BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Disiplin Diri Hurlock (1978) menyatakan bahwa ”discipline is training in self control or education (teaching children what they should or should not do). It also means training that molds, strengthens, or perfects children to follow the rules. Disiplin diartikan sebagai melatih individu dalam hal kontrol diri atau melatih individu mengenai apa yang boleh dan tidak boleh mereka perbuat sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Disiplin diri merupakan suatu proses melatih diri yang secara sadar bertujuan mengarah ke tujuan yang telah ditetapkan. Disiplin diri merupakan perilaku pada diri seseorang yang berusaha selalu menepati atau mentaati segala peraturan yang berlaku. Konsep disiplin diri merupakan perwujudan kerelaan seseorang untuk bersikap tertib terhadap segala hal. Menurut Hurlock (1978), disiplin itu perlu bagi perkembangan seseorang, karena memenuhi beberapa kebutuhan, di antaranya adalah: (1) disiplin memberi seseorang rasa aman dengan memberitahukan apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan; (2) dengan membantu seseorang menghindari perasaan bersalah dan rasa malu akibat prilaku yang salah, perasaan yang pasti meng-
11
akibatkan rasa tidak bahagia dan penyesuaian yang buruk; (3) disiplin memungkinkan seseorang hidup menurut standar yang disetujui kelompok sosial dan dengan demikian memperoleh persetujuan sosial; (4) dengan disiplin, seseorang belajar bersikap menurut cara yang akan mendatangkan pujian yang akan ditafsirkan seseorang sebagai tanda kasih sayang dan penerimaan; (5) disiplin yang sesuai dengan perkembangan berfungsi sebagai motivasi pendorong ego yang mendorong seseorang mencapai apa yang diharapkan darinya; (6) disiplin membantu seseorang mengembangkan hati nurani atau suara dari batin yang membimbing dalam diri seseorang mengambil suatu keputusan dan pengendalian perilaku.
2.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Disiplin Diri Untuk
membuat
seseorang
menjadi
disiplin
dilakukan intervensi disiplin. Terdapat empat faktor penting yang dipertimbangkan dalam memberikan pelatihan untuk mendisiplinkan individu sehingga memiliki disipin diri (Hurlock, 1978). Keempat faktor tersebut adalah peraturan sebagai pedoman perilaku, konsistensi dalam pelaksanaan peraturan, hukuman untuk pelanggaran peraturan dan penghargaan untuk perilaku yang baik. 1. Peraturan Peraturan
adalah
ketentuan-ketentuan
yang
telah ditetapkan untuk menata perilaku seseorang dalam suatu kelompok, organisasi, institusi atau komunitas. Tujuannya adalah membekali individu dengan pedoman perilaku yang disetujui dalam situasi tertentu (Hurlock, 1999). Peraturan memiliki dua 12
fungsi penting yaitu fungsi pendidikan, sebab peraturan merupakan alat memperkenalkan perilaku yang disetujui anggota kelompok kepada individu dan fungsi preventif karena peraturan membantu mengontrol perilaku yang tidak diinginkan. Peraturan dianggap efektif apabila setiap pelanggaran atas peraturan mendapat konsekuensi yang setimpal, apabila tidak maka peraturan tersebut akan kehilangan maknanya. Peraturan yang efektif dapat membantu
seorang
individu
merasa
terlindungi
sehingga individu tidak perlu melakukan hal-hal yang tidak pantas. Isi setiap peraturan harus mencerminkan hubungan yang serasi di antara anggota keluarga, memiliki dasar yang logis untuk membuat berbagai kebijakan, dan menjadi model perilaku yang harus terwujud di dalam keluarga (Hurlock, 1999). Disiplin merupakan kesadaran untuk melakukan sesuatu pekerjaan dengan tertib dan teratur sesuai
dengan
peraturan-peraturan
yang
berlaku
dengan penuh tanggung jawab tanpa paksaan. Artinya seseorang melakukan sesuatu karena ada peraturan yang berlaku bagi dirinya, bukan karena dipaksa melakukan, sehingga dengan adanya peraturan, individu akan terkondisikan lebih disiplin. 2. Konsistensi Konsistensi berarti tingkat kewajiban atau stabilitas. Konsistensi tidak sama dengan ketetapan, yang
13
berarti tidak adanya perubahan. Sebaliknya, berarti suatu kecenderungan menuju kesamaan. Konsistensi harus menjadi ciri semua aspek disiplin. Peraturan, hukuman dan penghargaan yang konsisten membuat siswa tidak bingung terhadap apa yang diharapkan dari mereka. Ada beberapa fungsi konsistensi yaitu (Hurlock, 1999): (a) mempunyai nilai mendidik; (b) mempunyai nilai motivasi yang kuat; c) mempertinggi penghargaan terhadap peraturan. Anak yang terus diberi pendidikan disiplin yang konsisten cenderung lebih matang disiplin dirinya bila dibandingkan anak yang tidak diberi disiplin secara konsisten.
3. Hukuman Hukuman berasal dari kata kerja latin, “punier”. Hurlock (1999) menyatakan bahwa hukuman berarti menjatuhkan hukuman
kepada seseorang karena
suatu kesalahan, perlawanan atau pelanggaran sebagai ganjaran atau pembalasan. Berarti bahwa orang itu mengetahui bahwa perbuatan itu salah namun masih dilakukan. Hurlock
(2005)
menyatakan
“discipline
as
whenever an individual violates the rule of organization, punishment is used against the violation”. Hukuman dilakukan untuk penegakan disiplin, agar seseorang mematuhi peraturan.
14
4. Penghargaan Penghargaan diberikan untuk suatu hasil yang baik. Penghargaan tidak harus berbentuk materi tetapi dapat juga berupa kata-kata pujian, senyuman atau tepukan di punggung. Banyak orang yang merasa bahwa penghargaan itu tidak perlu dilakukan karena bisa melemahkan individu untuk melakukan apa yang dilakukan. Penghargaan mempunyai nilai mendidik, sebagai motivasi untuk mengulang perilaku yang disetujui secara sosial, memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial, penghargaan untuk perilaku yang baik dan dapat menambah disiplin diriindividu. 2.1.2 Pengukuran Disiplin Diri Pengukuran variabel disiplin dengan skala yang dikembangkan oleh Hurlock (1999) meliputi: (a) etika berperilaku, (b) kehadiran, (c) tata cara berpakaian, (d) penampilan, (e) kegiatan belajar mengajar di kelas, (f) pengrusakan sarana dan prasarana sekolah, (g) bela Negara, (h) pelanggaran khusus. Pengukuran disiplin diri menggunakan skala Likert.
2.2 Pola Asuh Orang Tua Maccoby dan Martin (1983) telah menguraikan empat pola asuh dengan mengacu pada pendapat Baumrind (1971). Dalam penelitian yang dilakukan Baumrind ditemukan bahwa ada dua unsur dasar yang bisa membantu membentuk pola asuh (penga15
suhan orang tua) yang berhasil: responsiveness vs unresponsiveness (responsif vs tidak responsif) and demanding vs undemanding (menuntut vs tidak menuntut). Baumrind mengidentifikasi tiga pola parenting umum: authoritative, authoritarian dan permissive. Di tahun 1983, Maccoby dan Martin memperluas tiga pola asuk menjadi empat: authoritative, authoritarian, indulgent dan neglectful. Tabel 2.1 EmpatPola Parenting menurut Baumrind (1991) Warm
Demokratis
Otoriter
Indulgent
Neglectful
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Kontrol Tinggi Tinggi Sumber: http://www.equipkid.net
Baumrind (1991) percaya bahwa pola asuh orang tua janganlah bersifat menghukum, melainkan, mereka harus membuat aturan bagi anak mereka dengan penuh kasih sayang. Semua pola pengasuhan orang tua ini tidak dimaksudkan untuk mendeskripsikan berbagai macam variasi yang ada dalam pola pengasuhan
orang tua, tidak juga
tentang pola
pengasuhan yang menyimpang, seperti yang mungkin bisa diamati di banyak keluarga yang terdapat banyak tindakan kekerasan/pelecehan. Kebanyakan orang tua tidak hanya masuk dalam satu kategori saja, namun dapat juga masuk di antara kategori apa pun, memperlihatkan karakteristik lebih dari satu pola. 16
2.2.1 Pola Asuh Authoritarian (Otoriter) Pola asuh ini ditandai dengan adanya aturanaturan yang kaku dari orang tua. Kebebasan anak sangat dibatasi dan orang tua memaksa anak untuk berperilaku seperti yang diinginkan. Bila aturan-aturan ini dilanggar, orang tua akan menghukum anak dengan hukuman yang biasanya bersifat fisik. Tapi bila anak patuh maka orang tua tidak memberikan hadiah karena sudah dianggap sewajarnya bila anak menuruti kehendak orang tua. Perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak bercirikan tegas, suka menghukum, anak dipaksa untuk patuh terhadap aturan-aturan yang diberikan oleh orang tua tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan di balik aturan tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anak. Pola asuh otoriter dapat berdampak buruk pada anak, yaitu anak merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif (kurang berinisiatif), selalu tegang, cenderung ragu, tidak mampu menyelesaikan masalah, kemampuan komunikasinya buruk, serta mudah gugup, akibat seringnya mendapat hukuman dari orang tua. Dengan pola asuh seperti ini, anak diharuskan untuk berdisiplin karena semua keputusan dan peraturan ada di tangan orang tua (Baumrind, 1991).
17
2.2.2 Pola Asuh Authoritative (Otoritatif) Pola asuh otoritatif ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan anaknya. Mereka
membuat
aturan-aturan
yang
disetujui
bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan
pendapat, perasaan
dan keinginannya
serta
belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Orang tua bersikap sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap kegiatan anak. Dengan pola asuh ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini akan mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang dengan baik karena orang tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif. 2.2.3 Pola Asuh Permisif Baumrind
(1991)
mendefinisikan
pola
asuh
permisif sebagai pola dimana orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan anaknya. Orang tua cenderung mendorong anak untuk bersikap otonom, mendidik anak berdasarkan logika dan memberi kebebasan pada anak untuk menentukan perilaku dan kegiatannya. Orangtua tidak tahu keberadaan anak mereka dan tidak cakap secara sosial, padahal anak membutuhkan perhatian orang tua ketika mereka melakukan sesuatu. Anak biasanya memiliki harga diri yang rendah, belum dewasa dan diasingkan dalam 18
keluarga. Pada masa remaja mereka mengalami penyimpangan perilaku, misalnya suka tidak masuk sekolah, menampakkan perilaku kenakalan remaja. Dengan demikian anak menunjukkan pengendalian diri yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan dengan baik. Orang tua yang tidak menuntut ataupun menanggapi menunjukkan suatu pola asuh yang disebut neglectful atau uninvolved. Orang tua tidak melakukan pengawasan yang cukup karena mereka sibuk dengan masalahnya sendiri dan cenderung meninggalkan tanggung jawab mereka sebagai orang tua. Pola asuh Permisif (Baumrind, 1991), orang tua biasanya
memberikan
pengawasan
yang
sangat
longgar, orang tua memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup. Orang tua cenderung tidak memperingatkan anaknya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan. Pola asuh orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak. Pola asuh permisif menekankan ekspresi diri dan self regulation anak. Orangtua yang permisif membuat beberapa aturan dan mengijinkan anakanaknya untuk memonitor kegiatan mereka sebanyak mungkin. Ketika mereka membuat peraturan biasanya mereka menjelaskan alasan dahulu, orang tua berkonsultasi dengan anak tentang keputusan yang diambil dan jarang menghukum. Baumrind (1991) menambahkan tipologi ini karena adanya tingkat tuntutan orang 19
tua dan tanggapan yang ada. Pola asuh permisif terdiri dari dua jenis yaitu: 1.
Pola
Asuh
Permisif
yang
penuh
Kelalaian
(Permisive-neglectfull parenting) Orangtua tidak memonitor perilaku anaknya ataupun mendukung ketertarikan mereka, karena orang tua sibuk dengan masalahnya sendiri dan cenderung
mengabaikan
tanggung
jawab
sebagai
orang tua. 2. Pengasuhan Permisif yang Pemurah (Permisiveindulgent parenting) Pada pola ini orang tua masih terlibat dengan anaknya tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Biasanya orang tua yang demikian akan memanjakan, dan mengizinkan anak untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan. Pola-pola asuh ini menunjukkan bagaimana orang tua masih terlibat dengan anaknya, tetapi memberi sedikit sekali kontrol kepada mereka. Hal ini berkaitan dengan ketidakmampuan sosial, terutama dalam kontrol diri. Jadi pola asuh permisif indulgent, orang tua memiliki tuntutan rendah dan tanggapan terlibat tinggi pada anak. Orangtua ini toleran, hangat dan menerima. Mereka menunjukkan sedikit otoritas, dan membiarkan terbentuknya self-regulation pada anak atau remaja.
20
Pola asuh permisif memberi kebebasan, dan anak diberikan kebebasan penuh untuk mengungkapkan keinginan dan kemauannya dalam memilih. Oleh karena itu apabila tuntutan ini tidak dipenuhi maka akan terjadi hambatan perkembangan dan timbul penyimpangan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu anak harus diberikan kebebasan penuh serta dihindari penekanan terhadap keinginan dan kemauan anak, dan beri kebebasan berkembang dengan apa adanya. Pola asuh permisif orangtua, memberi kebebasan terhadap anak tanpa adanya norma-norma yang harus diikuti oleh anak. Mungkin karena orang tua sangat sayang (over protection) terhadap anak atau orangtua kurang dalam pengetahuannya. Pola asuh demikian ditandai dengan nurturance yang tinggi, namun rendah dalam tuntutan kedewasaan, kontrol dan komunikasi. Orang tua cenderung membebaskan anak tanpa batas, tidak mengendalikan anak, lemah dalam keteraturan hidup, dan tidak memberikan hukuman apabila anak melakukan kesalahan, dan tidak memiliki standar bagi perilaku anak, serta hanya memberikan sedikit perhatian dalam membina kemandirian dan kepercayaan diri anak. Orang tua yang memiliki pola asuh permisif cenderung membebaskan anak untuk berbuat dan berperilaku secara bebas, kontrol orang tua dapat dikatakan sangat kurang, sehingga menyebabkan anak berperilaku seenaknya (Baumrind,1991). 21
Orang tua yang permisif neglectfull cenderung membebaskan anak untuk berbuat semaunya. Hal ini dapat dilihat dari perilaku keseharian anak yang tanpa kontrol. Memang, ada juga anak yang dengan pola ini mampu menguasai diri dan dapat berperilaku sesuai dengan norma, tetapi sebagian besar akibat pola asuh yang demikian telah menyebabkan anak lepas kontrol, bahkan cenderung berbuat negatif dalam lingkungan (Baumrind, 1991). Pola asuh permisif menunjukkan bahwa orang tua memberikan kebebasan yang penuh pada anak untuk berbuat sekehendaknya, berbuat serba boleh, dengan
tanpa
banyak
dituntut
kewajiban
dan
tanggung jawab. Orang tua selalu menerima, membenarkan atau malah mungkin tidak peduli terhadap perilaku anak, sehingga dengan demikian orang tua tidak pernah menghukum maupun memberi ganjaran kepada anak, serta adanya kekuasaan dan kehendak anak yang tampak dominan. Orang tua sangat rendah dalam kontrol terhadap perilaku anak, bimbingan dan arahan orang tua sangat kurang dalam mempersiapkan masa depan anak, dan hanya berperan untuk menyediakan sarana sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan anak. Dalam suasana keluarga permisif kemungkinan jarang sekali terjadi komunikasi antara anak dengan orang tua. Pola asuh yang permisif neglectfull dapat mengakibatkan anak out of control (tidak terkendali) yang berarti anak bersikap tidak menaati aturan/norma 22
yang berlaku, sering melanggar norma-norma dan ketentuan yang ada dalam keluarga dan lingkungan masyarakat. Selain itu, sebagai akibat pola asuh orang tua yang permisif ini menyebabkan kendala bagi anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan tidak jarang anak mencari kelompok-kelompok yang dianggapnya mampu menerima apa yang dikehendakinya (Baumrind, 1991). 2.2.4 Mengukur Pola Asuh Permisif Pengukuran pola asuh permisif neglectfull orang tua didasarkan pada pendapat Baumrind (1991) yang menyatakan bahwa pola asuh permisif dapat dilihat dari 3 hal, yaitu menjauh dari anak secara fisik dan psikis, tidak peduli terhadap kebutuhan, aktivitas, kegiatan belajar maupun pertemanan anaknya, dan hampir tidak pernah berbincang-bincang atau berkomunikasi dengan anaknya Alat ukur yang digunakan untuk mengukur pola asuh orang tua di antaranya adalah menggunakan lembar kuesionar persepsi siswa tentang pola asuh (Yuliana, 2012). Cara lain yang dapat dugunakan adalah Family Communication Patterns (FCP) yang dikembangkan oleh Richie and Pitspatrick (1990) yang dipadukan dengan Psychology Control Scale (PCS) menjadi Revised Family Communication Pattern (RFCP). Instrumen yang digunakan untuk mengukur pola asuh orang tua berdasarkan pada cara berkomunikasi
23
anak dengan orang tua dalam penelitian (Kuhar, M., 2010) tentang Parental Authority Styles in AdolescentParent Relationship. Menurut Reitman et.al (2002) dalam Raymond (2013) Pola Asuh Orang Tua dapat diukur dengan merujuk konseptualisasi Baumrind (1991) tentang pola pengasuhan menggunakan Parental Authority Questionare-Revised (PAQ-R) yang bertujuan untuk mengukur sifat dari pola pengasuhan orang tua. PAQR adalah salah satu instrumen yang dibuat untuk mengukur pola asuh orang tua baik berdasarkan pada etnis dan sosio ekonomi dilihat dari segi persepsi anak terhadap sikap orang tua di Amerika-Afrika. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket Pola Asuh Orang Tua berdasarkan Persepsi Anak. Pengukuran Pola Asuh dalam penelitian ini menggunakan pengukuran yang dikembangkan oleh Baumrind, (1991), menggunakan 4 pola Asuh yang dijabarkan dalam 15 item pertanyaan.
2.3 Konsep Diri 2.3.1 Pengertian Konsep Diri Fitts (1971) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan
aspek
penting
dalam
diri
seseorang,
karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Konsep diri secara individu fenomenologis menjelaskan bahwa ketika individu mempersepsikan 24
dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan nilai serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunjukkan suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya. Fitts (1971) menyatakan bahwa konsep diri berpengaruh kuat terhadap perilaku seseorang, dengan mengetahui konsep diri seseorang, maka akan lebih mudah meramalkan dan memahami perilaku orang tersebut. Konsep diri adalah semua ide pikiran kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi indvidu dalam berhubungan dengan rang lain. Termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungannya, nilai nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek tujuan serta keinginannya. Secara umum disepakati bahwa konsep diri belum ada saat lahir. 2.3.2 Dimensi-dimensi dalam Konsep Diri Fitts (1971) membagi konsep diri dalam dua dimensi pokok yaitu: a. Dimensi Internal Dimensi internal biasa disebut kerangka acuan internal (internal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan oleh individu yakni penilaian terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia dalam diri seseorang meliputi: 25
Dimensi tersebut adalah: 1) Diri identitas (identity self) Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan siapakah saya dalam pertanyaan tersebut tercakup label dan simbol yang diberikan pada diri sendiri oleh invidu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya, misalnya saya Ita. Kemudian dengan bertambahnya usia dan interaksi dengan lingkungannya, pengetahuan inividu tentang dirinya juga bertambah sehingga ia dapat melengkapi keterangan tentang dirinya dengan hal hal yang lebih kompleks, seperti ”saya pintar terlalu gemuk” dan sebagainya. 2) Diri perilaku (behavioural self) Diri perilaku merupakan persepsi individu tentang perilakunya yang berisikan segala kesadaran mengenai ”apa yang harus dilakukan oleh diri”. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas. Diri yang kuat menampakkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri perilakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan dari keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilaian 3) Diri pertimbangan (judging self) Diri pertimbangan befungsi sebagai pengamat, penentu standar dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara antara diri identitas dengan diri perilaku. Manusia cenderung memberikan pertimbangan terhadap apa yang dipersepsikannya. Oleh karena itu, label label yang dikenakan kepada dirinya bukanlah semanta-mata menggambarkan dirinya tetapi juga sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya pertimbangan ini lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan ditampilkan. 4) Diri fisik (physical self) Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal
26
ini terlihat persepsi seseorangmengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus, proporsional) 5) Diri etik-moral (moral-ethical self) Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai nilai moral yang dipegangnya meliputi batasan baik dan buruk. 6) Diri pribadi (personal self) Diri pribadi merupakan perasaan dan pesepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana dia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.
b. Dimensi Eksternal Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya dirinya yang berkaitan dengan sekolah, organisasi, agama dan sebagainya. Namun, dimensi yang dikemukakan oleh Fitts (1971) adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang dan dibedakan atas dua bentuk yaitu: 1) Diri keluarga (family self) Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya se-
27
bagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa kuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga serta terhadap peran maupun fungsi yang diajarkan sebagai anggota dari suatu keluarga 2) Diri sosial (sosial self) Bagian ini merupakan penilaian diri individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan sekitarnya
2.3.3 Pengukuran Konsep Diri Menurut Crouse (1981), ada dua metode yang umum dipakai untuk mengukur konsep diri individu. Pertama, metode observasi. Konsep diri seseorang dapat diduga dari perilaku yang diamati seseorang. Seorang observer berpegang mencari alasan untuk perilaku daripada hanya mendapatkan perilaku itu sendiri, ’feel’ bagaimana sesuatu dilihat dari pandangan yang lain. Observer melakukan observasi menggunakan metode respons tak terstruktur. Meskipun ini perlu mendapatkan ’feel’ observer harus tetap objektif. Untuk menghindari prasangka pribadi dapat dihilangkan dengan observasi sederhana. Kedua, metode self report (laporan diri sendiri). Dengan menggunakan alat ini memungkinkan individu yang bersangkutan untuk melaporkan tentang dirinya sendiri di dalam merespon pada item-item yang ada dalam tes. Konsep diri atau suatu unsur yang spesifik dari konsep diri dapat dibuatkan indeksnya, biasanya dalam bentuk skor. Metode tertulis ini dapat digunakan secara individual. Crouse (1981) memaparkan intrumen pengukuran
28
konsep diri antara lain: The Tennessee Self Concept Scale (TSCS). Tennesse self Concept Scale sebuah intrumen disusun oleh William H. Fitts pada tahun 1965 yang dapat dipakai untuk mengukur konsep diri. Konsep diri
adalah
gambaran
diri
individu
itu
sendiri.
Tennesse Self Concept Scale berisi 100 item yang mengukur responden dengan delapan elemen konsep diri. Ke delapan elemen yang diukur adalah: Physical, Moral dan Etika, Pribadi, Keluarga, Sosial, Identitas, Kepuasan, Perilaku. (http://www.eurojournal.com/)
2.4 Kajian yang Relevan Hasil penelitian yang dilakukan Purnomo (2006) menunjukkan hasil ada hubungan antara pandangan pola asuh permisif orang tua dengan disiplin siswa SMA Muhammadiyah Pekalongan. Dengan 98 sampel siswa diketahui bahwa r hitung yang diperoleh sebesar 0,735
dengan
signifikansi
p
=0,000<
0,05.
Ada
hubungan yang signifikan antara pandangan pola asuh permisif orangtua dengan disiplin siswa SMA Muhammadiyah Pekalongan. Penelitian yang dilakukan Prasetyo (2009) mengenai hubungan pandangan pola asuh permisif orang tua
dengan
disiplin
diri
siswa
SMA
Pancasila
Surabaya, menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dengan koefisien r sebesar -0,113 dengan p 0,316 > 0,05. 29
Penelitian Andrie (2013) mengungkapkan tidak ada hubungan positif antara konsep diri dan disiplin diri siswa kelas XI dan XII Jurusan Teknik Audio Video SMK
Muhammadiyah
3
Yogyakarta,
dibuktikan
dengan nilai Rxy > R tabel (0,112 < 3,954) dengan p 0,297 > 0,05
2.5 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh permisif orang tua dengan disiplin diri siswa kelas XI SMA N Bergas; 2. Ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan disiplin diri kelas XI SMA N Bergas.
30