6
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran Berbasis Masalah 2.1.1.1 Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah Membuat siswa berfikir, menyelesaikan masalah, dan menjadi pelajar yang otonom bukan tujuan baru bagi pendidikan. Terdapat banyak model pembelajaran yang merujuk pada tujuan tersebut. Problem based learning (PBL) mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Fokusnya tidak banyak pada apa yang sedang dikerjakan siswa (perilaku mereka) selama mereka mengerjakannya. Meskipun peran guru dalam dalam pembelajaran berbasis masalah kadang seorang guru juga harus melibatkan diri mempresentasikan dan menjelaskan hal kepada siswa, tetapi guru harus sering memfungsikan diri sebagai pembimbing dan fasilitator sehinnga siswa dapat belajar untuk berfikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Pembelajaran berbasis masalah, selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. Pembelajaran berbasis masalah atau disingkat PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah (Ward, 2002; Stepien, dkk.,1993). Lebih lanjut Boud dan felleti, (1997), Fogarty(1997) menyatakan bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pembelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalah-masalah praktis, atau open ended melalui stimulus dalam belajar.
6
7
PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: 1) Belajar dimulai dengan suatu masalah, 2) Memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa, 3) Mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, 4) Bukan diseputar disiplin ilmu, 5) Memberikan tanggung jawab yang besar kepada pembelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, 6) Menggunakan kelompok kecil, dan 7) Menuntut pembelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja. Berdasarkan uraian tersebut tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa atau guru), kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar. Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalamanpengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok, disamping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model PBL dapat memberikan pengalaman yang kaya kepada siswa. Dengan kata lain, penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari.
8
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa PBL adalah suatu metode pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai konteks bagi peserta didik yang menuntut aktivitasnya dalam menyelesaikan suatu masalah secara ilmiah serta memperoleh pengetahuan dan konsep yang baru dari pelajaran. 2.1.1.2 Ciri-ciri Pembelajaran Berbasis Masalah Beberapa ciri penting menurut Brooks, dkk. (dalam Yasa, 2002: 10) dari pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut 1) Tujuan pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan melibatkan pembelajar dalam pola pemecahan masalah,
sehingga pembelajar
diharapkan mampu mengembangkan keahlian belajar dalam bidangnya secara langsung dalam mengidentifikasikan permasalahan. 2) Adanya keberlanjutan permasalahan, dalam hal ini ada dua tuntutan yang harus dipenuhi yaitu: Pertama, masalah harus memunculkan konsep dan prinsip yang relevan dengan kandungan materi yang dibahas. Kedua, permasalahan harus bersifat real sehingga dapat melibatkan pelajar tentang kesamaan dengan suatu permasalahan. 3) Adanya
presentasi
memperesentasikan
permasalahan, permasalahan
pembelajar sehingga
dilibatkan pembelajar
dalam merasa
memiliki permasalahan tersebut. 4) Pengajar berperan sebagai tutor dan fasilitator. Dalam posisi ini maka peran fasilitator adalah mengembangkan kreativitas berpikir para pebelajar dalam bentuk keahlian dalam pemecahan masalah dan membantu pembelajar untuk menjadi mandiri. 2.1.1.3 Merencanakan dan Melaksanakan Pembelajaran Berbasis Masalah 1) Merencanakan Pembelajaran Berbasis Masalah Merencanakan pembelajaran berbasis masalah yang ditandai oleh siswa yang bekerja berpasangan atau dalam kelompok-kelompok kecil untuk
menginvestigasikan
masalah
kehidupan
nyata
yang
membingungkan. Oleh karena itu tipe model pembelajaran berbasis
9
masalah ini sangat interaktif, sebagian orang percaya bahwa perencanaan yang terperinci tidak dibutuhkan, dan mungkin bahkan tidak dibuat. Hal ini sama sekali tidak benar. Pembelajaran berbasis masalah seperti model pembelajaran interaktif lain yang berpusat pada siswa, membutuhkan upaya perencanaan yang sama banyaknya atau bahkan lebih. Perencanaan gurulah yang menfasilitasi perpindahan yang mulus dari satu fase pelajaran berbasis masalah ke fase lainnya dan memfasilitasi pencapaian tujuan instruksional yang diinginkan. a). Memutuskan sasaran dan tujuan Merumuskan tentang sasaran dan tujuan pembelajaran berbasis masalah adalah salah satu di antara tiga pertimbangan penting perencanaan. Sebelumnya kami telah mendeskripsikan bagaimana pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk membantu mencapai tujuan-tujuan seperti meningkatkan keterangan intelektual dan investigatif, memahami peran orang dewasa, dan membantu siswa untuk menjadi pelajar yang mandiri. Sebagian pelajaran pembelajaran berbasis masalah mungkin dimaksudkan untuk mencapai semua tujuan ini secara simultan. Akan tetapi, kemungkinan yang lebih besar adalah guru hanya akan menekankan pada satu atau dua tujuan dalam pelajaran tertentu. Sebagai contoh seorang guru merancang sebuah pelajaran berbasis masalah tentang isu-isu lingkungan. Akan
tetapi,
alih-alih
memerintahkan
siswa
untuk
mensimulasikan peran-peran atau mencari solusi untuk beragam masalah lingkungan di sekitar seperti pada materi “energi alternatif”, guru mungkin memerintahkan siswa untuk melaksanakan sebuah pencarian on-line terhadap topik itu untuk pengembangan lanjut. Untuk selanjutnya siswa harus berfokus pada sebuah tujuan tunggal atau memiliki tujan-tujuan yang luas, penting untuk sebelumnya memutuskan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai sehingga mereka dapat dikomunikasikan dengan jelas kepada siswa.
10
b) Merancang situasi bermasalah yang tepat Pembelajaran bermasalah
berbasis
yang
masalah
membingungkan
didasarkan atau
tidak
bahwa jelas
situasi akan
membangkitkan rasa ingin tahu siswa sehingga membuat mereka tertarik untuk menyelidiki. Merancang situasi bermasalah yang tepat atau merendahkan cara untuk memfasilitasi proses perencanaannya adalah salah satu tugas perencanaan yang sangat tepat bagi guru. Sebagai pengembang pengajaran berbasis masalah percaya bahwa siswa seharusnya berperan besar dalam menetapkan permasalahan yang akan diteliti karena proses ini akan membantu penciptaan rasa memiliki permasalahan itu. Akan tetapi, sebagian lainnya percaya bahwa guru seharusnya membantu siswa menyempurnakan masalah yang sudah diseleksi sebelumnya yang diambil dari kurikulum sekolah dan guru sudah memiliki bahan-bahan dan peralatan yang cukup untuk itu. Sebuah situasi bermasalah yang baik harus memenuhi lima kriteria penting, yaitu: Pertama, situasi mestinya autentik. Hal ini berarti bahwa masalahnya harus dikaitkan dengan pengalaman riil siswa dan bukan dengan prinsip-prinsip disiplin akademis tertentu. Kedua, masalah itu mestinya tidak jelas/ tidak sederhana sehingga menciptakan misteri atau teka-teki. Masalah yang tidak jelas tidak dapat diselesaikan dengan jawaban sederhana dan meliki solisusolusi alternatif, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tentu saja, hal itu memberikan kesempatan untuk berdiskusi, berdialog, dan berdebat. Ketiga, masalah itu seharusnya bermakna bagi siswa dan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual. Keempat, masalah itu mestinya cakupannya luas sehingga memberikan kesempatan kepada guru untuk memenuhi tujuan instruksionalnya, tetap tetap dalam batas-batasnya yang layak bagi
11
pelajarannya dilihat dari segi waktu, ruang, dan keterbatasan sumber daya. Kelima, masalah yang baik harus mendapatkan manfaat dari usaha kelompok, bukan justru dihalanginya. Kebanyakan
situasi
yang
mengandung
teka-teki
mengeksplorasi hubungan sebab-akibat dalam topik tertentu atau menyodorkan pertanyaan “mengapa” atau “bagaimanajika”. 2) Melaksanakan Pembelajaran Berbasis Masalah Ada lima tahapan dalam pembelajaran model pembelajaran berbasis masalah yang dibutuhkan oleh guru. Untuk masing-masing tahapnya disajikan pada tabel 2.1 dibawah ini.
12
Tabel 2.1 Sintaksis untuk PBL Fase
Perilaku Guru
Fase 1 : Memberikan orientasi Guru membalas tujuan tentang permasalahannya pelajaran mendiskripsikan dan kepada siswa memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah Fase 2 : Mengorganisasikan siswa untuk meneliti
Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugastugas belajar yang terkait dengan permasalahannya
Fase 3 : Membantu investigasi Guru mendorong siswa untuk mandiri dan kelompok mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi Fase 4 : Mengembangkan dan mempresentasikan hasil
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan hasil hasil yang tepat seperti laporan, rekaman video, dan model-model dan membantu mereka untuk menyajikan kepada orang lima
Fase 5 : Menganalis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi terhadap investigasinya dan prosesproses yang mereka gunakan
Perilaku yang diinginkan dari guru dan siswa yang berhubungan dengan masing-masing fase, dideskripsikan dengan lebih terperinci dibagian-bagian berikutnya:
13
a) Memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada siswa Pada awal pelajaran PBL, seperti semua tipe pelajaran lainnya, guru seharusnya mengkomunikasikan dengan jelas maksud pelajarannya, membangun sikap positif terhadap pelajaran itu dan mendeskripsikan sesuatu yang diharapkan untuk dilakukan oleh siswa. Untuk siswa yang belum pernah terlibat dalam PBL, guru harus menjelaskan proses-proses dan prosedur-prosedur model itu secara terperinci. b) Mengorganisasikan siswa untuk meneliti PBL mengharuskan guru untuk mengembangkan keterampilan kolaborasi diantara siswa dan membantu mereka untuk menginvestigasi masalah secara bersama-sama. PBL juga mengharuskan guru untuk membantu
siswa
untuk
merencanakan
tugas
investigatif
dan
pelaporannya. c) Perencanaan Kooperatif Setelah siswa menerima orientasi tentang situasi bermasalah yang dimaksud dan telah membentuk kelompok, guru dan siswa harus meluangkan waktu yang cukup untuk menetapkan sub-sub topik, tugastugas investigatif, dan jadwal yang spesifik. Untuk sebagian proyek, tugas perencanaannya adalah membagi situasi bermasalah yang lebih umum menjadi sub-sub topik yang tepat dan kemudian membantu siswa untuk memutuskan sub-sub topik mana yang akan diselidiki. Sebagai contoh dalam pembelajaran berbasis masalah tentang energi panas dan energi bunyi. Tantangan bagi guru di pelajaran ini adalah memastikan bahwa semua siswa terlibat aktif dalam invertigasi dan bahwa hasil gabungan dari investigasi sub topik akan memunculkan solusi yang dapat bekerja untuk situasi bermasalah itu secara umum. d) Investigasi, pengumpulkan data dan eksperimentasi Investigasi yang dilakukan secara berpasangan atau dalam tim-tim kecil adalah inti PBL. Meskipun setiap situasi masalah membutuhkan teknik investigatif yang sedikit berbeda. Kebanyakan melibatkan proses
14
mengumpulkan
data
dan
eksperimentasi.
Pembuatan
hipotesis,
penjelasan dan memberikan solusi. Aspek investigasi ini sangat penting. Langkah inilah yang digunakan guru untuk mendorong siswa mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen mental atau aktual sampai mereka memahami sepenuhnya situasi bermasalahnya. mengumpulkan
informasi
yang
Maksudnya adalah agar siswa cukup
untuk
menciptakan
dan
mengonstruksikan ide-idenya sendiri. Fase pelajaran ini seharusnya lebih dari sekedar membaca tentang masalah itu dalam buku. Guru seharusnya membantu siswa dalam mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, dan mereka seharusnya menyodorkan berbagai pertanyaan untuk membuat siswa memikirkan tentang permasalahan itu dan tentang jenis informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada solusi yang dapat dipertahankan. Siswa akan perlu diajari tentang tata cara menjadi investigator dan cara menggunakan metode-metode yang sesuai dengan permasalahn yang mereka teliti yakni : wawancara, observasi, pengukuran, mengikuti petunjuk, atau catatan. Mereka juga perlu diajari etiket investigasi yang baik. e) Mengembangkan hipotesis, menjelaskan dan memberi solusi Setelah siswa mengumpulkan data yang cukup dan melaksanakan eksperimen terhadap fenomena yang mereka selidiki, mereka akan menawarkan hipotesis, penjelasan ini. Selama fase pelajaran ini, guru mendorong segala macam ide dan menerima sepenuhnya ide-ide itu. Seperti fase pengumpulan data dan eksperimen, guru terus memberikan berbagai pertanyaan yang membuat siswa memikirkan tentang ketakutan hipotesis dan solusi mereka dan tentang kualitas informasi yang telah mereka kumpulkan. Guru mestinya terus mendukung dan memberikan contoh pertukaran ide-ide secara bebas. Dalam mengembangkan hipotesis, menjelaskan dan memberi solusi guru perlu siap di dekat siswa untuk membantunya menemukan bahan-bahan dan mengingatkan tentang
15
tugas yang harus mereka selesaikan. Untuk proyek ini siswa dan guru mungkin ingin membiarkan siswa mengikuti arah dan inisiatifnya sendiri. Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan oleh pakar di atas,
dapat dikatakan
bahwa
pembelajaran
berbasis
masalah
merupakan suatu proses pembelajaran yang mengutamakan tujuan, di dalam
PBL
tujuan
adalah
sangat penting karena menyangkut
permasalahan yang sedang dihadapi siswa, tujuan pembelajaran siswa, dan penilaian. Salah satu cara untuk mengembangkan tujuan adalah menyatakan segala sesuatu yang harus dimiliki oleh para siswa setelah selesai mengikuti pelajaran dalam hal pengetahuan (berkaitan dengan
kandungan
dengan
kemampuan
materi pembelajaran), siswa
mulai
keterampilan
dari mengajukan
(berkaitan pertanyaan,
penyusunan jawaban, pencarian data, dan presentasi), dan sikap (berkaitan dengan pemikiran kritis, keaktifan mendengar, sikap terhadap pembelajaran dan respeknya terhadap argumentasi siswa lain). 2.1.1.4 Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah Langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut: 1) Guru menjelaskan kompetensi yang ingin dicapai dan menyebutkan sarana atau alat pendukung yang dibutuhkan. Memotivasi siswa untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih. 2) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran kemudian memberi tugas atau masalah untuk dipecahkan. Masalah yang dipecahkan adalah masalah yang memiliki jawaban kompleks atau luas. 3) Guru menjelaskan prosedur yang harus dilakukan dan memotivasi siswa agar terlibat secara aktif dalam pemecahan masalah. 4) Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah. 5) Guru membantu siswa menyusun laporan hasil pemecahan masalah yang sistematis.
16
6) Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap eksperimen mereka dan proses-proses yang mereka gunakan. 2.1.1.5 Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Berbasis Masalah 1. Kelebihan pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut: a) Peserta didik memiliki keterampilan penyelidikan dan terjadi interaksi yang dinamis diantara guru dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan siswa. b) Peserta didik mempunyai keterampilan mengatasi masalah. c) Peserta didik mempunyai kemampuan mempelajari peran orang dewasa. d) Peserta didik dapat menjadi pembelajar yang mandiri dan independen. e) Keterapilan berfikir tingkat tinggi, menurut Resnick cirri-ciri berfikir tingkat tinggi adalah: Bersifat non-algoritmatik, artinya jalur tindakan tidak sepenuhnya ditetapkan sebelumnya. Bersifat kompleks, artinya mampu berfikir dalam berbagai perspektif atau mampu menggunakan sudut pandang. f)
Banyak solusi, artinya mampu mengemukakan dan menggunakan berbagai solusi dengan mempertimbangkan keuntungan dan kelemahan masing-masing.
g) Melibatkan banyak kriteria, artinya tidak semua yang menghubung dengan tugas yang ditangani telah diketahui. h) Melibatkan pengajuan diri proses-proses berfikir. i)
Menentukan makna, menemukan struktur dalam sesuatu yang tampak tidak beraturan. Mampu mengidentifikasi pola pengetahuan.
j) 2
Membutuhkan banyak usaha.
Kekurangan Pembelajaran Berbasis Masalah Kekurangan pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut: a)
Memungkinkan peserta didik menjadi jenuh karena harus berhadapan langsung dengan masalah.
b)
Memungkin peserta didik kesulitan dalam memproses sejumlah data dan informasi dalam waktu singkat, sehingga PBL ini membutuhkan waktu yang relatif lama.
17
2.1.2 Pembelajaran IPA 2.1.2.1 Pengertian IPA IPA dapat menjadi mata pelajaran yang menarik di sekolah dasar jika siswa terlibat secara aktif, learning by doing (belajar dengan melakukan) bukannya dengan mendengarkan atau menghafal.
Siswa dapat belajar
dengan baik jika mengalami sendiri apa yang dipelajari (aktivitas dan pikiran). Beberapa cara belajar dalam IPA seperti mengamati, mengukur, mengkoleksi dan mengelompokkan merupakan aktivitas belajar yang dapat menguatkan minat dan keingintahuan siswa. IPA didefinisikan sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara alam. Perkembangan IPA tidak hanya ditandai dengan adanya fakta, tetapi juga oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah. Belajar IPA berbeda dengan belajar mata pelajaran yang lainnya karena dalam belajar IPA membutuhkan ketelitian, ketekunan, dan ketrampilan dalam bentuk teori maupun praktek. Teori maupun praktek merupakan cara belajar yang tepat karena memiliki andil yang cukup besar dalam mempelajari IPA sehingga mencapai hasil belajar yang optimal. Beberapa pengertian lain tentang IPA antara lain 1.
IPA adalah suatu cara mencari tahu tentang alam dan gejala-gejalanya. Ilmuwan menggunakan indera dan berbagai alat untuk mengamati alam dan menggunakan pikiran dan imajinasinya untuk menghasilkan suatu teori dan hipotesis untuk menjelaskan apa yang mereka amati (Howe & Jones, 1993).
2.
Sains tidak hanya kumpulan dari hukum-hukum saja, sebuah katalog tentang fakta-fakta. Tetapi sains adalah suatu kreasi pikiran manusia yang dengan bebas menemukan ide-ide dan konsep-konsep (Albert Einstein & Enfield, 1938).
3.
IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-
18
prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan (Permendiknas No 22 Tahun 2006). Menurut Permendiknas no 22 tahun 2006, pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan
pada
pemberian
mengembangkan kompetensi agar
pengalaman
langsung
untuk
menjelajahi dan memahami alam
sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Di tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan pembelajaran Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat) yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana. Siswa dapat membangun pengetahuannya dari pengalaman yang dia alami sendiri baik melalui tindakan melakukan (hands on) maupun berpikir (minds on). Gagasan bahwa orang membangun pengetahuannya dari pengalaman dan pemikirannyanya sendiri disebut konstruktivisme. Kaum konstruktivis percaya bahwa pemahaman nyata yang baik hanya terjadi saat siswa berpartisipasi secara penuh dalam mengembangkan pengetahuannya sendiri. Proses pembelajaran merupakan transformasi pengetahuan lama menuju pengetahuan baru, sebuah proses yang memerlukan tindakan dan refleksi dari si pembelajar. Kebalikan dari gagasan ini adalah bahwa siswa belajar dengan menyerap apa yang dikatakan. 2.1.2.2 Tujuan Pembelajaran IPA Menurut Howe & Jones (1993), tujuan pembelajaran IPA adalah: a.
Mengembangkan dan mempertahankan keingintahuan tentang alam sekitar.
19
b.
Mengamati dan menjelajahi lingkungannya dan mengorganisasi pengalamannya.
c.
Mengembangkan
keterampilan
teknis
dan
intelektual
yang
dibutuhkan dalam tingkat lebih lanjut. d.
Membangun dasar pengalaman dalam mema-hami konsep IPA yang penting.
e.
Menghubungkan apa yang mereka pelajari di sekolah dengan kebutuhan hidupnya. Permendiknas no 22 tahun 2006 mengenai Standar Isi memuat
tujuan Pelajaran IPA di SD/MI. Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: a.
Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaanNya.
b.
Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
c.
Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip
dan kesadaran
tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat. d.
Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.
e.
Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
f.
Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan .
g.
Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs. Menurut (Sumantri, 2001: 33) juga menyebutkan bahwa Tujuan
pembelajaran IPA bagi peserta didik agar peserta didik memiliki berbagai kemampuan. Kemampuan tersebut diantaranya sebagi berikut:
20
a.
Memperoleh keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
b.
Mengembangkan konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat di terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
c.
Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya
hubungan
yang
saling
mempengaruhi
antara
IPA,
lingkungan, teknologi, dan masyarakat. d.
Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan. Kesimpulan dari beberapa tujuan IPA yaitu belajar IPA tidak
hanya menimbun pengetahuan, tetapi harus dikembangkan serta diaplikasikan kedalam bentuk yang bermanfaat dalam kehidupan seharihari. 2.1.2.3 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Adapun standar kompetensi dan kompetensi dasar kelas IV, Semester Genap mata pelajaran IPA di sekolah dasar adalah sebagai berikut : Tabel 2.2 kompetensi IPA sekolah Dasar semester II tahun ajaran 2011/2012 Kelas
Standar kompetensi
Kompetensi dasar
IV
Memahami berbagai
Menjelaskan berbagai
bentuk energi dan cara
energi alternatif dan cara
penggunaannya dalam
penggunaannya.
kehidupan sehari-hari. 2.1.3 Pembelajaran IPA Dengan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Pembelajaran IPA harus menarik mungkin sehingga siswa termotivasi untuk semangat belajar. Diperlukan model pembelajaran interaktif sesuai karakteristik siswa. Guru dituntut merancang proses
21
belajar mengajar yang melibatkan siswa secara integratif dan komprehensif pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sehingga tercapai hasil belajar. Agar hasil belajar IPA meningkat diperlukan situasi, cara, dan strategi pembelajaran yang tepat untuk melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar mengajar. Adapun sesuai perkembangan tingkat usia anak dalam hal ini siswa kelas IV adalah pembelajaran berbasis masalah. Banyak manfaat dari pembelajaran berbasis masalah yaitu siswa lebih
aktif
dalam
mengutarakan
pendapatnya
dan
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan. Untuk mendapatkan inspirasi dan pemahaman yang dapat mempengaruhi sikap, nilai, dan persepsinya. Untuk mendalami isi mata pelajaran yang dipelajari. Untuk bekal terjun kemasyarakat dimasa mendatang sehingga siswa dapat membawa diri menempatkan diri, menjaga dirinya sehingga sudah tidak asing lagi apabila dalam kehidupan bermasyarakat. Model ini tepat digunakan pada kelas yang kreatif, peserta didik yang berpotensi akademik tinggi namun kurang cocok diterapkan pada peserta didik yang perlu bimbingan tutorial. Model ini sangat potensial untuk mengembangkan kemandirian peserta didik melalui pemecahan masalah. 2.1.4 Hasil Belajar 2.1.4.1 Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar terdiri dari dua kata yaitu hasil dan belajar. . Hasil dapat disebabkan karena adanya: 1) Kebiasaan: seperti : peserta didik belajar bahasa berkali – kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia berbicara dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar.
22
2) Keterampilan : seperti Menulis dan berolahraga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan – keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi 3) Pengamatan : yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera – indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar. Sedangkan
belajar
merupakan
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Sedangkan pengertian belajar yang dikemukakan Slameto (2003: 2) dalam Susmiyatun (2009: 7) mengemukakan bahwa belajar ialah “suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Pengertian hasil dan belajar yang telah dikemukakan, pada dasarnya bahwa hasil mempunyai arti yang berbeda-beda. Hasil merupakan suatu bentuk penilaian. Bentuk penilaian dan suatu kebutuhan mengatasi ini merupakan satu kepaduan bahwa dalam proses mengatasi suatu hal dimana hal tersebut dapat teratasi melalui suatu penilaian. Hal tersebut bisa berupa hambatan-hambatan yang ditemukan saat penelitian atau dalam proses pembelajaran berlangsung, kemudian melatih kekuatan, berusaha melakukan sesuatu yang sulit dengan baik dan secepat mungkin untuk siwa. Sebagai suatu perubahan dari proses kebutuhan untuk mengatasinya maka adanya suatu penilaian yang berbentuk penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan murid yang berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang diajarkan dan nilai-nilai yang terdapat di dalam kurikulum yang berlaku. Sedangkan pengertian belajar yang telah dikemukakan pada dasarnya belajar mengacu pada suatu proses perubahan. Perubahan yang dimaksudkan perubahan tingkah laku secara pribadi serta perubahan dalam penguasaan materi ilmu pengetahuan terutama dalam
23
bidang pendidikan. Perubahan disini terpengaruh dan terjadi karena adanya latihan dan pengalaman baik pengalamannya sendiri maupun dalam interaksi dengan lingkungan. Belajar pada dasarnya untuk mengembangkan pribadi manusia bukan hanya sekedar mencerdaskan manusia belaka, namun menjadi manusia yang berkepribadian yang luhur itulah hakekat sebuah belajar. Dalam mengembangkan manusia seutuhnya itu melibatkan unsur-unsur cipta atau membuat sesuatu, rasa/perasaan, karsa/keinginan, kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengukur hasil belajar dimana tujuannya terjadi suatu perubahan dalam keterampilan berbahasa siswa sehingga dapat menjadi manusia yang terampil berbahasa dan peningkatan nilai hasil belajar siswa melalui latihan dan pengalaman dengan interaksi siswa dengan lingkungan belajar. Hasil belajar yang dapat diukur mengenai penguasaan siswa terhadap materi yang telah diberikan sehingga dapat meningkatkan nilai hasil belajar siswa tersebut. Hasil belajar yang diberikan berupa tes ulangan harian yang dilaksanakan pada akhir siklus pembelajaran. Menurut Damiyati dan Mudjiono (1999), hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Menurut Nasution (1996), hasil belajar adalah kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berpikir, merasa dan berbuat. Hasil belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yaitu kognitif, afektif,
dan
psikomotor.
Menurut
Nurkancana
(1990:11),
mendefinisikan hasil belajar adalah suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai keberhasilan seseorang untuk menentukan nilai keberhasilan belajar seseorang setelah ia mengalami proses belajar selama satu periode tertentu. Salim (2000:190) mengemukakan bahwa
24
hasil belajar adalah penguasaan pengetahuan keterampilan terhadap mata pelajaran yang dibuktikan melalui hasil tes. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil akhir dari proses kegiatan belajar siswa dari seluruh kegiatan siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas untuk memperoleh tujuan tertentu dan proses perubahan individu yang terjadi sebagai hasil latihan dan pemahaman yang dipengaruhi oleh kognitif, afektif, dan psikomotor. 2.1.4.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor dari dalam diri siswa dan faktor yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Menurut
Slameto
(2003:54-72),
faktor-faktor
yang
mempengaruhi hasil belajar adalah : 1). Faktor-faktor Internal Faktor-faktor internal yang mempengaruhi hasil belajar meliputi:
Jasmaniah
(kesehatan,cacat
tubuh),
Psikologis
(intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesepian), Kelelahan. 2). Faktor-faktor Eksternal Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar meliputi: Keluarga (cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, latar belakang kebudayaan), Sekolah (metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, tugas rumah), Masyarakat (kegiatan siswa dalan masyarakat, teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat).
25
Menurut Caroll dalam R. Angkowo dan A, Kosasih (2007:51), bahwa hasil belajar siswa dipengaruhi oleh lima faktor yaitu a.
Bakat belajar
b.
Waktu yang tersedia untul belajar
c.
Kemampuan individu
d.
Kualitas pengajaran
e.
Lingkungan
Clark dalam Nana Sudjana & Ahmad Rivai (2001:39) mengungkapkan bahwa hasil belajar siswa di sekolah 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan. Sedangkan menurut Sardiman (2007:39-47), faktor-faktor yang mempengaruhi belajar adalah faktor intern (dari dalam) diri siswa dan faktor ekstern (dari luar) siswa. Berkaitan dengan faktor dari dalam diri siswa, selain faktor kemampuan, ada juga faktor lain yaitu motivasi, minat, perhatian, sikap, kebiasaan belajar, ketekunan, kondisi sosial ekonomi, kondisi fisik dan psikis. Kehadiran faktor psikologis dalam belajar akan memberikan andil yang cukup penting. Faktor-faktor psikologis akan senantiasa memberikan landasan dan kemudahan dalam upaya mencapai tujuan belajar secara optimal. Thomas F. Staton dalam Sardiman (2007:39) menguraikan enam macam faktor psikologis yaitu (1) motivasi, (2) konsentrasi, (3) reaksi, (4) organisasi, (5) pemahaman, (6) ulangan.Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa adalah faktor internal siswa antara lain kemampuan yang dimiliki siswa tentang materi yang akan disampaikan, sedangkan faktor eksternal antara lain strategi pembelajaran yang digunakan guru di dalam proses belajar mengajar. 2.1.5 Penilaian Hasil Belajar Hasil belajar dapat diukur melalui tes yang sering dikenal dengan tes hasil belajar. Testing pada hakikatnya menggali informasi yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Tes hasil belajar berupa tes yang disusun secara terencana
untuk mengungkap performasi maksimal subyek dalam
menguasai bahan-bahan atau materi yang telah diajarkan. Dalam kegiatan
26
pendidikan formal tes hasil
belajar itu dapat berbentuk ulangan harian, tes
formatif, tes sumatif, bahkan ebtanas dan ujian-ujian sekolah. Teknik penilaian dalam hasil
belajar dilaksanakan untuk mengukur
keberhasilan siswa dalam belajar. Penilaian hasil belajar sebagai dasar dalam patokan nilai siswa dalam penguasaan materi pelajaran. Penilaian prestasi belajar biasanya menggunakan patokan nilai dimana patokan nilai tersebut sebagai pedoman untuk mengukur batas ketercapaian atau ketuntasan siswa dalam belajar. Siswa akan dikatakan mencapai batas ketuntasan belajar jika siswa tersebut mencapai nilai sesuai dengan batas ketuntasan yang telah ditentukan. Siswa yang belum mencapai nilai batas ketuntasan biasanya diadakan remidial atau perbaikan nilai. Penilaian prestasi belajar biasanya dilakukan setiap akhir proses pembelajaran. Dalam penelitian ini, penilaian hasil belajar akan diambil setelah akhir proses pembelajaran yaitu pada akhir siklus dalam bentuk ulangan harian. 2.2
Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Pada dasarnya suatu penelitian yang akan dibuat dapat memperhatikan
penelitian lain yang dapat dijadikan rujukan dalam mengadakan penelitian. Adapun penelitian terdahulu yang hampir sama diantaranya sebagai berikut: Safitri Puspita (2009) melakukan penelitian yang berjudul . “Penggunaan Model Berbasis Masalah untuk meningkatkan hasil belajar kelas IV SD Negeri Kedungwundu 02 Bogorejo”. Dari hasil penelitian pada siklus I ini dapat menunjukkan rata-rata skor aktivitas siswa 2,7 dengan kriteria cukup baik, kemudian pada siklus II mengalami peningkatan menjadi 3,4 dengan kriteria sangat baik. Selain aktivitas siswa, aktivitas gurupun juga mengalami peningkatan yang cukup baik, pada siklus I rata-rata yang diperoleh untuk aktivitas guru 2,5 dengan kriteria baik, kemudian pada siklus II meningkat menjadi 3,2 dengan kriteria sangat baik. Hasil belajar IPA pada tes awal sebelum siklus diperoleh ratarata 53 dengan ketuntasan belajar yang diperoleh 40%, pada siklus I rata-rata yang diperoleh 55 dengan ketuntasan belajar klasikal 50%. Pada siklus II terjadi peningkatan hasil belajar dengan nilai rata-rata 70 dengan ketuntasan belajar
27
klasikal 70%. Pada siklus III hasil belajar juga meningkat dengan nilai rata-rata 81 dengan ketuntasan belajar klasikal 89%. Ini berarti diakhir siklus III sudah menunjukkan ketuntasan belajar klasikal sesuai dengan indikator keberhasilan penelitian. Disimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah (problem based instruction) dapat meningkatkan aktivitas siswa dan guru serta hasil belajar siswa. Aan Hasanah (2005) melakukuan penelitian yang berjudul “Mengembangkan Kemampuan
Pemahaman
Dan Kemampuan
Penalaran Matematik
Siswa
Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Yang Menekankan Pada Representasi Matematik”. Penelitian ini merupakan studi eksperimen di SMP Negeri 6 Cimahi dengan subyek populasinya adalah seluruh siswa SMP dan mengambil 2 sampel kelas II SMP Negeri 6 Cimahi secara acak dari 11 kelas yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1)
kemampuan
pemahaman matematik pada kelompok
siswa
yang
memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan menekankan representasi matematik
lebih
baik
daripada
kelompok
siswa
yang memperoleh
pembelajaran biasa; (2) kemampuan penalaran matematik kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan menekankan representasi matematik lebih baik daripada kelompok yang memperoleh pembelajaran biasa; (3) Terdapat korelasi yang signifikan antara kemampuan pemahaman dan penalaran matematik; (4) sikap siswa pada kelompok eksperimen terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan menekankan representasi matematik adalah positif; (5) pada kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan menekankan representasi matematik siswa lebih aktif belajar daripada kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Susilawati (2005), meneliti tentang “Penerapan Problem Based Learning Dalam Upaya
Meningkatkan Kemampuan Mengajukan Dan Memecahkan
Masalah Matematika Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri Di Bandung”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: kemampuan siswa mengajukan dan memecahkan masalah matematika sebelum pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning, telah ada namun masih tergolong rendah, hal ini terlihat
28
dari kecilnya persentase pengajuan dan pemecahan masalah matematika terselsaikan mengandung informasi baru. Melalui penerapan pembelajaran problem based learning kemampuan siswa mengajukan dan memecahkan masalah matematika mencapai kriteria hasil belajar yang baik, secara kualitas terdapat perbedaan yang signifikan antara siswa yang pembelajarannya dengan
pendekatan
problem-based
learning
dan
yang menggunakan
pembelajaran dengan pendekatan biasa. Hal ini nampak dari besarnya jumlah respon siswa mengajukan dan memecahkan masalah matematika yang berkualifikasi tinggi. Secara umum siswa memiliki sikap positif terhadap pembelajaran dengan pendekatan problem based learning, demikian pula sikap terhadap pengajuan dan pemecahan masalah matematika menunjukkan sikap positif. Sikap positif ini menjadi faktor pendukung siswa dalam upaya meningkatkan proses dan keberhasilan dalam belajar matematika. Permana
(2005) dalam penelitiannya
mengembangkan Kemampuan Penalaran SMA
Melalui Pembelajaran
yang berjudul
“Bagaimana
Dan Koneksi Matematik Siswa
Berbasis Masalah” . Dia menemukan
bahwa
kemampuan penalaran dan koneksi matematik siswa SMA melalui pembelajaran berbasis masalah lebih baik dibandingkan dengan melalui pembelajaran biasa. Selain itu, siswa bersikap positif terhadap pembelajaran berbasis masalah, guru memberikan
pandangan yang
positif,
dan
siswa
aktif
selama
proses
pembelajaran berbasis masalah. Dengan kata lain pembelajaran berbasis masalah
berhasil menciptakan
suasana belajar
yang
lebih kondusif
dibandingkan dengan pembelajaran biasa dalam hal pengembangan kemampuan penalaran dan koneksi matematik, membangun sikap yang positif, meningkatkan keterlibatan siswa, dan belajar. Penelitian-penelitian tersebut di atas walaupun berbeda akan tetapi masih berhubungan dengan penelitian ini. Dengan demikian penelitian di atas mendukung penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Safitri Pusipita menggunakan jenis PTK, penelitian yang dilakukan oleh Aan Hasanah menggunakan jenis pengembangan, penelitian yang dilakukan oleh Susilawati menggunakan jenis PTK dan penelitian yang dilakukan oleh Permana adalah
29
pengembangan sedangkan dalam penelitian yang saya lakukan menggunakan jenis eksperimen. Pada penelitian yang peneliti lakukan menekankan penggunaan model pembelajaran berbasis masalah terhadap hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN 3 Jepon Kecamatan Jepon Kabupaten Blora. 2.3 Kerangka Berfikir Untuk mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran berbasis masalah terhadap hasil belajar IPA kelas IV SD Negeri 3 Jepon, dalam pembelajarannya harus menarik sehingga siswa termotivasi untuk belajar. Diperlukan model pembelajaran interaktif dimana guru lebih banyak memberikan peran kepada siswa sebagai subjek belajar, guru mengutamakan proses daripada hasil. Guru merancang proses belajar mengajar yang melibatkan siswa secara integratif dan komprehensif pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik sehingga tercapai hasil belajar. Agar hasil belajar IPA meningkat diperlukan situasi, cara dan strategi pembelajaran yang tepat untuk melibatkan siswa secara aktif baik pikiran, pendengaran, penglihatan, dan psikomotor dalam proses belajar mengajar. Adapun pembelajaran yang tepat untuk melibatkan siswa secara totalitas adalah pembelajaran dengan Problem Based Learning. Pembelajaran dengan model Problem Based Learning adalah suatu model pembelajaran dimana sebelum proses belajar mengajar didalam kelas dimulai, siswa terlebih dahulu diminta mengobservasi suatu fenomena yang ada di lingkungan sekitar. Kemudian siswa diminta untuk mencatat permasalahan yang muncul, serta mendiskusikan permasalahan dan mencari pemecahan masalah dari permasalahan tersebut. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang untuk berpikir kritis dan kreatif dalam memecahkan masalah yang ada serta mengarahkan siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan perspektif yang berbeda diantara mereka. Dalam pembelajaran berlangsung terdapat dua kelas yang dapat membedakan antara kelas yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah disebut kelas eksperimen dan kelas yang tidak menggunakan model pembelajaran
30
berbasis masalah kelas kontrol. Untuk kelas yang tidak menggunakan model pembelajaran berbasis masalah biasanya guru menggunakan model pembelajaran yang konvensional dengan ceramah. Dengan model pembelajaran yang konvensional hasilnya kurang maksimal dikarenakan siswa merasa bosan mendengarkan ceramah dari guru. Sedangkan kelas eksperimen atau kelas dalam proses pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah hasilnya akan lebih baik dibanding dengan pembelajaran yang konvensional dikarenakan siswa akan lebih aktif bertanya, menemukan atau dapat menyelesaikan masalah yang ada. Model pembelajaran berbasis masalah memberikan ruang gerak kepada siswa untuk menyelami setiap persoalan yang mereka hadapi, baik secara perorangan maupun kelompok serta memberikan alternatif-alternatif penyelesaian masalah yang mereka hadapi. Proses PBL ini diawali dari pencermatan terhadap masalah, mengidentifikasi masalah, merumuskan masalahnya, dan membuat dugaan-dugaan sementara terhadap masalah kemudian membuat kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan. Proses pembelajaran semacam ini, tidak dijumpai dalam pembelajaran yang konvensional,
di
mana
peserta
didik
hanya
dituntut
untuk
mendengarkan, menghafal isi bacaan tanpa mampu membandingkannya dengan pengetahuan
awal maupun
pengalaman-pengalaman
yang
dimiliki
oleh
peserta didik. Adapun kerangka berpikir yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini mengikuti alur sebagai berikut:
31
Gambar 2.3 : Karangka Pikir Kelas Kontrol
Pretest
Pembelajaran konvensioanal menggunakan model ceramah
Hasil pretest tidak boleh ada perbedaan yang signifikan
Kelas Eksperimen
Pretest
Postest
Uji beda hasil apakah ada pengaruh yang signifikan dengan menggunakan PBL
Pembelajaran Berbasis Masalah
Postest
2.4 Hipotesis Penelitian Dari rumusan masalah didapatkan hipotesis penelitian yaitu: H0 : Tidak terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara pembelajaran IPA yang dilaksanakan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan model pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar siswa kelas IV SDN 3 Jepon Kecamatan Jepon Kabupaten Blora semester II tahun ajaran 2011/2012. Ha: Terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara pembelajaran IPA yang dilaksanakan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan model pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar siswa kelas IV SDN 3 Jepon semester II Kecamatan Jepon Kabupaten Blora semester II tahun ajaran 2011/2012.