BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Paradigma Penelitian Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada
dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan bentuk cara pandangnya terhadap dunia. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton, paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya: paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisnya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang (Mulyana, 2004:9). Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah, serta kriteria penelitian sebagai landasan untuk menjawab masalah penelitian (Guba & Lincoln dalam Erlina, 2011, hal 10). Secara umum, paradigma penelitian diklasifikasikan kedalam dua kelompok yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Paradigma kuantitatif menekankan pada pengujian teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik. Paradigma kualitatif merupakan paradigma penelitian yang menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitasyang holistis, kompleks, dan rinci. Penelitian ini menggunakan pendekatan induktif yang mempunyai tujuan penyusunan konstruksi teori atau hipotesis yang didasarkan pada satu atau lebih fakta atau bukti-bukti. Paradigma kualitatif disebut juga dengan pendekatan konstruktifis, naturalistik atau interpretatif, atau perspektif post-modern (Erlina, 2011, hal 14).
Universitas Sumatera Utara
8
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Guba & Lincoln (1994:17-30) juga menyusun beberapa paradigma dalam teori ilmu komunikasi. Paradigma yang dikemukakan itu terdiri dari paradigma positivistik, paradigma kritis, dan paradigma konstruktivisme. Analisis semiotika termasuk dalam kategori paradigma kritis. Paradigma ini percaya bahwa media adalah sarana di mana kelompok dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan bahkan memarjinalkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media. Salah satu sifat dasar dari teori kritis adalah selalu curiga dan mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa ini. Karena kondisi masyarakat yang kelihatannya produktif dan bagus tersebut sesungguhnya terselubung struktur masyarakat yang menindas dan menipu kesadaran khalayak. Ada beberapa karakteristik utama paradigma kritis yang bisa dilihat secara jelas. Ciri pertama adalah ciri pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46). Ciri kedua adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik menyolok dari tujuan paradigma kritis ada dan eksis adalah paradigma yang mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang. Seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Newman, 1997: 75-87). Ciri ketiga adalah ciri titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual di balik proses transformasi sosial. Proses tersebut dapat dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan suatu keberpihakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari analisis penelitian yang dibuat. Karakteristik keempat dari paradigma kritis adalah pendasaran diri
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
paradigma kritis mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti ada proses dialogal dalam seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan sosial yang telah, sedang dan akan terjadi. Karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti untuk melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, dalam hal ini media massa berikut teks yang diproduksinya. Maka, dalam paradigma kritis, penelitian yang bersangkutan tidak bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini bisa membuat perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87).
2.2
Uraian Teoritis Dalam suatu penelitian teori berperan untuk mendorong pemecahan suatu
permasalahan dengan jelas dan sistematis. Hal ini sangat berkaitan erat dengan pengertian teori yakni serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan antarkonsep (Singarimbun, 1995:37). Kerangka teori juga membantu seseorang peneliti dalam menentukan tujuan dan arah penelitiannya, serta sebagai dasar pijakan penelitian agar langkah yang ditempuh selanjutnya dapat jelas dan konsisten.
2.2.1
Komunikasi
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari kata Latin communis yang berarti “sama”, communico, communicatio, atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make common) (Mulyana, 2005: 41). Sebuah defenisi singkat dibuat oleh Harold D. Lasswell bahwa cara yang tepat untuk menerangkan suatu tindakan komunikasi ialah menjawab pertanyaan “Who says what in which channel to whom with what effect” Atau siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan apa pengaruhnya
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sebuah defenisi yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antarmanusia (human communication) bahwa: “Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun hubungan antarsesama manusia; (2) melalui pertukaran informasi; (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain; serta (4) berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu” (Book dalam Cangara 1998: 19). Dari pengertian komunikasi diatas jelas dikemukakan bahwa komunikasi hanya bisa terjadi apabila memiliki unsur-unsur komunikasi. Unsur-unsur komunikasi tersebut adalah (Cangara 1998: 22-27) : a. Sumber Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau
pengirim
informasi.
Sumber
sering
disebut
pengirim,
komunikator, atau source, sender, atau encoder. b. Pesan Pesan (message, content, atau information) yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan melalui tatap muka atau melalui media komunikasi. c. Media Media yang dimaksud disini adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Dalam komunikasi antarpribadi pancaindra dianggap sebagai media komunikasi. Selain pancaindra manusia, telepon, surat, telegram juga digolongkan sebagai media komunikasi antarpribadi. Dalam komunikasi massa media komunikasi dapat dibedakan kedalam dua macam, yakni media cetak dan media media elektronik. Media cetak bisa berupa surat kabar, majalah, buku, leaflet, brosur, stiker, buletin, hand out, poster, spanduk, dan sebagainya. Sementara media elektronik dapat berupa radio, film, televisi, video recording, komputer, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
d. Penerima Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. Penerima bisa terdiri satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk kelompok, partai, atau negara. Penerima biasa disebut dalam berbagai istilah seperti khalayak, sasaran, komunikan, audience atau reciever. e. Pengaruh Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh ini bisa terjadi pada pengetahuan, sikap, dan tingkah laku seseorang.oleh karena itu, pengaruh bisa juga diartikan perubahan atau penguatan keyakinan pada pengetahuan, sikap, dan tindakan seseorang sebagai akibat penerima pesan. f. Tanggapan balik Ada yang beranggapan bahwa umpan balik sebenarnya adalah salah satu bentuk daripada pengaruh yang berasal dari penerima. Akan tetapi sebenarnya umpan balik bisa juga berasal dari unsur lain seperti pesan dan media, meski pesan belum sampai pada penerima. g. Lingkungan Lingkungan atau sesuatu ialah faktor-faktor tertentu yang dapat memengaruhi jalannya komunikasi. Faktor ini dapat digolongkan atas empat macam, yakni lingkungan fisik, lingkungan sosial budaya, lingkungan psikologis, dan dimensi waktu.
2.2.2 ` Fungsi Komunikasi William I. Gorden (Deddy Mulyana, 2005:5-30) mengkategorikan fungsi komunikasi menjadi empat, yaitu: 1. Sebagai komunikasi sosial Fungsi
komunikasi
sebagai
komunikasi
sosial
setidaknya
mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
komunikasi yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan hubungan orang lain. Melalui komunikasi kita bekerja sama dengan anggota masyarakat (keluarga, kelompok belajar, perguruan tinggi, RT, desa, dan negara secara keseluruhan) untuk mencapai tujuan bersama. a. Pembentukan konsep diri. Konsep diri adalah pandangan kita mengenai diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Melalui komunikasi dengan orang lain kita belajar bukan saja mengenai siapa kita, namun juga bagaimana kita merasakan siapa kita. Anda mencintai diri anda bila anda telah dicintai; anda berpikir anda cerdas bila orang-orang sekitar anda menganggap anda cerdas; anda merasa tampan atau cantik bila orang-orang sekitar anda juga mengatakan demikian. George Herbert Mead mengistilahkan significant others (orang lain yang sangat penting) untuk orang-orang disekitar kita yang mempunyai peranan penting dalam membentuk konsep diri kita. Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Richard Dewey dan W.J. Humber (1966) menamai affective others, untuk orang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional. Dari merekalah, secara perlahanlahan kita membentuk konsep diri kita. Selain itu, terdapat apa yang disebut dengan reference group (kelompok rujukan) yaitu kelompok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Dengan melihat ini, orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Kalau anda memilih kelompok rujukan anda Ikatan Dokter Indonesia, anda menjadikan norma-norma dalam Ikatan ini sebagai ukuran perilaku anda. Anda juga meras diri sebagai bagian dari kelompok ini, lengkap dengan sifat-sifat doketer menurut persepsi anda. b. Pernyataan eksistensi diri. Orang berkomunikasi untuk menunjukkan dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi diri atau lebih tepat lagi pernyataan eksistensi diri. Fungsi komunikasi sebagai eksistensi diri
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
terlihat jelas misalnya pada penanya dalam sebuah seminar. Meskipun mereka sudah diperingatkan moderator untuk berbicara singkat dan langsung ke pokok masalah, penanya atau komentator itu sering berbicara panjang lebarm mengkuliahi hadirin, dengan argumenargumen yang terkadang tidak relevan. c. Untuk kelangsungan hidup, memupuk hubungan, dan memperoleh kebahagiaan. Sejak lahir, kita tidak dapat hidup sendiri untuk mempertahankan hidup. Kita perlu dan harus berkomunikasi dengan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan biologis kita seperti makan dan minum, dan memnuhi kebutuhan psikologis kita seperti sukses dan kebahagiaan. Para psikolog berpendapat, kebutuhan utama kita sebagai manusia, dan untuk menjadi manusia yang sehat secara rohaniah, adalah kebutuhan akan hubungan sosial yang ramah, yang hanya bisa terpenuhi dengan membina hubungan yang baik dengan orang lain. Abraham Moslow menyebutkan bahwa manusia punya lima kebutuhan dasar: kebutuhan fisiologis, keamanan, kebutuhan sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan yang lebih dasar harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebuthan yang lebih tinggi diupayakan. Kita mungkin sudah mampu kebuthan fisiologis dan keamanan untuk bertahan hidup. Kini kita ingin memenuhi kebutuhan sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan ketiga dan keempat khususnya meliputi keinginan untuk memperoleh rasa lewat rasa memiliki dan dimiliki, pergaulan, rasa diterima, memberi dan menerima persahabatan. Komunikasi akan sangat dibutuhkan untuk memperoleh dan memberi informasi yang dibutuhkan, untuk membujuk atau mempengaruhi orang lain, mempertimbangkan solusi alternatif atas masalah kemudian mengambil keputusan, dan tujuantujuan sosial serta hiburan. 2. Sebagai komunikasi ekspresif Komunikasi berfungsi untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut terutama dikomunikasikan
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-kata, namun bisa disampaikan secara lebih ekpresif lewat perilaku nonverbal. Seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya dengan membelai kepala anaknya. Orang dapat menyalurkan kemarahannya dengan mengumpat, mengepalkan tangan seraya melototkan matanya, mahasiswa memprotes kebijakan penguasa negara atau penguasa kampus dengan melakukan demontrasi. 3. Sebagai komunikasi ritual Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebaga rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun, pertunangan, siraman, pernikahan, dan lain-lain. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus-ritus lain seperti berdoa (salat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara wisuda, perayaan lebaran (Idul Fitri) atau Natal, juga adalah komunikasi ritual. Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa. Negara, ideologi, atau agama mereka. 4.
Sebagai komunikasi instrumental Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap, menggerakkan tindakan, dan juga menghibur. Sebagai instrumen, komunikasi tidak saja kita gunakan untuk menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan hubungan tersebut. Studi komunika membuat kita peka terhadap berbagai strategi yang dapat kita gunakan dalam komunikasi kita untuk bekerja lebih baik dengan orang lain demi keuntungan bersama. Komunikasi berfungsi sebagi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan, baik tujuan jangka pendek ataupun tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek misalnya
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
untuk memperoleh pujian, menumbuhkan kesan yang baik, memperoleh simpati, empati, keuntungan material, ekonomi, dan politik, yang antara lain dapat diraih dengan pengelolaan kesan (impression management), yakni taktik-taktik verbal dan nonverbal, seperti berbicara sopan, mengobral janji, mengenakankan pakaian necis, dan sebagainya yang pada dasarnya untuk menunjukkan kepada orang lain siapa diri kita seperti yang kita inginkan. Sementara itu, tujuan jangka panjang dapat diraih lewat keahlian komunikasi, misalnya keahlian berpidato, berunding, berbahasa asing ataupun keahlian menulis. Kedua tujuan itu (jangka pendek dan panjang) tentu saja saling berkaitan dalam arti bahwa pengelolaan kesan itu secara kumulatif dapat digunakan untuk mencapai tujuan jangka panjang berupa keberhasilan dalam karier, misalnya untuk memperoleh jabatan, kekuasaan, penghormatan sosial, dan kekayaan. Berkenaan dengan fungsi komunikasi ini Onong Utjana Effendy (1994) berpendapat fungsi komunikasi adalah: 1.
menyampaikan informasi,
2.
mendidik,
3.
menghibur, dan
4. mempengaruhi.
2.2.3
Komunikasi Massa
Komunikasi massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia yang lahir seiring dengan penggunaan alat- alat mekanik yang mampu melipat gandakan pesan-pesan komunikasi. Dalam catatan sejarah publistik, komunikasi massa dimulai satu setengah abad abad setelah mesin cetak ditemukan oleh Johan Gutenberg (Wiryanto, 2004:67). Komunikasi
massa
diadopsi
dari
istilah
bahasa
Inggris,
mass
comunication, sebagai kependekan dari mass media communication (komunikasi media massa). Artinya, komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated. Istilah mass communication diartikan sebagai
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
salurannya, yaitu media massa sebagai kependekatan dari komunikasi media massa (Wiryanto, 2004:69). Secara teori, pada satu sisi, konsep komunikasi massa mengandung pengertian sebagai suatu proses dimana institusi media massa memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara luas, namun pada sisi lain, komunikasi massa merupakan proses dimana pesan tersebut dicari, digunakan, dan dikomsumsi oleh audience. Fokus kajian dalam komuikasi massa adalah media massa. Media massa adalah institusi yang menebarkan informasi berupa pesan, berita, atau peristiwa (Bungin, 2006:258). Media massa adalah alat yang digunakan dalam menyampaikan pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, majalah, film, radio, dan televisi. Karakteritik media massa ialah (1) bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian informasi; (2) bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima; (3) Meluas serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, dimana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang sama; (4) memakai peralatan tekhnis atau mekanis seperti majalah, televisi, dan surat kabar; (5) bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan suku bangsa (Cangara, 2006:122). Josep A. Devito mendefenisikan ada dua pengertian tentang komunikasi massa yaitu, pertama komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua ornag yang membaca atau semua ornag yang menonton televisi, agaknya ini tidak berati pula bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar mendefenisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar audio atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bila didefenisikan menurut bentuknya (televisi, radio, surat kabar, majalah,film dan sebagainya) (Nurudin,2007:12). 2.2.4
Iklan
Iklan merupakan bentuk komunikasi tidak langsung, yang didasari pada informasi tentang keunggulan atau keuntungan suatu produk, yang disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa menyenangkan yang akan mengubah pikiran orang untuk membeli. Sedangkan periklanan adalah keseluruhan proses yang meliputi persiapan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penyampaian iklan (Kotler, 2001: 206). Iklan atau advertising berasal dari kata latin “Adverte” yang berarti mengarahkan. Iklan yang kita lihat dan dengar setiap hari sebenarnya merupakan produk akhir dari serangkaian pengamatan sampai pelaksanaan strategi dan taktik yang berupaya untuk menjangkau pembeli potensial (Rachmadi, 1998:36). Menurut Kepler iklan atau advertising berasal dari bahasa latin, ad-vere yang berati mengoperkan pikiran dan gagasan kepada pihak lain. Jika pengertian ini kita terima maka sebenarnya iklan tidak ada bedanya dengan pengertian komunikasi yaitu satu arah (Liliweri,1992:17). Sedangkan Wright mengemukakan bahwa iklan merupakan suatu proses komunikasi yang mempunyai kekuatan yang sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang, memberikan layanan serta gagasan atau ide – ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif. Periklanan diakuinya mengandung dua makna yaitu iklan dipandang sebagai alat pemasaran dan iklan dalam pengertian proses komunikasi yang bersifat persuasif (Liliweri, 1992 : 20). Media dalam beriklan secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua yaitu iklan lini atas (above the line) dan iklan lini bawah (bellow the line). Iklan lini atas (above the line) yakni jenis iklan yang mengharuskan pembayaran komisi kepada biro iklan; contohnya adalah tayangan iklan di media cetak, televisi, radio, bioskop, billboard dan sebagainya. Media lini bawah (bellow the line) yakni jenis jenis iklan yang tidak mengharuskan adanya komisi seperti iklan pada pameran, brosur, lembar informasi dan sebagainya. Secara umum produsen akan
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menggunakan kedua media iklan tersebut untuk mengenalkan atau menciptakan positioning produk yang akan diiklankan tersebut (Jefkins, 1994: 28-29). Sedangkan menurut jenisnya iklan dapat di katagorikan menjadi enam katagori pokok (Jefkins, 1994), yakni : 1. Iklan strategis Iklan strategis digunakan untuk membangun merek. Hal itu dilakukan dengan mengkomunikasikan nilai merek dan manfaat produk. Perhatian utama iklan strategis ini dalam jangka panjang adalah “memposisikan” merek serta membangun pangsa pikiran dan pangsa pasar. 2. Iklan taktis Iklan taktis memiliki tujuan yang lebih mendesak. Iklan ini dirancang untuk mendorong konsumen agar segera melakukan kontak dengan merek tertentu. Pada umumnya iklan taktis ini memberikan penawaran khusus jangka pendek yang memacu konsumen memberikan jawaban pada hari yang sama. 3. Iklan ritel Iklan ritel biasanya dilakukan oleh toko serba ada {toserba}, pasar swalayan yang memberikan banyak penawaran khusus dan mempunyai banyak persediaan barang dagang. 4. Iklan korporat Iklan korporat merupakan bentuk lain dari iklan strategis, ketika sebuah perusahaan melakukan kampanye untuk mengkomunikasikan nilai-nilai korporatnya kepada publik. Iklan korporat sering kali berbicara tentang nilai-nilai
warisan
perusahaan,
komitmen
perusahaan
terhadap
pengawasan mutu, peluncuran merek dagang atau logo perusahaan yang baru, atau mempublikasikan kepedulian perusahaan terhadap lingkungan hidup. 5. Iklan bisnis kepada bisnis (B TO B) Iklan ini memperkenalkan struktur dan layanan perusahaan yang baru, dapat menjadi alasan munculnya iklan bisnis kepada bisnis.
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6. Iklan layanan masyarakat Dalam iklan ini disajikan pesan-pesan sosial yang dimaksudkan untuk membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap sejumlah masalah yang harus mereka hadapi yaitu kondisi yang dapat mengancam keserasian dan kehidupan umum. Pada dasarnya tujuan dari kegiatan periklanan adalah mengubah atau mempengaruhi sikap-sikap khalayak agar membeli produknya. Inti dari segala kegiatan periklanan sendiri adalah melalui kreativitas yang di tuangkan dalam iklan, iklan berfungsi untuk menarik dan memenangkan perhatian khalayak, membangkitkan minat yang berlanjut pada sikap dan tindakan konsumen. Iklan yang akan disampaikan kepada khalayak diciptakan dengan baik sehingga pesan yang akan disampaikan dapat mudah dicerna dan dimengerti oleh masyarakat dan mengandung informasi yang benar. Tidak hanya sekedar memberikan informasi kepada khalayak, iklan juga harus mampu membujuk khalayak untuk tertarik dan membeli produk yang ditawarkan, sehingga mampu meningkatkan penjualan sekaligus meningkatkan keuntungan bagi produsen (pengiklan). Fungsi dan tujuan beriklan menjadi latar belakang pemilihan bentuk iklan. Berikut merupakan beberapa fungsi iklan (Shimp, 2003:357): a. Menginformasikan. Iklan memfasilitasi pengenalan merek-merek baru, untuk kemudian membuat konsumen sadar (aware) akan merek tersebut, dan meningkatkan puncak kesadaran dalam benak konsumen (Top of Mind) untuk merekmerek yang sudah ada dalam kategori produk sejenis yang sudah matang. b. Mempersuasi. Iklan yang efektif akan mampu mempersuasi (membujuk) pelanggan untuk mencoba produk barang dan jasa yang diiklankan. Persuasi berbentuk
mempengaruhi
permintaan
primer,
yakni
menciptakan
permintaan bagi keseluruhan kategori produk. Namun pada kenyataannya iklan lebih sering berupaya untuk membangun permintaan sekunder, yaitu permintaan bagi merek yang lebih spesifik.
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
c. Mengingatkan. Iklan menjaga agar merek perusahaan tetap segar dalam ingatan para konsumen. Selain itu, periklanan juga efektif untuk meningkatkan minat konsumen terhadap merek yang sudah ada dan pembelian sebuah merek yang mungkin tidak ada pilihannya. d. Menambah nilai. Periklanan memberi nilai tambah pada merek dengan mempengaruhi persepsi konsumen. Periklanan yang efektif menyebabkan merek dipandang sebagai lebih elegan, lebih bergaya, lebih bergengsi, dan bisa lebih unggul dari tawaran pesaing. e. Mendampingi. Pada saat-saat tertentu, peran utama periklanan adalah sebagai pendamping yang memfasilitasi upaya-upaya lain dari perusahaan dalam proses komunikasi pemasaran. Sebagai contoh, periklanan mungkin digunakan sebagai alat komunikasi untuk meluncurkan promosi-promosi penjualan seperti kupon-kupon dan undian serta upaya penarikan perhatian berbagai perangkat promosi penjualan tersebut. Berbeda dengan fungsi iklan di atas, Alo Liliweri dalam (Widyatama, 2005: 145-146) mengemukakan bahwa iklan mempunyai fungsi yang sangat luas, meliputi: a. Fungsi Pemasaran Dimaksudkan bahwa iklan digunakan untuk mempengaruhi khalayak untuk membeli dan mengkonsumsi produk. Hampir semua iklan komersial memiliki fungsi pemasaran. b. Fungsi Komunikasi Artinya iklan sebenarnya merupakan sebentuk pesan dari komunikator kepada khalayaknya. Sama halnya dengan kita berbicara kepada orang lain, maka iklan juga merupakan pesan yang menghubungkan antara komunikator dengan komunikan c. Fungsi Pendidikan
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Artinya, iklan merupakan alat yang dapat membantu mendidik khalayak mengenai sesuatu, agar mengetahui dan mampu melakukan sesuatu. d. Fungsi Ekonomi Dimaksudkan, iklan mampu menjadi penggerak ekonomi agar kegiatan ekonomi tetap dapat berjalan. Bahkan dengan iklan, ekonomi dapat berkembang dalam melakukan ekspansi. e. Fungsi Sosial Artinya, iklan ternyata telah mampu menghasilkan dampak sosial psikologis yang cukup besar. Iklan membawa berbagai pengaruh dalam masyarakat.
Iklan Televisi Iklan televisi merupakan aktivitas dalam dunia komunikasi, karena iklan juga menggunakan prinsip komunikasi massa. Komunikasi massa mutlak menggunakan media massa dalam proses penyampaiannya. Iklan televisi mempunyai dua segmen dasar, yaitu bagian visual yang dapat dilihat pada layar televisi dan audio, selain itu juga disusun dari kata-kata yang diucapkan, musik, dan suara. Keutamaan televisi yaitu bersifat dapat dilihat dan didengar, “Hidup” menggambarkan kenyataan dan langsung menyajikan peristiwa yang terjadi di tiap rumah pemirsanya (Effendy, 1993:314). Iklan televisi merupakan iklan yang ditempatkan pada media televisi dan telah menjadi komoditas dalam masyarakat sehari-hari. Pada umumnya, televisi diakui sebagai media iklan paling berpengaruh. Darwanto mengungkapkan bahwa kekuatan yang dimiliki oleh televisi sebagai alat dengan sistem yang besar mampu menciptakan daya rangsang yang sangat tinggi dalam mempengaruhi sikap, tingkah laku dan pola pikir khalayaknya, yang pada akhirnya menyebabkan banyaknya perubahan dalam masyarakat (Sumartono, 2002:11). Komponen dari sebuah iklan televisi adalah dimana iklan ini dibangun dari kekuatan
visualisasi
objek
dan
kekuatan
audio.
Simbol-simbol
yang
divisualisasikan lebih menonjol bila dibandingkan dengan simbol-simbol verbal.
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Ada beberapa kelebihan yang dimiliki televisi sebagai media iklan (Jefkins, 1997:110), diantaranya: a. Kesan realistik sifatnya yang visual, dan memiliki warna, suara dan gerakan, maka iklan televisi tampak begitu hidup dan nyata. b. Masyarakat lebih tanggap iklan televisi dapat disiarkan dan dilihat dimana saja, sehingga masyarakat lebih siap dalam memberikan tanggapan. c. Repetisi atau pengulangan iklan televisi dapat ditayangkan beberapa kali dalam sehari sampai dipandang cukup bermanfaat, dalam frekuensi yang cukup, sehingga pengaruh iklan itu dapat diterima oleh masyarakat. Selain itu, ada tiga hal yang menjadi kekuatan dalam televisi (Kasali, 1992:121-122), yaitu : a. Efisiensi Biaya Banyak pengiklan memandang televisi sebagai media paling efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komersialnya. Salah satu keunggulannya adalah kemampuan menjangkau khalayak sasaran yang sangat luas. Jutaan orang menonton televisi secara teratur, televisi juga dapat menjangkau khalayak sasaran yang tidak dapat dijangkau oleh media cetak. Jangkauan massal menimbulkan efisiensi biaya untuk menjangkau setiap kepala. b. Dampak Yang Kuat Keunggulan lainnya adalah kemampuannya menimbulkan dampak yang kuat terhadap konsumen, dengan tekanan pada sekaligus 2 (dua) indera, penglihatan dan pendengaran. Televisi juga mampu menciptakan kelenturan bagi pekerjapekerja kreatif dengan mengkombinasikan gerakan, kecantikan, suara, warna, drama, dan humor. c. Pengaruh Yang Kuat Televisi mempunyai kemampuan yang kuat untuk mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Kebanyakan masyarakat meluangkan waktu di depan televisi, karena televisi dijadikan sebagai sumber berita, hiburan, dan sarana pendidikan. Kebanyakan
calon
konsumen
lebih
“percaya”
pada
perusahaan
yang
mengiklankan produknya di televisi daripada di media lain. Inilah ciri bonafit periklanan, segmen pasar yang dapat dijangkau oleh media televisi sangat besar,
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sehingga secara tidak langsung menarik produsen untuk memanfaatkan media televisi. Selain beberapa kelebihan dari iklan televisi tersebut, ada pula kelemahan yang jika beriklan di televisi yang diungkapkan oleh Damardi Sugiarti (Durianto, 2003:35), yaitu: a. Biaya Tinggi. Biaya untuk menjangkau setiap orang memang relatif rendah, tapi biaya produksinya yang cukup tinggi. b. Masyarakat Tidak Selektif. Tayangan yang menjangkau banyak kalangan, sangat memungkinkan jika iklan menjangkau pasar yang bukan targetnya. c. Kesulitan Teknis. Pihak pengiklan seringkali menghadapi kesulitan teknis untuk mengubah jadwal maupun jam tayang.
2.2.5
Semiotika
Secara epistimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api (Wibowo, 2011:5). Di dalam bukunya, Kriyantono (2006:263) menyatakan semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya,
cara
berfungsinya,
hubungannya
dengan
tanda-tanda
lain,
pengirimannya dan penerimaanya oleh mereka yang menggunakannya. Menurut Premingger, ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu berupa tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturanaturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Secara terminologis, semiotik dapat disefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari sedertan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Van Zoest mengartikan semiotik sebagai ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kata
lain,
pengirimannya,
dan
penerimaannya
oleh
mereka
yang
mempergunakannya (Sobur, 2004:95). Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things) (Sobur, 2009:15). Analisis semiotik berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita) karena sistem tanda sifatnya amat kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial dimana pengguna tanda tersebut berada (Kriyantono, 2006:264). Semiotika berangkat dari ketiga elemen utama yang disebut Peirce teori segitiga makna. Charles Saunders Peirce yang dianggap sebagai pendiri semiotika modern mendefinisikan semiotika sebagai hubungan antara tanda (simbol), objek, dan makna. Yang pertama adalah tanda, yaitu sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk hal lain diluar tanda itu sendiri. Acuan tanda ini disebut objek. Kedua adalah acuan tanda (objek), yaitu konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda dan yang ketiga, yaitu penggunaan tanda dimana konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda (Kriyantono, 2006:265). Hubungan segitiga makna Pierce lazimnya tampak dalam gambar berikut ini: Gambar 1 : Elemen Makna Pierce Sign
Interpretant
Object
Sumber : John Fiske dalam Sobur.2004: 115.
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Menurut Pierce sign ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu kepada suatu yang lain, oleh Pierce disebut object. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan, tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melaui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda, artinya tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground yaitu pengetahuan tentang system tanda dalam suatu masyarakat. Bagi Pierce, tanda “is something whichstands to somebody for something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground baginya menjadi qualisgn, sinsign dan lesign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksitensi aktual atau benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Lesign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan halhal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia (Sobur, 2004:41). Tokoh lain yang juga memiliki pengaruh yang cukup penting dalam sejarah perkembangan semiotik adalah Ferdinand De Saussure. Pemikiran Saussure yang paling penting dalam konteks semiotik adalah pandangannya mengenai tanda. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi atau coretan yang bermakna, yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pemikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 2. Elemen-Elemen Makna dari Saussure Sign
Composed of
Signification Signifier (physical existence of the sign)
plus
Signified (mental concept)
external reality of meaning
Sumber : Alex Sobur.2004: 125 Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut referent. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai objek sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas. Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut adalah produk kultural. Hubungan di antara keduanya bersifat manasuka dan hanya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut. Hubungan antara signifier dan signified tidak bisa dijelaskan dengan nalar apa pun, baik pilihan bunyi-bunyinya maupun pilihan untuk mengaitkan rangkaian bunyi tersebut dengan benda atau konsep yang dimaksud. Karena hubungan yang terjadi antara signifier dan signified bersifat arbitrer, maka makna signified harus dipelajari, yang berarti ada struktur yang pasti atau kode yang membantu menafsirkan makna. Hubungan antara signifier dan signified ini dibagi tiga, yaitu : 1.
Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya, misalnya foto atau peta.
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.
3.
Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan yang ditandai, misalnya asap adalah indeks dari api. Simbol adalah sebuah tanda di mana hubungan antara signifier dan signified semata-mata adalah masalah konvensi, kesepakatan atau peraturan (Sobur, 2004: 126).
Dalam pandangan Saussure, makna sebuah tanda sangat dipengaruhi oleh tanda yang lain. Semiotik berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak ke luar kaidah tata bahasa dan sistaksis dan yang mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi, dan bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada makna tambahan (konotatif) dan arti penunjukan (denotatif), kaitan dan kesan yang ditimbulkan dan diungkapkan melalui penggunaan dan kombinasi tanda. Pelaksanaan hal itu dilakukan dengan mengakui adanya mitos, yang telah ada dan sekumpulan gagasan yang bernilai yang berasal dari kebudayaan dan disampaikan melalui komunikasi. 2.2.6
Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang gencar mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama. Roland Barthes adalah tokoh strukturalis terkemuka dan juga termasuk ke dalam salah satu tokoh pengembang utama konsep semiologi dari Saussure. Bertolak dari prinsip-prinsip Saussure, Barthes menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk menjelaskan gejala budaya, seperti sistem busana, menu makan, arsitektur, lukisan, film, iklan, dan karya sastra. Ia memandang semua itu sebagai suatu bahasa yang memiliki sistem relasi dan oposisi. Beberapa kreasi Barthes yang merupakan warisannya untuk dunia intelektual adalah konsep konotasi yang merupakan kunci semiotik dalam menganalisis budaya, dan konsep mitos yang merupakan hasil penerapan konotasi dalam berbagai bidang dalam kehidupan sehari-hari (Sobur, 2004:46). Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified (makna denotasi). Pada tatanan ini
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam tanda, dan antara tanda dan dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini mengacu pada makna sebenarnya (riil) dari penanda (objek). Dan sinifikasi tahap kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi). Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda (konotasi, mitos, dan simbol) dalam tatanan pertanda kedua (signifikasi tahap kedua). Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Ini merupakan sebuah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang terhenti pada panandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2004:69). Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama seperti yang digambarkan dalam peta tentang bagaimana tanda bekerja dibawah ini: Gambar 3 Peta Rholand Barthes
1.
Signfier
2.
(Penanda)
Signified (Petanda)
3.
Denotative sign (Tanda Denotatif)
4.
CONNOTATIVE SIGNIFIER
5.CONNOTATIVE
(PENANDA KONOTATIF)
SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)
5.
CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Sumber : Sobur. 2004: 69
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dari peta Ronald Barthes terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Penanda merupakan tanda yang kita persepsi (objek fisik) yang dapat ditunjukkan dengan foto yang sedang diteliti. Pada saat yang bersamaan makna denotatif yang didapatkan dari penanda dan petanda adalah juga penanda konotatif (4) yaitu makna tersirat yang memunculkan nilai-nilai dari penanda (1) dan petanda (2). Sementara itu petanda konotatif (5) menurut Barthes adalah mitos atau operasi ideologi yang berada di balik sebuah penanda (1). Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda (konotasi, mitos, dan simbol) dalam tatanan pertanda kedua (signifikasi tahap kedua). Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama (4) dalam peta Ronald Barthes. Pada signifikasi tahap kedua, menganalisis tanda konotasi, yaitu makna tersirat yang ada pada gambar yang digunakan untuk membongkar mitos. Analisis konotasi ini bekerja dalam tingkat subjektif. Semiologi Roland Barthes menekankan pada peran pembaca (reader), peran di sini berarti walaupun sebuah tanda telah memiliki makna denotasi ataupun konotasi, tetapi tetap saja dibutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Dalam semiologi Roland Barthes, kode-kode komunikasi yang terdapat pada teks nantinya akan dicari makna riil-nya (denotasi), kemudian hubungan antara satu tanda dengan tanda lainnya akan dicari makna tersirat didalamnya (konotasi). Dalam setiap esainya, Barthes membahas fenomena yang sering luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat. Beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland Barthes adalah : 1. Penanda dan Petanda Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Menurut Bertens, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Singkat kata, petanda merupakan aspek mental dari bahasa (Sobur, 2004:46). 2. Denotasi dan Konotasi Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata
yang secara bebas memgang peranan penting di dalam ujaran.
Denotasi bersifat langsung, dapat dikatakan sebagai makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Sedangkan menurut Kridalaksana, denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif (Sobur, 2004: 263). Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap; sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan. Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah polisemi; sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang subjektif. Sedangkan konotasi adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yng timbul atau ditimbulkan pada pembicara dan pendengar. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Secara umum (bukan bahasa), konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi emotif misalnya halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan sebagainya. (Sobur, 2004: 263). 3.
Paradigmatik dan Sintagmatik Paradigmatik (paradigms) merupakan sebuah istilah teknis untuk
menggambarkan bahwa sebuah tanda itu bermakna dalam hubungannya dengan tanda lainnya (Danesi, 2010:46). Ia terdiri dari satu perangkat tanda (contoh: perbendaharaan kata), dan hanya satu unit dari perangkat itu yang dapat dipilih untuk memaknai sebuah tanda. Contoh dari penerapan paradigmatik adalah dalam
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
satu sistem fashion. Di atas kepala seseorang tidak mungkin, atau jarang sekali, orang mengenakan topi sekaligus helm dan caping. Pemilihan penggunaan topi atau caping adalah satu pilihan paradigmatik. Pemilihan satu item atas item lain dalam satu kerangka yang sama adalah pilihan paradigmatik. Analisis sintagmatik menampakkan bahwa susunan suatu tanda adalah pilihan yang ada untuk merangkai tanda menjadi makna. Sintagmatik melihat tanda sebagai suatu rangkaian kejadian-kejadian yang berurutan. Pendekatan sintagmatik ini adalah hubungan sebab-akibat (kausalitas) dari suatu tanda atau teks. Adapun susunan pakaian dari ujung rambut ke ujung kaki seseorang adalah satu susunan sintagmatik. Dengan pemahaman atas pendekatan ini maka kita bisa menelaah alur cerita, logika penceritaan, sampai mencoba menduga apa yang akan terjadi berikutnya. Makna yang dihasilkan dari relasi sintagmatik ini disebut makna yang manifes. Disebut manifes (kelihatan) karena tanda hadir di sana (Birowo, 2004: 52). 4. Mitos Mitos dapat didefinisikan sebagai narasi yang di dalamnya karakterkarakternya adalah para dewa, pahlawan, dan makhluk-makhluk mitis, dengan plotnya adalah tentang asal-usul segala sesuatu atau tentang peristiwa metafisis yang berlangsung di dalam kehidupan manusia, dan di sini setting yang diambil adalah penggabungan dunia metafisis dengan dunia nyata (Danesi, 2010: 56). Mitos sering dianggap sebagai sebuah cerita yang aneh dan sering diisi dengan cerita yang tak masuk akal. Mitos terkadang digunakan manusia untuk mencari jawaban-jawaban atas pertanyaannya terhadap alam semesta. Pada umumnya mitos adalah suatu sikap lari dari kenyataan
dan mencari
“perlindungan dalam dunia khayal”. Sedangkan menurut Barthes, mitos merupakan
cara
berpikir
kebudayaan
tentang
suatu,
sebuah
cara
mengkonseptualisasikan atau memahami sebuah hal (Sobur, 2004: 224). Selain itu, mitos juga sering diiringi oleh ritual-ritual tertentu. Hal ini biasanya menyangkut dengan mitos yang ada dalam sebuah agama tertentu. Dan ritual ini digunakan oleh pemuka-pemuka agama dengan tujuan untuk menghindarkan
bahaya
atau
mendatangkan
keselamatan.
Seperti
yang
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
diungkapkan oleh van Peursen bahwa mitos data dikatakan sebagai “sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang” (Sobur, 2004: 225). Bagi Barthes, mitos adalah sistem semiologis urutan kedua atau metabahasa. Mitos adalah bahasa yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama. Tanda pada sistem pertama (penanda dan petanda) yang membangun makna denotatif menjadi penanda pada urutan kedua makna mitologis konotatif (Barker, 2004: 72). Semiotika Barthes tersusun atas tingkatan-tingkatan sistem bahasa. Umumnya Barthes membuatnya dalam dua tingkatan bahasa. Bahasa tingkat pertama adalah bahasa sebagai obyek dan bahasa tingkat kedua yang disebut dengan metabahasa. Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang memuat signifier (penanda) dan signified (petanda). Sistem tanda kedua terbangun dan menjadi penanda dan penanda tingkat pertama berubah menjadi petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu sistem tanda baru dalam taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama kadang disebut sebagai denotasi atau sistem termilogi, sedangkan sistem tanda kedua disebut sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Biasanya beberapa tanda denotasi dapat dikelompokkan bersama untuk membentuk suatu konotasi tunggal; sedangkan petanda konotasi berciri sekaligus umum, global, dan tersebar. Petanda ini dapat pula disebut fragmen ideologi. Petanda ini memiliki komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan, dan sejarah. Dan dapat dikatakan bahwa ideologi adalah bentuk petanda konotasi dan “retorika” adalah bentuk konotasi (Barthes dalam Ishak & Mochsen, 2005: 86). Konotasi dan metabahasa adalah cerminan yang berlawanan satu sama lainnya. Metabahasa adalah operasi-operasi yang membentuk mayoritas bahasa-bahasa ilmiah sebagai petanda, diluar kesatuan petanda-petanda yang asli, dapat dikatakan berada diluar sebuah alam deskriptif. Sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang utama bersifat sosial dalam hal untuk memberikan pesan-pesan literal dan memberikan dukungan bagi makna.
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Penyatuan konotasi dan metabahasa akan memberikan peluang untuk menghadirkan sebuah sistem atau petanda ketiga yang secara alami dilengkapi oleh sebuah kode ekstra-linguistik yang substansinya adalah obyek atau imaji. Kode sebagai sistem makna yang ketiga (makna luar) yang lengkap sebagai acuan dari setiap tanda yang terdiri dari lima jenis kode (Barthes dalam Ishak & Mochsen, 2005: 86) Lima kode yang ditinjau Barthes yaitu (Sobur, 2004: 65-66) : 1. Kode Hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks, kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita. 2. Kode Proaretik, atau kode tindakan/lakuan dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, yang artinya antara lain semua teks bersifat naratif. Barthes
melihat semua lakuan dapat
dikodifikasi. Pada praktiknya ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. 3. Kode Simbolik, merupakan aspek pengodean yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes pascastruktural. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. 4. Kode Kultural (Kode Gnomik), kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan sudah dikodifikasi oleh budaya. Menururt Barthes, realisme tradisional didefenisi oleh acuan kepada apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu. 5. Kode Semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi, dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bahwa
konotasi
kata
atau
frase
tertentu
dalam teks
dapat
dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita.
2.2.7
Semiotika Komunikasi Visual
Pada mula iklan dikenal masyarakat, iklan masih berbentuk relief, iklan koran atau iklan papan nama. Hal ini disebabkan karena media informasi saat itu sangat terbatas, sebagai akibat keterbatasan masyarakat. Demikian pula perkembangan iklan mengikuti perkembangan media massa pada saat itu. Karenanya iklan pertama berupa relief, kemudian menjadi iklan koran dan papan nama, kemudian berkembang menjadi iklan radio dan saat ini iklan ditayangkan ditelevisi, internet atau komputer di samping iklan-iklan luar yang muncul dan bertebaran di mana-mana dengan berbagai bentuk. Sebagai sistem pertandaan, iklan sekaligus menjadi sebuah bangunan representasi. Iklan tidak semata-mata merefleksikan realitas tentang manfaat produk yang ditawarkan, namun seringkali menjadi representasi gagasan yang terpendam di balik penciptanya. Prinsip semiotika iklan adalah bahwa iklan melibatkan tanda dan kode. Setiap bagian iklan menjadi tanda, yang secara mendasar berarti sesuatu yang memproduksi makna. Dalam iklan kode-kode yang secara jelas dapat dibaca adalah bahasa berupa narasi atau unsur tekstual, audio dan audiovisual. Ketiganya masih dapat dipecah lagi ke dalam anasir-anasir yang lebih kecil dan lebih subtitle. Iklan juga merupakan konstruksi realitas dalam media. Giacardi berpendapat bahwa iklan adalah acuan, artinya iklan adalah diskursus
tentang
realitas
yang
menggambarkan,
memproyeksikan
dan
menstimulasi suatu dunia mimpi yang hiperealistik. Menurutnya iklan berusaha menciptakan suatu realitas namun realitas iklan sendiri selalu berbeda dari realitas nyata
yang
ada
di
masyarakat.
Suharko
mengatakan
iklan
berusaha
merepresentasikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat melalui simbolsimbol tertentu, sehingga mampu menimbulkan impresi dalam benak konsumen
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bahwa citra produk yang ditampilkan adalah juga bagian dari kesadaran budayanya (Wibowo, 2011: 128). Konstruksi iklan atas realitas sosial terjadi melalui lima tahap. Yaitu (1) tahap menyiapkan materi konstruksi iklan, (2) tahap sebaran konstruksi, (3) tahap pembentukan konstruksi, (4) tahap konfirmasi dan (5) tahap perilaku keputusan konsumen. Dari tahapan konstruksi ini yang menjadi penekanan dalam studi semiotika adalah pada tahap ketiga, yaitu pada saat terjadi pembentukan konstruksi. Pada tahap ini tanda dibentuk dan dikonstruksi serta disampaikan pada khalayak melalui media yang terpilih. Tanda-tanda yang dikonstruksi tersebut merupakan suatu sistem tanda yang dalam semiotika dipakai sebagai kajian utama. Dalam hal ini akan dicari gambaran seperti apa tanda sebagai sebuah sistem dalam realitas simbolik berupa teks iklan sehingga terjawab bagaimana sistem representasi yang terdapat dalam konstruksi iklan tersebut (Wibowo, 2011: 129). Saat ini telah banyak produksi-produksi iklan yang menerapkan konsep semiotika. Iklan televisi seringkali dijadikan obyek analisis dengan perangkat semiotika. Iklan acapkali tidak terkait dengan sekadar tawaran produk belaka, melainkan juga seperangkat nilai ideologis, sehingga semiotika dapat dipakai sebagai pisau analisis. Hampir semua produk yang ditawarkan dalam iklan televisi menerapkan semiotika, seperti iklan rokok, iklan rumah tangga, hingga iklan kosmetik. Iklan-iklan tersebut banyak menggambarkan citra yang menjadi realitas dalam iklan tersebut. Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik tanda verbal yang mencakup bahasa yang kita kenal maupun tanda non verbal yaitu bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televisi, dan film (Sobur, 2004: 116). Semiotika komunikasi visual diperlukan untuk mengkaji tanda verbal (judul, subjudul, dan teks) dan tanda visual ilustrasi, logo, tipografi dan tata visual). Diharapkan pisau analisis semiotika visual mampu menjadi salah satu
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pendekatan untuk memperoleh makna yang terkandung dibalik tanda verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual (Tinarbuko, 2010: 9). Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi) huruf dan tipografi, warna, komposisi, dan lay-out. Semua itu dilakuakan guna menyampaikan pesan secara visual, audio, dan/atau audio visual kepada target sasaran yang dituju. Tipografi dalam konteks komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf, besar huruf, cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat yang sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan (Tinarbuko, 2010: 25). Membedah iklan sebagai objek semiotika mengedepankan perlakuan terhadap keseluruhan tanda-tanda di dalamnya seperti layaknya teks tertulis. John Fiske mengajukan tiga level kode yang dapat dimaknai dalam menggali maknamakna tersembunyi dalam iklan televisi. Level pertama adalah “realitas”, meliputi tampilan visual semacam penampilan, pakaian, make up, perilaku, pembicaraan, gesture, ekspresi, suara dan lain-lain. Level yang bersifat permukaan ini merupakan level kode yang bersifat teknis. Level kedua adalah “representasi” dimana penggunaan kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara. Anasir-anasir tersebut dapat merepresentasikan makna tentang situasi yang dibangun seperti konflik, karakter, setting dan sebagainya. Level ketiga adalah “ideologi”. Sebagai level terdalam, level ini merepresentasikan sejauh mana ideologi yang dibangun dalam sebuah tayangan iklan (Hermawan, 2011: 248). Kajian sistem tanda dalam iklan mencakup objek. Objek iklan adalah hal yang diiklankan. Dalam iklan produk atau jasa, produk atau jasa itulah objeknya. Yang penting dalam menelaah iklan adalah penafsiran kelompok sasaran dalam proses interpretan. Dalam mengkaji iklan, ada berbagai elemen desain grafis yang dipakai guna menyampaikan pesan secara visual, audio dan/atau audio visual kepada target sasaran yang dituju. Elemen desain grafis tersebut yaitu: a. Huruf dan Tipografi
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tipografi merupakan seni menata huruf di mana dalam hal ini huruf merupakan salah satu elemen yang digunakan dalam menyampaikan pesan komunikasi secara verbal dan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, ataupun masyarakat luas yang menjadi tujuan akhir pesan tersebut. Huruf yang ditampilkan dalam iklan, memberikan sebuah kesan tertentu yang semakin menegaskan maksud iklan tersebut. Keberadaan tipografi dalam rancangan karya desain komunikasi visual sangat penting, sebab pemakaian tipografi yang tepat diyakini mampu menguatkan isi pesan verbal desain komunikasi visual tersebut. Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan atau terget sasaran. Tipografi dalam hal ini adalah seni memilih dan menata huruf untuk pelbagai kepentingan menyampaikan informasi berbentuk pesan sosial ataupun komersial. Dewasa ini, perkembangan tipografi banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital. Huruf yang telah disusun secara tipografis merupakan elemen dasar dalam membentuk sebuah tampilan desain komunikasi visual. Hal ini diyakini dapat memberikan inspirasi untuk membuat suatu komposisi yang menarik. sedangkan bentuk-bentuk tipografi itu sendiri dapat dipergunakan secara terpisah atau dapat pula dikomposisikan dengan materi lain seperti ilustrasi hand drawing ataupun image. Dalam perkembanganya, ada lebih dari seribu macam huruf Romawi atau Latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf tersebut sejatinya merupakan hasil perkawinan silang lima jenis huruf berikut ini : 1) Huruf Romein. Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebaltipis dan mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya. 2) Huruf egyptian. Garis hurufnya memiliki ukuran yang sama tebal pada setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus atau kaku. 3) Huruf Sans Serif. Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau kait. 4) Huruf miscellaneous. Jenis huruf ini lebih mementingkan nilai hiasnya daripada nilai komunikasinya. Bentuknya senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental.
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5) Huruf Script. Jenis huruf ini menyerupai tulisan tangan dan bersifat spontan. Sementara itu, Danton Sihombing mengelompokkan keluarga huruf berdasarkan latar belakang sejarahnya (Tinarbuko, 2010: 26): 1) Old Style, jenis huruf ini meliputi : Bembo, Caslon, Galliard, Garamond. 2) Transitional, jenis huruf ini meliputi : baskerville, Perpetua, Times New Roman. 3) Modern, jenis huruf ini meliputi : Bodoni 4) Egyptian atau Slab Serif, jenis huruf ini meliputi : Bookman, Serifa. 5) Sans Serif, jenis huruf ini meliputi : Franklin Gothic, Futura, Gill Sans, Optima. Seorang desainer komunikasi visual harus menjadikan rangkaian huruf (kata atau kalimat) tidak sekedar bisa dibaca dan dimengerti maknanya, tetapi lebih dari itu, seorang desainer komunikasi visual harus piawai menampilkan tipografi yang enak dipandang mata dan lebih melancarkan pembaca dalam memahami media komunikasi visual. Dengan demikian, keberadaan tipografi dalam rancangan karya desain komunikasi visual sangat penting. Sebab, perencanaan dan pemilihan tipografi yang tepat, baik ukuran, warna, maupun bentuk, diyakini mampu menguatkan isi pesan verbal desain komunikasi visual. Selain itu, keluarga huruf terdiri dari kembangan yang berakar dari struktur bentuk dasar (regular) sebuah alfabet dan setiap perubahan huruf masih memiliki kesinambungan bentuk. Perbedaan tampilan yang pokok dalam keluarga huruf dibagi menjadi tiga bentuk pengembangan: (1) kelompok berat terdiri atas light, regular, dan bold. (2) Kelompok proporsi condesed, regular, dan extended. (3) kelompok kemiringan yaitu italic. Ketiga, spasi antarhuruf, kata, maupun jarak antar baris kalimat. Keempat, faktor-faktor subjektif seperti jarak baca maupun kualitas penerangan ketika membaca. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka ketika desainer komunikasi visual mahir mengusai tipografi yang dipergunakan untuk menyampaikan informasi yang bersifat sosial ataupun komersial, maka sejatinya sang desainer tersebut mampu memposisikan dirinya sebagai kurir komunikasi (visual) yang
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bertanggung jawab kepada masyarakat luas yang dijadikan target (Tinarbuko, 2010: 27).
b. Komposisi Warna Warna merupakan salah satu komposisi yang memegang peranan penting dalam visualisasi sebuah iklan. Warna dapat memperkuat dan mempertegas kesan pada iklan tersebut. Barker dalam Mulyana mendeskripsikan karakter warna, sebagaimana dijelaskan berikut ini: a) Merah Warna merah melambangkan kesan energi, kekuatan, hasrat, erotisme, keberanian, simbol dari api, pencapaian tujuan, darah, resiko, ketenaran, cinta, perjuangan, perhatian, perang, bahaya, kecepatan, panas, kekerasan. Warna ini dapat menyampaikan kecenderungan untuk menampilkan gambar dan teks secara lebih besar dan dekat. Warna merah dapat mengganggu apabila digunakan pada ukuran yang besar. Warna merah cocok untuk tema yang menunjukkan keberanian seseorang, energi, misalnya mobil, kendaraan bermotor, olahraga dan permainan. b) Putih Warna putih menunjukkan kedamaian, permohonan maaf, pencapaian diri, spiritualitas, kedewaan, keperawanan atau kesucian, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan, cahaya, tak bersalah, keamanan, persatuan. Warna putih sangat bagus untuk menampilkan atau menekankan warna lain serta memberi kesan kesederhanaan dan kebersihan. c) Hitam Warna hitam melambangkan perlindungan, pengusiran, sesuatu yang negatif, mengikat, kekuatan, formalitas, misteri, kekayaan, ketakutan, kejahatan,
ketidak-bahagiaan,
perasaan
yang
dalam,
kesedihan,
kemarahan, sesuatu yang melanggar (underground), modern music, harga diri, anti kemapanan. Sangat tepat untuk menambahkan kesan misteri. Latar belakang warna hitam dapat menampilkan perspektif dan
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kedalaman. Sangat bagus untuk menampilkan karya seni atau fotografi karena membantu penekanan pada warna-warna lain. d) Biru Warna biru memberikan kesan komunikasi, peruntungan yang baik, kebijakan, perlindungan, inspirasi spiritual, tenang, kelembutan, dinamis, air, laut, kreatifitas, cinta, kedamaian, kepercayaan, loyalitas, kepandaian, panutan, kekuatan dari alam, kesedihan, kestabilan, kepercayaan diri, kesadaran, pesan, ide, berbagi, idealisme, persahabatan, harmoni dan kasih sayang. Warna ini memberi kesan tenang dan menekankan keinginan. Biru tidak meminta mata untuk memperhatikan. Obyek dan gambar biru pada dasarnya dapat menciptakan perasaan yang dingin dan tenang. Warna biru juga dapat menampilkan kekuatan teknologi, kebersihan, udara, air dan kedalaman laut. Selain itu, jika digabungkan dengan warna merah dan kuning dapat memberikan kesan kepercayaan dan kesehatan. e) Hijau Warna hijau menunjukkan warna bumi, penyembuhan fisik, kelimpahan, keajaiban, tanaman dan pohon, kesuburan, pertumbuhan, muda, kesuksesan
materi,
pembaharuan,
daya
tahan,
keseimbangan,
ketergantungan dan persahabatan. Dapat digunakan untuk relaksasi, menetralisir mata, memenangkan pikiran, dan merangsang kreatifitas. f) Kuning Warna kuning merujuk pada matahari, ingatan, imajinasi logis, energi sosial, kerjasama, kebahagiaan, kegembiraan, kehangatan, loyalitas, tekanan mental, persepsi, pemahaman, kebijaksanaan, penghianatan, kecemburuan, penipuan, kelemahan, penakut, aksi, idealisme, optimisme, imajinasi, harapan, musim panas, filosofi, ketidak-pastian, resah dan curiga. Warna kuning merangsang aktivitas mental dan menarik perhatian, Sangat efektif digunakan pada blogsite yang menekankan pada perasaan bahagia dan kekanakan. g) Merah muda
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Warna merah muda menunjukkan simbol kasih sayang dan cinta, persahabatan, feminin, kepercayaan, niat baik, pengobatan emosi, damai, perasaan yang halus, perasaan yang manis dan indah. h) Ungu Warna ungu menunjukkan pengaruh, pandangan ketiga, kekuatan spiritual,
pengetahuan
yang
tersembunyi,
aspirasi
yang
tinggi,
kebangsawanan, upacara, misteri, pencerahan, telepati, empati, arogan, intuisi, kepercayaan yang dalam, ambisi, magic atau keajaiban, harga diri. i) Oranye Warna oranye menunjukkan kehangatan, antusiasme, persahabatan, pencapaian bisnis, karier, kesuksesan, kesehatan pikiran, keadilan, daya tahan, kegembiraan, gerak cepat, sesuatu yang tumbuh, ketertarikan, independensi. Disamping itu warna oranye memberi kesan yang kuat pada elemen yang dianggap penting. j) Coklat Warna coklat menunjukkan persahabatan, kejadian yang khusus, bumi, pemikiran yang materialis, reliabilitas, kedamaian, produktivitas, praktis, kerja keras. Warna coklat sangat tidak menarik apabila digunakan tanpa tambahan gambar dan ornamen tertentu, coklat harus didukung ornament lain agar menarik. k) Abu-abu Warna abu-abu mencerminkan keamanan, kepandaian, tenang dan serius, kesederhanaan, kedewasaaan, konservatif, praktis, kesedihan, bosan, profesional, kualitas, diam, dan tenang. l) Emas Warna emas mencerminkan prestise (kedudukan), kesehatan, keamanan, kegembiraan, kebijakan, arti, tujuan, pencarian kedalam hati, kekuatan mistis, ilmu pengetahuan, perasaan kagum, dan konsentrasi.
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
c. Teknik Pengambilan Gambar Gambar merupakan hal yang penting dalam pembuatan iklan. Teknik pengambilan suatu gambar akan memberikan suatu kesan tersendiri dan dapat menginformasikan kepada para penerima pesan mengenai aspek yang ingin disampaikan melalui iklan tersebut. Berikut merupakan tabel yang memaparkan teknik dalam pengambilan gambar: Tabel 1 Teknik Pengambilan Gambar PENANDA (SIGNIFIER) MENANDAKAN (SIGNIFIED) PENGAMBILAN GAMBAR Extreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan Full Shot Hubungan sosial Big Close Up Emosi, dramatik, moment penting Close Up Intim atau dekat Medium Shot Hubungan personal dengan subjek Long Shot Konteks Perbedaan dengan publik SUDUT PANDANG (Angle) Pengambilan Gambar: High Dominasi, Kekuasaan dan otoritas Eye-Level Kesejajaran, keamanan dan sederajat Low Didominasi, dikuasai dan kurang otoritas TIPE LENSA Wide Angle Dramatis Normal Normalitas dan keseharian Telephoto Tidak personal, Voyeuristik FOKUS Selective Focus Meminta perhatian (tertuju pada satu objek) Soft Focus Romantis serta nostalgia Deep Focus Semua unsur adalah penting (melihat secara keseluruhan objek) PENCAHAYAAN High Key Riang dan Cerah Low Key Suram dan Muram High Contrast Dramatikal dan teartikal Low Contrast Realistik serta terkesan seperti dokumenter PEWARNAAN Warm (kuning,orange, merah dan abu- Optimisme, harapan, hasrat dan agitasi abu) Cool (biru dan hijau) Pesimisme, tidak ada harapan Black and White (hitam dan Putih) Realisme,aktualisme, dan faktual
Sumber: Selby, Keith, dan Codery, Ron.1995
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pengambilan gambar merupakan suatu elemen penting yang akan menentukan bagaimana akhirnya gambar dihasilkan. Teknik pengambilan gambar terdiri atas: 1. Teknik pengambilan gambar secara extreme long shot dapat menggambarkan wilayah yang luas yang diambil dari jarak yang sangat jauh. 2. Teknik pengambilan gambar secara long shot membuat subjek hanya sebagai bagian kecil saja dari objek yang ditampilkan dalam gambar. Penonjolan dari subjek atau orang tersebut tidak ada apabila gambar diambil secara long shot kecuali jika ada sebuah kejadian atau peristiwa yang nampak dari gambar tersebut. 3. Teknik pengambilan gambar secara medium shot, bentuk objek yang ditampilkan sama ukurannya dengan objek yang menjadi latar. Kesan yang nampak dari gambar seperti ini adalah kesan personal. 4. Teknik pengambilan gambar secara close up, ukuran subjek lebih besar dari latar objek. Kesan yang muncul dalam gambar seperti ini adalah kesan intim dan dekat dengan subjek. 5. Teknik pengambilan gambar secara big close up, subjek bukan hanya ditampilkan dalam ukuran besar tetapi juga detail ditonjolkan dalam gambar. Selain teknik pengambilan gambar, bagian penting dalam memaknai suatu gambar adalah sudut pandang pengambilan gambar (angle). Sudut pengambilan gambar bukan hanya persoalan teknis tetapi teknik ini akan member makna pada gambar dan menghadirkan penafsiran berbeda dari khalayak yang melihatnya. Sudut pengambilan gambar (angle) dibagi menjadi: 1. High angle shot, memosisikan khalayak atau orang berada di atas subjek. Posisi semacam ini secara tidak langsung memosisikan orang yang ada di atas levih powerfull (berkuasa) dan lebih mempunyai otoritas. 2. Low angle shot, membuat subjek lebih besar dan memosisikan subjek yang ditampilkan dalam gambar mempunyai posisi lebih tinggi dari mata memandang. Kesan yang muncul dalam angel seperti ini subjeklah yang
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
lebih terkesan powerfull, lebih otoratif dibandingkan dengan posisi khalayak. 3. Eye level shot, memosisikan subjek dan pemandang sama. Kesan yang muncul baik dari segi subjek maupun pemandang mempunyai tingkat yang sejajar dan setara.
2.2.8
Maskulinitas
Berbicara rmengenai maskulinitas tentu saja tak bisa lepas dari pembicaraan mengenai gender. Secara umum, gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin dianggap sebagai konstruksi biologis yang dibawa setiap individu sesuai dengan kodratnya sejak lahir di muka bumi ini. Konstruksi ini pada dasarnya tidak pernah berubah. Sedangkan gender adalah kontruksi sosial dan budaya. Konstruksi ini dibentuk melalui proses panjang dalam kehidupan berbudaya, dari waktu ke waktu, oleh karena itu gender bersifat dinamis (Kurnia, 2004:18). Ivan Hill melalui Budiman (1999:104) mengatakan gender adalah sebuah distingsi perilaku dalam budaya vernacular (budaya yang menjadi ciri daerah tertentu). Konsep gender ini membedakan waktu, tempat peralatan, tugas, gerakgerik, bentuk tuturan dan bermacam persepsi yang dikaitkan pada laki-laki atau perempuan. Perbedaan gender di antara kedua jenis kelamin tersebut akan menjadi lebih lebar ketika masyarakat pun mempertahankan perbedaan, yang sifatnya bukan bawaan sejak lahir. Lebih dari itu, perbedaan itu justru dipertahankan secara kultural. Perbedaan yang bukan bawaan individual ini tidak lain adalah budaya patriarki. Perbedaan maskulin dan feminin pun menggiring anggapan umum bahwa karakteristik maskulin lekat dengan laki-laki, dan karakter ini dikaitkan dengan tiga sifat khusus yaitu kuat, keras, beraroma keringat. Secara sederhana laki-laki dilabeli sifat 'macho'. Sementara itu, karakteristik perempuan diidentikkan dengan sifat yang lemah, lembut dan beraroma wangi yang sekaligus dikaitkan dengan sifat seorang 'putri'. Maskulinitas merupakan suatu konsep yang hadir sebagai konstruksi sosial. Davies mengatakan maskulinitas dan feminitas bukan milik pribadi tapi
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
merupakan properti struktural dari masyarakat kita. Dua konsep tersebut dikondisikan dan timbul dari interaksi sosial. Pendapat Davies pada intinya bahwa konsep maskulinitas dibentuk atau dengan sengaja dikonstruksi, yaitu melalui berbagai bentuk interaksi yang melibatkan berbagai nilai yang berkembang di masyarakat (Wibowo, 2011:132). Aturan-aturan gender menurut Nickie Charles dipelajari melalui proses sosialisasi ketimbang dibedakan secara biologis. Menurutnya: “Aturan gender dikonstruksi dalam suatu istilah yang berbeda sama sekali dalam suatu dikotomi kategori. Dimana laki-laki dibedakan secara ekslusif dengan keberadaan wanita. Pria digambarkan dengan rasionalitas, aktif, kompetitif, dan agresif sedangkan perempuan digambarkan “seharusnya” irasional, emosional, pasif, kooperatif, dan damai.” Masyarakat pada dasarnya melakukan konstruksi realitas terhadap maskulinitas sebagai salah satu konsep yang terkait erat dengan keberadaan dikotomi gender tersebut (Wibowo, 2011: 132). Terdapat dua pandangan yang berseberangan mengenai pembentukan sifat maskulin dan feminin. Menurut pandangan kelompok pertama, perbedaan feminitas dan maskulitas berkaitan dengan perbedaan biologis atau seks antara laki-laki dan perempuan. Pemikiran ini terdapat dalam mazhab esensial biologis, perbedaan laki-laki dan perempuan serta perbedaan maskulinitas dan feminitas bersifat alamiah. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan kedua, yang meyakini perbedaan maskulinitas dan feminitas tak ada hubungannya dengan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Kelompok ini disebut sebagai penganut mazhab orientasi budaya, dan pandangannya banyak dianut kaum feminis. Bagi kaum ini maskulinitas dan feminitas bukan bersifat natural (alamiah) melainkan bersifat nurtured (terbina) melalui proses sosialiasi yang dikonstruksi budaya (Kurnia, 2004:21). Wacana gender jelas berada dalam lingkup kelompok yang kedua. Sungguhpun demikian perbedaan antara kedua pandangan tadi sama-sama melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender ini melekat dalam kemunculan stereotype, yakni pelabelan atau penandaan terhadap kelompok tertentu. Penandaan maskulinitas dilakukan terhadp laki-laki sedangkan
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
penandaan feminitas dilakukan terhadap perempuan, dan bersamaan dengan penandaan itu, maskulinitas dikonstruksikan posisinya lebih dominan dari pada posisi feminitas. Kemenangan laki-laki ini bisa dirujuk dalam konsep budaya patriarkhi sendiri. Budaya patriarkhi merupakan sistem sosial yang mendukung dan membenarkan dominasi laki-laki, memunculkan pemusatan pada laki-laki, pemberian hak-hak istimewa pada laki-laki, yang akhirnya rnengakibatkan kontrol terhadap perempuan sekaligut menciptakan jurang sosial antara laki-laki dan perempuan (Kurnia, 2004:21). Maskulinitas secara umum dekat dengan keberadaan laki-laki. Namun maskulinitas sendiri pada dasarnya merupakan nilai yang berkembang dalam satu budaya dan menjadi indeks atas sifat-sifat tertentu. Dari segi bahasa maskulinitas berasal dari bahasa Inggris masculine yang berarti laki-laki. Thomas Carlyle berpendapat bahwa maskulinitas dikaitkan dengan kemandirian, kekuatan, dan suatu
orientasi
tindakan
(Wibowo,2011:130).
Carlyle
mengedepankan
maskulinitas sebagai suatu nilai yang memiliki dimensi-dimensi yang banyak dijadikan ukuran kejantanan dan tentu saja dalam banyak budaya ini sangat identik dengan tampilan laki-laki pada umumnya. Maskulinitas adalah imaji kejantanan, ketangkasan, keperkasaan/keberanian untuk menantang bahaya keuletan, keteguhan hati, hingga keringat yang menetes, otot laki-laki yang menyembul atau bagian tubuh tertentu dari kekuatan daya tarik laki-laki yang terlihat secara ekstrinsik. Maskulin merupakan sebuah bentuk konstruksi kelelakian terhadap laki-laki. Laki-laki tidak dilahiran begitu saja dengan sifat maskulinnya secara alami, maskulinitas dibentuk oleh kebudayaan. Hal yang menentukan sifat perempuan dan laki-laki adalah kebudayaan. Secara umum, maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan laki-laki, dan kerja. Di antara yang dipandang rendah adalah hubungan interpersonal, kemampuan verbal, kehidupan domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan, dan anak-anak (Barker dalam Nasir, 2007: l). Harry Brod juga berpendapat mengenai gambaran maskulinitas pria sejati, yaitu :
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
“Persisting images of masculinity hold that "real man" are physically strong, aggressive, and in control of their work.” Pendapat Harry Brod ini sesuai dengan maskulinitas tradisional, hal ini membuat pria biasanya jarang digambarkan melakukan kegiatan mengurus rumah atau merawat anak. Brown dan Campbell juga berpendapat mengenai hal ini, “Equally interesting is how males are not presented specifically, there seldom for tried as nurturers. Men are seldom show doing housework.” Maskulin pria juga bisa ditandai dengan otot. Alan Klein, seorang antropologis menambahkan bahwa otot adalah penanda yang membedakan pria dengan yang lain, sebagai berikut : “Muscles are about more than just the functions ability to men to defend home and hearth of perform heavy labor. Muscles are markers that separate men from each other and, most important perhaps, from women. And while he may not realize it, every man – every accountant, science nerd, clergyman,or cop – is engaged in a dialogue with muscles”. Hal ini juga sesuai dengan Pope seperti yang dikutip Rosemary Ricciardelli yang menyatakan bahwa budaya di mana mesin telah menggantikan otot dan peran tradisional pria sebagai pencari nafkah dan pelindung telah menurun, oleh karena itu mengejar pembentukan otot-otot menjadi salah satu cara bagi kaum pria untuk menunjukkan diri maskulin mereka.Secara seksual, maskulinitas sendiri dapat dikategorikan dalam beberapa tipe maskulinitas. Pertama, tipe gtadiatorretro man yaitu pria yang secara seksual aktif dan memegang kontrol. Kedua, tipe protector yaitu pria pelindung dan penjaga. Ketiga, tipe clown of boffoon yaitu pria yang mengutamakan dalam menjalin hubungan dan menghormati wanita serta bersikap gentleman. Keempat, tipe gay man yaitu pria yang mempunyai orientasi seks hornoseksual. Kelima, tipe wimp yaitu jenis pria yang lemah dan pasif'. Kategori inilah yang sering digunakan media untuk mengkonstruksi maskulinitas meskipun yang paling sering muncul adalah karakter gladiator sebagai pemegang kekuasaan atau dominasi (Kurnia, 2004:22). Archer dan Lloyd menyimpulkan kedekatan maskulinitas dengan sifat kelaki-lakian dalam beberapa stereotipe yang berkenaan dengan gender melalui tabel berikut:
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tabel 2 Pertentangan Gender: Stereotipe-stereotipe Kontemporer Pria dan Wanita Pria
Wanita
Bertindak sebagai pemimpin
Penuh kasih saying
Agresif
Emosional
Ambisius
Feminim
Tegas
Lembut
Kompetitif
Menyukai anak-anak
Dominan
Halus
Kuat
Paham
Pandai berolah raga
Hangat
Independen Ramai Mudah membuat keputusan Maskulin Tidak mudah tergugah Percaya diri Sumber: Archer dan Lloyd dalam Anthony Synontt, 2003: 129 Menurut Geert Hofstede maskulinitas merupakan sex roles yang berkaitan dengan nilai kesuksesan laki-laki yakni uang dan sesuatu yang dominan dalam masyarakat. Hofstede juga melaporkan suatu temuan bahwa budaya maskulin memiliki motivasi tinggi untuk mencapai sesuatu, kerja merupakan pusat kehidupan mereka, memerima keterlibatan koleganya dalam kehidupan pribadi mereka, memiliki tekanan tinggi dalam pekerjaannya, memiliki nilai yang lebih besar pada perbedaan pria dan wanita dalam posisi yang sama, dan menunjukkan pengakuan, kemajuan, serta tantangan lebih penting dalam kepuasan kerja mereka. Maskulinitas dan feminitas berguna untuk memahami suatu perbedaan budaya dan persamaannya dalam jenis sex yang berlawanan ataupun sama (Wibowo, 2011: 131).
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Jadi pada dasarnya maskulinitas merupakan suatu skala budaya yang menentukan kecenderungan-kecenderungan sikap yang erat dengan stereotipe umum yang dekat dengan kehidupan pria namun sifatnya relatif pada tiap bentuk budaya. Misalnya pada kerangka budaya Jepang lebih maskulin atau maskulinitasnya lebih tinggi ketimbang maskulinitas budaya Amerika. Dari kenyataan itu kita bisa mempertanyakan seperti apa maskulinitas yang berlaku dalam suatu budaya yang memiliki perbedaan aspek-aspek didalamnya (Wibowo, 2011: 132).
Maskulinitas dalam Iklan Maskulinitas laki-laki dalam iklan sesungguhnya ada pada perguliran wacana mengenai konsep maskulinitas sendiri. Perguliran ini berlangsung dalam kehidupan budaya, yang sayangnya, diwarnai kentalnya materialisme dalam sistem kapitalisme yang ada sekarang. Iklan bukanlah sekedar informasi mengenai produk tertentu melainkan sebuah media yang menawarkan ideologit gaya hidup dan imaji. Iklan merupakan media promosi budaya dan iklan sebetulnya merupakan sarana ekspresi ideologi dan ekspresi simbolik budaya. Iklan dapat menjadi wacana dalam masyarakat, karena iklan bermain dalam dunia tanda dan bahasa. Representasi maskulinitas dalam iklan dilakukan dengan menggunakan dunia tanda dan bahasa. Tanda dan bahasa untuk mengungkap maskulinitas ini mudah difahami dalam kerangka berpikir ideologi dominan yang patriarkis. Dalam konteks ini, ideologi menjadi alat bantu kepentingan material dan budaya para penciptanya. Melalui ideologi kapitalisme, iklan tumbuh dan berkembang, muncullah stereotype imaji maskulinitas laki-laki dalam iklan. Menurut Fowles karakter laki-laki adalah aktif, agresif, rasional dan tidak bahagia. Aktivitas lakilaki lebih banyak berkaitan dengan kegiatan fisik seperti olahraga. Keaktifan lakilaki inilah yang membawa ciri yang sama pada pemilihan lokasi yang digunakan sebagai latar belakang setting dalam iklan. Lokasi yang jarang sekali mengambil setting rumah melainkan di tempat-tempat publik seperti kantor, gunung, sirkuit balap, bengkel, kafe, pantai dan lain-lain yang dianggap lebih tepat untuk laki-laki (Kurnia, 2004:26).
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Rohlinger dalam Kurnia (2004:27) menyatakan bahwa pembahasan mengenai maskulinitas dalam iklan selain berada dalam wilayah diskusi representasi gender, juga berkenaan dengan permasalahan sistem ekonomi gtobal yang ada dalam kapitalisme. Dalam era post-industrial sekarang ini para pengiklan turut berlomba untuk mencari pasar baru. Imaji tentang laki-laki yang maskulin kemudian dijual untuk menarik konsumen laki-laki baru sekaligus menarik perhatian perempuan yang merasa dirinya merdeka. Imaji yang merepresentasikan maskulinitas laki-laki melalui penampakan fisik ideal dari figur laki-laki atraktif sekaligus berotot untuk dijadikan 'pajangan' dalam iklan. Rohlinger dalam penelitiannya mengkategorisasikan tipe pria dalam periklanan ke dalam sembilan kategori: the hero, the outdoorsman, the urban man, the family man/nurturer, the breadwinner, the man at work, the erotic male, the consumer and the quiescent man. The hero dianggap sebagai bintang/selebriti dalam olahraga, bisnis, politik atau layanan militer. The outdoorsman terlihat menaklukkan alam atau hewan, nampak lingkungan liar. The family man/nurture berpatisipasi aktif dengan anak-anak sebagai ayah, anggota keluarga atau pelatih. Sebaliknya, The breadwinner digambarkan tidak berpartisispasi dengan aktivitas keluarga tetapi sebagai pemimpin yang memerintah keluarga. The man at work terikat dalam pekerjaan/profesinya atau di area perkantoran. The consumer adalah pria yang membutuhkan produk. Ada hubungan yang jelas antara model dengan konsumsi produk yang diiklankan. The urban man menikmati kemewahan dan penawaran dari kota besar. Digambarkan di sekitar bar, restaurant, bioskop. The quiescent man terikat dalam aktivitas rekreasional dalam wisata. The erotic male digambarkan dengan penonjolan tubuh dan fisik pria dalam display iklan (Kusumaningrum, 2012: 8). Ada lima karakteristik maskulinitas. Pertama, sikap yang berperilaku baik atau sportif. Sikap ini dimasukkan dalan pesan iklan yang berkaitan dengan sikap laki-Iaki yang menggunakan wewenang dalam melakukan dominasi yang ia punya. Kalaupun muncul kekerasan dalam penggunaan wewenang tersebut, kekerasan itu dianggap sebagai strategi laki-laki untuk mengatasi masalah dan mengatasi hidup. Kedua, mentalitas cave man. Hal ini terlihat dari penggunaan
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ikon pahlawan dari sejarah populer yang mendemonstrasikan maskulinitas dalam iklan melalui simbol-simbol pahlawan seperti pejuang romawi, bajak laut, pejuang dan bahkan cowboy. Keagresifan dan kekerasan laki-laki di sini dikesankan wajar karena dianggap sesuai dengan sifat alami mereka. Ilustrasi yang sempurna mungkin didapatkan pada karakter kuat marlboro man dengan segala keunikan versi iklannya melalui imaji maskulinitas yang terletak pada sikap jantan dan mandiri serta aktivitas yang dikaitkan dengan aktivitas fisik yang menantang dan mendekati bahaya. Figur laki-laki dikonstruksikan sebagai lonely hero. Laki-taki dibayangkan bisa menyelesaikan semua pernasalahan sendirian dengan selalu menjadi pemain tunggal dalam semua iklan rokok Marlboro. Ketiga, pejuang baru. Hal ini dilambangkan dengan Pemunculan pejuang baru yang biasanya dikaitkan dengan kemiliteran maupun olahraga yang dianggap menjadi nilai maskulinitas karena memberikan imaji ikut petualangan dan kekuatan laki-laki. Berbagai iklan rokok seperti Gudang Garam ataupun Djarum 76 menggunakan ikon pendaki gunung sebagai simbol maskulinitas. Keempat, otot dan 'laki-laki ideal' dengan tubuh berotot yang mencitrakan tubuh ideal lakilaki. Sebuah bentuk fisik yang hanya bisa didapatkan dengan latihan olahraga yang memadai. Imaji seperti itu muncul di iklan susu L Men yang mengumbar dada telanjang laki-laki, perut sixpack dan diimajikan menjadi syarat buat perempuan. Kelima, maskulinitas pahlawan, yaitu laki-laki digambarkan sebagai sosok yang tangguh, berani, dan sigap untuk menolong kaum perempuan (Kurnia, 2004:27). Berkaitan dengan keperkasaan tubuh laki-laki yang mendominasi imaji maskulinitas dalam iklan, Wibowo (2004:17) menggambarkan bahwa dalam konteks penyajian iklan akar 'keperkasaan" laki-laki dapat dipulangkan jauh dengan menengok ke belakang melalui tradisi Yunani yang kemudian dilanjutkan dengan tradisi Romawi untuk akhirnya diserap dalam budaya kapitalistik barat modern. Unsur rnaskulinas dalam budaya Yunani ini, dikembangkan melalui perwujudan dewa dan tokoh mitos mereka yang tampan, gagah, perkasa serta pandai. Sebuah perwujudan yang diterjemahkan kemudian ke dalam budaya Romawi melalui kegagahan kaisar Romawi yang memunculkan heroisme. Tidak
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
heran jika kemudian semangat heroisme ini juga dimunculkan dalam budaya kapitalistik modern yang menjadikan iklan harus tampil menarik sekaligus mempesona. Hal ini dipertegas Wibowo (2004:173), bahwa iklan merupakan alat sihir, yang salah satunya melalui ekspresi maskulinitas dalam budaya pop. OIeh karena itu iklan bisa dianggap sebagai penerus tongkat estafet semangat maskulinitas ala Yunani dan kemudian juga Romawi. Potret fisik laki-laki dalam iklan pun tak lagi sekedar menjadi sebuah simbol dominasi pria melainkan simbol maskulinitas kapitalistik dalam pengertian yang lebih luas. Dominasi laki-laki dewasa ini terlihat dari nilai jualnya, baik melalui otot keperkasaannya, tubuh kekar hingga wajah indonya. Kesemuanya itu merupakan pantulan maskulinitas kapitalistik yang sangat berorientasi bisnis. Syar'an (2001) melihat eksploitasi maskulinitas laki-laki paling banyak terjadi dalam iklan rokok. Perlu diingat, konsumen utama produk rokok sendiri adalah laki-laki. Syar'an menunjukkan karakteristik representasi maskulinitas yang muncul pada beberapa iklan rokok Gudang Garam: berkuasa atau kuat, dingin, pelindung, berani dan problem solver. Karakteristik ini dimunculkan melalui berbagai tanda yang terdiri atas pilihan model, pilihan kata, jenis baju, sudut pandang kamera, jarak kamera, arah tubuh dan pandangan, jenis baju, warna cahaya, benda yang dipegang, filter kamera, kerut di kening dan lain sebagainya. Slogan iklan Gudang Garam ini adalah "Selera Pemberani". Citra pemberani ini direpresentasikan oleh seorang laki-laki yang sedang memanjat gunung terjal. Kegiatan ini menunjukkan kekuataan besar dan kesehatan pria dari pendaki gunung tersebut. Sejalan dengan perubahan dramatis selama akhir tahun 1900-an, hidup berubah, begitu juga konstruksi diri para laki-laki. Mereka melakukan adaptasi terhadap feminisme dan menawarkan konsep “new masculinities’. Konsep maskulinitas baru ini pada dasarnya merupakan upaya untuk meninggalkan budaya patriarki yang dominan dan sekaligus beranjak ke kerangka kerja sosial yang lebih inklusif. Iklan sekarang memposisikan laki-laki sebagai obyek seksual. Iklan menciptakan standar baru masyarakat untuk laki-laki, yakni sebagai sosok
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang agresif sekaligus sensitif, memadukan antara unsur kekuatan dan kepekaan sekaligus. Laki-laki macho sudah tergantikan oleh sosok laki-laki yang kuat dan tegar di dalam tetapi lembut di permukaan. Ungkapan untuk karakter ini adalah laki-laki metrosekual (Kurnia, 2004:27). Metrosekual sendiri sebenarnya secara singkat sering didefinisikan sebagai a straight man in the feminine side atau a straight man who Iives in who is into designer clothes, art museums, musicals and other non-macho things. Dalam The Urban Dictionary.com (Kurnia, 2004:32) disebutkan adanya beberapa definisi alternatif mengenai metrosekual yaitu : 1. Seorang manusia modern yang telah mengadopsi apa yang secara tradisional dianggap sebagai sifat feminin. 2. Pria perkotaan yang suka memamerkan sisi feminin, terutama terlihat mempunyai potongan rambut yg klimis, pakaian bermerek ternama, dan memakai produk perawatan kulit dan kecantikan. 3. Istilah yang sulit bagi seorang yang benar-benar pria, tapi semua orang mengira dia adalah seorang gay karena dia sangat menonjolkan sisi femininnya. 4. Seorang yang benar-benar pria namun terlihat seperti seorang gay karena dia sangat memperhatikan penampilan dan perawatan dimana hal tersebut biasanya lekat dalam diri seorang homoseksual. 5. Seorang pria yang sangat menonjolkan sisi feminin dan tidak takut untuk menunjukkannya. Dia bisa menghargai hal-hal mewah seperti tas Gucci, dompet Prada, dan lain-lain. Dari berbagai definisi metroseksual diatas terdapat kesamaan dasar. Semuanya membahas penciptaan imaji baru atas laki-laki yang karakter maskulinnya tak lagi segarang dulu. Mereka lebih lembut dan trendy. Pemunculan femininitas pada metroseksual lebih diletakkan pada penampilan fisik yang memperindah penampilan laki-laki, bukan pada perubahan orientasi seksualnya. Karakter laki-laki metroseksual pun juga menjadi wacana baru sebagai counter hegemony terhadap hegemonic masculinity yang selama ini mendominasi dunia periklanan. Contoh yang bisa dirujuk adalah iklan rokok Dji Sam Soe Magnum Filter yang menampilkan seorang eksekutif muda dengan jas yang rapi, modis, rambut klimis, rupawan, dan suka dengan musik jazz yang tentunya menambah kesan mewah dan high class. Berbeda dengan iklan rokok Djarum Super yang menampilkan sosok pria tangguh, macho, berjiwa petualang, dan tentunya
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
memiliki fisik yang berotot, sebagai gambaran maskulinitas sejati yang selama ini ditonjolkan (Kurnia, 2004:33). Kemunculan sosok laki-laki metroseksual dalam iklan ini tentu saja tidak secara otomotatis mengganti sosok laki-laki yang macho dalam iklan. Kemunculan tipe metroseksual masih menjadi wacana tandingan yang ada sebagai wacana alternatif dari dominannya wacana reprsentasi maskulinitas ala budaya patriarkhi yang ada dalam industri periklanan.
2.3
Model Teoritik
Gambar 4 Bagan Model Teoritik Penelitian Maskulinitas Dalam Iklan Gudang Garam Merah Versi The Cafe Objek Penelitian Iklan Gudang Garam Merah versi The Café tahun 2012
Semiotika Roland Barthes
- Analisis Leksia - 5 Kode Pembacaan
Level Analisis
- Teks (gambar) - Konteks (Sosial, Budaya, Sejarah, Ekonomi)
-
-
Maskulinitas dalam iklan Gudang Garam Merah versi the cafe Mitos
Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA