersebut. Lalu pada tahap kedua, akan dijabarkan bagaimana kaitan foto (dalam hal ini masih makna sebenarnya) dengan peristiwa/ fakta yang terjadi dibalik foto itu. Kemudian, akan dianalisa makna denotasi dari tanda-tanda yang terdapat pada foto. Hal ini dimaksudkan untuk mencari tahu motif dibalik publikasi foto yang mengandung unsur sadis yang telah melanggar Kode Etik Jurnalistik.
Universitas Sumatera Utara