BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pemeliharaan (Maintenance). Definisi Pemeliharaan. Menurut Heizer dan Render (2008), pemeliharaan adalah semua aktivitas yang berkaitan dengan menjaga semua sistem peralatan agar tetap dapat bekerja. Menurut Blanchard (1995) dalam Said dan Susetyo (2008), Perawatan (maintenance) merupakan suatu kegiatan yang diarahkan pada tujuan menjamin kelangsungan fungsional suatu sistem produksi sehingga dari sistem itu dapat diharapkan menghasilkan output sesuai dengan yang dikehendaki. Sistem perawatan dapat dipandang sebagai bayangan dari sistem produksi, dimana apabila sistem produksi beroperasi dengan kapasitas yang sangat tinggi maka lebih intensif. 2.1.1. Jenis dan Ruang Lingkup Pemeliharaan. Berdasarkan Sifat Pemeliharaan fasilitas, jenis kegiatan pemeliharaan dibagi 2 yaitu : (Rosa, 2005) 1.
Pemeliharaan terencana (planned maintenance)
2.
Pemeliharaan tak terencana (unplanned maintenance)
1.1.2 Pemeliharaan terencana (Planned Maintenance). Menurut Corder (1992) dalam Ahmad et al (2013),
pemeliharaan terencana
adalah pemeliharaan yang dilakukan secara terorganisir untuk mengantisipasi kerusakan peralatan di waktu yang akan datang, pengendalian dan pencatatan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Pemeliharaan terencana dibagi menjadi dua aktivitas yaitu : a. Pemeliharaan Pencegahan (Preventive Maintenance). Menurut Heizer dan Render (2008),
preventive maintenance adalah sebuah
perencanaan yang mencakup inspeksi rutin, perawatan rutin, dan pemeliharaan
5
fasilitas untuk mencegah terjadinya kegagalan. Hal ini dimaksudkan untuk membangun sebuah sistem yang akan menemukan kegagalan potensial dan melakukan perubahan atau perbaikan yang akan mencegah terjadinya kegagalan. b. Pemeliharaan Korektif (Corrective Maintenance). Pemeliharaan secara korektif (corrective maintenance) adalah pemeliharaan yang berupa penggantian bagian dari suatu fasilitas yang sudah tidak berfungsi (Rosa, 2005). Yang termasuk dalam kategori pemeliharaan korektif ini adalah : a. Reparasi Minor: Merupakan aktivitas perbaikan kecil yang bukan ditemukan saat inspeksi (Contoh : Gedung bocor pada waktu hujan). b. Overhaul
terencana
(Scheduled
Downtime):
Perencanaan
meliputi
penentuan: Bagian-bagian dari fasilitas yang akan dipergunakan. Alat perkakas yang dipergunakan. Estimasi waktu yang diperlukan untuk melaksanakan perbaikan. Cara Pelaksanaa pemeliharaan. 2.1.3. Pemeliharaan Tidak Terencana (Unplanned Maintenance). Pemeliharaan tidak terencana adalah adalah pemeliharaan yang dilakukan seketika ketika mesin mengalami kerusakan yang tidak terdeteksi sebelumnya (Corder, 1992 dalam Gufta et al , 2012). Pada umumnya sistem pemeliharaan merupakan metode tak terencana, dimana peralatan yang digunakan dibiarkan atau tanpa disengaja rusak hingga akhirnya peralatan tersebut akan digunakan kembali maka diperlukannya perbaikan atau pemeliharaan. 2.1.4 Konsep Total Productive Maintenance (TPM). Definisi Total Productive Maintenance (TPM).
Menurut Nakajima (1988) TPM (Total Productive Maintanance) adalah suatu program untuk pengembangan fundamental dari fungsi pemeliharaan dalam suatu organisasi, yang melibatkan seluruh SDM-nya. Jika diimplementasikan secara penuh, TPM secara dramatis meningkat produktivitas dan kualitas, dan
6
menurunkan biaya. TPM merupakan pemeliharaan produktif yang dilaksanakan oleh seluruh karyawan melalui aktivitas kelompok kecil yang terencana. Dalam TPM operator mesin bertanggung jawab untuk pemeliharaan mesin, disamping operasinya. Implementasi TPM dapat mewujudkan penghematan biaya yang cukup besar melalui peningkatan produktivitas mesin. Semakin besar derajat otomatisasi pabrik, semakin besar pengurangan biaya yang diwujudkan oleh TPM (Nakajima, 1988). Total Productive Maintenance (TPM) merupakan suatu filosofi yang bertujuan memaksimalkan efektifitas dari fasilitas yang digunakan di dalam industri, yang tidak hanya dialamatkan pada perawatan saja tapi pada semua aspek dari operasi dan instalasi dari fasilitas produksi termasuk juga di dalamnya peningkatan motivasi dari orang-orang yang bekerja dalam perusahaan itu. Komponen dari TPM secara umum terdiri atas 3 bagian, yaitu: (Anthara, 2011). 1. Total Approach. Semua orang ikut terlibat, bertanggung jawab dan menjaga semua fasilitas yang ada dalam pelaksanaan TPM. 2. Productive Action. Sikap proaktif dari seluruh karyawan terhadap kondisi dan operasi dari fasilitas produksi. 3. Maintenance. Pelaksanaan perawatan dan peningkatan efektivitas dari fasilitas dan kesatuan operasi produksi. Total Productive Maintenance (TPM) adalah konsep pemeliharaan yang melibatkan semua karyawan. Tujuannya adalah mencapai efektifitas pada keseluruhan sistem produksi melalui partisipasi dan kegiatan pemeliharaan produktif. Dalam program TPM ditekankan keterlibatan semua orang, sementara semua fokus kegiatan pun dicurahkan bagi mereka. TPM mirip dengan Total Quality Control (TQC), dimana keterlibatan semua karyawan adalah kunci sukses dalam mengembangkan kualitas usaha guna memenuhi kebutuhan pelanggan. Pengembangan program TPM pun pada prinsipnya sama dengan pengembangan TQC, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.1. Sebagai contoh, kemacetan mesin atau
7
kerewelan mesin bisa dibandingkan dengan cacat produksi yang terjadi pada jalur produksi. Seperti juga mutu yang lebih baik dibangun pada sumbernya, yaitu proses produksi dan bukan melalui inspeksi, pemeliharaan produktif lebih disukai daripada pemeliharaan setelah terjadi kerusakan. (Suzaki, 1987 dalam Anthara, 2011). Tabel 2.1 Perbandingan antara TPM dan TQC
Kriteria
TPM
Cacat produksi
Masalah
Gangguan mesin
Pemecahan
Penanggulangan kemacetan
Tradisional
dan penggantian suku cadang Pemeliharaan berdasarkan
Pemecahan yang ditingkatkan
kondisi mesin Pencegahan gangguan Pemeliharaan pencegahan
Pemantau informasi
Berdasarkan dasar
TQC
Inspeksi dan pemilahan barang jelek serta pengerjaan kembali Pengendalian dalam proses Alat anti salah (Pokayoke) Kualitas rancang bangun
Catatan gangguan mesin Pendidikan karyawan,
Pendidikan karyawan,
pengerahan karyawan,
pengerahan karyawan,
“Maintenance is free”
“Quality is free”
Sumber: Suzaki (1987 dalam Anthara, 2011)
Pada awal masa perkembangan TPM berfokus pada perawatan (pendukung proses produksi suatu perusahaan), sehingga JIPM memberikan definisi yang komplit ke dalam lima elemen : (Nakajima, 1988). 1. TPM, berusaha memaksimasi efektifitas peralatan keseluruhan (Overall Equipment Effectiveness).
8
2. TPM merupakan sistem dari Preventive Maintenance (PM) dalam rentang waktu umur suatu perusahaan. 3. TPM melibatkan seluruh departemen perusahaan (perancangan, pengoperasian dan penawaran). 4. TPM melibatkan seluruh personil, mulai dari manajemen puncak hingga pekerja di lantai produksi. 5. TPM sebagai landasan mempromosikan PM melalui manajemen motivasi, dalam bentuk kegiatan kelompok kecil mandiri. Kata “Total” dalam Total Productive Maintenance mengandung tiga arti, yaitu : (Nakajima, 1988). 1. Total Effectiveness, menunjukkan bahwa TPM bertujuan untuk efisiensi ekonomi atau mencapai keuntungan (berdasarkan point 1). 2. Total Maintenance System, meliputi maintenance prevention, maintainability improvement dan preventive maintenance (berdasarkan point 2). 3. Total Participation of All Employees, meliputi autonomous maintenance operator melalui kegiatan suatu grup kecil (small group activities) (berdasarkan point 3,4 dan 5). 2.1.5 Pilar-Pilar TPM. Jiwantoro,et al (2013) berpendapat bahwa TPM akan memberikan jalan untuk memperoleh kesempurnaan dalam hal perencanaan (Planning, pengorganisasian (Organizing), pengawasan (monitoring) dan pengaturan (Controlling) melalui metode 8 pilar uniknya yang terdiri dari pemeliharaan mandiri (autonomous mainteance), perbaikan yang fokus (focus improvement), pemeliharaan terencana (Planned maintenance), pemeliharaan yang berkualitas (quality maintenance), pendidikan dan pelatihan (educational and training), keselamatan, kesehatan, dan lingkungan (safety, health and environment), TPM kantor (Office TPM), dan manajemen pengembangan. Pilar-pilar tersebut adalah seperti yang ditunjukan oleh gambar 2.1 berikut:
9
Gambar 2.1 Delapan pilar TPM (Venkatesh, 2007 )
1. Pilar 1- 5S (TPM dimulai dengan 5S). Permasalahan tidak bisa dilihat dengan jelas apabila tempat kerja tidak terorganisasi. Melakukan bersih-bersih dan mengatur tempat kerja membantu team untuk mampu menguak permasalahan. Membuat permasalahan terlihat adalah langkah pertama improvement. 2. Pilar 2 – Jishu Hozen (Autonomous Maintenance). Autonomous maintenance merupakan elemen yang terpenting dalam total productive maintenance yang menjelaskan bagaimana sebuah operator tidak hanya menjalankan kegiatanproduksi, tetapi juga dilibatkan dalam kegiatan perawatan sederhana, dengan demikian gejalakerusakan dapat dideteksi sedini mungkin,
sehingga kerusakan dapat
dicegah secara total.
Autonomous
maintenance memiliki 7 langkah untuk meningkatkan produktivitas adalah sebagaiberikut: (Said dan Susetyo, 2008).
10
1. Mengembalikan peralatan seperti asal. 2. Menghapuskan penyebab–penyebab kekotoran. 3. Improve equipment accessibility. 4. Initial maintenance standards. 5. Autonomous inspection. 6. General inspection and general process inspectiion. 7. Organize and workplace. 3. Pilar 3 - kaizen Perbaikan berkelanjutan adalah aktivitas perubahan yang berkelanjutan secara terus menerus untuk meningkatkan apa yang telah dicapai kearah yang lebih baik. 4. Pilar 4 - Planned Maintenance (Pemeliharaan Terencana) Pemeliharaan mesin-mesin produksi secara periodik agar kinerja mesin menjadi tinggi, ekonomis dan efektif. Yang bertujuan untuk mencegah terulangnya kerusakan. 5. Pilar 5 - Quality Maintenance (Pemeliharaan Mutu) Pemeliharaan peralatan berdasarkan prinsip dasar dalam perolehan seluruh mutu produk dalam keadaan baik. Pemeliharaan meliputi 4M (Man, Machine, Materials dan Methods). 6. Pilar 6 - Training (Pelatihan) Merupakan program pelatihan bagi sumber daya manusia (SDM) secara keseluruhan yang bertujuan meningkatkan produktifitas mesin. Program ini ditujukan untuk multi-terampil direvitalisasi karyawan yang tinggi dan semangat juang untuk bekerja dan melakukan semua fungsi yang diperlukan secara efektif dan mandiri.
11
7. Pilar 7 - TPM in office (TPM di kantor). Program administrasi kantor untuk mendukung dan meningkatkan produktifitas kerja mesin. Office TPM harus dimulai setelah melaksanakan enam pilar terdahulu dari TPM. Office TPM harus dilaksanakan untuk memperbaiki : -
Produktivitas.
-
Efisiensi dalam administratif.
-
Mengidentifikasi serta menghapus kerugian (losses).
-
Analisa proses dan prosedur-prosedur ke arah office automation.
8. Pilar 8 - Safety, Healthy and Environment(keselamatan, kesehatan dan lingkungan kerja). Adalah pilar yang utama, karena merupakan tujuan akhir dari semua proses. Dimana keselamatan dan kesehatan kerja menjadi hal prioritas, baik kesehatan dan keselamatan kerja dari operator, mesin sampai lingkungan kerja. 2.1.6 Overall Equipment Effectiveness (OEE) Borris (2006) menyatakan OEE merupakan pengukuran kritis yang digunakan dalam penerapan TPM untuk mengevaluasi kapabilitas sebuah peralatan dalam sebuah sistem produksi. OEE terdiri dari tiga komponen utama yaitu availability, performance, dan quality. Ketiga nilai komponen tersebut mencakup seluruh pokok permasalahan yang dapat mempengaruhi seberapa banyak produk yang dapat dihasilkan oleh peralatan dan operator sistem yang digunakan. Agus jiwantoro et al (2013) menyatakan Overall Equipment Effectiveness (OEE) adalah metode pengukuran efektivitas penggunaan suatu peralatan yang digunakan sebagai alat ukur (metric) dalam penerapan TPM guna menjaga peralatan pada kondisi ideal dengan menghapuskan six big losses peralatan. Pengukuran OEE ini didasarkan pada pengukuran tiga rasio utama, yaitu Availabilityratio, Performance ratio, dan Quality ratio. Untuk mendapatkan nilai OEE, makaketiga nilai dari ketiga rasio utama tersebut harus diketahui terlebih dahulu.Nilai OEE diperoleh dengan mengalikan ketiga rasio utama tersebut.
12
Six big losses yang pertama dan kedua dikenal sebagai downtime losses yang digunakan untuk membantu dalam menghitung nilai availability sebuah mesin (singh et al, 2013). Nakajima (1988)
menyatakan bahwa Availability ratio
merupakan suatu rasio yang menggambarkan pemanfaatan waktu yang tersedia untuk kegiatan operasi mesin atau peralatan. Availability merupakan rasio dari operation time, dengan mengeliminasi downtime peralatan, terhadap loading time. Losses yang ketiga dan keempat merupakan kerugian kecepatan yang menentukan performance efficiency dari sebuah mesin (Singh et al, 2013). Nakajima (1988). menyatakan
bahwa
Performance
ratio
merupakan
suatu
ratio
yang
menggambarkan kemampuan dari peralatan dalam menghasilkan barang. Rasio ini merupakan hasil dari operating speed rate dan netoperating rate. Operating speed rate peralatan mengacu kepada perbedaan antara kecepatan ideal (berdasarkan desain peralatan) dan kecepatan operasi aktual. Net operating rate mengukur pemeliharaan dari suatu kecepatan selama periode tertentu. Dengan kata lain, ia mengukur apakah suatu operasi tetap stabil dalam periode selama peralatan beroperasi pada kecepatan rendah. Untuk losses yang kelima dan keenam dianggap sebagai kerugian akibat adanya defects (Bole et al, 2014). Nakajima (1988) menyatakan bahwa Quality ratio merupakan suatu rasio yang menggambarkan kemampuan peralatan dalam menghasilkan produk yang sesuai dengan standar. Menurut Nakajima (1988) pengalaman perusahaan yang sukses menerapkan TPM dalam perusahaan mereka nilai OEE yang ideal / diharapkan adalah : -
Avaibility
> 90 %
-
Performance Efficiency
> 95 %
-
Quality Product
> 99 %
Sehingga OEE yang ideal adalah : 0,90 x 0,95 x 0,99 = 85 % Untuk lebih jelasnya perhitungan OEE dapat dilihat pada gambar 2.2
13
Gambar 2.2 Perhitungan OEE berdasarkan six major production losess (Nakajima, 1988).
2.1.7 Masalah yang diatasi oleh TPM
Masalah yang diatasi oleh TPM sering dikenal dengan sebutan “Six-big losses”. TPM membantumengeliminasi six big losses dari peralatan dan prosesproses.Keseluruhan
fokus
dari
TPM
adalah
mengeliminasi
waste
yangdikategorikan kedalam 6 jenis losses. Adapun enam kerugian besar (six big losess) adalah sebagai berikut : (Pakpahan, 2013). 1.
Downtime (PenurunanWaktu). a. Equipment failur/Breakdowns(Kerugian karena kerusakan peralatan). b. Set-upand adjustment (Kerugian karena pemasangan dan penyetelan).
2.
Speed losses (Penurunan Kecepatan). a. Idling and minor stoppages (Kerugian karena beroperasi tanpa beban maupun berhenti sesaat). b. Reduced speed (Kerugian karena penurunan kecepatan produksi).
14
3.
Defects (Cacat). a. Process defect(Kerugian karena produk cacat maupun karena kerja produk diprosesulang). b. Reduced yieled losses(Kerugian pada awal waktu produksi hingga mencapai waktu produksi yang stabil).
2.1.8 Equipment Failur/ Breakdowns Kerusakanmesin/peralatan (equipment failur breakdowns) akanmengakibatkan waktu yang terbuang sia-sia yang mengakibatkankerugianbagiperusahaan akibat berkurangnya
volume
produksi
atau
kerugianmaterial
akibatprodukyang
dihasilkan cacat. 1. Set-up and Adjustment Losses. Kerugiankarenaset-updan adjustmentadalah semua waktuset-uptermasuk waktu penyesuaian (adjustment) dan juga waktu yang dibutuhkan untukkegiatankegiatanmengganti suatu jenis produk ke jenis produk berikutnya untukproduksi selanjutnya. Dengan kata lain total yang dibutuhkan mesin tidakberproduksi gunamenganti
peralatan
(dies)
bagi
jenis
produk
berikutnya
sampaidihasilkanproduk yang sesuaiuntuk proses selanjutnya. 2. Idling and Minor Stoppages Losses. Kerugiankarena beroperasi tanpabeban maupun karena berhenti sesaatmunculjika faktor eksternal mengakibatkan mesin/peralatan berhenti berulang-ulang atau mesin/peralatanberoperasitanpamenghasilkan produk. Masalah-masalah ini sering diabaikan sebagai penghapusan produk yang tidak dikehendaki sesuai masalah yang dihadapi, sehingga zero minor stoppages menjadi tujuan utamanya. 3 Reduced Speed Losses. Merupakan perbedaan antara design speed dengan actual operating speed. Alasan bagi perbedaan dalam hal kecepatan dapat menjadi masalah-masalah mekanikal atau
masalah-masalah
kecepatanoperasiaktual
kualitas.Menurunnya lebihkecildari
15
kecepatanproduksitimbul
kecepatan
mesinyang
jika telah
rancangberoperasi dalam kecepatannormal. Menurunnya kecepatanproduksiantara laindisebabkan oleh: a. Kecepatan mesin yang dirancang tidak dapat dicapaikarena berubahnya jenisproduk ataumaterial yang tidak sesuaidengan mesin/peralatan yang digunakan. b. Kecepatanproduksimesin/peralatan
menurunakibat
operator
tidak
mengetahuiberapa kecepatan normal mesin/peralatan sesungguhnya. c. Kecepatanproduksisengajadikurangi untuk mencegah timbulnya masalahpada mesin/peralatan
dan
kualitas
produk
yang
dihasilkan
jika
diproduksipadakecepatanproduksiyang lebih tinggi. 1
Process Defect Losses
Produk cacat yang dihasilkan akan mengakibatkan kerugian material, mengurangi jumlah produksi, limbah produksi meningkat dan biaya untuk pengerjaan ulang. Kerugian akibat pengerjaa nulang termasuk biaya tenagakerjadan waktu yang dibutuhkan untuk mengolah dan mengerjakan kembali ataupun memperbaiki cacat produk cuma sedikitakan tetapi kondisi seperti ini bisa menimbulkan masalah yang semakin besar. 5 Reduced Yieled Losses Reduced yieled losses adalah kerugian waktu dan material yang timbul selama waktu yang dibutuhkan oleh mesin/peralatan untuk menghasilkan produkbaru dengan kualitas produk yang telah diharapkan. Kerugian yang timbul tergantung pada faktor-faktor seperti keadaan operasi yang tidak stabil tidak tepatnya penanganan dan pemasangan mesin/pealatan atau cetakan (dies) ataupun operator tidak mengerti dengan kegiatan proses produksi yang dilakukan. 2.1.9 Penerapan TPM Menurut Patterson (1996) dalam Jiwantoro (2012) sebelum penerapan TPM dilakukan dalam suatu perusahaan, perusahaan tersebut harus sudah memenuhi 5S. Saat ini program 5S telah banyak diadopsi oleh berbagai industri di berbagai negara. Popularitas 5S ini tak lepas dari kesuksesan industri Jepang yang selama
16
ini memusatkan perhatiannya terhadap pengurangan segala pemborosan (waste). 5S adalah landasan untuk membentuk perilaku manusia agar memiliki kebiasaan (habit) mengurangi pembororsan di tempat kerjanya. Program 5S pertama kali diperkenalkan di Jepang sebagai suatu gerakan kebulatan tekad untuk mengadakan pemilahan (seiri), penataan (seiton), pembersihan (seiso), penjagaan kondisi yang mantap (seiketsu), dan penyadaran diri akan kebiasaan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik (shitsuke). Masing-masing S dalam 5S beserta penjelasannya dijelaskan di bawah ini: (Kusnadi, 2011) 1. 1S – Seiri. Seiri merupakan langkah awal implementasi 5S, yaitu: pemilahan barang yang berguna dan tidak berguna. Dalam langkah awal ini dikenal istilah Red Tag Strategy, yaitu menandai barang-barang yang sudah tidak berguna dengan label merah (red tag) agar mudah dibedakan dengan barang-barang yang masih berguna. Barang-barang dengan label merah kemudian disingkirkan dari tempat kerja. Semakin ramping (lean) tempat kerja dari barang-barang yang tidak dibutuhkan, maka akan semakin efisien tempat kerja tersebut. 2. 2S – Seiton. Seiton adalah langkah kedua setelah pemilahan, yaitu: penataan barang yang berguna agar mudah dicaridan aman, serta diberi indikasi. Dalam langkah kedua ini dikenal istilah Signboard Strategy, yaitu menempatkan barang-barang berguna secara rapih dan teratur kemudian diberikan indikasi atau penjelasan tentang tempat, nama barang, dan berapa banyak barang tersebut agar pada saat akan digunakan
barang
tersebut
mudah
dan
cepat
diakses. Signboard
strategy mengurangi pemborosan dalam bentuk gerakan mondar-mandir mencari barang. 3. 3S – Seiso. Seiso adalah langkah ketiga setelah penataan, yaitu: pembersihan barang yang telah ditata dengan rapih agar tidak kotor, termasuk tempat kerja dan lingkungan serta mesin, baik mesin yang breakdown maupun dalam rangka program
17
preventive maintenance (PM). Sebisa mungkin tempat kerja dibuat bersih dan bersinar seperti ruang pameran agar lingkungan kerja sehat dan nyaman sehingga mencegah motivasi kerja yang turun akibat tempat kerja yang kotor dan berantakan. 4. 4S – Seiketsu. Seiketsu
adalah
langkah
selanjutnya
setelah seiri,seiton,dan seiso,
yaitu:
penjagaan lingkungan kerja yang sudah rapi
dan bersih menjadi suatu standar kerja. Keadaan yang telah dicapai dalam proses seiri, seiton, dan seiso harus distandarisasi. Standar-standar ini harus mudah dipahami, diimplementasikan ke seluruh anggota organisasi, dan diperiksa secara teratur dan berkala. 5. 5S – Shitsuke. Shitsuke adalah langkah terakhir, yaitu penyadaran diri akan etika kerja: a. Disiplin terhadap standar b. Saling menghormati c. Malu melakukan pelanggaran d. Senang melakukan perbaikan Padangan 5S dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dapat dilihat dalam Tabel 2.2 Tabel 2.2 Padanan 5S dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris
Jepang 5S Seiri Seiton Seiso Seiketsu Shitsuke
5R Ringkas Rapi Resik Rawat Rajin
Indonesia 5S 5P Sortir Pemilahan Susun Penataan Sapu Pembersihan Standarisasi Penjagaan Swa-disiplin Penyandaran
Sumber : Kusnadi, 2011.
18
5K Ketertiban Kerapihan Kebersihan Kelestarian Kedisiplinan
Inggris 5S Sort Set in Order Shie Standarize Sustain
Menurut Nakajima (1988). untuk menerapkan TPM diperlukan 12 langkah dimana ke-12 langkah-langkah tersebut dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: a)
Tahap Persiapan.
b)
Tahap Penerapan.
c)
Tahap Stabilisasi.
Tahap Pertama merupakan tahap persiapan, dalam tahap persiapan ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Memberitahukan Keputusan Top Manajemen mengenai akan diperkenalkan TPM. Pemberitahuan ini bisa dilakukan dalam acara khusus (memperkenalkan TPM) ataupun pada acara-acara formal perusahaan. Pengumuman ini dapat pula dimuat dalam majalah atau bulletin perusahaan. 2. Menyelenggarakan Pendidikan serta Kampanye Pergerakan TPM. Ini dapat dilakukan melalui seminar-seminar classroom untuk para manajer dan pimpinan lainnya. Untuk pegawai lainnya (operator) bisa diadakan presentasi yang dilengkapi dengan “slide presentation” yang popular. 3. Membentuk Organisasi untuk mempromosikan TPM. Pada setiap level manajemen dibentuk semacam komite khusus untuk mempromosikan TPM. Menentukan ketentuannya masing-masing dan juga mengangkat anggotaanggotanya. Organisasi TPM ini biasanya dibentuk dari mulai level atas sampai level bawah (operator). 4. Menentukan Kebijaksanaan Dasar serta Target (Goal) dari TPM. Hal ini ditentukan dengan cara menganalisis kondisi yang ada pada saat sekarang dan berdasarkan kondisi tersebut, tentukan target serta perkiraan hasil yang akan dicapai. 5. Menyusun Master Plan untuk Pengembangan TPM. Dalam master plan harus dirinci secara mendetail rencana pelaksanaan kelima kegiatan-kegiatan yang mendasar dalam tahap persiapan ini.
19
Tahap kedua adalah Tahap Penerapan yang dibagi menjadi dua, yaitu Tahap Awal Penerapan dan Tahap Penerapan. Pada Tahap Awal Penerapan dilakukan kegiatan sebagai berikut : 1. Peresmian dimulainya Penerapan TPM (Kick off TPM). Pada acara ini sebaliknya diundang pelanggan-pelanggan,
perusahaan rekanan,
serta
pemasok utama. Hal ini penting dilaksanakan meskipun sifatnya seremonial tapi diharapkan dapat memberikan dampak psikologis kepada seluruh jajaran manajemen agar merasa bertanggung jawab atas suksesnya penerapan kebijakan perusahaan. Sedangkan Tahap Penerapan adalah dilakukan sebagai berikut : a. Melaksanakan
Kegiatan
”improvement”
keefektifan
masing-masing
peralatan. Dalam langkah ini ditentukan peralatan yang bisa dijadikan model untuk memulai mempraktekkan TPM dan pada saat yang sama dibentuk juga tim proyek ini. Model serta tim proyek ini bisa dibentuk pada tiap-tiap bagian pabrik atau unitnya. Lakukan “improvement” pada peralatan yang dijadikan sebagai model tersebut. b. Mengembangkan Program „Autonomous Maintenance’. Dalam langkah ini dilaksanakan kegiatan bagian utama dari tahapan penerapan TPM melalui tujuh langkah pengembangan „Autonomous Maintenance’ serta menetapkan prosedur-prosedur perawatan. c. Menyempurnakan
Sistem
Perencanaan
Maintenance
serta
Keahlian
Manajemen dari Bagian Maintenance. Hal ini meliputi periodic dan predictive maintenance serta pengelolaan dari sparepart, tool, dokumentasi, serta prosedur perawatan. d. Menyelenggarakan
Pendidikan
dan
Pelatihan
untuk
Meningkatkan
Keterampilan serta Keahlian Tenaga Operasi atau Tenaga Maintenance. Pelatihan bisa dilakukan terutama bagi kepala regu secara bersama-sama dan kemudian kepala regu bisa menyampaikan kembali pengetahuan serta keterampilan kepada seluruh anggota regu.
20
Tahap Ketiga adalah Stabilisasi atau Pemantapan. Di dalam tahap ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : a. Mengembangkan Tahap Awal Program Manajemen Peralatan Program ini dibentuk oleh grup produksi dan maintenance dan diarahkan untuk merancang suatu sistem dimana peralatannya bebas perawatan. Hal yang dilakukan adalah membuat standar-standar, baik standar umum maupun standar khusus dengan didasarkan pada check list yang didokumentasikan dari gangguan-gangguan yang terjadi juga dilakukan analisis biaya meliputi life cycle cost dari peralatan. b. Penerapan TPM Secara Menyeluruh dan Meningkatkan Usaha untuk Mencapai Tujuan Yang Lebih Tinggi. Dalam langkah ini ditetapkan tujuan atau target yang lebih tinggi dengan proyeksi masa depan dan lebih melibatkan semua jajaran dalam perusahaan. Dalam pelaksanaannya langkah-langkah tersebut ada yang bisa berjalan secara bersamaan satu sama lain, dan ada pula yang bisa dikerjakan kalau langkahlangkah yang lain telah dikerjakan. Tetapi pada prinsipnya aktivitas-aktivitas tersebut dilaksanakan secara terus menerus dan berkelanjutan. 2.1.10. Tools analisis. 1 Diagram Pareto. Diagram Pareto dikembangkan oleh Vilfredo Frederigo Samoso pada akhir abad ke-19 merupakan pendekatan logic dari tahap awal pada proses perbaikan suatu situasi yang digambarkan dalam bentuk histogram yang dikenal sebagai konsep vital few and the trivial many untuk mendapatkan menyebab utamanya. Diagram Pareto telah digunakan secara luas dalam kegiatan kendali mutu untuk menangani kerangka proyek, proses program, kombinasi pelatihan, proyek dan proses, sehingga sangat membantu dan memberikan kemudahan bagi para pekerja dalam meningkatkan mutu pekerjaan ( Anggrian,2013).
21
Prinsip Pareto (juga dikenal sebagai aturan 80-20) menyatakan bahwa untuk banyak kejadian, sekitar 80% daripada efeknya disebabkan oleh 20% dari penyebabnya. Prinsip ini diajukkan oleh pemikir manajemen bisnis Joseph M. Juran, yang menamakannya berdasarkan ekonom Italia Vilfredo Pareto (15 July 1848 – 19 August 1923), yang pada 1906 mengamati bahwa 80% dari pendapatan di Italia dimiliki oleh 20% dari jumlah populasi (Anggrian,2013). Umumnya Diagram Pareto merupakan diagram batang tempat batang tersebut diurutkan mulai dari yang terbanyak sampai terkecil, seperti yang terlihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3 Diagram Pareto (Naftali, 2008).
1
Diagram Sebab Akibat (Cause And Effect Diagram).
Menurut Nasution (2004) diagram sebab-akibat (fishbone diagram) adalah suatu pendekatan terstruktur yang memungkinkan dilakukan suatu analisis lebih terperinci dalam menemukan penyebab-penyebab suatu masalah, ketidaksesuaian, dan kesenjangan yang ada. Diagram ini dapat digunakan dalam situasi dimana: 1.
Terdapat
pertemuan
diskusi
dengan
menggunakan
teknik
(brainstorming) untuk mengidentifikasi mengapa suatu masalah terjadi. 2.
Diperlukan analisis lebih terperinci terhadap suatu masalah.
3.
Terdapat kesulitan untuk memisahkan penyebab dari akibat.
22
nalar
Penggunaan diagram sebab-akibat dapat mengikuti langkah-langkah berikut: 1.
Dapatkan kesepakatan tentang masalah yang terjadi dan ungkapkan masalah tersebut sebagai suatu pertanyaan masalah (problem question).
2.
Bangkitkan sekumpulan penyebab yang mungkin dengan menggunakan teknik nalar atau dengan membentuk anggota tim yang memiliki ide-ide berkaitan dengan masalah yang sedang dihadapi.
3.
Gambarkan diagram dengan pertanyaan masalah ditempatkan pada sisi kanan (membentuk kepala ikan) dengan kategori utama seperti manusia (man), mesin (machine), metode (method), bahan baku (material), pengukuran (measurement), dan lingkungan (environment). Kategori utama tersebut ditempatkan pada cabang utama (membentuk tulang-tulang besar dari ikan) dimana kategori utama ini dapat diubah sesuai kebutuhan.
4.
Tetapkan setiap penyebab dalam kategori utama yang sesuai dengan menempatkan pada cabang yang sesuai.
5.
Untuk setiap penyebab yang mungkin, tanyakan “mengapa?” untuk menemukan akar penyebab, kemudian daftarkan akar-akar penyebab tersebut pada cabang-cabang yang sesuai dengan kategori utama membentuk tulangtulang kecil ikan). Untuk menemukan akar penyebab, dapat digunakan teknik bertanya mengapa sebanyak lima kali (five whys).
6.
Interpretasi diagram tersebut dengan melihat penyebab-penyebab yang muncul secara berulang, kemudian dapatkan kesepakatan melalui konsensus tentang penyebab tersebut.
7.
Tetapkan hasil analisis dengan menggunakan diagram sebab-akibat tersebut dengan cara mengembangkan dan mengimplementasikan tindakan korektif serta memantau hasil-hasil untuk memastikan bahwa tindakan korektif yang dilakukan tersebut efektif telah menghilangkan akar penyebab dari masalah yang dihadapi.
Mengingat pentingnya penggunaan diagram sebab-akibat dalam langkah ini, berikut akan dikemukakan bentuk umum dari diagram sebab-akibat atau sering juga disebut sebagai diagram tulang ikan (fishbone diagram) atau diagram Ishikawa (Ishikawa diagram) sesuai dengan nama Dr. Kaoru Ishikawa dari Jepang
23
yang memperkenalkan diagram tersebut. Bentuk umum diagram sebab akibat dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Bentuk umum diagram sebab akibat menurut (Hamzah,2010).
Proses Machining Crank Shaft Proses machining crank shaft adalah proses yang membuat blank casting menjadi crank shaft comp. di dalam pengerjaan nya proses ini termasuk kedalam kategori ferro,yaitu proses yang memiliki bahan baku terbuat dari besi/ferro dan tidak dapat di lebur kembali jika terjadi reject.untuk itu di butuhkan ketelitian yang tinggi di dalam proses pengerjaan nya dan akurasi yang tinggi dari peralatan dan alat ukur nya. 2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan peningkatan efektivitas mesin dan konsep Total Productive Maintenance (TPM) dapat dilihat pada Tabel 2.2.
24
PENELITI & TAHUN Agus. et al (2013)
Tabel 2.3 Perbandingan Penelitian Terdahulu METODE TUJUAN HASIL PENELITIAN ANALISIS Meningkatkan OEE di Perhitungan Perusahaan gula.pg OEE jatitujuh Identifikasi six big loses Analisis penyebab utama losses dengan pareto dan diselesaikan dengan teknik WWBLA (Why Why Because Logical Analysis)
Baluch (2012)
Meningkatkan OEE dengan bantuan TPM dan 5S menggunakan pendekatan sistematis
Perhitungan OEE, Pareto diagram dan Cause & effect diagram
25
Dengan mengurangi hanya satu jenis dari kerugian, OEE meningkat menjadi 65% dari 59%. Konsep Total Productive Maintenance berhasil diterapkan pada pabrik gula
Hasil yang diperoleh dari pendekatan TPM menunjukkan bahwa OEE ditingkatkan dari 43% menjadi 72 % yang menunjukkan tingkat yang diinginkan dalam industri manufaktur . Singkatnya, total penghematan per tahun akibat peningkatan efektivitas adalah sekitar Rp 453,000 / - .
Bole, et al (2014)
Mempelajari bagaimana tools dan teknik TPM dapat diterapkan dalam industri farmasi, menghitung nilai OEE peralatan di proses manufaktur tablet dalam industri farmasi, fokus pada losess. yang terjadi selama kegiatan produksi, dan merancang prosedur bagi karyawan untuk menggunakan berbagai jenis alat analisis untuk mengeksplorasi masalah dan menghilangkannya.
Perhitungan OEE
Studi ini dengan jelas menunjukkan bahwa keberhasilan pelaksanaan program TPM dapat memfasilitasi upaya organisasi manufaktur untuk mencapai peningkatan kinerja manufaktur untuk keunggulan bersaing.
Andersson
Meninjau tujuan dan manfaat dari pelaksanaan Total Productive Maintenance, dan juga akan berfokus pada menghitung efektivitas peralatan secara keseluruhan (OEE) di salah satu Perusahaan Baja di Yordania.
Perhitungan OEE
Nilai OEE diperoleh sebesar 55%, dengan Availability 76%, Performance sebesar 72 % dan Faktor Quality sebesar 99.6%. Ada tiga teknik utama yang diusulkan untuk industri setelah menghitung OEE untuk meningkatkan prosedur perawatan mereka dan meningkatkan produktivitas yaitu: CMMS (Computer Maintenance Management System), produksi yang direncanakan.
(2013)
26
Narses (2013)
Untuk melihat kondisi perusahaan dan menyarankan cara-cara untuk memperbaiki kondisi saat ini.
Perhitungan OEE
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada masalah dalam pemanfaatan mesin. Sebagian besar waktu mesin tetap menganggur atau menunggu untuk perbaikan jika rusak. Perusahaan disarankan untuk memodifikasi sistem preventive maintenance untuk mengurangi Failure dan Minor Stoppage
Gufta & Garge (2012)
Mempelajari efektivitas dan pelaksanaan program TPM dalam suatu perusahaan manufaktur mobil.
Perhitungan OEE
Setelah keberhasilan pelaksanaan TPM, ditemukan bahwa Efektivitas Keseluruhan Peralatan meningkat dari 58,7 % menjadi 70 %. Nilai OEE tersebut dapat lebih ditingkatkan secara terus menerus dengan TPM.
Souza,m.f et al (2013)
Untuk memaksimalkan Meningkatkan Overall Equipment Efectiveness( OEE), Untuk mengurangi downtime peralatan sekaligus meningkatkan kualitas dan kapasitas, dan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif.
Perhitungan OEE
Pemberdayaan karyawan di perusahaan akan meningkatkan tanggung jawab dan wewenang dan benar-benar menghilangkan Big Losess. Membuat sistem perencanaan pemeliharaan yang efektif sangat penting untuk melacak semua pekerjaan pemeliharaan korektif dan inspeksi pemeliharaan preventif. Oleh karena itu direkomendasikan perusahaan CMMS
Lanza et al (2013)
Menghitung nilai performasi mesin dengan OEE dan melakukan analisa untuk perbaikan.
Perhitungan OEE, Analisis Pareto dan Analisis FMEA
Nilai OverallEquipment Effectiveness (OEE) mesin adalah 80,98 %. Artinya belum memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh JIPM sebesar 85%. Dari hasil
27
Nahar et al (2013)
1. Meningkatkan keandalan peralatan dan pemeliharaan.
(Failure Mode and Effect Analysis)
analis dengan diagram pareto, failure mode yang dianalisa adalah mode kerusakan yang memiliki tingkat RPN hingga mencapai 76% komulatif. Failure modes tersebut yaitu selenoid ATC macet, kabel LS tidak konek, V belt putus, cylinder clamp & unclamp kendur, holder bengkok karena menabrak, as pada gearbox patah.
Perhitungan OEE
Hasil analisis mengungkapkan bahwa terdapat 98% komponen yang baik, Rework Losess 2%, Nilai OEE adalah 67% dan enam kerugian besar merupakan 35% dari waktu produk. Berdasarkan temuan, direkomendasikan untuk menerapkan TPM untuk meningkatkan OEE
2. Untuk menumbuhkan keahlian oprator terhadap peralatan 3. Memaksimalkan OEE, melalui keterlibatan jumlah karyawan. 4. Menciptakan lingkungan kerja yang antusias.
28
singh et al (2013)
Mengukur efektivitas mesin produksi
Perhitungan OEE, Analisis Pareto dan Diagram sebab Akibat
Terdapat tiga critical downtime sheet machine 3 yaitu pada unit hydropulper, sheet stacker dan felt conveyor. Usulan yang diberikan untuk mengurangi tingginya breakdown yang disebabkan oleh ketiga critical downtime tersebut antara lain penerapan autonomous maintenance dan perubahan sistem pemeliharaan yang semula corrective menjadi preventive maintenance.
Nayak et al (2013)
1. Mengevaluasi indeks OEE pada unit isolasi di sebuah perusahaan kabel
Perhitungan OEE dan Analisa Six Big Losess
Menurut studi yang dilakukan pada faktor OEE di unit isolasi, Availability 77,19 %, Performance 68,67 % dan Quality 99,21 % maka diperoleh OEE 52,93 %. Untuk mencapai tingkat kelas dunia, tingkat kinerja proses isolasi harus meningkatkan sampai 95%. yang bertanggung jawab untuk losess dalam proses isolasi adalah: Penggantian Die, waktu Setup / changeover roda pencetakan, kekurangan extruder, kecepatan lambat untuk kelas (type) tembaga yang berbeda, pengaturan suhu, dan asap dari tinta Herkula mempengaruhi kesehatan operator.
2. Mengidentifikasi dan mengukur 6 kerugian besar dari proses produksi unit isolasi
29
2.3 Kerangka Pemikiran Proses produksi merupakan kegiatan untuk mengubah bahan baku menjadi barang jadi yang memiliki nilai jual dengan melibatkan mesin. Tanpa adanya kegiatan produksi, perusahaan tidak akan bisa menghasilkan keuntungan sesuai dengan yang diinginkan karena tidak ada produk yang mampu dihasilkan untuk dijual. Mesin memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan proses produksi. Tanpa mesin produksi, barang-barang tidak akan bisa diproduksi. Perlu ditekankan bahwa mesin-mesin produksi yang dipakai secara terus menerus dapat mengalami gangguan sehingga menghambat proses produksi. Dampaknya bagi perusahaan adalah kerugian karena hilangnya waktu efektif untuk berproduksi. Oleh karena itu, proses produksi sangat bergantung pada mesin produksi. Tingkat produktivitas dan mutu produk dipengaruhi oleh efektivitas mesin produksi.
Untuk
mengetahui
efektivitas
mesin
diperlukan
perhitungan
ketersediaan mesin untuk berproduksi, kinerja mesin dan kualitas produk yang dihasilkan yang mengindikasikan perusahaan telah melaksanakan TPM secara efektif sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Pada penelitian ini akan diteliti efektivitas mesin dengan metode OEE dan penyebab pemborosan waktu produksi dengan menggunakan analisis Six Big Losses, yang selanjutnya akan dihubungkan dengan Total Productive Maintenance (TPM). Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.5
30
analisis effektivitas OEE pada mesin mesin utama m/c.crankshaft
Penelitian terdahulu Agus.J et.al (2013) sachin b bole (2014)
Konsep tpm Rolandi (2007) Nakajima(1988)
Availability
Set up and adjusment
Equipment and prosess failure
Rate of quality of product
Performance Effisiency
Reduce Speed
Idling minor and stoppages
Deffect in prosess
Reduce Yield
OEE (overall equipment effectiveness)
OEE standard
TIDAK
YA Implementasi TPM
Gambar 2.5 kerangka pemikiran
31
Analisa six big losses ( pareto & Fish bone)