BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.
Paradigma Penelitian Guba dan Lincoln mendefenisikan paradigma sebagai serangkaian
keyakinan –keyakinan dasar (basic Beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip – prinsip pokok. Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam pengertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja, hal ini disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukan suatu kebenaran akhir (Sunarto dan Hermawan, 2011:4). Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln menyebutkan empat macam paradigma yaitu, positivisme, post positivisme, konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu pengetahuan sosial: positivisme, interpretatif dan kritis. Sedangkan Cresswel membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan Hermawan, 2011:9). Paradigma kritis yang sering menjadi landasan berpikir dalam analisis semiotika berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan struktur sosial. Ragam analisis kritis umumnya menguji kandungan-kandungan makna ideologis media melalui pembongkaran terhadap isi media atau teks. Paradigma kritis mendasarkan penelitian pada penafsiran teks yang menjadi objek penelitian ini yaitu iklan televisi Ice Cream Magnum versi “Undian Berhadiah di Lima Kota Besar di Dunia”, yang tayang sejak tahun 2011 hingga tanggal 18 Maret 2012. Dengan penafsiran tesebut, peneleliti menyelami teks dan menyikap makna yang ada dibaliknya. Ketika menfsirkan sesuatu, hal-hal berupa teks, pengalaman, latar belakang, keberpihakan bahkan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian. Penelitian paradigma kritis mempunyai beberapa karakteristik yaitu, meyakini bahwa refleksi dan kritik metode untuk menghasilkan pengetahuan bukan melalui observasi, lebih dari sekedar data kuantitatif dan kualitatif, ideologi dan kekuasaan ada dalam pengalaman sosial dan tujuan penelitian untuk perubahan sosial (Sunarto dan Hermawan, 2011:9).
Universitas Sumatera Utara
Meskipun banyak macam ilmu sosial kritis, semuanya memiliki tiga asumsi dasar yang sama. Pertama, semuanya menggunakan prinsi-prinsip dasar ilmu sosial interpretatif yakni bahwa ilmuwan kritis menganggap perlu untuk memahami pengalaman orang dalam konteks. Secara khusus pendekatan kritis bertujuan untuk menginterpretasikan dan karenanya memahami bagaimana berbagai kelompok sosial dikekang dan ditindas. Kedua, pendekatan ini mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usaha mengungkap struktur-struktur yang sering kali tersembunyi. Ketiga, pendekatan kritis berupaya menggabungkan teori dan tindakan. Teori-teori tersebut jelas normatif dan bertindak untuk mencapai perubahan dalam berbagai kondisi yang mempengaruhi hidup kita (Bungin,2008: 259-260). Sementara itu, menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Guba dan Lincoln, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif (http://id.wikipedia//org/wiki/ perspektif konstruktivisme dan kritikal). Namun
apabila
ditelusuri,
sebenarnya
gagasan–gagasan
pokok
konstruktivisme telah dimulai oleh Giambatissta Vico seorang epistemolog dari Italia. Pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan’. Ia menjelaskan bahwa ‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu’. Maksudnya adalah seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu (Bungin, 2011:13). Menurut Paul Suparno, ada tiga macam konstruktivisme yakni konstruktivisme
radikal,
realisme
hipotesis,
konstruktivisme
biasa.
Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran
Universitas Sumatera Utara
kita, dimana bentuk tersebut tidak selalu menjadi representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksikan suatu realitas ontologis obyektif, namun sebuah realitas dibentuk oleh pengalaman seseorang. Dengan kata lain bahwa pengetahuan merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui, dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang bersifat pasif. Oleh karena itu, konstruksi terhadap suatu pengetahuan hanya dapat dilakukan oleh individu itu sendiri, sedangkan lingkungan menjadi sarana terjadinya konstruksi tersebut (Bungin, 2011:14. Realisme hipotesis mengungkapkan bahwa pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Sedangkan konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas tersebut, yang kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri. Namun dari ketiga konstruktivisme, terdapat kesamaan di mana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingungan atau orang di sekitarnya. Selanjutnya Piaget mengatakan, pengetahuan akan dibangun oleh setiap individu melalui realitas yang dilihat berdasarkan struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, yang disebut dengan skema/skemata. Dimana konstruktisme semacam ini yang menurut Berger dan Luckmann, disebut dengan konstrusi sosial (Bungin, 2011:14). Sehingga penelitian ini dapat juga digolongkan kedalam penelitian kualitatif konstruktivisme karena sangat mengandalkan kemampuan peneliti dalam menafsirkan makna yang ingin dibangun melalui realitas sosial sehingga dapat dikaitkan dengan konteks sosial, budaya, ekonomi, dan historis. Dengan demikian, paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis konstruktivis. Hal ini dimaksud guna memberikan penilaian akan penting atau tidaknya perilaku hedonisme ada dalam iklan dikaitkan dengan konteks sosial, budaya, ekonomi dan historis, dengan cara membongkar segala bentuk baik berupa tindakan, teks, gambar hingga suara yang telah di konstruksi
Universitas Sumatera Utara
dalam iklan Ice Cream Magnum versi “Undian berhadiah di Lima Kota Besar di Dunia”. Namun disisi lain peneliti tidak berniat untuk membongkar secara keseluruhan akan kelemahan dari hedonisme dalam kehidupan sosial, melainkan hanya menjelaskan keberadaan hedonisme itu sendiri dalam iklan serta gambaran akan pengaruh yang ditimbulkannya. 2.2. Kajian Pustaka 2.2.1. Semiotika Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti ‘tanda’ atau seme, yang berarti ‘penafsir tanda’. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. ‘Tanda’ pada masa itu masih bermakna pada suatu hal yang menunjukkan pada adanya hal lain. Jika diterapkan pada bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri.Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (signifiant) dalam kaitannya dengan pembaca. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan (Sobur, 2004: 17). Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tandatanda
lain,
pengirimannya
dan
penerimaannya
oleh
mereka
yang
menggunakannnya. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotik dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan ada arti yang diberikan, ada pemaknaan dan ada interpretasi. Fokus utama semiotika adalah tanda. Fiske mengatakan, bahwa semiotika mempunyai tiga bidang studi utama yaitu (Bungin, 2009:167) : o
Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.
o
Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
Universitas Sumatera Utara
o
Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.
Menurut Preminger, ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Kriyantono, 2006:261). Sementara Roland Barthes menyebutkan bahwa semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2004:15). Secara historis, semiotika menjadi disiplin yang dikenal luas oleh pengaruh dari dua tokoh utama : Charles Sanders Pierce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Sekalipun keduanya tidak pernah bertemu sama sekali, pemikiran kedua orang tokoh tersebut memiliki kemiripan satu sama lain. Istilah semiotika yang sekarang dikenal luas mula-mula diperkenalkan oleh Pierce, sedangkan Saussure memilih istilah semiologi untuk pemikirannya. Sebuah tanda menurut Pierce adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu dinamakan sebagai interpretan dari tanda yang pertama, pada gilirannya akan mengacu pada objek tertentu. Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol) (Wibowo, 2011:14). 1. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda itu mudah dikenali oleh pemakainya. 2. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan objeknya. 3. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat arbiter dan konvensional sesuai kesepakatan atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Kategori tanda Pierce digambarkan sebagai berikut: Gambar I Kategori Tipe Tanda dari Pierce Ikon Signs
Indeks Simbol
Sumber : Bungin, 2006:158 Teori dari Pierce menjadi Grand theory dalam semiotik. Gagasannya bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Pierce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotik ingin membongkar bahasa secara keseluruhan (Sobur, 2004:97). Pierce juga mengatakan, kita hanya dapat berfikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda dalam kehidupan manusia dapat berarti gerakan ataupun isyarat. Anggukan ataupun gelengan dapat berarti sebagai setuju dan tidak setuju, tanda pluit, genderang, suara manusia bahkan bunyi telepon merupakan suatu tanda. Tanda dapat berupa tulisan, angka dan bisa juga berbentuk rambu lalu lintas contohnya merah berarti berhenti (berbahaya jika melewatinya) dan masih banyak ragamnya. Ahli semiotika lainnya Ferinand de Saussure lebih terfokus pada semiotika linguistik. Saussure menyerang pemahaman historis terhadap bahasa hanya berfokus kepada perilaku linguistik yang nyata. Berbeda dengan Pierce, Saussure mengemukakan tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial dikalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa. Kode merupakan sistem pengorganisasian tanda. Kode mempunyai sejumlah unit (atau terkadang satu unit tanda). Dalam semiotik, kode dipakai untuk merujuk pada struktur prilaku manusia. Budaya dapat dilihat sebagai kumpulan kode-kode. Saussure merumuskan dua cara pengorganisasian tanda ke
Universitas Sumatera Utara
dalam kode. Pertama, paradigmatik yang merupakan sekumpulan tanda dan dari dalamnya dipilih satu untuk digunakan. Dalam semiotik, paradigmatik digunakan untuk mencari simbol-simbol yang ditemukan dalam teks yang bisa membantu memberi makna. Kedua, sintagmatik yang merupakan pesan yang dibangun dari perpaduan tanda-tanda yang dipilih. Dalam bahasa misalnya, kosakata adalah paradigma dan bahasa adalah sintagma (Kriyantono, 2008:269). Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified sebagai berikut : Gambar 2 Elemen-Elemen Makna dari Saussure Tanda
Terdiri dari
Signification Signifier (Eksistensi fisik dari tanda)
+
Signified (Konsep mental)
Realitas eksternal atau makna
Sumber : Fiske, 2012:73 Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Sobur, 2004: 125). Penting untuk diingat bahwa signified (konsep mental) merupakan produk dari budaya tertentu seperti halnya signifier (aspek fisik dari tanda). Terlihat jelas bahwa kata-kata atau (signifiers) berbeda antara bahasa satu dengan yang lain. Namun hal tersebut membuat sering terjadi kesalahan pemahaman bahwa signifieds (konsep mental) bersifat universal sehingga menerjemahkan adalah hal yang mudah karena hanya terkait menggantikan sebuah kata, layaknya seperti menerjemahkan bahasa Indonesia kedalam bahasa Inggris yang mana maknanya akan sama saja. Hal tersebut tidak benar. Konsep mental jika diibaratkan kerbau
Universitas Sumatera Utara
pada petani Indonesia pasti sangat berbeda dengan petani Hindu di India, yang memberi pemahaman bahwasanya kerbau dalam suara Hindu (penanda/signifier) tidak membuat lebih dekat dalam berbagi konsep. Dengan kata lain, kerbau bersifat spesifik pada masing-masing budaya seperti juga perbedaan pada bentuk bahasa dari penanda/signifier di dalam setiap bahasa (Fiske, 2012:74). 2.2.2. Semiologi Roland Barthes Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Ini merupakan sebuah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang terhenti pada panandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2004:69). Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama (Sobur, 2004:69). Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified (makna denotasi). Pada tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam tanda, dan antara tanda dan dengan referannya dalam realitasnya eksternal.Hal ini mengacu pada makna sebenarnya (riil) dari penanda (objek), Dan signifikasi tahap kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi). Tradisi semiotika pada awal kemunculannya cenderung berhenti sebatas pada makna-makna denotatif alias semiotika denotasi. Sementara bagi Barthes, terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih mendalam, yakni pada level konotasi. Pada tingkat inilah warisan pemikiran Saussure dikembangkan oleh Barthes dengan membongkar praktik pertandaan ditingkat
Universitas Sumatera Utara
konotasi tanda. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. Skema pemaknaan mitos itu oleh Barthes digambarkan sebagai berikut : Gambar 3 Gambar peta tanda Roland Barthes
1. signifier (penanda)
2. signified (petanda)
3. denotativesign (tanda denotatif) 4.ConnotativeSignifier (Penanda Konotatif)
5. ConnotativeSignified (Petanda Konotatif)
6. ConnotativeSign ( Tanda Konotatif) Sumber: Cobley and Jansz (Sobur, 2004:69) Dari peta Roland Barthes terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Penanda merupakan tanda yang kita persepsi (objek fisik ) yang dapat ditunjukkan dalam iklan yang sedang diteliti. Pada saat yang bersamaan makna denotatif yang didapatkan dari penanda dan petanda adalah penanda konotatif (4) yaitu makna tersirat yang memunculkan nilai-nilai dari penanda (1) dan petanda (2). Sementara itu petanda konotatif (5) menurut Barthes adalah mitos atau operasi ideologi yang berada dibalik sebuah penanda (1). Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda (konotasi, mitos dan simbol) dalam
tatanan
pertanda
kedua
(signifikasi
tahap
kedua).
Konotasi
menggambarkan interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama (4) dalam peta Roland Barthes. Pada signifikasi tahap kedua, menganalisis tanda konotasi, yaitu makna tersirat yang ada pada gambar yang digunakan untuk membongkar mitos. Analisis konotasi ini bekerja dalam tingkat subjektif. Semiologi Roland Barthes
Universitas Sumatera Utara
menekankan pada peran pembaca (reader), peran disini berarti walaupun sebuah tanda telah memiliki makna denotasi ataupun konotasi, tetapi tetap saja dibutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Dalam semiologi Roland Barthes, kode-kode komunikasi yang terdapat pada teks nantinya akan dicari makna riil-nya (denotasi), kemudian hubungan antara satu dengan tanda lainnya akan dicari makna tersirat didalamnya (konotasi). Tradisi semiotika meyakini manakala realitas media telah terpajang dihadapan publik atau khalayaknya maka media seketika kehilangan otoritasnya untuk memaksa tafsiran makna yang dikehendaki. Pemaknaan pun berpindah ketangan pembaca, pembaca boleh semena-mena karena tafsir realitas tergantung pengalaman kebudayaan yang dipunyainya.inilah kira-kira yang diimajinasikan oleh Roland Barthes, ketika ia menggambarkan bagaimana otoritas pembuat simbol telah berakhir dan pemaknaan pun telah beralih ketangan pembaca (Sunarto dan Hermawan, 2011:233). Roland Barthes mencoba memilah-milah penanda-penanda pada wacana naratif kedalam serangkaian fragmen ringkas beruntun yang disebutnya sebagai leksia-leksia (lexias), yaitu satuan-satuan pembacaan (unit of reading) dengan panjang pendek bervariasi. Sepotong bagian teks yang apabila diisolasikan akan berdampak atau memiliki fungsi yang khas bila dibandingkan dengan teks lain disekitarnya,adalah sebuah leksia. Sebuah leksia bisa berupa apa saja, berupa satudua patah kata, kelompok kata, beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraf (Budiman, 2003:53). Dimensinya tergantung kepada kepekatan (density) dari konotasikonotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran pertama diantaranya pembaca dan teks maupun pada saat satuan-satuan itu dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada tataran-tataran pengorganisasian yang lebih tinggi (Budiman, 2003:54). Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five major kode) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang ditinjau Barthes yaitu (Sobur, 2006:65-66): 1. Kode Hermeneutika atau kode teka-teki yang berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang
Universitas Sumatera Utara
muncul dalam teks. Kode teka teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita. 2. Kode Proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, yang artinya antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Pada praktiknnya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. 3. Kode Simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. 4. Kode Gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu. 5. Kode Semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”. Menurut Lechte, tujuan dari analisis Barthes ini bukan hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan, dan bukan tiruan dari yang nyata (Sobur, 2006:66). Selain penanda teks (leksia) dan lima kode utama yang telah dijelaskan diatas, beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland Barthes adalah : 1. Penanda dan Petanda Umberto Eco (dalam Wibowo, 2011:7) menyebut tanda sebagai suatu ‘kebohongan’ dan di dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi dibaliknya. Tanda yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tanda nonverbal yang terdapat
Universitas Sumatera Utara
dalam iklan Ice Cream Magnum versi Undian Berhadiah yang tayang sejak bulan Juli 2010 hingga Maret 2011. Semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat di ambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Menurut Barthes, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa : apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Dengan kata lain, petanda merupakan aspek mental dari bahasa (Sobur, 2004:46).
2. Denotasi dan Konotasi Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting didalan ujaran. Denotasi bersifat langsung, dapat dikatakan sebagai makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Sedangkan menurut Kridalaksana, denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu diluar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan sifatnya objektif (Sobur, 2004:263). Denotasi merupakan definisi objektif yang bersifat umum. Tingkat pertanda ini menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang mengahasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap, sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih sedikit (kecil). Jadi sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif
Universitas Sumatera Utara
maupun negatif. Jika kita mempunyai nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi negatif (netral) (Sobur, 2003:264). Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan. Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah polisemi. Sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang subjektif. Sedangkan konotasi adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara dan pendengar. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Secara umum (bukan bahasa), konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi emotif misalnya halus, kasa/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan sebagainya.
3. Paradigma dan Sintagmatik a. Paradigma Barthes adalah seorang pengikut Saussure. Dari jalur Saussurean, membaca dan menstrukturkan teks dapat dilakukan dalam dua langkah, yaitu sintagmatik dan paradigmatik. Analisis sintagmatik melihat teks sebagai suatu rangkaian dari satuan ruang dan waktu yang membentuk teks. Pada tingkat selanjutnya, pemaknaan berikutnya dilakukan secara paradigmatik. Setiap tanda berada dalam kodenya sebagai bagian dari suatu paradigma, suatu ralasi in absentia yang mengabaikan tanda tersebut dengan tanda-tanda lain (Sunarto dan Hermawan, 2011:240). Paradigmatik (paradigms) merupakan sebuah istilah teknis untuk menggambarkan bahwa sebuah tanda itu bermakna dalam hubungannya dengan tanda lainnya (Danesi, 2010:46). Paradigma adalah satu rangkaian set di mana sebuah pilihan dibuat dan hanya satu unit dari satu set rangkaian tanda tersebut yang mungkin dipilih. Contoh yang sederhana adalah huruf-huruf dalam alfabet. Alfabet membentuk paradigma untuk bahasa tulis dan menggambarkan dua karakteristik dasar dari paradigma yaitu (Fiske, 2012:93-94):
Universitas Sumatera Utara
1. Satu unit dalam paradigma harus memiliki satu kesamaan artinya mereka harus berbagi karakteristik yang menentukan keanggotaan mereka pada sebuah paradigma. Kita harus tahu bahwa M adalah sebuah huruf dan oleh sebab itu merupakan anggota dari paradigma alfabet. Kita juga secara seimbang mengenali bahwa 5 dan + bukan merupakan alfabet. 2. Masing-masing unit dalam sebuah paradigma harus secara jelas berbeda dengan unit-unit yang lain. Kita harus bisa membedakan satu tanda dengan tanda-tanda yang lain terkait dengan signifier dan signified mereka miliki. Alat yang kita gunakan untuk membedakan satu penanda dengan yang lain disebut fitur pembeda/distingtif dari sebuah tanda. Setiap kali kita berkomunikasi kita harus memilih tanda-tanda sebuah paradigma. Kata-kata adalah sebuah paradigma kumpulan kata (vocabulary) bahasa Inggris adalah bagian dari paradigma. Kata-kata juga dikategorikan ke dalam paradigma yang lebih spesifik: paradigma tata bahasa, seperti kata benda atau kata kerja; paradigma penggunaan-bahasa bayi, bahasa hukum, perbincangan romantis, umpatan maskulin; ataupun paradigma suara-tiga istilah dari Saussure untuk menganalisis tanda yang membentuk paradigma dan sering kali digunakan yakni Sn, Sr, Sd. S di sini secara konvensi mengindikasikan paradigma dan –n, -r, -d, merupakan fitur pembeda yang mengidentifikasikan unit-unit dalam paradigma (Fiske, 2012:94). Contoh lain dari paradigma adalah cara mengganti sorotan kamera di televisi diantaranya potong (cut), menghilang (fade), melembut (dissolve), hapus (wipe), dan sebagainya; gaya kursi yang kita gunakan di ruang tamu; hingga tipe mobil yang kita kendarai. Semua itu melibatkan pilihan-pilihan paradigmatik, dan makna dari unit yang kita pilih sangat ditentukan oleh makna dari unit-unit yang tidak kita pilih. Dimana kita dapat menyimpulkan dengan mengatakan di mana ada pilihan di situ ada makna, dan makna dari yang dipilih ditentukan oleh makna yang tidak terpilih (Fiske, 2012:95).
Universitas Sumatera Utara
b. Sintagmatik Normalnya, setelah sebuah unit dipilih dari sebuah paradigma, unit tersebut akan dikombinasikan dengan unit yang lain. Kombinasi inilah yang disebut dengan sintagma. Jadi, sebuah kata (dalam bentuk tertulis) adalah sebuah sintagma visual yang terdiri dari serangkaian pilihan paradigmatik dari huruf di dalam alfabet. Sebuah kalimat adalah sebuah sintagma kata-kata, contohnya baju kita pakai adalah sebuah sintagma pilihan-pilihan dari beberapa paradigma topi, dasi, kemeja, jaket, celana panjang, kaus kaki, dan lain-lain. Cara kita menata ruangan adalah sebuah sintagma dari pilihan-pilihan paradigma-paradigma kursi, meja, sofa, karper, wallpapers, dan sebagainya. Sebuah menu merupakan sebuah contoh dari sebuah sistem yang komplit. Pilihan dari masing-masing makanan ( paradigma) diberikan secara penuh, dimana setiap pelangan mengombinasikannya menjadi sebuah hidangan, serta pesanan yang diberikan kepada pelayan adalah sebuah sintagma (Fiske, 2012:95). Aspek penting dari sintagma adalah aturan dan konvensi yang digunakan untuk mengombinasikan unit-unit. Pada bahasa kita menyebutnya sebagai tata bahasa atau sintaksis, pada musik kita menyebutnya sebagai melodi (harmoni adalah merupakan masalah pilihan paradigmatik); pada pakaian kita menyebutnya selera yang bagus, atau naluri berbusan, meskipun juga terdapat aturan formal. Bagi Saussure, kunci untuk memahami tanda adalah hubungan struktural antara tanda. Terdapat dua tipe hubungan, struktural paradigmatik yang terkait dengan pilihan dan sintagmatik yang terkait dengan kombinasi (dari tanda-tanda yang terpilih) (Fiske, 2012:96). 4. Mitos Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan oleh karenanya lebih banyak hidup dalam masyarakat (Wibowo, 2011:17). Barthes menggunakan mitos sebagai sebagai orang yang mempercayainya, dalam pengertian yang sebenarnya. Mitos primitif adalah mengenai hidup dan
Universitas Sumatera Utara
mati, manusia dan tuhan, baik dan buruk. Sementara mitos terkini adalah soal maskulinitas dan feminitas, tentang keluarga, tentang kesuksesan, tentang ilmu pengetahuan. Bagi Barthes, mitos adalah sebuah budaya cara berpikir tentang sesuatu, cara mengonseptualisasi atau memahami hal tersebut. Ia melihat mitos sebagai mata rantai dari konsep-konsep yang berelasi (Fiske, 2012:143-144). Mitos tidak didefinisikan oleh objek pesannya, tetapi oleh caranya menyatakan pesan, tidak ada batas-batas formal bagi mitos, tidak ada batas-batas yang substansial (Barthes, 2010:296). Di dalam mitos juga terdapat pola dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos juga adalah sebuah sistem pemaknaan tataran kedua. Barthes mengatakan, cara kerja mitos yang paling penting adalah menaturalisasi sejarah. Hal ini menunjuk pada fakta bahwa mitos sesungguhnya merupakan produk sebuah kelas sosial yang telah meraih dominansi dalam sejarah tertentu. Makna yang disebarluas melalui mitos pasti membawa sejarah, namun pelaksanaannya sebaga mitos membuat mereka mencoba untuk menyangkalnya dan menampilkan makna terbaru sebagai sesuatu yang alami (natural), bukan bersifat historis atau sosial. Sebagai contoh, mitos bahwa perempuan secara natural lebih memiliki sifat memelihara dan merawat dari pada laki-laki, dengan demikian tempat natural perempuan adalah di rumah, membesarkan anak-anak dan merawat suami. Sementara suami, secara natural memainkan perannya mencari nafkah. Peran ini kemudian menstrukturkan unit sosial yang membuatnya menjadi universal dan tampak tidak dapat diubah. Hal ini kemudian menciptakan mitos bahwa perempuan hanya untuk melayani kepentingan laki-laki (Fiske, 2012:146). Mata rantai konsep-konsep yang membentuk mitos yang saling berhubungan antara maskulinitas, feminitas dan keluarga yang telah beranak pinak, tapi tidak secara alami. Dimana feminitas yang mengandung makna natural dari merawat, domestifikasi, sensitivitas, dan kebutuhan dilindungi, sementara maskulinitas diberi makna kekuatan, ketegasan, kemandirian, dan kemampuan bekerja diruang publik. Namun, faktanya laki-laki menguasai sejumlah posisi publik yang tidak proporsional dalam masyarakat (Fiske, 2012:147).
Universitas Sumatera Utara
Tentu saja, mitos dapat menaturalisasi makna sangat efektif, dengan menghubungkannya pada beberapa aspek. Jadi, fakta bahwa perempuan melahirkan digunakan untuk menaturalsasi makna perawatan dan domestikasi. Sama halnya, tubuh laki-laki yang besar dan berotot digunakan untuk menaturalisasi kekuatan sosial dan politik laki-laki (tidak ada hubungannya dengan kekuatan fisik). Oleh sebab itu, perubahan peran perempuan dalam masyarakat dan perubahan struktur dalam keluarga mengakibatkan mitos-mitos ini menemukan posisi dominasinya dalam mitos natural sebelumnya. Dengan kata lain, mitos yang baru terbentuk bukan berarti menolak mitos sebelumnya secara keseluruhan, namun menghilangkan beberapa konsep dari mata rantai, dan menambahkan konsep lainnya. Dimana mitos sifatnya evolusioner dan bukan bersifat revolusioner (Fiske, 2012:147-148). Gambar 4. Two Orders of Signification Tataran Pertama
realitas
Tataran Kedua
tanda
budaya
bentuk denotasi
konotasi
penanda ------------------petanda isi
mitos
Dalam tatanan kedua, Sistem Tanda dari Tatanan Pertama Disisipkan ke Dalam Sistem Nilai Budaya Sumber : Barthes dalam Fiske, 2012:145
Pada saat media membagi pesan, maka pesan-pesan yang berdimensi konotatif yang nantinya menciptakan mitos. Pengertian mitos di sini tidak senantiasa menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya
Universitas Sumatera Utara
cerita-cerita tradisional, legenda dan sebagainya. Yang mana adanya dinamisme mitos dalam aspek mitos itu sendiri. Fiske mengatakan, mitos bisa berubah bahkan beberapa dapat berubah dengan cepat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan nilai budaya di mana mereka berada (Fiske, 2012:149). Bagi Barthes, mitos adalah sebuah cara pemaknaan, dan ia menyatakan mitos secara lebih spesifik sebagai jenis pewacanaan atau tipe wicara (Barthes, 2010:152). Dengan konotasi dan mitos merupakan cara utama, di mana tanda bekerja dalam tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan di mana interaksi dan pengguna atau kebudayaan menjadi sesuatu yang paling aktif (Fiske, 2012:149).
2.2.3. Hedonisme Hedonisme pertama kali dikemukakan oleh seorang filsuf dari yunani yaitu Aristippos (433-335 S.M), ia
mengatakan hal terbaik bagi manusia adalah
kesenangan, itu terbukti karena sudah sejak kecilnya manusia merasa tertarik akan kesenangan dan bila telah tercapai ia tidak akan mencari sesuatu yang lain lagi. Sebaliknya berusaha menjauhkan diri dari ketidak senangan. Aristippos menekankan bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau dan kesenangan dimasa lampau. Akan tetapi, ada batas untuk mencari kesenangan. Aristippos mengakui perlu adanya pengendalian diri, dimana penendalian diri tidak sama dengan meninggalkan kesenangan (Bertens, 2004:236). Selain itu, Epikuros (341-270 s.M) seorang filsuf yunani melihat kesenangan (hedone) sebagai tujuan kehidupan manusia. Menurut kodratnya setiap manusia mencari kesenangan, tapi Epikuros memberikan pengertian tentang kesenangan lebih luas daripada pandangan Aristippos. Walaupun tubuh manusia merupakan “asas serta akar” kesenangan dan akibatnya kesenangan badani harus dianggap paling hakiki, namun Epikuros mengakui adanya kesenangan yang melebihi tahap badani. Dalam menilai kesenangan Epikuros memandang kehidupan sebagai keseluruhan termasuk masa lampau dan masa depan. Biarpun pada dasarnya setiap kesenangan bia di nilai baik, namun itu tidak berarti
bahwa
setiap
kesenangan
harus
dimanfaatkan
juga.
Epikuros
membedakannya dalam tiga macam keinginan yakni keinginan alamiah yang
Universitas Sumatera Utara
perlu seperti makan dan tidur, keinginan alamiah yang tidak perlu seperti makan yang enak, keinginan yang sia-sia seperti kekayaan. Kekayaan yang pertama lah menurut
Epikuros
harus
dipuaskan
dan
pemuasannya
secara
terbatas
menghasilkan kesenangan paling besar, maksudnya dengan memenuhi keinginan makan dan tidur dengan teratur akan mendapat kesenangan yang besar (Bertens, 2004:237). Hedonisme atau pandangan yang menyamakan baik secara “moral” dengan “kesenangan” tidak saja merupakan suatu pandangan pada permulaan sejarah filsafat, tetapi dikemudian hari sering kembali di pelbagai variasi. Filsuf Inggris, John Locke mengatakan, sesuatu dianggap baik apabila menyebabkan atau meningkatkan kesenangan, sebaliknya, dianggap jahat apabila mengakibatan atau mengurangi ketidak senangan (Bertens, 2004:241). Sementara menurut Epikuros, seorag filsuf asal yunani yang lahir pada tahun 342 SM, dalam ajarannya yang menitikberatkan persoalan kenikmatan mengatakan, Apa yang baik adalah segala sesuatu yang mendatangkan kenikmatan, sedangkan yang buruk adalah segala sesuatu yang menghasilkan ketidaknikmatan. Namun demikian, bukanlah kenikmatan yang tanpa aturan yang dijunjung
kaum Epikurean, melainkan
kenikmatan
yang
dipahami
secara
mendalam. Kaum Epikurean membedakan keinginan alami yang perlu (seperti makan) dan keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), serta keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan/harta yang berlebihan). Keinginan pertama harus dipuaskan dan pemuasannya secara terbatas menyebabkan kesenangan yang paling besar. Oleh sebab itu kehidupan sederhana disarankan oleh Epikuros. Tujuannya untuk mencapai ketenteraman jiwa yang tenang, kebebasan dari perasaan risau, dan keadaan seimbang dalam hidup. Epikuros
sangat
menegaskan
kebijaksanaan (phoronesis). Menurutnya,
orang yang bijaksana adalah seseorang yang dapat mempertimbangkan pilihan nikmat atau rasa sakit. Orang bijaksana bukanlah orang yang memperbanyak kebutuhan, tetapi mereka yang membatasi kebutuhannya agar dengan cara membatasi diri, ia akan mencapai kepuasan dan menghindari tindakan yang berlebihan (http://id.wikipedia.org/wiki/Hedonisme).
Universitas Sumatera Utara
Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam dimana manusia pada dasarnya mencari kebahagiaan dan berusaha menghindari diri dari ketidaksenangan.
Psikoanalisis
Sigmund
Freud
mengungkapkan,
bahwa
kecenderungan manusia tersebut bahkan terdapat pada taraf yang tidak sadar. Serigkali manusia mecari kesenagan tanpa diketahuinya. Namun tidak dapat dipungkiri, keinginan akan kesenangan merupakan suatu dorongan yang sangat mendasar dalam hidup manusia (Bertens, 2004:238). 2.2.4. Iklan Iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai tiap bentuk komunikasi nonpersonal mengenai suatu organisasi, produk, servis, atau ide yang dibayar oleh satu sponsor yang diketahui. Yang dimaksud ‘dibayar’ disini menunjukkan fakta bahwa ruang atau waktu bagi suatu pesan iklan pada umumnya harus dibeli, sedangkan maksud kata ‘nonpersonal’ berarti suatu iklan melibatkan media massa (Morrisan, 2010:17). Iklan berasal dari bahasa Arab iqlama, yang dalam bahasa Indonesia artinya pemberitahuan, dalam bahasa Inggris advertising berasal dari kata Latin abad
pertengahan
advertere, “mengarahkan perhatian kepada”, sedangkan
reklame berasal dari bahasa Perancis “re-klame” yang berarti berulang-ulang (Danesi, 2010: 362). Sebenarnya semua istilah di atas mempunyai pengertian yang sama yaitu memberi informasi tentang suatu barang/jasa kepada khalayak. Iklan dikategorisasikan sebagai iklan non komersial dan iklan komersial. Iklan non komersial adalah iklan yang bersifat pelayanan masyarakat, sedangkan Iklan komersial ditandai dengan syarat imajinasi dalam proses pencitraan dan pembentukan nilai-nilai estetika untuk memperkuat citra terhadap objek iklan itu sendiri. Sehingga terbentuk image, semakin tinggi estetika dan citra objek iklan, maka semakin komersial objek tersebut (Bungin, 2008:65). Sejatinya tugas utama iklan adalah untuk mengubah produk menjadi sebuah citra, dan apapun pencitraannya yang digunakan dalam sebuah iklan, baik itu citra kelas sosial, citra seksualitas, dan sebagainya, yang terpenting pencitraan itu memiliki efek terhadap produk dan akan menambah nilai ekonomisnya (Bungin, 2008:126).
Universitas Sumatera Utara
Senada dengan Bungin, Jib Fowles juga mengatakan, iklan tidak sekedar media komunikasi, namun terpenting adalah muatan konsep komunikasi yang terkandung di dalamnya, terlebih lagi konsep itu harus mampu mewakili maksud produsen untuk mempublikasikan produk-produknya, serta konsep tersebut harus dipahami oleh pemirsa sebagaimana yang dimaksud oleh si pencipta iklan (Bungin, 2008:81). Sementara itu, menurut Stanton, Etzel dan Walker 1994, iklan adalah suatu bentuk penyajian yang terlebih dahulu melakukan pembayaran oleh sposor tertentu. Dimana adanya harapan agar iklan dapat mempengaruhi afeksi dan kognisi konsumen berupa evaluasi, perasaan, pengetahuan, makna, kepercayaan, sikap dan citra yang berkaitan dengan produk dan merek. Dalam praktiknya, iklan telah dianggap sebagai manajemen citra yang mampu menciptakan dan memelihara citra dan makna dalam benak konsumen. Iklan disajikan melalui berbagai macam media seperti televisi, media massa, media cetak, radio, papan iklan, dan sebagainya. Walaupun konsumen pada umumnya diekspor pada ratusan iklan setiap harinya, sebagian besar dari pesan yang disampaikan hanya menerima perhatian dan pemahaman dari konsumen dalam jumlah yang sangat sedikit (Sunyoto, 2013:153-154). Selain itu, iklan semestinya memberikan informasi yang jelas tentang produk yang ingin disampaikan. Namun kini, guna mendapat penilaian yang baik iklan cenderung lebih menonjolkan sisi pencitraan dibandingkan apa yang sebenarnya terdapat dalam iklan produk itu sendiri sebagai tujuan dan alat mempengaruhi konsumen mengenal dan membeli. Sebagaimana disampaikan oleh Colston E. Werne, seorang guru besar ilmu ekonomi di Amherst College, menyebutkan bahwa kini pesan-pesan yang terkandung didalam iklan, diantaranya (Rivers, 2003:337-338) : -
Menonjolkan nilai-nilai yang sebenarnya tidak penting
-
Memunculkan perspektif keliru tentang mutu suatu produk, sehingga lebih sering menyesatkan daripada memberitahu
-
Menurunkan standar etika karena terlalu sering melontarkan bujukan
-
Menciptakan kesulitan bagi orang tua dalam mendidik anak-anaknya
-
Menjadikan masyarakat terlalu memuja mode, gaya dan perilaku boros.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu bagian dari industri periklanan selain pengiklan dan agen periklanan, adalah media. Media berperan sebagai penghubung antara perusahaan dengan konsumennya. Dari seluruh media, televisi seringkali difavoritkan menjadi media periklanan yang utama, karena efektivitas dan efisiensi dalam penyampaian pesan dan pembentukan citra di dalamnya. Televisi menjadi pilihan utama oleh banyak pemasar karena karakteristiknya yang unik dan mampu menampilkan imajinasi nyata dari iklan tersebut dalam bentuk gambar dan suara. Iklan televisi lahir dari proses panjang penggarapan sebuah iklan. Banyak kalangan tidak mengetahui kalau iklan televisi umumnya berdurasi beberapa detik, membutuhkan proses kerja yang sangat rumit dan panjang. 2.2.5 Model Teoretik Model adalah analogi yang mengabstraksikan dan memilih bagian dari keseluruhan, unsur, sifat dan komponen yang penting dari fenomena yang dijadikan model. Model dapat dikatakan sebagai gambaran informal untuk menjelaskan atau menerapkan teori. Model teoritik secara sederhana bisa dipahami sebagai representasi suatu fenomena, baik nyata maupun abstrak dengan menonjolkan unsur-unsur terpenting fenomena tersebut (Fisher, 1986:93). Gambar 5 Bagan Teoretik Penelitian Hedonisme Ice Cream Magnum Dalam Iklan Objek Penelitian Iklan Ice Cream Magnum versi Undian “Berhadiah di Lima Kota Besar di Dunia” Semiotika Roland Barthes - Analisis Leksia dan 5 Kode Pembacaan - Denotasi dan Konotasi - Mitos Level Analisis - Teks ( Gambar ) - Konteks ( Sosial, Sejarah, Budaya, dan Ekoomi )
- Bentuk hedonisme yang terbangun didalam iklan - Mitos
Universitas Sumatera Utara
2.2.6
Sinematografi Sinematografi adalah kata serapan dari bahasa Inggris (cinematography)
yang berasal dari bahasa latin kinema (gambar). Sinematografi sebagai ilmu serapan merupakan bidang ilmu yang membahas tentang teknik menangkap gambar dan menggabung gabungkan gambar tersebut hingga menjadi rangkaian gambar yang dapat menyampaikan ide. Sinematografi memiliki objek yang sama dengan fotografi yakni menangkap pantulan cahaya yang mengenai benda. Karena objeknya sama maka makna peralatannya pun mirip. Perbedaannya fotografi menangkap gambar tungga, sedangkan sinematografi menangkap rangkaian gambar. Jadi sinematografi adalah gabungan antara fotografi dengan teknik rangkaian gambar atau dalam sinematografi disebut montase atau montage (http:// mitrakamera.com). Sinematografi sebagai bagian dari disiplin ilmu dalam kaitannya dengan iklan televisi Ice Cream Magnum dilihat dari penayangannya tidak jauh berbeda dengan proses serta peralatan yang digunakan dalam hal pembuatan film, itu sebabnya iklan ini juga tergolong dalam bentuk Story film (film bercerita) dengan durasi yang singkat. Sehingga sinematografi penting guna membantu peneliti dalam menjabarkan setiap gambar/video yang ditampilkan. 2.2.6.1. Tata Kamera Tata kamera dalam sinematografi adalah penggunaan kamera yang baik dan benar merupakan hal terpenting guna mendapatkan gambar atau video yang di inginkan. Melalui tata kamera-lah gambar yang di inginkan akan menciptakan rangkaian-rangkaian gambar atau video yang sempurna. Pada tahapan tata kamera terdapat beberapa variasi dalam rekaman video diantaranya lewat sudut pandang, gerakan kamera, serta format shot (sudut rekam). Tujuan dari variasi ini adalah agar penonton merasakan berada di lokasi adegan (Brata, 2007:33). a.
Gerakan Kamera Gerakan kamera adalah dimana badan kamera bergerak terhadap subjek
(talent). Beberapa gerakan kamera diantaranya (Brata, 2007:33-34) :
Universitas Sumatera Utara
1. Pan, adalah gerakan kamera pada poros horizontal, menoleh ke samping, mengikuti gerakan subjek/talent. Pan-right berarti kamera menoleh ke kanan, sedangkan Pan-left berarti kamera menoleh ke kiri. 2. Tilt, adalah gerakan kamera pada poros vertikal, mendongak atau menunduk. Tilt-up berarti kamera bergerak menengadah, sedangkan Tiltdown kamera bergerak menunduk. 3. Track,adalah gerakan kamera pada landasan yang bergerak mendekati atau menjauhi subjek/talent. Track-in berarti kamera bergerak mendekati talent, sedangkan Track-out berarti kamera bergerak menjauhi talent. Tracking menghasilkan efek psikologis seakan-akan penonton “ditarik” mendekati atau menjauhi subjek/talent. 4. Crab, adalah gerakan kamera pada landasan yang bergerak melintasi subjek/talent. Lintasan gerakan kamera bersifat orbital dengan subjek sebagai titik pusat/sumbu. 5. Zoom, adalah gerakan lensa yang dapat merubah rasio ukuran subjek/talent. Zoom-in berarti menggeser titik lensa dari yang kecil ke titik lensa yang lebih besar sehingga menghasilkan pembesaran rasio ukuran subjek dalam bingkai shoot, sedangkan Zoom-out berarti menggeser titik lensa dari yang besar ke titik lensa yang kecil sehingga menghasilkan pengecilan rasio ukuran subjek dalam bingkai shoot. Zooming menghasilkan efek psikologis seakan-akan subjek/talent “ditarik” mendekati atau menjauhi penonton. 6. Follow thru, adalah gerakan kamera, maju mengikuti gerakan subjek/talent yang membelakangi kamera. Gerakan kamera searah gerakan subjek. 7. Lead, adalah gerakan kamera, mundur mengikuti gerakan maju subjek/talent. Gerakan kamera searah gerakan subjek. 8. Teknik lain yang digunakan yakni pengambilan gambar tanpa menggerakkan kamera, jadi cukup objek yang bergerak. - Objek bergerak sejajar dengan kamera. - Walk In : Objek bergerak mendekati kamera. - Walk Away : Objek bergerak menjauhi kamera.
Universitas Sumatera Utara
Teknik ini dikatakan lain karena tidak hanya mengandalkan sudut pengambilan, ukuran gambar, gerakan kamera dan objek tetapi juga unsur- unsur lain seperti cahaya, properti dan lingkungan. Rata-rata pengambilan
gambar
dengan
menggunakan
teknik-teknik
ini
menghasilkan kesan lebih dramatik. b. Sudut Pandang Kamera Arah pandang kamera terhadap subjek tidak kalah penting di dalam memainkan emosi penonton. Biasanya titik acuan sudut pandang kamera adalah mata subjek/talent atau garis horison jika subjek adalah pemandangan/lokasi. Sudut pandang kamera terdiri dari (Brata, 2007:35-36) : 1. Frog eye, jenis shot ini merupakan sudut rekam yang rendah. Sudut pandang ini disebut juga low level shoot, menghasilkan kesan keangkuhan, keagungan, ketegaran dan kekokohan. Biasanya terjadi distorsi perspektif berupa pengecilan ukuran subjek pada bagian atas. 2. Eye level, jenis shot ini menggunakan sudut rekam yang sama tinggi dengan mata subjek/talent. Atau, letak horison relatif di tengah bidang shoot. Sering disebut dengan normal shot. 3. Eagle aye, jenis shot ini menggunakan sudut rekam yang tinggi (high level shot), biasanya digunakan untuk mendeskripsikan posisi subjek yang berada dalam kelompok atau pada suatu lokasi. 4. Slanted, jenis shot ini merupakan perekaman dengan sudut tidak frontal dari depan atau frontal dari samping objek, melainkan dari sudut 45 derajat dari objek, sehingga objek yang lain masuk ke dalam bingkai rekam. 5. Over shoulder, jenis shot ini merupakan versi close-up dari slanted shot sehingga seakan-akan objek lain di shoot dari bahu objek utama.
c.
Format Shot Format shot berkaitan erat dengan panjang titik api lensa. Titik api pendek
akan memberikan cakupan bidang rekam yang luas serta ruang tajam yang luas (latar belakang ikut fokus), sedang titik api panjang (tele) akan memberikan cakupan bidang rekam yang lebih sempit (ketat) serta ruang tajam yang sempit
Universitas Sumatera Utara
(latar belakang yang relatif kabur). Berikut berberapa bentuk format shot (Brata, 2007:38-41): 1. Estabilish shot, jenis shot ini memperlihatkan keseluruhan lingkungan tempat adegan terjadi. Biasanya berupa panorama lingkungan tempat hidup tokoh cerita. 2. Long shot (LS) atau full shot, jenis shot ini menghasilkan rekaman yang mencakup keseluruhan bagian tubuh subjek. 3. Medium long shot (MLS) atau Medium full shot, jenis shot ini memperlihatkan batas bawah bingkai gambar memotong bagian bawah objek, misalnya tungkai bawah subjek. 4. Medium shot (MS) atau Half total, jenis shot ini memperlihatkan batas bawah bingkai gambar memotong pinggang subjek. 5. Close-up shot (CU), shot ini memperlihatkan batas bawah bingkai gambar berada antara dada dan dagu subjek. 6. Big Close-up Shot, jenis ini memperlihatkan batas bawah bingkai gambar memotong tepat dibawah dagu subjek. 7. Extreme Close-up Shot (ECU), jenis shot ini memperlihatkan hanya satu bagian wajah subjek, misalnya mata tampil memenuhi bingkai gambar. 8. One Shot (1S), Pengambilan gambar satu objek. 9. Two Shot (2S), Pengambilan gambar dua orang. 10. Three Shot (3S), Pengambilan gambar tiga orang. 11. Group Shot (GS), Pengambilan gambar sekelompok orang. d. Visual Effect Visual effect Visual effect terdiri dari (Brata, 2007:135-167) -
Picture in picture : efek visual ini bermanfaat untuk menampilkan beberapa adegan yang berlangsung bersamaan dalam berberapa jendela pandang. Contoh, menampilkan orang yang sedang menelopan dan lawan bicaranya.
-
Slow motion : menghasilkan kesan dramatis dan mendebarkan
-
Sketch to realistic : memberi efek pada cerita/adegan tampilan diawali dengan gambar gaya komik, lalu lambat laun berubah menjadi tampilan
Universitas Sumatera Utara
ralistik. Atau sebaliknya, pada akhir cerita perlahan-lahan tampilan berubah dari realistik menjadi gambar komik. -
Video mask : cara kerja effek ini adalah dengan menyembunyikan bagia tertentu pada klip sehingga seakan-akan klip tersebut “bolong”. Efek ini dimanfaatkan misalnya untuk membuat efek halusinasi, bayangan di cakrawala, atau efek bayangan mimpi/lamunan.
-
Green screen : efek ini dapat dilihat dalam film-film Hollywood yang menampilkan sang lakon beraksi dilokasi berbahaya, atau meloncat dari ledakan bom. Dimana aktor berakting di depan layar berwarna hijau atau biru. Nantinya, warna hijau atau biru akan di seleksi dengan klip video tentang lokasi berbahaya.
e.
Teknis Editing Editing adalah proses penyambungan gambar dari banyak shot tunggal sehingga menjadi kesatuan cerita yang utuh. Editor menyusun shot-shot tersebut sehingga menjadi sebuah scene, kemudian dari penyusunan scenescene tersebut akan tercipta sequence sehingga pada akhirnya akan tercipta sebuah film yang utuh. Ibarat menulis sebuah cerita, sebuah shot bisa dikatakan sebuah kata, scene adalah kalimat, sequence adalah paragraph. Sebuah cerita akan utuh bila terdapat semua unsur tersebut, begitu juga dengan film. Beberapa bentuk teknik editing / pemotongan gambar dengan menggunakan transisi perpindahan gambar (Brata, 2007:135-167) : -
Cut, yaitu proses pemotongan gambar secara langsung tanpa adanya manipulasi gambar
-
Framing, yaitu objek berada dalam framing Shot. Frame In jika memasuki bingkai dan frame out jika keluar bingkai.
-
Wipe, perpindahan gambar dengan menggeser gambar lainnya. Wipe meliputi banyak transisi, antara lain wipe, slide, dll.
-
Fade, gambar secara perlahan muncul atau menghilang. Fade meliputi fade in, fade out.
-
Superimpose, dua gambar atau lebih yang muncul menumpuk dalam satu frame.
Universitas Sumatera Utara
f.
Pealatan Lain yang Digunakan dalam Iklan Berikut ini peralatan untuk memproduksi iklan televisi (http://emjaiz.word
press.com/2009/09/04/iklan-televisi/) 1. Tokoh, dapat terdiri dari bintang film, tokoh masyarakat, anak-anak, ataupun tokoh kartun yang mampu mendukung gambaran brand. 2. Suara manusia atau voice biasanya disingkat VO. Suara manusia terdiri dari suara perempuan atau female voice yang disingkat FVO dan suara laki-laki male voice yang disingkat MVO 3. Musik 4. Lagu/jingle 5. Sound effect (SFX) 6. Super (super imposed), yaitu huruf, tulisan, atau gambar grafis yang dimunculkan atau dicetak di atas gambar. Biasanya super menampilkan nama atau merk produk, nama perusahaan, slogan, dan lain-lain dengan maksud melengkapi atau memperjelas pesan. Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan atau target sasaran. lima jenis huruf berikut ini (Tinarbuko, 2010:25) -
-
-
-
Huruf (Romein) Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal tipis dan mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya. Huruf Egyptian Garis hurufnya memliki ukuran yang sama tebal pada setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus dan kaku. Huruf Sans Serif Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau kait. Huruf Miscellaneous Jenis huruf ini mementingkan nilai hiasnya daripada nilai komunikasinya. Bentuk senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental. Huruf Script Jenis huruf yang menyerupai tulisan tangan dan bersifat spontan.
Universitas Sumatera Utara
7. Warna sebagai unsur visual yang berkaitan dengan bahan yang mendukung keberadaannya ditentukan oleh jenis pigmennya. Kesan yang diterima oleh mata lebih ditentukan cahaya. Permasalahan mendasar dari warna di antaranya adalah hue (spektrum warna), saturation (nilai kepekatan) dan lightness (nilai cahaya dari gelap ke terang). Warna juga merupakan pelengkap gambar serta mewakili suasana kejiwaan pelukisnya dalam berkomunikasi. Warna juga merupakan unsur yang sangat tajam untuk menyentuh kepekaan penglihatan sehingga mampu merangsang munculnya rasa haru, sedih, gembira, mood atau semangat. Molly E. Holzschlag, seorang pakar tentang warna, dalam tulisannya “Creating Colour Scheme” membuat daftar mengenai kemampuan masingmasing warna ketika memberikan respon secara psikologis (Kusrianto, 2007: 47): a. Merah bermakna kekuatan, bertenaga, kehangatan, nafsu, cinta, agresifitas dan bahaya. b. Biru bermakna kepercayaan, konservatif, keamanan, teknologi, kebersihan dan perintah. c. Hijau bermakna alami, kesehatan, pandangan yang enak, kecemburuan dan pembaruan. d. Kuning bermakna optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran / kecurangan, pengecut dan penghianatan. e. Ungu bermakna spiritual, misteri, keagungan, perubahan bentuk, galak dan arogan. f. Orange bermakna energi, keseimbangan dan kehangatan. g. Coklat bermakna bumi, dapat dipercaya, nyaman dan bertahan. h. Abu-abu bermakna intelek, futuristik, modis, kesenduan dan merusak. i. Putih bermakna kemurnian/suci, bersih, kecermatan, innocent (tanpa dosa), steril dan kematian. j. Hitam bermakna kekuatan, seksualitas, kemewahan, kematian, misteri, ketakutan, ketidakbahagiaan dan keanggunan.
Universitas Sumatera Utara