BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Prokrastinasi 2.1.1 Pengertian Prokrastinasi Istilah prokrastinasi berasal dari bahasa Latin procrastination dengan
awalan
”pro”
dan
akhiran
”crastinus”.
Pro
berarti
kecenderungan bergerak maju, crastinus berarti menuju keesokan hari (Steel, 2006). Sehingga jika digabungkan prokrastinasi menjadi menangguhkan atau menunda sampai hari berikutnya. Penundaan adalah kecenderungan untuk menunda atau sama sekali menghindari tanggung jawab, keputusan, atau tugas yang perlu dilakukan (Haycock, McCarthy, & SKAY 1998, Tuckman dan Sexton, 1989 dalam La Forge, 2005). Ellis dan Knaus (La Forge, 2005) mengatakan bahwa prokrastinasi adalah kebiasaan penundaan yang tidak bertujuan dan proses penghindaran tugas, yang hal itu sebenarnya tidak perlu dilakukan seseorang karena adanya ketakutan untuk gagal, serta adanya pandangan bahwa segala sesuatu harus dilakukan dengan benar, bahwa penundaan yang telah menjadi respon tetap atau kebiasaan dapat dipandang sebagai suatu kebiasaan (trait) prokrastinasi. Salomo dan Rothblum (1984) mendefinisikan prokrastinasi sebagai perbuatan yang tanpa alasan memperlambat pekerjaan sampai
pada titik ketidaknyamanan yang dialami. Penundaan melibatkan mengetahui bahwa seseorang bisa saja melakukan suatu kegiatan, dan mungkin bahkan ingin melakukannya, namun gagal untuk memotivasi diri sendiri untuk melakukan aktivitas dalam waktu yang diinginkan atau diharapkan (Senecal, Koestner, & Vallerand 1995 dalam La Forge, 2005). Prokrastinasi adalah suatu kecenderungan untuk menunda dalam memulai maupun menyelesaikan kinerja secara keseluruhan untuk melakukan aktivitas lain yang tidak berguna, sehingga kinerja menjadi terhambat, tidak pernah menyelesaikan tugas tepat waktu, serta
sering
terlambat
dalam
menghadiri
pertemuan-pertemuan
(Tuckman, 2007). Ferrari, dkk (1995) juga membagi prokrastinasi menjadi dua: a. Functional procrastination, yaitu penundaan mengerjakan tugas yang
bertujuan
untuk
memperoleh
informasi
yang
lebih
penundaan
yang
tidak
lengkap dan akurat. b. Disfunctional
procrastination
yaitu
bertujuan, berakibat jelek dan menimbulkan masalah. Ada dua bentuk prokrastinasi yang disfunctional berdasarkan tujuan mereka melakukan penundaan, yaitu: 1. Decisional Procrastination Decisional procrastination adalah suatu penundaan dalam
mengambil
keputusan.
Bentuk prokrastinasi ini
merupakan sebuah anteseden kognitif dalam menunda untuk mulai melakukan suatu kerja dalam menghadapi situasi yang dipersepsikan penuh stress (Ferrari, dalam Rizvi dkk., 1997). Prokrastinasi dilakukan sebagai suatu bentuk coping yang digunakan untuk menyesuaikan diri dalam
perbuatan keputusan
pada
situasi-situasi
yang
dipersepsikan penuh stress. Jenis prokrastinasi ini terjadi akibat kegagalan dalam mengindentifikasikan tugas, yang kemudian
menimbulkan konflik
dalam
diri
individu,
sehingga akhirnya seorang menunda untuk memutuskan masalah. Decisional procrastination berhubungan dengan kelupaan,
kegagalan proses kognitif, akan tetapi tidak
berkaitan dengan kurangnya tingkat intelegensi seseorang. 2. Avoidance Procrastination Avoidance
procrastination
atau
Behavioral
procrastination adalah suatu penundaan dalam perilaku yang tampak. Penundaan dilakukan sebagai suatu cara untuk menghindari tugas yang dirasa tidak menyenangkan dan sulit untuk dilakukan. Prokrastinasi dilakukan untuk menghindari kegagalan dalam menyelesaikan pekerjaan yang
akan mendatangkan.
berhubungan dengan
tipe
Avoidance self
procrastination
presentation,
keinginan
untuk
menjauhkan diri dari tugas yang menantang, dan
implusiveness. 2.1.2 Ciri-Ciri Prokrastinasi Akademik Ferrari dkk, 1995
mengemukakan ciri-ciri prokrastinasi
akademik sebagai berikut : a. Penundaan untuk memulai dan menyelesaikan kerja tugas. Seseorang yang melakukan prokrastinasi tahu bahwa tugas yang dihadapi harus segera diselesaikan dan berguna bagi diri procrastinator,akan tetapi mengerjakannya
menunda
atau mununda-nunda
nunda
untuk mulai
untuk
menyelesaikan
sampai tuntas jika ia sudah mulai mengerjakan sebelumnya. b. Keterlambatan dalam mengerjakan tugas. Orang yang melakukan prokrastinasi memperlakukan waktu yang lebih lama dari pada waktu yang dibutuhkan pada umumnya dalam mengerjakan suatu tugas.Seorang prokrastinator menghabiskan waktu yang dimilikinya untuk mempersiapkan diri secara
berlebihan
maupunmelakukan
hal-hal
yang
tidak
dibutuhkan dalam penyelesaian tugas tanpa memperhitungkan keterbatasan waktu yang dimiliki. – c. Kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual. Seorang
procrastinator
mempunyai
kesulitan
untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan sebelumnya.Seseorang procrastinator sering mengalami
keterlambatan dalam memenuhi deadline yang telah ditentukan, baik oleh orang lain maupun rencana rencana yang telah di tentukan sendiri. d. Melakukan aktifitas lain yang lebih menyenangkan yang bersifat hiburan. Seorang
procrastinator
dengan
sengaja
tidak
segera
melakukan tugasnya, akan tetapi menggunakan waktu yang dimiliki untuk melakukan aktifitas lain yang dipandang lebih menyenangkan
dan mendatangkan
hiburan,seperti
membaca
(koran, majalah, atau buku cerita lainnya), ngobrol, jalan-jalan, sehingga menyita waktu yang ia miliki untuk mengerjakan tugas yang harus diselesaikan. Dari ciri-ciri diatas dapat disimpulkan bahwa prokrastinasi akademik adalah penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan kerja pada tugas yang dihadapi, keterlambatan dalam mengerjakan tugas, kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual dan melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan daripada melakukan tugas yang harus dikerjakan.
2.1.3 Aspek-Aspek Prokrastinasi Akademik Menurut Solomon dan Rothblum (1984) mengutarakan bahwa ada tiga aspek yang ada dalam prokrastinasi yaitu, frekwensi, kebermasalahan dan keinginmengurangi penundaan.
2.2 Televisi 2.1.2 Pengertian Televisi Televisi berasal dari kata sangsekerta yaitu “ visi “ yang artinya impian atau harapan untuk mencapai suatu tujuan. Berangkat dari sebuah pengertian visi, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa televisimemilikitujuanbagaimana
mampu
menarik
peminat
yang
mengalami secara sadar untuk ikut menikmati dari apa yang menjadi seuah tujuan.TV sudah menjadi amanah atau tuntutan untuk melayani segala kebutuhan informasi yang diinginkan masyarakat. Jadi televisi adalah suatu wadah atau sarana penyampaian informasi atau pemberian pelayanan kepada publik. Pada zaman sekarang ini, TV merupakan media elektronik yang mampu menyebarkan berita secara cepat dan memiliki kemampuan mencapai khalayak dalam jumlah tak terhingga pada waktu yang bersamaan.TVdengan berbagai
acara
yang
ditayangkannya
telah
mampu menarik minat pemirsanya dan membuat pemirsanya ketagihan untuk selalu menyaksikan acara-acara yang ditayangkan. Bahkan bagi anak-anak sekalipun sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas kesehariannya dan sudah menjadi agenda wajib bagi sebagian besar anak. Pemilik pesawat tinggal menggunakan antenna parabola guna menangkap siaran dari Negara mana yang diinginkan. TV adalah sistem elektronik yang mengirimkan gambar diam dan gambar hidup bersama suara melalui kabel atau ruang menurut
Azhar Arysad (2010).TV sesungguhnya adalah sistem elektronik yang mengirimkan gambar diam dan gambar hidup bersama suara melalui kabel atau ruang.Sistem ini menggunakan peralatan yang mengubah cahaya dan suara ke dalam gelombang elektrik dan mengkonversinya kembali ke dalam cahaya yang dapat dilihat dan suara yang dapat didengar. 2.1.3 Pengertian Intensitas Menonton Televisi Menurut Poerwadimanto (2003) Intensitas adalah keadaan atau tingkatan atau ukuran.Ukuran tingkatan disini menggambarkan seberapa seringnya anak menonton TV.Menonton adalah sasaran setiap program siaran dan sifatnya heterogen, karena itu agar lebih efektif dalam penerimaan pesan. Sehingga menonton diharapkan memberikan umpan balik, setelah mengikuti program siaran yang disiarkan, agar dapat digunakan sebagai bahan upaya penyempurnaan menurut Darwanto (2007). Dari beberapa pengertian tersebut diatas, penulis menarik kesimpulan tentang intensitas menonton televisi yaitu ukuran atau lama waktu dalam melihat jenis acara yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada pemirsa berupa gambar bergerak.
2.1.4 Fungsi Media Televisi 1) Televisi Sebagai Media Pendidikan Televisi pendidikan adalah penggunaan program video yang direncanakan untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu tanpa melihat siapa yang menyiarkannya.Televisi pendidikan tidak hanya menghibur, tetapi lebih penting adalah mendidik menurut Syukur (2008). Menurut
Azhar
Arsyad(2010)TV
pendidikan
adalah
penggunaan program video yang dirancangkan untuk mencapai tujuan
pengajaran
tertentu
tanpa
melihat
siapa
yang
menyiarkannya.TV pendidikan tidak sekedar menghibur tetapi lebih penting adalah mendidik. Oleh karena itu, memiliki ciri-ciri tersendiri, antara lain: a.
Dituntut oleh instruktur seorang guru atau instruktur menuntun siswa melalui pengalaman-pengalaman visual.
b.
Sistematis siaran berkaitan dengan mata pelajaran dan silabus dengan tujuan dan pengalaman belajar yang terencana
c.
Teratur dan berurutan siaran disajikan dengan selang waktu yang beraturan secara berurutan di mana satu siaran dibangun atau mendasari siaran lainnya.
d.
Terpadu siaran berkaitan dengan pengalaman belajar lainnya seperti latihan, membaca, diskusi, laboratorium, percobaan, menulis, dan pemecahan masalah.
Acara pendidikan yang disiarkan melalui media massa televisi, kalau dilihat prosesnya merupakan proses komunikasi, dan komunikasinya tidak mempunyai kebebasan karena bersifat institusional. Di sini komunikator yang biasanya dalam dunia pendidikan disebut sebagai pendidik atau lebih dikenal sebagai guru/dosen, sedangkan pesan yang disampaikan disebut sebagai mata pelajaran/kuliah yang tentu saja mengandung nilai-nilai pendidikan, sedangkan sebagai komunikasinya adalah anak didik yang lazim disebut sebagai murid/anak didik/mahasiswa (dalam Lestanti, 2011) 2) Televisi Sebagai Media Hiburan Menurut Badjuri (2010) meskipun secara konseptual fungsi televisi sama dengan media massa lainnya, yaitu informatif, edukatif, dan menghibur, namun fungsi terbesar dari media TV adalah menghibur. Potensi menghibur ini pada satu sisi dapat dipahami sebagai ancaman bagi dunia pendidikan, tetapi pada sisi lain justru menjadi keunggulan terutama jika dikaitkan dengan teknologi pembelajaran yang mengembangkan konsep imajinasi, kreatif, belajar secara menyenangkan (joyful Learning).
2.1.5 Kelebihan dan Kelemahan TV Selain film, TV adalah media yang menyampaikan pesan-pesan pembelajaran secara audio-visual dengan disertai unsur gerak. Dilihat
dari sudut penyampaian pesannya TV tergolong kedalam media massa. TV sebagai media pendidikan memiliki kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangannya (Ardiyanto, 2010) yaitu sebagai berikut : 1) Kelebihan TV a. TV dapat memancarkan sebagai jenis bahan audio-visual termasuk gambar diam, film, obyek, spesimen dan drama. b. TV dapat menyajikan model dan contoh-contoh yang baik bagi siswa. c. TV dapat membawa dunia nyata ke rumah dan ke kelas- kelas, seperti orang, tempat-tempat, dan peristiwa-peristiwa melalui penyiaran langsung atau rekaman. d. TV dapat memberikan kepada peluang untuk melihat dan mendengar diri sendiri. e. TV dapat menyajikan program-program yang dapat dipahami oleh siswa-siswa dengan usia dan tingkatan yang berbeda-beda. f. TV dapat menyajikan visual dan suara yang amat sulit diperoleh pada dunia nyata, misalnya ekspresi wajah, detail operation, dan lain-lain. g. TV dapat menghemat waktu guru dan siswa, misalnya dengan merekam siaran pelajaran yang disajikan dapat diputar ulang jika diperlukan tanpa harus melakukan hal itu lagi.
h. TV merupakan cara yang ekonomis untuk menjangkau sejumlah besar siswa pada lokasi yang berbeda-beda untuk penyajian yang bersamaan. i. TV dapat menambah pengetahuan guru dalam hal mengajar. 2) Kelemahan TV a. TV hanya mampu menyajikan komunikasi satu arah. b. TV pada saat disiarkan akan berjalan terus dan tidak ada kesempatan untuk memahami pesan-pesan sesuai dengan kemampuan individual siswa. c. Guru tidak memiliki kesempatan untuk memahami pesanpesannya sesuai dengan kemampuan individu siswa. d. Layar pesawat televisi tidak mampu menjangkau kelas besar sehingga sulit bagi siswa untuk melihat secara rinci gambar yang disiarkan. e. Kekhawatiran muncul bahwa siswa tidak memiliki hubungan pribadi dengan guru dan siswa, bisa jadi bersikap pasif selama penayangan. 2.1.6 Dampak Penonton TV TV merupakan salah satu media massa yang mengalami perkembangan paling fenomenal di dunia. Meski lahir paling belakangan dibanding media massa cetak, dan radio namun pada akhirnya media televisilah yang paling banyak diakses oleh masyarakat
di mana pun di dunia ini. Menurut Badjuri,(2010). dampak
yang
timbul bagi anak-anak akibat menonton televisi bisa dilihat dari: 1) Perilaku Peniruan
perbuatan
kekerasan,
kekhawatiran
para
psikologis, pemimpin agama, bila anak-anak secara rutinitas melahap aneka ragam acara dalam berbagai bentuk format, terutama film kekerasan, maka punya kemungkinan besar akan meniru dalam keseharian mereka.
2) Sikap Tidak dapat membedakan mana kenyataan dan khayalan. Dapat dimaklumi anak-anak berpandangan mereka yang tampil di layartelevisi merupakan hal yang nyata. Hal ini disebabkan berpikirnya anak masih sederhana.Ingin mendapatkan semata secepat mungkin. Karena segalanya
serbaseketika, sesuatu yang
berlangsung serba cepat berlaku bagi penayangan televisi adalah detik. 3) Pendidikan Menghabiskan waktu, Banyak waktu yang dihabiskan anak hanya untuk menonton televisi, sehingga mengurangi aktivitas yang lain seperti bermain dengan sesamanya, membantu kedua orang tua, mengerjakan tugas belajar dan tugas rumah. 4) Mengurangi minat belajar
5) Budaya dan agama Dapat mengurangi identitas nasional dan kekaguman yang berlebihan kepada budaya barat. Segala sesuatu yang menjadi jati diri bangsa menjadi berkurang, namun jika timbul kekaguman apa saja yang tampil di layar televisi, hal-hal yang buruk maka perlu mencegahnya.
2.3Kebiasaan Anak untuk Menonton Acara Televisi 2.3.1 Pengertian Kebiasaan Kebiasaan menurut kamus besar Bahasa Indonesia berasal dari kata biasayang artinya lazim, umum, dan sering, sedangkan kebiasaan adalah sesuatu yang sudah biasa dilakukan. Kebiasaan berdasarkan hasil penelitian oleh Dr. Leonard Eron dan Dr. Rowell Huesmann dari University of Michigan (2004) adalah sesuatu yang sering dilakukan, sedangkan kebiasaan menonton acara televisi dapat dikatakan sebagai tingkat keseringan dalam menonton TV, frekuensi, dan lamanya dalam menonton. Menurut Lickona (1991) kebiasaan habit dapat diartikan sebagai latihan yang dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi karakter. Karakter ini yang akan menjadi suatu budaya dalam kehidupan seharihari. Hasil penelitian George Boggs (dalam Jefferson Center, 1997) mengatakan bahwa perilaku yang dilakukan secara terus menerus dan akan membentuk budaya tertentu maka dapat dikatakan sebagai budaya.
Kebiasaan
menonton
setiap
individu
akan
berbeda-beda
bergantung dari karakteristik anak. Psikolog Evi Elvianti (2004) mengatakan bahwa tingkat frekuensi dan lamanya menonton bergantung pada umur dan kondisi keluarga. Aktivitas sehari-hari anak sangat mempengaruhi pembentukan karakter kehidupannya. Perilaku seseorang
yang dilakukan secara
intensif akan
melahirkan sebuah kebiasaan. Kebiasaan tersebut akan menjadikan budaya yang berkembang pada individu-individu dan menjadi budaya masyarakat. Ade Armando (2004) mengatakan bahwa kebiasaan menonton televisi pada anak bergantung pada peran orang tua dalam mendidik
anak.
Kebiasaan
menonton
akan
berpengaruh
pada
pendewasaan anak. Lamanya waktu menonton TV akan menjadikan perilaku rutin yang terbiasa. Kebiasaan itu sendiri terjadi karena adanya paradigma. Pengertian tentang paradigma adalah sudut pandang atau kerangka yang terbentuk oleh pengalaman hidup. Terdapat tujuh kebiasaan yang harus dimiliki oleh seseorang, yaitu: 1) Jadilah Proaktif (be proactive) 2) Merujuk pada tujuan akhir (Begin with the end in mind) 3) Dahulukan yang Utama (Put first thing first) 4) Berpikir menang-menang (Think win-win) 5) Berusaha mengerti terlebih dahulu baru dimengerti (Seek first to understand then to be understood)
6) Wujudkan Sinergi (Synergize) 7) Kebiasaan untuk pengembangan diri Bentuk ketujuh aspek diatas maka akan terlihat bahwa kebiasaan seseorang akan perilaku seseorang yang dapat dilihat dari keaktifan, pikirannya, usahanya, dan pengembangan dirinya. Dari beberapa pengertian tersebut, penuulis menarik kesimpulan tentang kebiasaan menonton televisi sebagai tingkat keseringan dalam menonton televisi, frekuensi, dan lamanya dalam menonton. 2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Menonton Acara Informasi Berdasarkan penelitian Guntoro (2003) kebiasaan menonton acara TV dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya umur, jenis kelamin, gaya menonton, frekuensi, dan lamanya menonton. Perbedaan umur akan mempengaruhi kebiasaan menonton. Piaget mengemukakan tentang fase perkembangan kognitif, yaitu: 1) Fase sensorik (umur 0-2 tahun) Pada umur ini dapat dikatakan bahwa anak terikat pada pengalaman langsung. Interaksi antara panca indera dan lingkungan. 2) Fase intuituf atau praoperasional (umur 2-7 tahun) Pada umur ini anak sudah tidak lagi terikat oleh lingkungan, ia mulai mengembangkan berbagai tanggapan mental yang terbentuk dalam fase sebelumnya. Fase ini kemampuan menyimpan tanggapan bertambah besar.
3) Fase operasi konkret (umur 7-11 tahun) Fase
ini
menggambarkan
bahwa
anak
sedang
mengalami
perkembangan struktur mental. Pada pengajaran maka perkembangan kongnitif siswa harus dicapai dengan hal yang konkret. Pengajar dapat mengembangkan
aktivitas
siswa
seperti
menghitung,
mengelompokkan, membentuk, dan lainnya. 4) Fase operasi formal (umur 11-16 tahun) Fase ini merupakan pengembangan pola-pola berfikir formal. Anak pada umur ini sudah dapat menangkap arti simbolsis, arti kiasan, kesamaan, dan perbedaan, anak sudah mampu menganalisis sesuatu yang terjadi. Menurut JB. Wahyudi (1983) faktor yang mempengaruhi kebiasaan anak menonton acara informasi dibagi menjadi tigamacam yaitu: 1) Rasa ingin tahu 2) Pengaruh lingkungan 3) Motif atau dorongan tugas Ishadi (1981) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan anak terbiasa menonton acara TV, yaitu: 1) Kebutuhan akan informasi 2) Budaya keluarga 3) Kejadian atau peristiwa
1.4 Hubungan antara Kebiasaan Menonton Televisi dengan Prokrastinasi Interaksi sosial menurut Bonner (dalam Asri Budiningsih, 2004) yaitu hubungan antara dua atau lebih manusia, dimana perilaku individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku individu yang lain, atau sebaliknya. Interaksi ini dalam bentuknya yang sederhana merupakan proses yang kompleks, karena didasari oleh beberapa faktor, baik secara sendiri-sendiri maupun gabungan. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah faktor imitasi, intuisi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Pada umumnya seseorang berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannnya, baik lingkungan fisik, psikis maupun rohaniah.Menyesuaikan diri berarti mengubah diri sesuai situasi lingkungan (autoplas), tetapi juga mengubah diri sesuai dengan keadaan (Keinginan) dirinya (aloplastis).Dalam situasi sosial yaitu situasi-situasi dimana terdapat saling hubungan diantara manusia satu dengan yang lainya, terdapat tata hubungan tingkah laku dan sikap diantara anggota-anggotanya. Menurut Effendy (1986:), Pengaruh TV tidak lepas dari pengaruh terhadap aspek-aspek kehidupan pada umumnya. Bahwa TV menimbulkan pengaruh mengetahui
terhadap dan
kehidupan
masyarakat
merasakannya,
baik
Indonesia, pengaruh
sudah positif
banyak ataupun
negatifnya.Acara televisi pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan persepsi, dan perasaan para penonton.Sehingga mengakibatkan penonton terharu, terpesona, atau latah.Sebab salah satu pengaruh psikologis televisi
seakan-akan menghipnotis penonton sehingga mereka seolah-olah hanyut dalam keterlibatan kisah atau peristiwa yang disajikan televisi. Banyak siswa Sekolah Dasar yang
menunda-nunda
untuk
mengerjakan tugas dari guru atau menunda belajar saat menghadapi ulangan, siswa menunda dengan melakukan aktivitas lain yang tidak mendukung kegiatan pembelajaran. Menurut Ferarri dan Lay (Ferrari,1995) siswa memiliki keinginan untuk melakukan suatu aktivitas akademik sesuai dengan harapan dan batas waktu yang telah ditentukan, tetapi pada akhirnya kehilangan semangat untuk melakukannya sehingga siswa tersebut menunda pekerjaan sehingga disebut prokrastinasi akademis. Seseorang yang melakukan penundaan tersebut disebut prokrastinator. Seorang menghadapi
prokrastinator
tugas-tugas
yang
sebenarnya
sadar
bahwa
dirinya
penting, akan tetapi dengan sengaja
menunda-nunda hingga muncul perasaan tidak nyaman dan cemas. Jika seorang prokrastinator lebih memilih memonton acara TV maka secara tidak langsung akan membuat kegiatan dan tugas-tugas sekolah terbengkalai.
2.5 Kerangka Berpikir TV dengan berbagai acara yang ditayangkannya telah mampu menarik minat pemirsanya, dan membuat pemirsanya ‘ketagihan’ untuk selalu menyaksikan acara-acara yang ditayangkan.Bahkan bagi anak-anak sekalipun sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aktiviatas kesehariannya.Anak-anak bisa menghabiskan waktunya berjam-jam hanya
untuk menonton TV kesayangannya.Dengan demikian, anak perlu dilibatkan dalam aktivitas kelompok, tetapi yang terpenting tetap perlu mengembangkan harapan melakukan mana yang baik dan mana yang buruk. Menurut Piaget, antara usia lima dan dua belas tahun konsep anak mengenai keadilan sudah berubah. Pengertian yang kaku dan keras tentang benar dan salah, yang dipelajari dari orang tua, menjadi berubah dan anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral. Dengan kebiasaan menonton acara TV, maka anak akan menunda tugas yang diperoleh atau bahkan melupakannya. Dari hasil wawancara secara lisan dengan siswa, diperoleh hasil bahwa sebagian besar siswa meluangkan sebagian waktunya di rumah untuk menonton TV sebagai contoh ada yang menjawab sekitar 4 jam sehari untuk menonton TV, ada yang kurang dari 4 jam bahkan ada juga yang lebih. Sebagian siswa bahkan ada yang lupa kalau mempunyai pekerjaan rumah dari sekolah, ada yang lupa menata jadwal pelajaran bahkan ada siswa yang menunda – nunda tugas hingga lupa mengerjakannya. Hasil penelitan Kurniawati Dyah (2007) dengan judul hubungan kebiasaan menonton televise dengan prokastinasi dengan sempel 90 orang.menonton
acara
televisi
seperti
ultramen,spongbob
banyak
mengundang dampak negative dari pada positif,dengan nilai koofisien kolerasi 0,758, Kesimpulannya ada hubungan yang signifikan antara menonton televise dengan prokastinasi.
Penelitian Anisa Wati (fakultas psikologi universitas sultan agung semarang) dengan subjek siswa yang sering menonton televise di SMP 6 Semarang menunjukan bahwa ada hubungan positif antara menonoton televise dengan prokastinasi koefisien determinan (R2) sebesar 0,525 yang menunjukan bahwa 2,5% dari prokastinasi pada siswa yang sering mnenonton televisi,sedangkan 47,5 % lainya dipengaruhi variable lain.
2.6 Hipotesis Hipotesis dalam statistic merupakan dugaan keadaan populasi dengan menggunakan data sampel (Sugiyono, 2007).Dalam penelitian ini hipotesis yang digunakan adalah hipotesis hubungan (asosiatif).Hipotesis hubungan asosiatif adalah suatu pernyataan yang menunjukkan dugaan tentang hubungan antara dua variabel atau lebih. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif signifikan antara
kebiasaan
menonton
TVdengan
Prokrastinasi,semakin
tinggi
kebiasaan menonton TV maka semakin tinggi Prokrastinasi siswa kelas 5 SD Negeri Mangusari 04 Kota Salatiga semester II Tahun ajaran 2012 / 2013.