BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Pembelajaran Sejarah Pembelajaran berasal dari kata belajar, yang artinya perubahan tingkah laku. Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan keadaan (proses) belajar (Subini, 2013). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suprijono (2013) bahwa “pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari” (hlm.13). Pengertian Pembelajaran menurut Sudjana (2003) merupakan semua upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik (guru/ dosen) kepada peserta didik (siswa/ mahasiswa) untuk melakukan kegiatan belajar (Subini, 2013: 6). Pembelajaran adalah suatu usaha yang sengaja melibatkan dan menggunakan pengetahuan profesional yang dimiliki guru untuk mencapai tujuan kurikulum. Jadi, pembelajaran adalah suatu aktivitas yang dengan sengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk tercapainya suatu tujuan, yaitu tercapainya tujuan kurikulum (Uno & Nurdin, 2012: 143-144). Menurut Ngalimun, “pembelajaran merupakan suatu proses yang terdiri dari kombinasi dua aspek, yaitu: Pertama, belajar tertuju kepada apa yang harus dilakukan oleh siswa, dan kedua yaitu mengajar berorientasi kepada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu kegiatan pada saat terjadi interaksi antara guru dengan siswa, serta antara siswa dengan siswa di saat pembelajaran sedang berlangsung” (2014: 3). Berdasar pada beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran adalah segala aktivitas yang terjadi antara pendidik dan peserta didik yang dikondisikan sedemikian rupa guna mencapai tujuan pembelajaran sesuai yang tercantum dalam kurikulum pendidikan nasional.
10
11
sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga kini (Agung & Wahyuni. 2013: 55). Sedangkan Kuntowijoyo (2013) berpendapat : Ada dua dimensi dari manfaat sejarah, yakni manfaat sejarah secara intrinsik dan manfaat sejarah secara ekstrinsik. Secara intrinsik, sejarah amat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama terhadap pengembangan ilmu sejarah itu sendiri. Sementara secara ekstrinsik sejarah telah memberikan nilai-nilai yang memberikan inspirasi terhadap perjalanan umat manusia (hlm. 22). Lebih lanjut Kuntowijoyo menjelaskan bahwa : Perkembangan ilmu sejarah dapat terjadi melalui empat cara, yakni: 1) melalui perkembanga dalam filsafat; 2) melalui perkembangan dalam teori sejarah; 3) melalui perkembangan dalam ilmu-ilmu lain, dan 4) melalui perkembangan dalam metode sejarah. (2013: 21) Menurut Widya dalam Arif (2011) bahwa sejarah bukan sekedar uraian cerita masa lalu semata. Lebih jauh lagi, sejarah memiliki beberapa kegunaan yang tidak dapat diperoleh dari ilmu-ilmu lainnya. Adapaun kegunaan sejarah yang dimaksud adalah kegunaan edukatif, kegunaan inspiratif, dan kegunaan reaktif (hlm.14). Menurut Arif (2011). Sejarah mengajarkan pola pikir plurikausal, bahwa penyebab suatu peristiwa adalah banyak hal. Terdapat banyak faktor pendukung sehingga mengakibatkan terjadinya peristiwa sejarah. Sejarah mengajarkan kita berpikir secara multidimensional. Lebih lanjut Arif (2011). Menjelaskan bahwa: Peristiwa sejarah juga akan memberikan pemahaman bahwa peristiwa sejarah tidak dapat dipaksakan atau dicegah kejadiannya. Suatu peristiwa sejarah akan terjadi secara alamiah seiring dengan berjalannya waktu. Dengan demikian, sejarah juga mengajarkan kepada kita untuk berpikir berdasarkan perkembangan atau berpikir secara kronologis. Kenyataan seperti itu juga menegaskan kepada kita agar selalu menjadikan pengalaman pada masa lalu untuk memperhitungkan kehidupan kita pada masa kini dan pada masa yang akan datang (hlm. 28). Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah adalah segala aktivitas yang terjadi antara pendidik dan
12
peserta didik yang dikondisikan sedemikian rupa mengenai pemahaman masa lampau secara kronologis untuk mengembangkan aspek pengetahuan, sikap, dan ketrampilan guna mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan yang tercantum dalam kurikulum pendidikan nasional.
2. Model Pembelajaran Cooperative Learning a. Pengertian Model Pembelajaran Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada operasional di kelas. Model pembelajaran dapat diartikan pula sebagai pola yang digunakan untuk penyusunan kurikulum, mengatur materi, dan memberi petunjuk kepada guru di kelas ( Suprijono. 2013: 46). Menurut Joyce dalam Trianto (2007), Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkatperangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, computer, kurikulum, dan lailn-lain (hlm. 5) Sedangkan menurut Sagala (2009), model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar peserta didik untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar (hlm.48). Berpijak dari pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa model pembelajaran yakni suatu perencanaan atau pola koseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam merancang pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar.
13
b. Model Pembelajaran Cooperative Learning Model
pembelajaran
Cooperative
Learning
merupakan
model
pembelajaran yang menekankan adanya kerja sama kelompok, baik antar anggota kelompok maupun antar kelompok lain. Adapun beberapa definisi mengenai model Pembelajaran Cooperative Learning, yakni: Menurut Johnson & Johnson (1993), pembelajaran Cooperative Learning adalah penerapan pembelajaran terhadap kelompok kecil sehingga para siswa dapat bekerjasama untuk memaksimalkan pembelajarannya sendiri serta memaksimalkan pembelajaran anggota kelompok lain (Isjoni, 2012 : 23). Menurut Woolfolk (2001), pembelajaran Cooperative Learning adalah suatu pengaturan yang memungkinkan para siswa bekerjasama dalam suatu kelompok campuran dengan kecakapan yang berbeda-beda, dan akan memperoleh penghargaan jika kelompoknya mencapai suatu keberhasilan (Warsono & Hariyanto, 2013 : 161). Lain halnya menurut Spencer Kagan (1992), Secara sederhana merumuskan, bahwa pembelajaran Cooperative Learning terdiri dari teknikteknik pembelajaran yang memerlukan saling ketergantungan positif antara pelajar agar pembelajaran berlangsung baik (Warsono & Hariyanto, 2013 : 161). Dari definisi para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Cooperative Learning adalah model pembelajaran yang melibatkan sejumlah kelompok kecil siswa yang bekerjasama dan belajar bersama dengan saling membantu secara interaktif untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan sebelumnya.
c. Unsur-unsur dalam pembelajaran Cooperative Learning Pembelajaran Cooperative Learning tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran Cooperative Learning yang membedakan dengan pembelajaran kelompok yang dilakukan asal-asalan. Lebih lanjut Roger dan David Johnson dalam Suprijono (2013 ), bahwa tidak semua belajar kelompok bisa dianggap pembelajaran Cooperative
14
Learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal , lima unsur dalam model pembelajaran Cooperative Learning harus diterapkan. Lima unsur tersebut adalah: 1) Positive interdependence (saling ketergantungan positif) Unsur
pertama
pembelajaran
kooperatif
adalah
saling
ketergantungan positif. Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut. 2) Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan) Unsur kedua pembelajaran kooperatif adalah tanggung jawab individual.
Pertanggungjawaban
ini
muncul
jika
dilakukan
pengukuran terhadap keberhasilan kelompok. Tanggung jawab perseorangan adalah kunci untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar yang sama. Artinya, setelah mengikuti kelompok
belajar
bersama,
anggota
kelompok
harus
dapat
menyelesaikan tugas yang sama. 3) Face to face promotive interaction (interaksi promotif) Unsur ketiga pembelajaran kooperatif adalah interaksi promotif. Unsur ini penting karena dapat menghasilkan saling ketergantungan positif. Adapun ciri-ciri interaksi promotif yaitu a) saling membantu secara efektif dan efisien; b) saling memberi informasi bersama secara lebih efektif dan efisien; c) memproses informasi bersama secara lebih efektif dan efiseian; d) saling mengingatkan; e) saling membantu dalam merumuskan dan mengembangkan
argumentasi
serta
meningkatkan
kemampuan
wawasan terhadap masalah yang dihadapi; f) saling percaya; g) saling memotivasi untuk memproleh keberhasilan bersama.
15
4) Interpersonal skill (komunikasi antaranggota) Unsur keempat pembelajaran kooperatif adalah keterampilan sosial. Untuk mengkoordinasikan kegiatan peserta didik dalam pencapaian tujuan peserta didik harus: a) saling mengenal dan memercayai; b) mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius; c) saling menerima dan saling mendukung; d) mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif. 5) Group processing (pemrosesan kelompok) Unsur kelima pembelajaran kooperatif adalah pemrosesan kelompok. Pemrosesan mengandung arti menilai. Melalui pemrosesan kelompok dapat diidentifikasi dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok dan kegiatan dari anggota kelompok. Tujuan pemrosesan kelompok
adalah
meningkatkan
efektivitas
anggota
dalam
memberikan kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok (Suprijono, 2013: 58).
d. Tujuan model pembelajaran Cooperative Learning Pembelajaran
kooperatif menurut Majid (2013 :175) mempunyai
beberapa tujuan, antara lain : 1) Meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. Model kooperatif ini memiliki keunggulan dalam membantu siswa untuk memahami konsep-konsep yang sulit. 2) Agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai perbedaan latar belakang. 3) Mengembangkan keterampilan sosial siswa: berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, menjelaskan ide atau pendapat, dan bekerja dalam kelompok.
16
3. Strategi Index Card Match Strategi pembelajaran adalah cara-cara yang akan digunakan oleh pengajar untuk memilih kegiatan belajar yang akan digunakan selama proses pembelajaran. Pemilihan tersebut dilakukan dengan pertimbangan situasi dan kondisi, sumber belajar, kebutuhan dan karakteristik peserta didik yang dihadapi dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran tertentu (Aqib, 2013: 71) Menurut Hisyam Zaini, dkk (2004) “model Index Card Match (mencari pasangan) adalah strategi yang cukup menyenangkan yang digunakan untuk mengulangi materi yang telah diberikan sebelumnya” (hlm.69). Namun demikian materi barupun tetap bisa diajarkan dengan strategi ini dengan catatan siswa diberi tugas mempelajari topik yang akan diajarkan terlebih dahulu, sehingga ketika masuk kelas siswa sudah memiliki bekal pengetahuan. Sedangkan dalam Anita Lie (2002). Lorna Curran berpendapat “ teknik belajar mencari pasangan yaitu siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan (hlm.54). Berpijak pada pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa strategi Index Card Match adalah strategi pembelajaran yang menyenangkan, di mana siswa dapat belajar dan berdiskusi melalui cara mencocokkan kartu untuk mencari pasangan berdiskusi dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Adapun prosedur dalam strategi ini menurut Hamid (2001: 228) antara lain: 1) Guru menyiapkan kartu indeks yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Kartu indeks terdiri dari dua bagian atau dua kartu yang terpisah, kartu pertama ditulis soal tentang materi yang telah diajarkan di kelas, sedangkan pada kartu kedua, ditulis jawaban dari masing-masing pertanyaan yang telah disediakan. 2) Guru menjelaskan topik/ materi.
17
3) Guru mencampur kedua jenis kartu tersebut (kartu yang berisi pertanyaan dan jawaban) menjadi satu dan dikocok sampai benarbenar tercampur. 4) Kartu dibagikan pada masing-masing siswa. Masing-masing siswa memegang satu kartu. Siswa diberi petunjuk bahwa kartu yang dipegang merupakan suatu bahan latihan serta permainan. 5) Guru memerintahkan kepada siswa untuk menemukan pasangan dari kartu yang telah dipegangnya. 6) Ketika semua pasangan permainan telah menemukan pasangannya, guru menguji dengan memerintahkan untuk setiap pasangan mendiskusikan mengenai pertanyaan dan jawaban dari kartu yang didapat, kemudian mempresentasikannya. 7) Klarifikasi dan kesimpulan.
Pada dasarnya semua fungsi dari strategi pembelajaran hampir sama yakni meninjau kembali materi pelajaran yang dipelajari siswa, yang membedakan strategi index card match dengan strategi lainnya adalah petunjuk dan langkah-langkah penerapannya.
4. Keaktifan Siswa Menurut Sardiman (2004) “ aktivitas adalah kegiatan yang bersifat fisik maupun mental” (hlm.137). Sedangkan Hamalik (2003) menyatakan bahwa “pada hakikatnya keaktifan belajar terjadi dan terdapat pada semua perbuatan belajar, tetapi kadarnya yang berbeda-beda tergantung pada jenis kegiatannya, materi yang dipelajari dan tujuan yang hendak di capai” (hlm.137). Jadi yang dimaksud dengan keaktifan siswa adalah kegiatan yang bersifat fisik maupun mental yang terdapat dalam perbuatan belajar untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai.
18
a. Indikator Keaktifan Berikut indikator keaktifan para siswa dalam pembelajaran menurut Sudjana (1991: 61) : 1) Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya, 2) Terlibat dalam pemecahan permasalahannya, 3) Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya, 4) Berusaha
mencari
berbagai
informasi
yang
diperlukan
untuk
pemecahan masalah, 5) Melaksanakan diskusi kelompok sesuai petunjuk guru, 6) Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperoleh, 7) Melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah sejenis, 8) Menggunakan kesempatan
untuk
menerapkan apa
yang telah
diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapi.
Adapun klasifikasi aktivitas belajar menurut Sardiman (2004: 103) antara lain : 1) Visual activities, yang termasuk di dalamnya misalnya membaca, memperhatikan gambar, demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain. 2) Oral activities, seperti : menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, musik, pidato. 3) Listening activities, sebagai contoh mendengarkan uraian percakapan, diskusi, angket, dan menyalin. 4) Writing activities, seperti misalnya menulis cerita, karangan, menyalin laporan angket. 5) Drawing activities, misalnya menggambar, membuat grafik, peta, diagram, dan lain-lain. 6) Motor activities, yang termasuk di dalamnya antara lain: melakukan percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi, bermain, berkebun, berternak.
19
7) Mental activities, sebagai contoh misalnya: menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan, mengambil keputusan. 8) Emotional ectivities, seperti misalnya, menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup. Klasifikasi aktivitas seperti diuraikan di atas, menunjukan bahwa aktivitas di sekolah cukup kompleks dan bervariasi. Kalau berbagai macam kegiatan tersebut dapat diciptakan di sekolah, tentu sekolah-sekolah akan lebih dinamis, tidak membosankan dan benar-benar menjadi pusat aktivitas berlajar yang maksimal dan bahkan akan memperlancar peranannya sebagai pusat dan trasformasi kebudayaan. Untuk memenuhi klasifikasi aktivitas belajar tersebut kreativitas guru mutlak diperlukan dalam menciptakan inovasi pembelajaran agar dapat menciptakan kegiatan siswa yang sangat bervariasi.
5. Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata yakni prestasi dan belajar. Antara kata prestasi dan belajar mempunyai arti yang berbeda. prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok. Prestasi tidak akan pernah dihasilkan selama seseorang tidak melakukan suatu kegiatan. Dalam kenyataan, untuk mendapatkan prestasi tidak semudah yang dibayangkan, tetapi penuh perjuangan dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi untuk mencapainya. Hanya dengan keuletan dan optimesme dirilah yang dapat membantu untuk mencapainya. Oleh karena itu wajarlah pencapaian prestasi itu harus dengan jalan keuletan kerja hasil belajar dalam proses pendidikan dapat juga diartikan sebagai segala informasi yang berhasil diperoleh selama proses pendidikan yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses belajar. Adanya umpan balik yang akurat sebagai hasil evaluasi yang akurat pula, akan memudahkan kegiatan perbaikan pendidikan (Dimyati & Mujiono, 2006:193)
20
Poerwadarminta dalam Djamarah (1995) berpendapat “bahwa prestasi adalah hal yang telah dicapai (dilakukan, dikerjakan dan sebagainya)” .sedangkan Qohar yang juga dikutip oleh Djamarah (1995) berpendapat “bahwa prestasi adalah apa yang telah dapat diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja” (hlm.20). Menurut Sudjana (2003), “belajar adalah yang ditandai adanya perubahan pada diri seseorang yang sedang belajar. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, ketrampilan, kecakapan, kebiasaan, dan perubahan-perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar. Hal senada diungkapkan oleh Slameto (1999). “belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya” (hlm.23). Berdasar pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh berupa perubahan pengetahuan, ketrampilan, pola pikir dan tingkah laku setelah melewati aktivitas dalam belajar.
a. Faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar Adapun faktor-faktor yang memengaruhi prestas belajar menurut Mulyasa (2004: 190-193) sebagai berikut: 1) Pengaruh faktor eksternal Faktor eksternal yang dapat memengaruhi prestasi belajar peserta didik dapat digolongkan ke dalam faktor sosial dan non-sosial. Faktor sosial menyangkut hubungan antarmanusia yang terjadi dalam berbagai situasi sosial, yang termasuk dalam faktor ini adalah lingkungan keluarga, sekolah, teman dan masyarakat pada umumnya. Sedangkan faktor non-sosial adalah faktor-faktor lingkungan alam dan fisik; misalnya: keadaan rumah, ruang belajar, fasilitas belajar, bukubuku sumber, dan sebagainya.
21
2) Pengaruh faktor internal Sekalipun banyak pengaruh atau rangsangan dari faktor eksternal yang mendorong individu belajar, keberhasilan belajar itu akan ditentukan oleh faktor diri (internal) beserta usaha yang dilakukannya. Klasifikasi faktor internal mencakup: a) faktor-faktor fisiologis, yang menyangkut keadaan jasmani atau fisik individu, yang dapat terlihat oleh kasat mata dan dibedakan menjadi dua macam yaitu keadaan jasmani pada umumnya dan keadaan fungsi-fungsi jasmani tertentu terutama panca indra pada khususnya, dan b) faktor-faktor psikologis, yang berasal dari dalam diri seseorang dan tidak terlihat oleh kasat mata seperti intelegensi, minat, sikap, dan motivasi. Bloom dalam Sudjana (2008) menjelaskan bahwa ada tiga ranah dalam hasil belajar, yaitu: 1) Ranah kognitif, yaitu berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk dalam kognitif tingkat tinggi. 2) Ranah afektif, yaitu berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. 3) Ranah psikomotorik, yaitu berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotorik yakni gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan, gerakan ekspresif dan interpretatif.
B. Penelitian yang Relevan Berikut ini adalah beberapa penelitian yang relevan engan permasalahan yang dikaji oleh peneliti. Yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Lusia Pramita Sari, Nelly Astuti, Muncarno Muncarno (2013) dengan judul “Penerapan Strategi Index Card Match Untuk Meniingkatkan Aktivitas dan Hasil
22
Belajar Matematika” dan dimuat dalam Jurnal Pedagogi Vol 1, No 7. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa meningkat pada setiap siklusnya. Hal ini terlihat pada presentase aktivitas belajar siswa pada siklus I sebesar 47,11 %, siklus II 58,91 %, dan siklus III 75,12%. Hasil belajar siswa pada siklus I sebesar 59,67%, siklus II 65,19 %, dan siklus III 79,44%. Sedangkan ketuntasan belajar siswa siklus I sebesar 55,56%, siklus II 66,67%, dan siklus III 88,89%. Penelitian relevan kedua yang berkaitan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Mustolikh dengan judul “The Improvement of Students’ Understanding about Sociology Materials by Using Index Card Match Strategy” yang dimuat dalam International Journal for Educational Studies, Vol 2, No 2 (2010). Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa Pendidikan Geografi Universitas Muhammadiyah Purwokerto, tahun akademik 2008-2009 tentang materi sosiologi. Penelitian ini dilakukan dalam tiga siklus. Setiap siklus terdiri dari perencanaan, bertindak, mengamati dan refleksi, data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan teknik persentase dengan target lebih dari 75% siswa dapat mencapai ketuntasan belajar. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil rata-rata siswa memahami materi tentang sosiologi meningkat dari pertemuan siklus 1 (65, 23%) ke pertemuan siklus 2 (74%) dan dari pertemuan siklus 2 (74%) untuk pertemuan siklus 3 (82,61%). Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemahaman mahasiswa semester II kelas A pendidikan Geografi tentang materi Sosiologi dapat ditingkatkan dengan menggunakan strategi Index Card Match. Penelitian relevan ketiga yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini berasal dari Joseph Njogu Njoroge, dan Bernard Nyingi Githua (2013) yang berjudul “Effects Of Cooperative Learning/ Teaching Strategy On Learners` Mathematics Achievement By Gender” dan dimuat dalam Asian Journal Of Social Sciences & Humanities Vol. 2 No. 2 (2013). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa implementasi pembelajaran Cooperative Learning pada pembelajaran matematika, tidak ada perbedaan gender yang signifikan secara statistik dalam prestasi matematika. Oleh karena itu Cooperative Learning
23
terbukti lebih efektif dalam meningkatkan prestasi belajar matematika untuk siswa laki-laki dan perempuan dari metode pengajaran konvensional. kedua anak lakilaki dan perempuan tampaknya mendapat manfaat yang sama ketika belajar matematika menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning. Oleh karena itu perbedaan gender dalam prestasi ujian matematika di Kenya dapat diminimalkan dengan menggunakan strategi pembelajaran / pembelajaran kooperatif.
C. Kerangka Berpikir Pembelajaran sejarah di kelas XI IIS 2 SMA Negeri 7 Surakarta berdasarkan pada observasi awal yang telah dilakukan peneliti ketika mengikuti Program Pengalaman Lapangan periode September-November 2015 menunjukkan hasil bahwa: 1) pembelajaran masih bersifat konvensional, pembelajaran didominasi oleh guru yang berceramah; 2) Walaupun sudah diberlakukan diskusi kelompok dan presentasi namun tidak mampu menarik minat siswa atau siswa kurang antusias; 3) Guru terkesan kurang maksimal dalam menyampaikan materi, hal ini dibuktikan dengan sedikitnya pemaparan dan penjelasan materi yang diajarkan karena hanya terpaku pada buku pelajaran dari sekolah; 4) guru kurang memanfatkan model dan media pembelajaran sehingga kurang menarik. Selain gaya mengajar guru yang monoton (tidak ada variasi mengajar), serta banyaknya materi yang harus dikuasi menjadikan siswa jenuh serta cenderung pasif dan memunculkan anggapan bahwa pelajaran sejarah mengutamakan hafalan. Terdapat beberapa guru yang hanya mendiktekan materi pelajaran sejarah saat kegiatan belajar-mengajar tanpa menjelaskan lebih lanjut isi materi tersebut. Keberhasilan pembelajaran sejarah dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam menangkap materi pelajaran yang disampaikan oleh guru ditunjukkan dengan keaktifan dan prestasi belajar yang memenuhi kriteria ketuntasan minimal. Namun selama ini guru hanya menggunakan model pembelajaran ceramah dalam mata pelajaran Sejarah sehingga kurang dapat merangsang keaktifan siswa dan menggali semua potensi yang ada dalam diri siswa. Hal ini berimplikasi pada rendahnya keaktifan dan prestasi belajar sejarah siswa. Untuk meningkatkan
24
keaktifan dan prestasi belajar sejarah siswa dapat dilakukan dengan cara menggunakan model pembelajaran yang tepat bagi proses pembelajaran. Model pembelajaran Cooperative Learning dikembangkan untuk mencapai hasil belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan pengembangan ketrampilan sosial. Pelaksanaan prosedur model Cooperative Learning dengan benar akan memungkinkan guru mengelola kelas lebih efektif. Cooperative Learning terdiri dari beberapa strategi, salah satunya yaitu strategi index card match. Strategi ini digunakan untuk mengulangi materi yang telah diberikan sebelumnya, namun materi barupun tetap bisa diajarkan dengan strategi ini. Strategi Index Card Match merupakan strategi yang merangsang keaktian siswa untuk terlibat dalam pembelajaran, selain itu strategi ini juga dapat digunakan untuk maninjai sejauh mana siswa memahami materi pelajaran yang diberikan. Strategi ini dirasa sesuai untuk meningkatkan kekatifan dan prestasi belajar sejarah dalam pembelajaran sejarah di kelas XI IIS 2 SMA Negeri 7 Surakarta. Dengan demikian diduga bahwa penerapan model pembelajaran Cooperative Learning dengan Strategi Index Card Match dapat digunakan untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut.
25
D. Kondisi Awal E.
Tindakan
Kondisi Akhir
Model Pembelajaran masih bersifat Konvensional.
Guru menerapkan model pembelajaran Cooperative Learning dengan Strategi Index Card Match
Di duga Melalui penerapkan model pembelajaran Cooperative Learning strategi Index Card Match dapat meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar siswa kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta.
Keaktifan dan prestasi belajar siswa dalam belajar sejarah rendah.
Siklus I : Meliputi kegiatan: 1. Planning (Perencanaan tindakan siklus I) 2. Acting (Pelaksanaan tindakan melalui penerapan model pembelajaran CooperativeLearning denganIndex Card Match sesuai dengan RPP) 3. Observing (Pengamatan dari hasil pelaksanaan tindakan) 4. Reflecting (Kegiatan mengkaji, melihat dan mempertimbangkan hasil dari tindakan di siklus I)
Siklus II : Meliputi kegiatan: 1. Planning (Perencanaan tindakan siklus II yang merupakan perbaikan rencana dari siklus I) 2. Acting (Pelaksanaan tindakan melalui penerapan model Cooperative Learning dengan strategi Index Card Match sesuai dengan RPP yang lebih
menekankan penguasaan materi pada siswa) 3. Observing (Pengamatan dari hasil pelaksanaan tindakan) 4. Reflecting (Kegiatan mengkaji, melihat, dan mempertimbangkan hasil dari tindakan di siklus II)
Gambar 2.1. Skema kerangka berpikir
26
D. Hipotesis Tindakan Melalui penerapan model pembelajaran Cooperative Learning dengan Strategi Index Card Match dapat dirumuskan hipotesis tindakan sebagai berikut, dengan menerapkan model pembelajaran Cooperative Learning dengan strategi Index Card Match dapat meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar sejarah pada siswa kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta tahun ajaran 2015/2016.