perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Konsep Anak a. Pengertian Anak Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi harapan orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Sebagai generasi penerus, anak harus mendapatkan bimbingan agar dapat melaksanakan kewajibankewajibannya dan mendapatkan perlindungan untuk mendapatkan kebutuhan dan hak-haknya. Bimbingan dan perlindungan terhadap anak menjadi tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara (KPP & PA, 2011). Anak merupakan aset penting bagi sebuah keluarga. Dalam lingkup yang lebih luas yaitu bangsa, anak diharapkan mempunyai andil besar dalam kemajuan dan kemakmuran bangsa pada masa yang akan datang. Untuk itu baik keluarga maupun negara diharapkan menjadi pendukung utama bagi terwujudnya anak Indonesia yang sehat dan berkualitas agar kemajuan dan kemakmuran bangsa di masa mendatang dapat tercapai. Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 menunjukkan dari 237.641.326 penduduk Indonesia, sekitar 34,26 persen adalah anak-anak usia 0-17 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa berinvestasi untuk anak adalah berinvestasi bagi sepertiga lebih penduduk Indonesia (KPP dan PA, 2011). Gambaran kondisi anak saat ini menjadi dasar yang penting bagi pengambilan kebijakan yang tepat bagi anak. Anak-anak merupakan kelompok usia muda yang mempunyai potensi untuk dikembangkan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan di masa mendatang. Mereka adalah kelompok yang perlu disiapkan untuk kelangsungan bangsa dan negara di masa depan. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka (1) yang dimaksud dengan anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dalam hal ini anakcommit juga mempunyai hak, sebagaimana tertuang to user 6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 13 angka 1 bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya. Anak merupakan makluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan
orang
lain
untuk
dapat
membantu
mengembangkan
kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Anak juga
membutuhkan
pemeliharaan,
kasih
sayang
dan
tempat
bagi
perkembangannya, anak juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada masa kanak-kanak (anak). Perkembangan pada suatu fase merupakan dasar bagi fase selanjutnya. Dalam proses perkembangan manusia, tahap-tahap perkembangan anak, dijumpai beberapa tahapan atau fase dalam perkembangan, antara fase yang satu dengan fase yang lain selalu berhubungan dan mempengaruhi serta memiliki ciriciri yang relatif sama pada setiap anak. Disamping itu juga perkembangan manusia tersebut tidak terlepas dari proses pertumbuhan, keduanya akan selalu berkaitan. Apabila pertumbuhan sel-sel otak anak semakin bertambah, maka kemampuan intelektualnya juga akan berkembang. Proses perkembangan tersebut tidak hanya
terbatas
pada perkembangan
fisik,
melainkan juga pada
perkembangan psikis. Ditinjau dari usia atau dari aspek kejiwaan, seseorang dapat dikategorisasikan anak bila ia berumur antara 8-17 tahun. Sementara dari aspek kejiwaan tampaknya ada pengklasifikasian yang lebih rinci, yaitu anak, remaja dini, remaja penuh, dewasa muda, dan dewasa (Hadisuprapto, 2008: 13). Menurut Fudyartanta (2012: 24), “anak adalah makluk bio-sosial yang sedang membutuhkan pertumbuhan dan perkembangan secara istimewa”. Dari konsep makluk bio-seksual tadi terdapatlah unsur-unsur fundamental pada anak, commit to user biologis dan unsur fundamental yang terbagi menjadi dua yaitu unsur fundamental
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
sosio-kultural. Unsur fundamental biologis, yaitu bahwa anak itu merupakan suatu sistem struktur jasad
yang hidup. Sifat hidupnya tampak pada proses
pertumbuhannya, dimana pertumbuhan itu berlangsung secara berangsur-angsur, secara evolusionistis dan menuju ke tahap-tahap yang berkualitas lebih tinggi, lebih maju. Sedangkan unsur fundamental sosio-kultural yaitu konteks sosial anak. Dalam konteks sosial ini terdapatlah faktor-faktor alamiah dan kebudayaan manusia, dimana kedua faktor tersebut akan menjadi pertumbuhan anak. Dari definisi di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk yang ada di dalam kandungan yang mengalami proses perkembangan secara fisik maupun psikis dan membutuhkan perlindungan, pemeliharaan, serta kasih sayang untuk kelangsungan hidup secara individu maupun kehidupan sosialnya. b. Fase Perkembangan Anak Istilah perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Perkembangan bukan sekedar seputar perkembangan fisik atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Sebelum mencapai masa dewasa, anak akan mengalami tahapan-tahapan perkembangan. Menurut Hurlock (1980: 14), tahapan-tahapan itu terjadi dalam beberapa periode yang meliputi periode pranatal, bayi (0-2 tahun), awal masa kanak-kanak (2-6 tahun), akhir masa kanak-kanak (6-12 tahun), masa puber atau masa pra remaja (12-14 tahun), hingga remaja (14-18 tahun). Rentang ini berbeda antara anak satu dengan yang lain mengingat latar belakang anak berbeda. Anak adalah individu yang rentan karena perkembangan kompleks yang terjadi di setiap tahap masa kanak-kanak dan masa remaja. Lebih jauh, anak juga secara fisiologis lebih rentan dibandingkan orang dewasa, dan memiliki pengalaman yang terbatas, yang mempengaruhi pemahaman dan persepsi mereka mengenai dunia. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
1) Akhir masa kanak-kanak Akhir masa kanak-kanak berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual. Pada awal dan akhirnya, masa akhir kanak-kanak ditandai oleh kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial anak. 2) Masa puber Masa puber adalah masa yang unik dan khusus yang ditandai oleh perubahan-perubahan perkembangan tertentu yang tidak terjadi dalam tahap-tahap lain dalam rentang kehidupan. Masa ini ditandai oleh kematangan alat-alat seksual dan mencapai kemampuan reproduksi. 3) Masa remaja Masa remaja adalah suatu periode transisi dari masa akhir anak-anak hingga masa awal dewasa, masa remaja bermula pada perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis dan dalamnya suara. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol (pemikiran semakin logis, abstrak dan idealistis) dan semakin banyak menghabiskan waktu di luar keluarga. Di masa ini individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada di tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Dalam upaya mendidik atau membimbing anak/remaja, agar mereka dapat mengembangkan potensi dirinya seoptimal mungkin, para orang tua, atau siapa saja yang berkepentingan dalam pendidikan anak dianjurkan untuk memahami perkembangan anak. Pemahaman itu penting, karena beberapa alasan berikut. 1) Masa anak merupakan periode perkembangan yang cepat dan terjadinya perubahan dalam banyak aspek perkembangan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
2) Pengalaman masa kecil mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan berikutnya. 3) Pengetahuan tentang perkembangan anak dapat membantu mereka mengembangkan diri, dan memecahkan masalah yang dihadapinya. 4) Melalui pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, dapat diantisipasi tentang berbagai upaya untuk mencegah memfasilitasi perkembangan tersebut, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Disamping itu, dapat diantisipasi juga tentang upaya untuk mencegah berbagai kendala atau faktor-faktor yang mungkin akan mengkontaminasi (meracuni) perkembangan anak (Yusuf, 2004: 12). Manusia secara terus menerus akan berkembang atau berubah yang dipengaruhi oleh pengalaman atau belajar sepanjang hidupnya. Perkembangan tersebut akan berlangsung secara terus menerus sejak masa konsepsi sampai mencapai kematangan atau masa tua. Fase perkembangan dapat diartikan sebagai penahapan atau pembabakan rentang perjalanan kehidupan individu yang diwarnai ciri-ciri khusus atau pola tingkah laku tertentu. Berdasarkan fase perkembangan tersebut, untuk mencapai kedewasaan seorang anak akan mengalami beberapa tahapan, mulai dari sewaktu sebelum lahir hingga memasuki masa puber atau remaja. Setiap aspek perkembangan individu satu dengan lainnya saling mempengaruhi. Apabila seorang anak dalam pertumbuhan fisiknya mengalami gangguan, maka dia akan mengalami kemandegan dalam perkembangan aspek lainnya, seperti kecerdasannya kurang berkembang dan mengalami kelabilan emosional. Pola perkembangan individu juga terjadi secara teratur. Setiap tahap perkembangan merupakan hasil perkembangan dari tahap sebelumnya
yang merupakan prasyarat bagi
perkembangan selanjutnya. Contohnya untuk dapat berjalan seorang anak harus dapat
berdiri
terlebih
dahulu
dan berjalan merupakan prasyarat
bagi
perkembangan selanjutnya, yaitu berlari atau meloncat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fase perkembangan anak merupakan periode yang sangat penting bagi tumbuh kembang seorang anak. Melalui fase ini anak akan memperoleh pengalaman masa kecil yang berpengaruh terhadap perkembangan hidupnya, serta dapat diantisipasi hal-hal yang akan commit to anak user itu sendiri. berpengaruh buruk terhadap perkembangan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
2. Konsep Anak Jalanan a. Pengertian Anak Jalanan Definisi yang paling sering digunakan mengidentifikasi anak jalanan ialah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau mempertahankan hidupnya. Jalanan yang dimaksud tidak hanya mengacu pada pengertian “jalan” secara harfiah, melainkan juga merujuk pada
tempat-tempat
lain
yang
merupakan
ruang-ruang
publik
yang
memungkinkan siapa saja untuk berlalu-lalang, seperti pasar, alun-alun, emperan pertokoan, terminal, stasiun, dan lain sebagainya (Sumarno, 2011: 1). Anak jalanan termasuk dalam kategori anak terlantar. Menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial”. Pada realitas sehari-hari, kejahatan dan eksploitasi seksual terhadap anak sering terjadi. Anak-anak jalanan merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban. Anak-anak yang seharusnya berada di lingkungan belajar, bermain dan berkembang justru mereka harus mengarungi kehidupan yang keras dan penuh berbagai bentuk eksploitasi. UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu: street child are those who have abandoned their homes, school and immediate communities before they are sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life (anak jalanan merupakan anak-anak berumur di bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya) (Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus (PLK) untuk Anak Jalanan, 2010). Umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengasong, pemulung, tukang semir, pelacur anak dan pengais sampah. Tidak jarang menghadapi resiko kecelakaan lalu lintas, pemerasan, perkelahian, dan kekerasan lain. Anak jalanan yang menghabiskan waktunya di jalanan, maka akan terbiasa dengan kehidupan yang dihadapinya. Anak yang mempunyai lingkungan pergaulan di jalanan tentunya user akan terpengaruh oleh lingkungancommit sekitar.toKehidupan mereka yang dekat dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
kehidupan yang keras akan membangun watak yang keras juga. Selain itu kehidupan di jalan juga akan berpengaruh terhadap kondisi fisik si anak (seperti kerapian, kebersihan dan kesehatan). Menurut Suyanto (2010: 185), “anak jalanan adalah anak-anak yang tersisih, marjinal, dan teralienasi dari perlakuan kasih sayang karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini sudah harus berhadapan dengan lingkungan kota yang keras dan bahkan sangat tidak bersahabat”. Di berbagai sudut kota sering terjadi, anak jalanan harus bertahan hidup dengan cara-cara yang secara sosial kurang atau
bahkan
tidak
dapat
diterima
masyarakat
umum,
sekadar
untuk
menghilangkan rasa lapar dan keterpaksaan untuk membantu keluarganya. Tidak jarang pula mereka dicap sebagai pengganggu ketertiban dan membuat kota menjadi kotor, sehingga yang namanya razia atau penggarukan bukan lagi hal yang mengagetkan mereka. Menurut Nurwijayanti (2012: 210), “anak jalanan merupakan istilah yang digunakan pada seseorang yang dalam hal ini adalah anak-anak yang bekerja sebagai pengamen, penjual koran, atau pedagang asongan”. Anak-anak jalanan ini muncul akibat ada permasalahan dalam hak kesejahteraan sosial atau dapat disebut dengan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). PMKS adalah seseorang, kekeluargaan, atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan karenanya tidak dapat menjalin hubungan yang serasi dan kreatif dengan lingkungannya sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya (jasmani, rohani dan sosial) secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan dan gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial, keterbelakangan/keterasingan dan bencana alam maupun bencana sosial. Menurut Suharto (2007: 231), “anak jalanan adalah anak laki-laki dan perempuan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja atau hidup di jalanan dan tempat-tempat umum, seperti pasar, mall, terminal bis, stasiun kereta api, taman kota”. Anak jalanan adalah salah satu masalah sosial yang kompleks dan bertalian dengan masalah sosial lain, terutama kemiskinan, to user menangani anak jalanan tidaklah commit sederhana. Oleh sebab itu, penanganannya pun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
tidak dapat disederhanakan. Strategi intervensi maupun indikator keberhasilan penanganan anak jalanan dilakukan secara holistik mengacu pada visi atau grand design pembangunan kesejahteraan dengan memperhatikan karakteristik anak jalanan, fungsi dan model penanganan yang diterapkan. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan anak jalanan adalah anak yang berusia di bawah 18 tahun yang melewatkan atau memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari hari di jalanan. Selain juga ada yang masih bersekolah dan ada yang sudah tidak bersekolah serta masih ada yang berhubungan dengan keluarga dan ada yang sudah lepas dari keluarga. b. Kategori Anak Jalanan Kehidupan anak jalanan tentu berbeda dari kehidupan anak biasa yang tidak menjadi anak jalanan. Kehidupan jalanan yang keras turut membangun watak mereka untuk menjadi pribadi yang keras pula. Anak jalanan sendiri sebenarnya bukanlah kelompok yang homogen. Mereka cukup beragam, dan dapat dibedakan atas dasar pekerjaannya, hubungannya dengan orang tua atau orang dewasa terdekat, waktu dan jenis kegiatannya di jalanan serta jenis kelaminnya. Menurut Surbakti, dkk. (1997) secara garis besar anak jalanan dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu: 1) children on the street, 2) children of the street, dan 3) children from families of the street (dalam Suyanto, 2010: 186187). 1) Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka di jalanan diberikan kepada orang tuanya. Fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
2) Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial emosional, fisik maupun seksual. 3) Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Walaupun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain dengan segala resikonya. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi, bahkan sejak masih dalam kandungan. Dari pengelompokan di atas, anak jalanan dibedakan menurut keberadaan keluarganya yaitu anak jalanan yang masih tinggal dengan orang tua, anak jalanan yang menjadi urban dan jarang kembali ke rumah, dan anak jalanan hidup bersama keluarganya di jalanan. Untuk kategori yang pertama sebenarnya anak jalanan masih mempunyai keluarga, mereka masih pulang ke rumah dan masih pergi ke sekolah namun karena mereka ingin hidup mandiri mereka berusaha mencari penghasilan sendiri dengan cara turun ke jalan. Latar belakang mereka turun ke jalan biasanya disebabkan oleh keadaan ekonomi orang tua yang kurang mampu, serta pengaruh teman sehingga mereka berusaha memenuhi kebutuhan sendiri dengan cara menjadi anak jalanan. Untuk kategori yang kedua, anak jalanan merupakan kaum urban berpindah dari desa ke kota, sebenarnya mereka masih mempunyai tempat tinggal namun karena letaknya di desa, maka mereka jarang pulang ke rumah. Untuk kelompok yang ketiga adalah anak jalanan yang hidup bersama keluarganya di jalanan. Tempat tinggal mereka di emperanemperan toko, stasiun, terminal dan tempat-tempat lainnya yang bisa untuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
istirahat. Mereka tidak mempunyai rumah dan menggunakan seluruh waktunya untuk berada di jalanan. Penelitian yang dilakukan Hardiono dan Anwar (1992: 52-64) tentang anak jalanan di kawasan Senen, menyebutkan ada tiga macam anak jalanan yaitu anak proyek, anak lampu merah dan anak stasiun kereta api. Anak Poyek merupakan istilah yang ditujukan pada anak-anak jalanan yang mencari peruntungan bekerja sebagai pengemis, pengamen, pemulung, penyemir sepatu dan pekerjaan informal lainnya di kawasan pertokoan dan pasar di sekitar Senen. Anak Lampu Merah merupakan anak-anak jalanan yang beroperasi di sekitar lampu lalu-lintas. Mereka merengek-rengek minta dikasihani, meminta uang kepada setiap pengemudi kendaraaan yang sedang menunggu karena terhambat lampu merah. Sedangkan Anak Stasiun Kereta Api merupakan anak yang tinggal di stasiun kereta api, mereka benar-benar anak-anak yang tidak mempunyai tempat tinggal sama sekali. Mereka pada umumnya sengaja lari dari rumah karena berbagai sebab menjadikan stasiun sebagai tempat persembunyian untuk sementara waktu. c. Faktor Penyebab Munculnya Anak Jalanan Kehadiran anak jalanan di berbagai kota besar di Indonesia merupakan pemandangan umum yang bisa dilihat sehari-hari. Mereka menjadikan hidup di jalanan sebagai tempat penyaluran rasa ketidakpuasan mereka terhadap kondisi yang dialaminya. Ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, penolakan, kekerasan di rumah, mengakibatkan anak menghadapi masalah fisik, psikologis dan sosial. Ada juga suatu anggapan pada masyarakat miskin yang memandang anak-anak adalah aset untuk membantu peningkatan penghasilan keluarga,
sehingga
anak-anak
diajarkan
untuk
bekerja
yang
akhirnya
menyebabkan anak keluar dari sekolah. Selama ini banyak orang yang mengira bahwa faktor utama yang menyebabkan anak turun ke jalan adalah faktor kemiskinan. Namun dari data dan literatur yang ada kemiskinan bukanlah satu-satunya alasan yang menyebabkan anak turun ke jalan. Ada tiga tingkatan penyebab commit to user keberadaan anak jalanan, yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
1) Tingkat mikro (immediate causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya. 2) Tingkat messo (underlying causes), yaitu faktor yang ada di masyarakat. 3) Tingkat makro (basic causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro (Depsos, 2001). Selanjutnya Depsos menjelaskan penyebab keberadaan anak jalanan sebagai berikut: Pada tingkat mikro sebab yang bisa diidentifikasi dari anak dan keluarga yang berkaitan tetapi juga bisa berdiri sendiri, yaitu: 1) Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik yang masih sekolah, atau yang sudah putus, berpetualangan, bermain-main atau diajak teman. 2) Sebab lari dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua, salah perawatan, atau kekerasan dirumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga/ tetangga, terpisah dengan orang tua, sikap-sikap yang salah terhadap anak, keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak menghadapi masalah fisik, psikologis dan sosial. Pada tingkat messo (masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi meliputi: 1) Pada masyarakat miskin, anak anak adalah aset untuk membantu peningkatan keluarga, anak-anak diajarkan bekerja yang berakibat drop out dari sekolah. 2) Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak-anak mengikuti kebiasaan itu. 3) Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon kriminal. Pada tingkat makro (struktur masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi adalah: 1) Ekonomi adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak to user mereka harus lama di jalanan, terlalu membutuhkan commit modal keahlian,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
dan meninggalkan bangku sekolah, ketimpangan desa dan kota yang mendorong urbanisasi. 2) Pendidikan adalah biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang diskriminatif, dan ketentuan-ketentuan teknis dan birokratis yang mengalahkan kesempatan belajar. 3) Belum beragamnya unsur-unsur pemerintah antara sebagai kelompok yang memerlukan perawatan dan pendekatan yang menganggap anak jalanan seagai trouble maker atau pembuat masalah. Suhartini dan Panjaitan (2009: 215), dalam penelitiannya membagi penyebab anak turun ke jalan menjadi tiga tipe, yaitu menopang kehidupan ekonomi keluarga, mencari kompensasi dari kurangnya perhatian keluarga, dan sekedar mencari uang tambahan. Dalam menjalankan perannya, anak jalanan rentan sekali mengalami permasalahan yang mereka temui baik di rumah maupun di jalanan, antara lain kekerasan, pemaksaan kerja, pelecehan seksual, gangguan kesehatan dan keselamatan jiwa, penelantaran yang dilakukan orang tua, kriminalitas serta pendidikan karena sebagian besar waktu mereka dihabiskan dijalanan untuk mencari uang. Subyansah, Yusito, dan Trisnadi (2006: 14-22), menjelaskan faktorfaktor yang membuat anak beresiko menjadi anak jalanan antara lain: faktor keluarga dan faktor lingkungan. Faktor keluarga tersebut meliputi persoalan ekonomi keluarga dan kekerasan dalam keluarga. Sedangkan faktor lingkungan dibedakan atas dua hal yaitu dalam arti spasial, dan dalam arti sosial. 1) Persoalan ekonomi keluarga Kondisi ekonomi keluarga yang miskin seringkali dipahami sebagai faktor utama yang memaksa anak untuk turun ke jalan. Salah satu faktor yang menyebabkan munculnya anak jalanan karena orang tua tidak bekerja/menganggur. Faktor lain dari persoalan ekonomi keluarga adalah orang tua yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Tidak sedikit orang tua yang bekerja akan tetapi penghasilan yang diperolehnya tidak mencukupi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
2) Kekerasan dalam keluarga Kekerasan
dalam
keluarga
merupakan
faktor
penting
yang
menyebabkan anak turun ke jalan. Munculnya kekerasan dalam keluarga disebabkan oleh tekanan ekonomi; perceraian orang tua; dan perilaku tidak menyenangkan. Motif kekerasan terhadap anak dapat terkait dengan masalah ekonomi, anak-anak dipaksa bekerja, bahkan sebagai pelampiasan orang tua terhadap keadaan sehingga anak-anak rawan mengalami kekerasan. 3) Faktor lingkungan spasial Anak-anak yang tinggal di pemukiman padat atau kumuh yang secara fisik berdekatan dengan tempat-tempat umum seperti terminal, stasiun, atau pasar, akan sangat mudah terseret ke dalam kehidupan jalanan. Jalanan dijadikan mereka sebagai tempat berinteraksi dengan teman atau keluarga karena tidak tersedianya ruang bermain baik di rumah maupun di kampung. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan fisik/geografis dapat menjadi faktor yang cukup berpengaruh. 4) Lingkungan sosial Lingkungan sosial tertentu dapat mendorong anak menjadi anak jalanan. Lingkungan sosial yang tidak lagi nyaman bagi anak membuat anak melampiaskan dirinya untuk bisa hidup bebas di jalanan. Seperti misalnya dia dikucilkan di lingkungan masyarakatnya, atau lingkungan sekolah yang tidak nyaman juga beresiko menciptakan anak jalanan. Astutik (2004: 26-27) menyebutkan ada 8 faktor yang saling mempengaruhi anak turun ke jalan, antara lain: 1) Meningkatnya gejala masalah keluarga, seperti: kemiskinan, pengangguran, perceraian, kawin muda, kekerasan dalam keluarga, dan lain-lain. 2) Penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah/rumah mereka dengan alasan demi pembangunan, mereka semakin tidak berdaya dengan kebijakan ekonomi makro pemerintah yang lebih menguntungkan segelintir orang. 3) Migrasi desa ke kota dalam mencari kota, yang diakibatkan commit to user kesenjangan pembangunan desa – kota, kemudahan transportasi dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
4)
5)
6)
7)
8)
ajakan kerabat, membuat banyak keluarga dari desa pindah ke kota dan sebagian dari mereka terlantar, hal ini mengakibatkan anak-anak mereka terlempar ke jalanan. Melemahnya keluarga besar, dimana keluarga besar tidak mampu lagi membantu terhadap keluarga-keluarga inti, hal ini diakibatkan oleh pergeseran nilai, kondisi ekonomi dan kebijakan pembangunan pemerintah. Adanya kesenjangan sistem Jaring Pengaman Sosial sehingga Jaring Pengaman Sosial tidak ada ketika keluarga dan anak menghadapi kesulitan. Pembangunan telah mengorbankan ruang bermain bagi anak (lapangan, taman, dan lahan-lahan kosong). Dampaknya sangat terasa pada daerah-daerah kumuh perkotaan, dimana anak-anak menjadikan jalanan sebagai ajang bermain dan bekerja. Meningkatnya angka anak putus sekolah karena alasan ekonomi, telah mendorong sebagian anak untuk menjadi pencari kerja dan jalanan mereka jadikan salah satu tempat untuk mendapatkan uang. Kesenjangan komunikasi antara orang tua dan anak, dimana orang tua sudah tidak mampu lagi memahami kondisi serta harapan anak-anak telah menyebabkan anak mencari kebebasan.
Sesungguhnya ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak terjerumus dalam kehidupan di jalanan, seperti: kesulitan keuangan keluarga atau tekanan kemiskinan, ketidakharmonisan rumah tangga orang tua, dan masalah khusus menyangkut hubungan anak dengan orang tua. Kombinasi dari faktor ini seringkali memaksa anak-anak mengambil inisiatif mencari nafkah atau hidup mandiri di jalanan. Kadang kala pengaruh teman atau kerabat juga ikut menentukan keputusan untuk hidup di jalanan (Suyanto, 2010: 203) Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang begitu kompleks di dalam keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat merupakan faktor yang sangat mempengaruhi bagi munculnya anak jalanan. Terdapat faktor intern dan ekstern yang membuat anak akhirnya memutuskan untuk hidup di jalanan. Faktor intern merupakan faktor yang terjadi dalam kehidupan keluarga anak jalanan yang mendorong anak untuk turun ke jalan, faktor itu antara lain: persoalan ekonomi keluarga, kekerasan dalam keluarga, eksploitasi orang tua, perceraian orang tua, dan penelantaran oleh orang tua. Sedangkan faktor ekstern merupakan faktor yang terjadi dalam masyarakat yang commit to user menjadi penarik anak untuk turun ke jalan, faktor itu antara lain: ajakan teman
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
yang sudah dulu turun ke jalan, migrasi dari desa ke kota, dan kehidupan jalanan yang bebas. d. Perlindungan Bagi Anak Jalanan Anak jalanan adalah bagian dari warga negara, untuk itu juga perlu perlindungan. Perlindungan anak bermaksud untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Jika dicari akar sebenarnya dari munculnya anak jalanan ini keberadaan anak-anak tersebut bukan dari kemauannya akan tetapi disebabkan oleh kondisi kehidupan ekonomi orang tuanya yang tidak cukup untuk kehidupan keluarganya, sebagai jaminan kelangsungan hidupnya negara harus mengentaskan kemiskinan sesuai pada bunyi UUD 1945 yang menjelaskan bahwa: “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara”. Anak jalanan juga merupakan salah satu anak dalam situasi darurat dan memerlukan perlindungan khusus, sebagaimana tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (15) bahwa: Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Oleh sebab itu perlu koordinasi dari pihak-pihak terkait untuk bekerja sama dalam memberi perlindungan khusus bagi anak-anak dalam situasi darurat termasuk diantaranya anak jalanan. Berdasarkan Ringkasan Kajian Perlindungan Anak yang dikembangkan oleh UNICEF Indonesia (2012), perlindungan anak bisa dikaji melalui Pendekatan Berbasis Sistem yang meliputi: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
1) Sistem perlindungan anak yang efektif, melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran. Dalam tingkatan yang mendasar, penyebab berbagai persoalan seperti kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran anak saling berkaitan. Untuk mengetahui akar masalah-masalah tersebut dan untuk mengidentifikasi berbagai tindakan yang harus dilakukan untuk melindungi anak diperlukan pendekatan berbagai sistem, bukan pendekatan berbasis isu yang sempit dan berfokus hanya pada kelompok anak tertentu. 2) Sistem perlindungan anak yang efektif mensyaratkan adanya komponen-komponen yang saling terkait. Komponen-komponen ini meliputi sistem kesejahteraan sosial bagi anak-anak dan keluarga, sistem peradilan yang sesuai dengan standar internasional, dan mekanisme untuk mendorong perilaku yang tepat dalam masyarakat. 3) Rangkaian pelayanan perlindungan anak di tingkat masyarakat dimulai dari layanan pencegahan primer dan sekunder sampai layanan penanganan tersier. Layanan pencegahan primer bertujuan untuk memperkuat kapasitas masyarakat secara menyeluruh dalam pengasuhan anak dan memastikan keselamatan mereka. Layanan ini meliputi kegiatan-kegiatan yang mengubah sikap dan perilaku, memperkuat keterampilan orang tua dan menyadarkan masyarakat tentang dampak yang tidak diinginkan dari kekerasan terhadap anak. Layanan pencegahan sekunder atau layanan intervensi dini difokuskan pada keluarga dan anak-anak yang beresiko, dilakukan dengan mengubah keadaan sebelum perilaku kekerasan menimbulkan dampak buruk secara nyata terhadap anak misalnya melalui konseling dan mediasi keluarga serta pemberdayaan ekonomi. Intervensi tersier menangani situasi dimana anak sudah dalam keadaan krisis sebagai akibat kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, penelantaran atau tindakan-tindakan buruk lainnya. Oleh karena itu intervensi ini bertujuan untuk membebaskan anak-anak dari dampak buruk atau, jika dianggap layak melakukan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
pengawasan terstruktur dan memberikan layanan dukungan. Mekanisme pencegahan dianggap lebih tepat dibandingkan intervensi tersier atau reaktif. Meskipun banyak upaya telah dilakukan, masih banyak anak Indonesia harus hidup dalam beragam situasi sulit yang membuat kualitas tumbuh kembang dan kelangsungan hidupnya terancam. Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk (2010), jumlah anak Indonesia dibawah 18 tahun mencapai 81.402.000 orang atau mengalami peningkatan 1,9 % dari tahun 2006 yang berjumlah 79.898.000 orang. Masalah kemiskinan yang belum bisa diatasi secara efektif memberikan kontribusi pada ketelantaran anak. Selain itu menjadi pendorong banyak anak yang terpaksa bekerja di jalanan. Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial mencatat jumlah anak jalanan tahun 2007 sebanyak 230.000 jiwa. Adapun BPS bersama ILO mengestimasi jumlah anak jalanan sebanyak 320.000 pada tahun 2009. Pada Tahun 2009, Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) mulai dikembangkan dan diujicobakan untuk penanganan anak jalanan di lima wilayah yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Lampung, Sulawesi Selatan dan Yogyakarta. Dalam Program Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan (PKS-Anjal) diharapkan terdapat perubahan perilaku dari anak jalanan itu sendiri diantaranya: 1) Anak jalanan tidak lagi melakukan aktivitas ekonomi di jalanan karena anak telah kembali ke keluarga (bagi anak yang terpisah), mengikuti kegiatan peningkatan potensi diri/keterampilan, mengikuti kegiatan rekreasi, dll. 2) Anak tidak dieksploitasi untuk tujuan mengemis/meminta-minta. 3) Orang tua/keluarga membukakan tabungan bagi anak (rekening nama anak) di bank/lembaga keuangan mikro terdekat. 4) Orang
tua/keluarga
bertanggung
jawab
dalam
memberikan
pengasuhan, perlindungan dan pemenuhan hak dasar anak. 5) Orang
tua/keluarga
tidak
menyuruh
anak
bekerja
di
jalanan/mengeksploitasi anak (Pedoman PKSA, 2011: 18). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak jalanan user yang memerlukan perlindungan merupakan salah satu anak dalamcommit situasi todarurat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
khusus dengan maksud untuk menjamin dan melindungi hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. e. Masalah yang Dihadapi Anak Jalanan Untuk bertahan hidup di tengah kehidupan kota yang keras, anak-anak jalanan biasanya melakukan berbagai pekerjaan di sektor informal, baik yang legal maupun yang ilegal di mata hukum. Ada yang bekerja sebagai pedagang asongan di kereta api dan bus kota, menjajakan koran, menyemir sepatu, mencari barang bekas atau sampah, mengamen di perempatan lampu merah, tukang lap mobil, dan tidak jarang pula ada anak-anak jalanan yang terlibat pada jenis pekerjaan berbau kriminal: mengompas, mencuri bahkan menjadi bagian dari komplotan perampok. Menurut Utomo (1997) masalah yang dihadapai anak jalanan antara lain: 1) Sebagian besar putus sekolah karena waktunya dihabiskan di jalan. 2) Menjadi sasaran tindak kekerasan anak jalanan yang lebih dewasa, kelompok lain, petugas dan razia. 3) Penyalahgunaan obat dan zat adiktif: ngelem, minuman keras, pil BK dan sejenisnya. 4) Rentang penyakit kulit, PMS, gonorhoe, paru-paru. 5) Tempat tinggal tidak layak dan di sembarang tempat, di gubuk-gubuk, atau di pemukiman kumuh. 6) Resiko tertabrak saat di jalanan. 7) Hubungan dengan keluarga renggang dan bahkan sama sekali tidak berhubungan. 8) Makanan seadannya, kadang mengais dari tempat sampah, kadang beli. (dalam Suyanto, 2010: 190-191) Menjadi anak jalanan selalu penuh dengan resiko. Resiko tersebut ada yang ditimbulkan oleh relasi anak dengan lingkungan fisik, relasi anak dengan lingkungan sosial budaya, atau relasi anak dengan struktur atau aparatus kekuasaan. Menurut Subyansah, Yusito, dan Trisnadi (2006: 24-41) resiko yang dialami anak jalanan, antara lain: 1) Korban operasi tertip sosial. commit to user 2) Korban kekerasan orang dewasa.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
3) Kehilangan pengasuhan. 4) Resiko penyakit: penyakit umum, infeksi menular seksual, kehamilan yang tidak dikehendaki. 5) Kehilangan kesempatan pendidikan. 6) Korban eksploitasi seksual komersial. 7) Berkonflik dengan hukum. 8) Penyalahgunaan obat dan zat berbahaya. Menurut Sudrajat (1996) masalah-masalah yang dihadapi anak jalanan antara lain: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Korban eksploitasi seks maupun ekonomi. Penyiksaan fisik. Kecelakaan lalu lintas. Ditangkap polisi. Korban kejahatan dan penggunaan obat. Konflik dengan anak lain. Terlibat dalam tindakan pelanggaran hukum, baik disengaja maupun tidak (dalam Rochimah, 2012: 52).
Kesimpulan dari kutipan di atas adalah dalam menjalani kehidupannya anak jalanan memiliki permasalahan yang begitu kompleks, tantangan kehidupan yang mereka hadapi pada umumnya memang berbeda dengan kehidupan normatif yang ada di masyarakat. Dalam banyak kasus, anak jalanan sering hidup dan berkembang di bawah tekanan dan stigma atau cap sebagai pengganggu ketertiban. Perilaku mereka sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari stigma sosial dan keterasingan mereka dalam masyarakat. f. Pendekatan dalam Penanganan Anak Jalanan Anak jalanan pada dasarnya adalah anak yang termarjinalkan dalam kehidupan kota yang keras, tidak bersahabat dan tidak kondusif bagi proses tumbuh kembang anak. Mereka cenderung dikucilkan masyarakat, menjadi objek pemerasan berbagai pihak, sasaran eksploitasi, korban pemerkosaan dan segala bentuk penindasan lainnya. Untuk menangani permasalahan anak jalanan tentu bukanlah hal yang mudah. Selama ini, berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan, baik oleh LSM, pemerintah, organisasi profesi dan sosial maupun perorangan untuk membantu anak jalanan keluar atau paling tidak sedikit mengurangi penderitaan mereka. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
Namun karena semuanya dilakukan secara temporer, segmenter, dan terpisah, maka hasilnya pun menjadi kurang maksimal. Menurut Sudrajat (1996), selama ini beberapa pendekatan yang biasa dilakukan oleh LSM dalam penanganan anak jalanan adalah: 1) Street Based yaitu model penanganan anak jalanan di tempat anak jalanan itu berasal atau tinggal, kemudian para street educator datang kepada mereka: berdialog, mendampingi mereka bekerja, memahami dan menerima situasinya, serta menempatkan diri sebagai teman. 2) Centre based yaitu pendekatan dan penanganan anak jalanan di lembaga atau panti. 3) Community based yaitu model penanganan yang melibatkan seluruh potensi masyarakat, terutama keluarga atau orang tua anak jalanan. Menurut Suharto (2011: 233-235), alternatif penanganan anak jalanan mengarah kepada 4 jenis model, yaitu: 1) Street-centered intervention. Penanganan anak jalanan yang dipusatkan di “jalan” dimana anak-anak jalanan biasa beroperasi. Tujuannya agar dapat menjangkau dan melayani anak di lingkungan terdekatnya, yaitu di jalan. 2) Family-centered
intervention.
Penanganan
anak
jalanan
yang
difokuskan pada pemberian bantuan sosial atau pemberdayaan keluarga sehingga dapat mencegah anak-anak agar tidak menjadi anak jalanan atau menarik anak jalanan kembali ke keluarganya. 3) Institutional-centered intervention. Penanganan anak jalanan yang dipusatkan di lembaga (panti), baik secara sementara (menyiapkan reunifikasi dengan keluarganya) maupun permanen (terutama jika anak jalanan sudah tidak memiliki orang tua atau kerabat). 4) Community-centered responsibility. Penanganan anak jalanan yang dipusatkan di sebuah komunitas. Melibatkan program-program community development untuk memberdayakan masyarakat atau penguatan kapasitas lembaga-lembaga sosial di masyarakat dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
menjalin
networking
melalui
berbagai
intitusi
baik
lembaga
pemerintahan maupun lembaga sosial masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam penanganan anak jalanan juga membutuhkan pendekatan-pendekatan khusus, hal itu dilakukan dengan cara menyesuaikan kondisi anak jalanan itu sendiri. Dari berbagai yang telah diuraikan, tidak berarti satu pendekatan yang ada lebih baik dari pendekatan yang lain. Pendekatan mana yang dipilih dan lebih tepat, akan banyak ditentukan oleh kebutuhan dan masalah yang sedang dihadapi anak jalanan. 3. Konsep Kota Layak Anak Sebagai Upaya Perlindungan Anak a. Pengertian Kota Layak Anak Kota Layak Anak merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 melalui Kebijakan Kota Layak Anak. Untuk mengakomodasi pemerintahan kabupaten, belakangan istilah Kota Layak Anak menjadi Kabupaten/Kota Layak Anak dan kemudian disingkat menjadi KLA. Menurut Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten atau Kota Layak Anak mendefinisikan bahwa: Kabupaten/Kota Layak Anak yang selanjutnya disingkat KLA adalah kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak. Menteri Negara KPP&PA Linda Amalia Sari (2011: 20) menyatakan bahwa: KLA merupakan wujud dari komitmen Indonesia terhadap Convention on the Rights of the Child (CRC) dan World Fit for Children (WFC) dan merupakan pelaksanaan dari berbagai perundang-undangan di Indonesia. Oleh sebab itu kebijakan KLA perlu dikembangkan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, sehingga akan terwujud Indonesia yang layak bagi anak, yang pada akhirnya akan mendukung terwujudnya dunia yang layak bagi anak. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
Menurut Joga dan Antar (2009: 167): Kota Layak Anak adalah suatu kota yang di dalamnya telah diramu semangat untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap anak dan hak-haknya dalam proses pembangunan kota yang berkelanjutan. Kota yang menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat perlindungan dari kekerasan (fisik dan non fisik) serta diskriminasi. UNICEF memberikan pengertian mengenai Kota Ramah Anak atau Kota Layak Anak adalah sebagai berikut“Child Friendly City is a city, or any local system of governance, committed to fulfilling children’s rights. Kota Ramah Anak adalah kota atau sistem pemerintahan lokal yang menjalankan pemenuhan hak anak. Sebagai kelanjutan dari perlindungan anak yang diberlakukan di Indonesia maka dikembangkan kebijakan pengembangan Kota Layak Anak (KLA). Menurut Agustinawati (2009:24-25): Kota Layak Anak adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Dimana anak memiliki kebebasan dalam berpendapat, mempunyai kesempatan berperan dalam kehidupan masyarakat (sosial) serta mendapat akses baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, serta pelayanan sarana kota yang berkualitas. Selama anak dipenuhi haknya di dalamnya tanpa memandang suku bangsa, agama, kekayaan, gender dan kecacatan, dengan kata lain dilakukan mainstreaming hak-hak anak melalui Kota Layak Anak. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kota layak anak merupakan kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak dan di dalamnya terdapat jaminan untuk perlindungan terhadap anak. b. Tujuan Kota Layak Anak Menurut Patilima (2009), tujuan dari inisiatif KLA adalah sebagai berikut: 1) Untuk mengintegrasikan hak-hak anak ke dalam pembangunan kabupaten/kota; 2) Untuk melaksanakan kebijakan kabupaten/kota yang layak anak; untuk commit to user sumberdaya manusia, keuangan, memobilisasi dan mengintegrasikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
3)
4) 5)
6)
sarana, prasarana dan metode yang ada pada pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam rangka menciptakan kabupaten/kota yang dapat memenuhi hak-hak anak; Untuk menyusun perencanaan dan melaksanakan strategi, program, kegiatan, dan anggaran yang responsive terhadap kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi anak; Untuk memperkuat peran pemerintah kabupaten/kota, dalam menyatukan tujuan pembangunan daerah di bidang perlindungan anak; Untuk mempercepat kemampuan keluarga, masyarakat, dunia usaha di pemerintahan kabupaten/kota dalam mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak dan; Untuk menyusun dan memantau kerangka kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang layak anak dengan mekanisme berkelanjutan.
Menurut Agustinawati (2009: 25) tujuan dari KLA adalah: 1) Mengembangkan kebijakan tentang lingkungan yang layak anak; 2) Memobilisasi sumber daya dan semua mitra kerja potensial di kota; 3) Menyusun kerangka kerja pemerintah kota yang layak anak dengan mekanisme yang berkelanjutan; 4) Menyusun strategi, kebijakan, program, kegiatan dan anggaran untuk mengembangkan kemampuan pemerintah kota dalam mewujudkan KLA. Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pengembangan
KLA
adalah
untuk
membangun
inisiatif
pemerintahan
kabupaten/kota yang mengarah pada upaya transformasi konsep hak anak ke dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak di kabupaten/kota. c. Prinsip-prinsip Kota Layak Anak Berdasarkan PERMEN PP&PA Nomor 11 Tahun 2011 pasal 5 tentang Kebijakan Pengembangan KLA, prinsip-prinsip KLA meliputi: 1) Tata pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, akuntabilitas, partisipasi, keterbukaan informasi dan supremasi hukum; 2) Non diskriminasi: yaitu tidak membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, bahasa, paham politik, asal kebangsaan, status ekonomi, kondisi fisik maupun psikis anak, atau faktor lainnya; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
3) Kepentingan terbaik untuk anak: yaitu menjadikan hal yang paling baik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap kebijakan, program, dan kegiatan; 4) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak, yaitu menjamin hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak semaksimal mungkin; dan 5) Penghargaan
terhadap
pandangan
anak,
yaitu
mengakui
dan
memastikan bahwa setiap anak yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan
pendapatnya,
diberikan
kesempatan
untuk
mengekspresikan pandangannya secara bebas terhadap segala sesuatu hal yang mempengaruhi dirinya (KPP&PA RI, 2011). d. Hak Anak dalam Kerangka Konvensi Hak Anak Pengembangan kebijakan KLA merujuk pada Konvensi Hak Anak (KHA) yang berisi hak anak yang dikelompokkan ke dalam 5 (lima) klaster hak anak yang terdiri dari: 1) 2) 3) 4) 5)
Hak Sipil dan Kebebasan; Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif; Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan; Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Budaya; Perlindungan Khusus.
Kementerian
Pemberdayaan
Perempuan
Republik
Indonesia
mendefinisikan Kota Layak Anak adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Berdasarkan Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak (2007), anak sebagai warga kota berarti: 1) Memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat baik secara pribadi maupun terwakilkan, terkait dengan kebijakan pengembangan kota, fasilitas kota dan pelayanan kota. 2) Mempunyai kesempatan untuk berperan untuk berperan serta dalam kehidupan keluarga, komunitas sosial lainnya. 3) Menerima pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan. 4) Memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan sarana kota yang berkualitas (sarana air bersih, rumah bermain, jalur sekolah) persyaratan keselamatan, persyaratan kesehatan, persyaratan commit to user kemudahan dan persyaratan kenyamanan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
5) Setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan. Dalam pelaksanaannya, KLA mempunyai sifat yang harus diperhatikan oleh institusi pelaksana di lapangan. KLA bersifat non diskriminasi, dalam memperlakukan anak tidak ada perbedaan suku, agama, ras, gender, kecacatan. Semua yang dilakukan dalam KLA adalah kepentingan terbaik untuk anak. Anak menjadi tujuan utama dalam setiap kegiatan yang berurusan dengan anak. Program di berbagai sektor dilakukan dengan prioritas bagi kehidupan anak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semua itu didasarkan pada pendapat bahwa setiap anak seperti juga warga negara yang lain mempunyai hak untuk hidup dan berkembang secara maksimal. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan kondisi yang mendukung kebutuhan mereka. Melalui pengembangan KLA, pemerintah membuat suatu upaya nyata untuk menyatukan isu hak anak ke dalam perencanaan dan pembangunan kota. 4. Konsep Persepsi Dilihat dari aspek sosiologis persepsi dapat diartikan sebagai pemahaman subyektif individu mengenai tindakan sosial. Dalam hal ini tindakan dimaksudkan semua perilaku manusia, apabila atau sepanjang individu yang bertindak itu memberikan arti subyektif kepada tindakan itu. Tindakan itu disebut sosial karena arti subyektif tadi dihubungkan dengannya oleh individu yang bertindak, memperhitungkan perilaku orang lain dan karena tindakan itu diarahkan ke tujuannya. Salah satu tokoh dalam ilmu sosiologi, Weber, sangat tertarik dengan masalah-masalah sosiologis yang luas mengenai struktur sosial dan kebudayaan, tetapi dia melihat bahwa kenyataan sosial secara mendasar terdiri dari individuindividu dan tindakan-tindakan sosialnya yang berarti. Weber melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakantindakan sosial. Menurut Weber arti-arti subyektif sangat penting. Seperti yang ia nyatakan berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
Sosiologi interpretatif memandang individu dan tindakannya sebagai satuan dasar sebagai “atom”-nya. Dalam pendekatan ini, individu juga paling penting dan satu-satunya yang melakukan tindakan yang berarti itu. Umumnya bagi sosiologi, konsep-konsep seperti “negara”, “perserikatan”, “feodalisme”, dan sebagainya menunjukkan kategorikategori tertentu dalam interaksi manusia. karena itu adalah tugas sosiologi untuk mereduksikan konsep-konsep ini ke tindakan “yang dapat dimengerti”, artinya, tanpa kecuali, ke tindakan orang-orang yang berpartisipasi secara individual (Johnson, 1986: 215). Tujuan Weber adalah untuk masuk ke ari-arti subyektif yang berhubungan
dengan
berbagai
“kategori
interaksi
manusia”,
untuk
menggunakannya dalam membedakan antara struktur-struktur sosial dan untuk memahami arah perubahan sosial yang besar dalam masyarakat. Pemikiran Weber yang paling terkenal yang mencerminkan tradisi idealis adalah tekanan pada verstehen (pemahaman subyektif) sebagai metode untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subyektif tindakan sosial. Bagi Weber, istilah ini tidak hanya sekedar merupakan instropeksi. Instropeksi bisa memberikan seseorang pemahaman akan motifnya sendiri atau arti-arti subyektif, tetapi tidak cukup untuk memahami arti-arti subyektif dalam tindakantindakan orang lain. Sebaliknya, apa yang diminta adalah empati, kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi-situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Weber berpendirian bahwa sosiologi haruslah merupakan suatu ilmu yang empirik; sosiologi harus menganalisis perilaku aktual manusia individual menurut orientasi subyektif mereka sendiri. Tekanan yang bersifat empirik ini juga sejalan dengan positivisme; tetapi itu tidak berarti menghilangkan aspekaspek subyektif dan hanya memperhatikan aspek-aspek obyektif yang nyata. Titik tolak bagi teori Weber adalah individu yang bertindak yang tindakan-tindakannya itu hanya dapat dimengerti menurut arti subyektifnya. Kenyataan-kenyataan sosial bagi dia pada dasarnya terdiri dari tindakan-tindakan sosial individu yang berarti secara subyektif. Weber memusatkan perhatiannya pada tingkat individu sebagai kenyataan sosial (bertentangan dengan tingkat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
struktural atau budaya). Namun, minat Weber secara substantif membawa dia jauh di balik tingkat individual. Struktur sosial terdiri dari pola-pola tindakan sosial tertentu dan interaksi, dan sistem budaya bekerja dalam kehidupan sosial kalau sistem itu mempengaruhi orientasi subyektif dan motivasi individu. Konsep rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda. Dalam melihat konflik tradisional antara kaum obyektivis dan subyektivis, “analisa obyektif mengenai arti subyektif” mungkin kelihatannya merupakan suatu kontradiksi dalam istilah-istilah itu sendiri. Asumsi yang biasanya mendasari debat ini biasanya adalah bahwa pendekatan “obyektif” hanya berhubungan dengan gejala yang dapat diamati (benda fisik atau perilaku nyata), sedangkan pendekatan subyektif berusaha untuk memperhatikan juga gejala-gejala yang sukar ditangkap dan tidak dapat diamati seperti perasaan individu, pikirannya dan motif-motifnya. Cara lain untuk melihat perbedaan antara subyektif dan obyektif adalah dalam hubungannya dengan hal ini di mana pengalaman subyektif pribadi seseorang dimiliki bersama oleh suatu kelompok sosial. Suatu pengalaman subyektif dapat dimengerti karena dialami bersama secara meluas, dapat dilihat secara obyektif, sedangkan suatu pengalaman subyektif yang tidak dapat dikomunikasikan atau tidak dimengerti, tetap tidak dapat ditangkap sebagai suatu pengalaman pribadi yang benar-benar subyektif, meskipun sangat riil bagi orang yang bersangkutan. Rasionalitas dan peraturan yang biasa mengenai logika merupakan suatu kerangka acuan bersama secara luas dimana aspek-aspek subyektif perilaku dapat dinilai secara obyektif. Misalnya, apabila seseorang memilih yang kurang mahal dari dua produk yang sama, kita mengerti perilaku itu sebagai yang rasional karena sesuai dengan kriteria rasionalitas obyektif yang kita terima. Tidak semua perilaku dapat dimengerti sebagai suatu manifestasi rasionalitas. Penderitaanpenderitaan atau cinta atau ketakutan mungkin diungkapkan dalam perilaku nyata dalam bentuk yang sepintas lalu kelihatannya tidak rasional. Tetapi orang dapat mengerti (verstehen) perilaku seperti itu kalau orang tahu emosi mendasar yang to user sedang diungkapkannya (Johnson,commit 1986: 214-250).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud persepsi adalah pemahaman subyektif individu mengenai tindakan sosial yang dilakukan, baik yang ditujukan kepada dirinya maupun kepada orang lain yang terjadi melalui interaksi sosial yang dipandang berdasarkan rasionalitas yang dimilikinya. Selain itu individu juga diminta untuk menempatkan dirinya dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasisituasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. 5. Teori Aksi Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori dari paradigma definisi sosial, yaitu teori aksi dalam membahas dan menganalisis infomasi yang kami temui di lapangan. Weber sebagai pengemuka exemplar dari paradigma ini mengartikan sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Kedua hal itulah yang menurutnya menjadi pokok persoalan sosiologi. Inti tesisnya adalah “tindakan yang penuh arti” dari individu. Yang dimaksudkannya dengan tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkannya dengan tindakan orang lain bukan merupakan tindakan sosial. Secara definitif weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahai (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep dasarnya. Pertama konsep tindakan sosial. Kedua konsep tentang penafsiran dan pemahaman. Konsep terakhir ini menyangkut metode untuk menerangkan yang pertama. Tindakan sosial yang dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat “membatin” atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
akibat dari pengaruh situasi yang serupa. Atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu. Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial dan antar hubungan sosial itu Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi yaitu: a. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata. b. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif. c. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diamdiam. d. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau pada beberapa individu. e. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu. Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya ke dalam empat tipe. Semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami. a. Zwerk Rational Yakni tindakan sosial murni. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang terbaik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Tujuan dalam zwerk rational tidak absolut. Ia dapat juga menjadi cara dari tujuan lain berikutnya. Bila aktor berkelakuan dengan cara yang paling rasional maka mudah memahami tindakannya itu. b. Werktrational action Dalam tindakan tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan yang paling tepat atau lebih tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Ini menunjuk kepada tujuan itu sendiri. Dalam tindakan ini memang tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk dibedakan. Namun tindakan ini rasional, karena pilihan terhadap cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
diinginkan. Tindakan tipe kedua ini masih rasional, meski tidak serasional yang pertama. Karena itu dapat dipertanggung jawabkan untuk dipahami. c. Affectual action Tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepurapuraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami. Kurang atau tidak rasional. d. Traditional action Tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja. Teori Aksi sepenuhnya mengikuti karya Weber. Teori Aksi dewasa ini tidak banyak mengalami perkembangan melebihi apa yang sudah dicapai tokoh utamanya Weber. Malahan teori ini sebenarnya telah mengalami semacam jalan buntu. Arti pentingnya justru terletak pada peranannya dalam mengembangkan kedua teori berikutnya yakni symbolic interaktionism dan phenomenology. Teori Aksi mencapai puncak perkembangan sekitar tahun 1940, melalui karya klasik beberapa orang sosiolog. Di antaranya karya Florian Znainecki, The Method of Sociology (1934) dan Sosial Actions (1936). Robert M. Mac Iver, Sosiology: Its Structure and Changes (1931). Talcot Parsons, The Structure of Social Action (1937). Mereka adalah para sosiolog dengan latar belakang Eropa dan mereka pula yang mengembangkan Teori Aksi ini di Amerika. Hinkle (1963) menunjukkan bahwa mereka itu sangat dipengaruhi oleh Teori Aksi Pareto, Durkheim dan lebih-lebih oleh Weber. Sebelum tahun 1930-an sosiolog Amerika belum dipengaruhi benar oleh tokoh-tokoh seperti tersebut diatas. Di Masa itu yang berpengaruh justru sosiolog seperti, Comte, Spencer, Gumplowicz, Ratzenhofer, Tarde dan George Simmel. Namun demikian Hinkle juga melihat bahwa ada sejumlah ide-ide di dalam sosiologi Amerika yang mula-mula yang dipelopori oleh Teori Aksi. Beberapa asumsi fundamental Teori Aksi dikemukakan oleh Hinkle dengan merujuk karya Mac Iver, Znaniecki dan Parsons sebagai berikut. a. Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
b. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Jadi tindakan manusia bukan tanpa tujuan. c. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut. d. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya. e. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya. f. Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul saat pengambilan keputusan. g. Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian teknik penemuan yang bersifat subyektif seperti metode verstehen, imajinasi, simpathetic reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious experience). Ketujuh premis di atas bukan barang baru dalam Teori Aksi. Hinkle menunjukkan bahwa premis seperti itu telah dikemukakan oleh sosiolog Yunani klasik seperti Santo Thomas Aquino di abad 18. Hinkle juga menunjukkan bahwa pendekatan seperti Teori Aksi ini telah diketahui jauh sebelum perang dunia ke-I oleh sosiolog seperti Lester Ward, E.A. Ross, F. Giddings, A. Small dan C.H. Cooley. Hanya saja buah pikiran mereka tidak begitu erat hubungannya dengan Teori Aksi modern. Sebagian besar para sosiolog perintis itu memusatkan perhatian mereka kepada persoalan makroskopik evolusi sosial. Meskipun mereka juga mendiskusikan tindakan aktif dan pandangan kreatif manusia, namun pandangan mereka cenderung melihat kehidupan masyarakat sebagai memberikan tekanan kekuasaan terhadap perilaku individu. Jadi menilai individu kurang memiliki keaktifan dan pemikiran kreatif sebagaimana dinilai oleh penganut teori aksi modern. Beberapa pengecualian terdapat pada pemikiran C.H. Cooley. Meskipun Cooley menerima konsep evolusi sosial, namun ia berpendapat bahwa sesuatu yang mempunyai arti penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah apa yang commit to user disebutnya sebagai kesadaran subyektif. Di sini nampak pengakuan Cooley
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
perasaan-perasaan individual, sentiments dan ide-ide merupakan faktor yang mendorong manusia untuk berinisiatif atau mengakhiri tindakannya terhadap orang lain. Secara metodologis Cooley menerima pendekatan yang memungkinkan para sosiolog dapat memahami pengalaman personal dari setiap aktor. Cooley tidak berkeberatan terhadap penerapan metode ilmu alam dalam sosiologi, dengan alasan bahwa metode ilmu alam seperti eksperimen itu menyatakan secara tidak langsung tentang adanya suatu konsepsi yang bersifat mekanik atas tindakan atau perilaku manusia. Tapi Cooley menolak analisa statistik karena pemakaian analisa statistik dalam sosiologi akan lebih memusatkan perhatian kepada tingkah laku luar
dan
kurang
memperhatikan
kesadaran
internal
perilaku
manusia.
Bagaimanapun juga, Cooley sama seperti sebagian besar penganut paradigma definisi sosial, lebih menyukai dan mendorong penggunaan metode verstehen yang telah dianjurkan oleh pengemuka exemplar paradigma ini, yakni Weber (Ritzer, 2004: 37-50). Kesimpulan utama yang dapat diambil adalah bahwa tindakan sosial merupakan suatu proses di mana aktor terlibat dalam pengambilan keputusankeputusan subyektif tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dipilih, yang kesemuanya itu dibatasi kemungkinan-kemungkinannya oleh sistem kebudayaan dalam bentuk norma-norma, ide-ide dan nilai-nilai sosial. Di dalam menghadapi situasi yang bersifat kendala baginya itu, aktor mempunyai sesuatu di dalam dirinya berupa kemauan bebas. B. Hasil Penelitian yang Relevan Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan lima penelitian terdahulu yang telah dilakukan peneliti lain. Penelitian yang dilakukan Suhartini dan Panjaitan (jurnal online, 2009: 215-230) mengenai Strategi Bertahan Hidup Anak Jalanan: Kasus Anak Jalanan Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat membagi penyebab anak turun ke jalan menjadi tiga tipe, yaitu menopang kehidupan ekonomi keluarga, mencari kompensasi dari kurangnya perhatian keluarga, dan sekedar mencari uang tambahan. Dalam commit to user menjalankan perannya, anak jalanan rentan sekali mengalami permasalahan yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
mereka temui baik di rumah maupun di jalanan, antara lain kekerasan, pemaksaan kerja, pelecehan seksual, gangguan kesehatan dan keselamatan jiwa, penelantaran yang dilakukan orang tua, kriminalitas serta pendidikan karena sebagian besar waktu mereka dihabiskan dijalanan untuk mencari uang. Penelitian yang dilakukan Niken Irmawati (skripsi, 2009) mengenai Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA). Hasil penelitian menunjukkan responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju solo Kota Layak Anak cukup responsif, namun demikian responsivitas tersebut belum optimal. Hal ini bisa dilihat dari: a) Kemampuan mengenali kebutuhan anak masih terbatas, dimana Pemerintah Kota Surakarta belum memiliki data dasar tentang jumlah kasus maupun penanganan permasalahan anak secara lengkap dan up to date. Tetapi pemerintah baru mengandalkan koordinasi dengan lembaga-lembaga lain untuk mengenali kebutuhan anak. b) Kemampuan pemerintah menyusun agenda dan prioritas perlindungan anak sudah sesuai dengan kebutuhan anak, namun sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan anak di Kota Surakarta tidak hanya mencakup kebutuhan perlindungan atas ESKA, gizi buruk, anak putus sekolah, dan partisipasi anak. Masih ada persoalan-persoalan penting yang belum tertangani oleh pemerintah Kota Surakarta seperti pendidikan untuk anak jalanan terlantar. c) Pemerintah masih banyak bertumpu pada lembaga-lembaga lain yang peduli terhadap perlindungan anak. Penelitian yang dilakukan Candrika Pradipta Apsari (skripsi, 2011) mengenai Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak di Kota Surakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang dilaksanakan di Kota Surakarta. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pelaksanaan kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak di Kota Surakarta telah melaksanakan langkah-langkah sesuai dengan pedoman Kota Layak Anak yang meliputi Tim Pembentukan Pelaksana Kota Layak Anak, pengumpulan baseline data, penentuan indikator, identifikasi kegiatan dan permasalahan anak, penyusunan program kerja, pelaksanaan pengembangan Kota Layak Anak, commit to user evaluasi dan monitoring. Meskipun demikian hasil yang diperoleh belum optimal.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
Penelitian yang dilakukan Andriyani Mustika Nur Wijayanti (jurnal online, 2012: 208) mengenai Eksploitasi Anak: Perlindungan Hukum Anak Jalanan dalam Perspektif Hukum Pidana di Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya anak jalanan di Yogyakarta adalah karena adanya anak balita terlantar, anak terlantar, anak jalanan, wanita rawan sosial ekonomi, korban tindak kekerasan, lanjut usia terlantar, penyandang cacat, keluarga berumah tidak layak huni, keluarga bermasalah sosial psikologis, pekerja migran bermasalah sosial dan keluarga fakir miskin. (2) Tindak pidana yang dilakukan anak jalanan di Yogyakarta diantaranya adalah memalak, memeras, dan melakukan ancaman kepada korban. Dalam hal ini penanganan yang diperlukan untuk anak jalanan tersebut adalah dengan memasukkan anak tersebut ke dalam lembaga atau rumah singgah untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan usianya. (3) Penanganan anak jalanan yang dilakukan secara formal maupun non formal di Yogyakarta adalah dengan cara perhatian, pembinaan, pengertian dan pendampingan. Penelitian yang dilakukan Tulus Vilana Deny Eka Puspita Anggraeni (skripsi, 2013) mengenai Evaluasi Program Penanganan Anak Jalanan melalui Pendidikan Layanan Khusus (PLK) berbasis Kelembagaan Lokal di Kota Surakarta. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian, penelitian evaluasi. Sumber data yang digunakan terdiri dari data primer dan sekunder. Teknik pengambilan cuplikan dengan purposive sampling. teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi dan studi dokumentasi. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan persepsi anak jalanan terhadap program PLK Anak Jalanan, tahapan dalam penyelenggaraan terdiri dari ijin penyelenggaraan, rekrutmen peserta didik, proses pembelajaran, manajemen penyelenggaraan, penilaian dan evaluasi. C. Kerangka Berpikir Pada tahun 2006 Kota Surakarta terpilih untuk menjadi salah satu kota model percontohan pembangunan KLA. Predikat ini merupakan sebuah konsep pengembangan kota yang di dalamnya diproyeksikan mampu menjamin hak-hak commit to userbesar lainnya, permasalahan anak anak. Namun sama halnya dengan kota-kota
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
jalanan sulit dicarikan solusinya. Perlu adanya kemitraan antara Pemerintah Kota Surakarta dan LSM dalam penanganan anak jalanan agar dapat saling berintegrasi dan bersinergi menjadi satu kesatuan yang saling mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya. Menyandang predikat sebagai Kota Layak Anak ternyata tidak sepenuhnya menjadikan Kota Surakarta bebas dari anak jalanan. Di tempat-tempat strategis seperti terminal, stasiun, pasar, dan perempatan lampu merah masih banyak ditemui anak jalanan yang melakukan aktivitasnya seperti mengemis, mengamen dan berjualan koran. Pekerjaan tersebut tidak seharusnya dilakukan oleh seorang anak, karena pada usia tersebut hak anak adalah bermain dan belajar. Anak harus bisa dihindarkan dari pekerjaan-pekerjaan terburuk yang rawan untuk mereka lakukan. Oleh karena itu mereka perlu dilakukan penanganan dari pihakpihak yang bertanggung jawab seperti pemerintah dan masyarakat. Aktor yang berperan dalam melakukan penanganan terhadap anak jalanan di Kota Surakarta ini adalah pemerintah melalui Dinas Sosial, dan LSM pemerhati anak jalanan seperti LSK dan Bina Bakat dan Lembaga PPAP Seroja. Masing-masing dari mereka memiliki cara tersendiri untuk menangani permasalahan tersebut, cara itu diaplikasikan dengan dilaksanakannya berbagai program kegiatan penanganan anak jalanan. Pendekatan pelaksanaannya juga berbeda,
Dinas
Sosial
dengan
pendekatan
top-down
sedangkan
LSM
menggunakan pendekatan bottom-up. Dalam pelaksanaannya Pemerintah dan LSM dihadapkan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam melakukan penanganan anak jalanan. Terdapat kendala yang bisa menghambat pencapaian tujuan penanganan, sehingga diperlukan solusi yang tepat untuk bisa mengatasinya agar tujuan yang direncanakan bisa tercapai yaitu anak jalanan bisa ditangani dengan baik sehingga mereka tidak lagi turun ke jalan. Posisi anak jalanan dalam penanganan oleh pemerintah dan LSM ini adalah sebagai obyek. Sehingga mereka mempunyai persepsi serta rasionalitasnya sendiri dalam menyikapi upaya penanganan yang dilakukan kepadanya. Pada to dua useryaitu persepsi positif dan persepsi umumnya persepsi mereka terbagicommit menjadi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
negatif, tergantung bagaimana mereka menilai manfaat yang mereka dapatkan dalam penanganan tersebut. Tindakan sosial yang dilakukan pemerintah dan LSM dalam menangani anak jalanan merupakan tindakan sosial murni (zwerk rational) karena tindakan yang dilakukan bersifat rasional dan mudah dipahami. Adapun kerangka pemikiran tersebut digambarkan dalam gambar 2.1.
Surakarta Sebagai Kota Layak Anak
Anak Jalanan masih eksis
Pemerintah dan LSM sebagai aktor penanganan anjal
Pemerintah
Persepsi Anak Jalanan
Tindakan sosial murni (zwerk rational)
Program penanganan sebagai alternatif cara untuk mencapai tujuan
Terdapat kendala penanganan sebagai pembatas tindakan dalam mencapai tujuan
Tujuan penanganan anak jalanan
Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir (Sumber: Peneliti, 2013) commit to user
LSM