BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin (Nybakken 1988). Menurut LPP Mangrove (2008), mangrove adalah sebutan untuk sekelompok tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut pantai. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland atau juga hutan payau. Menurut Kusmana (1995) mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Bersifat kompleks karena ekosistemnya disamping terdapat vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi (Kusmana 1995). Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Bersifat labil karena mudah sekali rusak dan sulit pulih seperti sediakala (Anawar dan Gunawan 2008).
2.2. Karakterisitik Fisik Mangrove Ekosistem mangrove dapat tumbuh dengan baik pada pantai yang relatif tenang, datar dan terdapat muara sungai besar yang membawa sedimen dari hulu berupa material lumpur pasir. Anwar dan Gunawan (2008) menyatakan bahwa sebagian pohon mangrove dijumpai disepanjang pantai terlindung yang
5
6
berlumpur, bebas dari angin yang kencang dan arus (misalnya di mulut muara sungai besar). Mangrove juga dapat tumbuh di atas pantai berpasir, berkarang dan di pulau-pulau kecil. Mangrove dapat tumbuh dengan subur jika terdapat endapan lumpur dan air tawar yang berlimpah. Hutan mangrove tersebar luas dan tumbuh rapat di muara sungai besar di daerah tropis, tetapi di daerah pesisir pantai pegunungan, hutan mangrove tumbuh di sepanjang garis pantai yang terbatas dan sempit. Perluasan hutan mangrove banyak dipengaruhi oleh topografi daerah pedalaman. Terdapat hubungan erat antara kondisi air dengan vegetasi hutan mangrove. Menurut Nontji (1996) mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar. Biasanya di tempat yang tidak ada muara sungainya, luasan mangrovenya tipis, namun pada tempat yang mempunyai muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur dan pasir, mangrove biasanya tumbuh luas. Mangrove merupakan ekosistem khas yang memiliki ciri-ciri yang unik. Adapun ciri-ciri ekosistem mangrove menurut Lembaga Pusat Penelitian (LPP) Mangrove (2008) sebagai berikut: a) Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik, adalah : 1) Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit 2) Memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau (Rhizophora spp.), serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada (Sonneratia spp.) dan pada api-api (Avicennia spp.) 3) Memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada Rhizophora 4) Memiliki lentisel pada bagian kulit pohon b) Tempat tumbuh hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah : 1) Tanah tergenang air laut secara berkala, baik setiap harinya atau hanya tergenang pada saat pasang purnama 2) Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat
7
3) Daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat 4) Airnya berkadar garam (bersalinitas), dari payau (2-22 ‰) hingga asin
Mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Menurut LPP Mangrove (2008) meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove dapat tumbuh dengan baik di air tawar. Hal ini terlihat pada jenis Bruguiera sexangula, Bruguiera gymnorrhiza, dan Sonneratia caseolaris tumbuh, berbuah dan berkecambah di Kebun Raya Bogor dan hadirnya mangrove di sepanjang tepian Sungai Kapuas, sampai ke pedalaman sejauh lebih dari 200 km, di Kalimantan Barat. Menurut Bengen (2001) Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan, adaptasi tersebut yaitu: a) Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avicennia spp., Xylocarpus spp. dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhizophora spp.) b) Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : 1) Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam 2) Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam 3) Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan c) Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk
jaringan
horizontal
yang
lebar.
Disamping
untuk
8
memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Menurut Dinas Kehutanan Kabupaten Subang (2005) zonasi hutan mangrove berdasarkan zonasi pengelolaan, dapat dibagi ke dalam tiga zona : a. Zona Konservasi. Terletak paling depan 0 – 130 m dari selisih pasang tertinggi dan terendah (sempadan pantai), merupakan sabuk pantai (green belt) dan 100 m kanan kiri sungai (sempadan sungai) (Keppres No. 32 tahun 1990) b. Zona Sylvofishery terbatas (blok penyangga). Luas zona ini sepertiga dari luasan hutan mangrove, dengan asumsi 80% vegetasi mangrove dan 20% berupa empang/tambak c. Zona Sylvofishery (blok budidaya). Luas zone ini adalah luas total dikurangi zona konservasi dan zona penyangga. Terletak pada bagian dalam dengan kegiatan rehabilitasi hutan. Budidaya ikan yang ideal diasumsikan 50% berupa tegakan hutan dan 50% berupa tambak
2.3
Fungsi Mangrove Mangrove memiliki peran penting dalam melindungi pantai dari
gelombang, angin dan badai. Tegakan dapat melindungi pemukiman, bangunan dan pertanian dari angin kecang atau instruisi air laut. Mangrove mempunyai peranan penting dalam melindungi pesisir dari gempuran badai. Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus, sementara vegetasi secara keseluruhan dapat memerangkap sedimen (Othman 1994 dalam Noor dkk. 2006). Pada awalnya, proses pengikatan sedimen oleh mangrove dianggap sebagai suatu proses yang aktif, jika terdapat mangrove otomatis akan terdapat tanah timbul (Steup 1941 dalam Noor dkk. 2006). Berbagai penelitian menyatakan bahwa proses pengikatan dan penstabilan hanya terjadi pada pantai yang telah berkembang. Satu hal yang penting adalah vegetasi mangrove
9
mempunyai peranan yang besar dalam mempertahankan lahan yang telah dikolonisasi, terutama dari ombak dan arus laut. Pulau-pulau di daerah delta yang berlumpur halus ditumbuhi mangrove, peranan mangrove sangat besar untuk mempertahankan
pulau
tersebut.
Sebaliknya,
pada
pulau
yang
hilang
mangrovenya, pulau tersebut mudah disapu ombak dan arus musiman (Chamber dalam Noor dkk. 2006). Peranan hutan mangrove dalam menunjang kegiatan perikanan pantai dapat dibagi dua. Pertama, mangrove berperan penting dalam siklus hidup berbagai jenis ikan, udang dan moluska (Davies dan Claridge 1993 dalam Noor dkk. 2006), karena lingkungan mangrove menyediakan perlindungan dan makanan berupa bahan-bahan organik yang masuk ke dalam rantai makanan. Ke dua, mangrove merupakan pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya (Mann 1982 dalam Noor dkk. 2006). Produksi serasah mangrove berperan penting dalam kesuburan perairan pesisir dan hutan mangrove dianggap yang paling produktif diantara ekosistem pesisir (Odum 1993). Di Indonesia, produksi serasah mangrove berkisar antara 7 – 8 ton/ha/tahun (Nontji 1987).
2.4 Kondisi Mangrove di Jawa Barat Letak geografis pesisir Jawa Barat terbagi menjadi dua, yaitu Pesisir Selatan dan Pesisir Utara oleh karena itu ekosistem mangrove pun tersebar di ke dua pesisir tersebut. 2.4.1 Kondisi Mangrove Pesisir Selatan Menurut data ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil tahun 2011, potensi hutan mangrove menyebar merata di Kabupaten Ciamis mulai dari bagian Utara. Mangrove umumnya terdapat di muara sungai Citanduy (Kecamatan Kalipucang) berdekatan dengan Segara Anakan, Muara Cigaluh dan Cijulang (Kecamatan Parigi dan Kecamatan Cijulang). Jenis mangrove yang ada didominasi oleh bakau dan tancang, terutama di sekitar pelabuhan Majingklak, sedangkan pohon nipah banyak dijumpai di muara Sungai Cijulang dan Cigaluh.
10
Dikawasan daerah muara Sungai Cigaluh dan Cijulang terdiri mangrove sejati dan mangrove asosiasi khususnya pada rawa payau yang tersebar sepanjang karang Jaladri sampai Cijulang. Kondisi hutan mangrove dikawasan ini masih cukup baik, dan di sepanjang muara Sungai Cijulang ditemukan tumbuhan Nypa fruticants hingga kurang lebih sekitar 10 Km, Jenis mangrove yang dominan dikawasan Muara Sungai Cijulang yang termasuk daerah Parigi dan Cijulang adalah Avicenia marina dan Soneneratia alba. Jenis Rhizophora apiculata, Ceriops tagal, Bruguiera gymnorhiza, Aegiceras comiculatum, Excoecaria agallocha, Xylocarpus granatum ditemukan di daerah yang berbatasan dengan areal pertambakan dan dalam jumlah yang sangat sedikit.
2.4.2
Kondisi Mangrove Pesisir Utara Sebaran dan luas mangrove di wilayah Pesisir Utara Jawa Barat menurut
data ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil 2010 relatif lebih banyak dibandingkan dengan Pesisir Selatan. Jumlah luas total mangrove di wilayah Pesisir Utara Jawa Barat sebesar 32.400 ha. Kabupaten yang memiliki luasan hutan mangrove paling luas adalah Kabupaten Subang. Kerusakan hutan mangrove terbesar terjadi di Kota Bekasi seluas 11.748 ha.
2.5
Penyebab Perubahan Luasan Mangrove Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan luasan mangrove yang
dapat diidentifikasi melalui data citra satelit terlihat pada perubahan spasialnnya antara lain : 2.5.1. Konversi Lahan Mangrove Hampir semua bentuk pemanfaatan lahan di wilayah pesisir berasal dari konversi hutan mangrove. Hutan mangrove sepanjang Utara Jawa Barat telah dikonversi menjadi kawasan pemukiman, tambak, kawasan industri, pelabuhan dan ladang garam. Kebanyakan konversi hutan mangrove menjadi bentuk pemanfaatan lain belum banyak ditata berdasarkan kemampuan dan peruntukan pembangunan, sehingga menimbulkan kondisi yang kurang menguntungkan dilihat dari manfaat
11
regional dan nasional. Oleh karena itu pemanfaatan hutan mangorve yang tersisa atau upaya rehabilitasi harus sesuai dengan potensi dan rencana pemanfaatan yang lainnya dengan mempertimbangkan kelestarian ekosistem, manfaat ekonomis dan penguasaan teknologi (Rahmawaty 2006). Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan tuntutan untuk mendayagunakan sumberdaya mangrove terus meningkat. Secara garis besar ada dua faktor penyebab konversi lahan mangrove yaitu (1) faktor manusia yang merupakan faktor dominan penyebab kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebih, (2) faktor alam, seperti banjir, kekeringan dan hama penyakit yang merupakan faktor penyebab yang relatif kecil (Tirtakusumah 1994). Salah satu upaya mengintegrasikan perikanan dan konversi hutan mangrove dilakukan oleh perhutani dan masyarakat di Pantai Utara Jawa Barat dengan sistem “empang parit” (tambak tumpangsari). Sistem ini merupakan pengetahuan asli masyarakat Indonesia, pada hutan mangrove dibuat lajur-lajur tumbuhan mangrove, misalnya di Brebes, Pemalang, Cirebon, Indramayu, Purwakarta dan Subang (Hartina 1996).
2.5.2. Pelestarian Ekosistem Mangrove Ekosistem
mangrove
yang
rusak
restorasi/rehabilitasi. Restorasi merupakan
dapat
pulih
dengan
cara
usaha mengembalikan kondisi
lingkungan kepada kondisi semula secara alami. Campur tangan manusia diusahakan sekecil mungkin terutama dalam memaksakan keinginan untuk menumbuhkan jenis mangrove tertentu menurut yang dipahami atau diinginkan manusia. Usaha restorasi memberikan jalan atau peluang kepada alam untuk mengatur atau memulihkan dirinya sendiri. Kita manusia selaku pelaku mencoba membuka jalan dan peluang serta mempercepat proses pemulihan terutama karena dalam beberapa kondisi, kegiatan restorasi secara fisik akan lebih mudah dibanding kita memaksakan usaha penanaman mangrove secara langsung.
12
Restorasi perlu dipertimbangkan ketika suatu sistem telah berubah dalam tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau memperbaharui diri secara alami. Dalam kondisi seperti ini, ekosistem asli telah berhenti secara permanen dan proses normal untuk suksesi tahap kedua atau perbaikan secara alami setelah kerusakan terhambat oleh berbagai sebab. Secara umum, semua habitat bakau dapat memperbaiki kondisinya secara alami dalam waktu 15 – 20 tahun jika : (1) kondisi normal hidrologi tidak terganggu, dan (2) ketersediaan biji dan bibit serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi. Jika kondisi hidrologi adalah normal atau mendekati normal tetapi biji bakau tidak dapat mendekati daerah restorasi, maka dapat direstorasi dengan cara penanaman. Oleh karena itu habitat bakau dapat diperbaiki tanpa penanaman, maka rencana restorasi harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut yang terhalangi atau tekanan-tekanan lain yang mungkin menghambat perkembangan mangrove (Kusmana 2005). Di Jawa Barat, sejarah restorasi ekosistem mangrove tidak banyak dicatat, namun berbagai individu dan lembaga, baik pemerintah maupun swasta, diyakini terlibat dalam kegiatan restorasi meskipun jumlahnya relatif terbatas. Salah satu contoh restorasi hutan mangrove yang dilakukan secara kontinyu dan cukup berhasil adalah penanaman Rhizophora spp.
2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) yang biasa disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis (ESRI 1999). 2.6.1 Pengertian Sistem Informasi Geografis Secara Umum pengertian SIG adalah suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumber daya manusia yang bekerja
secara
efektif
untuk
memasukan,
menyimpan,
memperbaiki,
memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. SIG mempunyai
13
kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial. Data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang memiliki sistem kordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Kemampuan pada aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan, seperti lokasi, kondisi, trend, pola dan permodelan (GIS Konsorsium Aceh Nias 2007). 2.6.2 Data Spasial Sebagian besar data yang akan ditangai dalam SIG merupakan data spasial, data yang berorientasi geografis. Data ini memiliki sistem kordinat tertentu sebagai dasar referensinya dan mempunyai dua bagian penting yang berbeda dari data lain, yaitu informasi lokasi (spasial) dan informasi deskriptif (atribut) sebagai berikut : 1. Informasi lokasi (Spasial), berkaitan dengan suatu koordinat baik koordinat geografis (lintang dan bujur) dan kordinat XYZ, termasuk diantaranya datum dan proyeksi. 2. Informasi deskriptif (atribut) atau informasi nonspasial, suatu lokasi yang memiliki beberapa keterangan yang berkaitan dengannya. Contoh jenis vegetasi, luasan, nama daerah, dan sebagainya. 2.6.3 Format Data Spasial Secara sederhana format dalam bahasa komputer berarti bentuk dan kode penyimpanan data yang berbeda antara file satu dengan yang lainnya. Dalam SIG data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format yaitu : 1. Data vektor, data vektor merupakan bentuk bumi yang di representasikan ke dalam kumpulan garis, area (daerah yang dibatasi oleh garis yang berawal dan berakhir pada titik yang sama), titik dan nodes (titik perpotongan antara dua buah garis). Keuntungan utama dari format data vektor adalah ketepatan dalam mempresentasikan fitur titik, batasan dan garis lurus (Gambar 2).
14
Gambar 2. Data Vektor
2. Data Raster, disebut juga dengan sel grid adalah data yang dihasilkan dari sistem
pengindraan
jauh.
Pada
data
raster,
objek
geografis
direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan pixel (picture element). Pada data raster, resolusi (definisi visual) tergantung pada ukuran pixelnya. Dengan kata lain, resolusi pixel menggambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap pixel pada citra. Semakin kecil ukuran permukaan bumi yang direpresentasikan oleh satu sel, semakin tinggi resolusinya. Data raster sangat baik untuk merepresentasikan batas-batas yang berubah secara gradual, seperti jenis tanah, vegetasi dan lain sebagainya (Gambar 3).
Gambar 3. Data Raster
2.7 Pengindraan Jauh Pengindraan jauh di definisikan sebagai ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan cara menggunakan data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak secara langsung terhadap obyek, daerah atau gejala yang dikaji (Lillesand dan kiefer 1990). Sedangkan menurut ESRI
15
(1999), pengindraan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan teknologi yang berhubungan dengan obyek
yang diukur, diidentifikasi
atau dianalisis
karakteristiknya tanpa kontak langsung dengan obyek yang dikaji. Perolehan data pengindraan jauh melalui satelit memiliki keunggulan dari segi biaya, waktu serta kombinasi saluran spektral (band) yang lebih sesuai untuk diaplikasi (Atmopawiro 2004). Dari sekian banyak satelit pengindraan jauh, yang sering digunakan untuk pemetaan penutupan lahan adalah Landsat (Land Satellite). Seri Landsat yang dikenal pertama kali adalah Earth Resources Technology Satellite (ERTS) (Tabel 1). Tabel 1. Karakteristik Sensor Landsat-ETM (Butler 1988) Panjang Gelombang
Lebar sapuan Resolusi spasial
Band 1 : 0,45 – 0,52 µm (Ungu) Band 2 : 0,52 – 0,60 µm (Hijau) Band 3 : 0,63 – 0,69 µm (Merah) Band 4 : 0,76 – 0,90 µm (IR dekat) Band 5 : 1,55 – 1,75 µm (IR Menengah) Band 6 : 10,4 – 12,5 µm (IR Thermal Jauh) Band 7 : 2,08 – 2,35 µm (IR Menengah) 185 km 30 m x 30 m (kecuali kanal 6 : 120 m x 120 m
Sensor TM masing-masing Band mempunyai fungsi sebagai berikut (Lillesand dan Kiefer 1990) :
Band 1 dirancang untuk pemetaan perairan daerah pesisir, penetrasi ke dalam badan air dan mendukung analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah dan vegetasi
Band 2 dirancang untuk mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak antara dua band spektral serapan klorofil. Respon pada band ini dimaksudkan untuk menekankan perbedaan vegetasi dan penilaian kesuburan
Band 3 merupakan band terpenting untuk memisahkan vegetasi. Band ini berada dalam salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras
16
kenampakan antara vegetasi serta menajamkan kontras antara kelas vegetasi (mebedakan antara lahan terbuka dengan lahan bervegetasi)
Band 4 dipilih karena respon yang tinggi terhadap sejumlah biomassa vegetasi yang terdapat pada daerah yang dikaji. Respon yang tinggi ini akan membantu identifikasi tanaman dan memperkuat kontras antara tanaman-tanah dan lahan-air
Band 5 adalah band yang digunakan untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah
Band 6 digunakan untuk pemisahan formasi batuan
Band 7 merupakan saluran infra merah panas dan bermanfaat dalam klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah dan gejala-gejala lain yang berhubungan dengan panas
Gambar 4. Penggabungan 3 Band Data Citra Satelit