BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Alat Peraga Alat peraga merupakan bagian dari media, oleh karena itu istilah media perlu di pahami lebih dahulu sebelum membahas mengenai pengertian alat peraga. Menurut Harjono dan Pirenomulyo (2010:199) “media pengajaran adalah sarana komunikasi dalam proses belajar- mengajar yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak yang digunakan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efesien”. Sedangkan pengertian media menurut Deddiknas tahun 2003, Media pembelajaran adalah media pendidikan yang secara khusus digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu yang sudah dirumuskan. Sudjana dan Rivai (2002:2) mengemukakan bahwa manfaat media pembelajaran dalam proses belajar adalah: 1) Pengajaran
lebih
menarik
perhatian
siswa
sehingga
dapat
menumbuhkan motivasi belajar, 2) bahan belajar akan lebih jelas maknanya, sehingga akan mudah dipahami oleh sisiwa dan memungkinkan menguasai materi dalam pencapaian tujuan pembelajaran, 3) metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata- mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak merasa bosan dan 4) siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi melakukan aktivitas lain, misalnya demostrasi, bermain peran, mengamati dan sebagainya.
6
7
“Alat peraga adalah suatu alat yang dapat diserap oleh mata dan telinga dengan tujuan membantu guru agar proses belajar mengajar siswa lebih efektif dan efisien (Sudjana, 2010:99).” Disamping itu menurut Djoko Iswanji alat peraga matematika adalah seperangkat benda konkrit yang dirancang, dibuat, dihimpun atau disusun secara sengaja yang digunakan untuk membantu menanamkan atau mengembangkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam matematika (Djoko Iswanji,2003:1). Dengan benda-benda konkrit disekitar seperti buah-buahan, pensil, buku siswa dapat membilang banyaknya anggota dari kumpulan suatu benda sampai menemukna bilangan yang sesuai pada akhir membilang, contoh lainnya, model-model bangun datar, bangun ruang dan sebagaianya. Kamus Bahasa Indonesia menyebutkan peraga merupakan alat untuk memperhatikan pelajaran (Poerwadarminta, 1987: 374). Dari pengertian beberapa ahli di atas, alat peraga merupakan benda kongkrit yang dapat dilihat, didengar, dipegang oleh siswa dalam rangka membantu siswa untuk memahami suatu konsep. 2.1.2
Nilai dan Fungsi Alat Peraga
2.1.2.1 Nilai Alat Peraga Penggunaan media pembelajaran termasuk juga alat peraga di dalamnya memiliki nilai- nilai praktis (Oemar Hamalik, 1986:27-31), sebagai berikut : a)
Media pendidikan melampaui batas pengalaman pribadi siswa.
b)
Media pendidikan melampaui batas- batas ruang kelas.
c)
Media pendidikan memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara siswa dan lingkungannya.
d)
Media pendidikan memberikan uniformitas/kesamaan dalam pengamatan.
e)
Media pendidikan akan memberikan pengertian/ konsep yang sebenarnya secara realitas dan teliti.
8
f)
Media pendidikan membangkitkan keinginan dan minat- minat dalam yang baru.
g)
Media pendidikan membangkitkan motivasi dan perangsang kegiatan belajar.
h)
Media
pendidikan
akan
memberikan
pengalaman
yang
menyeluruh.
2.1.2.2 Fungsi Alat Peraga Penggunaan media pembelajaran memberikan perbedaan yang berarti dalam proses belajar siswa antara penggunaan media pengajaran dengan tanpa penggunaan
media
pengajaran.
Penggunaan
media
pembelajaran
mempertinggi proses pembelajaraan siswa, ini berkaitan dengan manfaat media pembelajaran dalam proses belajar siswa, antara lain : a) Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa. b) Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pengajaran lebih baik. c) Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata- mata komunikasi verbal melalui penuturan kata- kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi guru mengajar untuk setiap jam pengajaran. d) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab siswa tidak hanya mendengar uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan dan lain- lain.
9
2.1.3
Perkembangan intelektual Menurut penelitian J. Piaget dalam (Winfred F. Hill, 2012:161-164), perkembangan intelektual anak dapat dibagi menjadi empat taraf. a) Fase sensori motor, tahap ini berlangsung sejak lahir sampai umur 2 tahun. Pada taraf ini skemata yang melibatkan persepsi anak mengenai dunia dan koordinasi yang ia gunakan untuk mengadapi dunia. Selama periode ini anak membentuk konsepsi- konsepsi paling dasar mengenai hakikat dunia material. b) Fase pra-operasional, sampai usia 5-6 tahun, masa pra sekolah, jadi tidak berkenaan dengan anak sekolah. Pada taraf ini ia belum dapat mengadakan perbedaan yang tegas antara perasaan dan motif pribadinya dengan realitas dunia luar. Karena itu ia belum dapat memahami dasar matematikan dan fisika yang fundamental, bahwa suatu jumlah tidak berubah bila bentuknya berubah. Pada taraf ini kemungkinan untuk menyampaikan konsep-konsep tertentu kepada anak sangat terbatas. c) Fase operasi kongkrit, pada taraf ke-2 ini operasi itu “internalized”, artinya
dalam
menghadapi
suatu
masalah
ia
tidak
perlu
memecahkannya dengan percobaan dan perbuatan yang nyata; ia telah dapat melakukannya dalam pikirannya. Namun pada taraf operai kongkrit ini ia hanya dapat memecahkan masalah yang langsung dihadapinya secara nyata. Ia belum mampu memecahkan masalah yang tidak dihadapinya secara nyata atau kongkrit atau yang belum pernah dialami sebelumnya. d) Fase operasi formal, pada taraf ini anak itu telah sanggup beroperasi berdasarkan kemungkinan hipotesis dan tidak lagi dibatasi oleh apa yang berlangsung dihadapinya sebelumnya.
10
Dari beberapa fase di atas peserta didik SD menempati fase operasional kongkrit sehingga dalam memecahkan suatu masalah harus menghadipi benda atau situasi yang sebenarnya, sehingga dalam pembelajaran membutuhkan alat peraga yang kongkrit. 2.1.4
Proses Belajar Menurut Bruner (dalam Karso, dkk, 2007: 1.12), dalam proses belajar dapat dibedakan tiga fase atau episode, yakni 1. Informasi Informasi yang didapat dalam setiap pembelajaran baik yang menambah pengetahuan yang telah dimiliki dan memperdalamnya, serta ada pula yang bertentangan dengan apa yang telah diketahui sebelumnya. 2. Transformasi Informasi itu harus diananlisis, diubah atau ditransformasi ke dalam bentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Bantuan guru sangat diperlukan dalam hal ini. 3. Evaluasi Penilaian terhadap keluasan pengetahuan yang diperoleh dan ditransformasi itu dapat dimanfaatkan untuk memahami gejalagejala lain. Proses belajar oleh Bruner (dalam Gatot Muhsetyo,dkk, 2008: 1.12) dibagi menjadi 3 bagian, yaitu : a. Tahap Enaktif Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak atik) objek.Pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda konkrit atau menggunakan situasi yang nyata.
11
b.Tahap Ikonik Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objekobjek yang dimanipulasinya pada tahap enaktif tersebut di atas.
c. Tahap Simbolis Tahap pembelajaran di mana pengetahuan itu direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (abstract symbols, yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orangorang dalam bidang yang bersangkutan), baik simbol-simbol verbal (misalnya
huruf-huruf,
kata-kata,
kalimat-kalimat),
lambang-
lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak yang lain.
2.1.5
Alat-Alat Mengajar Jerome Bruner (Anita W,1995 dalam Paulina panen, 2003 3.16) membagi alat instruksional dalam 4 macam menurut fungsinya. a) Alat untuk menyampaikan pengalaman “vicarious”. Yaitu menyajikan bahan-bahan kepada murid-murid yang sedianya tidak dapat mereka peroleh dengan pengalaman langsung yang lazim di sekolah. Ini dapat dilakukan melalui film, TV, rekaman suara dll. b) Alat model yang dapat memberikan pengertian tentang struktur atau prinsip suatu gejala, misalnya model molekul atau alat pernafasan, tetapi juga eksperimen atau demonstrasi, juga program yang memberikan langkah-langkah untuk memahami suatu prinsip atau struktur pokok.
12
c) Alat dramatisasi, yakni yang mendramatisasikan sejarah suatu peristiwa atau tokoh, film tentang alam yang memperlihatkan perjuangan untuk hidup, untuk memberi pengertian tentang suatu ide atau gejala. d) Alat
automatisasi
seperti
“teaching
machine”
atau
pelajaran
berprograma, yang menyajikan suatu masalah dalam urutan yang teratur dan memberi balikan atau feedback tentang responds murid.
2.1.6 Aplikasi Teori Bruner Dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan: a) Menyajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan. Misal : untuk contoh mau mengajarkan bentuk bangun datar segiempat, sedangkan bukan contoh adalah berikan bangun datar segitiga, segi lima atau lingkaran. b) Membantusi belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsepkonsep. Misalnya berikan pertanyaan kepada sibelajar seperti berikut ini ” apakah nama bentuk ubin yang sering digunakan untuk menutupi lantai rumah? Berapa cm ukuran ubin-ubin yang dapat digunakan? c) Memberikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri. Misalnya Jelaskan ciri-ciri/ sifat-sifat dari bangun Ubin tersebut? d) Mengajakdan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya. Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya. (Anita W,1995 dalam Paulina panen, 2003 3.16)
13
Berikut ini disajikan contoh penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar. 1)
Pembelajaran menemukan rumus luas daerah persegi panjang. Untuk tahap contoh berikan bangun persegi dengan berbagai ukuran, sedangkan bukan contohnya berikan bentuk-bentuk bangun datar lainnya seperti, persegi panjang, jajar genjang, trapesium, segitiga, segi lima, segi enam, lingkaran.
a)
Tahap Enaktif. Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak atik) objek. Dalam memamipulasi objek siswa berinteraksi secara langsung dengan obyek yang di amati, sebagai contoh siswa melakukan pengukuran panjang dan lebar pada persegi. a) Ukurannya: Panjang = 20 satuan , Lebar = 1 satuan. b) Ukurannya: Panjang = 10 satuan , Lebar = 2 satuan. c) Ukurannya: Panjang = 5 satuan , Lebar = 4 satuan.
b)
Tahap Ikonik. Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya.
c)
Tahap Simbolis Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Siswa diminta untuk mngeneralisasikan untuk menenukan rumus luas daerah persegi panjang. Jika simbolis ukuran panjang p, ukuran
14
lebarnya l , dan luas daerah persegi panjang L, maka jawaban yang diharapkan
L = p x l satuan. Jadi luas persegi panjang adalah
ukuran panjang dikali dengan ukuran lebar.
2.1.7
Validasi Alat Peraga Alat peraga yang baik harus memenuhi kriteria alat peraga yang baik, menurut Sumardyono (2004) memberikan 22 item kriteria alat peraga yang baik. 22 kriteria tersebut sebagai berikut : Aspek Pedagogi Dan Konseptual
:
1. Pentingnya alat peraga matematika dalam membantu pembelajaran tentang konsep/ ide matematika yang dituju dibanding bila tidak menggunakan alat peraga apapun. 2. Keakuratan konsep yang dideskripsikan atau dihasilkan dari alat peraga ini. 3. Kemudahan dan kejelasan dari siswa untuk menangkap konsep/ gagasan matematika yang dituju alat peraga ini. 4. Daya tarik alat peraga ini dalam membangkitkan minat siswa terhadap pembelajaran konsep/ ide matematika. 5. Tingkat variabilitas penggunaan alat peraga ini dalam segi variabilitas konsep/ ide matematika. 6. Ketepatan landasan/ pijakan yang digunakan oleh alat peraga ini untuk kegiatan abstraksi. 7. Rangsangan yang dapat diberikan alat peraga ini kepada siswa untuk melakukan kegiatan refleksi. 8. Kemungkinan siswa menemukan konsep dengan bantuan alat peraga ini. 9. Pentingnya konsep/ ide yang muncul dari peragaan alat peraga ini. 10. Kemungkinan siswa melakukan kegiatan ketrampilan yang terpadu (berfikir, berbicara, bergerak) dengan alat peraga ini.
15
Aspek Fisik
:
1. Kekuatan (tidak mudah patah, lepas, atau berubah bentuk/ hancur) ketika digunakan. 2. Kesalahan konseptual yang mungkin muncul dari ukuran atau warna alat peraga ini. 3. Daya tarik fisik alat peraga ini bagi siswa untuk mencobanya. 4. Kualitas desain alat peraga ini (presisi/keakuratan bentuk, ukuran, jumlah) berdasarkan konsep yang dituju. 5. Kesederhanaan pengoperasian alat peraga ini berdasarkan konsep/ ide matematika yang dituju. 6. Kesederhanaan desain alat peraga ini (tidak rumit dan mudah diaplikasikan). 7. Kemudahan alat peraga untuk dipindah- pindahkan. 8. Kesesuaian fisik alat peraga ini dengan kompetensi fisik siswa (dapat dilihat, diperagakan,dan dibawa oleh siswa). 9. Kemudahan alat peraga ini untuk disimpan. 10. Kecelakaan fisik bagi siswa yang dapat di akibatkan oleh alat peraga ini (tajam, mudahroboh, beratdan lain- lain). 11. Pengaruh zat kimia yang berbahaya atau radiasi sinar dari alat peraga ini( mudah terbakar, bau menyengat, menyebabkan iritasi dan lain- lain). 12. Keterjangkuan harga alat peraga ini (harga jual maupun harga buat) oleh kalangan umum.
2.1.8
Model dan Kategori Pendekatan Bruner (Anita W,1995 dalam Paulina panen, 2003 3.16) terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi, yaitu :
16
1. Asumsi pertama adalah bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan penganut teori perilakau Bruner yakin bahwa orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan tetapi juga dalam diri orang itu sendiri. 2. Asumsi kedua adalah bahwa orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya, suatu model alam (model of the world). Model Bruner ini mendekati sekali struktur kognitif Aussebel. Setiap model seseorang khas bagi dirinya. Dengan menghadapi berbagai aspek dari lingkungan kita, kita akan membentuk suatu struktur atau model yang mengizinkan kita untuk mengelompokkan hal-hal tertentu atau membangun suatu hubungan antara hal-hal yang diketahui.
2.1.9 Pembelajaran Matematika Realistik Pembelajaran adalah proses penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan melalui belajar, mengajar dan pengalaman (Slameto, 2007:4). Sedangkan
Dimyati
&
Mudjiono
(2009:159)
berpendapat
bahwa
“pembelajaran berarti meningkatkan kemampuan-kemampuan kognitif, afektif dan keterampilan siswa”.Menurut Sugihartono, dkk (2007:81) “pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, mengorganisasi dan menciptakan system lingkungan dengan berbagai metode sehingga siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien serta dengan hasil optimal.” Pengertian pembelajaran dari beberapa ahli dapat disimpulkan, pembelajaran merupakan proses secara sadar dan sengaja dalam rangka
17
meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor melalui belajar, mengajar dan pengalaman. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern yang mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat dibidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika distrik. Untuk menguasai teknologi dimasa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini.
Menurut Soejadi (2000) (dalam Heruman, 2008:1) “Hakikat matematika yaitu memiliki objek tujuan abstrak, bertumpu pada kespakatan dan pola pikir yang deduktif. Matematika sekolah adalah pelajaran matematika yang diberikan di jenjang pendidikan menengah ke bawah, bukan diberikan di jenjang pendidikan tinggi. Matematika sekolah terdiri dari atas bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuh kembangkan kemampuankemampuan dan membentuk pribadi serta berpadu pada perkembangan IPTEK. Menurut
Suherman, dkk (2001:55), “fungsi mata pelajaran
matematika sebagai : alat, pola pikir dan ilmu pengetahuan.” Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) atau dalam bahasa inggris Realistic Mathematics Education (RME), merupakan sebuah pendekatan matematika yang dikembangkan pada tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika dari Freudenthal Institute, Utreachet University di Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan (Hans Freudhenthal 1905-1990 dalam Aisyah, dkk, 2007: 7-3) “bahwa matematika adalah aktivitas manusia.” Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tempat memindahkan matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan
18
kembali ide dan konsep matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Treffers (dalam Aisyah, dkk, 2007: 7-3) secara eksplisit merumuskan ide tersebut dalam dua tipe matematisasi dalam konteks pendidikan, yaitu matematisisasi horizontal dan vertical. Pada matematiasi horizontal siswa diberi perkakas matematika yang dapat menolongnya menyusun dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari seperti pengidentifikasian, perumusan dan pemvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematika. Matematisasi vertikal dipihak lain merupakan proses reorganisasi dalam system matematis, misalnya menemukan hubungan langsung dari keterkaitan antar konsepkonsep dan strategi-strategi dan kemudian menerapkan temuan tersebut. Freudenthal (1991 dalam Aisyah, dkk, 2007: 7-4) matematisasi horizontal bertolak dari ranah nyata menuju ranah symbol, sedangkan matematisasi vertikal bergerak dalam ranah symbol.
Dengan kata lain, menghasilkan konsep, prinsip, atau, model matematika dari masalah kontekstual sehari-hari termasuk matematisasi horizontal, sedangkan menghasilkan konsep, prinsip atau model matematika dari matematika termasuk matematisasi vertikal. Hal ini disebabkan oleh pemaknaan “realistic” yang berasal dari bahasa Belanda “realiseren” yang artinya “membayangkan”. Kegiatan “membayangkan” ini ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari dunia nyata , tetapi tidak selamanya haru melalui cara itu.
Dalam pendekatan matematika realistik, siswa dipandang sebagai individu (subjek) yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan. Selanjutnya, dalam pendekatan ini diyakini pula bahwa siswa memiliki potensi untuk mengembangkan sendiri
19
pengetahuannya, dan bila diberi kesempatan mereka dapat mengembangkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang matematika (Aisyah, dkk, 2007; 7-5). Permendiknas
RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang standar Proses
mengamanatkan bahwa proses pembelajaran sebaiknya dilakukan melalui proses eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Jika ditinjau dari sudut pandang Pendidikan Matematika Realistik, ketiga macam proses tersebut merupkan karakteristik dari Pendidikan Matematika Realistik. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa penerapan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik untuk pembelajaran matematika sejlan dengan kurikulum. Kegiatan eksplorasi yaitu penggunaan konteks, penerjemahan konteks dielaborasi menjadi penemuan matematika formal, dari konteks situasi melalui matematisasi vertical. Proses akhir adalah konfirmasi untuk membangun argument menguatkan hasil proses eksplorasi dan elaborasi.
2.2 Kerangka Berfikir Alat peraga seharusnya membantu siswa dalam memahami sesuatu konsep dalam pembelajaran tidak jarang ada alat peraga yang membuat misskonsepsi pada diri siswa, oleh karena itu dengan mengembangkan alat peraga yang baru untuk memperbaiki alat peraga yang sebelumnya.
20
Gambar 2.2 Kerangka Pikir
Alat Peraga Lama Digunakan Pada Siswa Miskonsepsi Hasil Ketuntasan Pengembangan Alat Peraga Uji Coba Alat Peraga Baru Hasil Ketuntasan
21
2.3 Hipotesis Dengan alat peraga yang telah dibuat dan di revisi, alat ini dapat meningkatkan hasil belajar yang ditunjukkan dalam nilai ketuntasan minimal sebanyak 80% tuntas (KKM 6,5)