BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori Kajian teori ini merupakan uraian dari pendapat beberapa ahli yang mendukung penelitian. Dari beberapa teori para ahli tersebut mengkaji objek yang sama yang mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda-beda. Pembahasan kajian teori dalam penelitian ini berisi tentang model pembelajaran SAVI dan metode Role Playing mengenai proses belajar dan hasil belajar keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.
2.1.1 Hakikat Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia ialah salah satu bahasa yang terpenting di kawasan republik Indonesia. Pentingnya peranan bahasa antara lain bersumber pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 928 yang berbunyi: “Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia” dan pada Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya tercantum pasal khusus yang menyatakan bahwa “bahasa Negara ialah bahasa Indonesia”. Namun, di samping itu masih ada beberapa alasan lain mengapa bahasa Indonesia menduduki tempat yang terkemuka di antara beratus-ratus bahasa Nusantara yang memang masing-masing amat penting bagi penuturnya sebagai bahasa ibu. Penting tidaknya suatu bahasa dapat juga didasari pada patokan seperti jumlah penuturnya, luas penyebaran, dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan bahkan pengungkap budaya. Jika dalam menggunakan patokan yang pertama, yakni jumlah penuturnya, maka bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, jumlah penuturnya mungkin tidak sebanyak bahasa Jawa atau Sunda. Akan tetapi, jika pada jumlah itu ditambahkan penutur dwibahasawan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua, kedudukannya dalam
12
13
deretan jumlah penutur berbagai bahasa di Indonesia ada di peringkat pertama. Lagi pula, hendaknya disadari bahwa jumlah penutur asli bahasa Indonesia lambat-laun akan bertambah. Pertambahan itu disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, arus pindah ke kota besar, seperti Jakarta, yang merupakan pumpunan pendatang yang berbeda-beda bahasa ibunya, menciptakan keperluan akan alat perhubungan bersama. Jika orang itu menetap, anakanaknya tidak jarang akan dibesarkan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamanya. Kedua, perkawinan antarsuku sering mendorong orang tua untuk berbahasa Indonesia dengan anaknya. Hal itu terjadi jika kedua bahasa daerah yang digunakan banyak perbedaannya. Ketiga, yang bertalian dengan patokan kedua di atas, generasi muda golongan warga Negara yang berketurunan asing ada yang tidak lagi merasa perlu menguasai bahasa leluhurnya. Anaknya akan di didik dengan bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang dipakai dilingkungannya. Keempat, orang tua masa kini, yang sama atau berbeda latar budayanya, ada yang mengambil keputusan untuk menjadikan anaknya penutur asli bahasa Indonesia. Patokan yang kedua, yakni luas persebaran, jelas menempatkan bahasa Indonesia di baris depan. Sebagai bahasa setempat, bahasa itu dipakai orang di daerah pantai timur Sumatera, di Kepulauan Riau dan Bangka, serta di daerah pantai Kalimantan. Sebagai bahasa kedua, pemencarannya dapat disaksikan dari ujung barat sampai ke ujung timur dan dari puncuk utara sampai ke batas selatan negeri kita. Patokan yang ketiga, yakni peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya, menunjukkan bahwa bahasa sebagai penyampaian ilmu pengetahuan serta media untuk pengungkapan seni sastra dan budaya bagi semua warga Indonesia dengan latar belakang budaya serta bahasa daerah yang berbeda-beda. Uraian di atas memberikan gambaran betapa pentingnya bahasa Indonesia bagi kita. Berdasarkan ketiga patokan tersebut, bahasa Indonesia mempunyai peranan dan kedudukannya yang penting itu sekali-kali bukan karena mutunya sebagai bahasa, bukan karena besar kecilnya jumlah kosakatanya atau
14
keluwesan dalam tata kalimatnya, dan bukan pula karena kemampuan daya ungkapnya, melainkan karena bahasa Indonesia itu sendiri memiliki fungsi sebagai perantara orang yang latar budayanya berbeda serta sebagai tolok ukur dalam dialek berbahasa. Bertolak dari pendapat H. Alwi, dkk, (2010:1-3) dari sajian di atas. Maka, dapat disimpulkan bahwa bahasa juga merupakan salah satu alat komunikasi dan wadah yang tepat untuk menghubungkan dan menjembatani seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Tanpa bahasa, orang lain tidak dapat mengetahui makna serta maksud yang akan di utarakan kepada pendengarnya. Selain itu, bahasa juga merupakan lambang bunyi ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia antara satu anggota masyarakat ke masyarakat lain.
2.1.2 Hakikat Keterampilan Berbicara Keterampilan berbicara adalah tingkah laku manusia yang paling distingif dan berati (D. Tarigan, 1992:146). Tingkah laku ini harus dipelajari, baru dapat dikuasai. Anak-anak usia Sekolah Dasar harus belajar dari manusia sekitarnya, anggota keluarga, teman sepermainan, teman satu sekolah dan guru di sekolahnya. Semua pihak turut membantu anak belajar keterampilan berbicara. Tarigan (2008: 3) menyatakan bahwa “berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului
oleh
keterampilan
menyimak.”
Menurut
Nunan
(2011:
48) “Speaking is a productive aural/oral skill and it consists of producing systematic verbal utterances to convey meaning”.Berbicara merupakan kemampuan memproduksi ujaran secara lisan dan sistematis untuk menyatakan suatu maksud tertentu. Hal ini mengisyaratkan bahwa keterampilan berbicara dilakukan secara sistematis, runtut, dan terpola. Pembicaraan ini sendiri bertujuan untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain.
15
Lazaraton (2001 :104) menyatakan bahwa keterampilan berbahasa sangat berpengaruh dalam keterampilan berbicara, keterampilan berbahasa yang dimaksud yaitu memiliki keempat aspek seperti:(1) keterampilan menyimak, (2) keterampilan berbicara, (3) keterampilan membaca, dan (4) keterampilan menulis. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang dikatakan terampil berbicara jika setidaknya memiliki empat kompetensi, yakni gramatikal, sosiolinguistik, analisis wacana, dan strategi. Oleh karena itu, faktor penguasaan terhadap bahasa tidak dapat diabaikan begitu saja. Menurut Iskandarwassid dan Dadang Suhendar (2008:241) keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan dan keinginan kepada orang lain. Dalam hal ini, kelengkapan alat ucap seseorang merupakan persyaratan alamiah yang memungkinkannya untuk memproduksi suatu ragam yang luas bunyi artkulasi, tekanan, nada, kesenyapan dan lagu bicara. Keterampilan ini juga di dasari oleh kepercayaan diri untuk berbicara secara wajar, jujur, benar dan bertanggungjawab dengan menghilangkan masalah psikologis seperti rasa malu, rendah diri, ketegangan, berat lidah dan lain-lain. Keterampilan berbicara itu sendiri seperti keterampilan lainnya, keterampilan berbicara ternyata lebih rumit dari kelihatannya dan melibatkan lebih dari mengucapkan kata-kata. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan seseorang dalam mengungkapkan ideatau gagasan secara lisan bersifat produktif dan mekanistis, yang hanya dapat dikuasai dengan berlatih berbicara dan merupakan bagian tingkah laku hidup manusia yang sangat penting sebagai alat komunikasi kepada orang lain. Keterampilan berbicara merupakan sebuah keterampilan menyampaikan gagasan, informasi atau pesan kepada orang lain dengan menggunakan media yang berupa simbol-simbol fonestis.
16
2.1.2.1 Tujuan Berbicara Berbicara tentu memiliki tujuan yang ingin disampaikan kepada lawan bicaranya. Agar tujuan itu dapat tersampaikan dengan baik dan efektif, maka isi pembicaraan harus sesuai dengan makna yang ingin disampaikan kepada lawan bicara. Dalam hal ini, pendengar akan memaknai informasi atau pesan yang disampaikan oleh pembicara. Tarigan (2008:16) mengungkapkan bahwa kegiatan berbicara memiliki tujuan utama untuk berkomunikasi. Untuk menyampaikan pikiran secara efektif, berbicara harus memahami makna sesuatu hal yang akan dikomunikasikan. Dia juga harus dapat mengevaluasi efek komunikasinya terhadap para pendengar dan harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan. Selain itu, Tarigan (1992:134) mengemukakan bahwa tujuan orang berbicara adalah untuk: 1) Menghibur Berbicara yang bertujuan menghibur biasa dilakukan oleh pelawak. Pembicara berusaha bermain kata-kata untuk menciptakan suasana yang santai, penuh canda, dan menyenangkan. Tidak semua orang terampil berbicara yang dapat menghibur orang yang diajak berbicara atau yang mendengarkan pembicaraannya. 2) Menginformasikan Tujuan lain dari aktivitas berbicara adalah untuk menyampaikan informasi. Orang akan lebih mudah menyampaikan atau menerima informasi secara lisan. Pembicara dengan tujuan menginformasikan sering
dipraktekkan
menjelaskan
suatu
dalam proses,
kehidupan menguraikan,
sehari-hari, menafsirkan
seperti atau
menginterpretasikan sesuatu hal, memberi, menyebarkan, dan menanamkan pengetahuan serta menjelaskan kaitan, hubungan, relasi antar benda, hal atau peristiwa.
17
3) Menstimulasi Seseorang
guru
sering
berbicara
kepada
muridnya
untuk
membangkitkan semangat belajar dan gairah mengerjakan tugas rumah. Guru berbicara sebagai upaya membangkitkan inspirasi, kemauan dan minat siswa. Berbicara semacam memiliki tujuan untuk menstimulasi pendengarnya. Seseorang berbicara juga ada yang bertujuan
meyakinkan
atau
mengubah
sikap
pendengarnya.
Berbicara dengan tujuan seperti ini membutuhkan keterampilan tersendiri, karena jika pembicara cukup terampil akan dapat mengubah suatu penolakan menjadi penerimaan, tidak setuju menjadi setuju, permusuhan menjadi persahabatan, dan akan dapat meyakinkan pendengarnya. 4) Menggerakan pendengarnya Selain sebagai sarana untuk menghibur, menginformasikan maupun menstimulasi,
tujuan
berbicara
juga
untuk
menggerakkan
pendengarnya. Mengggerakkan yang dimaksud sebagai upaya untuk membuat atau menggerakkan orang agar berbuat, bertindak atau beraksi seperti yang diinginkan pembicara. Melalui kepiawaian berbicara, kecakapan memanfaatkan situasi, dan penguasaan terhadap ilmu jiwa, maka seseorang dapat dengan mudah menggerakkan pendengarnya untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa berbicara memiliki tujuan untuk berkomunikasi dengan maksud menghibur, meyakinkan, menginformasikan dan menggerakan orang lain sebagai lawan bicaranya.
2.1.2.2 Jenis-jenis Berbicara Santosa, dkk (2008: 6.36) menyatakan bahwa jenis berbicara berdasarkan situasinya sebagai berikut:
18
1) Berbicara formal Di dalam situasi formal, pembicara dituntut untuk berbicara secara formal. Misalnya: pidato, ceramah dan wawancara. 2) Berbicara nonformal Di dalam situasi nonformal, pembicara harus berbicara secara tidak formal. Misalnya: bertelepon dan bercakap-cakap. Bertolak dari pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jenis berbicara menjadi beragam tergantung dari sudut pandang yang digunakan, tetapi secara garis besar bahwa jenis berbicara yang menjadi hal utama dalam penelitian ini yaitu berkaitan dengan keterampilan berbicara formal pada mata pelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan pendapat dari Santosa, dkk (2008 :6.36).
2.1.2.3 Faktor-faktor Penunjang Keefektifan Berbicara Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat berkomunikasi secara baik, pembicara harus mempunyai kemampuan berbicara yang baik pula. Oleh karena itu, agar pesan atau gagasan pembicara dapat diterima oleh pendengar, maka pembicara harus mampu menyampaikan isi pembicaraan secara baik dan efektif. Karena setiap komunikasi mengandung tujuan tertentu, apakah untuk memberitahukan
sesuatu
termasuk
memberitahukan
‘diri’
untuk
mempengaruhi salah satu pihak, untuk bertukar pendapat, untuk memecahkan suatu masalah, atau sekedar meriting-rintang waktu, maka setiap kontak komunikasi member efek kepada salah satu atau kedua pihak partisipan. Oleh sebab itu, di dalam setiap peristiwa komunikasi mempunyai sebab akibat atau konsekuensi positif dan negatif, baik dan buru. Sebagaimana diungkapkan oleh Arsjad dan Muti U. S. (1991:87) bahwa untuk
keefektifan berbicara, pembicara perlu
memperhatikan faktor
kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan antara lain: (1) ketepatan ucapan (meliputi ketepatan pengucapan vocal dan konsonan, (2) penempatan tekanan, (3) penempatan
19
persendian, (4) penggunaan nada/irama, (5) pilihan kata, (6) pilihan ungkapan, (7) variasi kata, (8) tata bentukan, (9) struktur kalimat, dan (10) ragam kalimat. Faktor
nonkebahasaan
meliputi:
(1)
keberanian/semangat,
(2)
kelancaran, (3) kenyaringan suara, (4) pandangan mata, (5) gerak-gerik dan mimik, (6) keterbukaan, (7) penalaran, dan (8) penguasaan topik. Aspek-aspek kebahasaan dan nonkebahasaan di ata diarahkan pada pemakaian bahasa yang baik dan benar. Kedua faktor berbicara tersebut sangat menunjang keberhasilan seseorang di dalam berbicara (komunikasi) kepada orang lain. Dalam pembicaraan formal aspek nonkebahasaan sangat diperlukan, karena faktor nonkebahasaan akan menjadi modal utama dan mempermudah penerapan faktor kebahasaan. Alangkah baiknya, faktor nonkebahasaan ditanamkan kepada siswa terlebih dahulu sebelum faktor kebahasaan karena keberanian dan mental anak sangat berpengaruh terhadap keefektifan berbicara. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penunjang keefektifan berbicara adalah adanya faktor kebahasaan dan nonkebahasaan yang keduanya memiliki hubungan erat. Oleh karena itu, agar dapat berbicara efektif maka faktor-faktor tersebut harus dikuasai dengan baik dan benar oleh si sumber pembicara.
2.1.2.4 Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SD Pembelajaran keterampilan berbicara di SD dijabarkan dari kurikulum menjadi standar kompetensi dasar serta materi-materi pokok pada tiap kelas. Keterampilan berbicara merupakan salah satu kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia yang harus diajarkan di Sekolah Dasar. Tujuan pembelajaran berbicara di sekolah adalah agar siswa mampu mengungkapkan gagasan, pendapat, dan pesan secara lisan. Di samping itu, pengajaran berbicara di arahkan pada kemampuan siswa untuk berinteraksi dan menjalin hubungan dengan orang lain secara lisan (Depdikbud, 1994:2).
20
Standar kompetensi dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan menyatakan bahwa pembelajaran bahasa diarahkan untuk membantu peserta didik mengenal diri, budayanya, budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, dan berpartisipasi dalam masyarakat. Selain itu, pembelajaran bahasa diarahkan agar peserta didik menemukan dan menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu, peserta didik diharapkan dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis (Depdiknas, 2006: 1). Dalam proses belajar berbahasa di sekolah, siswa mengembangkan kemampuan secara vertikal tidak secara horizontal. Maksudnya, siswa telah dapat mengungkapkan pesan secara lengkap meskipun belum sempurna. Makin lama kemampuan tersebut menjadi semakin sempurna dalam arti strukturnya menjadi sempurna, pilihan katanya semakin tepat, kalimatkalimatnya semakin bervariasi. Pada hakikatnya, berbicara merupakan suatu proses berkomunikasi sebab di dalamnya terdapat pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat lain. Bahkan, telah disebutkan bahwa dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan bahwa hakikat pembelajaran berbicara pada dasarnya adalah menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, pengalaman, pendapat, dan komentar dalam kegiatan wawancara, presentasi laporan, diskusi, protokoler, dan pidato, serta dalam berbagai karya sastra berbentuk cerita pendek, novel remaja, puisi, dan drama (Depdiknas, 2006: 1). Pembelajaran keterampilan berbicara di kelas V semester II SD sesuai KTSP Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) mencakup dua kompetensi dasar, yaitu (1) mengomentari persoalan faktual disertai alasan yang mendukung dengan mempertimbangkan dan memperhatikan pilihan kata dan santun berbahasa, dan (2) memerankan tokoh drama dengan lafal, intonasi dan ekspresi yang tepat. Sesuai kompetensi dasar yang kedua yaitu berkaitan dengan memerankan tokoh drama maka dapat diterapkan metode bermain peran (role playing) sebagai metode pembelajaran drama yang tepat. Selain
21
itu, masih terdapat kompetensi dasar berbahasa lainnya yang juga harus dikuasai dan saling mendukung atau berkaitan. Pembelajaran keterampilan berbicara di SD dapat dilakukan dengan banyak cara. Pembelajaran keterampilan berbicara sangat terkait dengan pembelajaran keterampilan berbahasa lainnya. Santosa, dkk (2008 :6.38) mengemukakan bahwa tujuan keterampilan berbicara di SD adalah melatih siswa dapat berbicara dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, guru dapat menggunakan bahan pembelajaran membaca atau menulis, kosakata, dan sastra sebagai bahan pembelajaran
berbicara.
Misalnya,
menceritakan
pengalaman
yang
mengesankan, menceritakan kembali cerita yang pernah dibaca dan didengar, mengungkapkan pengalaman pribadi, bermain peran (role playing), dan berpidato. Pengamatan guru terhadap aktivitas berbicara siswa dapat diamati dengan menggunakan format yang telah dipersiapkan sebelumnya.Faktorfaktor yang diamati adalah lafal kata, intonasi kalimat, kosakata, tata bahasa, kefasihan berbicara, dan pemahaman. Melihat pentingnya tujuan pembelajaran keterampilan berbicara di SD, maka seharusnya pembelajaran tersebut lebih dioptimalkan dengan mengingat bahwa keterampilan berbicara bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan melalui uraian atau keterangan guru saja. Melainkan siswa harus dihadapkan pada aneka
bentuk
teks
lisan
ataupun
kegiatan-kegiatan
nyata
yang
mempergunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Keberhasilan pembelajaran tersebut juga tidak lepas dari bagaimana cara atau metode yang diterapkan oleh guru dalam menjalankan tugas pembelajaran keterampilan berbicara. Metode pembelajaran adalah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas agar pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami dan digunakan siswa dengan baik. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran keterampilan berbicara di SD berperan penting dalam meningkatkan
22
keterampilan berbahasa lainnya, sehingga perlu diterapkan cara atau metode yang tepat dalam pembelajarannya. Salah satu penerapan metode yang dapat dipilih dalam pembelajaran keterampilan berbicara di Sekolah Dasar (SD) adalah dengan metode role playing sesuai kompetensi dasar pada kelas 4 semester II.
2.1.2.5 Penilaian Keterampilan Berbicara di SD Penilaian keterampilan berbicara di SD lebih sulit dilaksanakan dibanding dengan penilaian keterampilan berbicara lainnya karena persiapan, pelaksanaan, dan perskorannya memerlukan banyak waktu dan tenaga. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika banyak guru SD yang melaksanakan kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara tetapi tidak disertai penilaian. Banyak sekali aspek atau faktor yang harus diidentifikasi dalam penilaian keterampilan berbicara. Semua itu merupakan masalah penilaian kemampuan berbicara yang harus dihadapi guru. Namun demikian, upaya melaksanakan penilaian keterampilan berbicara harus dilaksanakan demi pencapaian tujuan pembelajaran keterampilan berbicara yang diharapkan. Berdasarkan fakta bahwa kegiatan berbicara cenderung dapat diamati dalam konteks nyata saat siswa berbicara, maka dalam kegiatan berbicara dapat dikembangkan penilaian kinerja yang bertujuan menguji kemampuan siswa dalam mendemontrasikan pengetahuan dan keterampilannya (apa yang mereka ketahui dan dapat mereka lakukan) pada berbagai situasi nyata dan konteks tertentu. Arsjad dan Mukti U. S. (1991:86-93) menjelaskan bahwa penilaian keterampilan berbicara didasarkan pada faktor penunjang keefektifan berbicara yang sudah dijelaskan pada bagian sub bab sebelumnya, yakni meliputi faktor kebahasaan dan nonkebahasaan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kebiasaan penilaian berdasarkan kesan umum sehingga penilaian didasarkan pada faktor-faktor penunjang berbicara yang dapat di ukur secara jelas. Selain itu, diungkapkan pula bahwa
23
secara garis besar pelaksanaan penilaian keterampilan berbicara dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Guru memberikan tugas kepada siswa untuk melakukan kegiatan berbicara secara individual atau kelompok dalam waktu tertentu. 2) Guru menentukan faktor-faktor yang dinilai atau diamati 3) Siswa tidak mendapatkan giliran berbicara diberikan tugas mengamati berdasarkan pedoman penilaian. 4) Guru dan siswa aktif mengamati kegiatan siswa yang sedang berbicara 5) Selesai kegiatan berbicara para pengamat mengemukakan komentarnya. Guru juga aktif memberikan masukan/komentar untuk pembenahan kesalahan siswa. 6) Kegiatan berbicara diulang kembali untuk mengetahui perubahan berbicara setelah terdapat umpan balik. Mengingat keterampilan berbicara ini memerlukan latihan dan bimbingan yang intensif dengan waktu yang relativ lama maka penelitian ini dilakukan dengan menilai dan mengukur beberapa faktor/aspek dalam satu kegiatan berbicara saja. Tetapi dapat berlanjut dan bertujuan untuk memperbaiki keterampilan berbicara lainnya. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka penulis memberikan batasan terhadap penelitian keterampilan berbicara siswa kelas 4 SD Negeri 1 Kecamatan Getasan sesuai dengan pendapat dari Maidar G. Arsjad dan Mukti U. S. Sehingga penilaian yang digunakan untuk mengukur keterampilan berbicara dalam penelitian pengamatan terhadap keterampilan berbicara siswa. Pengamatan dilakukan terhadap aspek keterampilan berbicara sewaktu siswa tampil berbicara dalam bermain peran (role playing) di kelas.
2.1.2.6 Aspek-aspek yang Dinilai dalam Keterampilan Berbicara Pembelajaran selalu diakhiri dengan penilaian. Hal ini digunakan untuk mengetahui keberhasilan suatu pembelajaran tersebut. Penilaian sangat penting dilakukan karena dengan adanya penilaian dapat diketahui keberhasilan seseorang dalam pembelajaran dan dari hasil yang diperoleh akan
24
dapat membuat seseorang lebih termotivasi untuk belajar. Penilaian pembelajaran keterampilan berbicara tentu harus dapat mengukur tujuan pembelajaran keterampilan berbicara, yakni kemampuan siswa dalam berbicara sesuai dengan aspek-aspek yang telah ditetapkan. Suwandi (2008 :15) mengungkapkan bahwa penilaian merupakan suatu proses untuk mengetahui keberhasilan dari suatu program kegiatan yang sesuai dengan tujuan atau kriteria, baik itu dari segi aspek proses maupun hasil. Penilaian yang digunakan untuk menilai pembelajaran keterampilan berbicara dalam penelitian ini ada dua yaitu penilaian proses pembelajaran yang berkaitan dengan minat, keaktifan, kerjasama, dan kesungguhan serta penilaian hasil pembelajaran keterampilan berbicara siswa. Adapun masing-masing penjelasan dari keempat kriteria di atas adalah sebagai berikut ini: a)
Minat Sudjana
(1991:61)
menjelaskan
bahwa
keberhasilan
proses
pembelajaran dapat dilihat dalam motivasi belajar siswa yang ditunjukkan oleh para siswa pada saat melaksanakan kegiatan belajar-mengajar. Hal ini dapat dilihat dalam (1) minat dan perhatian siswa terhadap pelajaran, (2) semangat siswa untuk mengerjakan tugas-tugas belajarnya, (3) tanggung jawab siswa dalam mengerjakan tugas-tugasnya, (4) reaksi yang ditunjukkan siswa terhadap stimulus yang diberikan guru, (5) rasa senang dan puas dalam mengerjakan tugas yang diberikan. b)
Keaktifan Seorang guru dalam proses belajar-mengajar harus mengoptimalkan
kadar keaktifan siswa karena guru bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar siswa yang optimal. Djamarah (dalam Danik Nofiana, 2008:17) menjelaskan bahwa dalam proses belajar-mengajar aktivitas siswa yang diharapkan tidak hanya aspek fisik melainkan juga aspek mental. Siswa bertanya, mengajukan pendapat, mengerjakan tugas, berdiskusi, menulis, membaca, membuat grafik, dan mencatat hal-hal penting dari penjelasan guru
25
merupakan sejumlah aktivitas anak didik yang aktif secara mental maupun fisik. Keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal: (1) turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya, (2) terlibat dalam pemecahan masalah, (3) bertanya kepada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya, (3) berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah, (4) melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru, (5) menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya, (6) melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis, (7) kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang telah diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapi. c)
Kerjasama Kerjasama menjadi salah satu aspek penentu keberhasilan penilaian
proses pembelajaran karena dengan kerja sama, siswa dapat aktif dan belajar secara bersama-sama. Kebersamaan dalam pembelajaran merupakan kerja sama di antara para siswa untuk mencapai tujuan belajar bersama. Kerja sama dalam pembelajaran ini diarahkan untuk mengembangkan kemampuan berkolaborasi untuk menyelesaikan permasalahan secara bersama-sama. d)
Kesungguhan Harus disadari bahwa di dalam kehidupan seseorang dalam bekerja
membutuhkan kesungguhan untuk mengerjakannya. Kesungguhan seseorang dalam melakukan usaha itulah yang menentukan seberapa jauh hasil yang dicapai. Begitu pula dalam belajar baik di rumah maupun di sekolah seorang siswa bila ingin mendapatkan hasil yang baik dan dapat tercapai cita-citanya maka harus belajar dengan sungguh-sungguh, rajin, tekun, dan giat. Karena belajar adalah untuk menjadi pandai dalam segala hal baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun ketrampilan atau kecakapan. Tanpa kesungguhan dalam belajar, maka mustahil tujuan belajar akan tercapai dengan baik.
26
Dalam belajar, kita tidak bisa melepaskan dari beperapa hal yang dapat mengantarkan keberhasilan dalam belajar. Kesungguhan atau intensitas dalam belajar merupakan salah satu prinsip belajar agar mendapat hasil yang maksimal. Belajar tanpa kesungguhan akan memperoleh hasil yang kurang memuaskan, selain itu akan bayak waktu dan tenaga yang terbuang percumah, sebaliknya belajar dengan sungguh-sungguh serta tekun akan memperoleh hasil yang maksimal dan penggunaan waktu yang efektif. Menurut S. B. Djamrah, pedoman umum dalam belajar dapat dilakukan dengan cara belajar dengan teratur, disiplin dan bersemangat, konsentrasi, pengaturan waktu, istirahat dan tidur yang cukup.
2.1.2.6.1 Penilaian Proses Pembelajaran Keterampilan Berbicara Penilaian dalam proses pembelajaran dapat dilihat dari sikap siswa ketika mengikuti pembelajaran. S. Suwandi (2008 :89-90) memaparkan bahwa sikap bermula dari perasaan yang terkait dengan kecenderungan seseorang dalam merespons sesuatu atau objek. Sikap juga suatu ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Secara umum, objek sikap yang perlu diamati dalam proses pembelajaran adalah: (1) sikap terhadap materi pembelajaran, (2) sikap terhadap guru atau pengajar, (3) sikap terhadap proses pembelajaran, (4) sikap berkaitan dengan nilai atau norma yang berhubungan dengan suatu materi pelajaran. Sejalan dengan pendapat Sarwiji Suwandi, Mimin Haryati (2007 :38) menjelaskan bahwa karakteristik ranah afektif yang penting diantaranya adalah sikap, minat, konsep diri, nilai dan moral. a) Sikap yang dimaksud di sini adalah sikap terhadap sekolah dan mata pelajaran. b) Minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi. Minat adalah suatu disposisi yang terorganisasi melalui pengalaman yang mendorong untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian.
27
c) Konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu yang bersangkutan terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. d) Nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu untuk mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. e) Moral menyinggung akhlak, tingkah laku, karakter seseorang atau kelompok. Dari pendapat kedua ahli tersebut, jelas bahwa kriteria penilaian proses dapat saja dimodifikasi sendiri oleh seorang guru sesuai dengan tujuan dan kebutuhan siswa. Berdasarkan kenyataan tersebut, dalam penelitian ini peneliti membuat instrument yang digunakan untuk menilai penilaian proses untuk siswa. Penilaian proses pembelajaran dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini:
Tabel 2.1 Format Penilaian Proses Pembelajaran pada Keterampilan Berbicara Menggunakan Model SAVI dan Metode Role Playing Berilah tanda check list (√) untuk setiap aspek yang diamati pada kolom di bawah ini!
No.
Minat
Nama Siswa
Y
T
Aspek yang Dinilai Keaktifan Kerjasama Y
T
Y
T
Kesungguh an Y T
1. 2. 3. 4 5. 6. 7. 8. 9. Format diadaptasi dari S. Suwandi, (2008:92) Keterangan : 1) Ya
: Siswa yang menunjukkan aspek yang diinginkan
2) Tidak
: Siswa yang tidak menunjukkan aspek yang diiginkan
28
Untuk mencari nilai setiap siswa menggunakan teknik penilaian yang dikembangkan oleh Foreign Service Institue (FSI) sebagai berikut: a) Jumlah skor atau total nilai diperoleh dari menjumlahkan nilai setiap unsur penilaian yang diperoleh siswa b) Menghitung jumlah siswa sesuai setiap aspek = Nilai akhir
2.1.2.6.2 Penilaian Hasil Pembelajaran Keterampilan Berbicara Suwandi
(2008
:39)
mengemukakan
bahwa
penilaian
hasil
pembelajaran dapat dilakukan dengan tes, baik tes lisan ataupun tes tertulis. Pada umumnya tes dipergunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan dalam pembelajaran. Tingkat keberhasilan siswa dimaksudkan juga sebagai
kemampuan siswa yang diperoleh setelah
mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut. Tes esai adalah suatu bentuk pertanyaan yang menuntut jawaban siswa dalam bentuk uraian dengan menggunakan bahasa sendiri. Tes ini menuntut siswa untuk berpikir dalam mempergunakan apa yang diketahui yang berkenaan dengan pertanyaan yang harus dijawab. Dalam penelitian ini, penilaian pembelajaran bahasa Indonesia khususnya
pada
keterampilan
berbicara
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan tes lisan. Penilaian hasil dalam pembelajaran keterampilan berbicara ini didasarkan pada hasil pekerjaan siswa dalam bentuk berbicara/ tes lisan dengan pilihan kata yang sesuai dan memperhatikan unsur/aspek yang membangun sebuah keterampilan berbicara itu sendiri. Sebagai pedoman untuk penilaian keterampilan berbicara dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini:
29
Tabel 2.2 Format Lembar Penilaian Hasil Pembelajaran Keterampilan Berbicara Siswa Menggunakan Model SAVI dan Metode Role Playing Aspek yang Dinilai No.
Nama Siswa
I II 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Jumlah Nilai rata-rata Nilai Terendah Nilai Tertinggi Ketuntasan Klasifikasi
III
IV
Jumlah Skor
Nilai Akhir
Ketuntasan
V
Format diadaptasi dari Arsjad dan Mukti U. S. (1991:86-93) Keterangan: Aspek yang dinilai: I. Lafal II. Intonasi III. Kelancaran IV. Ekspresi Berbicara V. Pemahaman Isi Petunjuk penilaian: 1) Nilai setiap aspek yang dinilai dalam berbicara berskala 1 sampai 5 2) Jumlah skor atau total nilai diperoleh dari menjumlahkan nilai setiap aspek penilaian yang diperoleh siswa. 3) Nilai akhir yang diperoleh siswa diolah dengan menggunakan rumus: x 100 = Nilai Akhir
30
4) Nilai rata-rata kelas dihitung dengan rumus: = Nilai Rata-rata 5) Persentase ketuntasan pembelajaran berbicara dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Persentase Ketuntasan Klasikal
x 100% =
Skala penilaian aspek keterampilan berbicara dari tiap-tiap deskripsi dapat diperinci pada table 2.3 di bawah ini.
Tabel 2.3 Kriteria Penilaian Hasil Pembelajaran Keterampilan Berbicara Menggunakan Model SAVI dan Metode Role Playing No.
1.
Aspek yang Dinilai Lafal
Deskripsi
a. b. c. d. e.
Pelafalan sangat jelas Pelafalan jelas Pelafalan cukup jelas Pelafalan kurang jelas Pelafalan tidak jelas
Skor
Keterangan
5 4 3 2 1
2.
3.
Intonasi
a. Intonasi kata/suku kata sangat tepat b. Intonasi kata/suku kata tepat c. Intonasi kata/suku kata cukup tepat d. Intonasi kata/suku kata kurang tepat e. Intonasi kata/suku kata tidak tepat
Kelancaran a. b. c. d. e.
Berbicara sangat lancar Berbicara dengan lancar Berbicara cukup lancar Berbicara kurang lancar Berbicara tidak lancar
5
Sangat Baik
4
Baik
3
Cukup Baik
2
Kurang Baik
1
Tidak Baik
5 4 3
31
2 1
4.
Ekspresi Berbicara
a. Ekspresi berbicara sangat tepat b. Ekspresi berbicara tepat c. Ekspresi berbicara cukup tepat d. Ekspresi berbicara kurang tepat e. Ekspresi berbicara tidak tepat
5
4 3
2
1 5.
Pemahama n Isi
a. Sangat memahami isi pembicaraan b. Memahami isi pembicaraan c. Cukup memahami isi pembicaraan d. Kurang memahami pembicaraan e. Tidak memahami isi pembicaraan
5
4 3
2
1
Penjelasan dari tiap-tiap aspek sebagai berikut: I.
Lafal
Kemampuan melafalkan bunyi kata dijelaskan sebagai berikut: a. Lafal sangat jelas: mengucapkan kata maupun kalimat dengan sangat jelas yaitu benar-benar dapat dibedakan bunyi konsonan dan vocal (hampir tidak ada kesalahan). b. Lafal jelas: mengucapkan kata maupun kalimat dengan jelas yaitu dapat dibedakan bunyi konsonan dan vocal (artikulasi jeas tetapi sesekali melakukan kesalahan).
32
c. Lafal cukup jelas: cukup kesulitan mengucapkan bunyi konsonan dan vocal dengan jelas tetapi masih dapat dipahami pendengar. d. Lafal kurang jelas: melafalkan kata-kata yang susah sekali dipahami karena masalah pengucapan yaitu bunyi konsonan dan vocal kurang jelas
untuk
dibedakan
sehingga
memaksa
pendengar
harus
mendengarkan dengan teliti ucapannya. e. Lafal tidak jelas: kesulitan (tidak jelas) melakukan bunyi konsonan dan vocal sehingga kesalahan dalam pelafalan terlalu banyak menyebutkan bicaranya tidak dapat dipahami dan salah pengertian. II.
Intonasi
Kemampuan memberikan intonasi dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Intonasi sangat tepat: penempatan tekanan kata/suku kata sangat tepat sehingga berbicaranya tidak terkesan datar dan membosankan. b. Intonasi tepat: sedikit sekali kesalahan penempatan tekanan kata/suku kata, pembicaraan juga tidak terkesan datar. c. Intonasi cukup tepat: terkadang membuat kesalahan dalam penempatan tekanan kata/suku kata sehingga cukup terkesan datar. d. Intonasi kurang tepat: sering tidak memberikan tekanan/suku kata yang seharusnya mendapatkan intonasi dan cukup membosankan lawan bicara. e. Intonasi tidak tepat: sama sekalii tidak ada tekanan kata/suku kata dalam pembicaraannya dari awal sampai akhir sehingga membosankan lawan bicara dan keseluruhan bicaranya terkesan datar. III.
Kelancaran
Kemampuan kelancaran berbicara dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Berbicara sangat lancar: berbicara dengan sangat lancar, tidak terputusputus, dan tidak terdapat sisipan bunyi ”ee…..” dan sejenisnya. b. Berbicara lancar: sedikit sekali berbicara dengan terputus tetapi tidak terdapat sisipan bunyi “ee…..” dan sejenisnya. c. Berbicara cukup lancar: terkadang berbicara dengan terputus-putus dan terdapat sisipan bunyi “ee….” dan sejenisnya.
33
d. Berbicara kurang lancar: berbicara sering terputus-putus dan menyisipkan bunyi “ee…..” dan sejenisnya. e. Berbicara tidak lancar: berbicara selalu terputus-putus, banyak pengucapan sisipan bunyi “ee….” dan sejenisnya, dan sangat membosankan lawan bicara. IV.
Ekspresi Berbicara
Kemampuan ekspresi berbicara dijelaskan sebagai berikut: a. Ekspresi berbicara sangat tepat: hampir keseluruhan terdapat mimik/pantomimik berbicara yang meyakinkan dan komunikatif. b. Ekspresi berbicara tepat: terkadang menggunakan mimik/pantomimik berbicara yang dapat membangkitkan perhatian lawan bicara. c. Ekspresi berbicara cukup tepat: terdapat mimik/pantomimik berbicara tetapi tidak proporsional (terlalu berlebihan/tidak tepat pada keadaan). d. Ekspresi berbicara kurang tepat: ragu-ragu dalam memberikan gerakgerik (mimik/pantomimik) yang dapat meyakinkan lawan bicara. e. Ekspresi berbicra tidak tepat: berbicara tanpa ada gerakan, statis, dan terkesan kaku. V.
Pemahaman Isi
Kemampuan pemahaman isi pembicaraan dijelaskan sebagai berikut: a. Sangat paham isi pembicaraan: isi pembicaraan sesuai dengan topik dan tokoh yang diperankan tanpa kesulitan. b. Memahami isi pembicaraan: isi pembicaraan sesuai dengan topik dan tokoh yang diperankan tetapi sedikit mengalami kesulitan (kekeliruan). c. Cukup memahami isi pembicaraan: terkadang berbicara tidak sesuai topik dan tokoh yang diperankan. d. Kurang memahami isi pembicaraan: sering berbicara tidak sesuai topik/isi pembicaraan dan tokoh yang diperankan. e. Tidak memahami isi pembicaraan: selalu berbicara di luar dari topik dan tokoh yang diperankan, membingungkan lawan bicara.
34
Dalam penelitian ini, dilakukan pembobotan nilai dengan berdasarkan pada tujuan atau fokus penilaian, serta melakukan modifikasi berbagai butir penilaian sesuai dengan tujuan, situasi, dan kondisi yang melatari. Berdasarkan tabel yang telah dijelaskan di atas, untuk penilaian keterampilan berbicara terdapat lima aspek penilaian, yaitu aspek pelafalan, intonasi, kelancaran, ekspresi berbicara dan pemahaman isi.
2.1.3 Hakikat Proses Belajar Keterampilan Berbicara Menurut beberapa ahli komunikasi, bicara adalah kemampuan anak untuk berkomunikasi dengan bahasa oral (mulut) yang membutuhkan kombinasi yang serasi dari sistem neuromuscular untuk mengeluarkan fonasi dan artikulasi suara. Proses bicara melibatkan beberapa system dan fungsi tubuh, melibatkan system pernapasan, pusat khusus pengatur bicara di otak dalam korteks serebri, pusat respirasi di dalam batang otak dan struktur artikulasi, resonansi dari mulut serta rongga hidung. Terdapat 2 hal proses terjadinya bicara, yaitu proses sensoris dan motoris. Aspek sensoris meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba berfungsi untuk memahami apa yang didengar, dilihat dan dirasa. Aspek motorik yaitu laring, alat-alat untuk artikulasi, tindakan artikulasi dan laring yang bertanggung jawab untuk pengeluaran suara. Di dalam otak terdapat 3 pusat yang mengatur mekanisme berbahasa, dua pusat bersifat reseptif yang mengurus penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta satu pusat lainnya bersifat ekspresif yang mengurus penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta satu pusat lainnya bersifat sekpresif yang mengurus pelaksanaan bahasa lisan dan tulisan. Ketiganya berada di hemisfer dominan dari otak atau sistem susunan saraf pusat. Kedua pusat bahasa reseptif tersebut adalah area 41 dan 42 disebut area Wernick,
merupakan
pusat
persepsi
auditori-leksik
yaitu
mengurus
pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa lisan (verbal). Area 39 broadman adalah pusat persepsi visuo-leksik yang mengurus
35
pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang bersangkutan dengan bahasa tulis. Sedangkan area Broca adalah pusat bahasa ekspresif. Ketiga pusat tersebut berhubungan antara satu sama lain melalui serabut asosiasi. Saat mendengar pembicaraan, maka getaran udara yang ditimbulkan akan masuk melalui lubang telinga luar kemudian menimbulkan getaran pada membrane timpani. Dari hal tersebut rangsangan diteruskan oleh ketiga tulang kecil dalam telinga tengah ke telinga bagian dalam. Di telinga bagian dalam terdapat reseptor sensoris untuk pendengaran yang disebut Coclea. Saat gelombang suara mencapai coclea maka impuls ini diteruskan oleh saraf VII ke area pendengaran primer di otak diteruskan ke area wernick. Kemudian jawaban diformulasikan dan disalurkan dalam bentuk artikulasi, diteruskan ke areamotorik di otak yang mengontrol gerakan bicara. Selanjutnya proses bicara dihasilkan oleh getaran vibrasi dari pita suara yang dibantu oleh aliran udara dari paru-paru, sedangkan bunyi dibentuk oleh gerakan bibir, lidah dan palatum (langit-langit). Jadi untuk proses bicara diperlukan koordinasi sistem saraf motoris dan sensoris dimana organ pendengaran sangat penting. Dalam
proses
belajar
berbahasa
lisan/berbicara,
kemampuan
menggunakan bahasa reseptif dan ekspresif harus berkembang dengan baik sesuai yang diharapkan. https://speechclinic.wordpress.com/2009/04/25/proses-mekanisme-bicara-danbahasa/. Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses belajar berbicara adalah suatu proses perubahan tingkah laku antara berbagai unsur dan berlangsung seumur hidup yang didorong oleh berbagai aspek seperti motivasi, emosional, sikap dan lainnya dan pada akhirnya menghasilkan sebuah tingkah laku yang diharapkan. Sedangkan belajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui, atau keinginan untuk merubah suatu kebiasaan ke arah yang lebih baik.
36
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Keterampilan Berbicara Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan berbicara anak di usia sekolah. Anak-anak yang sedang berada di tahap Sekolah Dasar (SD) memiliki keterampilan yang berbeda-beda itu dikarenakan stimulasi yang diterima, lingkungan tempat tinggal, kesehatan, jenis kelamin dan masih banyak lagi. Keterampilan berbicara mengalami proses belajar yang unik karena berbicara tersebut digunakan sehari-hari meskipun tanpa proses informal namun melalui proses formal. Menurut Tarmasyah (1996) faktor yang mempengaruhi proses berbahasa dan bicara pada anak/siswa diantaranya. 1.
Kondisi Jasmani dan Kemampuan Motorik Kondisi jasmaniah anak meliputi kondisi fisik sehat, tentunya
mempunyai kemampuan gerakan yang lincah, dan penuh energi. Dengan demikian anak mempunyai rasa ingin tahu tentang benda-benda disekitarnya, kemudian benda tersebut diasosikan anak menjadi sebuah pengertian. Untuk selanjutnya pengertian tersebut dilahirkan dalam bentuk bahasa dan di ucapakan. Anak yang mempunyai kondisi fisik yang normal akan mempunyai kosep bahasa yang lebih dari anak yang kondisi fisiknya terganggu. Dengan demikian kemampuan bahasa dan keterampilan berbicara akan berbeda. 2.
Kesehatan Umum Kesehatan secara umum menujang perkembangan setiap anak termasuk
didalamya kemampuan bahasa dan keterampilan berbicara. Anak yang berpenyakit tidak mempunyai kebebasan dalam mengenal lingkungan sekitarnya secara utuh sehingga anak kurang mampu mengekspresikannya. Namun anak yang sehat akan mampu mengenali lingkungan dan mampu mengekspresikan secara utuh dalam bentuk bahasa dan berbicara. Lebih lanjut Tarmansyah (1996: 53) mengatakan “…. adanya gangguan pada kesehatan anak, akan mempengaruhi dalam perkembangan bahasa dan bicara. Hal ini terjadi sehubungan dengan berkurangnya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dari lingkungan. Selain itu, mungkin anak yang
37
kesehatannya kurang baik tersebut menjadi berkurang minatnya untuk ikut aktif melakukan kegiatan, sehingga menyebabkan kurangnya input yang diperlukan untuk membentuk konsep bahasa dan perbendaharaan pengertian. Menurut Hurlock (1978: 186) faktor yang menimbulkan perbedaan dalam belajar berbicara tentang kesehatan anak yang sehat akancepat belajar berbicara ketimbang anak yang tidak sehat, karena ada motivasi untuk bergabung dengan kelompok sosial dan berkomunikasi dengan anggota kelompok tersebut. 3.
Kecerdasan Kecerdasan pada anak usia dini meliputi fungsi mental intelektual.
Anak yang memiliki intelegensi tinggi akan mampu berbicara lebih awal sedangkan anak yang memiliki intelegensi rendah akan terlambat dalam kemampuan berbahasa dan berbicara. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan atau intelegensi berpengaruh terhadap kemampuan bahasa dan bicara. Menurut Hurlock (1978: 186) anak yang memiliki kecerdasan tinggi belajar berbicara lebih cepat dan memperlihatkan penguasaan bahasa yang lebih unggul ketimbang anak yang tingkat kecerdasannya rendah.Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kelancaran keterampilan berbicara pada anak yang memiliki kecerdasan yang baik, umumnya tidak mengalami hambatan dalam berbahasa dan berbicara.Jadi, kelancaran berbicara menunjukan kematangan mental intelektual. 4.
Sikap lingkungan Lingkungan yang mempengaruhi perkembangan bahasa dan bicara anak
adalah lingkungan bermain baik dari tetangga maupun dari sekolah. Oleh karena itu lingkungan sangat mempengaruhi bahasa anak, maka lingkungan dari mana pun bagi anak hendaklah lingkungan yang dapat menimbulkan minat berkomunikasi anak. Proses perolehan bahasa anak diawali dengan kemampuan mendengar kemudian maniru suara yang didengar dari lingkungan. Proses semacam ini,
38
anak tidak akan mampu berbahasa dan berbicara jika anak tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan yang pernah didengarnya. Oleh karena itu keluarga harus memberi kesempatan kepada anak belajar dari pengalaman yang pernah didengarnya. Kemudian berangsurangsur ketika anak mampu mengekspresikan pengalaman, baik dari pengalaman mendengar, melihat, membaca dan diungkapkan kembali dalam bahasa lisan. 5.
Sosial Ekonomi Kondisi sosial ekonomi dapat mempengaruhi perkembangan bahasa dan
bicara. Hal ini dikarenakan sosial ekonomi seseorang memberikan dampak terhadap hal-hal yang berkaitan dengan berbahasa dan berbicara. Makanan dapat mempengaruhi kesehatan. Makanan yang bergizi akan memberikan pengaruh positif untuk perkembangan sel otak. Perkembangan sel otak inilah yang akhirnya digunakan untuk mencerna semua rangsangan dari luar sehingga rangsangan tersebut akan melahirkan respon dalam bentuk berbahasa dan berbicara. Gambaran tersebut menujukkan bahwa kondisi sosial ekonomi yang tinggi dapat memenuhi kebutuhan makanan anaknya yang memadai. Menurut Hurlock (1978: 186) anak dari kelompok sosial ekonomi tinggi lebih mudah belajar berbicara, mengungkapkan dirinya lebih baik, dan lebih banyak berbicara ketimbang anak dari kelompok yang keadaan ekonominya lebih rendah. Penyebab utama adalah anak dari kelompok lebih tinggi lebih banyak didorong unutk berbicara dan lebih banyak di bombing melakukannya. 6.
Kedwibahasaan Kedwibahasaan atau bilingualisme adalah kondisi dimana seseorang
berada di lingkungan orang lain yang menggunakan dua bahasa atau lebih. Kondisi demikian dapatlah mempengaruhi atau memberikan akibat bagi perkembangan bahasa dan berbicara anak. Meskipun ada anggapan bahwa anak usia dini dapat belajar bahasa yang berbeda sekaligus, namun jika dalam
39
penggunaannya bersamaan dan bahasa yang digunakan berbeda, maka hal ini dapat mempengaruhi perkembangan bahasa dan bicara anak. 7.
Neurologi Neuro adalah syaraf, sedangakan neurologis dalam berbicara adalah
bentuk layanan yang dapat diberikan kepada anak untuk membantu mereka yang mengalami gangguan bicara. Oleh karena itu gangguan berbicara penyebabnya dapat dilihat dari keadaan neurologisnya. Beberapa faktor neurologis yang mempengaruhi perkembangan bahasa dan bicara anak menurut Tarmansyyah (1996) adalah meliputi: 1.
Bagaimana struktur susunan sarafnya
2.
Bagaimana fungsi susunan syarafnya
3.
Bagaimana peranan susunan syarafnya
4.
Bagaimana syaraf yang berhubungan dengan organ bicaranya
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kondisi yang didapat menimbulkan perbedaan dalam berbicara dipengaruhi oleh faktor internal (kemampuan jasmani dan motorik, kecerdasan, dan neurologi) serta faktor eksternal (kesehatan umum, sikap lingkungan, sosial ekonomi, dan kedwibahasaan ). Kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi proses belajar siswa dalam berbicara. Faktor internal berkaitan dengan kondisi dalam dirinya. Sedangkan faktor eksternal berkaitan dengan kondisi lingkungannya. Kondisi lingkungan adalah keadaan yang ada di sekitar siswa. Oleh karena itu dalam penelitian ini membantu perkembangan berbicara siswa pada faktor eksternal yaitu dengan memberikan dorongan kepada siswa untuk berbicara tanpa ada rasa gugup, takut, malu maupun gemetar ketika berbicara di depan kelas bersama teman-teman kelompoknya, serta dapat menjalin hubungan dalam berbicara antar kelompok melalui sebuah model dan metode pembelajaran SAVI dan Role Playing.
2.1.5 Hakikat Hasil Belajar Keterampilan Berbicara Hasil belajar mengajar merupakan aktivitas utama di sekolah. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis pada beberapa waktu
40
yang terlewati, penulis menemukan ada beberapa aktivitas utama yang terdapat di sekolah yang berkaitan dengan hasil belajar siswa di SD Negeri Sumogawe 1 Kecamatan Getasan yang meliputi 3 unsur, yaitu: tujuan pengajaran, proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa. Menurut Nana Sudjana (2006 : 22) “ Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikulum maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi 3 ranah, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik”. Ketiga ranah ini digunakan dalam penilaian hasil belajar pada kurikulum berbasis kompetensi. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual, ranah afektif berkenaan dengan sikap, dan ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak. Penilaian yang dilakukan dalam kurikulum 2004 adalah penilaian yang berbasis kompetensi yang berbijak pada konsep belajar tuntas. Pencapaian hasil belajar mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif dilakukan melalui ulangan harian dan ujian. Aspek afektif dilakukan melalui pengamatan pada lembar pengamatan, sedang aspek psikomotorik dilakukan melalui ujian praktikum atau unjuk kerja pada pembelajaran berlangsung (Depdikbud: 2004 : 9-10).
2.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Dari faktor internal, pendekatan pembelajaran, metode atau sumber belajar yang digunakan oleh guru memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap tingkat keterampilan berbicara bagi peserta didik. Pada umumnya guru bahasa Indonesia cenderung menggunakan pendekatan yang konvesional dan miskin inovasi sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung secara monoton dan membosankan para pendengarnya khususnya peserta didik, yang seringkali terjadi dilingkungan saat ini baik di sekolah maupun lingkungan rumah adalah peserta tidak diajak untuk belajar berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar
41
tentang bahasa, artinya adalah apa yang disajikan oleh guru di kelas bukan bagaimana siswa berbicara sesuai konteks dan situasi tutur kata, melainkan diajak untuk mempelajari teori tentang berbicara. Akibatnya, keterampilan berbicara siswa masih tergolong rendah dan bahkan hal tersebut bisa menjadi hambatan serius bagi siswa untuk menjadi siswa yang cerdas, kritis, kreatif dan berbudaya. Menurut Nurhadi 2000,
mengemukakan pendapatnya bahwa guru
bahasa Indonesia lebih banyak berkutat dengan pengajaran tata bahasa, dibandingkan mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia secara nyata. Dalam konteks demikian, diperlukan pendekatan pembelajaran keterampilan
berbicara
yang
inovatif
dan
kreatif,
sehingga
proses
pembelajaran bisa berlangsung aktif, efektif dan menyenangkan. Selain itu, siswa tidak hanya diajak untuk belajar tentang bahasa secara rasional dan kognitif, tetapi juga diajak untuk belajar dan berlatih dalam konteks dan situasi tutur yang sesungguhnya dalam suasana yang dialogis, interaktif, menarik dan menyenangkan. Dengan cara demikian, siswa tidak akan terpasung
dalam
suasana
pembelajaran
yang
kaku,
monoton
dan
membosankan. Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk meningkatkan proses dan hasil keterampilan berbicara siswa yang dapat memicu terjadinya peningkatan kemampuan berbicara siswa yang masih tergolong rendah khususnya bagi siswa kelas 4 SD Negeri Sumogawe 1 Kecamatan Getasan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kridalaksana, ed. 1996: 144) dijelaskan bahwa berbicara adalah “berkata, bercakap, berbahasa atau bahkan melahirkan pendapat (dengan perkataan, tulisan dan lain sebagainya) atau berunding. Sedangkan, sebagai bentuk atau wujudnya, berbicara dinyatakan sebagai suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sang pendengar atau penyimak.
42
2.2 Hakikat Model Belajar Model merupakan kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Model dapat dipahami juga sebagai gambaran tentang keadaan sesungguhnya. Berangkat dari pemahaman tersebut, maka model pembelajaran dapat dipahami sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dan terencana dalam mengorganisasikan proses pembelajaran peserta didik sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif. Model
pembelajaran
juga
dapat
dipahami
sebagai
blueprint
(perencanaan) guru dalam mempersiapkan dan melaksanakan proses pembelajaran. Model pembelajaran berfungsi sebagai pedoman bagi perancang kurikulum maupun guru dalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran di kelas.
2.2.1 Pertimbangan dalam Memilih Model Terdapat sejumlah pertimbangan yang mesti dipikirkan guru terkait dengan pemilihan model pembelajaran yang akan digunakan dalam pembelajaran yang akan dilaksanakan. Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan tersebut disesuaikan dengan pertanyaan apa yang akan dititikberatkan dalam pembelajaran (apakah outcome, content atau process) 1. Hasil (Outcome) Apabila guru memutuskan untuk mengarahkan pada hasil pembelajaran, maka guru tersebut perlu merumuskan beberapa petanyaan sebagai berikut: a. Apa yang di harapkan dari peserta didik sebagai hasil akhir dari pembelajaran b. Jenis pengetahuan dan motivasi seperti apa yang diharapkan guru dari peserta didik sebagai hasil dari pembelajaran c. Jenis keterampilan seperti apa yang diharapkan guru dapat dipraktikkan oleh peserta didik d. Sikap dan nilai-nilai apa saja yang perlu dan seharusnya dimiliki oleh peserta didik
43
e. Mengapa guru mengharuskan peserta didik untuk mempelajari materi pembelajaran tersebut f. Pengetahuan, sikap dan keterampilan apa saja yang diperlukan oleh peserta didik sehingga guru akan lebih mudah untuk memberikannya g. Bagaimana caranya agar guru mengetahui bahwa peserta didik dapat mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang sesuai dengan harapan guru tersebut. 2. Isi / Materi (Content) Apabila guru memutuskan untuk menitikberatkan proses pembelajaran pada content pembelajaran, maka guru perlu merumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut: a. Apa saja materi inti yang perlu dipahami peserta didik untuk mendukung hasil belajar yang diharapkan b. Apa yang menjadi sumber-sumber belajar yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung materi pembelajaran c. Kemampuan berpikir peserta didik seperti apa yang perlu dinilai dan bagaimana caranya guru mlakukan penilaian tersebut. Mengapa hal tersebut penting untuk dilakukan d. Kekeliruan pemahaman dan konsepsi seperti apa yang umumnya terjadi dalam penyampaian materi yang dilakukan e. Bagaimana cara dapat meminimalisasikan atau mengurangi kekeliruan pemahaman dan konsepsi kepada peserta didik. 3. Proses (Process) Apabila
guru
memutuskan
untuk
menitikberatkan
pada
proses
pembelajaran, maka guru perlu merumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut: a. Strategi apa yang diperlukan agar peserta didik dapat lebih mudah memahami pembelajaran yang dilakukan b. Bagaimana
peserta
keterampilannya
didik
dapat
mengembangkan
keterampilan-
44
c. Bagaimana peserta didik dapat mengembangkan sikap dan nilai yang diperlukan d. Bagaimana struktur pengorganisasian kelas yang harus kembangkan untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang efektif e. Apa saja jenis atau bentuk strategi pembelajaran yang menjadi penekanan jika dikaitkan dengan jenis sikap, keterampilan dan pengetahuan yang dikembangkan melalui proses pembelajaran yang dilakukan f. Bagaimana merancang dan mengorganisasikan materi pembelajaran agar peserta didik mudah mempelajarinya g. Apakah peserta didik memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk mendukung strategi pembelajaran yang benar h. Seberapa banyak waktu, ruang serta sumber belajar yang guru gunakan dalam mendukung strategi pembelajaran i. Apakah strategi pemotivasian dapat dikembangkan untuk mempercepat tumbuhnya rasa percaya diri peserta didik j. Bagaimana caranya untuk mengetahui bahwa pembelajaran yang dilaksanakan berlangsung optimal dan sesuai dengan apa yang direncanakan. Hasil
Pertimbangan Proses
Isi
Gambar 2.1 Pertimbangan dalam Memilih Model Pembelajaran
45
2.2.2 Model Pembelajaran SAVI 2.2.2.1 Penggunaan Model Pembelajaran SAVI Meier (2000) merupakan seorang pendidik, trainer sekaligus penggagas model accelerated learning. Salah satu model pembelajarannya apa yang dikenal dengan SAVI (Somatic Auditory Visualization Intellectually). Berikut ini adalah cara-cara yang bisa menjadi starting point guru dalam melaksanakan pembelajaran SAVI. S = Somatic
Learning by Doing
A = Auditory
Learning by Hearing
V = Visual
Learning by Seeing
I = Intellectually
Learning by Thinking
Seluruh pikiran dan tubuh dalam pembelajaran bahasa sangat membantu peserta didik untuk menciptakan suatu aktivitas yang kreatif dengan atau melalui bahasa. Kreativitas berbahasa itu akan semakin bermakna apabila memungkinkan mereka berinteraksi secara positif dengan siswa lainnya sehingga suasana akan tampak lebih komunikatif dan penuh sehingga proses pembelajaran keterampilan berbicara dapat tercapai. Dengan begitu, seorang siswa akan mendapatkan berbagai pelajaran dari siswa lain sehingga memperkaya pengetahuan dan keterampilan berbahasa mereka. Selain itu, dari munculnya berbagai aktivitas yang mereka lakukan akan terjalinnya interaksi dengan siswa lain, maka akan menghasilkan dan tercipta suasana kelas yang kondusif dan menyenangkan untuk belajar bahasa (Eri Sarimanah, 2009).
2.2.2.2 Kelebihan dan Kelemahan Model SAVI Kelebihan dari model SAVI adalah: (1) SAVI membuat siswa tidak hanya duduk di kursi dan diam, tetapi membuat mereka beraktivitas dengan menggunakan seluruh alat indera dan pikiran, (2) pembelajaran tidak hanya terpusat oleh gur, (3) pembelajaran menjadi lebih menyenangkan karena banyak aktivitas yang dilakukan sehingga akan terhindar dari rasa bosan, (4) lebih leluasa dalam menggunakan berbagai macam media dan metode.
46
Segala sesuatu yang diciptakan di dunia ini pasti memiliki kelebihan dan kelemahan. Begitu juga dengan model pembelajaran SAVI, kelemahan dari model SAVI adalah: (1) pembelajaran yang melibatkan semua indera dan pemikiran membutuhkan kemampuan yang lebih sehingga kemungkinan penerapan kedua pokok tersebut akan mengalami kesulitan, (2) sarana prasarana yang digunakan akan lebih banyak, (3) pembelajaran membutuhkan persiapan yang lebih matang disegala aspek, dan (4) membutuhkan pengaturan kelas yang lebih baik oleh guru agar siswa terlibat aktif dalam mengikuti pembelajaran.
2.2.3 Hakikat Metode Belajar Metode belajar merupakan salah satu sarana dan cara yang sering digunakan oleh seorang pengajar maupun pembimbing untuk meningkatkan dan memfasilitasi para peserta didik dalam bentuk kegiatannya untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran agar terjadi sesuai harapan. Winarno Surcahmad mengatakan bahwa pemilihan dan penentuan metode dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu latar belakang anak didik, tujuan yang ingin dicapai, situasi yang ada, fasilitas yang tersedia dan kualitas guru. Perlu diketahui bahwa tidak ada satu metode pun yang dianggap paling baik diantara metode-metode yang lain (Surachmad 2004: 2). Tiap metode mempunyai karakteristik tertentu dengan segala kelebihan dan kelemahan masing-masing. Suatu metode mungkin baik untuk suatu tujuan tertentu, pokok bahasan maupun situasi dan kondisi tertentu, tetapi mungkin tidak tepat untuk situasi yang lain. Demikian pula dengan suatu metode yamg dianggap baik untuk suatu pokok bahasan yang disampaikan oleh guru tertentu, kadang-kadang belum tentu berhasil dibawakan oleh guru. Adakalanya seorang guru juga perlu menggunakan beberapa metode dalam menyampaikan suatu pokok bahasan tertentu agar penyajian pengajaran didalam kelas menjadi lebih hidup.
47
2.2.4 Fungsi Metode Pembelajaran Penggunaan metode mengajar dalam pembelajaran ditinjau dari segi prosesnya memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut ( Nana Sudjana, 74): a.
Sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan pembelajaran. Setiap pembelajaran
harus
bertujuan,
sehingga
dalam
proses
pembelajarannya akan memerlukan suatu cara dan teknik yang memungkinkan dapat tercapainya tujuan tersebut. b.
Sebagai gambaran aktivitas yang harus di tempuh oleh siswa dan guru dalam kegiatan pembelajaran
c.
Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan alat penilaian pembelajaran. Karakteristik metode pembelajaran dapat dijadikan pertimbangan untuk penilaian.
d.
Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan bimbingan dalam kegiatan pembelajaran, apakah dalam kegiatan pembelajaran tersebut perlu diberikan bimbingan secara individu atau kelompok
2.2.5 Penggunaan Metode Role Playing Dalam role-play, peserta melakukan tawar-menawar antara ekspetasiekspetasi sosial suatu peran tertentu, interpretasi dinamik mereka tentang peran tersebut, dan tingkat dimana orang lain menerima pandangan mereka tentang peran tersebut. Sebagaimana seorang siswa yag memiliki pengalaman peran dalam kehidupannya, biasanya dapat melakukan role-play. Menurut pendapat Van Ments, 1994 dalam bukunya mengemukakan bahwa penggunaan role playing dapat membuktikan diri sebagai suatu media pendidikan yang ampuh, dimana saja terdapat peran-peran yang dapat didefinisikan dengan jelas, yang memiliki interaksi yang mungkin dieksplorasi dalam keadaan yang bersifat simulasi (skenario). Hasil dari interaksi pembuat peran dengan skenario, individu-individu, atau teman lain dalam kelas atau kedua-duanya belajar sesuatu tentang seseorang, problem atau situasi yang spesifik dari bidang studi tersebut.
48
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam menyajikan metode role-play guru sebelumnya harus menguasai langkah pembelajaran. Karena apabila pelaksanaan bermain peran mengalami kegagalan bukan saja dapat memberi kesan yang kurang baik bagi peserta didik maupun penonton namun sekaligus dapat mengakibatkan pada tujuan pembelajaran tidak tercapai sesuai harapan.
2.2.5.1 Pengertian Metode Role Playing (Bermain Peran) Role playing atau bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang di dalamnya ada tujuan, aturan, dan edutainment (Fogg, 2001). Dalam role playing, siswa dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan
sebagai
suatu
bentuk
aktivitas
di
mana
pembelajar
membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain. Pada role playing, titik tekannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indra ke dalam suatu situasi permasalahan yang secara nyata dihadapi oleh siswa. Siswa diperlakukan sebagai subjek pembelajaran yang secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Dalam dimensi sosial, metode ini memudahkan individu untuk bekerja sama dalam menganalisis kondisi sosial, khususnya masalah kemanusiaan. Metode ini juga menyokong beberapa cara dalam proses pengembangan sikap sopan dan demokratis dalam menghadapi masalah. Esensi role playing adalah keterlibatan partisipan dan peneliti dalam situasi permasalahan dan adanya keinginan untuk memunculkan resolusi damai serta memahami apa yang dihasilkan dari keterlibatan langsung. Role playing berfungsi untuk (1) mengeksplorasi perasaan siswa, (2) mentransfer dan mewujudkan pandangan mengenai perilaku, nilai, dan persepsi siswa, (3) mengembangkan skill pemecahan masalah dan tingkah laku, dan (4) mengeksplorasi materi pelajaran dengan cara yang berbeda.
49
Adapun
sintak
dalam
pembelajaran
keterampilan
berbicara
menggunakan moetode role playing adalah sebagai berikut: Berdasarkan buku Wikipedia (2012) menyebutkan bahwa role-playing adalah sebuah permainan yang para pemainnya memainkan peran tokoh-tokoh khayalan dan berkolaborasi untuk merajut sebuah cerita bersama. Jill Hadfield (dalam Santoso, 2011) menyatakan bahwa role playing adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang. Hadari Nawawi (dalam Kartini, 2007) menyatakan bahwa bermain peran (role playing) adalah mendramatisasikan cara bertingkah laku orangorang tertentu dalam posisi yang membedakan peranan masing-masing dalam suatu organisasi atau kelompok di masyarakat. Sehubungan dengan itu, Santoso (2011) mengatakan bahwa metode role playing adalah adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Dengan kata lain bahwa metode pembelajaran role playing adalah suatu metode pembelajaran dengan melakukan permainan peran yang di dalamnya terdapat aturan, tujuan, dan unsur senang dalam melakukan proses belajarmengajar. Menurut Amri (2010: 194) role playing merupakan salah satu model pembelajaran yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia (interpersonal relationship), terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik. Menurut Dananjaya mengenai role playing, (2011: 122) adalah gambaran tentang suatu kondisi/paradigm tertentu pada satu hal di dalam masyarakat. Lewat ‘skenario’, pelaku yang berlaku tanpa memberikan informasi verbal apapun akan terlihat respon siswa/teman lain sesama aktor. Taniredja (2011: 39), berpendapat bahwa role playing merupakan metode mengajar yang mendramatisasikan suatu situasi sosial yang mengandung suatu problem, agar peserta didik dapat memecahkan suatu masalah yang muncul dari suatu situasi sosial.
50
Role playing juga diorganisasi berdasarkan kelompok-kelompok siswa yang
heterogen.
Masing-masing
kelompok
memerankan/menampilkan
skenario yang telah disiapkan guru. Selain itu, role playing juga dapat diartikan sebagai suatu aktivitas pembelajaran yang terencana yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang spesifik.
2.2.5.2 Tujuan Metode Role Playing Menurut pendapat Sumiati (2009: 100), pada bukunya mengenai tujuan metode role playing adalah menggambarkan suatu peristiwa masa lampau. Atau dapat pula cerita dimulai dengan berbagai kemungkinan yang terjadi baik kini maupun mendatang. Kemudian ditunjuk beberapa orang siswa untuk melakukan peran sesuai dengan tujuan cerita. Sedangkan menurut Amri (2010: 194) tentang tujuan metode role playing adalah peserta didik mencoba mengeksporasi hubungan-hubungan antarmanusia dengan cara memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat mengeksplorasi perasaanperasaan, sikap-sikap, nilai-nilai dan berbagai pemecahan masalah. Dari penjelasan diatas mengenai tujuan role playing (bermain peran) pada
pembelajaran
keterampilan
berbicara
adalah
bertujuan
untuk
memerankan materi ajar yang diharapkan nantinya siswa dapat menerima dan menyerap materi yang diajarkan oleh guru. Adapun alasan pemilihan metode role playing adalah dengan pertimbangan bahwa metode ini dirasa lebih tepat yaitu lebih efektif dan lebih efisien untuk diterapkan dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Karena menurut penulis, role playing merupakan salah satu metode yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk membantu pemahaman mereka pada mata pelajaran Bahasa Indonesia sesuai harapan para guru. Melalui penerapan metode ini diharapkan siswa mampu memfokuskan pikiran, kemampuan, dan pengetahuan yang mereka miliki ke dalam perannya sehingga siswa akan lebih mudah mengorganisasikan ide-ide dan gagasannya
51
dalam bahasa lisan. Selain itu dengan penerapan metode ini role playingyang efektif dan efisien tersebut diharapkan agar siswa mampu memerankan dari karakter tokoh yang diperankan. Metode role playing dikatakan efektif karena penerapan metode bermain peran/sosiodrama akan lebih menghemat waktu, hal ini disebabkan karena siswa dapat tampil praktik berbicara secara berkelompok. Selain itu, siswa dapat menghilangkan perasaan takut dan malu karena mereka dapat tampil bekerja sama dengan anggota kelompoknya. Sedangkan dikatakan efisien, dimungkinkan karena proses belajar di SD lebih banyak dilakukan dengan bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain. Permainan adalah hal paling menarik untuk anak-anak usia Sekolah Dasar. Berdasarkan uraian di atas sejalan dengan pendapat Roestiyah (2008:22). Metode role playing (bermain peran) memiliki kelebihan sebagai berikut: menyenangkan bagi siswa, menarik minat siswa dalam belajar, motivasi siswa dalam belajar akan meningkat, rasa percaya diri siswa meningkat, dan siswa memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan sebagainya. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode role playing (bermain peran) merupakan salah satu metode pembelajaran yakni peserta didik melakukan kegiatan memainkan peran tokoh lain dengan penuh penghayatan dan kreativitas berdasarkan peran suatu kasus yang sedang dibahas sebagai materi pembelajaran pada saat itu.
2.2.5.3 Kelebihan dan Kelemahan Metode Role Playing Dalam pelaksanaan role playing (bermain peran) memiliki kelebihan dan kelemahan yang harus diketahui oleh guru sebelum menerapkan metode ini. Adapun kelebihan dalam metode role playing ini menurut Roestiyah (2008: 93) adalah sebagai berikut:
52
1. Melibatkan
seluruh
siswa
dapat
berpartisipasi
mempunyai
kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerjasama 2. Siswa lebih tertarik perhatiannya pada saat pembelajaran 3. Melatih siswa untuk aktif selama pembelajaran sedang berlangsung 4. Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar mudah dipahami 5. Memunculkan rasa tanggung jawab terhadap peran yang dilakoni 6. Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar mudah dipahami orang lain. 7. Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa pada waktu melakukan permaianan.
Sedangkan menurut Hamalik (2012: 2014) kelebihan model role playing,
yaitu
waktu
mengekspresikan mendapatkan
bermain
perasaan
sangsi.
dan
Bermain
peran
siswa
pendapat peran
dapat
tanpa
bertindak
dan
mengkhawatirkan
memungkinkan
para
siswa
mengidentifikasikan situasi-situasi dalam dunia nyata dan dengan ide-ide orang lain. Dilihat dari kelebihan-kelebihan bermain peran yang dikemukan di atas, dapat disimpulkan bahwa berhasilnya pemeran tersebut bergantung pada kegiatan yang dilakukan siswa terutama pada analisis sebagai tindak lanjutnya. Adapun kelemahan metode role playing menurut Afroh (2012) adalah sebagai berikut: 1. Bermain peran (role playing) memakan waktu yang banyak 2. Peserta didik sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara baik khususnya jika mereka tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengan baik 3. Bermain peran (role playing) tidak akan berjalan dengan baik jika suasana kelas tidak mendukung
53
4. Peserta didik yang tidak dipersiapkan dengan baik ada kemungkinan tidak akan melakukan secara sungguh-sungguh, dan 5. Tidak semua materi pelajaran dapat menerapkan metode ini. Berdasarkan pernyataan di atas mengenai kelemahan dari penggunaan metode role playing, maka salah satu solusi yang tepat digunakan ketika menerapkan metode role playing dalam pembelajaran adalah guru sebelumnya mempersiapkan setting waktu, waktu yang dipilih guru hendaknya tidak memakan waktu mata pelajaran lain. Jika pun memakan waktu mata pelajaran lain, guru yang hendak menerapkan
metode
role
playing
ini
sebelumnya
harus
meminta
ijin/persetujuan kepada guru bersangkutan sehingga hal tersebut tidak mengganggu terlaksananya mata pelajaran berikutnya. Setting memudahkan
tempat, peserta
tempat didik
yang dalam
luas/terlihat
tidak
mengekspresikan
sempit gaya
akan
sehingga
memudahkan peserta didik dalam memerankan peran sesuai karakter masingmasing. Mengingat bahwa penguasaan gaya/ekspresi yang ditunjukkin peserta didik sangat menentukan dalam kriteria penilaian. Selain itu, guru juga terlebih dahulu menyampaikan masalah yang hendak diperankan oleh siswa sebelum melakukan perannya. Sehingga dalam pelaksanaan dalam penggunaan metode role playing siswa maupun guru tidak mengalami kendala.
2.2.6 Alasan Penggunaan Model SAVI Meier (2000) merupakan seorang pendidik, trainer sekaligus penggagas model accelerated learning. Salah satu model pembelajarannya adalah apa yang dikenal dengan SAVI (Somatic Auditory Visualization Intellectualy). Menurut Meier, guru hendaknya menerapkan cara belajar somatic, auditori, visual, dan intelektual dalam pembelajarannya. Artinya belajar tidak secara otomatis meningkat dengan adanya orang-orang berdiri dan bergerak di sekitar.
54
Akan tetapi menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indera dapat memiliki efek mendalam pada pembelajaran.Cara belajar yang demikian disebut SAVI. Komponen yang mudah diingat dalam SAVI antara lain: (1) somatic, yang berati belajar dengan cara bergerak dan berbuat; (2) auditori, yaitu belajar dengan cara berbicara dan mendengarkan; (3) visual, yaitu belajar dengan cara mengamati dan menggambarkan; (4) intelektual, yang berarti belajar dengan memecahkan masalah dan mencerminkan. Keempat model pembelajaran harus dihadirkan untuk terjadinya proses pembelajaran yang optimal. Karena semua elemen ini terintegrasi, jenis terbaik dari pembelajaran akanterjadi jika keempatnya digunakan secara bersamaan. Berpijak dari kondisi nyata yang dialami, maka dalam melakukan sebuah pembelajaran dengan tujuan meningkatkan keterampilan berbicara siswa, guru hendaknya mampu menyajikan keempat elemen tersebut dalam pembelajaran sehingga diharapkan hasil belajar siswa juga dapat meningkat. Dalam penggunaan model SAVI ini, tentu merupakan solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami siswa. Karena model SAVImemberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar melalui aktivitas fisik, mendengar dan berbicara, mengamati, serta memecahkan masalah. Dalam penerapannya pun, model pembelajaran SAVI sangat efektif ketika di padukan dengan satu metode yaitu metode bermain peran (role playing). Menurut Meier (2005) empat unsur SAVI dalam satu peristiwa pembelajaran semuanya diterapkan dengan baik maka pembelajaran dapat dapat berjalan dengan optimal. Misalnya, orang dapat belajar sedikit dengan menyaksikan presentasi (V) tetapi mereka dapat melakukan sesuatu ketika presentasi berlangsung (S), membicarakan apa yang sedang mereka pelajari (A), dan memikirkan cara menerapkan informasi dalam presentasi tersebut pada pekerjaan mereka (I), atau mereka dapat memecahkan masalah (I) jika mereka secara simultan menggerakkan sesuatu (S) untuk menghasilkan pictogram atau pajangan tiga dimensi (V) sambil membicarakan apa yang sedang mereka kerjakan (A).
55
Bertolak dari pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model SAVI memungkinkan siswa untuk terampil dalam berbicara sehingga dalam keterampilan berbicara seluruh siswa diharapkan dapat aktif dan dapat memanfaatkan seluruh indera pada diri mereka.
2.2.7 Alasan Penggunaan Metode Role Playing Penggunaan metode role playing yang akan diterapkan oleh seorang guru dalam pembelajaran tentu didasarkan adanya alasan atau pertimbangan. Alasan tersebut dimungkinkan bahwa metode role playing sangat tepat untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran tertentu. Dalam penggunaan metode role playing dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan berbicara peserta didik karena dalam bermain peran itu sendiri, peserta didik diharuskan untuk terampil berbicara kepada lawan bicaranya atau pemeran lainnya. Menurut B. Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun (2009:341) ada dua alasan seorang guru memutuskan untuk menggunakan metode role playing dengan sekelompok siswa. Salah satunya adalah untuk memulai program pendidikan sosial yang sistematis, role playing banyak menyediakan materi untuk didiskusikan dan dianalisis. Untuk itu, sebuah masalah dalam situasi tertentu mugkin akan dipilih. Alasan yang kedua adalah untuk memberi saran pada sekelompok siswa dalam menghadapi sebuah masalah keseharian. Role playing bisa memunculkan permasalahan untuk diteliti siswa dan membantu siswa memecahkan masalah. Penanaman dan pengembangan aspek nilai, moral, dan sikap siswa akan lebih mudah dicapai apabila siswa secara langsung mengalami (memerankan) peran tertentu, dari pada hanya mendengarkan penjelasan ataupun melihat dan mengamati
saja.
(http://www.scribd.com/doc/13065635/Metodemetode-
pembelajaran). Penjelasan tersebut cukup memberikan alasan kuat bahwa penggunaan metode role playing dapat mengembangkan aspek sikap atau kepribadian siswa menjadi lebih baik. Pengalaman dengan melakukan
56
langsung (bermain peran) tentu akan lebih membekas pada diri peserta didik daripada hanya melihat atau mendengarkan saja. Brown (2005) menyatakan bahwa pembelajaran sosiodrama (bermain peran) merupakan model belajar yang menciptakan pemahaman yang mendalam mengenai sistem sosial yang membentuk kita secara individu dan kolektif. Sosiodrama (bermain peran) adalah model pembelajaran bermain peran untuk memecahkan berbagai masalah yang berkaitan dengan fenomena sosial, hubungan antara manusia seperti masalah kenakalan remaja, narkoba, gambaran keluarga yang otoriter, dan lain sebagainya. Sosiodrama digunakan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan masalah sosial serta mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memecahkan masalahnya (Depdiknas, 2008). Bertolak dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa alasan penggunaan metode role playing yaitu metode ini dapat memupuk jiwa sosial anak dan membantu siswa dalam memecahkan masalaha kehidupannya serta mengembangkan aspek nilai, moral dan sikap siswa.
2.2.8 Langkah-langkah Model Pembelajaran SAVI Suatu model pembelajaran dikatakan berhasil dengan baik apabila dilaksanakan sesuai dengan langkah-langkah model pembelajaran tersebut. Dalam melaksanakan pembelajaran dengan model Somatic, Auditory, Visual, Intellectualy (SAVI). Ada empat tahapan dalam rencana pembelajaran SAVI (Meier, 2013). Kerangka perencanaan pembelajaran SAVI dapat direncanakan dan dikelompok dalam empat tahap, antara lain:
57
Tabel 2.4 Sintak Pembelajaran Keterampilan Berbicara Menggunakan Model SAVI Gaya Belajar SAVI Somatis
Auditor
Visual
Intelektual
Aktivitas Siswa bergerak ketika mereka: 1. Membuat model dalam suatu proses atau prosedur 2. Menciptakan, gaya pictogram atau pariferalnya 3. Memperagakan suatu proses, system, atau seperangkat konsep 4. Mendapatkan pengalaman, kemudian menceritakan dan merefleksikannya 5. Menjalankan pelatihan belajar aktif, (simulasi, permainan belajar dan lain-lain) Berikut ini gagasan-gagasan awal untuk meningkatkan sarana auditori dalam belajar: 1. Siswa diajak membaca keras-keras dari buku panduan mengenai materi yang akan disajikan 2. Menceritakan kisah-kisah yang mengandung materi pembelajaran yang terkandung di dalam buku pembelajaran yang dibaca mereka (contoh: kehidupan nyata) 3. Mintalah siswa berpasang-pasangan membincangkan secara terperinci apa yang baru saja mereka pelajari dan bagaimana mereka akan menerapkannya Hal-hal yang dapat dilakukan agar pembelajaran lebih visual adalah: 1. Bahasa yang penuh gambar (metafora, analogi) 2. Penilaian presentesi pada saat siswa mulai mempresentasikan 3. Bahasa tubuh yang dramatis 4. Pengamatan lapangan Aspek intelektual yang diamati dalam belajar akan terlatih jika kita membuat pembelajaran tersebut dalam aktivitas seperti: 1. Memecahkan masalah 2. Menganalisis pengalaman 3. Memilih gagasan kreatif 4. Mencari dan menyaring informas 5. Menciptakan makna pribadi
2.2.9 Langkah-langkah Metode Role Playing Berikut adalah daftar beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh guru sebelum masuk kelas dan memulai role playing:
58
Tabel 2.5 Sintak Pembelajaran Keterampilan Berbicara Menggunakan Metode Role Playing Tahap Pertama Memanaskan Susana Kelompok 1. Mengidentifikasikan dan memaparkan masalah 2. Menjelaskan masalah 3. Menafsirkan masalah 4. Menjelaskan role playing Tahap Ketiga Mengatur Setting 1. Mengatur sesi-sesi tindakan 2. Kembali menegaskan peran 3. Lebih mendekat pada situasi yang bermasalah
Tahap Kedua Memilih Partisipan 1. Menganalisis peran 2. Memilih pemain yang akan melakukan peran Tahap Keempat Mempersiapkan Peneliti 1. Memutuskan apa yang akan dicari 2. Memberikan
tugas
pengamatan Tahap Kelima Pemeranan
Tahap Keenam Berdiskusi dan Mengevaluasi
1. Memulai role play 2. Mengukuhkan role play 3. Menyudahi role play
1. Mereview
pemeranan
(kejadian, posisi, kenyataan) 2. Mendiskusikan
focus-fokus
utama 3. Mengembangkan pemeranan selanjutnya Tahap Ketujuh Memerankan Kembali
Tahap Kedelapan Diskusi dan Evaluasi
1. Memainkan peran yang 1. Sebagaimana dalam tahap diubah, member masukan enam atau alternatif perilaku dalam langkah selanjutnya. Tahap Kesembilan Berbagi dan Menggeneralisasikan Pengalaman Menghubungkan situasi yang bermasalah dengan kehidupan di dunia nyata serta masalah-masalah yang baru muncul. Menjelaskan prinsip umum dalam tingkah laku Sumber: berdasar buku Fannie Shafthel dan George Shaftel, Role Playing of Social Value (Englewood Cliffs, N. J. ; Pretice-Hall, Inc. 1967)
59
Berdasarkan pendapat dari ahli di atas, bahwa dalam menyajikan dan menerapkan metode role playing di kelas maka yang harus diperhatikan yaitu dengan berpedoman pada langkah-langkah pembelajaran dalam penerapan role playing. Selain mempertimbangkan kelebihan dan kelemahan serta langkahlangkah dalam metode role playing dalam pelaksanaannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan metode pembelajaran menggunakan role playing menurut Roestiyah (2008: 91) adalah: 1. Guru harus menerangkan kepada siswa untuk memperkenalkan teknik ini, bahwa dengan metode ini siswa diharapkan dapat memecahkan masalah sosial yang aktual di lingkungan masyarakat. 2.
Guru harus memilih masalah yang urgen, sehingga menarik minat anak.
3. Agar siswa memahami peristiwanya, maka guru harus bisa menceritakan sambil mengatur adegan yang pertama 4. Jelaskan pada pemeran-pemeran itu sebaik-baiknya, sehingga mereka tahu tugas perannya, menguasai masalahnya dengan bermimik ataupun berdialog 5. Bila siswa belum terbiasa, perlu dibantu guru dalam menimbulkan kalimat pertama dialog 6. Setelah role playing itu dalam situasi klimaks, maka harus diberhentikan agar kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dapat didiskusikan secara umum. Sehingga para penonton ada kesempatan untuk berpendapat, meniai permainan dan sebagainya. 7. Sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi, walau mungkin masalahnya belum dipecahkan. Maka, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaannya guru harus mempertimbangkan tahap-tahap perencanaan agar dalam pencapaiannya pendekatan dari metode role playing dapat berlangsung sesuai harapan.
60
2.3 Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian peningkatan keterampilan berbicara dengan menggunakan model SAVI dan metode Role Playing siswa kelas 4 SD Negeri 1 Kecamatan Getasan ini tidak terlepas dari penelitian sebelumnya. Penelitian yang relevan menggunakan model pembelajaran SAVI dengan menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar pernah dilakukan Arif dengan judul penelitian “Meningkatkan Keterampilan Menulis Karangan di Kelas IV SDN 17 Blengorkulon”. Penelitian ini berhasil mencapai suatu perbaikan dalam kategori baik karena mempunyai nilai rata-rata skor 73,40. Selain penelitian dari Arif, ada lagi sebuah penelitian yang relevan, yaitu penelitian Nurhatim (2009) yang berjudul “Penggunaan Metode Role Playing untuk Meningkatkan Kemampuan Menceritakan Isi Cerpen Siswa Kelas X SMA Darul Singosari”. Jenis penelitian ini adalah PTK, dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan berbicara siswa dalam hal menceritakan isi cerpen melalui penerapan metode role playing. Adapun aspek-aspek yang di tingkatkan, yaitu: (1) kemampuan menceritakan cerpen pada aspek kebahasaan yang mencakup intonasi, jeda, pilihan kata/diksi, struktur kalimat; (2) aspek nonkebahasaan yang meliputi keberanian, kelencaran, ekpresi/mimic; dan (3) aspek isi meliputi kerincian, kesesuaian, kelengkapan dan kejelasan. Nurhatim melakukan penelitian ini dalam dua siklus dengan hasil yang menunjukkan bahwa penerapan metode role playing dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menceritakan isi cerpen yang meliputi peningkatan aspek kebahasaan dan nonkebahasaan pada setiap siklusnya secara signifikan. Persamaan dari penelitian Nurhatim dengan penelitian ini yaitu terletak pada jenis penelitian dan metodenya yakni penelitian tindakan kelas (PTK), serta sama-sama menerapkan metode role playing. Hanya saja ada sedikit perbedaan pada objek kajian penelitiannya, penilitian yang dilakukan oleh peneliti bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa secara umum menggunakan model SAVI (Somatic Auditory Visualization Intellectually),
61
sedangkan penelitian Nurhatim untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menceritakan isi cerpen. Selain itu, Siti Markhumah. 2009. Meningkatkan kemampuan berbicara melalui metode bermain peran. Dilaksanakan di SDN No. 30 Kota Selatan Gorontalo. Permasalahan dalam penelitian tersebut, yakni apakah melalui metode bermain peran dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa Kelas IV SDN No. 30 Kota Selatan Gorontalo? Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa Kelas IV SDN no. 30 Kota Selatan Gorontalo. Hasil pelaksanaan diketahui bahwa pada pelaksanaan siklus I presentase keberhasilan mencapai 50% yang memperoleh kriteria baik, serta 50% yang memperoleh kriteria cukup atau kurang baik. Sedangkan pada siklus II diperoleh 25% yang berkriteria sangat baik dan 75% yang berkriteria baik. Berdasarkan
hasil
penelitian
maka
dapat
disimpulkan
bahwa
pelaksanaan pembelajaran Bahasa Indonesia menggunakan metode bermain peran dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa di SDN No. 30 Kota Selatan Gorontalo. Bertolak dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan model SAVI dan metode role playing, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peneliti lebih termotivasi dalam menerapkan model SAVI dan metode role playing untuk meningkatkan proses dan hasil belajar keterampilan berbicara pada siswa kelas 4 SD Negeri 1 Kecamatan Getasan. Sesuai dengan permasalahan dan kondisi yang ada di sekolah yang menjadi tempat penelitian. Menurut pendapat Meier (2003), mengenai model pembelajaran SAVI bahwa model pembelajaran ini akan memberikan dampak yang optimal jika dalam implementasinya berpedoman terhadap langkah-langkah pembelajaran. Sedangkan menurut pendapat B. Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun (2009) bahwa metode role playing menyediakan materi untuk didiskusikan dan dianalisi oleh siswa. Dalam situasi tersebut tentu akan memberikan gambaran pada sekelompok siswa dalam menghadapi sebuah masalah/persoalan yang
62
sedang dialaminya. Penerapan metode role playing juga dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa khususnya pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.
2.4 Kerangka Pikir Keterampilan berbicara merupakan salah satu keterampilan yang harus diajarkan dan dikuasai oleh siswa dalam kegiatan belajar dan mengajar di Sekolah Dasar (SD), karena keterampilan berbicara bermanfaat bagi siswa (khususnya siswa SD) untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan baik serta mengembangkan kemampuan siswa dalam berbahasa. Berdasarkan hasil observasi awal (prasiklus) yang telah dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa hasil belajar keterampilan berbicara siswa kelas 4 SD pada Negeri Sumogawe 1 Kecamatan Getasan diidentifikasikan masih mengalami kesulitan dan tergolong rendah. Pembelajaran keterampilan berbicara yang selama ini dilakukan di dalam kelas masih mengalami beberapa hambatan yang dapat menyebabkan rendahnya keterampilan tersebut. Penyebab rendahya keterampilan berbicara tersebut antara lain sebagai berikut: (1) Siswa kurang berminat dan termotivasi dalam kegiatan berbicara. (2) Sikap ketika berbicara dalam kegiatan berbicara siswa terlihat tegang dan kurang rileks. Sehingga siswa masih kesulitan dalam mengucapkan bahasa lisan yang akan disampaikan. (3) Kurangnya latihan keterampilan berbicara yang diterapkan dalam pembelajaran. (4) Proses pembelajaran keterampilan berbicara yang diterapkan guru masih menggunakan metode konvesional sehingga mengurangi minat dan antusias bagi siswa, serta (5) Siswa masih malu ketika diminta berbicara di depan kelas. Bertolak dari permasalahan di atas, diperlukan suatu tindakan dengan menggunakan
metode
pembelajaran
yang
dapat
digunakan
untuk
meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Salah satu metode yang dapat diterapkan adalah metode bermain peran (role playing). Dengan metode pembelajaran ini, keterampilan berbicara siswa diharapkan dapat meningkat
63
karena metode ini menyajikan cara yang lebih efektif dan efisien untuk membantu siswa dalam mengikuti pembelajaran berbicara. Dikatakan efektif, karena penerapan metode bermain peran akan lebih menghemat waktu, hal ini disebabkan karena siswa dapat tampil praktik berbicara secara berkelompok. Dikatakan efisien, karena dengan bermain peran siswa seolah-olah dihadapkan pada situasi belajar sambil bermain, pada umumnya permainan merupakan hal paling menarik untuk anak-anak usia Sekolah Dasar. Tidak dapat dipungkiri bahwa kenyataan kehidupan yang ada dimuka bumi ini terdiri atas beratus-ratus suku bangsa yang masing-masing mempunyai bahasa daerahnya sendiri-sendiri, tetapi kenyataan itu tidaklah mengurangi penghargaan orang-orang tersebut terhadap bahasa nasional, bahasa Indonesia. Sebagian besar orang bahwa bahasa daerah adalah bahasa pertama yang dikenal dalam lingkungannya. Bahasa daerah juga sering digunakan di lingkungan keluarga maupun daerah masing-masing (desa ataupun kampung). Kemudian setelah memasuki bangku sekolah, orang-orang mulai berkenalan dengan bahasa Indonesia. Jadi, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua bagi masyarakat Indonesia maupun peserta didik. Bagi orang-orang, bahasa Indonesia itu sukar-sukar mudah. Dikatakan bahasa Indonesia itu mudah sebenarnya sukar. Namun, bila dikatakan sukar, dalam kehidupan/pergaulannya setiap hari orang-orang sering menggunakan bahasa itu sendiri. Hal inilah yang seringkali menjadi pertanyaan dan permasalahan bagi orang lain. Orang-orang pada umumnya menganggap bahasa Indonesia itu mudah karena setiap hari mereka mendengar orang lain menggunakannya, setiap hari berjumpa dengan orang-orang yang berbeda-beda bahasa dan budayanya, bahkan setiap hari berbicara menggunakan bahasa yang sesuai dengan lingkungannya masing-masing, serta menerima pesan secara singkat maupun instan yang tertulis dalam bahasa Indonesia. Namun, hal itu masih dirasakan
64
sulit bagi orang-orang/mereka yang tidak memahami dengan benar mengenai tata bahasa Indonesia yang sebenarnya. Bisa dikatakan bahwa telinga dan matanya sudah kerapkali mendengar dan melihat penulisan maupun ujaran yang dibuat dalam bentuk bahasa Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang berpendapat bahwa bahasa Indonesia dianggap mudah. Padahal, ketika berjumpa atau berbicara dengan orang lain masih banyak tutur kata atau ucapannya yang belum sepenuhnya dimengerti oleh orang lain. Hal ini terjadi dikarenakan adanya faktor internal yang sering diabaikan oleh seseorang dalam berkomunikasi. Penggunaan metode role playing (bermain peran) sangat cocok untuk pelajaran bahasa Indonesia dalam upaya meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Karena, dengan metode ini akan menuntut siswa untuk dapat mengerti dan memhami konsep materi yang akan dipelajari. Dengan demikian, dalam belajar siswa tidak hanya dapat menghafal melainkan siswa juga dapat menghayati peran-peran yang dimainkan pada saat kegiatan bermain peran dilakukan. Pemilihan metode dan model yang tepat sangat menunjang keberhasilan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pemanfaatan model dan metode yang digunakan diharapkan dapat merangsang siswa untuk dapat aktif dalam pembelajaran sehingga nantinya akan menghasilkan hasil belajar yang juga memuaskan para guru maupun peserta didik sendiri. Tetapi, kenyataan yang terjadi
setelah melakukan observasi di SD
Negeri Sumogawe 1 Kecamatan Getasan, masih terlihat kondisi siswa yang kurang kondusif dan aktif selama pembelajaran sedang berlangsung. Pada kondisi akhir diharapkan terdapat peningkatan dari proses belajar hingga hasil belajar keterampilan berbicara. Peningkatan ini akan ditandai dengan target akhir sebanyak 80% dari jumlah siswa kelas 4 yang ada mendapatkan nilai di atas KKM yang telah ditetapkan atau batas ketuntasan dalam pembelajaran keterampilan berbicara Oleh sebab itu, berdasarkan penjelasan diatas, peneliti memberikan suatu solusi supaya pembelajaran bahasa Indonesia dapat menarik perhatian
65
seluruh peserta didik khususnya di kelas 4 SD Negeri Sumogawe 1 Kecamatan Getasan agar dapat aktif dalam proses pembelajaran, yaitu dengan penerapan metode Role Playing menggunakan model SAVI (Somatic Auditory Visualization Intellectualy) untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia khususnya di SD Negeri Sumogawe 1 Kecamatan Getasan. Adapun bagian kerangka berpikir dapat dilihat di bawah ini sebagai berikut: Sebelum Tindakan
Tindakan
Tindakan Akhir
Guru belum menerapkan Model SAVIdan metode Role Playing dalam pembelajaran keterampilan berbicara
Guru menggunakanModelSAVIdan Metode role playingdalam pembelajaran keterampilan berbicara
Proses dan hasil pembelajaran keterampilan berbicara siswa masih rendah
1. Siswa aktif dan saling bekerjasama pada saat pembelajaran keterampilan berbicara 2. Kesungguhan dan minat siswa pada pembelajaran keterampilan berbicara meningkat 3. Guru dapat membangkitkan motivasi siswa dalam pembelajaran keterampilan berbicara.
Dengan menggunakan model SAVI dan metode Role Playing dapat meningkatkan proses dan hasil pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas 4 SD Negeri 1 Kecamatan Getasan
Gambar 2.2 Kerangka berpikir menggunakan model SAVI dan metode Role Playing pada proses dan hasil pembelajaran keterampilan berbicara.
66
2.5 Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori, penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian tindakan kelas yaitu “Penerapan model pembelajaran SAVI dengan metode Role Playing (bermain peran) diduga dapat meningkatkan proses dan hasil belajar keterampilan berbicara siswa kelas 4 SD Negeri Sumogawe 1 Kecamatan Getasan Semester II Tahun Ajaran 2015-2016”.