BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Kajian Teori
2.1.1 Matematika 2.1.1.1 Pengertian Matematika Kata matematika berasal dari bahasa Latin, mathanein atau mathema yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari.” Dalam bahasa Belanda, matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran Depdiknas dalam Ahmad Susanto (2013:184). Matematika memiliki bahasa dan aturan yang terdefinisi dengan baik, penalaran yang jelas dan sistematis, serta struktur atau keterkaitan antar konsep yang kuat. Banyak pakar matematika yang mendefinisikan arti dari matematika. Diatanranya adalah Ahmad Susanto (2013:185) matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir dan berargumentasi, memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan menurut Subarinah (2006:10) matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada di dalamnya. Hal ini berarti belajar matematika pada hakekatnya adalah belajar konsep dan mencari hubungan antar konsep dan strukturnya. Menurut Soedjadi (1995:1) matematika sekolah adalah bagian unsur dari matematika yang dipilih antara lain dengan mempertimbangkan atau berorientasi pada pendidikan. Dengan demikian dapat dipilah-pilah dan disesuaikan dengan tahap perkembangan intelektual siswa serta digunakan sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan kemampuan berfikir pada siswa. Pembelajaran matematika diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan berfikir dalam memecahkan masalah di kehidupan sehari-hari. Maka dapat dipahami bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari unsur abstrak yang memberikan
6
gambaran belajar tidak hanya dibidang kognitif saja, namun meluas pada bidang psikomotorik dan afektif. Matematika memiliki simbol-simbol dan unsur-unsur yang memiliki arti tersendiri. Dari simbol-simbol dan unsur-unsur matematika yang terorganisasi dapat dibuktikan kebenarannya. Matematika juga dapat memberi kemampuan dasar kepada siswa dalam mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Dari beberapa pendapat ahli dapat dikaji bahwa matematika merupakan ilmu pasti yang didalamnya mempelajari struktur yang abstrak yang menyangkut dalam kehidupan sehari-hari. Maka matematika diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dan mengembangkan kemampuan berfikir dalam memecahkan masalah di kehidupan sehari-hari. 2.1.1.2 Pembelajaran Matematika di SD Adams dan Hamm (Wijaya, 2012:5), menyebutkan empat macam pandangan tentang peran matematika, yaitu: 1. Matematika sebagai suatu cara untuk berfikir. 2. Matematika sebagai suatu pemahaman tentang pola dan hubungan. 3. Matematika sebagai suatu alat. 4. Matematika sebagai bahasa atau alat untuk berkomunikasi. Menurut Dimyati (Ahmad Susanto, 2013:186), pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Pembelajaran berarti aktifitas guru dalam merancang bahan pengajaran agar proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif, yakni siswa dapat belajar secara aktif dan bermakna. Adapun menurut Suprihatiningrum (2012:75) mengemukakan bahwa: Pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang melibatkan informasi dan lingkungan yang disusun secara terencana untuk memudahkan siswa dalam belajar. Lingkungan yang dimaksud tidak hanya berupa tempat ketika pembelajaran itu berlangsung, tetapi juga metode, media dan peralatan yang diperlukan untuk menyampaikan informasi. Pembelajan merupakan upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu siswa agar dapat menerima pengetahuan yang diberikan dan membantu memudahkan pencapaian tujuan pembelajaran. 7
Menurut Kline (Pitadjeng, 2006:1) belajar akan efektif jika dilakukan dalam suasana yang menyenangkan. Sedangkan menurut Pitadjeng (2006:3) orang yang belajar akan merasa senang jika memahami apa yang dipelajari. Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2002:12) proses belajar mengajar adalah suatu proses yang dilakukan secara sadar dan bertujuan. Tujuan ini yang menjadi arah kemana proses belajar mengajar tersebut akan dibawa. Proses belajar mengajar akan berhasil jika mampu memberikan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap dalam diri siswa. Menurut Ahmad Susanto (2013:186), pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berfikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkontruksi pengetahuan barusebagai upaya meningkatkan penguasa yang baik terhadap materi matematika. Guru menempati posisi kunci dalam menciptakan suasana belajar yan kondusif dan menyenangkan untuk mengarahkan siswa mencapai tujuan secara optimal, serta guru harus mampu menempatkan dirinya secara dinamis dan fleksibel sebagai informan, transformator, organizer, serta evaluator bagi terwujudnya kegiatan belajar siswa yang dinamis dan inovatif. Sementara siswa dalam memperoleh pengetahuannya tidak menerima secara pasif, pengetahuan dibangun oleh siswa itu sendiri secara aktif. Hudoyo (1990:48) menyatakan bahwa “pembelajaran matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat didalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu”. Dalam setiap kesempatan ini, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual,siswa secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan tekhnologi informasi dan komunikasi seperti komputer, alat peraga atau media lainnya.
8
Proses pembelajaran matematika, guru dan siswa bersama-sama menjadi pelaku terlaksananya tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran, akan mencapai hasil maksimal apabila pembelajaran berjalan efektif. Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang mampu melibatkan seluruh siswa secara aktif (Ahmad Susanto, 2013:187). Menurut Wragg (Ahmad Susanto, 2013:188), pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang memudahkan siswa mempelajari sesuatu yang bermanfaat, seperti fakta, keterampilan, nilai, konsep, dan bagaimana hidup serasi dengan sesama, atau suatu hasil belajar yang diinginkan. Dapat diketahui bahwa proses pembelajaran matematika bukan sekedar transfer ilmu dari guru ke siswa, melainkan suatu proses kegiatan yang terjadi interaksi antara guru dan siswa serta antara siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan lingkungan. Selain itu pembelajaran matematika bukan hanya sebagai transfer pengetahuan, yang mengandung makna bahwa siswa merupakan objek dari belajar, namun hendaknya siswa sebagai subjek dalam belajar. Jadi dapat dikatakan bahwa seseorang dikatakan belajar matematika apabila pada diri seseorang tersebut terjadi suatu kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku yang berkaitan dengan matematika. Perubahan tersebut terjadi dari tidak tahu sesuatu menjadi tahu konsep matematika dan mampu menggunakannya dalam materi lanjut atau dalam kehidupan sehari-hari. Dari beberapa pendapat ahli dapat dikaji bahwa pembelajaran matematika di SD itu adalah kegiatan yang dilakukan guru dan siswa untuk membantu siswa agar dapat menerima pengetahuan, konsep-konsep dalam matematika dan untuk meningkatkan kemampuan siswa serta mengembangkan kemampuan berfikir dalam memecahkan masalah di kehidupan sehari-hari 2.1.1.3 Tujuan Pembelajaran Matematika Secara umum, tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar adalah agar siswa mampu dapat terampil menggunakan matematika. Sedangkan menurut Depdiknas (Ahmad Susanto, 2013:189) antara lain: 1.
Melakukan operasi hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian beserta operasi campurannya, termasuk yang melibatkan pecahan.
9
2.
3. 4. 5.
6.
Menentukan sifat dan unsur berbagai bangun datar dan bangun ruang sederhana, termasuk penggunaan sudut, keliling, luas, dan volume. Menentukan simetri, kesebangunan, dan sistem koordinat. Menggunakan pengukuran: satuan, kesetaraan antarsatuan, dan penaksiran pengukuran. Menentukan dan menafsirkan data sederhana, seperti: ukuran tertinggi, terendah, rata-rata, modus, mengumpulkan dan menyajikannya. Memecahkan masalah, melakukan penalaran, dan mengomunikasikan gagasan secara matematika.
Tujuan pembelajaran matematika di SD menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 20 Tahun 2006 tentang standar isi, pembelajaran Matematika bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: 1.
2.
3.
4. 5.
Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika, guru hendaknya dapat menciptakan kondisi dan situasi pembelajaran yang memungkinkan siswa aktif dalam
pembelajaran,
untuk
membentuk,
menemukan,
dan
membangun
pengetahuannya. Siswa dapat membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar dan mengembangkan dalam ingatan yang sewaktuwaktu dapat diproses dan dikembangkan lebih lanjut. Pelajaran yang masuk dalam ingatan siswa dapat terealisasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa matematika adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pembelajaran matematika bisa dikatakan pemahaman
10
terhadap konsep-konsep matematika yang relatif abstrak, dan strategi teori belajar tentang pengalaman lingkungan dan manipulasi benda konkret hanyalah alat bantu untuk memahami konsep-konsep matematika. Tujuan pembelajaran matematika sendiri yaitu mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Matematika mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan dalam kehidupan melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional, kritis, cermat, jujur, dan efektif. 2.1.2 Hasil Belajar 2.1.2.1 Pengertian Belajar Berdasarkan pengertian secara psikologis belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Setiap proses belajar mengajar keberhasilan diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dicapai siswa. Slameto (2010:2) mengungkapkan pengertian belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan menurut Gagne (Slameto 2010:13), belajar adalah proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, ketrampilan, kebiasaan dan tingkah laku. Belajar juga merupakan penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi. Menurut Winkel (Suprihatiningrum, 2012:15) menyatakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental/ psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuanpemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Sedangkan menurut Hamalik (Ahmad Susanto, 2013:3) menjelaskan bahwa: Belajar adalah memodifikasi atau memperteguh perilaku melalui pengalaman. Menurut pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan, dan bukan merupakan suatu hasil atau tujuan. Hamalik juga menegaskan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu atau seseorang melalui interaksi dengan lingkungannya. Perubahan tingkah laku ini mencakup 11
perubahan dalam kebiasaan keterampilan (psikomotorik).
(habit),
sikap
(afektif),
dan
Belajar pada dasarnya adalah kegiatan yang berhubungan dengan perubahan tinkah laku seseorang dan cara mengubah tingkah laku. Di dalam kegiatan belajar, seseorang akan menghasilkan suatu hasil belajar yang sebelumnya belum bisa menjadi bisa. Dengan demikian belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu secara sadar untuk memperoleh perubahan tingkah laku tertentu, baik yang dapat diamati secara langsung sebagai pengalaman/ latihan dalam interaksinya dengan lingkungan. Dapat dikatakan juga bahwa belajar sebagai suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan dan menghasilkan perubahan dalam pengeahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai-nilai, serta sikap. 2.1.2.2 Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar berasal dari dua kata yaitu hasil dan belajar, istilah hasil dapat diartikan sebagi sebuah prestasi dari apa yang telah dilakukan. Menurut Gagne & Briggs (Suprihatiningrum, 2012:37) mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa sebagai akibat perbuatan belajar dan dapat diamati melalui penampilan siswa. Jika menurut Nawawi (Susanto, 2013:5), hasil belajar adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu. Horward Kingsley (Nana Sudjana, 2005:22) membagi tiga macam hasil belajar, yakni (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan Djamarah dan Zain (Ahmad Susanto, 2013:3) menetapkan bahwa hasil belajar telah tercapai apabila telah terpenuhi dua indikator berikut, yaitu: 1. Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individual maupun kelompok. 2. Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran/ instruksional khusus telah dicapai oleh siswa baik secara individu maupun kelompok.
12
Sedangkan Gagne dalam Nana Sudjana (2011:22) membagi lima kategori hasil belajar, yakni: 1. Informasi verbal 2. Keterampilan intelektual, 3. Strategi kognitif 4. Sikap, 5. Keterampilan motoris. Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa hasil belajar adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu. Selain keberhasilan di sekolah, hasil belajar juga dapat di nilai di lingkungan. Hasil belajar juga membuat perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa, baik yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotorik sebagai hasil dari kegiatan dari kegiatan belajar. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom (Nana Sudjana, 2010:22) yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotoris: 1) Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang teridiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, sistesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. 2) Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisani, dan internalisasi. 3) Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam ranah psikomotoris, yakni (a) gerakan refleks, (b) keterampilan gerakan dasar, (c) kemampuan perseptual, (d) keharmonisan atau ketepatan, (e) gerakan keterampilan kompleks, dan (f) gerakan ekspresif dan interpretatif. Ke tiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Di antara ke tiga ranah tersebut, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran. Menurut Srini M. Iskandar (1996:96) ranah kognitif tetap mendapat penekanan khusus dalam pembelajaran meskipun pakar-pakar
13
pendidikan matematika memasukkan ranah afektif dan psikomotor. Menurut Bloom ada 6 tingkatan intelegensi dalam ranah kognitif yaitu: 1) pengetahuan tentang fakta-fakta dan psrinsip-prinsip, pemahaman (memahami fakta-fakta dan ide-ide). 2) Pemahaman (menerjemahkan, menafsirkan dan ekstrapolasi). 3) Aplikasi (menerapkan fakta dan ide pada situasi baru). 4) Analisa (memecahkan/ membagi konsep dalam bagian-bagiannya kemudian melihat hubungannya satu sama lain). 5) Sintesa (mengumpulkan fakta dan ide). 6) Evaluasi (menentukan nilai dari fakta dan ide). Ranah kognitif meliputi pengetahuan dan pemahaman secara intelektual dimana pengetahuan dan pemahaman ini dapat diukur menggunakan tes tertulis dengan memperhatikan tingkatan intelegensi dalam ranah kognitif seperti yang telah dipaparkan. Sedangkan ranah afektif menurut Bloom (Srini M. Iskandar 1996:107) ranah afektif mencakup perasaan, emosi, minat, sikap, nilai, dan apresiasi. Hal ini erat hubungaannya dengan perasaan siswa terhadap pelajaran matematika dan bagaimana perasaan mempengaruhi mereka. Cara terbaik untuk menilai sikap dan perasaan (afektif) siswa adalah mengamati secara langsung pada waktu mereka bekerja atau pada waktu mereka bermain dengan sesama siswa, dan tidak hanya ketika guru mengajar. Srini M. Iskandar (1996:109) dalam ranah psikomotor menekankan keterampilan-keterampilan motorik atau keterampilan dalam penguasaan alat peraga yang digunakan. Untuk ranah psikomotor, guru dapat membuat bagan untuk mengklasifikasi tujuan pembelajaran karena guru mempunyai banyak kesempatan untuk mengamati keterampilan siswa dalam memahami dan menggunakan alat peraga. Hasil belajar yang diharapkan dicapai siswa pada ranah kognitif yaitu berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran. Pada ranah afektif yaitu siswa dapat mengembangkan karakter yang diharapkan (tekun, kerjasama, dan tanggung jawab), siswa juga dapat berpikir kreatif dan berlatih berkomunikasi. Pada ranah psikomotor yaitu menekankan ketrampilanketrampilan motorik atau ketrampilan dalam penguasaan alat peraga yang digunakan. Jadi ketiga ranah menurut taksonomi Bloom tersebut, kesemuanya 14
harus dapat dicapai oleh siswa setelah mendapatkan pembelajaran. Jika ketiga ranah tersebut telah tercapai, dapat dikatakan bahwa siswa telah berhasil dalam proses belajarnya. Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah penilaian hasil yang sudah dicapai oleh setiap siswa dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotor yang diperoleh setelah menerima pengalaman belajar. Hasil belajar penting diketahui oleh guru dalam rangka untuk merumuskan tujuan pengajaran dan menyusun alat-alat penilaian, baik melalui tes maupun non tes.Untuk mengetahui hasil belajar siswa, maka harus dilaksanakan evaluasi untuk mengukur sejauh mana siswa memahami atau menguasai materi. Sedangkan untuk melaksanakan evaluasi tidak hanya menilai konsep atau materi tetapi dampak sikap yang ditimbulkan dan keterampilan motorik juga harus dinilai.Model evaluasi yang sesuai adalah model kesesuaian oleh Ralph W. Tyler, John B. Carol dan Lee J. Cronbach (Purwanto, 2008:27). Kegiatan evaluasi dilakukan untuk melihat sejauh mana tujuan pendidikan yang diberikan dalam pengalaman belajar telah dapat dicapai siswa dalam bentuk hasil belajar. Objek evaluasi adalah tingkah laku siswa yang mengalami perubahan pada akhir kegiatan pembelajaran. Perubahan perilaku yang dievaluasi bukan hanya pada aspek kognitif saja tetapi juga afektif dan psikomotorik. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami mengemukakan bahwa hasil belajar adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu. Hasil belajar juga membuat perubahanperubahan yang terjadi pada diri siswa, baik yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotorik sebagai hasil dari kegiatan dari kegiatan belajar. 2.1.2.3 Pentingnya Hasil Belajar Untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dapat diketahui melalui evaluasi. Menurut Sunal (Ahmad Susanto, 2013:5) mengemukakan bahwa evaluasi merupakan proses penggunaan informasi untuk membuat pertimbangan seberapa efektif suatu program telah memenuhi kebutuhan siswa. Sedangkan Dimyati dan mudjiono (2009:200)
15
mengemukakan tentang pentingnya hasil belajar dalam proses belajar mengajar bahwa: Evaluasi hasil belajar merupakan proses untuk menentukan nilai belajar siswa melalui kegiatan penilaian dan/atau pengukuran hasil belajar. Dari pengertian ini, maka tujuan utamanya adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu kegiatan pembelajaran.Dimana tingkat keberhasilan tersebut kemudian ditandai dengan skala nilai berupa huruf atau kata atau simbol. Slameto (2010:51) menjelaskan pentingnya hasil belajar dalam proses belajar adalah: “Evaluasi dilaksanakan untuk meneliti hasil dan proses belajar siswa, untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang melekat pada proses belajar itu. Evaluasi tidak mungkin dipisahkan dari belajar, maka harus diberikan secara wajar agar tidak merugikan. Usaha belajar yang efektif dan sukses, ditambah oleh evaluasi yang bermutu dan diskriminatif akan mengena pada semua aspek belajar.” Evaluasi dilakukan untuk menentukan keberhasilan siswa menguasai suatu kompetensi yang mengacu pada indikator yang ditentukan. Evaluasi dilakukan saat proes pembelajaran atau setelah pembelajaran berlangsung. Dengan dilakukannya evaluasi atau penilaian, dapat dijadikan tindak lanjut, atau bahkan cara untuk mengukur tingkat penguasaan siswa. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam proses belajar mengajar, hasil belajar memang sangat penting. Hasil belajar penting untuk mengetahui seberapa tingkat keberhasilan yang dapat dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu rangkaian proses pembelajaran. Hasil belajar juga dapat digunakan sebagai pertimbangan keefektifan suatu program pembelajaran. 2.1.2.4 Pengukuran Hasil Belajar Slameto (2010:52) mengetahui evaluasi itu baik, untuk menentukan unsur belajar yang dianggap penting. Kriteria yang perlu diperhatikan ialah: 1. Penilaian pada hasil-hasil langsung Sasaran penilaian mengenai masalah beberapa banyak dari pelajaran sejarah, aljabar atau ilmu pengetahuan alam yang diketahui siswa pada saat tertentu.
16
2. Evaluasi dan transfer Dalam mengevaluasi dengan tes sebaiknya diperlakukan sama bagi setiap pelajar, seingga memungkinkan transfer dari apa yang telah dipelajari pada suatu situasi yng fungsional. Hasilhasil pelajaran yang mengakibatkan transfer adalah penting, karena hasil-hasil belajar itu amat dekat dan erat hubungannya dengan tujuan belajar. 3. Penilaian langsung dari proses belajar Evaluasi yang dilakukan dengan baik akan mempengaruhi hasil belajar. Evaluasi mengarahkan proses belajar dengan sengaja dan secara keseluruhan pada usaha mencapai hasil-hasil tertentu pada waktu diadakan tes lisan ataupun tertulis, formal maupun non formal. Nana Sudjana (2005:2-5) menjelaskan tentang kegiatan penilaian yakni suatu tindakan atau kegiatan untuk melihat sejauh mana tujuan-tujuan instruksional telah dicapai atau dikuasai oleh siswa dalam bentuk hasil belajar yang diperlihatkan setelah mereka menempuh pengalaman belajarnya (proses belajar-mengajar). Penilaian yang bisa digunakan untuk mengukur hasil belajar, yaitu: Penilaian formatif adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir program belajar-mengajar untuk melihat tingkat keberhasilan proses belajar-mengajar itu sendiri. Dengan demikian, penilaian formatif berorientasi kepada proses belajar-mengajar. Dengan penilaian formatif guru dapat memperbaiki program pengajaran dan strategi pelaksanaannya. Penilaian sumatif adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir unit program, yaitu program catur wulan, akhir semester, dan akhir tahun. Tujuannya adalah melihat hasil yang dicapai oleh para siswa, yakni seberapa jauh tujuan- tujuan kurikuler dikuasai oleh para siswa. Penilaian ini berorientasi kepada produk. Penilaian diagnostik adalah penilaian yang bertujuan untuk melihat kelemahan- kelemahan siswa serta faktor penyebabnya. Penilaian ini dilaksanakan untuk keperluan bimbingan belajar, pengajaran remidial (remidial teaching), menentukan kasus-kasus, dll. Penilaian selektif adalah penilaian yang bertujuan untuk keperluan seleksi, misalnya ujian saringan masuk ke lembaga pendidikan tertentu. Penilaian penempatan adalah penilaian yang ditujukan untuk mengetahui keterampilan persyaratan yang diperlukan bagi suatu program belajar dan pengusaan belajar seperti diprogramkan sebelum memulai kegiatan belajar untuk perogram itu.
17
Penilaian pada KTSP meliputi tes lisan, tes tulisan, dan tes perbuatan, baik secara terpisah maupun terintegrasi. Penilaian pembelajaran KTSP menganut prinsip pembelajaran tuntas. Dalam Depdiknas (2004b:12) pembelajaran tuntas adalah pendekatan dalam pembelajaran yang mensyaratkan siswa menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi atau kompetensi dasar mata pelajaran. Dengan demikian, guru sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran terlebih dahulu menentukan kriteria ketuntasan minimum pada setiap mata pelajaran. Penetapan nilai ketuntasan minimum dilakukan dengan menganalisis ketuntasan minimum pada setiap indikator, kompetensi dasar, dan standar kompetensi. Penetapan kriteria ketuntasan minimum (KKM) pada setiap mata pelajaran harus memperhatikan tiga hal, yaitu 1) rata-rata kemampuan siswa; 2)kompleksitas atau tungkat kesulitan/ kerumitan kompetensi dasar, standar kompetensi, mata pelajaran; 3) daya dukung atau tingkat ketercukupan dan kesesuaian sumber daya manusia dan sumber daya lainnya (Muhaimin dalam Suprihatingrum, 2012:130) Keberhasilan dalam sebuah pengajaran tidak hanya dilihat dari segi hasil belajarnya saja tetapi juga proses kegiatan pembelajaran. Untuk mengukur hasil belajar dalam suatu proses pembelajaran terdapat 2 jenis penilaian yang dapat digunakan yaitu teknik tes tertulis dan teknik non tes. Tes tertulis ini digunakan untuk memperoleh seberapa nilai atau angka keberhasilan siswa dalam proses memperoleh pengetahuan dari hasil belajar yang telah dijalani siswa. Tes tertulis ini menuntut jawaban secara tulisan yang dapat dikoreksi hasilnya oleh guru sehingga guru dapat mengetahui seberapa tingkat keberhasilan siswa dalam belajar. 2.1.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Slameto
(2010:54-72)
membagi
beberapa
faktor-faktor
mempengaruhi belajar yaitu: a. Faktor Intern 1. Faktor jasmaniah, meliputi: faktor kesehatan dan cacat tubuh 2. Faktor psikologis, meliputi: inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan. 3. Faktor kelelahan
18
yang
b. Faktor Ekstern 1. Faktor keluarga, meliputi: cara orang tua mendidik, relasi antaranggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan. 2. Faktor sekolah, meliputi: metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran diatas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah. 3. Faktor masyarakat, meliputi: kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat. Berdasarkan faktor yang mempengaruhi belajar
di atas, dapat dikaji
bahwa banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam belajar. Faktor tersebut tidak hanya berasal dari fisik, psikologis individu dan kondisi siswa saja, namun juga faktor yang berasal dari luar diri siswa seperti keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat. 2.1.3 Pendekatan RME Realistic Mathematic Education (RME) merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran matematika. Menurut Hadi (2003:1) Realistic Mathematic Education (RME) yang dalam makna Indonesia berarti Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. 2.1.3.1 Pengertian RME Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata seharihari. Lange (Daryanto, 2013:161) proses pembelajaran peserta didik harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali matematika melalui bimbingan
19
guru dan penemuan kembali ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan”dunia riil”. Pernyataan yang dikemukakan Freudhental (Wijaya, 2012:20), bahwa “matematika merupakan suatu bentuk aktivitas manusia” melandasi adanya pengembangan RME terdiri dari dua proses matematisasi yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Menurut Supinah (2008:15), dalam matematisasi horisontal siswa mulai dari soal-soal kontekstual, mencoba menguraikan dengan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri, kemudian menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini, setiap orang dapat menggunakan cara yang berbeda dengan orang lain. Dalam matematisasi vertikal, siswa juga mulai dari soal-soal kontekstual, tetapi dalam jangka panjang siswa dapat menyususun prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung. Ahmad Susanto (2013:205) memandang Pendekatan Matematika Realistik (PMR) sebagai berikut: “Pendekatan Matematika Realistik (PMR) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada siswa, bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan seharihari siswa ke pengalaman belajar yang berorientasi pada hal-hal yang real (nyata). Prinsip utama PMR adalah siswa harus berpartisipasi secara aktif dalam proses belajar. Siswa harus diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri. Konsep matematika yang bersifat abstrak perlu ditransformasikan menjadi hal-hal yang bersifat real bagi siswa. PMR tidak harus selalu menggunakan masalah yang ada dalam kehidupan nyata, tetapi yang terpenting adalah masalah matematika yang bersifat abstrak dapat dibuat menjadi nyata dalam pikiran siswa. Dalam pendidikan matematika realistik, matematika disajikan sebagai suatu proses, sebagai kegiatan manusia, bukan sebagai produk jadi. Unsur menemukan kembali sangat penting. Bahan pelajaran disajikan melalui bahan yang sesuai dengan lingkungan siswa. PMR menekankan kepada konstruksi dari konteks bendabenda konkret sebagai titik awal bagi siswa guna memperoleh konsep matematika.”
20
Menurut Treffers (Wijaya 2012:21) pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan RME memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Penggunaan konteks Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalahdunia nyata namun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa. Melalui penggunaan konteks, siswa dilibatkan aktif untuk melakukan kegiatan eksplorasi permasalahan. Hasil eksplorasi siswa tidak hanya bertujuan untuk menemukan jawaban akhir dari permasalahn yang diberikan, tetapi juga diarahkan untuk mengembangkan berbagai strategi penyelesaian masalah yang bisa digunakan. Manfaat lain penggunaan konteks di awal pembelajaran adalah untuk meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa dalam belajar matematika. Pembelajaran yang langsung diawali dengan penggunaan matematika formal cenderung akan menimbulkan kecemasan matematika. 2. Penggunaan model untuk matematisasi progresif Dalam Pendidikan Matematika Realistik, model digunakan dalam melakukan matematisasi secara progresif. Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan dari pengetahuan dan matematika tingkat konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal. 3. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa Matematika tidak diberikan kepada siswa sebagai suatu produk yang siap dipakai tetapi sebagai suatu konsep yang dibangun oleh siswa maka dalam Pendidikan Matematika Realistik siswa ditempatkan sebagai subyek belajar. 4. Interaktivitas Proses belajar seseorang bukan hanya suatuproses individu melainkan juga secara bersamaan merupakan suatu proses sosial. Proses belajar siswa akan menjadi lebih singkat dan bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka. Aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya. 5. Keterkaitan Konsep matematika tidak dikenalkan kepada siswa secara terpisah atau terisolasi satu sama lain. Keterkaitan antar konsep matematika diharapkan bisa mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersamaan. Kelima karakteristik di atas inilah yang menjiwai setiap aktivitas pembelajaran matematika. Pembelajaran PMR, pada umumnya menggunakan pendekatan ‘developmental research’. Freudenthal (Ahmad Susanto, 2013:207)
21
menjelaskan bahwa developmental research adalah pengalaman proses siklus dari pengembangan dan penelitian secara sadar, kemudian dilaporkan secara jelas. Pengalaman ini kemudian dapat ditransfer kepada yang lain menjadi seperti pengalaman sendiri. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa Realistic Mathematic Education (RME) pada permulaan pembelajaran harus dialami secara nyata oleh siswa, pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal-hal yang konkret sesuai realita atau lingkungan yang dihadapi siswa dalam kesehariannya. Ini dimaksudkan matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata. Pembelajaran berawal dari pemecahan masalah yang ada di sekitar siswa dan berdasarkan pada pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa. Siswa harus diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri. Dari pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa Realistic Mathematic Education (RME) merupakan salah satu pendekatan dalam matematika yang menyangkutkan pembelajaran dengan kehidupan nyata. PMR tidak harus selalu menggunakan masalah yang ada dalam kehidupan nyata, tetapi yang terpenting adalah masalah matematika yang bersifat abstrak dapat dibuat menjadi nyata dalam pikiran siswa. Dalam pendidikan matematika realistik, matematika disajikan sebagai suatu proses, sebagai kegiatan manusia, bukan sebagai produk jadi. Unsur menemukan kembali sangat penting. 2.1.3.2 Langkah-langkah pembelajaran RME Dalam Permendiknas RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang standar proses pembelajaran sebaiknya dilakukan melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Dilihat dari sudut pandang Pendidikan Matematika Realistik, menurut Wijaya (2012:28) proses eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi merupakan karakteristik dari Pendidikan Matematika Realistik. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa penerapan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik untuk pembelajaran matematika sejalan dengan kurikulum. Mengenai eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi berdasarkan Pendidikan Matematika Realistik untuk pembelajaran matematika yaitu sebagai berikut:
22
“Kegiatan eksplorasi merupakan fokus dari karakteristik Pendidikan Matematika yang pertama, yaitu penggunaan konteks. Dalam Pendidikan Matematika Realistik, konteks yang digunakan di awal pembelajaran ditujukan untuk titik awal penggunaan konsep matematika dan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi strategi penyelesaian masalah. Selain mendukung kegiatan eksplorasi, penggunaan konteks awal bisa meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam belajar. Hasil kegiatan eksplorasi selanjutnya dikembangkan menuju penemuan dan pengembangan konsep melalui proses elaborasi. Proses terakhir dari rangkaian unsur proses pembelajran adalah proses konfirmasi yang ditujukan untuk membangun argumen untuk menguatkan hasil proses eksplorasi dan elaborasi. Melalui proses konfirmasi, gagasan siswa tidak hanya dikomunikasikan ke siswa lain tetapi juga dapat dikembangkan berdasarkan tanggapan dari siswa lain.” Fauzi (2002:27) mengemukakan langkah-langkah di dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, sebagai berikut. 1. Memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. 2. Menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami. 3. Menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. 4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran. 5. Menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran Realistic Mathematic Education (RME), konteks yang digunakan di awal pembelajaran ditujukan untuk titik awal penggunaan konsep matematika dan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi strategi penyelesaian masalah. Proses elaborasi melalui penemuan dan pengembangan konsep. Proses terakhir dari rangkaian unsur proses pembelajran adalah proses konfirmasi yang 23
ditujukan untuk membangun argumen untuk menguatkan hasil proses eksplorasi dan elaborasi. Melalui proses konfirmasi, gagasan siswa tidak hanya dikomunikasikan ke siswa lain tetapi juga dapat dikembangkan berdasarkan tanggapan dari siswa lain. Langkah-langkah
dalam
Pendekatan
RME
pada
dasarnya
dapat
disimpulkan menjadi 5 langkah yaitu siswa memahami masalah kontekstual yang diberikan guru, guru menjelaskan masalah kontekstual jika siswa mengalami kesulitan, siswa menyelesaikan masalah kontekstual, siswa membandingkan atau mendiskusikan hasil dengan teman atau kelompok, dan siswa memberikan kesimpulan setelah selesai membandingkan atau berdiskusi. (Fauzi, 2002:27) Siswa memecahkan masalah kontekstual sendiri ini dapat memahami masalah dengan baik dan dapat mengingat permasalahan karena mereka yang menemukan. 2.1.3.3 Kelebihan dan Kelemahan RME Menurut Suwarsono (2001:5) berpendapat ada beberapa kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran matematika realistik, yaitu: 1. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia. 2. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut. 3. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian masalah tersebut. 4. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsepkonsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.
24
PMR juga memiliki kelemahan, kelemahan-kelemahan tersebut, antara lain: 1. Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu merupakan syarat untuk dapat diterapkannya PMR. 2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara. 3. Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah. 4. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau prinsipprinsip matematika yang dipelajari. Berdasarkan pemaparan tentang kelebihan dan kekurangan pendekatan Realistic Mathematic Educations yang telah dijelaskan di atas, maka dalam menerapkan pembelajaran guru perlu memperhatikan keadaan siswa. Guru harus siap memberikan informasi dan petunjuk dalam mengerjakan masalah jika siswa belum jelas. Agar pembelajaran dapat berjalan lancar guru harus tahu tentang kemampuan siswa, sehingga dalam pembelajaran guru dapat membuat masalah sesuai dengan kemampuan siswa. 2.1.4 Media Visual 2.1.4.1 Pengertian Media Media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari ”medium” yang secara harfiah berarti ”perantara” atau ”pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan, Sadiman (Sukiman, 2012:27). Menurut Sadiman (Sukiman, 2012:27-28), media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima. Sedangkan Hamzah B dan Nina (2011:122) media adalah segala bentuk alat komunikasi yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dari sumber ke peserta didik. AEC “Association of Education and Communication Technology” (Sukiman, 2012:28) memberi batasan tentang media sebagai segala bentuk dan
25
saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi. Adapun NEA “National Education Association” (Sukiman, 2012:28) mengartikan media sebagai segala benda yang dapat dimanipulasikan; dilihat, didengar, dibaca, atau dibicarakan beserta instrumen yang dipergunakan untuk kegiatan tersebut. Sedangkan menurut Fleming (Sukiman, 2012:28) menyebutkan media dengan istilah mediator yang diartikan sebagai penyebab atau alat yang turut campur tangan dalam dua pihak dan mendamaikannya. Media pendidikan memegang peranan penting dalam pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran yang tepat akan lebih mudah dalam memahami materi pelajaran yang disampaikan. Pengertian media menurut Smaldino, Sharon E, James D Russel, Koher Heinich, & Michael Molenda (2002:9) dalam Parmin (2009:24) adalah sebagai berikut: “A Medium (plural, media) is a means of communication and source of informatian. Derived from the latin word meaning " between " the term refers to anythin that carries information between a source and receiver. Examples include video, television, diagram, printed materials, computers program, and instructor. These are considered instructional media when they provide message with an instructional purpose. The purpose of media is to facilitate communication and learning.” (Media adalah persamaan dari komunikasi dan sumber informasi. Diperoleh dan kata latin disamakan dengan " perantara " tempat penghubung sesuatu yang membawa informasi diantara sumber dan penerima. Yang termasuk contoh antara lain video, televisi, diagram, bahan cetakan, program komputer, dan pengajar. Dengan mempertimbangkan media pembelajaran yang menyediakan pesan untuk tujuan pembelajaran. Tujuan dari media untuk memfasilitasi komunikasi dan pembelajaran). Arsyad (Sukiman, 2012:28) meringkas bahwa media adalah alat yang menyampaikan pesan-pesan pembelajaran. Menurut Anderson (Sukiman, 2012:28) media pembelajaran adalah media yang memungkinkan terwujudnya hubungan langsung antara karya seseorang pengembang mata pelajaran dengan para siswa. Secara umum wajarlah bila peranan guru yang menggunakan media pembelajaran sangatlah berbeda dari peranan seorang guru biasa. Setiap guru harus menggunakan media sebagai alat bantu dalam mengajar. Berdasarkan pendapat ahli dapat disimpulkan media adalah suatu alat yang dapat
26
membantu mempermudah pembelajaran yang akan disampaikan oleh guru. Media sendiri merupakan benda yang dimanipulasikan; dilihat, didengar, dibaca, atau dibicarakan beserta instrumen yang dipergunakan sebagai perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima untuk menyampaikan informasi dari sumber ke peserta didik. 2.1.4.2 Jenis-jenis Media Karena beranekaragamnya media yang dapat dipakai, maka dapat dilakukan berbagai macam penggolongan atas dasar kategori tertentu. Menurut Rudy Bretz (Sukiman, 2012:44-45) mengklasifikasikan media berdasarkan unsur pokoknya yaitu suara, visual dan gerak. Di samping itu, taksonomi Bretz ada 8 kategoriyaitu: (1) media audio visual gerak, (2) media audio visual diam, (3) media audio visual semi gerak, (4) media visual gerak, (5) media visual diam, (6) media visual semi gerak, (7) media audio, dan (8) media cetak. Sejalan dengan perkembangan teknologi media pembelajaran mengalami perkembangan
melalui
pemanfaatan
teknologi
itu
sendiri.
Berdasarkan
perkembangan teknologi Azhar Arsyad (Sukiman, 2012:46) mengklasifikasikan media atas 4 kelompok yaitu (1) media hasil teknologi cetak, (2) media hasil teknologi audio visual, (3) media hasil teknologi berbasis komputer, dan (4) media hasil gabungan teknologi cetak dan komputer. Berdasarkan dari beberapa pengelompokkan yang dikemukakan para ahli dapat dipahami bahwa hingga saat ini belum terdapat suatu kesepakatan tentang klasifikasi media yang baku. Meskipun demikian, pengelompokan media yang sudah ada dapat memberikan informasi tentang spesifikasi media yang sangat perlu diketahui. Pengelompokan media dapat memperjelas perbedaan tujuan penggunaan, fungsi dan kemampuannya, sehingga bisa dijadikan pedoman dalam memilih media yang sesuai untuk suatu pembelajaran tertentu. 2.1.4.3 Pengertian Media Visual Menurut Rinanto (1982:22) yang dimaksud dengan media visual adalah semua media yang bisa dinikmati oleh indra mata dan mampu menumbulkan rangsangan untuk berefleksi. Misalkan: gambar/lukisan, foto-foto, slide, poster, cergam, dan sebagainya. Arsyad (2008:91) berpendapat bahwa Media visual
27
memegang peranan yang sangat penting dalam proses belajar. Media visual dapat memperlancar pemahaman (misalnya melalui elaborasi struktur dan organisasi), memperkuat ingatan, dan juga dapat menumbuhkan minat siswa serta dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata. Menurut Sukiman (2012:85)
media pembelajaran
berbasis visual
adalah media
pembelajaran yang menyalurkan pesan lewat indera pandang/ penglihatan. Ada dua sistem ingatan manusia, satu untuk mengolah simbol-simbol verbal kemudian menyimpannya dalam bentuk proposisi image, dan lainnya untuk mengolah image nonverbal yang kemudian disimpan dalam bentuk proporsi verbal (Sukiman, 2012:31). Menurut Azhar Arsyad (Sukiman, 2012:32) perbandingan perolehan hasil belajar melalui indera pandang dan indera dengar sangat menonjol perbedaannya. Kurang lebih 90% hasil belajar seseorang diperoleh melalui indera pandang dan hanya sekitar 5% diperoleh melalui indera dengar serta 5% lagi dengan indera lainnya. Sementara itu, Edgar Dale memperkirakan bahwa memperoleh hasil belajar melalui indera pandangberkisar 75%, melalui indera dengar sekitar 13% dan melalui indera lainnya sekitar 12%. Dari beberapa uraian di atas dapat dipahami bahwa media visual adalah media yang dapat dilihat oleh mata yang mampu menumbuhkan rangsangan untuk berefleksi, memperlancar pemahaman, memperkuat ingatan, dan menumbuhkan minat siswa, serta dapat memberikan hubungan antara isi materi dengan dunia nyata. Bentuk media visual misalnya gambar, foto, peta, slide, cergram, dan sebagainya. Media visual ini lebih bersifat realistis dan dapat dirasakan oleh sebagian besar panca indera kita terutama oleh indera penglihatan. Media visual ada yang dapat diproyeksikan dan ada pula yang tidak dapat diproyeksikan. 2.1.4.4 Ciri-ciri Media Visual Menurut Gerlach & Ely (Sukiman, 2012:35-37) ciri-ciri media yaitu: 1.
2.
Ciri fiksatif, artinya dapat menangkap, menyimpan, dan menampilkan kembali suatu obyek atau kejadian, dipotret, direkam, difilmkan, kemudian dapat disimpan dan pada saat diperlukan dapat ditunjukkan dan diamati kembali seperti kejadian aslinya. Ciri manipulatif, artinya media dapat menampilkan kembali obyek atau kejadian dengan berbagai macam perubahan (manipulasi) sesuai
28
3.
keperluan, misalnya diubah ukurannya, kecepatannya, warnanya, serta dapat pula diulang-ulang penyajiannya. Ciri distributif, artinya media mampu menjangkau audien yang besar jumlahnya dalam satu kali penyajian secara serempak, misalnya siaran TV atau radio. Di samping itu, menurut Bobbi DePorter dan Mike Hernacki (Sukiman,
2012:34) agar proses belajar dapat efektif perlu disesuaikan dengan tipe atau gaya belajar peserta didik. Gaya belajar adalah kecenderungan seseorang untuk menggunakan cara tertentu dalam belajar sehingga akan dapat belajar dengan baik. Secara umum dikenali tiga macam gaya belajar, yaitu visual, auditorial dan kinestetik. Belajar visual adalah belajar melalui apa yang dilihat, auditorial adalah belajar apa yang didengar, dan kinestetik adalah belajar lewat gerak dan sentuhan. Ciri-ciri gaya belajar visual menurut Bobbi DePorter dan Mike Hernacki (Sukiman, 2012:34) adalah: (1) teliti terhadap yang detail, (2) mengingat dengan mudah apa yang dilihat, (3) mempunyai masalah dengan instruksi lisan, (4) tidak mudah terganggu dengan suara gaduh, (5) pembaca cepat dan tekun, (6) lebih suka membaca daripada dibacakan, (7) lebih suka metode demonstrasi daripada ceramah, (8) bila menyampaikan gagasan sulit memilih kata, (9) rapi dan teratur, dan (10) penampilan sangat penting. Dari ciri-ciri dapat diakatakan gaya belajar yang dimiliki peserta didik harusnya menjadi pertimbangan dari guru dalam memilih dan menggunakan media pembelajaran. Jika di suatu kelas mayoritas peserta didiknya memiliki gaya belajar visual, maka hendaknya guru menggunakan media berbasis visual. Bila mayoritas peserta didiknya memiliki gaya belajar auditorial, maka hendaknya menggunakan media berbasis audio. Jika di suatu kelas kondisi gaya belajar peserta didiknya beragam, maka guru harus menggunakan media pembelajaran bervariasi sesuai dengan gaya belajar peserta didik. Berdasarkan pendapat ahli dapat dipahami bahwa gaya belajar merupakan kecenderungan seseorang untuk menggunakan cara tertentu dalam belajar. Ciriciri dapat dikatakan gaya belajar, ciri-ciri media visual menggunakan indera penglihatan dan media audio menggunakan media pendengaran. Dalam gaya belajar harus disesuaikan dengan keadaan di kelas. Jika mayoritas gaya belajar
29
visual, maka menggunakan media visual dan jika audio maka dengan media audio. Jika gaya belajar peserta didik beragam, maka belajar harus bervariasi. 2.1.4.5 Fungsi dan Manfaat Media Visual Kegiatan pembelajaran melibatkan berbagai komponen, salah satunya yang tidak kalah penting adalah komponen media. Media memiliki fungsi dan kegunaan untuk membantu kelancaran proses pembelajaran dan efektifitas pencapaian hasil belajar. Menurut Levie dan Lentz (Sukiman, 2012:38-39) kushusnya media visual, bahwa media pendidikan memiliki empat fungsi yaitu: 1. Fungsi atensi Media visual merupakan inti yaitu menarik dan mengarahkan perhatian peserta didik untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran. 2. Fungsi afektif Fungsi afektif media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan peserta didik ketika belajar teks yang bergambar gambar atau lambang visual dapat menggungah emosi dan sikap peserta didik, misalnya informasi yang menyangkut masalah sosial atau ras. 3. Fungsi kognitif Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan terkandung dalam gambar. 4. Fungsi kompensatoris Media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa media visual yang memberikan konteks untuk memahami teks membantu peserta didik yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Menurut Arsyad (2008:91) mengemukakan manfaat media visual sebagai berikut: 1. Media bersifat konkrit, lebih realistis dibandingkan dengan media verbal atau non visual sehingga lebih memudahkan dalam pengaplikasiannya. 2. Beberapa penelitian membuktikan bahwa pembelajaran yang diserap melalui media penglihatan (media visual), terutama media visual yang menarik dapat mempercepat daya serap peserta didik dalam memahami pelajaran yang disampaikan. 3. Media visual dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik dan dapat melampaui batasan ruang
30
kelas. Melalui penggunaan media visual yang tepat, maka semua obyek itu dapat disajikan kepada peserta didik. 4. Lebih efektif dan efisien dibandingkan media verbal lainnya karena jenisnya yang beragam, pendidik dapat menggunakan semua jenis media visual yang ada. Hal ini dapat menciptakan sesuatu yang variatif, dan tidak membosankan bagi para peserta didiknya 5. Penggunaannya praktis, media visual ini mudah dioperasikan oleh setiap orang yang memilih media-media tertentu, misalkan penggunaan media Transparansi Overhead Tranparancy (OHT). Berdasarkan pendapat ahli dapat dipahami bahwa media visual dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar. Media visual dapat mengaplikasikan dari bentuk abstrak menjadi bentuk konkret atau nyata. Media visual juga dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung antara peserta didik dan lingkungan, dan kemungkinan peserta didik untuk belajar sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Serta media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera ruang dan waktu. 2.1.4.6 Kriteria Dasar dan Model Pemilihan Media Pembelajaran Menggunakan media harus memperhatikan prinsip pemilihan media terlebih dahulu. Prinsip-prinsip dalam pemilihan media pembelajaran menurut Saud (2009:97) adalah sebagai berikut: (1) tepat guna, artinya media pembelajaran yang digunakan sesuai dengan kompetensi dasar, (2) berdaya guna, artinya media pembelajaran yang digunakan mampu meningkatkan motivasi siswa, dan (3) bervariasi, artinya media pembelajaran yang digunakan mampu mendorong sikap aktif siswa dalam belajar. Prinsip-prinsip
media
yang
dipaparkan
oleh
Saud
tersebut
mengidentifikasikan bahwa media yang tepat guna, berdaya guna, dan bervariasi dapat menjadi media pembelajaran yang baik. Isi media dirancang sesuai dengan desain pembelajaran dapat menjadikan media berkualitas. Media berkualitas akan menumbuhkan ketertarikan peserta didik untuk belajar menggunakan media. Ditambah oleh Sudjana dan Rifai (Sukiman, 2012:50-51) bahwa dalam memilih media sebaiknya guru mempertimbangkan kriteria sebagai berikut:
31
1. Ketepatannya dengan tujuan/ kompetensi yang ingin dicapai. Media dipilih berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan secara umum mengacu pada salah satu atau gabungan dari dua atau tiga ranah kognitif, afektif dan psikomotor. 2. Ketepatan untuk mendukung isi penalaran yang sifatnya fakta, konsep, prinsip, atau generalisasi. 3. Keterampilan guru dalam menggunakan media pembelajaran. 4. Tersedia waktu untuk menggunakan media, sehingga media dapat bermanfaat bagi peserta didik selama pembelajaran berlangsung. Berdasarkan pendapat ahli, peneliti dapat menyimpulkan bahwa guru bukan merupakan sumber belajar satu-satunya di sekolah. Guru harus dapat mengembangkan media pembelajaran sehingga tujuan dari proses belajar mengajar dapat dicapai dengan maksimal. Dalam memilih media untuk pembelajaran harus sesuai dengan taraf berfikir peserta didik, sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahami oleh peserta didik. 2.1.5 Penerapan Pendekatan RME melalui Media Visual sesuai Standar Proses Berdasarkan Permendiknas Nomor 41 (2007:1) pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang dikemas berdasarkan prosedur yang tepat dan sesuai. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis. 1) Kegiatan Pendahuluan Kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. 2) Kegiatan Inti Sesuai Permendiknas No. 14 Tahun 2007 bahwa kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. 3) Kegiatan Akhir Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut.
32
Sesuai dengan Permendiknas No. 41 tahun 2007, implementasi RPP menggunakan Pendekatan RME melalui Media Visual dalam pembelajaran Matematika yang sesuai standar proses adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Implementasi RPP dengan Menggunakan Pendekatan RME melalui Media Visual No.
Kegiatan
1.
Kegiatan Pendahuluan
2.
Kegiatan Inti
3.
Kegiatan Penutup
Penerapan Sesuai Standar Proses a. Menyiapkan siswa secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran. b. Mengajukan pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari. c. Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai. Eksplorasi a. Guru memberi materi pelajaran sedikit. b. Guru memberikan contoh masalah kontekstual dan cara menyelesaikan masalah dengan media visual. Elaborasi a. Guru membagi siswa kedalam kelompok heterogen. b. Guru memberikan masalah kontekstual yang harus dikerjakan oleh kelompok. c. Siswa memahami masalah kontekstual yang diberikan oleh guru melalui lembar kerja siswa. d. Guru membagi media belajar yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan. e. Guru menjelaskan soal dengan memberikan petunjuk tertentu yang belum dipahami siswa. f. Siswa menyelesaikan masalah kontekstual dan menemukan kembali permasalahan yang sama bersama kelompok dan mencatat hasilnya. g. Guru mengamati siswa dan membimbing siswa atau kelompok yang belum mengerti atau tidak paham dengan permasalahannya. Konfirmasi a. Setiap perwakilan dari kelompok membacakan hasil kerja di depan kelas secara bergantian dan kelompok lain menyimak serta. b. Guru memberikan umpan balik positif dan penguatan berdasarkan hasil diskusi siswa dikelas. c. Guru dan siswa membuat kesimpulan bersama sesuai dengan pengetahuan yang telah diperoleh. a. Siswa membuat ringkasan dari materi yang telah dipelajari bersama. b. Guru memberikan tugas rumah menyampaikan rencana pembelajaran untuk pertemuan berikutnya. c. Guru menutup pelajaran.
33
2.2
Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan Penelitian serupa dilakukan oleh Andriani Ika Prasanti dalam skripsinya
dengan judul “Implementasi Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) dengan Menggunakan Kado Pecah (Kartu Domino Pecahan) untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar pada Pokok Bahasan Pecahan Senilai Kelas IV SD N 1 Ampel Kab. Boyolali TA 2011/2012”. Hasil belajar menggunakan pendekatan RME lebih baik dibanding tidak menggunakan pendekatan RME. Hal ini terbukti dengan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar mengalami peningkatan dari rata-rata pretest 56.30 mengalami kenaikan pada rata-rata postest menjadi 70.83, dengan t hitung -6.070 sedangkan t tabel (dk=22) adalah -2, 074. Sedangkan untuk rata-rata motivasi belajar juga mengalami kenaikan dari motivasi awal sebesar 71.65 menjadi 78.21, dengan t hitung -7,681 sedangkan t tabel (dk=22) adalah -2, 074. Penelitian serupa dilakukan oleh Dewi Ratnawati dalam skripsinya dengan judul “ Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Menggunakan Alat Peraga Materi Sifat-sifat Bangun Ruang terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas V SDN 2 Geneng Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Semester II Tahun Ajaran 2011/2012”. Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata postest hasil belajar siswa pada kelompok eksperimen sebesar 83,95 lebih besar dari pada nilai ratarata hasil belajar siswa pada kelompok kontrol sebesar 73,95. Selisih rata-rata antara kelas kontrol dengan kelas eksperimen sebesar 10,00. Sedangkan hasil penelitian dengan analisis data yang dilakukan dengan teknik uji T-test diketahui bahwa nilait adalah 3,373 dengan probabilitas signifikan sebesar 0,002. Berdasarkan hasil uji T-test dan nilai signifikansi 0,002 < 0,05, maka terhadap perbedaan yang signifikan pada pendekatan pembelajaran matematika realistik dengan menggunakan alat peraga daripada pembelajaran tidak menggunakan pembelajaran matematika realistik. Pembelajaran dengan Pendekatan RME merupakan pembelajaran yang sangat cocok untuk mata pelajaran matematika, apalagi pendekatan RME dikaitkan dengan media visual. Dari pendekatan RME yang dikaitkan dengan media visual akan memperjelas pembelajaran, yang sebelum pembelajarannya
34
bersifat abstrak menjadi konkret. Dengan menggunakan pendekatan RME siswa dituntut untuk dapat menemukan kembali atau memecahkan masalah yang sudah pernah dilakukan secara mandiri maupun kelompok. Ini akan membuat siswa lebih memahami yang dipelajari karena dilakukan atau memecahkan masalah secara langsung. Dengan temuan tersebut maka peneliti melakukan penelitian dengan menerapkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan RME melalui media visual pada pelajaran Matematika untuk membuktikan bahwa dengan menggunakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan RME melalui media visual tersebut dapat meningkatkan hasil belajar siswa. 2.3
Kerangka Berpikir Pendekatan
Matematika
Realistik
(PMR)
merupakan
salah
satu
pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada siswa, bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa. Prinsip utama PMR adalah siswa harus berpartisipasi secara aktif dalam proses belajar. Siswa harus diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri. Konsep matematika yang bersifat abstrak perlu ditransformasikan menjadi hal-hal yang bersifat real bagi siswa. PMR tidak harus selalu menggunakan masalah yang ada dalam kehidupan nyata, tetapi yang terpenting adalah masalah matematika yang bersifat abstrak dapat dibuat menjadi nyata dalam pikiran siswa. Dalam pendidikan matematika realistik, matematika disajikan sebagai suatu proses, sebagai kegiatan manusia, bukan sebagai produk jadi. Unsur menemukan kembali sangat penting. Bahan pelajaran disajikan melalui bahan yang sesuai dengan lingkungan siswa. PMR menekankan kepada konstruksi dari konteks benda-benda konkret sebagai titik awal bagi siswa guna memperoleh konsep matematika. Hal ini akan membantu siswa dalam satu kelas untuk ikut terlibat secara aktif dalam pembelajaran dan dalam pemecahan masalah. Selanjutnya dalam kegiatan berkelompok siswa dihadapkan pada permasalahan kontekstual yang harus diselesaikan. Dengan pendekatan RME siswa akan menemukan kembali hasil permasalahan. Siswa menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Hal ini tidak berarti siswa harus
35
menyelesaikan masalah secara sendiri-sendiri. Siswa perlu membangun kerjasama interaktif antar siswa maupun siswa dengan guru agar proses pemecahan masalah dapat diselesaikan dengan lebih baik. Melalui interaksi tersebut diharapkan terjadi proses saling bantu. Dalam menyelesaikan masalah kontekstual, dapat digunakan model berupa benda manipulatif, skema, atau diagram untuk menjembatani kesenjangan antara konkret dan abstrak atau dari abstraksi yang satu ke abstraksi lanjutannya. Setelah menyelesaikan masalah atau menemukan kembali permasalahan, siswa memaparkan hasil pemecahan masalah yang diperoleh kepada teman lain atau kelompok lain. Langkah ini merupakan tempat siswa berkomunikasi dan memberikan gagasan kepada siswa lain. Siswa memproduksi dan mengkonstruksi gagasan mereka, sehingga proses pembelajaran menjadi konstruktif
dan
produktif. Melalui membandingkan hasil temuan masing-masing dengan temuan siswa lain, siswa dapat menyampaikan pendapat (proses pemikiran) untuk menemukan pemecahan yang lebih baik sekaligus media untuk meningkatkan level belajar. Siswa
menyimpulkan
pemecahan
atas
masalah
yang
disajikan
berdasarkan hasil membandingkan dan mendiskusikan jawaban dengan siswa lain. Siswa memformulasikan kesimpulan sebagai proses antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap ini siswa juga merumuskan model yang dibuat sendiri dalam memecahkan masalah. Dengan penggunaan model pendekatan RME ini, siswa akan terlibat aktif dalam pemecahan masalah yang diberikan guru. Dalam proses pembelajaran siswa akan lebih aktif dan bepikir lebih kritis dalam memecahkan masalah. Bagi siswa yang masih kesulitan dalam menemukan kembali permasalahan akan dapat bantuan dari teman kelompok ataupun guru untuk menjelaskannya. Melalui cara ini, akan menjamin keterlibatan siswa dalam pembelajaran yang meliputi kegiatan fisik maupun kegiatan psikis dimana diantaranya terdapat kegiatan melihat, kegiatan berbicara, kegiatan mendengarkan, kegiatan menulis, kegiatan mental, dan kegiatan emosional yang membantu proses belajar siswa lebih maksimal
36
sehingga dapat memacu keaktifan siswa yang akan membantu perbaikan hasil belajar siswa. 2.4
Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang diuraikan, dapat
diajukan hipotesis tindakan sebagai berikut: 1. Diduga melalui Penggunaan Model Pendekatan RME melalui Media Visual dapat meningkatkan Hasil belajar siswa kelas III SD Kanisius Kaliwinong Semester II Tahun Pelajaran 2013/2014. 2. Diduga dengan penerapan Model Pendekatan RME melalui Media Visual dapat meningkatkan Hasil belajar siswa kelas III SD Kanisius Kaliwinong Semester II Tahun Pelajaran 2013/2014. 2.5
Indikator Keberhasilan Indikator keberhasilan adalah tolak ukur keberhasilan dalam tindakan
perbaikan yang telah ditetapkan, sehingga akan memudahkan dalam pengukuran tingkat keberhasilan tindakan yang telah dilakukan. Penelitian ini akan dikatatakan berhasil jika indikator keberhasilan dapat tercapai dengan patokan sebagai berikut: 1. Penelitian berhasil apabila pembelajaran dengan pendekatan RME melalui media visual 80% telah di terapkan dalam pembelajaran matematika pada siswa kelas III SD Kanisius Kaliwinong Bandungan Semester II Tahun Pelajaran 2013/2014. 2. Penelitian berhasil bila hasil belajar Matematika pada siswa kelas III SD Kanisius Kaliwinong Kecamatan Bandungan Semester II Tahun Pelajaran 2013/2014 memperoleh rata-rata nilai sesuai dengan KKM yaitu 65 dan presentase siswa yang tuntas sebanyak 80%.
37