BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakekat Belajar Matematika Belajar matematika adalah suatu proses yang mengakibatkan perubahan tingkah laku yang berkaitan dengan matematika. Bila kita tahu konsep matematika yang sebelumnya tidak tahu maka dalam benak kita akan terjadi perubahan dan hal ini akan berguna untuk mempelajari materi selanjutnya. Dalam pembelajaran matematika perlu diketahui karekteristik matematika. Matematika merupakan ilmu yang abstrak, aksiomatik dan deduktif (Herman Hudoyo, 1990: 3). Proses berpikir matematika disebut proses berpikir aksiomatik karena pada dasarnya landasan berpikir matematika adalah kesepakatankesepakatan yang disebut aksioma. Matematika dikatakan bersifat deduktif, karena matematika disajikan secara aksiomatik menggunakan logika deduktif. Di dalam matematika, suatu soal atau pertanyaan akan merupakan masalah apabila tidak terdapat aturan atau hukum tertentu yang akan segera dapat dipergunakan untuk menjawab atau menyelesaikannya. (Herman Hudoyo, 1990: 84). Hal ini berarti suatu soal matematika akan menjadi suatu masalah apabila soal itu tidak langsung memberikan penyelesaian.
Proses Pembelajaran Proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar (Mulyasa, 2002: 106). Oleh karena itu, situasi kegiatan pembelajaran perlu diusahakan agar aktifitas dan kreativitas peserta didik dapat berkembangkan secara optimal. Menurut Gibbs (dalam Mulyasa, 2002: 106) peserta didik akan lebih kreatif jika: a) Dikembangkannya rasa percaya diri pada peserta didik, dan mengurangi rasa takut, b) Memberi kesempatan pada seluruh peserta didik untuk berkomunikasi ilmiah secara bebas dan terarah, c) Melibatkan peserta didik dalam tujuan belajar dan evaluasinya, d) Memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter,
6
7
e) Melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara keseluruhan. Untuk menciptakan kondisi-kondisi tersebut, maka dalam proses pembelajaran perlu diciptakan suasana kondusif yang mengarah pada situasi di atas. Selanjutnya, Sardiman (2006, 21) menyatakan bahwa proses belajar pada prinsipnya bertumpu pada struktur kognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga membentuk satu kesatuan yang memiliki makna bagi peserta didik. Agar proses pembelajaran dapat bermakna maka aktifitas dan kreatifitas siswa harus lebih dominan dari pada guru. Dalam hal ini diperlukan pemilihan model pembelajaran yang dapat membangkitkan aktifitas dan kreatifitas siswa sehingga proses pembelajaran menjadi bermakna.
2.1.2
Pengertian Belajar dan Belajar Matematika
2.1.2.1 Pengertian Belajar Belajar merupakan kegiatan bagi setiap orang. Pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, kegemaran dan sikap seseorang terbentuk, dimodifikasi dan berkembang disebabkan belajar. Karena itu, seseorang dikatakan belajar, bila dapat diasumsikan dan diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan suatu proses kegiatan yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku. Uzer dalam Darmin (2103:6) mengemukakan bahwa belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan indVIidu dan indVIidu dengan lingkungannya. Menurut Slameto (1991:2) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengamatan individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Kemudian Sudjana (1997:25) memberikan pengertian bahwa belajar adalah proses aktif, belajar adalah perubahan tingkah laku terhadap semua situasi yang ada disekitar iindividu. Belajar adalah proses yang diarahkan kepada tujuan yang melalui berbagai pengalaman seperti proses melihat, mengamati, dan memahami sesuatu. Sejalan dengan itu, ahli belajar modern mengemukakan dan merumuskan perbuatan belajar adalah sebagai suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang
8
yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan (Hamalik 1993 :10). Dari beberapa defenisi belajar yang telah dikemukakan di kajian atas maka dikesimpulan bahwa belajar itu adalah salah satu kegiatan atau aktifitas manusia yang merupakan proses usaha yang aktif untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru, baik melalui berbagai pengalaman maupun kegiatan aktifitas yang terarah. Pengalaman belajar yang dimaksud dapat berupa proses melihat, mengamati, dan memahami sesuatu. Sedangkan belajar melalui atau aktifitas yang terarah dapat berupa mempertimbangkan dan menghubungkan dengan pengalaman masa lampau yang diaplikasikan dalam bentuk latihan.
2.1.2.2 Belajar Matematika Berkaitan dengan definisi matematika tersebut Ruseffendi (1998: 260) menyatakan bahwa matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran. James dalam Suherman (2101:16) menyatakan bahwa matematika adalah konsep ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terjadi ke dalam tiga bidang yaitu : aljabar, analisis, dan geometri. Masih banyak lagi definisi tentang matematika. Dari definisi-definisi tersebut setidaknya dapat memberi gambaran tentang pengertian matematika. Semua definisi tersebut dapat diterima, karena memang matematika dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang dan matematika itu sendiri dapat memasuki seluruh segi kehidupan manusia mulai dari yang paling sederhana sampai kepada yang lebih kompleks. Dalam pembelajaran, matematika harus secara bertahap, berurutan serta berdasarkan kepada pengalaman yang telah ada sebelumnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Dienes dalam Muhkal (1999: 92), belajar metematika melibatkan suatu struktur hierarki dari konsep-konsep tingkat lebih tinggi yang dibentuk atas dasar apa yang telah terbentuk sebelumnya. Menurut Bruner dalam Hudoyo (1990 :48) yaitu belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur matematika yang terdapat dalam materi yang
9
dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu.
2.1.3
Model Pembelajaran Berbasis Masalah
2.1.3.1 Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah Ada berbagai cara untuk mengaitkan konten dengan konteks, salah satunya adalah melalui pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning). Model ini juga dikenal dengan nama lain seperti project based teaching, experienced based education, dan anchored instruction (Ibrahim dan Nur, 2104). Pembelajaran ini membantu pebelajar belajar isi akademik dan keterampilan memecahkan masalah dengan melibatkan mereka pada sistuasi masalah kehidupan nyata. Pembelajaran berbasis masalah diturunkan dari teori bahwa belajar adalah proses dimana pembelajar secara aktif mengkontruksi pengetahuan (Gijselaers, 1996). Psikologi kognitif modern menyatakan bahwa belajar terjadi dari aksi pembelajar, dan pengajaran hanya berperan dalam memfasilitasi terjadinya aktVIitas kontruksi pengetahuan oleh pembelajar. Pembelajar harus memusatkan perhatiannya untuk membantu pembelajar mencapai keterampilan self directed learning. Problem based learning sebagai suatu pendekatan yang dipandang dapat memenuhi keperluan ini (Schmidt, dalam Gijselaers, 1996). Masalah-masalah disiapkan sebagai stimulus pembelajaran. Pembelajar dihadapkan pada situasi pemecahan masalah, dan pembelajar hanya berperan memfasilitasi terjadinya proses belajar dan memonitor proses pemecahan masalah. Pembelajaran berbasis masalah dikenal dengan Problem Based Learning (PBL) adalah strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa di mana siswa mengelaborasikan pemecahan masalah dengan pengalaman sehari-hari (en.wikipedia.org). Arends (dalam Wardhani (2106:5) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang bertujuan merangsang terjadinya proses berpikir tingkat tinggi dalam situasi yang berorientasi masalah. Lebih lanjut dikemukakan PBL utamanya dikembangkan untuk membantu siswa sebagai berikut.
10
1) Mengembangkan keterampilan berfikir tingkat tinggi. Menurut Lauren Resnick (dalam Arends, 1997) berfikir tingkat tinggi mempunyai ciri-ciri: (1) non algoritmik yang artinya alur tindakan berfikir tidak sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya, (2) cenderung kompleks, artinya keseluruhan
alur berfikir tidak dapat diamati dari satu sudut
pandang saja, (3) menghasilkan banyak solusi, (4) melibatkan pertimbangan dan interpretasi, (5) melibatkan penerapan satu dan
banyak kriteria, yang
kadang-kadang
lainnya bertentangan, (6) sering melibatkan ketidakpastian, dalam arti
tidak segala sesuatu terkait dengan tugas yang telah diketahui, (7) melibatkan pengaturan diri dalam proses berfikir, yang berarti bahwa dalam proses menemukan penyelesaian masalah, tidak diijinkan adanya bantuan orang lain pada setiap tahapan berfikir, (8) melibatkan pencarian makna, dalam arti menemukan struktur
pada
keadaan
yang
tampaknya
tidak teratur,
(9)
menuntut dilakukannya kerja keras, dalam arti diperlukan pengerahan kerja mental besar-besaran saat melakukan berbagai jenis elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan. 2) Belajar berbagai peran orang dewasa. Dengan melibatkan siswa dalam pengalaman nyata atau simulasi (pemodelan orang dewasa), membantu siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar melakukan peran orang dewasa 3) Menjadi pelajar yang otonom dan mandiri. Pelajar yang otonom dan mandiri ini dalam arti tidak sangat tergantung pada guru. Hal ini dapat dilakukan dengan cara,
guru
secara
berulang-ulang
membimbing
dan mendorong serta
mengarahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri. Siswa dibimbing, didorong dan diarahkan untuk menyelesaikan tugas-tugas secara mandiri. Kemampuan untuk menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kemampuan belajar secara autodidak dan
kesadaran untuk belajar sepanjang hayat yang
merupakan bekal penting bagi siswa dalam mengarungi kehidupan pribadi, sosial maupun dunia kerja selanjutnya.
HS Barrows dalam Ibrahim (2102) menyatakan bahwa proses pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang didasarkan pada prinsip
11
menggunakan masalah sebagai titik awal akuisisi dan integrasi pengetahuan baru. Sementara itu Satyasa (2108:2) mendefinisikan pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada siswa dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar. Sementara itu Moffit (dalam Supinah, 2108: 62) mendifinisikan pembelajaran berbasis masalah, sebagai suatu pendekatan yang melibatkan siswa dalam penyelidikan dalam pemecah masalah yang memadukan ketrampilan dan konsep dari berbagai kandungan area. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka penulis mendefinisikan pembelajaran berbasis masalah yang
selanjutnya disebut ’PBL’, sebagai pendekatan pembelajaran
yang diawali dengan pemberian masalah kepada siswa di mana masalah tersebut dialami atau merupakan pengalaman sehari-hari siswa. Selanjutnya siswa menyelesaikan masalah tersebut untuk menemukan pengetahuan baru. Secara garis besar PBL terdiri dari kegiatan menyajikan kepada siswa suatu situasi masalah yang autentik dan bermakna serta memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri.
2.1.3.2 Karakteristik Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) Wardhani (2106:10) mengemukakan PBL mengikuti tiga aliran pikiran utama yang berkembang pada abad duapuluh yaitu sebagai berikut: 1) Pemikiran John Dewey dan Kelas Demokratisnya (1916). Menurut Dewey, sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah kehidupan yang nyata. Pendapat Dewey ini memberikan dasar filosofis dari PBL. 2) Pemikiran Jean Piaget (1886-1980). Menurut Piaget, anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami dunia di sekitarnya. Rasa
ingin tahu itu memotVIasi anak untuk secara aktif membangun
tampilan dalam otak mereka tentang lingkungan yang mereka hayati. Ketika tumbuh semakin dewasa dan memperoleh lebih banyak kemampuan bahasa dan memori, tampilan mental mereka tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih abstrak. Pada semua tahap perkembangan, anak perlu memahami
12
lingkungan mereka, memotVIasi mereka untuk menyelidiki dan membangun teoriteori yang menjelaskan lingkungan itu. 3) Pemikiran Lev Vygotsky (1896-1934) dengan KonstruktVIismenya, serta Jerom Bruner dengan
Pembelajaran Penemuannya. Vygotsky berpandangan
bahwa interaksi social dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Bruner menyatakan pentingnya pembelajaran penemuan, yaitu model pembelajaran yang
menekankan
perlunya membantu siswa memahami struktur atau ide dari suatu disiplin ilmu, perlunya siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan yakin bahwa pembelajaran yang sebenarnya adalah yang terjadi melalui penemuan pribadi.
2.1.3.3 Tahap-tahap dalam Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) Sebagai model pembelajaran, Arends dalam Wardhani (2106:7) mengemukakan ada lima tahap pembelajaran pada PBL. Lima tahap ini sering dinamai tahap interaktif, yang sering juga sering disebut sintaks dari PBL. Lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tiap tahapan pembelajaran tergantung pada jangkauan masalah yang diselesaikan.
Tabel 2.2. Tahap Pembelajaran PBL Tahap 1 .
2 .
Kegiatan Orientasi siswa
Tingkah Laku Guru Menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang
pada
dibutuhkan untuk menyelesaiakan tugas, memo-
situasi
tivasi siswa agar terlibat pada aktvitas pemecahan
masalah
masalah yang dipilihnya.
Mengorganisasi
Membantu siswa mendefinisikan dan mengorga-
siswa untuk belajar
nisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
3 .
Membimbing
Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi
penyelidikan
yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk
indVIidual maupun
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
kelompok
13
4 .
Mengembangkan
Membantu siswa dalam merencanakan dan
dan
menyiapkan karya yang sesuai sebagai hasil
menyajikan
pelaksanaan tugas, misalnya berupa laporan, video,
hasil karya
dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya
5 .
Menganalisis dan
Membantu siswa untuk melakukan refleksi atau
mengevaluasi
evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-
proses
proses yang mereka tempuh atau gunakan
pemecahan masalah Menurut Fogarty, dalam
Satyasa (2108: 5-7) proses pembelajaran dengan
pendekatan PBL dijalankan dengan 8 langkah, seperti berikut: 1) Menemukan masalah. Siswa diberikan masalah yang tidak terdefinisikan secara jelas (ill-defined) yang diangkat dari konteks kehidupan sehari-hari. Pernyataan permasalahan diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang pendek dan memberikan sedikit fakta-fakta di seputar konteks permasalahan. Pernyataan permasalahan diupayakan memberikan peluang pada siswa untuk melakukan penyelidikan. Siswa menggunakan kecerdasan inter dan intrapersonal untuk saling memahami dan saling berbagi pengetahuan antar anggota kelompok terkait dengan permasalahan yang dikaji. 2) Mendefinisikan masalah Siswa mendefinisikan masalah menggunakan kalimatnya sendiri. Permasalahan dinyatakan dengan parameter yang jelas. Siswa membuat beberapa definisi sebagai informasi awal yang perlu disediakan. Pada langkah ini, siswa melibatkan kecerdasan intra-personal dan kemampuan awal yang dimiliki dalam memahami dan mendefinisikan masalah. 3) Mengumpulkan fakta-fakta. Siswa membuka kembali pengalaman yang sudah diperolehnya dan pengetahuan awal untuk mengumpulkan fakta-fakta. Siswa melibatkan kecerdasan majemuk yang dimiliki untuk mencari informasi yang berhubungan dengan permasalahan. Pada tahap ini,
14
siswa mengorganisasikan informasi-informasi dengan menggunakan istilah “apa yang diketahui(know)”, “apa yang dibutuhkan (need to know)”, dan “apa yang dilakukan (need to do)” untuk menganalisis permasalahan dan fakta-fakta yang berhubungan dengan permasalahan. 4) Menyusun dugaan sementara Siswa menyusun jawaban-jawaban sementara terhadap permasalahan dengan melibatkan kecerdasan logic-mathematical. Siswa juga melibatkan kecerdasan interpersonal yang dimilikinya untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya, membuat hubungan-hubungan, jawaban dugaannya, dan penalaran mereka dengan langkahlangkah yang logis. 5) Menyelidiki Siswa
melakukan penyelidikan terhadap data-data dan informasi yang
diperolehnya berorientasi pada permasalahan. Siswa melibatkan kecerdasan majemuk yang dimilikinya dalam memahami dan memaknai informasi dan fakta- fakta yang ditemukannya.
Guru membuat struktur belajar yang memungkinkan siswa
menggunakan berbagai cara
dapat
untuk mengetahui dan memahami (multiple ways of
knowing and understanding) dunia mereka. 6) Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan Siswa menyempurnakan kembali perumusan masalah dengan merefleksikannya melalui gambaran nyata yang mereka pahami. Siswa melibatkan kecerdasan verballinguistic memperbaiki pernyataan rumusan masalah sedapat mungkin menggunakan kata yang lebih
tepat. Perumusan ulang permasalahan lebih memfokuskan
penyelidikan, dan menunjukkan secara jelas fakta-fakta dan informasi yang perlu dicari, serta memberikan tujuan yang jelas dalam menganalisis data. 7) Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif Siswa
berkolaborasi mendiskusikan data dan informasi yang
relevan dengan
permasalahan. Setiap anggota kelompok secara kolaboratif mulai bergelut untuk mendiskusikan permasalahan dari berbagai sudut pandang. Pada tahap ini proses pemecahan masalah
berada pada tahap menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan
yang dihasilkan dengan berkolaborasi. Kolaborasi menjadi mediasi untuk menghimpun
15
sejumlah alternatif pemecahan masalah yang menghasilkan alternatif yang lebih baik ketimbang dilakukan secara individual. 8) Menguji solusi permasalahan Siswa menguji alternatif pemecahan yang sesuai dengan permasalahan aktual melalui diskusi secara komprehensip antar anggota kelompok untuk memperoleh hasil pemecahan terbaik.
Siswa menggunakan kecerdasan majemuk
untuk menguji
alternatif pemecahan masalah dengan membuat sketsa, menulis, debat, membuat plot untuk mengungkapkan ide-ide yang dimilikinya dalam menguji alternatif pemecahan. Pembelajaran dengan pendekatan berbasis masalah memuat langkah-langkah yang koheren dengan proses pemecahan masalah. Telah dibahas sebelumnya empat tahap strategi pemecahan masalah dikemukakan Polya (1981) yaitu yaitu: (1) memahami masalah, (2) menyusun rencana pemecahan, (3) menjalankan rencana pemecahan, (4) menguji kembali penyelesaian yang diperoleh.
2.1.3.4 Prinsip-Prinsip dalam Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah Pembelajaran berbasis masalah secara khusus melibatkan pebelajar bekerja pada masalah dalam kelompok kecil yang terdiri dari lima orang dengan bantuan asisten sebagai tutor. Masalah disiapkan sebagai konteks pembelajaran baru. Analisis dan penyelesaian terhadap masalah itu menghasilkan perolehan pengetahuan dan keterampilan pemecahan masalah. Permasalahan dihadapkan sebelum semua pengetahuan relevan diperoleh dan tidak hanya setelah membaca teks atau mendengar ceramah tentang materi subjek yang melatar belakangi masalah tersebut. Hal inilah yang membedakan antara PBL dan metode yang berorientasi masalah lainnya. Tutor berfungsi sebagai pelatih kelompok yang menyediakan bantuan agar interaksi pebelajar menjadi produktif dan membantu pebelajar mengidentifikasi pengetahuan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Hasil dari proses pemecahan masalah itu adalah, pebelajar membangun pertanyaan-pertanyaan (isu pembelajaran) tentang jenis pengatahuan apa yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah? Setelah itu, pebelajar melakukan penelitian pada isu-isu pembelajaran yang telah diidentifikasi dengan menggunakan berbagai sumber. Untuk ini pebelajar disediakan waktu yang cukup untuk belajar mandiri. Proses PBL akan menjadi lengkap bila pebelajar melaporkan hasil penelitiannnya (apa
16
yang dipelajari) pada pertemuan berikutnya. Tujuan pertama dari paparan ini adalah untuk menunjukkan hubungan antara pengetahuan baru yang diperoleh dengan masalah yang ada ditangan pebelajar. Fokus yang kedua adalah untuk bergerak pada level pemahaman yang lebih umum, membuat kemungkinan transfers pengetahuan baru. Setelah melengkapi siklus pemecahan masalah ini, pebelajar akan memulai menganalisis masalah baru, kemudian diikuti lagi oleh prosedur: analisis- penelitian- laporan.
2.1.3.5 Tujuan dan Hasil Belajar Model Pembelajaran Berbasis Masalah Keterampilan Berpikir dan Keterampilan Memecahkan Masalah Pembelajaran berbasis masalah ditujukan untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Keterampilan berpikir tingkat tinggi tidak sama dengan keterampilan yang berhubungan dengan pola-pola tingkah laku rutin. Larson (1990) dan Lauren Resnick (Ibrahim dan Nur, 2104) menguraikan cirri-ciri berpikir tingkat tinggi seperti berikut : a) tidak bersifat algoritmik (noalgoritmic), yakni alur tindakan tidak sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya, b) cenderung kompleks, keseluruhan alurnya tidak dapat diamati dari satu sudut pandang. c) seringkali menghasilkan banyak solusi, masing-masing dengan keuntungan dan kerugian, dari pada yang tunggal, d) melibatkan pertimbangan dan interpretasi, e) melibatkan banyak kriteria, yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain, f) seringkali melibatkan ketidakpastian. Tidak selalu segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas diketahui, g) melibatkan pengaturan diri (self regulated) tentang proses berpikir, h) melibatkan pencarian makna menemukan struktur pada keadaan yang tampaknya tidak teratur, i) berpikir tingkat tinggi adalah kerja keras. Ada pengerahan kerja mental besar, besaran saat melakukan elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan. Keterampilan-keterampilan berpikir tingkat tinggi ini dapat diajarkan (Costa, 1985). Kebanyakan program dan kurikulum dikembangkan untuk tujuan ini amat mendasarkan
17
pada pendekatan yang serupa dengan pembelajaran berbasis masalah ( Ibrahim dan Nur, 2104). 1.) Pemodelan Peranan Orang Dewasa Resnick (Ibrahim dan Nur, 2104) mengemukakan bahwa bentuk pembelajaran berbasis masalah penting menjembatani gap antara pembelajaran sekolah formal dengan aktivitas mental yang lebih praktis yang dijumpai di luar sekolah. Aktivitas-aktivitas mental di luar sekolah yang dapat dikembangkan adalah : a) PBL mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas. b) PBL memiliki elemen-elemen magang. Hal ini mendorong pengamatan dan dialog dengan yang lain sehingga pebelajar secara bertahap dapat memi peran yang diamati tersebut. c) PBL melibatkan pebelajar dalam penyelidikan pilihan sendiri, yang memungkinkan mereka menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun femannya tentang fenomena itu. 2.) Belajar Pengarahan Sendiri (self directed learning) Pembelajaran berbasis masalah berpusat pada pebelajar. Pebelajar harus dapat menentukan sendiri apa yang harus dipelajari, dan dari mana informasi harus diperoleh, dibawah bimbingan pembelajar (Barrows, 1996). Dengan bimbingan pembelajar yang secara berulang-ulang mendorong dan mengarahkan mereka untuk mengajukan pertanyaan mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri, pebelajar belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas itu secara mandiri dalam kehidupan kelak (Ibrahim dan Nur, 2104).
2.1.3.6 Landasan Teoretik Model Pembelajaran Berbasis Masalah Temuan-temuan dari psikologi kognitif menyediakan landasan teoretis untuk meningkatkan pengajaran secara umum dan khsususnya problem based learning (PBL). Premis dasar dalam psikologi kognitif adalah belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan baru yang berdasarkan pada pengetahuan terkini. Mengikuti Glaser (1991) secara umum diasumsikan bahwa belajar adalah proses yang konstruktif dan bukan penerimaan. Prosesproses kognitif yang disebut metakognisi mempengaruhi penggunaan pengetahuan, dan faktor-faktor sosial dan kontektual mempengaruhi pembelajaran.
18
Berdasar pada pandangan psikologi kognitif terdapat tiga prinsip pembelajaran yang berkaitan dengan PBL. 1) Prinsip 1. Belajar adalah proses konstruktif dan bukan penerimaan. Pembelajaran tradisional didominasi oleh pandangan bahwa belajar adalah penuangan pengetahuan kekepala pebelajar. Kepala pebelajar dipandang sebagai kotak kosong yang siap diisi melalui repetisi dan penerimaan. Pengajaran lebih diarahkan untuk penyimpanan informasi oleh pebelajar pada memorinya seperti menyimpan buku-buku di perpustakaan. Pemanggilan kembali informasi bergantung pada kualitas nomer panggil (call number) yang digunakan dalam mengklasifikasikan informasi. Namun, psikologi kognitif modern menyatakan bahwa memori merupakan struktur asosiatif. Pengetahuan disusun dalam jaringan antar konsep, mengacu pada jalinan semantik. Ketika belajar terjadi informasi baru digandengkan pada jaringan informasi yang telah ada. Jalinan semantik tidak hanya menyangkut bagaimana menyimpan informasi, tetapi juga bagaimana informasi itu diinterpretasikan dan dipanggil. 2) Prinip 2. Knowing About Knowing (metakognisi) Mempengaruhi Pembelajaran. Prinsip kedua yang sangat penting adalah belajar adalah proses cepat, bila pebelajar mengajukan keterampilan-keterampilan self monitoring, secara umum mengacu pada metakognisi (Bruer, 1993 dalam Gijselaers, 1996). Metakognisi dipandang sebagai elemen esensial keterampilan belajar seperti setting tujuan (what am I going to do), strategi seleksi (how am I doing it?), dan evaluasi tujuan (did it work?). Keberhasilan pemecahan masalah tidak hanya bergantung pada pemilikan pengetahuan konten (body of knowledge), tetapi juga penggunaan metode pemecahan masalah untuk mencapai tujuan. Secara khusus keterampilan metokognitif meliputi kemampuan memonitor prilaku belajar diri sendiri, yakni menyadari bagaimana suatu masalah dianalisis dan apakah hasil pemecahan masalah masuk akal. 3) Prinsip 3. Faktor-faktor Kontekstual dan Sosial Mempengaruhi Pembelajaran. Prinsip ketiga ini adalah tentang penggunaan pengetahuan. Mengarahkan pebelajar untuk memiliki pengetahuan dan untuk mampu menerapkan proses pemecahan masalah merupakan tujuan yang sangat ambisius. Pembelajaran biasanya dimulai dengan penyampaian pengetahuan oleh pembelajar kepada pebelajar, kemudian disertai dengan pemberian tugas-tugas berupa masalah untuk meningkatkan penggunaan pengetahuan.
19
Namun studi-studi menunjukkan bahwa pebelajar mengalami kesulitan serius dalam menggunakan pengetahuan ilmiah (Bruning et al, 1995). Studi juga menunjukkan bahwa pendidikantradisional tidak memfasilitasi peningkatan peman masalah-maslah fisika walaupun secara formal diajarkan teori fisika ( misalnya, Clement, 1990). Jika tujuan pembelajaran adalah mengajarkan pebelajar untuk menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah dunia nyata, bagaimana seharusnya pembelajaran itu dilakukan? Mandl, Gruber, dan Renkl (1993) menyarankan empat cara yaitu: pengajaran harus diletakkan dalam konteks situasi pemecahan masalah kompleks dan bermakna; pengajaran harus dipusatkan pada pengajaran keterampilan metakognitif dan bilamana mengunakannya; pengetahuan dan keterampilan-keterampilan harus diajarkan dari perspektif yang berbeda dan diterapkan pada setiap situasi yang berbeda; belajar harus berlangsung dalam situasi kerjasama untuk mengkonfrotasikan keyakinan yang dipegang oleh masing-masing individu. Strategi ini dilandasi oleh dua model yang saling melengkapi cognitive apprenticeship dan anchored instruction. Kedua model ini menekankan bahwa pengajaran harus terjadi dalam kontek masalah dunia nyata atau parktek-praktek professional. Faktor sosial juga mempengaruhi belajar individu. Glaser (1991) beralasan bahwa dalam kerja kelompok kecil pembelajar mengekspose pandangan alternatif adalah tantangan nyata untuk mengawali pemahaman. Dalam kelompok kecil pembelajar akan membangkitkan metode pemecahan masalah dan pengetahuan konseptual mereka. Mereka menyatakan ide-ide dan membagi tanggung jawab dalam memanage situasi masalah. Bruning, Schraw, dan Ronning (1995) menyatakan bahwa pengajaran sains sangat efektif bila hakikat sosial pembelajaran diterima dan digunakan untuk membantu pebelajar memperoleh peman ilmiah secara akurat. Bertolak dari prisnip-prinsip pembelajaran di atas, pembelajaran berbasis masalah dapat ditelusuri melalui tiga aliran pemikiran pendidikan yaitu: Dewey dan Kelas Demokratis: Konstruktivisme Viaget dan Vygotsky, Belajar Penemuan Bruner (Ibrahim dan Nur, 2104). 1.) Dewey dan Pembelajaran Demokratis Pembelajaran berbasis masalah menemukan akar intelektualnya pada penelitian John Dewey (Ibrahim & Nur, 2104). Dalam demokrasi dan pendidikan Dewey menyampaikan
20
pandangan bahwa sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk memecahkan masalah kehidupan nyata. Ilmu mendidik Dewey menganjurkan pembelajar untuk mendorong pebelajar terlibat dalam proyek atau tugas berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalahmasalah intelektual dan sosial. Dewey juga menyatakan bahwa pembelajaran disekolah seharusnya lebih memiliki manfaat dari pada abstrak dan pembelajaran yang memiliki manfaat terbaik dapat dilakukan oleh pebelajar dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan proyek yang menarik dan pilihan mereka sendiri. 2) Konstruktivisme Piaget dan Vygotsky Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan diatas pandangan konstruktivis kognitif (Ibrahim dan Nur, 2104). Pandangan ini banyak didasarkan teori Piaget. Piaget mengemukakan bahwa pebelajar dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Bagi Piaget pengetahuan adalah konstruksi (bentukan) dari kegiatan/tindakan seseorang (Suparno, 1997). Pengetahuan tidak bersifat statis tetapi terus berevolusi. Seperti halnya Piaget, Vygotsky juga percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat indVIidu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang dan ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman ini (Ibrahim & Nur, 2104). Untuk memperoleh pemahaman individu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki. Piaget memandang bahwa tahap-tahap perkembangan intelektual individu dilalui tanpa memandang latar konteks sosial dan budaya individu. Sementara itu, Vygotsky memberi tempat lebih pada aspek sosial pembelajaran. Ia percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain mendorong terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual pembelajar. Implikasi dari pandangan Vygotsky dalam pendidikan adalah bahwa pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial dengan pembelajar dan teman sejawat. Melalui tantangan dan bantuan dari pembelajar atau teman sejawat yang lebih mampu, pebelajar bergerak ke dalam zona perkembangan terdekat mereka dimana pembelajaran baru terjadi (Ibrahim dan Nur, 2104). 3) Bruner dan Belajar Penemuan
21
Bruner adalah adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan psikologi belajar kognitif. Ia telah mengembangkan suatu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh yang disebut dengan belajar penemuan. Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang lebih baik. Berusaha sendiri untuk pemecahan masalah dan pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna ( Dahar, 1998). Bruner menyarankan agar pebelajar hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperopleh pengetahuan. Perlunya pembelajar penemuan didasarkan pada keyakinan bahwa pembelajaran sebenarnya melalui penemuan pribadi.
2.1.3.7 Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah Pembelajaran Berbasis Masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dari pembelajar memperkenalkan pebelajar dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja pebelajar. Secara singkat kelima tahapan pembelajaran PBL adalah seperti pada Tabel 1 berikut. 1) Tahap Tingkah Laku Pembelajar Tahap 1: Orientasi pebelajar pada masalah Pembelajar menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi pebelajar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya. Pembelajar mendiskusikan rubric asesmen yang akan digunakan dalam menilai kegiatan/hasil karya pebelajar. Tahap 2: Mengorganisasikan pebelajar untuk belajar Pembelajar membantu pebelajar mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Tahap 3: Membimbing penyelidikan indviidu maupun kelompok. Pembelajar mendorong pebelajar untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Tahap 4: Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Pembelajar membantu pebelajar dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model membantu untuk berbagi tugas dengan temannya.
22
Tahap 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Pembelajar membantu pebelajar untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
2.1.3.8 Asesmen Model Pembelajaran Berbasis Masalah Tugas-tugas asesmen untuk PBL tidak dapat semata-mata terdidri dari tes kertas dan pensil (pencil and paper test). Kebanyakan teknik asesmen dan evaluasi yang digunakan untuk PBL adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh pebelajar sebagai hasil penyelidikan/hasil kerja mereka. Seperti pada model pembelajaran kontekstual lainnya, bentuk asesmen PBL terdiri dari asesmen kinerja dan portofolio. Berbeda dengan penilaian tradisional (paper dan pencil test). Penetapan kriteria penilaian tugas-tugas kinerja/ hasil karya harus dilakukan pada awal-awal pembelajaran dan harus dapat dikerjakan oleh pebelajar (Fottrell, 1996). Kriteria penilaian itu harus didiskusikan terlebih dahulu bersama pebelajar di kelas. Diskusi ini meliputi berapa grade yang harus mereka capai dan siapa yang akan menilai mereka (pembelajar, pebelajar, atau ahli luar).
2.1.4 Hasil Belajar Hudoyo (1990:139), hasil belajar adalah proses berpikir untuk menyusun hubunganhubungan antara bagian-bagian informasi yang telah diperoleh sebagai pengertianpengertian. Karena itu orang menjadi memahami dan menguasai hubungan-hubungan tersebut sehungga orang itu dapat menampilkan pemahaman dan penguasaan bahan pelajaran yang dipelajari. Pendapat lain dikemukakan Sudjana (1997:10) yaitu hasil belajar adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Sementara itu Sudjana membagi tiga macam hasil belajar yaitu : 1) Keterampilan dan kebiasaan 2) Pengetahuan dan pengertian 3) Sikap dan cita-cita Selanjutnya mengenai bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum, bahan tersebut dapat diajarkan menurut jenis hasil belajar yang ingin dicapai. Sedangkan Gagne dalam Sudjana (1997 : 12) membagi 5 kategori hasil belajar yaitu :
23
1) Informasi verbal 2) Keterampilan intelektual 3) Strategi kognitif 4) Sikap 5) Keterampilan motoris Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikulum maupun tujuan instruksional menggunakan klarifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom Dalam Sudjana (1997 : 13) yang secara garis besar dibagi menjadi tiga ranah, yaitu: 1) Ranah kognitif 2) Ranah afektif 3) Ranah psikomotorik Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Hasil belajar matematika dapat diukur langsung dengan menggunakan tes hasil belajar Dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan indikator keberhasilan yang dicapai siswa dalam usaha belajarnya. Hasil belajar adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan tingkat keberhasilan yang dicapai seseorang setelah melalui proses belajar.
2.2 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan Penelitian lainnya bejudul: Penerapan pembelajaran berdasarkan masalah untuk meningkatkan pemahaman konsep luas segitiga pada matapelajaran matematika siswa kelas VI SDN Rampal Celaket I Kota Malang / Purnamasari Pertiwi, Skripsi (Sarjana) Universitas Negeri Malang. Program Studi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 2008. Hasil penelitian ditemukan bahwa pembelajaran konsep pengukuran luas segitiga melalui pendekatan keterampilan proses, dari tes awal sampai akhir siklus II, adalah nilai rata-rata 34,2%, nilai maksimum 25%, dan nilai minimum 66,7% Selain itu juga ada penelitian yang dilakukan oleh Sukarman guru SD Bandar dalm PTK nya mampu meningkatkan hasil belajar siswa melalui pembelajaran berbasis masalah pada materi pecahan. Peningkatan ketuntasan siswa 30%-40% pada tiap siklusnya.
24
2.3 Kerangka berpikir Dari beberapa pengertian belajar di atas dapat disimpulkan bahwa belajar dalam konteks matematika adalah suatu konsep aktif yang sengaja dilakukan untuk memperoleh pengetahuan baru yang memanipulasi simbol-simbol dalam struktur matematika sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Proses pembelajaran dengan menekankan pada bagaimana siswa belajar, begaimana siswa mengolah problemnya sehingga menjadi miliknya. Hasil belajar siswa diperoleh dari pengalaman dan pengamatan lingkungan yang diolah menjadi suatu konsep yang diperoleh dengan jalan belajar secara aktif melalui keterampilan proses. Berdasarkan asumsi tersebut diperoleh pemahan bahwa penerapan model pembelajaran berbasis masalah diduga dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas VI semester 1 SDN Kemligi Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang. Dari latar belakang dan kajian teori maka dapat dirumuskan kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. PBM
Guru menggunakan media
Hasil belajar rendah di bawah KKM
Menyampaikan tujuan pembelajaran Perbaikan dengan model PBL
Presentasi materi satuan debit dengan model PBL
Pemantapan model PBL materi satuan debit
Mengerjakan LKS
Hasil belajar semakin meningkat
Tes formatif
Umpan balik guru dan siswa
Rubrik penelitian Observasi
Menyimak materi buku ajar dan mengerjakan soal latihan
Gambar 2.1 Kerangka berpikir
25
2.4 Hipotesis Tindakan Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Penggunaan model pembelajaran berbasis masalah (PBL) dapat meningkatkan hasil belajar matematika tentang menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan satuan debit pada siswa kelas VI SDN Kemligi Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang semester 1 tahun pelajaran 2013/2014”.