BAB II KAJIAN PUSTAKA Dalam setiap penelitian ilmiah kajian pustaka penting untuk diuraikan sebagai dasar dalam membangun konstruk teoritik dan sebagai tolok ukur untuk membangun kerangka berpikir serta menjadi sumber untuk menyusun hipotesis penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut dalam bab ini akan diuraikan teori-teori yang mendasari perkembangan servant leadership dan bagaimana hubungan servant leadership dengan faktor kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang menjadi prediktornya. 2.1. KEPEMIMPINAN 2.1.1. Pengertian Kepemimpinan Menurut Bass (2008) kepemimpinan dapat didefinisikan dalam banyak cara dan definisi itu sangat bergantung pada tujuan dalam membangun organisasi, sehingga tidaklah mengherankan jikalau saat ini ditemukan definisi kepemimpinan yang sangat beragam tergantung pada bagaimana memaknai kepemimpinan tersebut. Menurut Maxwell (2001) kepemimpinan adalah pengaruh. Tidak lebih; tidak kurang. Apabila seseorang tidak mempunyai pengaruh, orang tersebut tidak akan pernah dapat memimpin orang lain. Menurut Yukl (2001) kepemimpinan adalah suatu proses untuk memengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan, bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu secara bersamasama
dalam
mencapai
tujuan
bersama.
Northouse
(2004)
mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses dimana 15
seseorang memengaruhi sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Covey (2005) kepemimpinan bukanlah posisi formal melainkan sebuah pilihan untuk berhubungan dengan orang lain dengan cara mengomunikasikan kepada orang lain nilai dan potensi dirinya secara amat jelas, amat kuat, dan amat konsisten sehingga orang lain tersebut benar-benar mulai bisa melihat nilai dan potensi itu di dalam dirinya. Dari berbagai definisi yang telah diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa kata kunci kepemimpinan adalah proses dan pengaruh. Untuk tujuan penelitian ini, kepemimpinan didefinisikan sebagai suatu seni mengomunikasikan kepada orang lain nilai dan potensi dirinya dengan amat jelas, amat kuat, dan amat konsisten supaya orang lain mulai benar-benar melihat hal tersebut dalam dirinya. Definisi ini secara implisit mengandung makna bahwa kepemimpinan dimulai dari gerakan proses melihat, mengamati atau memperhatikan dengan seksama, proses melakukan suatu perbuatan (tindakan) atau cara mempraktikkan supaya menghasilkan suatu perubahan dalam diri orang lain yang dipengaruhi. Hal ini merupakan esensi dari suatu model kepemimpinan yang dapat memberikan pengaruh dalam jangka yang panjang yaitu servant leadership. 2.1.2. Pengertian Servant Leadership Menurut Greenleaf (dalam Spears, 1999) menyatakan bahwa pemimpin besar mula-mula harus melayani orang lain dan bahwa kenyataan yang sederhana ini merupakan inti dari kebesarannya. Lebih lanjut Greenleaf memberikan batasan tentang servant leadership seperti berikut: 16
Servant leadership dimulai dengan perasaan alami bahwa orang ingin melayani, melayani lebih dulu. Kemudian pilihan sadar ini membawa orang tersebut untuk berkeinginan memimpin. Perbedaan ini memanifestasikan diri dalam kepedulian yang diambil pelayan yang mulamula memastikan bahwa prioritas tertinggi orang lain adalah dilayani. Ujian terbaik untuk melihat efektivitas dari servant leadership adalah apakah orang yang dilayani tumbuh secara pribadi, atau apakah sementara dilayani orang lain menjadi lebih sehat, lebih bijaksana, lebih bebas, lebih mandiri, dan lebih memungkinkan dirinya menjadi pelayan.
Menurut Laub (1999) servant leadership adalah pemahaman dan praktek kepemimpinan yang meletakkan kepentingan pengikut di atas kepentingan pribadi pemimpin. Servant leadership adalah pola pikir, paradigma, dan cara memimpin. Ini adalah cara terlibat dalam proses perubahan yang disengaja dimana pemimpin dan pengikut berkumpul dengan tujuan bersama dan melakukan tindakan untuk mengejar visi bersama (Laub, 2004). Menurut Barbuto dan Wheeler (2002, 2006) servant leadership adalah keinginan untuk melayani dan kesediaan untuk mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan orang lain. Menurut Northouse (2004) servant
leadership
adalah
pendekatan
kepemimpinan
yang
didasarkan pada nilai moral dan etika yang kuat, meminta dan membutuhkan pemimpin yang berempati dan memperhatikan kebutuhan pengikut, menjaga dan memastikan bahwa mereka menjadi lebih sehat, lebih bijaksana, lebih bebas dan lebih mandiri, sehingga bisa menjadi pemimpin pelayan. Menurut (Patterson 2003) pemimpin yang melayani adalah seseorang yang cenderung melayani, dan kecenderungan ini didasarkan pada prinsip, nilai-nilai, dan keyakinan. Secara khusus 17
pemimpin yang melayani menunjukkan kasih agape, kerendahan hati, altruistik, visioner, memercayai, memberdayakan pengikut, dan melayani. Menurut Wong dan Page (2000) servant leadership adalah suatu sikap terhadap tanggung jawab kepemimpinan. untuk belajar tentang servant leadership, seseorang perlu menempuh perjalanan untuk mengalami penemuan diri dan transformasi pribadi. Rahasia servant leadership secara bertahap diwahyukan kepada seorang pemimpin melalui mendengarkan suara hati nurani yang telah menemukan kebenaran. Karena itu Wong dan Page menyatakan bahwa inti pokok dari servant leadership adalah keinginan tulus untuk melayani orang lain untuk kebaikan bersama. Lebih lanjut Wong dan Page (2000) menyatakan bahwa pemimpin yang melayani adalah seorang pemimpin yang memiliki tujuan utama adalah melayani orang lain yang didasarkan pada orientasi karakter, orientasi orang, orientasi tugas, dan orientasi proses, dan secara khusus servant leader (pemimpin pelayan) menunjukkan integritas, kerendahan hati, servanthood atau kehambaan, kepedulian terhadap orang lain, memberdayakan orang lain, mengembangkan orang lain, visi, penetapan tujuan, leading atau memimpin, pemodelan atau keteladan, membangun tim, dan pengambilan keputusan bersama. Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa servant leadership adalah pola pikir, paradigma dan cara memimpin yang didasarkan pada prinsip nilai, dan keyakinan yang memampukan seorang pemimpin untuk berorientasi pada karakter, orientasi orang, orientasi tugas, dan orientasi proses.
18
2.1.3. Teori Servant Leadership Istilah servant leadership dalam agama bukanlah hal yang baru sebab ide atau gagasan tentang servant leadership berasal dan berakar dari agama. Dalam kekristenan, servant leadership (kepemimpinan pelayan) merupakan konsep kepemimpinan yang alkitabiah sebagaimana digambarkan dalam Matius 20:25-28; Markus 9:33-37; Yohanes 13:1-35 yang telah memberikan kesaksian bahwa servant leadership merupakan suatu model yang telah ditransformasikan oleh Tuhan Yesus kepada murid-muridNya. Sehingga dalam komunitas kristen servant leadership menjadi model kepemimpinan yang sangat berpengaruh. Dalam ranah ilmiah servant leadership pertama kali dipopulerkan oleh Greenleaf pada tahun 1970 melalui karyanya yang berjudul The Servant as Leaders. Gagasan servant leadership sebagian berasal dari pengalamannya dalam bekerja membentuk lembaga besar AT & T. Namun yang mengkristalisasi pemikiran Greenleaf adalah pengaruh Novel karya Hermann Hesse, “Journey to the East”. Sebuah kisah tentang perjalanan mitos sekelompok orang dalam perjuangan spiritual. Tokoh utama kisah ini adalah Leo yang berperan sebagai pelayan dan yang memelihara peserta yang ikut dalam wisata rohani tersebut dengan jiwa yang penuh kepedulian. Selama Leo ada bersama dengan para rombongan segala sesuatunya berjalan dengan baik dan lancar. Akan tetapi ketika Leo tiba-tiba menghilang dari peredaran semuanya menjadi kacau dan berantakan. Dalam pencarian yang panjang akhirnya Leo ditemukan dan diperhadapkan pada ordo agama yang mensponsori wisata rohani mereka. Leo yang tadinya hanya dianggap sebagai pelayan 19
ternyata Leo adalah seorang pemimpin yang besar yang berjiwa mulia dan berjiwa membimbing. Dari perenungan dan analisis dari cerita Hesses’s membawa Greenleaf kepada suatu pemahaman yang kritis dan mendasar tentang kepemimpinan: pemimpin besar mulamula harus melayani orang lain dan bahwa fakta yang sederhana ini merupakan inti dari kebesarannya. Dengan demikian konsep tentang servant leadership “pemimpin adalah hamba” merupakan ciri khas pembeda servant leadership dari model kepemimpinan yang lainnya (Spears, 1999). Setelah Greenleaf mempopulerkan konsep tentang servant leadership, maka secara bertahap servant leadership mendapatkan popularitas dalam ranah ilmiah baik secara teoritis maupun secara empirik. Adapun perkembangan konstruk atau konsepsi servant leadership dibangun di atas konsepsi nilai-nilai dasar servant leader yang telah digagas oleh Greenleaf. Spears (1999) mengembangkan model servant leadership didasarkan pada 10 ciri khas servant leadership yang dijadikan tolok ukur untuk mengevaluasi efektivitas servant leader dalam organisasi yaitu: mendengarkan, empati, menyembuhkan, kesadaran, persuasi, konseptualisasi, kemampuan meramalkan, kemampuan melayani, komitmen terhadap pertumbuhan orang lain, dan membangun masyarakat. Farling, Stone, dan Winston (1999) mengembangkan model servant leadership yang didasarkan pada 5 ciri khas servant leadership sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi efektivitas servant leader dalam organisasi yaitu: visi, pengaruh, kredibilitas, kepercayaan, dan pelayanan. Sementara Wong dan Page (2000) mengembangkan model servant leadership yang didasarkan pada 12 20
ciri khas servant leadership sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi efektivitas servant leader dalam organisasi yaitu: integritas, kerendahan hati, kehambaan, kepedulian terhadap orang lain, memberdayakan orang lain, mengembangkan orang lain, visi, penetapan tujuan, memimpin, keteladanan, membangun tim, dan pengambilan keputusan bersama. Russel dan Stone (2002) mengembangkan model servant leadership yang didasarkan pada 20 ciri khas servant leadership sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi efektivitas servant leader dalam suatu organisasi yaitu visi, kejujuran, integritas, kepercayaan, pelayanan,
keteladanan,
perintis,
menghargai
orang
lain,
memberdayakan orang lain, komunikasi, kredibilitas, kompetensi, kepengurusan, visi, pengaruh, persuasi, mendengarkan, dorongan, mengajar, dan delegasi. Patterson (2002) mengembangkan model servant leadership yang didasarkan pada 7 ciri khas servant leadership sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi efektivitas servant leader dalam organisasi yaitu kasih agape, kerendahan hati, altruisme, visi, kepercayaan, pemberdayaan, dan pelayanan. Barbuto dan Wheeler (2006) mengembangkan model servant leadership yang didasarkan pada 8 ciri khas servant leadership sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi efektivitas servant leader dalam organisasi yaitu Altruistic calling, Emotional healing, wisdom, persuasive mapping, organizational stewardship, humility, vision, dan service. Sendjaya, Sarros, dan Santora (2008) mengembangkan model servant leadership yang didasarkan pada 7 ciri
khas servant
leadership sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi efektivitas servant leader dalam organisasi yaitu voluntary, subordination, 21
authentic self, covenantal relationship, responsible morality, transcendental spirituality, transforming influence. Liden, Wayne, Zhao, dan Henderson (2008) mengembangkan model servant leadership yang didasarkan pada 7 ciri khas servant leadership sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi efektivitas servant leader dalam organisasi yaitu emotional healing, creating value for the community, conceptual skills, empowering, helping subordinates grow and succeed, putting subordinates first, behaving ethically. Untuk kepentingan penelitian ini penulis mengadaptasi konsep servant leadership Wong dan Page (2000). Sebab dibalik konsep ini ada makna yang sangat mendalam yaitu kepemimpinan dimulai dari dalam batin yang terpancar keluar mengarahkan seorang servant leader dalam proses kepemimpinannya. Dengan memperhatikan prinsip dasar servant leadership yang dikemukakan oleh Wong dan Page ini seorang servant leader akan semakin efektif dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab kepemimpinannya. 2.1.4. Karakteristik Servant Leadership Russell dan Stone (2002) berpendapat bahwa perlu ada pembedaan antara servant leadership dan teori-teori kepemimpinan lainnya, pembedaan ini didasarkan pada karakteristik dan perilaku servant leader. Selanjutnya, Russell dan Stone menetapkan dua karakteristik servant leadership yaitu: 1. Karakteristik fungsional, yaitu kualitas operasional yang diamati melalui perilaku servant leader di tempat kerja. Perilaku servant leaders tersebut direfleksikan melalui visi,
kejujuran,
integritas,
kepercayaan,
layanan,
22
pemodelan,
perintis,
menghargai
orang lain,
dan
pemberdayaan. 2. Karakteristik yang menyertai karakteristik fungsional yaitu komunikasi, kredibilitas, kompetensi, pengawasan, visibilitas, pengaruh, persuasi, mendengarkan, dorongan, mengajar, dan delegasi. Greenleaf (dalam Russell dan Stone, 2002) mengemukakan 10 karakteristik servant leadership yaitu 1. Mendengarkan merupakan suatu alat komunikasi yang penting dan diperlukan untuk menciptakan komunikasi yang baik dan untuk secara aktif menunjukkan rasa hormat terhadp orang lain. 2. Empati merupakan kemampuan menerima dan berempati terhadap orang lain. 3. Penyembuhan
merupakan
kemampuan
untuk
mentranformasi orang lain untuk menemukan keutuhan dalam dirinya. 4. Kesadaran diri merupakan peluang kepemimpinan yang sangat mendasar. Tanpa kesadaran seorang pemimpin akan kehilangan peluang kepemimpinan. 5. Persuasi merupakan kemampuan untuk memengaruhi orang lain dengan menggunakan kekuatan persuasi untuk mencapai tujuan organisasi. 6. Konseptualisasi
merupakan
kemampuan
untuk
memahami dan memberikan jalan keluar yang terbaik untuk masalah yang terjadi dalam organisasi.
23
7. Foresight
(pandangan
jauh
kedepan)
merupakan
kemampuan untuk meramalkan dan menebak apa yang akan terjadi di masa depan. 8. Stewarship (kepedulian) merupakan kemampuan untuk selalu peduli terhadap orang lain, bukan hanya pengikut yang ada dalam organisasi tetapi organisasi secara keseluruhan dan hubungannya dengan masyarakat secara umum. 9. Komitmen terhadap pertumbuhan orang merupakan rahasia untuk membangun sebuah lembaga atau institusi untuk
dapat
bekerjasama
dalam
tim
dengan
memunculkan semua potensi orang lain supaya tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. 10. Membangun dibutuhkan
komunitas untuk
merupakan
membangun
semua
yang
masyarakat
untuk
mendapatkan kehidupan yang layak (peran servant leaders sebagai penunjuk jalan). Page dan Wong (2000) membangun bingkai kerja konseptual servant leadership dan menetapkan empat orientasi servant leader dengan dua belas ciri khas utama yang mengikutinya yaitu: 1. Orientasi karakter adalah kepedulian seorang servant leader dalam menumbuhkan, mengembangkan sikap pelayan
melalui nilai-nilai, kredibilitas, dan motivasi.
Ciri khas orientasi karakter ditransformasikan oleh servant leader melalui integritas, kerendahan hati, dan kehambaan.
24
2. Orientasi orang adalah kepedulian seorang servant leader mengembangkan
sumber
daya
manusia
melalui
komitmen untuk membangun hubungan dengan orang yang
dilayani.
Ciri
khas
orientasi
ditransformasikan
oleh
servant
leader
orang melalui
memperhatikan orang lain, memberdayakan orang lain, dan mengembangkan orang lain. 3. Orientasi tugas adalah kepedulian seorang servant leader terhadap pencapaian produktivitas dan keberhasilan. Hal ini terkait dengan tugas dan keterampilan yang harus dimiliki untuk mencapai kesuksesan. Ciri khas orientasi tugas ditransformasikan servant leader melalui visi, penetapan tujuan, dan memimpin. 4. Orientasi proses adalah dampak seorang servant leader terhadap proses organisasi, yaitu kepedulian untuk meningkatkan
efisiensi
organisasi
untuk
mengembangkan sistem yang fleksibel, efisien, dan terbuka. Ciri khas orientasi proses ditransformasikan oleh servant
leader
melalui
pemodelan/keteladanan,
membangun tim, dan pengambilan keputusan bersama. Dalam
hubungannya
dengan
penelitian
ini,
peneliti
mengadaptasi empat prinsip utama servant leadership dari Page dan Wong (2000) yakni orientasi karakter, orientasi orang, orientasi tugas, dan orientasi proses. Pemilihan ini didasarkan pada prinsip dan keyakinan bahwa parameter keberhasilan pendeta dalam melaksanakan tugas tanggung jawab kepemimpinan yang pertama dan utama adalah karakter. Karakter menjelaskan siapa pemimpin. 25
Oleh karena itu baik buruknya perjalanan kepemimpinan seorang pemimpin ditentukan oleh karakter. 2.1.5. Faktor Yang Memengaruhi Servant Leadership Hogan, Curphy, dan Hogan (1994) mengemukakan bahwa efektivitas servant leadership sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: 1. Kecerdasan mental (mental agility), pemimpin memiliki
minat yang besar, rasa ingin tahu dalam segala hal, memiliki rasa ingin tahu tentang orang lain dan motivasi yang mendasarinya, terbuka pada pengalaman baru, suka membaca dan suka akan tantangan. 2. Stabilitas emosi, pemimpin yang memiliki nilai yang tinggi
pada stabilitas emosi cenderung memiliki sifat: percaya diri, penerimaan diri (self acepting), keseimbangan (balanced),
tahan terhadap stress,
toleran
terhadap
ketidakpastian, dapat bekerja dibawah tekanan, fleksibel dan efektif dalam menangani konflik dan umpan balik negatif. 3. Surgency, pemimpin selalu bersifat terbuka, asertif, dan
memiliki energi yang tinggi, berani mengambil keputusan. 4. Conscientiousness, pemimpin memiliki sifat hati-hati dan
sabar,
motivasi
yang
tinggi
untuk
berprestasi,tanggungjawab, integritas yang tinggi, memiliki etos kerja, memiliki kemampuan mengorganisasi. 5. Agreeableness,
pemimpin
dapat
kooperatif,
dapat
berdiplomasi, bersahabat, pembicara yang efektif, dan dapat dipercaya. 26
Sidle (2007) menyatakan ada lima faktor yang memengaruhi efektivitas servant leadership yaitu: 1. Kecerdasan intelektual. Pemimpin yang cerdas secara intelektual mempunyai keahlian teknis, mempunyai pemikiran yang rasional, dan obyektif, berpikir sesuai fakta yang mendorong pemimpin untuk melihat kenyataan dan terus belajar untuk menambah pengetahuan. 2. Kecerdasan emosional. Pemimpin yang cerdas secara emosional akan berorientasi pada pelayanan, membangun hubungan
yang
baik
untuk
mempunyai keterampilan sosial
mendapatkan
dukungan,
(pendengar yang baik,
komunikator yang baik, pandai berkolaborasi dan pemain tim). 3. Kecerdasan intuitif. Pemimpin yang memiliki kecerdasan intuitif yang kuat mampu menyerap kesan intelektual dan emosional, yaitu mampu melihat apa yang paling penting untuk
membentuk
konseptual,
pemikir
abstrak
yang
memungkinkan untuk menghubungkan titi-titik dan melihat gambaran besar, berorientasi pada perubahan, kreatif dan inovatif, spontanitas, mempunyai visi yang memiliki manfaat untuk menginspirasi orang lain, membina komitmen, dan membangkitkan semangat. 4. Kecerdasan tindakan (action intelligence). Pemimpin yang cerdas dalam bertindak akan didorong oleh tugas dan berorientasi pada hasil, berani mengambil kendali atau kontrol, berani menantang proses, berani mengambil resiko, dan berani bereksperimen untuk membuat sesuatu terjadi dan 27
yang paling penting adalah pemimpin berjalan sesuai dengan perkataan, penunjuk jalan dan menyelaraskan tindakan dengan kata-kata dan perbuatan. 5. Kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan yang mendorong pemimpin untuk belajar, bertumbuh, dan menyadari cara mengembangkan dan mewujudkan potensi diri yang terbaik. Para pemimpin yang efektif memiliki kesadaran diri dan pemahaman, memiliki keinginan tidak hanya untuk belajar tetapi belajar bagaimana untuk belajar mengembangkan diri untuk menjadi pribadi yang pintar, bijaksana, dan hidup dalam keseimbangan, terbuka, jujur, dan rendah hati, optimis, dan terus belajar untuk menjadikan pengalaman sebagai pembelajaran
dalam
kehidupan
yang
pada
gilirannya
membuat pemimpin merasa tenang, tenteram, mampu beradaptasi dengan perubahan situasi. Ini adalah pemimpin sebagai pelajar. Menurut Covey (2005) faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas kepemimpinan adalah 1. Kecerdasan Mental (IQ) yaitu kemampuan untuk menganalisis, berpikir dan menentukan hubungan sebab-akibat, berpikir abstrak, menggunakan bahasa, memvisualisasikan sesuatu, dan memahami sesuatu. 2. Kecerdasan Fisik (PQ) adalah Kemampuan untuk bertindak berdasarkan pikiran dan perasaan, dan untuk mewujudkan hal-hal yang inginkan. 3. Kecerdasan Emosional (EQ) adalah pengetahuan mengenai diri sendiri, kesadaran diri, kepekaan sosial, empati, dan 28
kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik dengan orang lain. Kecerdasan emosi adalah kepekaan mengenai waktu yang tepat, kepatutan secara sosial, dan keberanian untuk mengakui kelemahan, menyatakan dan menghormati perbedaan. 4. Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah pusat yang paling mendasar di antara kecerdasan yang lain, karena menjadi sumber bimbingan atau pengarahan bagi tiga kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual mewakili kerinduan manusia akan makna dan hubungan dengan yang tak terbatas. Dari semua faktor-faktor di atas, dua variabel yang dipilih untuk digunakan sebagai variabel prediktor servant leadership pendeta yaitu kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. 2.2. KECERDASAN EMOSIONAL 2.2.1. Pengertian Kecerdasan Eosional Istilah kecerdasan emosional pertama kali berasal dari konsep kecerdasan sosial Torndike 1920 yang mendefinisikan kecerdasan sosial sebagai kemampuan mengelola hubungan antar pribadi baik pria maupun wanita yang merupakan syarat penting untuk mencapai kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan manusia (Martin, 2006). Tahun 1983 Gardner menyatakan bahwa manusia memiliki kecerdasan ganda (multiple intelligence) dua diantaranya adalah kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal. Tahun 1990 istilah kecerdasan emosional resmi dicetuskan oleh oleh Salovey dan Mayer ahli psikologi Yale dan Hamsphire dengan mengembangkan kecerdasan pribadi Gardner. Selanjutnya istilah kecerdasan emosional dipopulerkan oleh 29
Goleman pada tahun 1995 melalui karyanya Emotional Intelligence: why it can matter more than IQ? (Goleman, 2007). Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosional adalah kemampuan mendengarkan emosi dengan baik dan menjadikan hal tersebut sebagai sumber informasi penting untuk membangun efektivitas
hubungan
intrapersonal
dan
interpersonal
yang
diekpresikan melalui kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Selanjutnya Goleman, Boyatziz, dan McKee (2005) dalam buku Primal Leadership mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan pemimpin untuk menciptakan resonansi melalui dua kompetensi utama yaitu kompetensi pribadi yang terdiri dari kesadaran diri dan manajemen diri; kompetensi sosial yang terdiri dari kesadaran sosial dan manajemen relasi. Menurut Salovey dan Mayer (dalam Stein dan Book, 2002) kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan itu untuk membantu pikiran memahami perasaan dan maknanya, mengendalikan perasaan secara mendalam dan menggunakan informasi tersebut untuk membimbing pikiran dan tindakan. Patton (1988) mengemukakan bahwa kemampuan menggunakan emosi secara efektif akan memungkinkan seseorang mencapai tujuan dalam
membangun
hubungan
yang
produktif
dan
meraih
keberhasilan kerja. Menurut Covey (2005) kecerdasan emosional adalah pengetahuan mengenai diri sendiri, kesadaran diri, kepekaan sosial, empati, dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik dengan orang lain. Kecerdasan emosi adalah kepekaan mengenai waktu 30
yang tepat, kepatutan secara sosial, dan keberanian untuk mengakui kelemahan, menyatakan dan menghormati perbedaan. Bar-on menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non kognitif yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (Stein dan Book, 2002). Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk menciptakan resonansi (keselarasan emosi) diri sendiri dan orang lain dan menjadikan hal tersebut sebagai sarana untuk menumbuhkan dan mengembangkan kualitas hubungan intrapersonal dan interpersonal melalui kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, dan manajemen relasi. 2.2.2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional Dulewicz dan
Higgs (2000) dalam tinjauan kecerdasan
emosional mengidentifikasi ada tujuh aspek utama kecerdasan emosional dan susunan secara keseluruhan ditunjukkan dalam studi empiris sebagai berikut: 1. Kesadaran diri (self-awareness) adalah kesadaran terhadap perasaan diri sendiri dan kemampuan untuk mengenali dan mengelola atau mengatur perasaan tersebut. 2. Ketahanan
emosional
(emotional
resilience)
adalah
kemampuan melakukan tindakan dengan baik dan konsisten dalam setiap situasi bahkan ketika berada di bawah tekanan. 3. Motivasi (motivation) adalah suatu energi yang dimiliki seseorang yang mendorong untuk mencapai hasil, membuat keseimbangan
tujuan jangka pendek dan jangka panjang 31
untuk mengejar tujuan ketika diperhadapkan dengan tantangan dan penolakan. 4. Sensitivitas interpersonal (interpersonal sensitivity) adalah kemampuan memahami kebutuhan orang lain dan perasaan orang lain serta menggunakan kesadaran tersebut secara efektif dalam berinteraksi dengan orang lain untuk mencapai keputusan yang bermanfaat bagi orang lain. 5. Pengaruh (influence) adalah kemampuan untuk membujuk orang lain supaya mau mengubah sudut pandang mereka pada masalah atau keputusan. 6. Intuitif (intuitiveness) adalah kemampuan menggunakan wawasan dan interaksi untuk mencapai dan melaksanakan keputusan ketika menghadapi informasi yang ambigu. 7. Kesadaran dan integritas (conscientiousness and integrity) adalah kemampuan menampilkan komitmen pada tindakan dalam menghadapi tantangan, untuk bertindak secara konsisten dan sejalan dengan nilai-nilai etis. Sementara Langley (2000) mengelompokkan kecerdasan emosional ke dalam empat aspek, yaitu: 1. Pengelolaandan pengaturan emosi, 2. Pengertiandan pertimbangan mengenai emosidasar 3. Penerimaanpengalaman emosional 4. Perasaandan penilaian emosi Goleman (2007) mengelompokkan kecerdasan emosional ke dalam lima aspek utama, yaitu: 1. Kesadaran
diri
adalah
kemampuan
seseorang
untuk
mengetahui perasaan dalam dirinya dan efeknya serta 32
menggunakannya untuk membuat keputusan bagi diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis akan kemampuan diri sendiri dan mempunyai kepercayaan diri yang kuat lalu mengaitkannya dengan sumber penyebabnya. 2. Pengaturan diri adalah kemampuan menangani emosi, mengekspresikan emosi, mengendalikan emosi, memiliki kepekaan terhadap kata hati serta menggunakan hal tersebut dalam hubungan dan tindakan sehari-hari. 3. Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat untuk membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih baik serta kemampuan mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, kemampuan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. 4. Empati adalah kemampuan merasakan apa yang dialami oleh orang lain, kemampuan memahami perspektif orang lain, ini menimbulkan hubungan saling percaya serta kemampuan menyelaraskan diri dengan berbagai tipe individu. 5. Keterampilan sosial adalah kemampuan untuk menangani emosi diri sendiri dengan baik pada saat membangun hubungan
dengan
orang
lain,
menciptakan
dan
mempertahankan hubungan, bisa memengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan dan bekerja sama dalam tim. Namun dalam buku kepemimpinan berdasarkan kecerdasan emosi, Goleman, Boyatzis, McKee (2005) lebih mempertegas sekaligus menyerdahanakan bingkai kerja kecerdasan emosionalnya menjadi empat aspek utama, yaitu: 33
1. Kesadaran diri 2. Manajemen diri 3. Kesadaran sosial 4. Manajemen relasi Keempat aspek kecerdasan emosional tersebut di atas bekerja bersama-sama dibawah dua kompetensi utama yaitu: kompetensi pribadi terdiri dari kesadaran diri, manajemen diri; dan kompetensi sosial terdiri dari kesadaran sosial dan manajemen relasi yang ditransformasikan pemimpin melalui delapan belas indikator berikut ini: 1. Kesadaran diri emosi yaitu kecakapan pemimpin dalam mendeteksi sinyal emosi diri sendiri, mengenali bagaimana emosi memengaruhi diri dan kinerja, menyelaraskan diri dengan nilai-nilai yang membimbingnya dan secara naluriah dapat menentukan tindakan terbaik, melihat gambaran yang besar dalam situasi yang kompleks, tegas dan otentik, berbicara terbuka tentang emosinya dan keyakinan visi yang membimbingnya. 2. Penilaian diri yang akurat yaitu kecakapan pemimpin dalam memahami kelemahan dan kekuatan diri, menunjukkan citarasa humor diri sendiri, menunjukkan pembelajaran yang cerdas tentang apa yang perlu diperbaiki, menerima kritik dan umpan balik yang membangun, mengetahui kapan harus meminta bantuan, dan dimana harus memusatkan diri untuk menumbuhkan kekuatan kepemimpinan yang baru. 3. Kepercayaan
diri
yaitu
kecakapan
bermain
dengan
kekuatannya, menerima tugas yang sulit, memiliki kepekaan 34
akan
kehadiran
dirinya
suatu
keyakinan
diri
yang
membuatnya menonjol dalam kelompok. 4. Pengendalian
diri
yaitu
kecakapan
pemimpin
dalam
mengelola atau mengatur dirinya supaya menemukan caracara untuk mengatur emosi dan motivasi diri yang sedang terganggu dan menyalurkannya melalui cara-cara yang bermanfaat. Bersikap tenang dan berpikiran jernih dibawah tekanan yang tinggi atau selama situasi krisis. 5. Transparansi yaitu kecakapan dalam menghidupi nilai-nilai hidup, keterbukaan yang otentik kepada orang lain tentang perasaan,
keyakinan,
integritas.
Secara
tindakan terbuka
yang
mengakui
memungkinkan kesalahannya,
menentang perilaku yang tidak etis pada orang lain dan tidak munafik. 6. Kemampuan menyesuaikan diri yaitu kecakapan pemimpin menyesuaikan diri dalam menghadapi berbagai tuntutan tanpa kehilangan fokus atau energi, tetap nyaman dengan situasi yang mendua yang tidak terhindarkan dalam kehidupan organisasi, fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan tantangan baru, cekatan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat, dan berpikiran gesit ketika menghadapi realita baru. 7. Prestasi yaitu kecakapan pemimpin dalam meningkatkan prestasi dengan standar pribadi yang tinggi yang mendorong pemimpin untuk terus mencari perbaikan kinerja baik bagi dirinya maupun para pengikutnya, menetapkan tujuan yang terukur
tetapi
sangat
menantang,
pragmatis,
mampu 35
memperhitungkan resiko sehingga tujuan
yang telah
ditetapkan layak untuk dicapai, terus belajar dan mengajar cara-cara untuk melakukan segala sesuatu dengan lebih baik. 8. Inisiatif yaitu kecakapan pemimpin dalam meningkatkan kepekaan akan keberhasilan, memiliki apa yang diperlukan untuk mengendalikan nasib sendiri, unggul dalam inisiatif, menangkap sekaligus menciptakan kesempatan, tidak ragu menerobos halangan bahkan berani menyimpang dari aturan jika diperlukan untuk menciptakan kemungkinan yang lebih baik bagi masa depan. 9. Optimisme yaitu kecakapan pemimpin mengelola dirinya sendiri bisa bertahan sekalipun di tengah kepungan, melihat kesempatan didalam kesulitan, melihat orang lain secara positif, mengharapkan apa yang terbaik dari orang lain dan mengharapkan perubahan di masa depan demi sesuatu yang lebih baik. 10. Empati yaitu kecakapan pemimpin untuk berempati terhadap orang lain, mampu menangkap sinyal emosi, membiarkan diri merasakan emosi yang dirasakan tetapi tidak dikatakan oleh seseorang atau kelompok, mendengarkan dengan cermat dan bisa menangkap sudut pandang orang lain, bisa berelasi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang suku atau budaya lain. 11. Kesadaran berorganisasi yaitu kecakapan pemimpin dalam berpolitik, mendeteksi jaringan sosial kerja yang krusial dan membaca relasi-relasi yang penting. Memahami nilai-nilai
36
yang membimbing, memahami aturan-aturan nonverbal yang beroperasi dalam organisasi. 12. Pelayanan yaitu kecakapan pemimpin dalam menumbuhkan semangat pelayanan yang tinggi, menumbuhkan iklim emosi yang membuat para pengikutnya berkontak langsung dengan orang lain di luar organisasi, menjaga relasi di jalan yang benar. Memastikan bahwa para pengikutnya mendapatkan apa yang dibutuhkannya dan menyediakan diri ketika diperlukan. 13. Inspirasi yaitu kecakapan pemimpin dalam mengelola relasi, menginspirasi orang lain untuk menciptakan resonansi, menggerakkan orang lain dengan visi atau misi bersama. Melakukan
apa
mengartikulasikan
yang
dimintanya
suatu
misi
dari
bersama
orang
lain,
dengan
cara
membangkitkan inspirasi orang untuk mengikutinya. 14. Pengaruh yaitu kecakapan pemimpin dalam memengaruhi orang lain melalui mengelola relasi supaya menemukan daya tarik pendengar sampai mengetahui cara mendapatkan persetujuan dari orang penting dan jaringan pendukung untuk suatu inisiatif. 15. Mengembangkan orang lain yaitu kecakapan pemimpin dalam melakukan pendekatan persuasi guna memberdayakan orang
lain
dalam
kelompok,
menumbuhkan
dan
mengembangkan kemampuan orang lain, menunjukkan minat yang murni dalam membantu orang lain, memahami tujuan, kekuatan serta kelemahan orang lain, memberikan
37
umpan balik yang membangun pada waktu yang tepat dan menjadi pembimbing yang alami. 16. Katalisator perubahan yaitu kecakapanpemimpin untuk mengenali kebutuhan akan perubahan, menentang status quo, dan memenangkan aturan baru, menjadi penasihat yang kuat terhadap
perubahan,
membuat
argumentasi
yang
menyemangati bahkan menemukan cara-cara praktis untuk mengatasi hambatan. 17. Pengelolaan konflik yaitu kecakapan pemimpin dalam mengelola konflik dengan cara mengumpulkan semua pihak, mengangkat konflik kepermukaan, mengerti sudut pandang yang berbeda, mengakui perasaan dan pandangan dari semua pihak kemudian menemukan dan mengarahkan energi ke arah cita-cita bersama yang dapat disepakati oleh setiap orang. 18. Kerjasama tim dan kolaborasi yaitu kecakapan pemimpin dalam menumbuhkan suasana kekerabatan yang ramah dan memberikan
teladan
dalam
memberikan
penghargaan
melalui sikap bersedia membantu dan kerjasama, menarik orang lain dalam komitmen yang aktif dan antusias bagi usaha bersama, dan membangun semangat serta identitas. 2.2.3. Manfaat Kecerdasan Emosional Goleman (2007) dalam bukunya Working With Emotional Intelligence menuliskan berdasarkan hasil penelitian para neurolog dan psikologi manusia memiliki dua pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh kemampuan intelektual (IQ), sedangkan pikiran emosional digerakkan oleh 38
emosi. Kedua pikiran tersebut bersifat saling mempengaruhi dalam membentuk kehidupan mental manusia. Pikiran rasional adalah model pemahaman yang lazimnya dapat disadari, lebih menonjol kesadarannya, bijaksana, mampu bertindak hati-hati dan merefleksi sedangkan pikiran emosional memberi respon cepat namun ceroboh, sehingga mengarahkan respons seketika manusia dalam menghadapi situasi tanpa berpikir sejenak dan mempertimbangkan akibat dari respons sehingga emosi yang lepas kendali atau tidak terkontrol membuat orang pandai menjadi bodoh (Alder, 2001). Interaksi manusia yang berhasil dalam bentuk apa pun memerlukan kecerdasan emosional. Dalam kaitannya dengan kepemimpinan, Elliott (2003) dan Robins (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor penting yang sangat memengaruhi efektivitas kepemimpinan. Dikatakan demikian karena model kemampuan kecerdasan emosional menyediakan media yang sesuai untuk menguji mengapa para pemimpin membutuhkan kecerdasan emosional melalui pertanyaan “mengapa pemimpin dituntut untuk memiliki kemampuan mengidentifikasi, menggunakan, mengerti, dan mengelola emosi”? Pernyataan ini didukung oleh sejumlah bukti empiris, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan Cooper (1997) menyebutkan bahwa orang dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi lebih berhasil dalam karir, dapat membangun hubungan personal yang lebih baik, memimpin lebih efektif, dapat menikmati kesehatan lebih baik dan dapat memotivasi dirinya sendiri dan orang lain. Selanjutnya Cooper menjelaskan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dapat meningkatkan kekuatan intuisi, senantiasa memercayai dan 39
dipercayai oleh orang lain, memiliki integritas, dapat memecahkan solusi dalam keadaan yang darurat dan dapat melakukan kepemimpinan yang efektif. Goleman, Boyatzis, dan McKee (2005) dalam penelitiannya tentang primal leadership menyatakan bahwa tugas emosi pemimpin itu bersifat primal, karena (1) dalam sepanjang sejarah pemimpin selalu bertindak sebagai pembimbing emosi kelompok, (2) pemimpin harus bisa menciptakan resonansi dalam kelompok. Artinya pemimpin harus menyelaraskan diri dengan perasaan orang-orang lain dan menggerakkan perasaan tersebut ke arah yang positif untuk memberdayakan orang-orang dalam kelompok dalam harmonisan dan kerjasama untuk mencapai tujuan. Gemmell (2010) dalam tulisannya tentang emotional intelligence and outdoor leadership memberikan simpulan aplikatif kecerdasan emosional terhadap efektivitas kepemimpinan, dimana Gemmell
menyatakan
bahwa
kecerdasan
emosional
dapat
meningkatkan pengaruh pemimpin, dapat memfasilitasi aspek pribadi dan kelompok, memiliki kemampuan menafsirkan respon emosional ketika dihadapkan dengan tekanan atau tantangan besar, peka terhadap kebutuhan pengikut, unggul dalam inisiatif dan memliliki ketangguhan dalam resolusi konflik, mampu menanggapi krisis dengan efektif. Palmer, Walls, Burgges, Stough (2001) melakukan
penelitian
tentang
kecerdasan
emosional
dan
kepemimpinan yang efektif menemukan adanya hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan kepemimpinan yang efektif. Mereka menyatakan bahwa aspek-aspek kecerdasan emosional diidentifikasi sebagai dasar efektifivitas kepemimpinan. 40
Senada dengan itu Yukl (2001) mengemukakan bahwa orang-orang yang cerdas secara emosional dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik, tidak mengalami gangguan psikologis, lebih menyadari kekuatan dan kelemahan pribadi, lebih berorientasi pada pertumbuhan orang, mampu mengendalikan diri dan tidak egois. Pernyataan semakin ditegaskan oleh Chen, Jacobs, dan Spencer (1998) yang menyatakan bahwa hampir 90 persen dari keberhasilan dalam posisi kepemimpinan disebabkan oleh kecerdasan emosional. Uraian ini menjadi dasar pijakan peneliti mengambil kecerdasan emosional sebagai prediktor terhadap servant leadership. 2.3. KECERDASAN SPIRITUAL 2.3.1. Pengertian Kecerdasan Spiritual Konsep kecerdasan spiritual pertama kali diperkenalkan oleh Zohar dan Marshall pada akhir abad kedua puluh. Gagasan ini muncul ketika Zohar dan Marshall mengamati pengalaman Mats Lederhausen; seorang profesional muda yang meraih puncak kesuksesan pada usia 30-an. Namun demikian Chief Executif Mc Donald’s Swedia ini menghadapi dilema karier. Mats tidak merasakan bahagia kendati keluarganya harmonis dan kelimpahan uang. Mats prihatin dengan krisis lingkungan hidup dan runtuhnya masyarakat yang marak di berbagai belahan dunia. Perusahaan tempatnya bekerja tidak mampu melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan, Mats merasa bekerja hanya mencari uang selama 13 jam perhari, namun Mats tidak mengabdikan hidupnya untuk hal-hal yang sangat penting karena itu Mats ingin hidup memiliki arti dengan menjadi bagian dari solusi bukan masalah. Pengalaman Mats menurut Zohar dan Marshall sebagai bentuk sosok 41
pekerja yang memiliki kercerdasan hati nurani, kecerdasan tersebut memberikan kesadaran bahwa hidup punya dimensi lebih dalam, dari pada sekedar menghabiskan waktu untuk menumpuk modal material (Widyawan, dalam Jauhari, 2007). Menurut Zohar dan Marshall (2000) kecerdasan spritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan yang lain. Kecerdasan spiritual merupakan fondasi mendasar untuk memanfaatkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Busan (2003) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual terkait dengan cara menumbuhkan dan mengembangkan kualitas-kualitas vital seperti energi, semangat, keberanian dan tekat. Menurut Sinetar (2000) kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk mendapatkan inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, theis-ness atau penghayatan ketuhanan. Sedangkan Eckersley (2000) memberikan pengertian yang lain mengenai kecerdasan spiritual. Menurutnya Kecerdasan spiritual adalah perasaan intuisi yang dalam terhadap keterhubungan dengan dunia luas di dalam hidup manusia. Berman (2001) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual dapat memfasilitasi dialog antara pikiran dan emosi, antara jiwa dan tubuh. Lebih lanjut Berman menyatakan bahwa kecerdasan spiritual juga dapat membantu sesorang untuk dapat melakukan transedensi diri. Senada dengan itu, Sukidi (2004) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa yaitu kecerdasan yang 42
membuat seseorang utuh, sehingga dapat mengintegrasikan fragmen kehidupan, aktivitas dan keberadaannya. Sementara King (2008) menyatakan
bahwa
kecerdasan
spiritual
adalah
sekumpulan
kapasitas mental adaptif yang didasarkan pada aspek-aspek non material dan transenden dari realitas, secara khusus yang berhubungan dengan critical existential thinking, personal meaning production, transcendental awareness, conscious state expansion. Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kualitas nilai-nilai spiritual melalui critical existential thinking, personal meaning production, transcendental awareness, conscious state expansion. 2.3.2. Ciri-ciri Kecerdasan Spiritual Berdasarkan teori Zohar dan Marshall (2000) dan Sinetar (2001) ciri-ciri kecerdasan spiritual adalah sebagai berikut: 1. Mempunyai kesadaran diri. Adanya tingkat kesadaran yang tinggi dan mendalam sehingga bisa menyadari situasi yang datang dan menanggapinya. 2. Mempunyai visi. Ada pemahaman tentang tujuan hidupnya, mempunyai kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilainilai. 3. Fleksibel. Kemampuan seseorang untuk bersikap fleksibel, menyesuaikan diri secara spontan dan aktif untuk mencapai hasil yang baik, mempunyai pandangan yang pragmatis (sesuai kegunaan) dan efisien tentang realitas. 4. Berpandangan holistik. Melihat bahwa diri sendiri dan orang lain saling terkait dan bisa melihat keterkaitan antara 43
berbagai hal. Dapat memandang kehidupan yang lebih besar sehingga memiliki kemampuan dalam menghadapi dan memanfaatkan kesengsaraan sebagai sumber informasi untuk menggali dan menemukan makna dibalik pengalaman tersebut. 5. Melakukan
perubahan.
Terbuka
terhadap
perbedaan,
memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi dan status quo, menjadi orang yang bebas merdeka. 6. Sumber inspirasi. Mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang lain, mempunyai gagasan-gagasan yang segar dan menantang 7. Refleksi diri, mempunyai kecenderungan untuk memikirkan hal yang mendasar dan pokok. Menurut Mahanaya dalam Nggermanto (2002) ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan spitiual yang tinggi adalah 1. Memiliki fisik yang kuat 2. Mampu melihat kesatuan dan keragaman 3. Mampu memaknai setiap sisi kehidupan 4. Mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan penderitaan 2.3.3. Aspek-aspek Kecerdasan Spiritual King (2008) mengelompokan empat aspek utama dari Kecerdasan Spiritual yaitu: 1. Critical existential thinking adalah kapasitas untuk secara kritis merenungkan sifat dari keberadaan, realitas, alam semesta, ruang, waktu, kematian, dan isu-isu eksistensial atau metafisika lainnya. Setiap individu benar-benar harus dapat
merenungkan
masalah
eksistensial
dengan 44
menggunakan pemikiran kritis yang akan memberikan kemampuan
kepada
setiap
individu
tersebut
untuk
menerapkan bentuk berpikir kristis tentang pengalaman lainnya dalam kaitannya dengan keberadaan seseorang supaya dapat mengambil suatu simpulan murni yang dapat dijadikan filosofi pribadi tentang keberadaan dan realitas. 2. Personal meaning production adalah kemampuan untuk memperoleh makna pribadi dan tujuan dari semua pengalaman fisikal dan mental, termasuk kapasitas untuk membuat keputusan dan menguasai kehidupan sesuai dengan tujuan hidup. 3. Transcendental mengidentifikasi
awareness dimensi
adalah
kemampuan
transenden
atau
untuk gambar
transenden dari diri sendiri, orang lain dan dunia fisikal yang disertai dengan kemampuan untuk mengidentifikasi hubungan semua itu dengan diri sendiri dan orang lain secara fisikal dalam kondisi kesadaran normal. 4. Conscious state expansion adalah kemampuan untuk masuk dan keluar kepada keadaan kesadaran spiritual yang lebih tinggi atas kebijaksanaan pribadi perenungan yang dalam atau refleksi, meditasi, doa dan sebagainya. Kesadaran spritual tersebut meliputi kesadaran murni, kesadaran kosmik, kesatuan, keutuhan pada keleluasan seseorang. Amran (2007) mengelompokkan kecerdasan spiritual dalam tujuh dimensi, yakni:
45
1. Conciousness (kesadaran) meliputi mindfulness, pengetahuan transrasional dan praktek-praktek untuk mengembangkan kualitas spiritual; 2. Grace (anugerah) adalah kehidupan dalam kesucian yang memanifestasikan kasih dan kepercayaan 3. Meaning (makna) adalah memaknai aktivitas sehari-hari melalui pengertian tentang tujuan dan panggilan untuk melayani, termasuk dalam penderitaan dan kesakitan 4. Transcendence (transendensi) adalah masuk dalam inter koneksi dengan keutuhan (wholeness, holism) 5. Truth (kebenaran) adalah kehidupan dalam penerimaan yang terbuka dan menaruh kasih terhadap semua ciptaan 6. Peaceful surrender to Self (Truth, God, Absolute, true nature) adalah kedamaian penyerahan pada Yang Maha Kuasa atau Kuasa yang Absolut 7. Inner directedness mencakup kebebasan, ketajaman dan integritas. Sinetar (2001) menuliskan beberapa aspek dalam kecerdasan spiritual yaitu : 1. Kemampuan untuk memilih merupakan kemampuan untuk memilih dan menata hidup berdasarkan suatu visi batin yang tetap dan kuat
yang memungkinkan seseorang hidup
mengorganisasikan bakat. 2. Kemampuan untuk melindungi diri. Individu mempelajari keadaan dirinya baik bakat maupun keterbatasannya untuk menciptakan dan menata pilihan terbaiknya.
46
3. Memperlihatkan kedewasaaan. Kedewasaan berarti tidak menyembunyikan kekuatan-kekuatan dan ketakutan dan sebagai konsekuensinya adalah memilih untuk menghindari kemampuan terbaik. 4. Kemampuan mengikuti cinta. Memilih antara harapan-harapan orang lain lebih penting daripada kepentingan diri sendiri. 5. Disiplin pengorbanan diri. Mau berkorban untuk orang lain, pemaaf tidak mudah prasangka buruk terhadap orang lain dan selalu ingin membuat orang lain bahagia. Dari uraian di atas, diketahui bahwa kecerdasan spiritual merupakan pijakkan yang paling dasar dalam mengoptimalkan kecerdasan emosional dan merupakan landasan tertinggi untuk meningkatkan kualitas servant leadership pendeta di dalam pelayanan. Kecerdasan spiritual akan lebih memungkinkan pendeta mengalami transformasi pribadi. Untuk kepentingan penelitian ini peneliti mengadaptasi aspek-aspek kecerdasan spiritual yang dikemukakan oleh King (2008). 2.3.4. Manfaat Kecerdasan Spiritual Menurut Fluker (2008), Spiritualitas sebagai esensi yang memisahkan umat manusia dari semua makhluk lain memungkinkan seseorang untuk melihat tahapan pengalaman, makna, nilai, dan tujuan yang lebih tinggi dari sudut pandang materialistik dan mengungkapkan kerinduan yang dalam tentang kesatuan dengan diri sendiri dan berdiri sebagai bagian integral dari kesejahteraan. Kecerdasan spiritual berperan sebagai landasan untuk dapat memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional secara efektif dan menjadikan manusia benar-benar utuh secara 47
intelektual, emosional, dan spiritual (Martin, 2001). Suatu penelitian yang dilakukan oleh Chakraborty dan Chakraborty (2004) tentang kecerdasan spiritual dan kepemimpinan menyatakan spiritualitas berpengaruh terhadap bagaimana seseorang bersikap sebagai pemimpin. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual, yang pada gilirannya membawa nilai-nilai spiritualitas dalam kepemimpinan. Dengan demikian pendeta yang cerdas secara spiritual akan dapat memanusiakan manusia, menciptakan perubahan yang positif baik dalam komunitasnya maupun dalam masyarakat luas. Filosofi untuk mengidentifikasi dan menyelaraskan nilai pribadi dengan tujuan yang jelas. Dengan melihat peran penting kecerdasan spiritual terhadap efektivitas kepemimpinan termasuk didalamnya servant leadership yang menjadi dasar pijakan peneliti menetapkan kecerdasan spiritual sebagai prediktor terhadap servant leadership. 2.4. HASIL-HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA Dari penelusuran penulis pada berbagai hasil kajian penelitian, kajian tentang kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara parsial maupun simultan (bersama) dapat dijadikan sebagai prediktor servant leadership masih sangat terbatas di Indonesia. Namun demikian publikasi mengenai kecerdasan emosional dan spiritual secara parsial sebagai prediktor efektivitas kepemimpinan telah banyak dilakukan di Indonesia maupun negaranegara di luar Indonesia. Berikut ini akan dipaparkan beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual khususnya berkaitan dengan penelitian ini.
48
2.4.1. Kecerdasan Emosional danServant Leadership Dalam kaitan dengan kepemimpinan, kecerdasan emosional memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan efektivitas pemimpin. Seorang pemimpin yang efektif menggunakan pengaruh hubungan interpersonal dengan baik. Hal ini sejalan dengan Astuti (2007) yang telah melakukan penelitian terhadap pemimpin The Executive Club Jakarta, metode yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan pengumpulan data melalui studi kepustakaan, wawancara dan kuesioner yang di isi oleh 50 responden. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dan efektivitas kepemimpinan sebesar 51,70%, sedangkan sisanya 48,30% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Umiyati (2006) dalam penelitiannya yang difokuskan terhadap para pimpinan Pusdiklat Regional Depdagri Yogyakarta menemukan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan efektivitas kepemimpinan sebesar 0,403 atau 40,3%. Amirusi (2009) melakukan penelitian terhadap 41 kepala sekolah
di
Sekolah
Dasar
Negeri
Kabupaten
Sampang,
menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional (correlation research) menemukan bahwa aspek-aspek kecerdasan emosional yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi,
empati,
dan
keterampilan
sosial
secara
simultan
berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang dengan koefisien korelasi bersama (R) sebesar 0,729 dan koefisien determinasi atau R Square (R2) sebesar 53,2%. Artinya kecerdasan emosional (kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan 49
sosial) dapat menjelaskan korelasi sebesar 53,2% terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang. Sementara sisanya sebesar 46,8% menandakan masih ada variabel lain di luar pembahasan penelitian.Wong dan Law (2002) menguji pengaruh kecerdasan emosional pemimpin dan bawahan terhadap kinerja dan
sikap. Hasilnya
menunjukkan bahwa
kecerdasan emosional bawahan berdampak pada kinerja dan kepuasan kerja, demikian juga kecerdasan emosional pemimpin berdampak
pada
kepuasan
dan
perilaku
pemimpin
dalam
menjalankan peran kepemimpinan. Selain itu, hasil penelitian lain menunjukkan kecerdasan emosional sangat menentukan kesuksesan manusia dalam membangun interaksi sosial (Bar-on, 2006; Brackett, Warner dan Bosco, 2005); meningkatkan efektivitas kerja (Fabiola 2005); bahkan kecerdasan emosional telah terbukti menjadi prediktor potensial efektivitas kepemimpinan (Goleman, 2000, Duning 2000; Cooper dan Sawaf, 2002). Jordan, Askanasy, Hartel, dan Hooper (2002) melakukan penelitian tentang hubungan kecerdasan emosional dan efektivitas tim, dan fokus tujuan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ratarata tingkat kecerdasan emosional dari anggota tim tercermin dari awal kinerja kelompok. Kelompok yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah menunjukkan kinerja kelompok yang rendah sementara kelompok yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi kinerja kelompok yang tinggi pula. Darling dan Walker (2001)
dalam
penelitiannya
menemukan
bahwa
kecerdasan
emosional sangat berperan dalam menentukan efektivitas pemimpin dalam mengelola konflik. Fenwick (2003) menemukan bahwa 50
kecerdasan emosional memainkan peran penting terhadap kesiapan seseorang dalam mencipta dan berinovasi. Kellett, Humphrey, dan Sleeth (2002) dalam penelitiannya menemukan empati merupakan prediktor penting dalam timbulnya kepemimpinan. Empati merupakan ciri kunci yang menampilkan perilaku servant leadership dalam melayani, memberdayakan, dan melemparkan
visi
kepada
para
pengikut.
Empati
adalah
mempertimbangkan perasaan para pengikut, dan kemudian membuat keputusan yang bijaksana yang menggeser perasaan-perasaan menjadi respon. Dan yang terpenting empati memungkinkan resonansi, jika tidak ada empati maka pemimpin akan bertindak dengan cara yang disonansi (Goleman, Boyatzis, dan McKEE, 2005). Selanjutnya Rapisarda (2002) mengemukakan pemimpin yang dapat merasakan perasaan orang lain akan lebih memiliki kemampuan mengembangkan ikatan emosional dengan orang lain. Pemimpin pelayan yang peduli dengan perasaan pengikut akan menfasilitasi pertukaran kuasa timbal-balik yang memungkinkan pengikut masuk ke dalam visi bersama sehingga pengikut merasa dihargai, dilayani dan solusi yang paling efektif dapat dicapai untuk kebaikan yang lebih besar. Page dan Wong (2000) menyatakan servant leader yang cerdas secara emosi akan lebih tertarik kepada hasil yang bermanfaat bagi orang lain seperti halnya dirinya sendiri. Para servant leader melayani untuk kebaikan orang lain dengan tidak mencari pengakuan tetapi belajar dari pengikut, melayani melampaui kepentingan pribadi dan melihat kepemimpinan sebagai tanggung jawab dan bukan melihat kepemimpinan sebagai posisi. 51
Selanjutnya Schutte (2001) dalam penelitiannya menemukan hubungan yang erat antara kecerdasan emosional dengan pelayanan. 2.4.2. Kecerdasan Spiritual dan Servant Leadership Reave (2005)
melakukan tinjauan literatur
menemukan
kecerdasan spiritual secara konsisten mempengaruhi efektivitas kepemimpinan. Servant leader yang cerdas secara spiritual akan menunjukkan nilai-nilai spiritual melalui, integritas, kepercayaan, pengaruh transformasi etika, komunikasi yang jujur, kerendahan hati sekaligus menunjukkan perilaku spiritual melalui menghormati dan menghargai orang lain, memperlakukan orang lain dengan lebih baik, mengungkapkan kepedulian dan perhatian, mendengarkan secara responsif, menghargai kontribusi orang lain, dan terlibat dalam praktek spiritual. Delbecq (1999) melaporkan pengaruh dari sebuah kursus pengembangan spiritual untuk pemimpin-pemimpin bisnis yang terdiri dari 9 CEO dan 9 MBA di Silicon Valley. Kursus tersebut berfokus pada integrasi kepemimpinan bisnis sebagai sebuah panggilan, mendengarkan suara batin di tengah pergolakan, integrasi diri untuk menanggapi tantangan-tantangan serta hambatan dalam kepemimpinan. Delbecq melaporkan feedback yang positif dari kebanyakan partisipan tentang pengaruh kursus ini dalam praktek kepemimpinan bisnis mereka. Selanjutnya hasil penelitian terdahulu yang menunjukkan pentingnya
kecerdasan
spiritual
dalam
kehidupan
manusia
diantaranya: kecerdasan spiritual erat kaitannya dengan tujuan hidup, kepuasan, dan kesehatan (George, Larson, Koening, dan McCullough, 2000); membuat seseorang bertahan hidup lebih lama (Elmer, Lori, McDonald, Douglas, Friedman, dan Haris, 2003); 52
membuat seseorang memaknai masalah dan mengatasi trauma dengan lebih baik (Emmons, 2000); dan memiliki tingkat depresi yang rendah (McDonald, douglas, Friedman, dan Haris, 2002). Hasil penelitian Hendrik dan Luderman (1997) menunjukkan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang memiliki kualitas kecerdasan spiritual yang baik. Pemimpin yang cerdas secara spiritual memiliki integritas, terbuka, menerima kritik, rendah hati, mengenal dirinya sendiri dengan baik, memahami orang lain dengan baik, terinspirasi oleh visi, dan selalu mengupayakan yang terbaik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain. Demikian juga Samiyanto (2011) melalui hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan spiritual pemimpin (manajer) berpengaruh secara positif signifikan terhadap perilaku servant leadership manajer. Semakin tinggi tingkat kecerdasan spiritual manajer akan berpengaruh pada meningkatnya perilaku servant leadership. khususnya perilaku cinta kasih dan rasa kemanusiaan, kepercayaan, pemberian kewenangan kepada anggota, perhatian terhadap visi organisasi dan anggota, dan kesederhanaan. Andree & Kristyanti (2007) melakukan penelitian tentang gambaran peranan kecerdasan spiritual dalam pengambilan keputusan seorang pemimpin terhadap dua orang manajerial tingkat atas masing-masing manajer diwakili oleh satu orang pengikutnya, menggunakan model penelitian kualitatif, pengambilan data dengan metode wawancara. Hasil wawancara di interpretasi dengan analisis induktif dan pendekatan holistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua pemimpin memiliki kualitas kecerdasan spiritual yang dibutuhkan dalam menjalankan organisasinya yang ditunjukkan melalui adanya visi, 53
makna dan nilai yang di anut oleh masing-masing pemimpin. Visi, makna dan nilai di peroleh para pemimpin dalam kehidupannya sehari-hari yang dipelajari dari lingkungan sekitarnya. Kedua pemimpin
yang
menjadi
responden
terlihat
mengandalkan
kecerdasan spiritual dalam pengambilan keputusan. Dua faktor utama dari kecerdasan spiritual yang sangat terlihat peranannya dalam pengambilan keputusan adalah visi pemimpin untuk organisasinya serta nilai hidup yang dipegang teguh. 2.5. LANDASAN TEORI 2.5.1. Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual sebagai prediktor Servant Leadership Servant leadership akan berlangsung dengan efektif apabila mampu memenuhi fungsinya untuk menginspirasi orang lain untuk melihat nilai dan potensi diri yang terbaik dari dalam dirinya. Untuk mencapai tujuan tersebut sangatlah bergantung pada bagaimana cara para pemimpin menciptakan resonansi kelompok yang dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan fungsi servant leadership melalui kerjasama dan bantuan orang-orang yang dipimpinnya. Maka dari itu menurut Goleman, Boyatzis, dan McKee (2005) pada kenyataannya para pemimpin besar bekerja dengan melibatkan emosi. Pemahaman akan peran kuat emosi yang membedakan pemimpin hebat dari pemimpin lainnya bukan saja terlihat dari halhal yang nyata seperti bertahannya orang-orang yang berbakat tetapi juga dalam hal-hal yang tidak nyata namun sama pentingnya seperti moral, motivasi, dan komitmen yang tinggi. Pemimpin yang menyebarkan emosi positif akan memancing keluar sisi terbaik dari orang lain sehingga dapat memberikan efek resonansi tetapi 54
sebaliknya pemimpin yang menggerakkan emosi kelompok dengan negatif akan memberikan efek disonansi. Kemampuan pemimpin untuk menciptakan resonansi sangatlah ditentukan oleh tingkat kematangan emosional pemimpin atau yang disebut dengan kecerdasan emosional. kecerdasan emosional pemimpin akan tercermin melalui kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial dan manajemen relasi. Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional pemimpin akan berpengaruh pada meningkatnya kualitas perilaku servant leadership yang ditunjukkan oleh pemimpin dalam proses kepemimpinannya. Pernyataan ini sejalan dengan hasil-hasil penelitian terdahulu, diantaranya adalah penelitian Hannay (2009), Barbuto dan Bugenhagen (2009), Gardner dan Stough (2002), Barling, Slater, dan Kelloway (2000) yang menemukan bahwa perilaku servant leadership akan cenderung diperlihatkan pemimpin yang
memiliki
kecerdasan
emosional
yang
tinggi
seperti
pengendalian diri yang kuat, kelayakan dipercaya, dan respon empati terhadap kebutuhan orang-orang dipimpinnya. Selain aspek kecerdasan emosional, aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah kecerdasan spiritual, sebab kecerdasan spiritual akan memampukan pemimpin memecahkan persoalan makna dengan menempatkan perilaku dalam konteks makna yang lebih kaya dan luas yang tercermin melalui critical existential thinking, personal meaning production, transcendental awareness, conscious state expansion (King 2008). Kemampuan seorang pemimpin dalam memaknai eksistensi kehidupan melampaui kekinian dan pengalaman manusia akan menjadikan pemimpin benar-benar memahami siapa dirinya dan apa makna terdalam dari 55
pekerjaan yang ditekuni. Kecerdasan spiritual memberi kemampuan pada
seorang
pemimpin
untuk
membangun
keterampilan
komunikasi intrapersonal dan hubungan interpersonal, menjadi esensi moralitas seseorang, sebagai kekuatan yang kuat dalam membentuk kehidupan manusia di tempat kerja dan di semua domain lainnya, memberi manfaat pengalaman kehidupan secara menyeluruh dan kebijaksanaan dalam manajemen disiplin diri (Steingard, 2005). Semakin tinggi tingkat kecerdasan spiritual pemimpin akan berpengaruh pada meningkatnya kualitas perilaku servant leadership yang ditunjukkan oleh pemimpin dalam proses kepemimpinannya. Pernyataan ini sejalan dengan hasil-hasil penelitian terdahulu, diantaranya Hendrik dan Luderman (1997), Amram (2005), Samiyanto (2011) yang menemukan bahwa perilaku servant leadeship akan cenderung diperlihatkan oleh pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi seperti, integritas, menerima kritik dengan baik, rendah hati mengenal dirinya dengan baik, memiliki respon empati yang tinggi, makna dari tujuan hidup, panggilan pelayanan yang kuat yang mengikat peran pemimpin dalam menetapkan tujuan dan memobilisasi makna bagi tujuan organisasi. Amram (2005) melakukan penelitian terhadap 42 CEO, menemukan bahwa kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual memberikan kontribusi untuk efektivitas kepemimpinan bisnis. Hartsfield
(2003)
melakukan
penelitian
tentang
hubungan
kecerdasan emosional, spiritualitas dan efikasi diri dengan kepemimpinan transformasional, sampel penelitiannya adalah para pemimpin perusahaan besar di Amerika. Hasil penelitiannya 56
menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara kecerdasan
emosional,
spiritualitas,
efikasi
diri
dengan
kepemimpinan transformasional. Selanjutnya Attri (2012) dalam sebuah artikelnya menyatakan bahwa kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual bertindak sebagai katalis untuk pemimpin inspirasional. Apabila kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dapat diintegrasikan secara efektif maka akan menghasilkan pemimpin yang memiliki kualitas servant leadership yang menonjol, dan ini akan tercermin melalui karakter dan personality yang patut diteladani oleh para pengikutnya 2.6.KERANGKA BERPIKIR Berdasarkan
tujuan
penelitian,
hasil-hasil
penelitian
sebelumnya dan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya maka kaitan antar variabel dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Model Penelitian X1 (Kecerdasan Emosional) Y Servant Leadership X2 (Kecerdasan Spiritual)
57
2.7. HIPOTESIS PENELITIAN Hipotesis dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual sebagai prediktor servant leadership pendeta di Gereja Kristen Sulawesi Tengah.
58