BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Model Pembelajaran Cooperative Learning 2.1.1. Pengertian Model Pembelajaran Model dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Model mengajar dapat dipahami sebagai kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perencanaan bagi para guru dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran (Sagala, 2008: 175- 176). Mills berpendapat ( dalam Suprijono 2009: 45-46) bahwa “model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses actual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu”. Model merupakan interpretasi terhadap hasil observasi dan pengukuran yang dipeoleh dari sistem. Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di kelas. Model pembelajaran dapat diartikan pula sebagai pola yang digunakan untuk penyusunan kurikulum, mengatur materi, dan memberi petunjuk kepada guru di kelas. Model pembelajaran ialah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial. Menurut Arends, model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas. Model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Joyce dan Weil (dalam Sagala 2008: 176) menambahkan bahwa model mengajar adalah suatu deskripsi dari lingkungan belajar yang menggambarkan
7
perencanaan kurikulum, kursus-kursus, buku-buku pelajaran, buku-buku kerja, program multimedia dan bantuan belajar melalui komputer. Selanjutnya Wahab (2008: 52), memaparkan bahwa model mengajar adalah suatu perencanaan pengajaran yang menggambarkan proses yang ditempuh pada proses belajar mengajar agar dicapai perubahan spesifik pada perilaku siswa seperti yang diharapkan. Kemudian Eggen, dkk (1979: 12) mengutarakan pengertian tentang model pembelajaran bahwa: “Models are prescriptive teaching strategies designed to accomplish particular instructional goals. They are prescriptive in the sense that the teacher’s responsibilities during the planning, implementing and evaluating stages are clearly defined. Models differ from general teaching strategies in that models are designed to reach specific goals. When a teacher identifies a goal and selects a particular strategy designed to reach that goal, we can say the teacher using a models approach. The use of models requires an ability to identify different types of instructional goals so that a specific models can be selected to match a particular goal.” Dari penjelasan model pembelajaran di atas dapat disimpulkan bahwa, model pembelajaran adalah menggambarkan penyelenggaraan proses belajar mengajar dari awal hingga akhir yang tersusun secara sistematis dengan prosedur yang berbeda. 2.1.2. Pembelajaran Cooperative Learning Pembelajaran cooperative learning merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama antara siswa, sehingga terjalin interaksi positif dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Slavin (2009: 4) mengemukakan pendapatnya bahwa pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Hal ini bertujuan agar proses pembelajaran tidak didominasi oleh satu orang, melainkan setiap anggota kelompok memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama dalam menyelesaikan masalah kelompoknya. Sehingga proses pembelajaran yang terjadi dapat berperan dalam mengaktifkan semua siswa dan lebih berpusat kepada siswa. Senada dengan pernyataan Anita Lie (2008: 12) bahwa pembelajaran cooperative learning adalah sistem pengajaran yang memberikan
8
kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa lainnya dalam tugas-tugas terstruktur. Pendapat Lie tersebut diperkuat dengan pernyataan yang dilontarkan Etin Solihatin dan Raharjo (2007: 4), yang menyatakan bahwa: “Cooperative learning mengandung pengertian sebagai suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu diantara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih dimana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Cooperative learning juga dapat diartikan sebagai suatu struktur tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok.” Pengertian di atas sejalan dengan yang diungkapkan I Wayan Lasmana (dalam Mustikasari, 2007: 18) bahwa pembelajaran cooperative adalah model pembelajaran yang kegiatan belajar mengajarnya berpusat pada siswa (student oriented), mengaktifkan seluruh siswa, yang pada awalnya tidak dapat bekerjasama menjadi peduli dan agresif. Begitu pula dengan pendapat Karli dan Sri (dalam Mustikasari, 2007: 17) yang mengatakan bahwa cooperative learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu diantara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok. Sehingga pengelompokan siswa merupakan salah satu ciri dari pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran yang dikembangkan dari teori kontruktivisme karena mengembangkan struktur kognitif untuk membangun pengetahuan sendiri melalui berpikir rasional (Rustaman et al., 2009: 206). Pembelajaran kooperatif bergantung pada kelompok-kelompok kecil si pebelajar. Meskipun isi dan petunjuk yang diberikan oleh pengajar mencirikan bagian dari pengajaran, namun pembelajaran kooperatif secara berhati-hati menggabungkan kelompok-kelompok kecil sehingga anggota-anggotanya dapat bekerja
bersama-sama untuk memaksimalkan pembelajaran dirinya
pembelajaran
satu
sama
lainnya.
Masing-masing
anggota
dan
kelompok
bertanggungjawab untuk mempelajari apa yang disajikan dan membantu teman anggotanya untuk belajar. Ketika kerjasama ini berlangsung, tim menciptakan atmosfir pencapaian, dan selanjutnya pembelajaran ditingkatkan (Karen L.Medsker and Kristina M. Holdsworth, 2001: 287).
9
Cooperative Learning mengacu pada metode pengajaran dimana siswa bekerja bersama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar. Kebanyakan melibatkan siswa dalam kelompok yang terdiri dari 4 (empat) siswa yang mempunyai kemampuan yang berbeda (Slavin, 1994), dan ada yang menggunakan ukuran kelompok yang berbeda-beda (Cohen, 1986; Johnson & Johnson, 1994; Kagan, 1992; Sharan & Sharan, 1992) dalam Slavin, 1994. Model pembelajaran cooperative learning didasarkan atas falsafah manusia sebagai homo homini socius, yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial (Lie, 2004: 28). Slavin (dalam Solitahin dan Raharjo, 2007: 5), menambahkan bahwa cooperative learning berangkat dari asumsi mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu getting better together atau raihlah yang lebih baik secara bersama-sama. Kerjasama dalam kelompok merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri lagi pada kenyataan bahwa manusia tidak dapat hidup secara individual tanpa bantuan dari orang lain. Sehingga dalam proses belajar juga manusia diusahakan dapat saling bekerja sama untuk memperoleh tujuan belajar yang sesuai dengan harapan. a. Tujuan Cooperative Learning Tujuan model pembelajaran tersebut menurut Eggen dan Kauchak (dalam Winayarti, 2010: 12), adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan partisipasi peserta didik. 2) Memfasilitasi peserta didik agar memiliki pengalaman mengembangkan kemampuan kepemimpinan dan membuat keputusan kelompok. 3) Memberi kesempatan kepada mereka untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama dengan teman yang seringkali berbeda latar belakangnya. Jadi, dengan demikian seperti yang diungkapkan oleh Ibrahim dkk (dalam Winayarti 2010: 12), bahwa inti tujuan dari model pembelajaran tersebut meliputi tiga aspek penting yaitu aspek hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan ketrampilan sosial.
10
b. Ciri-ciri Pembelajaran Cooperative Learning Pada dasarnya, tidak semua kerja kelompok dapat dikatakan sebagai cooperative learning. Terdapat ciri khusus kelompok yang disebut sebagai kelompok pembelajaran cooperative learning. Menurut Lie (2003: 30) ada lima unsur yang harus diterapkan dalam pembelajaran kelompok, agar pembelajaran tersebut dapat dikatakan sebagai pembelajaran cooperative learning. Kelima unsur itu meliputi: 1) Saling ketergantungan positif Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup secara individual dan sangat tergantung
terhadap
pertolongan
sesamanya.
Prinsip
tersebut
diimplementasikan dalam pembelajaran di kelas untuk membangkitkan rasa kebersamaan. Pembentukan kelompok-kelompok kerja dalam pemberian tugas terstruktur di kelas memberikan nilai lebih untuk menanamkan kerjasama demi mencapai tujuan yang sama. Slavin (2009: 8-9), mengungkapkan bahwa inti dari pembelajaran cooperative learning ialah mereka saling mendukung untuk berhasil, mereka akan mendorong anggota kelompoknya untuk lebih baik dan akan membantu mereka melakukannya. Seringkali para siswa mampu melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam menjelaskan gagasan-gagasan yang sulit satu sama lain dengan menerjemahkan bahasa yang digunakan guru ke dalam bahasa anak-anak. Di samping itu, semua anggota kelompok berusaha untuk saling menguntungkan, sehingga semua anggota kelompok bisa memperoleh makna dari kebersamaan. Adapun makna yang diperoleh seperti berikut: a) Merasakan keuntungan dari setiap usaha teman lainnya, secara harafiah ini berarti kesuksesan anda bermanfaat bagi saya dan keberhasilan saya bermanfaat untuk anda. b) Menyadari bahwa semua anggota kelompok mempunyai nasib yang sama, artinya tenggelam dan mengapung kita bersama. c) Tahu bahwa prestasi seseorang ditentukan oleh orang lain dalam satu kelompok, artinya kami tidak dapat melakukan tanpa anda.
11
d) Merasa bangga dan merayakan bersama ketika salah satu anggota kelompok mendapatkan keberhasilan, sebagai contoh: kami semua merasa sukses atas kesuksesan anda. Peranan pengajar sangatlah menentukan keberhasilan sistem pengajaran ini. Lie (2004: 32) menambahkan untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa, sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar lain bisa mencapai tujuan mereka. Dengan cara ini, setiap anggota merasa bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugasnya agar yang lain bisa berhasil. Di samping itu, penilaian yang dilakukan oleh pengajar harus dilakukan dengan cara yang unik. Setiap siswa mendapat nilainya sendiri dan nilai kelompok. Nilai kelompok dibentuk dari “sumbangan” setiap anggota kelompok, untuk menjaga keadilan. 2) Tanggungjawab perseorangan Menurut Slavin (2009: 10), tanggungjawab individual maksudnya ialah bahwa kesuksesan kelompok bergantung pada pembelajaran individual dari semua anggota kelompok. Tanggungjawab difokuskan pada kegiatan anggota kelompok dalam membantu satu sama lain untuk belajar dan memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok siap untuk mengerjakan tugas, tanpa bantuan teman sekelompoknya. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran cooperative learning memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pembelajaran siswa apabila kelompok dihargai berdasarkan pembelajaran individual dari tiap anggotanya. Unsur tanggungjawab perseorangan merupakan akibat langsung dari unsur saling kebergantungan positif. Karena itu, Lie (2004: 33) mengatakan bahwa jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran cooperative learning, setiap siswa akan merasa bertanggungjawab untuk melakukan yang terbaik. Pada akhirnya, siswa akan dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam kelompoknya. Hal ini dikarenakan bahwa guru tidak hanya memberikan tugas untuk kelompoknya saja, tetapi siswapun secara individu memiliki tugas yang harus dikerjakan.
12
3) Tatap muka Dampak positif dari penerapan model pembelajaran cooperative learning adalah terciptanya interaksi positif antara sesama anggota kelompok untuk memudahkan transformasi informasi anggota kelompok. Hal ini sejalan dengan pendapat Lie (2004: 33-34), bahwa kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk siap membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing. Perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap anggota kelompok menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antar anggota kelompok. 4) Komunikasi antar anggota Proses interaksi antar anggota kelompok akan berjalan lancar, jika komunikasi berjalan baik. Untuk itu, setiap anggota kelompok perlu memiliki ketrampilan berkomunikasi. Menurut Lie (2004: 34), sebelum menugaskan siswa dalam kelompok, pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi kepada siswa, karena tidak setiap siswa mempunyai keahlian mendengarkan dan berbicara. Keberhasilan suatu kelompok dalam pembelajaran cooperative learning juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapatnya. 5) Evaluasi proses kelompok Setiap proses perlu mengadakan evaluasi sebagai refleksi untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam proses tersebut, sehingga proses berikutnya akan berjalan lebih baik lagi. Karena itu, agar evaluasi ini dapat memberikan arahan serta informasi terhadap hasil pekerjaan siswa dan kegiatan proses belajar mengajar berlangsung, maka informasi diberikan ini harus meliputi tujuan yang dicapai kelompok, bagaimana mereka melakukan kerjasama saling membantu dengan teman satu kelompok, dan bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku positif agar baik setiap siswa maupun kelompok menjadi berhasil dan kebutuhan apa saja yang harus dilengkapi agar tugas selanjutnya dapat dilaksanakan dengan baik. Agar hal ini terjadi, menurut Lie (2004: 35), menyatakan bahwa pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok
13
untuk mengevaluasi kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka, agar selanjutnya bisa bekerjasama lebih efektif. Format evaluasi disesuikan dengan tingkat pendidikan siswa. Waktu evaluasi disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi siswa. c. Karakteristik Pembelajaran Cooperative Learning Adapun karakteristik pembelajaran cooperative learning antara lain: 1) Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis. 2) Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi. 3) Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin. 4) Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu.
Selain itu, terdapat empat tahapan ketrampilan kooperatif yang harus ada dalam model pembelajaran kooperatif yaitu: 1) Forming (pembentukan), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk membentuk kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma. 2) Functioniong (pengaturan), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatur aktivitas kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina hubungan kerja sama diantara anggota kelompok. 3) Formating (perumusan), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk pembentukan pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan-bahan yang dipelajari, merangsang penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan menekankan penguasaan serta pemahaman dari materi yang diberikan. 4) Fermenting (penyerapan), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk merangsang pemahaman konsep sebelum pembelajaran, konflik kognitif, mencari lebih banyak informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk memperoleh kesimpulan.
14
d. Prinsip-prinsip Pembelajaran Cooperative Learning Selain ciri-ciri pembelajaran cooperative learning, yang penting untuk diingat dalam pembelajaran cooperative learning adalah prinsip dari pembelajaran cooperative learning itu sendiri. Lungdern (dalam Mustikasari, 2007: 22), mengemukakan ada tujuh prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif. Ketujuh prinsip itu antara lain: 1) Siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka tenggelam dan berenang bersama (we sink and swim together). 2) Siswa memiliki tanggungjawab terhadap siswa lain dalam kelompoknya, di samping memiliki tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi. 3) Siswa harus memiliki pandangan bahwa mereka memiliki tujuan yang sama. 4) Siswa harus berbagi suatu penghargaan atau hukuman yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok. 5) Siswa akan diberi suatu penghargaan atau hukuman yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok. 6) Siswa berbagi kepemimpinan, sementara mereka memperoleh ketrampilan bekerjasama selama belajar. 7) Siswa akan diminta mempertanggungjawabkana secara individual materi yang dipelajari dalam kelompok kooperatif. Melihat uraian di atas, pembelajaran kooperatif dapat dikatakan lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran biasa (ceramah), karena melalui pembelajaran kooperatif, siswa lebih leluasa untuk saling memberi dan menerima materi pelajaran, tanpa adanya rasa segan. Sesuai dengan yang dikatakan Lie (2004: 12), bahwa pengajaran rekan sebaya (peer teaching), ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru, dikarenakan sebagai rekan sebaya, mereka memiliki schemata yang mendekati kesamaan dibandingkan dengan schemata guru.
15
e. Tahap-tahap Pembelajaran Cooperative Learning Tahap pelaksanaan pembelajaran kooperatif menurut Sukarmin (2002: 4) dalam Widyaningsih 2008, seperti pada tabel di bawah ini: Tabel 2.1 Tahap-tahap Pembelajaran Cooperative Learning Tingkah Laku Guru FASE KEGIATAN GURU Fase 1: Menyampaiakan tujuan Guru menyampaikan semua tujuan yang dan memotivasi siswa ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. Fase 2: Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan Fase 3: mengorganisasikan siswa Guru menjelaskan kepada peserta didik ke dalam kelompok-kelompok bagaimana cara membentuk belajar dan belajar membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien Fase 4: membimbing kelompok Guru membimbing kelompok-kelompok bekerja dan belajar belajar pada saat mengerjakan tugas Fase 5: Evaluasi Guru menjelaskan proses dan hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil karyanya Fase 6: Memberikan penghargaan Guru kreatif mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok. Sumber: Sukarmin (2002:4) f. Keunggulan Pembelajaran Cooperative Learning Lie
(2004:
12)
memaparkan
keunggulan
cooperative
learning
dibandingkan dengan model pembelajaran lain (metode ceramah) adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan aktivitas belajar siswa dan prestasi akademiknya. 2) Meningkatkan daya ingatan siswa. 3) Meningkatkan kepuasan siswa dengan pengalaman belajar. 4) Membantu siswa dalam mengembangkan ketrampilan berkomunikasi secara lisan. 5) Mengembangkan ketrampilan sosial siswa. 6) Meningkatkan rasa percaya diri siswa. 7) Membantu meningkatkan hubungan positif antar sisa. 16
Dalam pelaksanaan pembelajaran, model pembelajaran cooperative learning memiliki berbagai macam tipe atau metode yang dapat digunakan sesuai kebutuhan. Tipe-tipe pembelajaran cooperative learning diantaranya adalah student teams achievement division (STAD),
jigsaw (model tim ahli), group
investigation go around, Think Pair and Share, make a match (mencari pasangan), teams assisted individualization (TAI), teams games tournaments (TGT), cooperative integrated reading and composition (CIRC), dan sebagainya. Khusus dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan salah satu metode diantara berbagai metode yang disebutkan di atas, yaitu metode make a match.
2.2. Tipe Make a Match 2.2.1. Pengertian Make a Match Tipe atau teknik mengajar merupakan cara-cara yang digunakan dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan (Winayarti, 2010: 3). Tipe make a match, atau mencari pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (Lie, 2004: 55). Tipe make a match merupakan suatu teknik pembelajaran yang memberikan tugas terstruktur kepada siswa melalui media kartu-kartu yang berisi konsep yang berbeda dengan tema-tema atau topik-topik yang sama, sehingga melalui kartu yang siswa dapatkan, maka dengan sendirinya siswa membentuk kelompokkelompok kerja berdasarkan kecocokan konsep yang terdapat dalam kartu masingmasing, untuk menyelesaikan satu masalah dalam tema atau topik yang sama. Sehingga, melalui teknik ini, siswa mampu aktif dan bekerjsama dengan rekannya dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Tipe make a match mengutamakan ketelitian dan kerjasama dalam menyelesaikan masalah, serta memberikan kenyamanan dalam menyelesaikan masalahnya, karena siswa mencari pasangan kelompoknya sendiri. Seperti dikatakan oleh Lie (2004: 55), bahwa salah satu keunggulan teknik make a match adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.
17
2.2.2. Langkah-langkah Tipe Make a Match Langkah-langkah penerapan tipe make a match dipaparkan oleh Lie (2004: 55), sebagai berikut: 1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban. 2) Setiap siswa mendapatkan sebuah kartu yang bertuliskan soal/jawaban. 3) Setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya. Misalnya: pemegang kartu bertuliskan “Gerakan Turki Muda” akan berpasangan dengan “Mustpha Kemal Pasha”. 4) Siswa juga bisa bergabung dengan 2 atau 3 siswa lainnya yang memegang kartu yang cocok. 5) Guru bersama-sama dengan siswa membuat kesimpulan terhadap materi pelajaran. Berdasarkan langkah-langkah di atas, maka selanjutnya tahap-tahap yang perlu dipersiapkan selanjutnya dalam penerapan cooperative learning tipe make a match adalah sebagai berikut: 1) Tahap Persiapan Dalam tahap persiapan ini, guru mempersiapkan kartu-kartu yang akan dibagikan kepada siswa. kartu-kartu tersebut, sebelumnya telah dibuat oleh guru berdasarkan materi yang akan disampaikan pada kegiatan belajar mengajar (KBM) sesuai dengan RPP dan Silabus. Pembuatan kartu-kartu tersebut terbagi dalam dua kategori yaitu pertanyaan dan jawaban. Kelompokkelompok yang nanti akan terbentuk, didasarkan pada kecocokan kartu pertanyaan dan jawaban itu. Pembuatan kartu tidak terpatok ke dalam satu pertanyaan dan satu jawaban, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan jumlah anggota kelompok yang diinginkan oleh guru. Artinya dalam dua kategori tersebut, bisa berbentuk 1 kartu pertanyaan dengan 2-3 kartu jawaban. Disamping mempersiapkan kartu, guru juga merencanakan alokasi waktu untuk kegiatan pembentukan kelompok. Alokasi waktu disesuaikan dengan banyaknya jam pelajaran yang diberikan oleh pihak sekolah. Selanjutnya akan
18
dilaksanakan penyampaian materi oleh guru. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat memperoleh gambaran mengenai materi yang akan dibahas dalam KBM. Selain itu, ini juga demi membantu siswa agar tidak terlalu kebingungan dalam mencari pasangan kelompoknya berdasarkan pertanyaan atau jawaban dalam kartu, karena siswa telah dibekali materi oleh guru. 2) Tahap Pembentukan Kelompok Tahapan ini merupakan kegiatan utama dalam tipe make a match. Pada tahapan ini terbagi dalam kegiatan, diantaranya: a) Pembagian kartu Dalam kegiatan ini, guru membagikan kartu-kartu yang telah dipersiapkan pada tahapan sebelumnya kepada siswa. Tiap siswa mendapatkan satu kartu yang isinya berdasarkan dua kategori, yaitu pertanyaan dan jawaban. Setelah semua siswa mendapatkan masing-masing kartu, guru memberikan kesempatan beberapa menit kepada siswa untuk memikirkan jawaban atau pertanyaan yang sesuai dengan isi kartu tersebut. Waktu diberikan disesuaikan dengan alokasi waktu dalam KBM sesuai RPP. b) Pembentukan kelompok Kegiatan selanjutnya adalah pembentukan kelompok. Pada kegiatan ini, guru meminta tiap siswa membentuk kelompok-kelompok berdasarkan kecocokan kartu yang dimilikinya dengan kartu temannya. Dalam pembentukan kelompok ini, guru memberikan tenggat watku kepada siswa sesuai dengan perencanaan pada tahap persiapan. Tenggat waktu yang diberikan oleh guru ini, berpengaruh terhadap penghargaan yang akan diberikan oleh guru kepada siswa ketika proses pembentukan kelompok. Selanjutnya, guru memeriksa validitas dari pembentukan kelompok ini. Guru masuk ke dalam tiap-tiap kelompok dan memeriksa kecocokan dari tiap-tiap kartu anggota kelompok tersebut. Jika belum ada yang benar, guru memberikan waktu kembali kepada masing-masing kelompok untuk memperbaiki anggota kelompoknya. Namun, jika pembentukan kelompok sudah benar, makan dilanjutkan pada kegiatan berikutnya.
19
c) Penghargaan Penghargaan dilakukan dalam proses pembentukan kelompok. penghargan ini bersifat individu maupun kelompok. Pemberian penghargaan ini dilakukan untk mendapatkan antusias siswa yang lebih dalam kepada KBM, sehingga siswa dapat meningkatkan hasil belajarnya. Pedoman penghargaan siswa dilakukan dengan skor sesuai dengan waktu yang ditempuh dalam pembentukan kelompok. 3) Tahap Kegiatan Kelompok Dalam tahapan ini, setiap siswa melaksanakan kelompok kerja berdasarkan kelompok yang dibentuk dalam tahapan sebelumnya. Setiap kelompok memecahkan masalah yang terdapat dalam gabungan tiap-tiap kartu anggota kelompoknya. Ketika kerja kelompok berlangsung, setiap siswa berhak meminta bantuan guru untuk membantu mengarahkan kelompoknya dalam memecahkan masalah. Di samping itu, guru juga memberikan tenggat waktu kepada setiap kelompok untuk bekerja sesui dengan alokasi waktu dalam KBM. Setiap kelompok yang sudah selesai mengerjakan tugas kelompoknya, berhak mendapatkan penghargaan sesuai dengan pedoman waktu yang telah ditetapkan dan mendapatkan kesempatan pertama untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. 4) Tahap Presentasi Kelompok Tahapan presentasi merupakan tahapan berikutnya, setelah tiap kelompok selesai mengerjakan tugas kelompoknya. Dalam tahapan ini terbagi ke dalam dua yaitu presentasi kelompok dan tanya jawab antar kelompok. Setiap kelompok mengutus wakilnya untuk menyajikan hasil kerja kelompoknya di depan. Guru sebagai fasilitator memberikan alokasi waktu kepada tiap-tiap kelompok secara rata untuk menyajikan hasil kerja kelompoknya dan untuk mengadakan sesi tanya jawab. Pembagian alokasi waktu oleh guru diharapkan agar setiap kelompok dapat tampil ke depan untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Di samping itu, guru juga mengadakan penilaian terhadap keaktifan individu siswa selama kegiatan presentasi kelompok sedang
20
berlangsung. Setelah semua kegiatan presentasi dilaksanakan, maka guru menyimpulkan seluruh materi yang tersampaikan dalam KBM. 5) Evaluasi Evaluasi diadakan sebagai tahapan akhir dari seluruh pelaksanaan tipe make a match. Evaluasi dilaksanakan melalui kegiatan tes. Tes merupakan pertanyaanpertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk mendapatkan jawaban dari siswa dalam bentuk lisan, tertulis ataupun tindakan (Sudjana, 2005: 35). Kegiatan evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar yang dicapai oleh siswa
setelah dilaksanakan serangkaian kegiatan
pembelajaran dengan tipe make a match ini. Berdasarkan langkah-langkah di atas, maka dapat tergambarkan bahwa metode ini akan menciptakan mobilitas siswa yang positif di kelas selama kegiatan belajar mengajar (KBM) berlangsung. Hal ini akan menjadi alternative solution untuk menjawab keluhan-keluhan guru dalam menghadapi suasana kelas yang tidak kondusif, sehingga suasana yang tidak kondusif tersebut menjadi hal yang positif yang dapat membantu dalam keberlangsungan belajar siswa di kelas. Untuk mengatasi kecenderungan suasana yang tidak kondusif yang diakibatkan dari penerapan tipe make a match, maka diperlukan teknik-teknik dalam manajemen pembelajaran. Salah satu teknik manajemen yang dapat digunakan dalam mengatasi masalah di atas adalah dengan “Sinyal Kebisingan-nol”. Menurut Slavin (2009: 260), sinyal kebisingan-nol adalah sebuah sinyal yang diberikan kepada para siswa untuk berhenti bicara, untuk membuat mereka memberi perhatian penuh kepada guru, dan untuk membuat tangan dan tubuh mereka diam. Selanjutnya, Slavin (2009: 261), menjelaskan beberapa variasi dari sinyal kebisingan-nol: Menggunakan sebuah alat pengukur waktu, dan hitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke kebisingan-nol. Buatlah sinyal yang berbeda, satu sekedar untuk menurunkan tingkat kebisingan (misalnya, mengangkat tangan, dan posisi tangan horizontal), yang kedua untuk menurunkan tingkat kebisingan dan mendapatkan perhatian para siswa untuk memberikan pengumuman yang ingin anda berikan (mengangkat tangan, dan telapak tangan posisi vertikal). Gunakan alat pengukur waktu
21
secara acak untuk menurunkan tingkat kebisingan. Disamping itu, diadakan pemberian poin atau nilai kepada para siswa yang dapat mencapai tingkat kebisingan nol saat pengukur waktunya mati.
2.3. Pengelolaan Kelas Cooperative Learning Melalui Tipe Make a Match Untuk memudahkan proses pembelajaran cooperative learning melalui tipe make a match, maka perlu dirancang suatu pengelolaan kelas yang efektif dan efisien. Pengelolaan kelas perlu memperhatikan kondisi ruangan kelas dan psikologis siswa. Menurut Lie (2004: 38), ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas model cooperative learning, yakni pengelompokan, semangat cooperative learning, dan penataan ruang kelas. 1)
Pengelompokan Pengelompokan merupakan langkah pertama yang dilaksanakan dalam pembelajaran
cooperative
learning.
Menurut
Lie
(2004:
39-41),
pengelompokan dibagi ke dalam dua jenis, yaitu pengelompokan homogen dan pengelompokan heterogen. Pengelompokan homogen yang sering dilakukan di kelas berdasarkan prestasi belajar siswa. Menurut Scott Gordon (dalam Lie, 2004: 41), pada dasarnya manusia sering berkumpul dengan sepadan dan membuat jarak dengan yang berbeda. Selanjutnya Lie (2004: 41), menuturkan jenis pengelompokan heterogenitas merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam model pembelajaran cooperative learning. Kelompok heterogenitas dapat dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang agama, sosio-ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis. Melalui tipe make a match, pengelompokkan siswa dalam pembelajaran dapat menciptakan dua kemungkinan pengelompokan, yaitu kemungkinan terjadi pengelompokan homogen maupun heterogen. Hal ini dikarenakan pemilihan kelompok siswa didasarkan atas kecocokan pasangan kartu yang diperoleh siswa secara acak. Di samping itu, pengelompokan bersifat sementara untuk setiap kegiatan pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut, guru dapat membandingkan kerja kelompok. Sehingga dapat dianalisis pengelompokan mana yang tepat bagi siswa dalam pembelajaran di kelas.
22
2)
Semangat Cooperative Learning Menurut Lie (2004: 47), agar kelompok bisa bekerja secara efektif dalam proses pembelajaran cooperative learning, masing-masing anggota kelompok perlu mempunyai semangat cooperative learning. Semangat tersebut dapat dirasakan dengan membina niat dan kiat siswa dalam bekerjasama dengan siswa-siswa lainnya. Lebih lanjut Lie (2004: 48-49), menguraikan beberapa kegiatan yang dapat membina niat siswa dalam menumbuhkan semangat cooperative learning, diantaranya: 1) Kesamaan kelompok, dapat dilakukan dengan cara
wawancara
kelompok, lempar bola, dan jendela kesamaan. 2) Identitas kelompok, dapat dilakukan melalui pemberian nama kelompok yang dapat menumbuhkan semangat kelompok. 3) Sapaan dan saran kelompok. Hal ini disamping menumbuhkan semangat, juga dapat mengembangkan kreativitas siswa. 3)
Penataan Ruang Kelas Kelas sebagai tempat beraktivitas belajar tentu mempengaruhi efektivitas dan kelancaran dalam pembelajaran dengan menerapkan model cooperative learning tipe make a match. Karena itu, penataan ruang kelas harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi ruang kelas. Menurut Lie (2004: 52) ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang kelas, yaitu: ukuran ruang kelas; jumlah siswa; tingkat kedewasaan siswa; toleransi guru dan kelas sebelah terhadap kegaduhan dan lalulalang siswa; toleransi masing-masing siswa terhadap kegaduhan dan lalu lalangnya siswa lain; pengalaman guru dalam melaksanakan pelaksanaan model pembelajaran cooperative learning melalui tipe make a match; dan pengalaman siswa dalam melaksanakan model pembelajaran cooperative learning.
2.4. Metode Ekspositori 2.4.1. Pengertian Metode Ekspositori Metode ekspositori adalah metode pembelajaran dengan memberikan keterangan terlebih dahulu definisi, prinsip dan konsep materi pembelajaran serta
23
memberikan contoh-contoh latihan pemecahan masalah dalam bentuk ceramah, demonstrasi, tanya jawab dan penugasan. Siswa mengikuti pola yang ditetapkan oleh guru secara cermat. Penggunaan metode ekspositori merupakan metode pembelajaran mengarah kepada tersampaikannya isi pelajaran kepada siswa secara langsung. Penggunaan metode ini siswa tidak perlu mencari dan menemukan sendiri fakta-fakta, konsep dan prinsip karena disajikan secara jelas oleh guru. Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ekspositori cenderung berpusat pada guru. Guru aktif memberikan penjelasan atau informasi pembelajaran secara terperinci tentang materi pembelajaran. Metode ekspositori sering dianalogikan dengan metode ceramah, karena sifatnya sama-sama memberikan informasi. Somantri (2001: 45) dalam Ramdhani 2010, membedakan metode ekspositori dan metode ceramah. Dominasi guru dalam metode ekspositori banyak dikurangi. Guru tidak terus berbicara, tetapi informasi diberikan pada saat-saat atau bagian-bagian yang diperlukan, seperti di awal pembelajaran, menjelaskan konsep-konsep dan prinsip-prinsip baru, pada saat memberikan contoh kasus di lapangan dan sebagainya.
Metode
ekspositori adalah salah satu cara
menyampaikan gagasan atau ide dalam memberikan informasi dengan lisan atau tulisan. Menurut Herman Hudoyo (1998: 133) dalam Ramdhani 2010, metode ekspositori dapat meliputi gabungan metode ceramah, metode drill, metode tanya jawab, metode penemuan dan metode peragaan. Kegiatan guru berbicara pada metode ekspositori hanya dilakukan pada saat-saat tertentu saja, seperti pada awal pembelajaran, menerangkan materi, dan memberikan contoh soal. Kegiatan siswa tidak hanya mendengarkan, membuat catatan atau memperhatikan, tetapi juga mengerjakan soal-soal latihan. Dimyati dan Mudjiono (2009: 172) mengatakan metode ekspositori adalah memindahkan pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai kepada siswa. Peranan guru yang penting adalah: (1) menyusun program pembelajaran; (2) memberi informasi yang benar; (3) pemberi fasilitas yang baik; (4) pembimbing
24
siswa dalam perolehan informasi yang benar; dan (5) penilai perolehan informasi. Sedangkan peranan siswa adalah: (1) pencari informasi yang benar; (2) pemakai media dan sumber yang benar; (3) menyelesaikan tugas dengan penilaian guru. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan metode ekspositori adalah metode yang mengkombinasikan antara metode ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas. Pemberian tugas berupa mengerjakan soal-soal yang dikerjakan secara individual atau kelompok.
2.4.2. Kelebihan dan Kekurangan Metode Ekspositori Pembelajaran ekspositori merupakan metode pembelajarn yang banyak dan sering digunakan. Hal ini disebabkan karena metode ini memiliki beberapa keunggulan, antara lain: a. Dengan metode ekspositori, guru bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran, dengan demikian guru dapat mengetahui sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang disampaikan. b. Metode ekspositori dianggap sangat efektif apabila materi pelajaran yang harus dikuasai siswa cukup luas, sementara waktu yang dimiliki untuk belajar terbatas. c. Melalui metode ekspositori, siswa dapat mendengarkan penuturan tentang pelaksanaan demonstrasi. d. Metode ekspositori dapat digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar.
Adapun kelemahan metode ekspositori adalah sebagai berikut: a. Metode ekspositori hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik, sehingga siswa yang tidak memiliki kemampuan seperti itu akan mengalami kesulitan. b. Metode ekspositori tidak mungkin melayani perbedaan individu baik perbedaan kemampuan, perbedaan pengetahuan, minat, dan baka, serta perbedaan gaya belajar.
25
c. Metode ekspositori sulit mengembangkan kemampuan siswa dalam sosialisasi, hubungan interpersonal, serta kemampuan berpikir kritis. d. Keberhasilan metode ekspositori sangat tergantung kepada apa yang dimiliki guru seperti persiapan, pengetahuan, rasa percaya diri, semangat, antusiasme dan kemampuan lainnya. Tanpa kemampuan itu sudah dipastikan bahwa proses pembelajaran tidak mungkin berhasil. e. Gaya komunikasi lebih banyak terjadi satu arah (one-way communication), maka kesempatan untuk mengontrol pemahaman siswa akan materi pembelajaran akan sangat terbatas pula. Di samping itu, pengetahuan siswa akan terbatas pada apa yang diberikan guru.
2.4.3. Langkah-Langkah Pembelajaran Ekspositori a. Persiapan Adapun dalam persiapan hal-hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Mengajak siswa keluar dari kondisi mental yang pasif 2) Membangkitkan motivasi dan minat siswa untuk belajar 3) Merangsang dan menggugah rasa ingin tahu siswa 4) Menciptakan suasana dan iklim pembelajaran yang terbuka b. Penyajian 1) Menggunakan bahasa yang bersifat komunikatif dan mudah dipahami 2) Menggunakan bahasa sesuai perkembangan siswa 3) Menggunakan intonasi yang tepat 4) Menjaga kontak mata dengan siswa 5) Menjaga kelas tetap hidup dan segar dengan menyelipkan kalimat atau bahasa yang lucu pada penyajian materi c. Menghubungkan Menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau dengan halhal lain yang memungkinkan siswa dapat menangkap keterkaitannya, dalam struktur pengetahuan yang telah dimilikinya. d. Menyimpulkan 1) Mengulang kembali inti-inti materi yang menjadi pokok persoalan
26
2) Memberikan beberapa pertanyaan yang relevan dengan materi yang disajikan e. Penerapan 1) Membuat tugas yang relevan dengan materi yang telah disajikan. 2) Memberikan tes yang sesuai dengan materi pelajaran yang disampaikan.
2.5. Hasil Belajar 2.5.1. Pengertian Belajar dan Hasil Belajar a. Pengertian Belajar Joko Susilo (2009: 23) mengatakan bahwa belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Dalam pengertian ini, belajar adalah merupakan suatu proses, satu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu yakni mengalami. Hasil belajar bukan penguasaan dan latihan, melainkan perubahan kelakuan. Menurut Omar Hamalik (2002:154), belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif mantap berkat latihan dan pengalaman. Hilgard dan Bower (dalam Purwanto 1993: 84), mengatakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman yang berulang-ulang, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungannnya berupa respon bawaan, kematangan atau keadaan sesaat seseorang. Beberapa pendapat di atas tersebut menegaskan bahwa belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh pengalaman berulang-ulang. Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar sesungguhnya mengandung tiga unsur, yaitu: 1) Belajar berkaitan dengan perubahan tingkah laku. 2) Perubahan perilaku itu terjadi karena didahului oleh proses pengalaman. 3) Perubahan perilaku karena belajar bersifat relatif permanen.
27
b. Pengertian Hasil Belajar Menurut Woordworth (dalam Ismihyani 2000) hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari proses belajar. Woordworth juga mengatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan aktual yang diukur secara langsung. Hasil pengukuran belajar inilah akhirnya akan mengetahui seberapa jauh tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah dicapai. Bloom merumuskan hasil belajar sebagai perubahan tingkah laku yang meliputi domain (ranah) kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik. (Winkel dalam Ismiyahni 2000) ranah kognitif, hasil belajar tersusun dalam enam tingkatan. Enam tingkatan tersebut ialah, (1) Pengetahuan atau ingatan, (2) Pemahaman, (3) Penerapan, (4) Sintesis, (5) Analisis dan (6) Evaluasi. Adapun ranah psikomotorik terdiri dari lima tingkatan yaitu, (1) Peniruan (menirukan gerak), (2) Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak), (3) Ketepatan (melakukan gerak dengan benar), (4) Perangkaian (melakukan
beberapa
gerakan
sekaligus
dengan
benar),
(5)
Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar). Sedangkan ranah afektif terdiri dari lima tingkatan yaitu, (1) Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu), (2) Merespon (aktif berpartisipasi), (3) Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia pada nilai-nilai tertentu), (4) Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercaya) dan (5) Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup). Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku akibat dari proses belajar. Perubahan tingkah laku tersebut adalah perubahan yang relatif menetap, dimana perubahan itu terjadi pada ranah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan ketrampilan. 2.5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Menurut
Merson
(dalam
Tu’u,
2004:
78),
faktor-faktor
yang
mempengaruhi proses dan hasil belajar adalah sebagai berikut: a. Faktor dalam, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar yang berasal dari siswa yang sedang belajar. Faktor dalam meliputi:
28
1) Kondisi fisiologis Kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar seseorang. Seorang siswa dalam keadaan segar jasmaninya akan berpengaruh terhadap hasil belajarnya, sebaliknya siswa yang fisiknya lelah juga akan mempengaruhi hasil belajarnya. Di samping kondisi tersebut yang tidak kalah pentingnya adalah kondisi panca indera, terutama penglihatan dan pendengaran. Sebagian besar yang dipelajari manusia adalah dengan membaca, melihat contoh atau model,
melakukan
observasi,
mengamati
hasil
eksperimen,
mendengarkan keterangan guru, mendengarkan ceramah keterangan orang lain. Jadi jelaslah di antara seluruh panca indera mata dan telinga mempunyai peranan yang sangat penting. Seperti yang dipaparkan oleh Edgar Dale
(dalam Tu’u 2004: 40), bahwa pengalaman belajar
manusia itu 75% diperoleh melalui indera lihat, 13% melalui indera dengar, dan 12% melalui indera lainnya. 2) Kondisi psikologis Semua keadaan dan fungsi psikologis tentu saja berpengaruh terhadap proses belajar yang juga bersifat psikologis. Beberapa faktor yang mempengaruhi terhadap proses dari hasil belajar yaitu: a) Kecerdasan Seorang siswa yang cerdas umumnya akan lebih cepat mampu belajar jika dibandingkan dengan siswa yang kurang cerdas, meskipun fasilitas dan waktu yang diperlukan untuk mempelajari materi
atau
bahan
pelajaran
sama.
Hasil
pengukuran
kecerdasannya biasa dinyatakan dengan angka yang menunjukkan perbandingan kecerdasan yang dikenal dengan istilah IQ (Intelligence Quotion). Berbagai hasil penelitian menunjukkan hubungan yang erat antara IQ dengan hasil belajar di sekolah. Tinggi rendahnya kecerdasan yang dimiliki seorang siswa sangat menentukan keberhasilannya mencapai prestasi belajar, termasuk prestasi-prestasinya lain sesuai macam-macam kecerdasan yang
29
menonjol yang ada pada dirinya. Hal itu dapat kita ketahui umumnya tingkat kecerdasan yang baik dan sangat baik cenderung lebih baik angka nilai yang dicapai siswa. b) Bakat Di samping Intelegensi, bakat merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar seseorang. Bakat adalah kemampuan yang ada pada seseorang yang dibawanya sejak lahir, yang diterima sebagai warisan dari orang tua. Bagi seorang siswa bakat bisa berbeda dengan siswa lain. Ada siswa yang berbakat dalam bidang ilmu sosial, dan ada yang di ilmu pasti. Karena itu, seorang siswa seorang siswa yang berbakat di bidang ilmu sosial akan sukar berprestasi tinggi di bidang ilmu pasti, dan sebaliknya. Bakat-bakat yang dimiliki siswa tersebut apabila diberi kesempatan dikembangkan dalam pembelajaran, akan dapat mencapai prestasi yang tinggi. Sebaliknya, seorang siswa ketika akan memilih bidang pendidikannya, sebaiknya memperhatikan aspek bakat yang ada padanya. Untuk itu, sebaiknya bersama orang tuanya meminta jasa layanan psikotes untuk melihat dan mengetahui bakatnya. Sesudah ada kejelasan, baru menentukan pilihan. c) Motivasi dan perhatian Minat adalah kecenderungan yang besar terhadap sesuatu. Perhatian adalah melihat dan mendengar dengan baik dan teliti terhadap sesuatu. Minat dan perhatian biasanya berkaitan erat. Apabila seorang siswa menaruh minat pada satu pelajaran tertentu, biasanya cenderung memperhatikannya dengan baik. Minat dan perhatian yang tinggi pada mata pelajaran akan memberi dampak yang baik bagi prestasi belajar siswa. Oleh karena itu, seorang siswa harus menaruh minat dan perhatian yang tinggi dalam proses pembelajaran-pembelajaran di sekolah.
30
Dengan minat dan perhatian yang tinggi, kita boleh yakin akan berhasil dalam pembelajaran. d) Motivasi Motivasi adalah kondisi psikologi yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi belajar kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Motivasi selalu mendasari dan mempengaruhi setiap usaha serta kegiatan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam belajar, kalau siswa mempunyai motivasi yang baik dan kuat, hal itu akan memperbesar usaha dan kegiatannya mencapai prestasi yang tinggi. Siswa yang kehilangan motivasi dalam belajar akan memberi dampak kurang baik bagi prestasi belajarnya. e) Emosi Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam proses belajar seorang siswa akan terbentuk suatu kepribadian tertentu, atau tipe tertentu, misalnya siswa yang emosional dalam belajar, akan mudah putus asa. Hal ini mau tidak mau akan mempengaruhi bagaimana siswa menerima, menghayati pengalaman yang didapatnya dalam suatu pembelajaran. f) Kemampuan kognitif Yang dimaksud dengan kemampuan kognitif yaitu kemampuan berpikir, menalar yang dimiliki siswa. Jadi kemampuan kognitif berkaitan erat dengan ingatan dan berfikir seorang siswa. b. Faktor luar, yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar. Faktor tersebut adalah faktor lingkungan. Faktor lingkungan dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Lingkungan alami, yaitu yaitu kondisi alami yang dapat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar, termasuk dalam lingkungan alami yaitu suhu, cuaca, udara, pada waktu itu dan kejadian-kejadian yang sedang berlangsung.
31
2) Lingkungan sosial, dapat berwujud manusia, wujud lain yang berpengaruh langsung terhadap proses dan hasil belajar. Misalnya hubungan murid dengan guru, orang tua dengan anak, dan lingkungan masyarakat di luar sosial yang baik, mesra dapat membantu terciptanya prestasi belajar siswa.
2.6. Ilmu Pengetahuan Sosial 2.6.1. Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial Soewarso dan Tri Widiarto (2010: 1) menjelaskan ada beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang pengertian IPS yaitu: a. John Jarolimek (1967) bahwa IPS adalah mengkaji manusia dalam hubungannya dengan lingkungan sosial dan fisiknya. b. Wesley bahwa IPS sebagai bagian dari nilai-nilai sosial yang dipilih untuk tujuan pendidikan. c. Binning (1952) bahwa IPS adalah suatu pelajaran yang berhubungan langsung dengan perkembangan dan organisasi masyarakat manusia dan manusia sebagai anggota dari kelompok social. d. Michaelis (1957) bahwa IPS berhubungan dengan manusia dan interaksinya dengan lingkungan fisik dan sosialnya yang menyangkut hubungan kemanusiaan. e. Depdikbud RI, kurikulum 1975 IPS ialah bidang studi yang merupakan paduan dari sejumlah mata pelajaran sosial Nasution (1975) dalam Soewarso dan Tri Widiarto (2010: 1), mengemukakan bahwa IPS sebagai suatu program pendidikan yang merupakan suatu keseluruhan, yang pada pokoknya mempersoalkan manusia dalam lingkungan fisik maupun dalam lingkungan sosialnya, dan yang bahannya diambil dari berbagai ilmu sosial: geografi, sejarah, ekonomi, antropologi, sosiologi, politik dan psikologi sosial.
2.6.2 Tujuan Pembelajaran IPS Adapun tujuan pembelajaran IPS di SD adalah sebagai berikut:
32
a. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. b. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir secara logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampailan dalam kehidupan sosial. c. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai- nilai sosial dan kemanusiaan. d. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional dan global. 2.6.3. Ruang Lingkup IPS Ruang lingkup IPS meliputi aspek- aspek sebagai berikut: a. Manusia, tempat dan lingkungan. b. Waktu, keberlanjutan dan perubahan. c. Sistem sosial dan budaya. d. Perilaku ekonomi dan kesejahteraan. 2.7. Kajian yang Relevan 1. Pawit Riyadi, 2011. Dengan judul penelitian Pengaruh Penerapan Metode Cooperative Learning Tipe Problem Posing Terhadap Partisipasi dan Hasil belajar biologi siswa. Penelitian dilakukan di SMA Negeri 2 Banguntapan tahun ajaran 2010/2011 dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan metode cooperative learning tipe problem posing terhadap partisipasi dan hasil belajar biologi siswa pada materi pokok Virus. Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimen semu (quasi experiment). Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian pre-test post-test control group design. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 2 Bangun tapan. Sampel penelitian adalah kelas X.2 sebagai kelas perlakuan dan kelas X.4 sebagai kelas kontrol. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen penelitian berupa lembar observasi untuk penilaian partisipasi belajar dan lembar soal tes untuk penilaian hasil belajar biologi siswa. Pengambilan data menggunakan metode 33
tes dan observasi. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan dengan uji hipotesis. Sebelum dilakukan uji hipotesis, dilakukan uji prasyarat menggunakan uji normalitas dan uji homogenitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan metode cooperative learning tipe problem posing berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi belajar biologi siswa dengan p = 0.000 lebih kecil dari 0.01 (p < 0.01) pada taraf signifikansi 1% yang berarti hipotesis diterima, sedangkan penerapan metode cooperative learning tipe problem posing tidak berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar kognitif siswa pada materi pokok Virus kelas X SMA Negeri 2 Banguntapan, hal ini di dibuktikan dengan hasil uji hipotesis yang diperoleh, yaitu thitung 1.570 dengan p = 0.122 lebih besar dari 0.01 (p > 0.01) pada taraf signifikansi 1%, yang berarti hipotesis ditolak. 2. Siti Umamik (4101403520). Keefektifan Model Pembelajaran Matematika Cooperative Learning Tipe STAD Melalui Pemanfaatan Alat Peraga Pada Sub materi pokok Keliling dan Luas Daerah Lingkaran Terhadap Hasil Belajar Peserta Didik Kelas VIII Semester II SMP Negeri 4 Kudus Tahun Pelajaran 2006/2007. Skripsi Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Apakah model pembelajaran matematika cooperative learning tipe STAD melalui pemanfaatan alat peraga lebih efektif daripada model pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar khususnya aspek pemahaman konsep peserta didik kelas VIII semester II SMP NEGERI 4 KUDUS tahun pelajaran 2006/2007 pada sub materi pokok keliling dan luas daerah lingkaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih efektif mana model pembelajaran matematika cooperative learning tipe STAD melalui pemanfaatan alat peraga dan model pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar aspek pemahaman konsep peserta didik kelas VIII semester II SMP NEGERI 4 KUDUS tahun pelajaran 2006/2007 pada sub materi pokok keliling dan luas daerah lingkaran. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas VIII semester II SMP Negeri 4 Kudus tahun pelajaran 2006/2007. Dengan teknik random sampling terpilih sampel yaitu kelas VIII-F
34
sebagai kelompok eksperimen dan kelas VIII-D sebagai kelompok kontrol yang masing-masing 40 peserta didik. Kelompok eksperimen diberi pengajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif STAD. Sedangkan kelompok kontrol dengan pendekatan pembelajaran konvensional. Dari penelitian diketahui bahwa rata-rata kelompok eksperimen = 66,45 dan rata-rata kelompok kontrol = 65,68. Dengan n1 = 40 dan n2 = 40 diperoleh thitung = 2,884. Dengan taraf nyata 5% dan dk = 78 diperoleh ttabel = 1,98. Karena thitung > ttabel maka Ho ditolak dan Ha diterima berarti pembelajaran matematika pada sub materi pokok keliling dan luas daerah lingkaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD melalui pemanfaatan alat peraga lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. 2.8. Kerangka Berpikir Tipe make a match merupakan suatu teknik pembelajaran yang memberikan tugas terstruktur kepada siswa melalui media kartu-kartu yang berisi konsep yang berbeda dengan tema-tema atau topik-topik yang sama, sehingga melalui kartu yagn siswa dapatkan, maka dengan sendirinya siswa membentuk kelompok-kelompok kerja berdasarkan kecocokan konsep yang terdapat dalam kartu masing-masing, untuk menyelesaikan satu masalah dalam tema atau topik yang sama. Sehingga, melalui teknik ini, siswa mampu aktif dan bekerjsama dengan rekannya dalam menyelesaikan tugas yang diberikan Pada penjelasan di atas, telah disebutkan bahwa model pembelajaran cooperative learning tipe make a match, memungkinkan siswa dapat belajar lebih aktif dan belajar untuk bekerjasama dengan teman-teman lainnya, karena dalam pembelajaran ini, siswa didorong untuk bagaimana memecahkan sebuah masalah bersama-sama dengan kelompoknya. Selain itu, siswa secara individu dapat terbentuk menjadi siswa yang aktif dan mencintai belajar, karena sebagai individu, siswa juga dipercayakan untuk ikut berkontribusi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok. Semboyan yang terkenal dalam pembelajaran model cooperative learning make a match adalah kesuksesan
35
seseorang adalah kesuksesan kelompok, dan kesuksesan kelompok adalah kesuksesan orang per orang di dalam kelompok tersebut. Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran ekspositori. Siswa tidak dilibatkan untuk berinteraksi dengan temannya dalam proses belajar mengajar, tetapi siswa dituntut untuk hanya terlibat dengan gurunya. Dengan metode pembelajaran ekspositori, siswa jarang diberikan kesempatan untuk memecahkan masalah secara bersama-sama dengan teman-temannya. Akhirnya, siswa tidak dibiasakan untuk belajar bekerjasama dengan orang lain yang ada di sekitarnya, dalam memecahkan sebuah masalah belajar yang sedang dihadapinya. Dalam pembelajaran, siswa sangat tergantung pada pengetahuan yang dimiliki oleh gurunya. Dengan kata lain, guru adalah satu-satunya sumber belajar siswa. Karena itu, pengetahuan siswa juga sangat terbatas dan ditentukan oleh pengetahuan gurunya. Mata pelajaran IPS, secara hakikat adalah mata pelajaran yang menekankan bagaimana siswa belajar saling memahami satu dengan lainnya sebagai makhluk sosial. Artinya bahwa mata pelajaran IPS sesungguhnya adalah mata pelajaran yang mengarahkan siswa untuk belajar bagaimana bersama dengan orang lain yang berbeda. Berdasarkan pada hakikat mata pelajaran IPS itu sendiri, guru perlu secara kreatif mendesain sebuah metode pembelajaran yang memungkinkan terjadi interaksi antar siswa. Dilihat dari penjelasan kedua metode pembelajaran di atas, tampak bahwa metode pembelajaran cooperative learning tipe make a match memberikan peluang bagi siswa untuk dapat saling berinteraksi dan bekerjasama dengan sesama rekannya yang lain. Untuk membuktikan hal itu, maka kerangka pikir yang dibangun dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Penulis akan mengambil dua sekolah yaitu SD N Sidorejo Lor 04 dan SD N Sidorejo Lor 07. Siswa kelas IV dari kedua sekolah ini yang akan dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini. Pada siswa kelas IV SD N Sidorejo Lor 07, akan menerima perlakuan yaitu pembelajaran IPS dengan metode pembelajaran ekspositori; atau siswa ini digunakan sebagai kelompok kontrol. Sedangkan siswa SD N Sidorejo Lor 04, akan terapkan pembelajaran dengan metode belajar cooperative learning tipe
36
make a match atau siswa SD ini akan digunakan sebagai kelompok eksperimen. Sebelum diterapkan metode pembelajaran ekspositori dan cooperative learning tipe make a match pada kedua siswa di sekolah ini, dilakukan pretest untuk mengetahui nilai rata-rata yang diperoleh. Setelah dilakukan pretest, para siswa dari kedua sekolah ini akan diberi perlakuan dengan model pembelajaran ekspositori untuk siswa kelas IV SD N Sidorejo Lor 07, dan model pembelajaran cooperative learning tipe make a match untuk para siswa SD N Sidorejo Lor 04. Setelah menerima perlakuan pembelajaran dengan dua metode belajar tersebut, siswa kembali diuji dengan tes yang disebut posttest. Nilai antara atau perubahan yang dialami setelah penerapan pembelajaran itulah yang kemudian dianalisis untuk dilihat apakah ada atau tidak ada perbedaan hasil belajar para siswa dari kedua sekolah tersebut. Adapun jika digambarkan dalam bagan, maka kerangka berpikir itu adalah sebagai berikut: Pembelajaran
Kelas Eksperimen
dengan
Pre test
menggunakan model
Post test
pembelajatan Cooperative Learning Tipe Make
Perbedaan
hasil
belajar
dengan menggunakan model pembelajatan
Cooperative
Learning Tipe Make a Match dan metode Ekspositori Pembelajaran
Kelas Kontrol
Pre test
dengan menggunakan
Post test
metode Ekspositori
Bagan 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian
37
2.9. Hipotesis Menurut Sugiyono (2011: 224) hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Pengertian hipotesis tersebut adalah untuk hipotesis penelitian, oleh karena itu dalam statistik yang diuji adalah hipotesis nol. ”The mull hypothesis is used for testing. It is statement that no different exists between the parameter and statistic being compared” (Emory, 1985). Jadi hipotesis nol adalah pernyataan tidak adanya perbedaan antara parameter dengan statistik (data sampel). Lawan dari hipotesis nol adalah hipotesis alternatif, yang menyatakan ada perbedaan antara parameter dan statistik. Hipotesis nol diberi notasi Ho, dan hipotesis alternatif diberi notasi Ha. Dari kerangka berpikir di atas, maka hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1. Ho: Tidak ada perbedaan hasil belajar IPS dengan model pembelajaran cooperative learning tipe make a match dan metode ekspositori pada siswa kelas IV SD Negeri Sidorejo Lor 04 Salatiga. 2. Ha: Ada perbedaan hasil belajar IPS dengan model pembelajaran cooperative learning tipe make a match dan metode ekspositori pada siswa kelas IV SD Negeri Sidorejo Lor 04 Salatiga. Hipotesis statistik dapat dirumuskan sebagai berikut:
Ho : µ ı = µ 2 Ha : µ ı ≠ µ 2
µı
: Adalah hasil belajar IPS dengan model cooperative learning tipe make a match.
µ2
: Adalah hasil belajar IPS dengan metode ekspositori.
38