BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Kajian Teori
2.1.1 Pembelajaran Kooperatif 2.1.1.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran Kooperatif merupakan istilah umum untuk sekumpulan strategi pengajaran yang dirancang untuk mendidik kerja sama kelompok dan interaksi antar siswa. Menurut Davidson dan Warsham dalam Isjoni (2011: 28), Pembelajaran Kooperatif adalah model pembelajaran yang mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang berefektifitas yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademik. Lebih khusus, Slavin dalam Sanjaya (2006: 240) menyatakan bahwa Pembelajaran Kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen. Jadi dalam model pembelajaran kooperatif ini, siswa bekerja sama dengan kelompoknya untuk menyelesaikan
suatu
permasalahan.
Oleh
karena
itu,
siswa
akan
bertanggungjawab atas belajarnya sendiri dan berusaha menemukan informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan pada mereka. Dalam Model Pembelajaran Kooperatif, siswa dikondisikan untuk belajar secara berkelompok. Pembentukan kelompok disini diupayakan terbentuk kelompok yang heterogen. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibrahim (2000) dalam Yusiriza (2011) yang menyatakan bahwa Model Pembelajaran Kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang heterogen dan dikelompokkan dengan tingkat kemampuan yang berbeda. Model Pembelajaran Kooperatif ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut 1) siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya; 2) kelompok siswa terdiri dari siswa-siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah; 3) jika di dalam kelas terdapat siswa-siswa yang terdiri dari beberapa ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda maka diupayakan dalam setiap
7
8
kelompok terdiri dari ras, suku, budaya dan jenis kelamin yang berbeda pula; dan 4) penghargaan lebih diutamakan pada kerjasama kelompok daripada perorangan. Anita Lie (2004:12) menyatakan bahwa Model Pembelajaran Kooperatif atau disebut juga dengan Pembelajaran Gotong-Royong merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang terstruktur. Lebih Dampak dari penerapan model pembelajaran ini sesuai dengan Pendapat Trianto (2007) yang menyatakan bahwa Pembelajaran Kooperatif memiliki dampak positif bagi siswa yang hasil belajarnya rendah sehingga mampu memberikan peningkatan hasil belajar yang signifikan. Pembelajaran Kooperatif bertujuan untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok serta memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya. Selain itu, Stahl (2009) dalam Isjoni (2011) menyatakan dengan melaksanakan Model Pembelajaran Kooperatif, siswa memungkinkan dapat meraih keberhasilan dalam belajar dan juga dapat melatih siswa untuk memiliki ketrampilan baik ketrampilan berpikir (thinking skill) maupun ketrampilan sosial (social skill) seperti ketrampilan untuk mengemukakan pendapat, aktif bertanya, menerima saran dan masukan dari orang lain, bekerja sama, rasa setia kawan, dan mengurangi perilaku yang menyimpang di kelas. Akibatnya, Anita Lie (2008) dalam Isjoni (2011) menyatakan bahwa Model Pembelajaran Kooperatif akan dapat menumbuhkan pembelajaran efektif yaitu pembelajaran yang bercirikan saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, interaksi promotif, komunikasi antar anggota dan pemrosesan kelompok. Berdasarkan uraian di atas, dari beberapa pendapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang mengutamakan pembentukan kelompok
yang
bertujuan untuk
menciptakan pendekatan
pembelajaran yang lebih efektif dalam proses pembelajaran.
9
2.1.1.2 Tujuan Pembelajaran Kooperatif Menurut Slavin dalam Sanjaya (2006 : 240) memgemukakan dua alasan tujuan Pembelajaran Kooperatif yaitu 1) beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri dan 2) Pembelajaran Kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berfikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan. Dua alasan tersebut, maka Pembelajaran Kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang dapat memperbaiki sistem pembelajaran yang selama ini memiliki kelemahan. Menurut Widyantini (2006: 4) tujuan Pembelajaran Kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya serta pengembangan keterampilan sosial. Johnson & Johnson dalam Trianto (2010: 57), menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok. Louisell dan Descamps dalam Trianto (2010: 57) juga menambahkan, karena siswa bekerja dalam suatu tim, maka dengan sendirinya dapat dapat memperbaiki hubungan diantara para siswa dari latar belakang etnis dan kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses dan pemecahan masalah. Menurut Ibrahim (2000), Pembelajaran Kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap individu, pengembangan keterampilan sosial. Menurut Barba (1995) dalam Susanto (2011), belajar kooperatif adalah strategi pembelajaran kelompok kecil yang digunakan untuk 1) meningkatkan kemampuan akademik melalui kolaborasi kelompok; 2) memperbaiki hubungan antar siswa yang berbeda latar belakang etnik dan kemampuannya; 3) mengembangkan ketrampilannya untuk memecahkan masalah melalui kelompok dan 4) mendorong proses demokrasi di kelas.
10
Uraian diatas dapat disimpulkan bahawa tujuan Pembelajaran Kooperatif adalah untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa, dan memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa lainnya. Akibatnya hasil akademik siswa dapat meningkat dan menanamkan ketrampilan sosial. Selain itu, siswa dikondisikan untuk dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah baik individu maupun kelompok dimana masalah yang diberikan seperti permasalahan yang dihadapi sehari-hari.
2.1.1.3 Karakteristik Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran Kooperatiif berbeda dengan strategi pembelajaran lainnya. Perbedaan tersebut dilihat dari proses kerja sama kelompok, kerja sama inilah yang menjadi ciri khas dari pembelajaran kooperatif Slavin dalam Sanjaya (2006, 242). Memiliki karakteristik antara lain : 1.
Pembelajaran Secara Tim Tim
merupakan
tempat
untuk
mencapai
tujuan.
Tim
harus
mampu membuat setiap siswa belajar. Semua anggota tim (anggota kelompok) harus saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Artinya, anggota kelompok bersifat heterogen yang memiliki kemampuan akademik, jenis kelamin, dan latar belakang yang berbeda. 2.
Didasarkan pada Menajemen Kooperatif Mempunyai empat pokok yaitu fungsi perencanaan, fungsi organisasi, fungsi pelaksanaan, dan fungsi kontrol. Fungsi perencanaan menunjukan bahwa pembelajaran kooperatif memerlikan perencanaan yang matang agar proses pembelajaran berjalan efektif, misalnya tujuan apa yang akan dicapai, bagaimana mencapainya, apa yang harus digunakan untuk mencapainya tujuan itu. Fungsi pelaksanaan menunjukan bahwa pembelajaran kooperatif harus dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, melalui langkah-langkah dan ketentuan
pembelajaran
yang
sudah
disepakati.
Fungsi
organisasi
menunjukan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pekerjaan bersama antar setiap anggota kelompok, sebab itu perlu diatur tugas dan tanggung jawab
11
kelompok. Fungsi kontrol menunjukan pembelajaran kooperatif perlu di tentukan kriteria keberhasilan melalui tes maupun non tes. 3.
Kemampuan untuk Bekerja Sama Keberhasilan
pembelajaran
kooperatif
ditentukan
oleh
keberhasilan
kelompok. Prinsip kerja sama perlu ditekankan dalam proses pembelajaran kooperatif. 4.
Keterampilan Bekerja Sama Kemampuan bekerja sama dipratikan melalui aktivitas dan kegiatan yang tergambarkan dalam keterampilan bekerja sama. Siswa perlu di dorong untuk mau dan sanggup berkomunikasi dan berkomunikasi, sehingga siswa dapat menyampaikan ide, mengemukakan pendapat, dan memberikan kontribusi atas keberhasilan kelompok.
2.1.1.4 Prinsip Dasar dalam Pembelajaran Kooperatif Menurut Nur (2000), prinsip dasar dalam Pembelajaran Kooperatif adalah 1.
Setiap anggota kelompok (siswa) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan dalam kelompoknya
2.
Setiap anggota kelompok (siswa) harus mengetahui bahwa semua anggota kelompok mempunyai tujuan yang sama
3.
Setiap anggota kelompok (siswa) harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya
4.
Setiap anggota kelompok (siswa) akan dikenai evaluasi
5.
Setiap anggota kelompok (siswa) berbagi kepemimpinan dan membutuhkan ketrampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya
6.
Setiap anggota kelompok (siswa) akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif
2.1.1.5 Ciri - Ciri Pembelajaran Kooperatif Ciri-ciri pembelajaran kooperatif menurut Nur dan Widyantini (2006) dalam Nico (2011) adalah sebagai berikut
12
1.
Siswa dalam kelompok bekerja sama menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai
2.
Kelompok dibentuk secara heterogen
3.
Penghargaan lebih diberikan kepada kelompok dan bukan kepada individu Menurut Arend (2004) dan Risnawati (2005) dalam Santoso (2011)
menyatakan bahwa pembelajaran yang menggunakan metode kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut. 1.
Siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya
2.
Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
3.
Bila mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, suku, budaya dan jenis kelamin yang berbeda-beda.
4.
Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok dari pada individu Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan ciri-ciri dari
Pembelajaran Kooperatif adalah lebih mengutamakan siswa belajar dan berkerja sama dalam kelompok untuk memberikan kesempatan pada siswa untuk berpendapat berinteraksi dan memecahkan masalah bersama dengan siswa lain dalam melakukan pembelajaran di kelas.
2.1.1.6 Unsur – Unsur Pembelajaran Kooperatif Menurut Roger dan David Johnson dalam Santoso (2011) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok dapat dianggap Cooperative Learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran gotong royong harus ditetapkan. 1.
Saling ketergantungan positif Dalam berkelompok, setiap orangnya pasti saling ketergantungan karena untuk menciptakan kelompok kerja kelompok yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain bisa mencapai tujuan mereka.
13
2.
Tanggung jawab perseorangan Unsur ini merupakan akibat unsur langsung dari yang pertama, jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur Model Pembelajaran Kooperatif, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik.
3.
Tatap muka Setiap kelompok harus diberi kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan kepada pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota.
4.
Komunikasi antar anggota Unsur ini juga agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi. Sebelum menugaskan untuk berkelompok, pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi.
5.
Evaluasi proses kelompok Dalam pembelajaran kooperatif, siswa belajar secara berkelompok dan bekerjasama menyelesaiakan permasalahan yang dihadapi baik secara berkelompok maupun individu. Unsur ini sangat diperlukan untuk mengevaluasi proses bekerja antar siswa dalam kelompok.
2.1.1.7 Kelebihan Pembelajaran Kooperatif Menurut Santoso (2011), Model Pembelajaran Kooperatif mempunyai kelebihan - kelebihan sebagai berikut : 1) dapat meningkatkan motivasi belajar siswa; 2) siswa dapat berkomunikasi dengan temannya; 3) dapat meningkatkan keaktifan dalam pembelajaran; dan 4) dapat meningkatkan pemahaman dalam prestasi belajar.
2.1.1.8 Tipe – Tipe Pembelajaran Kooperatif Menurut Suyatno (2009) dalam Yusiriza (2011), Model Pembelajaran Kooperatif meliputi banyak tipe seperti Student Teams Achievement Division (STAD), Numbered Heads Together (NHT), Jigsaw, Think Pairs Share (TPS), Teams Games Tournament (TGT), Group Investigation (GI), Teams Assisted Individual (TAI), dan Two Stay Two Stray (TSTS).
14
Menurut Anita Lee (2004) dalam Santoso (2011), mengemukakan beberapa Tipe Model Pembelajara Kooperatif, antara lain: Mencari Pasangan, Bertukar Pasangan, Berpikir-Berpasangan-Berempat (Think Pair-Share and Think-PairSquare), Berkirim Salam dan Soal, Kepala Bernomor, Kepala Bernomor Terstruktur, Two Stay Two Stray (TSTS), Keliling Kelompok, Kancing Gemerincing, Keliling Kelas, Lingkaran Kecil Lingkaran Besar, Tari Bambu, Jigsaw, dan Cerita Berpasangan.
2.1.1.9 Langkah - Langkah Pembelajaran Kooperatif Menurut Suprijono (2009) dalam Yusiriza (2011) langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif ada 6 fase yaitu 1.
Fase 1 : menyampaikan tujuan dan mempersiapkan anak didik Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan siswa siap belajar,
2.
Fase 2 : menyajikan informasi Guru mempresentasikan informasi kepada siswa secara verbal.
3.
Fase 3 : mengoeganisir peserta didik ke dalam tim – tim belajar Guru memberikan penjelasan kepada siswa tentang tata cara pembentukan tim belajar dan membantu kelompok melakukan transisi yang efisien.
4.
Fase 4 : membantu kerja tim dan belajar Guru membantu tim – tim belajar selama siswa mengerjakan tugasnya.
5.
Fase 5 : mengevaluasi Guru menguji pengetahuan siswa mengenai berbagai materi pembelajaran atau kelompok – kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
6.
Fase 6 : memberikan pengakuan atau penghargaan Guru mempersiapkan cara untuk mengakui usaha dan prestasi individu maupun kelompok.
2.1.1.10 Tahapan Ketrampilan Kooperatif Selain itu, terdapat empat tahapan keterampilan kooperatif yang harus ada dalam model pembelajaran kooperatif yaitu:
15
1.
Forming (pembentukan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk membentuk kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma.
2.
Functioniong (pengaturan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatur aktivitas kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina hubungan kerja sama diantara anggota kelompok.
3.
Formating (perumusan)
yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk
pembentukan pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan- bahan yang dipelajari, merangsang penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan menekankan penguasaan serta pemahaman dari materi yang diberikan. 4.
Fermenting (penyerapan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk merangsang pemahaman konsep sebelum pembelajaran, konflik kognitif, mencari lebih banyak informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk memperoleh kesimpulan.
2.1.1.11 Menilai Hasil dalam Belajar Kooperatif Menurut Van der Kley dan Sunaryanto (1998:165) dalam Santoso (2011) ada beberapa cara menilai hasil belajar siswa dalam belajar kooperatif yaitu: 1.
Setiap anggota kelompok mendapatkan nilai yang sama dengan nilai kelompok.
2.
Setiap siswa diberi tugas atau tes perorangan setelah kegiatan belajar kooperatif berakhir.
3.
Seorang siswa atas nama kelompoknya bisa dipilih secara acak untuk menjelaskan pemecahan materi tugas.
4.
Nilai setiap anggota kelompok ditulis dan dibagi untuk mendapatkan nilai rata-rata kelompok.
2.1.2 Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray (TSTS) 2.1.2.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stay (TSTS) Menurut Anita Lie (2002:60), Two Stay Two Stray (TSTS) atau dua tinggal dua tamu adalah teknik dalam metode diskusi berbasis kooperatif. Teknik ini dikembangkan oleh Spencer Kangan (1992). Teknik ini dapat digunakan pada
16
semua mata pelajaran dan semua tingkatan peserta didik (siswa). Teknik Two Stay Two Stray (TSTS) membentuk kelompok-kelompok kecil dan terdapat ciri khas dalam pembentukan kelompok bersifat heterogen (bermacam-macam). Golden dalam Anita Lie (2002) mendefiniskan manusia senang berkumpul dengan sepadan membentuk jarak dengan yang berbeda, pengelompokan dengan orang lain yang sepadan dan serupa dapat menghilangkan kesempatan anggota kelompoknya untuk memperluas wawasan dan memperkaya diri, dalam kelompok heterogen tidak banyak perbedaan yang dapat mengakses proses berfikir, berargumentasi dan berkembang. Struktur Pembelajaran Kooperatif tife
Two Stay Two Stray (TSTS)
memberi kesempatan pada kelompok memberikan informasi kepada kelompok lain. Kegiatan belajar mengajar seringkali diwarnai dengan kegiatan yang bersifat individual, siswa diharapkan bekerja sama sendiri dan tidak boleh melihat perkerjaan teman yang lain. Kenyataannya (hidup diluar sekolah) kehidupan dan kerja sama manusia saling bergantung dengan yang lain. Jarolimek & Parker dalam Isjoni (2011) mendefinisikan kelompok dalam Pembelajaran Kooperatif tipe Two Stay Two Stray memperhatikan kemampuan akademis siswa. Guru membuat kelompok yang heterogen dengan alasan memberi kesempatan siswa untuk saling mengajar (tutoring), saling mendukung, meningkatkan relasi, dan interaksi antar ras, etnik, gender memudahkan pengelolaan
kelas
karena
masing-masing
kelompok
memiliki
siswa
berkemampuan tinggi yang dapat membantu teman dalam memecahkan permasalahan dalam kelompok. Berdasarkan pengertian Pembelajaran Kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) yang telah dikemukan oleh beberapa ahli disimpulkan Pembelajaran Kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) adalah pemerolehan suatu konsep atau informasi baru melalui kerja sama kelompok dengan membagi tugas, berbagi informasi antar kelompok dimana dua siswa mencari informasi ke kelompok lain, dan dua orang memberikan informasi di kelompok lain. Kemudian hasil perolehan informasi tersebut didiskusikan untuk memperoleh hasil diskusi kelompok.
17
2.1.2.2 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) Menurut Anita Lie (2002:60) menjelaskan langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) adalah sebagai berikut: 1.
Siswa bekerjasama dengan kelompok secara heterogen yang berjumlah 4 orang
2.
Selesai siswa dibagi 2 (dua) orang menjadi tamu 2 (dua) orang tingal dalam kelompok
3.
Dua orang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi kepada tamu mereka
4.
Tamu mohon diri dan kembali kekelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dalam kelompk lain.
5.
Kelompok mencocokan dan membahas hasil kerja mereka
6.
Menyimpulkan Menurut Suprijono (2009) menjelaskan langkah-langkah Pembelajaran
Kooperatif tipe Two Stay Two Stray sebagai berikut: 1.
Guru memberikan tugas berupa materi permasalahan-permasalahan pada siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai
2.
Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4-5 orang sisw secara heteogen dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan (tinggi, sedang, dan rendah) maupun jenis kelamin
3.
Guru memberikan Lembar Kerja Siswa (LKS) atau tugas untuk dibahas dalam kelompok
4.
Siswa 2-3 orang dari kelompok berkunjung ke kelompok lain untuk mencatat hasil pembahasan LKS atau tugas dari kelompok lain, dan sisa kelompok tetap dikelompokan untuk menerima siswa yang bertamu ke kelompoknya.
5.
Siswa yang bertamu kembali ke kelompoknya masing-masing dan menyampaikan hasil kunjungannya kepada teman yang tetap dalam kelompok. Hasil kunjungan dibahas bersama dan dicatat.
6.
Hasil
diskusi
kelompok
dikumpulkan
dan
salah
satu
kelompok
mempresentasikan jawaban mereka, kelompok lain memberikan tanggapan
18
7.
Guru memberikan klarifikasi terhadap jawaban yang benar
8.
Guru memimbing siswa merangkum pelajaran
9.
Guru memberikan penghargaan secara kelompok Menurut Faisal (2008) Pembelajaran Kooperatif tipe Two Stay Two Stray
terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut ini: 1.
Persiapan Pada tahap persiapan ini, hal yang dilakukan guru adalah membuat silabus dan sistem penilaian, desain pembelajaran, menyiapkan tugas siswa dan membagi siswa menjadi beberapa kelompok dengan masing-masing anggota 4 siswa dan setiap anggota kelompok harus heterogen berdasarkan prestasi akademik siswa dan suku.
2.
Presentasi guru Pada tahap ini guru menyampaikan indikator pembelajaran, mengenal dan menjelaskan materi sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat.
3.
Kegiatan kelompok Pada tahap ini pembelajaran menggunakan lembar kegiatan yang berisi tugastugas yang harus dipelajari oleh tiap-tiap siswa dalam satu kelompok. Setelah menerima lembar kegiatan yang berisi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan konsep materi dan klasifikasinya, siswa mempelajari dalam kelompok kecil (4 siswa) yaitu mendiskusikan masalah tersebut bersamasama anggota kelompok. Masing-masing kelompok menyesuaikan atau memecahkan masalah yang diberikan dengan cara mereka sendiri. Kemudian 2 dari 4 anggota dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompok dan bertamu ke kelompok yang lain, sementara 2 anggota yang tinggal dalam kelompok bertugas menyampaikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu. Setelah memperoleh informasi dari 2 anggota yang tinggal, tamu mohom diri dan kembali ke kelompok masing-masing dan melaporkan temuannya serta mencocokan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.
4.
Formalisasi Setelah belajar dalam kelompok dan menyelesaikan permasalahan yang diberikan salah satu kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya
19
untuk didiskusikan dengan kelompok lainnya. Kemudian guru membahas dan mengarahkan siswa ke bentuk formal. 5.
Evaluasi Kelompok dan Penghargaan Tahap evaluasi ini untuk mengetahui seberapa besar kemampuan siswa dalam memahami materi yang telah diperoleh denggan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Two Stay Two Stray. Masing-masing siswa diberi kuis yang berisi pertanyaan-pertanyaan dari hasil pembelajaran dengan model Two Stay Two Stray, yang selanjutnya memberikan penghargaan pada kelompok yang menjawab pertanyaan lebih banyak.
Untuk memperjelas langkah-langkah dan tahapan diatas digambarkan sebuah bagan tentang proses pembelajaran Two Stay Two Stray sebagai berikut:
Gambar 2.1 Bagan Proses Pembelajaran TSTS (sumber: Adaptasidari Lie, 2008)
Keterangan: Siswa B dan C bertugas mencari informasi materi yang tidak dibahas oleh kelompoknya dan berbagi hasil diskusi dengan kelompok yang dikunjungi. Siswa A dan D bertugas memberikan informasi mengenai materi yang telah dibahas oleh kelompoknya kepada tamu yang berkunjung. Jadi ada sebuah kerjasama yang dipraktekan oleh masing-masing kelompok dalam menemukan informasi dan memberikan informasi kepada kelompok lain. Pembelajaran Kooperatif tipe Two Stay Two Stray digunakan untuk mengatasi kebosanan anggota kelompok, Two Stay Two Stray dapat memungkinkan siswa untuk berinteraksi dengan anggota kelompok siswa yang lain.
20
2.1.2.3 Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) Menurut Lie (2008) membentuk kelompok berempat memiliki kelebihan yaitu 1) kelompok mudah dipecah menjadi berpasangan, 2) lebih banyak ide muncul, 3) lebih banyak tugas yang bisa dilakukan dan guru mudah memonitor. Sedangkan menurut Sugiyanto (2010: 55) 1) Dapat diterapkan pada semua kelas/tingkatan, 2) kecenderungan belajar siswa menjadi lebih bermakna, 3) Lebih berorientasi pada keaktifan, 4) Membantu meningkatkan minat dan prestasi belajar. Menurut Fatirul (2008) model ini tidak hanya bekerja adalam sama dengan anggota kelompok tetapi bisa juga berkerja sama dengan kelompok lain yang memungkinkan terciptanya keakraban sesame teman dalam suatu kelas dan lebih berorientasi pada keaktifan siswa.
2.2 Hasil Belajar 2.2.1 Pengertian Hasil Belajar Hasil Belajar diperoleh pada akhir proses pembelajaran dan berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menyerap atau memahami suatu bahan yang telah diajarkan. Menurut Sujana (2008:22) proses adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam mencapai tujuan pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Winkel dalam Lina (2009: 5), mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan bukti keberhasilan yang terlah dicapai oleh seseorang. Sedangkan menurut Gunarso dalam Lina (2009: 5), hasil belajar adalah usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajarnya. Menurut Oemar Hamalik (2008:36) hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Menurut Darmansyah (2006:13), mendefinisikan hasil belajar adalah hasil penilaian terhadap kemampuan siswa yang ditentukan dalam bentuk angka. Soedijanto dalam Supartini (2008) mendefinisikan hasil belajar sebagai tingkat penugasan yang dicapai dalam mengikuti program belajar mengajar sesuai
21
dengan tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan. Menurut Ani (2006) hasil
belajar merupakan perilaku yang diperoleh pembelanjar setelah mengalami proses belajar. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006) hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesikannya bahan pelajaran. Sedangkan menurut Arikunto (2011) hasil belajar adalah hasil yang dicapai seseorang setelah melakukan kegiatan belajar dan merupakan penilaian yang dicapai seorang siswa untuk mengetahui sejauh mana bahan pelajaran atau materi yang diajarkan sudah diterima siswa. Menurut Bloom dalam Suprijono (2009:6) hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dominan kognitif adalah knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, membentuk
contoh),
application
hubungan),
synthesis
(menerapkan),
analysis
(mengorganisasikan,
(menguraikan, merencanakan,
membentuk bangunan baru), dan evaluation (menilai). Dominan afektif adalah receiving (sikap menerima), responding (memberikan respon), valuing (nilai), organization (organisasi), characterization (karakterisasi). Dominan psikomotorik meliputi initiatory, pre-routine, dan rountinized. Psikomotorik juga mencakup keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, menajerial, dan intelektual. Uraian di atas disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hasil akhir dari proses kegiatan belajar seluruh kegiatan siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas, menerima pelajaran untuk mencapai hasil belajar dengan menggunakan penilaian yaitu tes evaluasi yang dinyatakan dalam bentuk nilai.
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Menurut Slameto (2010:54) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar digolongkan menjadi dua golongan yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
22
1. Faktor internal adalah faktor yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Faktof internal meliputi faktor jasmaniah (kesehatan,cacat tubuh) dan faktor psikologis (perhatian, miant, bakat, motif, kematangan, kesiapan). 2. Faktor eksternal adalah faktor yang ada diluar individu. Faktor eksternal yang berpengaruh dalam belajar meliputi faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktof masyarakat. Faktor keluarga dapat meliputi cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orangtua dan latar belakang kebudayaan. 3. Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi antar siswa, disipin sekolah pembelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajardan tugas rumah. Faktor masyarakat dapat berupa kegiatan siswa dalam masyarakat, teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat, dan media massa. Menurut Munadi (2008) antara lain meliputi faktor internal dan faktor eksternal: 1. Faktor Internal Faktor Fisiologis. Secara umum kondisi fisiologis, seperti kesehatan yang prima, tidak dalam keadaan lelah dan capek, tidak dalam keadaan cacat jasmani dan sebagainya. Hal tersebut dapat mempengaruhi peserta didik dalam menerima materi pelajaran. Faktor Psikologis. Setiap indivudu dalam hal ini peserta didik pada dasarnya memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda, tentunya hal ini turut mempengaruhi hasil belajarnya. Beberapa faktor psikologis meliputi intelegensi (IQ), perhatian, minat, bakat, motif, motivasi, kognitif dan daya nalar peserta didik. 2. Faktor Eksternal Faktor Lingkungan. Faktor lingkungan dapat mempengurhi hasil belajar. Faktor lingkungan ini meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan alam misalnya suhu, kelembaban dan lain-lain. Belajar pada tengah hari di ruangan yang kurang akan sirkulasi udara akan sangat berpengaruh dan
23
akan sangat berbeda pada pembelajaran pada pagi hari yang kondisinya masih segar dan dengan ruangan yang cukup untuk bernafas lega. 3.
Faktor Instrumental. Faktor-faktor instrumental adalah faktor yang
keberadaan dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor-faktor ini diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana untuk tercapainya tujuan-tujuan belajar yang direncanakan. Faktor-faktor instrumental ini berupa kurikulum, sarana dan guru Berdasarkan Uraian di atas disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu dan faktor yang berasal dari luar individu. Kedua faktor ini akan saling mendukung dan saling berinteraksi sehingga menumbuhkan hasil belajar.
2.3 Pembelajaran IPA Peristiwa belajar disertai dengan proses pembelajaran akan lebih terarah dan sistematik daripada belajar yang hanya semata-mata pemgalaman dalam kehidupan sosial di masyarakat. Belajar dengan proses pembelajaran ada peran guru, bahan belajar, dan lingkungan kondusif. Pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan dengan sengaja pendidik
untuk
menyampaikan
ilmu
pengetahuan,
menorganisasikan,
menciptakan sistem lingkungan dengan berbagai model sehingga siswa melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien serta mendapatkan hasil yang optimal (Sugihartono, dkk 2007). Pembelajaran merupakan interaksi dua arah dari guru dan peserta didik, dimana keduanya terjadi komunikasi yang intens, terarah menuju suatu target yang telah ditetepkan sebelumnya (Trianto, 2010). Pembelajaran bukan hanya penguasaan materi yan diajarkan, akan tetapi proses untuk mengubah tingkah laku tujuan yang dicapai dalam pembelajaran tersebut. Penugasan materi pembelajaran bukanlah akhir dari proses pengajaran, akan tetapi hanya sebagai pembentukan tingkah laku siswa, karena tingkah laku siswa membentuk pola perilaku siswa itu sendiri.
24
Pembelajaran yang bermakna dalam konteks standar proses pendidikan menurut Sanjaya (2010) sebagai berikut: 1. Pembelajaran adalah Proses Berfikir Belajar berfikir menekankan pada proses mencari dan menemukan pengetahuan
melelui
interaksi
antara
individu
dengan
lingkungan.
Pembelajaran berfikir proses pendidikan di sekolah tidak hanya menekankan pada akumulasi pengetahuan materi pelajaran, tetepi ynag di utamakan kemampuan siswa untuk memeperoleh pengetahuannya sendiri (slef regulated). 2. Proses Pembelajaran adalah Memanfaatkan Otak Pembelajaran berfikir adalah pemanfaatan pengunaan otak secara maksimal. Menurut para ahli, otak manusia terdiri dari bagian yaitu otak kanan dan otak kiri. Masing-masing belahan otak mempunyai spesialisasi dalam kemampuan tertentu. Proses berfikir otak kiri bersifat logis, skuensial, linier, dan rasional maupun melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berfikirnya sesuai ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan pada fakta, fonetik serta simbolis. Cara berkerja otak kanan bersifat acak, tidak teratur. Cara berfikirnya sesuai cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal seperti perasaan, emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaan, kesadaran spesial, pengenalan bentuk (pola), musik, seni, kepekaan warna, kreativitas, dan evaluasi. 3. Pembelajaran Berlangsung Sepanjang Hayat Belajar adalah proses terus menerus, yang tidak pernah berhenti tidak terbatas pada dinding kelas. berdasarkan ansumsi bahwa sepanjang hidupnya manusia akan selalu dihadapkan pada masalah pada tujuan yang ingin dicapai. Prinsip belajar sepanjang hayat sejalan sengan empat pilar pendidikan universal seperti dirumuskan UNESCO (1996) yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Learning to know artinya belajar pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil belajar, peserta didik bukan hanya sadar akan apa yang harus dipelajari, akan tetapi juga memiliki kesadaran dan kemampuan bagaimana cara
25
mempelajari yang harus dipelajari itu. Learning to do artinya pembelajaran IPA tidak hanya menjadikan peserta didik sebagai pendengar melainkan peserta didik diberdayakan agar mau dan mampu untuk memperkaya pengalaman belajarnya. Learning to be mengandung pengertian belajar adalah membentuk manusia yang “ menjadi dirinya sendiri” belajar untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggung jawab sebagai manusia. Learning to live together artinya belajar untuk bekerja sama. Kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu akan membangun pemahaman sikap positif dan toleransi terhadap kemajemukan dalam kehidupan bersama. IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) pada awalnya berasal dari kata scientia yang berarti saya tahu, sehingga belajar IPA harus menjadikan tahu IPA. Tahu artinya komponen dengan keilmuan IPA beserta nilai-nilai dan sikap IPA (Supriyadi, 2007). Belajar sains tidak sekedar belajar informasi sains tentang fakta, konsep, prinsip, hukum wujud pengetahuan deklaratif, akan tetapi belajar sains belajar tentang cara memperoleh informasi sains, cara sains termasuk kebiasaan bekerja ilmiah dengan metode ilmiah dan sikap ilmiah. Pembelajaran IPA di sekolah di harapkan memeberi berbagai pengalaman pada anak melakukan berbagai penelusuran ilmiah yang relevan (Suprijono, 2010). Menurut Trianto (2010) proses pembelajaran IPA lebih ditekankan pada pendekatan keterampilan proses sehingga siswa dapat menekankan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori dan sikap ilmiah siswa sendiri yang akhirnya dapat berpengaruh positif terhadap kualitas proses pendidikan maupun produk pendidikan. Ada tujuh fungsi mata pelajaran IPA menurut Sumaji (2009) yaitu: 1. Memberi pengetahuan sebagai bekal dasar, baik dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi maupun diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 2. Mengembangkan keterampilan dalam pemerolehan, mengembangkan dan menerapkan konsep IPA 3. Menanamkan sikap ilmiah, melatih siswa dalam menggunakan metode ilmiah dalam memecahkan masalah
26
4. Menyadarkan siswa akan keteraturan alam, segala keindahannya sehingga siswa terdorong untuk mencintai dan mengaggungkan ciptaanya 5. Memupuk daya kreatif dan inovatif siswa 6. Membuat siswa memahami gagasan informasi baru dalam bidang IPTEK 7. Memupuk dan mengembangkan minat siswa terhadap IPA
2.4 Hasil Penelitian yang Relevan Susiloningtyas, Eni (2009) telah melakukan penelitian tentang “Pengaruh Penggunaan Model Two Stay Two Stay pada mata pelajaran Matematika Terhadap Hasil Belajar Siswa kelas IV SD Negeri Balesari Kecamatan Balesari Kabupaten Temanggung Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh hasil belajar siswa dengan menggunakan Model Two Stay Two Stray. Hsail belajar yang diperoleh lebih baik dibanding pembelajaran tanpa mengunakan Model Two Stay Two Stay yaitu nilai rata-rata posttest kelas eksperimen 87,20 sedangkan nilai rata-rata kelas kontrol 75,46. Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah variabel bebasnya yaitu model TSTS dan variabel terikatnya adalah hasil belajar. Penelitian Kusfianti (2010) penerapan Model Pemelajaran Koopertif Tipe Two Stay Two Stray untuk “Meningkatkan Motivasi Dan Hasil Belajar Matematika Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 7 Malang”. Bahwa Model Pembelajaran Two Stay Two Stray berpengaruh meningkatkan motivasi dan hasil belajar matematika. Dapat dilihat skor motivasi rata-rata angket sebelum tindakan 77,3% meningkat menjadi 85% setalah pelaksanaan tindakan. Rerata kelas dari hasil evaluasi di siklus II juga mengalami peningkatan, pada saat siklus I sebesar 57.8 dan hasil belajar setalah tindakan sebesar 78,8 dengan peningkatan sebesar 11.4. Heri (2012) melakukan penelitian Pengaruh Penggunaan Metode Two Stay Two Stray dalam Pembelajaran Matematika Terhadap Hasil Siswa Kelas V SD Negeri Sidorejo Lor 04 Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2011/2012. Hasil penelitian terdapat perbedaan signifikan untuk pembelajaran dengan menggunakan model Two Swo Two Stray. Berdasarkan uji
27
t-tes diketahui F hitung Lavene tes sebesar 0,527 dengan probabilitas 0,472 > 0,05, kedua populasi memiliki variance sama dengan kata lain kelas tersebut homogen. Analisis uji beda t-tes menggunakan equal variance assumed. Nilai t adalah 3.7017 dengan probabilitas signifikan 0,04 < 0,05 perbedaan rata-ratanya 3.37644 sampai 17,28110 dengan perbedaan rata-rata 10,34524. Penelitian ini disimpulkan bahwa ada Pengaruh Penggunaan Model TSTS pada Pelajaran Matematika Pada Hasil Belajar Siswa Kelas V SD Sidorejo Kota Salatiga. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TSTS dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara maksimal.
2.5 Kerangka Berfikir Pembelajaran IPA selama ini masih berorientasi pada latihan penyelesaian soal, kerjasama antara siswa masih kurang, metode pembelajaran masih berpusat pada guru sehingga siswa kurang aktif dalam pembelajaran dan hasil belajar siswa menjadi rendah, karena itu perlu tindakan untuk mengatasi hal tersebut. Dengan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray (TSTS) diharapkan pembelajaran menjadi menyenangkan, siswa aktif dalam pembelajaran serta siswa mampu bekerja sama dengan orang lain, mempunyai keterampilan sosial tinggi dan mampu menghargai orang lain sehingga meningkatkan hasil belajar baik siswa laki-laki maupun siswa perempuan. Salah satu model yang menuntut anak terlibat aktif adalah dengan menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray (TSTS) atau Dua Tinggal Dua Tamu yang mendorong siswa untuk aktif mencari informasi dari teman sebayanya. Terciptalah proses pembelajaran yang tidak terfokus pada guru saja, dan akan terjalin komunikasi yang baik antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru. Diharapkan dengan menggunakan model pembelajaran yang sesuai akan membantu siswa memperoleh pencapaian nilai hasil belajar siswa dengan maksimal.
28
Tidak ada perlakuan
Hasil belajar siswa rendah
Pretest
Diberi perlakuan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS)
Posttest
Ada hasil signifikan belajar siswa
yang pada
Gambar 2.2 Kerangka berfikir dalam penelitian
2.6
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teori, hasil penelitian yang relevan dan kerangka
berfikir yang telah diuraikan maka hipotesis yang diajukan adalah: “Ada pengaruh yang signifikan penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray (TSTS) Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 4 SD Negeri Manggihan Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang Semester 2 Tahun Pelajaran 2012/2013”.