BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. a.
Tinjauan Tentang Anak Autis
Pengertian Anak Autis Kata autisme diambil dari kata Yunani “autos” yang berarti aku (Suharmini, 2002) dalam (Purwanta 2012:115). Autisme merupakan gangguan perkembangan yang memiliki ciri-ciri bahwa anak seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri atau memiliki dunia sendiri dan tidak ada kontak dengan orang lain. Istilah autisme pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Autistic Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda, echolalia, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain repetitive dan stereotype,
rute
ingatan
yang
kuat
dan
keinginan
obsesif
untuk
mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya. Sementara itu menurut Prasetyono (2008) berpendapat “Autisme merupakan suatu kumpulan sindrom yang mengganggu saraf. Penyakit ini mengganggu perkembangan anak, diagnosisnya diketahui dari gejala-gejala yang tampak dan ditunjukkan dengan adanya penyimpangan perkembangan” (hlm. 11). Gangguan tersebut ditandai dengan ketidakmampuan melakukan interaksi sosial dan seperti hidup dalam dunianya sendiri, pada umumnya perkembangan ini terjadi pada masa anak-anak atau yang disebut dengan gejala autis infantil. Banyak juga di antara mereka suka menyakiti dirinya sendiri dan berperilaku sangat ekstrim, misalnya suka melakukan kegiatan gerak yang sama selama berjam-jam setiap waktu atau stereotype Alloy, L. B. (2005 : 93) dalam (Delphie 2009 : 4-5).
7
8
Sutadi dan Puspita (2000) dalam Purwanta (2012 : 115) mengatakan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan berat yang memengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan) dengan orang lain. Adapula definisi yang lebih operasional dinyatakan oleh The Individuals with Disabilities Education Act dalam Yuwono (2009) menyatakan: Autisme atau autistik merupakan gangguan perkembangan yang secara signifikan mempengaruhi komunikasi verbal dan non-verbal dan interaksi sosial, sering diasosiasikan dengan keterikatan dalam aktivitas yang diulang-ulang dan gerakan stereotype, menolak perubahan lingkungan/perubahan rutinitas sehari-hari dan tidak biasa merespon pengalaman-pengalaman sensorik. Berdasarkan beberapa pandangan mengenai pengertian anak autis, dapat disimpulkan bahwa autisme adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan pada fungsi otak yang mengakibatkan anak kesulitan melakukan interaksi sosial dan tidak mampu menggunakan bahasa verbal maupun non verbal yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan sekitarnya. b. Klasifikasi Anak Autis Ada beberapa pendapat mengenai klasifikasi anak autis, antara lain Dapat diklasifikasikan ke dalam gangguan perkembangan pervasif menurut ICD-10 (International Classification of Diseases, WHO 1993) dan DSM-IV (American Psychiatric Association, 1994) dalam Prasetyono (2008 : 54-65) adalah: 1) Autisme Masa Kanak-kanak (Childbood Autism) Autisme pada masa kanak-kanak adalah gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya sudah tampak sebelum anak tersebut mencapai umur tiga tahun. Ciri-ciri gangguan autisme ini adalah: kualitas komunikasinya tidak normal, adanya gangguan dalam kualitas interaksi sosial, dalam aktivitas, perilaku, serta interesnya sangat terbatas, diulang-ulang, dan streotip. 2) Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Gejala ini tidak sebanyak seperti pada autisme masa kanak-kanak. Kualitas dari gangguan tersebut lebih ringan, sehingga anak-anak ini masih bisa bertatap mata, ekspresi facial tidak terlalu datar, dan masih bisa diajak bergurau.
9
3) Sindrom Rett (Rett’s Syndrome) Gangguan perkembangan yang hanya dialami oleh anak wanita. Sekitar umur enam bulan, bayi mulai mengalami kemunduruan perkembangan. Pertumbuhan kepala mulai berkurang pada umur lima bulan sampai empat tahun. Gerakan tangan menjadi tidak terkendali, gerakan yang terarah hilang, dan disertai dengan gangguan komunikasi serta penarikan diri secara sosial. Selain itu, terjadi gangguan berbahasa, perseptivitas, ekspresif, serta kemunduran psikomotor yang hebat. Hal yang sangat khas adalah timbulnya gerakan tangan yang terus-menerus. 4) Gangguan Disintegratif Masa Kanak-kanak (Childbood Disintegrative Disorder) Gejala timbul setelah umur tiga tahun. Perkembangan anak sangat baik selama beberapa tahun sebelum terjadinya kemunduran yang hebat. Petumbuhan yang normal terjadi pada usia 1 sampai 2 tahun. Kemudian, anak akan kehilangan kemampuan yang sebelumnya telah dikuasai dengan baik. 5) Asperger Syndrome (AS) Lebih banyak terdapat pada anak laki-laki. Perkembangan bicaranya tidak terganggu, tetapi mereka kurang bisa berkomunikasi secara timbal balik. Berbicara dengan tata bahasa yang baku dan dalam berkomunikasi kurang menggunakan bahasa tubuh. Sangat terobsesi kuat pada suatu benda. Mempunyai daya ingat yang kuat dan tidak mempunyai kesulitan dalam pelajaran di sekolah. Menurut (Yatim, 2002) dalam Pamuji (2007:6) klasifiikasi anak autis dikelompokkan menjadi tiga antara lain: 1) Autisme persepsi Dianggap autisme yang asli karena kelainann sudah timbul sebelum lahir. Ketidakmampuaaaan anak berbahasa termasuk pada penyimpangan reaksi terhadap rangsangan dari luar, begitu juga ketidakmampuan anak bekerjasama dengan orang lain, sehingga anak bersikap masa bodoh. 2) Autisme reaksi Terjadi karena beberapa permasalahan yang menimbulkan kecemasan seperti orangtua meninggal, sakit berat/pindah sekolah dan sebagainya. Autisme ini akan memunculkan gerakan-gerakan tertentu berulang-ulang kadang-kadang disertai kejang-kejang. Gejala ini muncul pada usia lebih besar 6 -7 tahun sebelum anak memasuki tahapan berpikir logis. 3) Autisme yang timbul kemudian Terjadi setelah anak agak besar, dikarenakan kelainan jaringan otak yang terjadi setelah anak lahir. Hal ini mempersulit dalam pemberian pelatihan dan pelayanan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang sudah melekat.
10
Dari beberapa pendapat di atas peneliti menyimpulkan bahwa klasifikasi anak autis meliputi Autisme Masa Kanak-kanak (Childbood Autism), Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified (PDDNOS), Sindrom Rett (Rett’s Syndrome), Gangguan Disintegratif Masa Kanakkanak (Childbood Disintegrative Disorder), dan Asperger Syndrome (AS). Dari beberapa klasifikasi yang dijelaskan sebelumnya, untuk menentukan diagnosis yang tepat adalah dengan mengamati gejala-gejala yang ditimbulkan yang telah disesuaikan dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan. c.
Faktor Penyebab Anak Autis Penyebab autisme hingga saat kini memang belum diketahui secara pasti, dan menurut beberapa ahli menyebutkan autis disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa para peneliti tentang autis mengungkapkan bahwa terdapat gangguan biokimia, gangguan jiwa/psikiatri, kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis. Menurut pendapat Soenardi dan Soetardjo (2007), ada beberapa faktor yang diyakini sebagai penyebab autisme diantaranya: 1) Penyakit ibu saat hamil, misalnya cacar air/rubella, virus citom egalo, keracunan kehamilan, anemia berat, dan lain-lain yang mungkin mempengaruhi perkembangan sel syaraf otak janin/susunan syaraf pusat 2) Bahan-bahan kimia seperti yang terdapat pada pengawet makanan, pewarna makanan, penambah rasa (MSG), dan food additive lainnya. 3) Keracunan logam berat (polutan) misalnya timbal (Pb) dari limbah kendaraan bermotor, merkuri (Hg) dari ikan yang tercemar/air raksa sebagai pengawet vaksin yang kadarnya melebihi ambang batas aman. 4) Gangguan metabolisme protein gluten dan kasein. 5) Infeksi jamur/yeast. 6) Alergi dan intoleransi makanan, dan lain-lain.
11
Dalam Prasetyono (2008 : 70) para peneliti di Kanada dan Amerika menemukan enam belas ciri-ciri awal perilaku bayi yang merupakan prediksi akurat untuk timbulnya autisme di kemudian hari dalam menjelaskan beberapa dugaan sebagai penyebab autisme dan diagnosa medisnya adalah sebagai berikut: 1) Konsumsi Obat Pada Ibu Menyusui Beberapa jenis obat yang perlu dihindari seperti: obat antialergi atau antihistamin, obat migrain, obat tidur dan obat penenang, obat antimuntah, hormon, antibiotik, dan beberapa jenis vitamin dalam dosis terlalu tinggi. 2) Gangguan Susunan Saraf Pusat Di dalam otak anak Autis ditemukan adanya kelainan pada susunan saraf pusat di beberapa tempat seperti: pengurangan jumlah sel purkinje di dalam otak dan kelainan struktur pada pusat emosi dalam otak. 3) Gangguan Metabolisme (Sistem Pencernaan) Ada hubungan antara gangguan pencernaan dengan gejala autis. Suntikan sekretin dapat membantu mengurangi gangguan pencernaan. 4) Peradangan Dinding Usus Sejumlah anak penderita gangguan autis, umumnya, memiliki pencernaan buruk dan ditemukan adanya peradangan usus yang diduga oleh virus. 5) Faktor Genetika Gejala autis pada anak disebabkan oleh faktor turunan. Setidaknya, telah ditemukan dua puluh gen yang terkait dengan autisme. Akan tetapi, gejala autisme baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. 6) Keracunan Logam Berat Kandungan logam berat ini diduga sebagai penyebab kerusakan otak pada anak autis. Beberapa logam berat, seperti arsenik (As), antimon (Sb), kadmium (Cd), air raksa (Hg), dan timbal (Pb), adalah racun otak yang sangat kuat. Handojo (2003 : 14-15) menjelaskan penyebab timbulnya kelainan pada otak anak autis adalah sebagai berikut: Faktor genetika diperkirakan menjadi penyebab utama dari kelainan autism, walaupun bukti-bukti konkrit masih sulit ditemukan. Memang ditengarai adanya kelainan kromosom pada anak autisma, namun kelian itu tidak berada pada kromosom yang selalu sama. Penelitian masih terus dilakukan sampai saat ini. Di samping faktor
12
genetika ini, diperkirakn masih banyak faktor pemicu yang berperan dalam timbulnya gejala autisma. Pada kehamilan trimester pertama, yaitu 0-4 bulan, faktor pemicu ini biasa terdiri dari: infeksi (toksoplasmosis, rubella, candida, dsb), logam berat (Pb, Al, Hg, Cd), zat aditif (MSG, pengawet, pewarna, dsb), alergi berat, obatobatan, jamu peluntur, muntah-muntah hebat (hiperemesis), pendarahan berat, dll. Pada proses kelahiran yang lama (partus lama) dimana terjadi gangguan nutrisi dan oksigenasi pada janin, pemakaian forsep, dll. Dapat memicu terjadinya autisma. Bahkan sesudah lahir (post partum) juga dapat terjadi pengaruh dari berbagai pemicu, misalnya: infeksi ringan-berat pada bayi, imunisasi MMR dan hepatitis B (mengenai 2 jenis imunisasi ini masih kontroversial), logam berat, MSG, zat pewarna, zat pengawet, protein susu sapi (kasein) dan protein tepung terigu (gluten). Sedangkan etiologi anak autistik menurut Wenar dan Kerig (2006) dalam Delphie (2009 : 29) terbagi atas dua kelompok besar, yaitu: Faktor-faktor biologis (the biological factors) dan konteks yang terjadi dalam pikiran diri sendiri (the intrapersonal context). Faktorfaktor biologis meliputi faktor lingkungan, faktor genetika, faktor neurokemis, dan penemuan-penemuan neuroanatomis. Konteks yang terjadi dalam pikiran diri sendiri meliputi kasih sayang, perkembangan emosi, ekspresi emosional, kerja sama atensi, perkembangan bahasa, pengambilan perspektif, perkembangan kognitif, fungsi-fungsi eksekutif, dan teori berpikir. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang menyebabkan anak mengalami gangguan perkembangan autistik atau ASD (Autistic Spectrum Disorder) sangat beragam seperti faktor lingkungan, vaksin, konsumsi gandum dan susu, penyakit ibu saat hamil, konsumsi makanan yang mengandung bahan pengawet dan zat aditif, infeksi jamur, alergi, konsumsi obat pada ibu menyusui, gangguan susunan saraf pusat, gangguan metabolisme (sistem pencernaan), peradangan dinding usus, faktor genetika/keturunan, dan keracunan logam berat. d. Karakteristik Anak Autis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merumuskan suatu kriteria yang harus dipenuhi untuk dapat melaksanakan diagnosis autisme. Rumusan ini dipakai di seluruh dunia untuk menjadi panduan diagnosis yaitu
13
dikenal dengan nama DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994, yang dibuat oleh grup psikiatri dari Amerika. Isi dari DSM-IV tersebut dalam Sunu (2012: 13-14) terdapat beberapa kriteria yang menyangkut pada anak dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD), diantaranya sebagai berikut : 1) Minimal ada 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan sedikitnya dua gejala dari (1) dan masing-masing satu gejala dari (2) dan (3). a) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 gejala sebagai berikut: (1) tak mampu menjalin interaksi sosia yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerakgerik yang kurang tertuju. (2) tidak bisa bermain dengan teman sebaya. (3) tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. (4) kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik. b) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi yang ditunjukkan oleh minimal satu dari gejala-gejala sbb: (1) Berbicara terlambat atau bahkan sama sekali tidak berkembang (tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain selain bicara). (2) Bila
bisa
bicara,
bicaranya
tidak
dipergunakan
untuk
berkomunikasi. (3) Sering mempergunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang. (4) Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru. c) Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala sbb : (1) Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebih-lebihan. (2) Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya. (3) Ada gerakan-gerakan yang aneh yang khas dan diulang-ulang.
14
(4) Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda. 2) Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang (1) interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, (3) cara bermain yang kurang variatif. 3) Bukan disebabkan oleh oleh Sindroma Rett dan Gangguan Disintegratif Masa Anak-anak Namun menurut Kupfer (2013) dalam Kevin dan Hansun (2015 : 55) dalam DSM versi V yang diterbitkan pada tahun 2013, Asperger disorder, PDD-Nos dan CDD sudah tidak dianggap lagi sebagai kelainan. DSM versi V mengkategorikan autisme tidak hanya sebagai Autistic Spectrum Disorder. Rett syndrome masih tergolong sebagai kelainan, tetapi hanya jika pasien telah didiagnosa menderita Autistic Spectrum Disorder dan mengalami gejala-gejala tambahan dari Rett syndrome. Kriteria diagnosis autisme menurut DSM V adalah sebagai berikut: 1) ≥ 6 dari (1), (2), (3) dengan sekurang-kurangnya 2 dari (1) dan satu dari (2) dan (3) a) Gangguan kualitatif interaksi sosial (1) Tidak mampu menjalin interaksi non verbal (kontak mata), ekspresi wajah, gestur). (2) Kesulitan bermain dengan teman sebaya. (3) Tidak ada empati dan minat. (4) Tidak ada timbal balik sosial/emosional. b) Gangguan kualitas komunikasi (1) Terlambatnya atau tidak ada perkembangan bicara (tidak berusaha untuk melakukan komunikasi verbal). (2) Gangguan dalam memulai/pertahankan percakapan. (3) Menggunakan bahasa idiosinkartik secara stereotypic dan berulang. (4) Tidak ada permainan khayalan/imaginatif. c) Pola perilaku, minat, aktivitas terbatas, berulang dan sterotipe (1) Mempertahankan 1 minat/lebih dengan berlebihan (2) Terpaku pada suatu rutinitas. (3) Gerakan gestur khas (manarisme motorik) stereotypic dan berulang (ex: jentikan jari) d) Keterlambatan/fungsi abnormal pada minimal satu bidang dari: interaksi sosial, bahasa dalam interaksi, permainan simbolik (onset < 3 tahun).
15
e) Gangguan tidak dapat dijelaskan oleh gangguan rett/ gangguan degenerative masa kanak-kanak. Menurut Sutadi (2000) dalam Purwanta (2012 : 116-117), ada dua jenis problema perilaku pada anak autis, yaitu: 1) Perilaku berlebihan (excessive) pada anak autisme ditandai dengan: a) Tantrum, seperti menjerit, menangis, mengamuk, dan sejenisnya. b) Stimulasi diri, seperti tangan mengepak-ngepak, memutarmutar badan, membanting-banting, berjalan “lurus” dan sebagainya. c) Self-abuse, seperti memukul, menggigit, mencakar diri sendiri. d) Agresif, seperti menendang, memukul, menggigit, dan mencubit orang lain. 2) Perilaku yang berkekurangan (deficient) ditandai dengan: a) Mengalami gangguan bicara, sedikit kata dan suara, membeo seperti bicara sendiri. b) Menganggap orang lain seperti suatu benda. c) Mengalami defisit sensasi, tampak seperti tuli, buta. d) Apabila ia bermain satu permainan, ia akan bermain terus. e) Tidak dapat bermain dengan benar, misalnya ia mengendarai truk mainan, tetapi malah truk mainannya dibalik dan rodanya diputar-putar. f) Ekspresi yang diberikan tidak sesuai, misalnya mestinya ia menjerit atau tertawa pada saat digelitik tetapi malah bengong saja. g) Pandangannya sering kosong. Anak autis memiliki gambaran unik dan karakter yang berbeda dari anak lainnya. Prasetyono (2008 : 25) menjelaskan bahwa karakteristik anak autis digambarkan sebagai berikut: 1) Anak yang sangat selektif terhadap rangsangan, sehingga kemampuan anak menangkap isyarat yang berasal dari lingkungan yang terbatas. 2) Kurang motivasi. Anak tidak hanya sering menarik diri dan asyik sendiri, tetapi juga cenderung tidak termotivasi menjelajahi lingkungan baru atau memperluas lingkup perhatian mereka. 3) Memiliki respon stimulasi diri tinggi. Anak menghabiskn sebagian besar waktunya untuk merangsang dirinya sendiri, misalnya bertepuk tangan, mengepak-ngepakkan tangan, dan memandangi jari-jemari, sehingga kegiatan ini tidak produktif.
16
4) Memiliki respon terhadap imbalan. Anak mau belajar jika mendapat imbalan langsung dan jenis imbalan sangat individual. Akan tetapi, respon ini berbeda untuk setiap anak autis. Menurut Muhammad (2008 : 105-108) anak autis memiliki masalah atau gangguan dalam aspek berikut: 1) Komunikasi: a) Perkembangan bahasa yang lambat. b) Terlihat seperti mempunyai masalah pendengaran dan tidak memerhatikan apa yang dikatakan oleh orang lain. c) Jarang berbicara. d) Sulit untuk diajak berbicara. e) Kadang bisa mengatakan sesuatu namun hanya sebentar saja. f) Pernyataan yang disampaikan tidak sesuai dengan pertanyaan. g) Mengeluarkan bahasa yang tidak dapat dipahami oleh orang lain. h) Meniru perkataan atau pembicaraan orang lain (echolalia). i) Dapat meniru kaliat atau nyanyian tanpa mengerti maksudnya. j) Suka menarik tangan orng lain bila meminta sesuatu. 2) Interaksi Sosial: a) Suka menyendiri. b) Sering menghindari kontak mata dan selalu menghindar dari pandangan muka orang lain. c) Tidak suka bermain dengan temannya dan sering menolak ajakan mereka. d) Suka memisahkan diri dan duduk memojok. 3) Gangguan Indra: a) Sensitif pada sentuhan. b) Tidak suka dipegang atau dipeluk. c) Sensitif dengan bunyi yang keras. d) Suka mencium dan menjilat mainan atau benda-bena lain. e) Kurang sensitif pada rsa sakit dan kurang memiliki rasa takut. 4) Pola Bermain: a) Tidak suka bermain selayaknya anak-anak seusianya. b) Tidak suka bermain dengan rekan seusianya. c) Tidak bermain mengikuti pola biasa dan suka memutar-mutar atau melempar dan menangkap kembali mainan atau apa saja yang dipegangnya. d) Menyukai objek-objek yang berputar, seperti kipas angin. e) Apabila ia menyukai suatu benda, ia akan terus memegangya dan dibawa-bawa ke mana saja. 5) Tingkah Laku: a) Bersifat hiperaktif sampai hipoaktif.
17
b) Melakukan perbuatan atau gerakan yang sama berulangulang, seperti bergoyang-goyang, mengepak-ngepakkan tangan dan menepuk tangan, berputar-putar, mendekatkan mata ke televisi, berlari, dan berjalan mondar-mandir. c) Tidak menyukai perubahan. d) Dapat duduk diam tanpa berbuat apa pun dan tanpa reaksi apa pun. 6) Emosi: a) Sering marah, tertawa, dan menangis tanpa sebab. b) Mengamuk tanpa terkontrol jika tidak dituruti kemauannya atau dilarang melakukan sesuatu yang diingininya. c) Merusak apa saja yang ada di sekitarnya jika emosinya terganggu. d) Menyerang siapa saja yang mendekatinya jika emosinya terganggu. e) Terkandang suka melukai diri sendiri. f) Tidak memiliki rasa simpati dan tidak memahami perasaan orang lain. Berdasarkan uraian di atas, sebelum mendiagnosis anak ke dalam beberapa jenis spektrum autistik/ASD (Autistic Spectrum Disorder) diagnostik awal yang tepat adalah mengamati perilaku anak ketika berkomunikasi, bertingkah laku dan memantau perkembangan anak setiap harinya. Pengamatan tersebut merupakan langkah awal bagi orangtua untuk mengetahui apakah anaknya memperlihatkan gejala-gejala autistik. Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
gangguan
perkembangan anak autis antara lain meliputi gangguan komunikasi, kesulitan melakukan interaksi sosial, gangguan indra, pola bermain yang berbeda, gangguan tingkah laku, dan emosi yang susah dikendalikan.
2. Tinjauan Tentang Perilaku Agresif a.
Pengertian Perilaku Agresif Pengertian perilaku agresif adalah setiap perilaku yang bertujuan menyakiti orang lain, dapat juga ditujukan kepada perasaan ingin menyakiti orang lain dalam diri seseorang (Sars, 1985).
18
Hal
tersebut
sependapat
dengan
para
ahli
lainnya
yang
mendefinisikan agresivitas sebagai perilaku atau kecenderungan perilaku yang diniati untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis (Buss & Perry, 1992 : 452). Bandura (1973) dalam Sunardi (1995 : 104) mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kriteria agresif atau tidak, yaitu: 1) Karakteristik perilaku itu sendiri (apakah serangan fisik, membuat malu, merusak barang milik, dsb) apapun pengaruhnya pada korban. 2) Intensitas perilaku, disini dengan intensitas tinggi (berbicara sangat keras pada seseorang) dianggap agresif, sedangkan perilaku dengan intensitas rendah (berbicara pelan-pelan) dianggap tidak agresif. 3) Ekspresi sakit, luka, atau perilaku menghindar dari penderitaan tindakan. 4) Kesenjangan oleh pelaku. 5) Karakteristik pengamat (misalnya jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, latar belakang etnis, pengalaman dengan perilaku agresif, dsb). 6) Karakteristik perilaku tindakan (misalnya usia, jenis kelamin, pengalaman dengan perilaku agresif, dsb). Kauffman (1985) dalam Sunardi (1995 : 105) membedakan agresif dan asertif dengan adanya unsur ancaman, pemaksaan, dan hukuman. Perbedaannya adalah: Perilaku agresif sering diartikan sebagai perilaku tegas atau kemauan keras, sehingga teori psikodinamika menganggap asertif sebagai cara mengekspresikan dengan dorongan agresif yang wajar dan baik, sedangkan psikologi behavioristik menganggap perilaku agresif sebagai bagian dari perilaku asertif yang paling ekstrim jelek dan tidak wajar. Asertif merupakan sikap tegas yang dapat dimiliki setiap orang, perilaku asertif merupakan awal dari seorang anak berperilaku agresif. Sikap asertif akan berubah menjadi agresif jika mendapat dorongan dari lingkungan sekitarnya. Berdasarkan pendapat dari para ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku agresif merupakan perilaku menyimpang/tindakan kekerasan
19
baik secara verbal maupun fisik yang bertujuan untuk menyakiti orang lain yang didorong karena kemauan keras, serta tidak memperdulikan dampaknya pada orang lain. Pada umumnya perilaku agresif terjadi pada semua orang, termauk anak autis. Perilaku agresif yang terjadi pada anak autis disebut sebagai perilaku berlebihan (excessive). b. Ciri - Ciri Perilaku Agresif Menurut Buss dalam Nashori dan Diana (2008) mengungkapkan bahwa indikator atau ciri perilaku agresif meliputi fisik, verbal, secara aktif dan pasif, dan secara langsung dan tidak langsung. Tiga klasifikasi tersebut sering berinteraksi dan menghasilkan delapan bentuk perilaku agresif yaitu: 1) Perilaku agresif aktif fisik yang dilakukan secara langsung misalnya menusuk, menembak, memukul orang lain. 2) Perilaku agresif aktif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya membuat jebakan untuk mencelakakan orang lain. 3) Perilaku agresif pasif yang dilakukan secara langsung tidak memberikan jalan kepada orang lain. 4) Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya menolak untuk melakukan sesuatu, menolak mengerjakan perintah orang lain. 5) Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara langsung misalnya memaki-maki orang. 6) Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya menyebar gosip tentang orang lain. 7) Perilaku agresif verbal pasif yang dilakukan secara langsung misalnya menolak untuk berbicara dengan orang lain, menolak untuk menjawab pertanyaan orang lain atau menolak untuk memberikan perhatian pada suatu pembicaraan. 8) Perilaku agresif verbal pasif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya tidak setuju dengn pendapat orang lain, tetapi tidak mau mengatakan (memboikot), tidak mau menjawab pertanyaan orang lain. Sedangkan menurut Abidin (2005) mengemukakan beberapa karakteristik agresif, yaitu sebagai berikut: 1) Agresif merupakan tingkah laku yang bersifat membahayakan, menyakitkan, dan melukai orang lain. 2) Agresif merupakan suatu tingkah laku yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk melukai, menyakiti, dan membahayakan orang lain atau dengan kata lain dilakukan dengan sengaja.
20
3) Agresif tidak hanya dilakukan untuk melukai korban secara fisik, tetapi juga secara psikis (psikologis), misalnya melalui kegiatan yang menghina atu menyalahkan. Perilaku agresif pada anak autis dikategorikan ke dalam perilaku berlebihan (excessive) misalnya, anak berperilaku menendang, memukul, menggigit, atau mencubit (Prasetyono, 2008 : 27) Dari beberapa ciri-ciri perilaku agresif yang dipaparkan di atas tidak semua perilaku dapat dilakukan oleh anak autis. Jadi kesimpulannya adalah pada umumnya anak autis sering melakukan perilaku agresif fisik seperti menendang, memukul, mengigit atau mencubit oranng lain. c.
Faktor Penyebab Perilaku Agresif Beberapa para ahli telah mengidentifikasi faktor yang menyebabkan anak berperilaku agresif. Teori yang dikemukakan oleh para ahli tersebut masih belum dapat dibuktikan penyebab yang pasti dari agresifitas seorang anak. Pamoedji (2010 : 95-96) berpendapat bahwa pada umumnya anak autis terlihat agresif disebabkan karena mereka: 1) Frustasi karena tidak dapat mengkomunikasikan apa yang mereka ingin sampaikan. 2) Merasa sakit atau terganggu dengan stimulasi yang berlebihan dan tidak dapat menyampaikannya dengan bahasa yang dapat dimengerti orang lain. 3) Tidak dapat membaca pikiran orang lain (apakah orang lain akan membantu atau menyerang mereka). 4) Tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi kemudian. Kauffman
(1985)
dalam
Sunardi
(1995
:
108-109)
mengidentifikasikan empat asumsi utama penyebab perilaku agresif, yaitu biologis, psikodinamika, frustasi-agresif, dan teori belajar sosial. 1) Faktor Biologis Asumsi yang pertama adalah bahwa agresifitas merupakan perilaku intrinsik keturunan yang kemudian terbentuk melalui proses evolusi dikendalikan terutama oleh stimulus tertentu.
21
Asumsi kedua, perilaku merupakan respon terhadap kelainan hormon dan susunan biokimiawi tubuh. Asumsi ketiga, perilaku agresif merupakan getarangetaran elektrik yang terjadi pada sistem syaraf pusat. Kesimpulannya, semua jenis perilaku, termasuk agresif, melibatkan proses neurobiologis. Namun demikian, faktor biologis bukan satu-satunya faktor yang mengendalikan perilaku. 2) Faktor Psikodinamika Teori psikodinamika membedakan istilah agresif (aggresion) dari istilah perilaku agresif (aggresive behavior). Agresi adalah kekuatan instink dasar yang menyebabkan seseorang menjadi agresif. Agresi dapat diekspresikan dengan perilaku positif (secara sosial dapat dikirim), atau disebut juga agresif konstruktif, atau perilaku negatif (secara sosial tidak dapat diterima), disebut juga agresif destruktif. Ini semua tergantung pada tuntutan lingkungan dan terutama mekanisme pengendali dalam jiwa manusia, yaitu ego dan superego. Dengan kata lain agresi merupakan salah satu sisi dari jiwa manusia, yaitu jiwa manusia, yaitu bagian bawah sadar yang merupakan gudang dari berbagai dorongan dasar. Sedangkan perilaku agresif merupakan ekspresi negatif dari agresi, karena lemahnya fungsi kesadaran manusia, yaitu ego dan superego. 3) Konsep Frustasi-Agresi Teori frustasi-agresi sebenarnya diangkat dari teori psikodinamika. Bedanya kalau menurut teori psikodinamika, perilaku agresif bersumber dari dorongan agresi yang merupakan instink dasar yang berada di ruang bawah sadar; teori frustasi-agresi mengaitkan perilaku agresif dengan perilaku lain, yaitu frustasi. Perbedaan yang lain menurut teori psikodinamika, agresi tidak selalu menghasilkan perilaku agresif; sedangkan menurut teori frustasi-agresi, frustasi selalu mengakibatkan perilaku agresif dan perilaku agresif selalu bersumber dari kondisi frustasi. 4) Teori Belajar Sosial Menurut social learning theory, suatu pegalaman yang tidak menyenangkan (misalnya frustasi, stimulus yang tidak menyenangkan) akan meningkatkan suku emosi, sedangkan pengetahuan tentang konsekuensi dari suatu perilaku (yang diperoleh melalui pengalaman atau pengamatan, misalnya jika mogok makan, orangtua akan menuruti kemauannya, jika marah-marah dengan merusak barang, orangtua justru akan semakin keras hati) akan mengakibatkan motivasi. Akibat interaksi antara suku emosi yang meningkat dan besarnya motivasi dapat bervariasi, misalnya ketergantungan, keberhasilan, agresi, psikosomatik, ketagihan alkohol dan obat-
22
obat terlarang, pemecahan masalah secara konstruktif, pasif dan menyendiri dsb. Ini semua tergantung pada berbagai faktor, seperti kondisi fisik, situasi lingkungan, pengalaman tentang penguat (reinforcer), dsb. Kemudian teori social learning perspective (Anderson & Bushman, 2001; Bushman & Anderson, 2002) dalam Bandura (1997) yang berawal dari sebuah ide bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan cara mengalaminya
secara
langsung
(direct
experience)
atau
dengan
mengobservasi tingkah laku manusia lainnya. Jadi perilaku agresif dapat terjadi karena proses belajar, seperti: 1) Classical Conditioning Perilaku agresif terjadi karena adanya proses mengasosiasikan suatu stimulus dengan stimulus lainnya. 2) Operant Conditioning Perilaku agresif terjadi akibat adanya reward yang diperoleh setelah melakukan perilaku agresif tersebut. 3) Modelling (meniru). Perilaku agresif terjadi karena seseorang meniru seseorang yang ia kagumi. 4) Observational Learning Perilaku agresif terjadi karena seseorang mengobservasi individu lain melakukannya baik secara langsung maupun tidak langsung. 5) Social Comparison Perilaku agresif terjadi karena seseorang membandingkan dirinya dengan kelompok atau orang lain yang disukai. 6) Learning by Experience Perilaku agresif terjadi karena pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh orang tersebut. Kesimpulan dari uraian di atas adalah faktor-faktor terjadinya perilaku agresif tiap anak berbeda yaitu bisa terjadi karena faktor biologis, psikodinamika, frustasi-agresif, dan teori belajar sosial atau proses belajar tergantung pada kehidupan di lingkungan anak tersebut. Apabila perilaku agresif ini sengaja dan sadar dilakukan pada anak normal, namun tidak demikian halnya dengan anak autis. Jadi, agresif merupakan akibat dari sebuah keterbatasan yang dimiliki anak autis.
23
3. Tinjauan Tentang Metode PECS (Picture Exchange Communication System) a.
Pengertian Metode PECS Metode merupakan salah satu komponen yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pembelajaran. Metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal (Sanjaya, 2006 : 147) PECS dirancang oleh Andrew Bondy dan Lori Frost pada tahun 1985 dan mulai dipublikasikan pada tahun 1994 di Amerika serikat. Menurut Sukinah (2011 : 120-121) dalam jurnalnya “metode PECS (Picture Exchange Communication System) sebagai salah satu sarana menitikberatkan pada penguatan alat bantu visual dapat dijadikan cara membantu anak autis dalam melatih kemampuan komunikasi”. “Picture
Exchange
Communication
System
(PECS)
is
an
augmentative and alternative communication system (AAC) that is used to supplement or replace natural speech for individuals without functional speech. Unlike other AAC systems, PECS is unique in that it does not require prerequisite skills, such as pointing, labeling, or matching, but rather teaches individuals to request preferred items, which is a functional skill maintained by consequent access to preferred reinforcers” Lancioni (2007) dalam Stephanie L. Hart & Devender R. Banda. (2010 : 477).
Dalam bahasa
Indonesia diartikan bahwa “Picture Exchange Communication System (PECS) adalah komunikasi augmentatif dan alternatif (AAC) yang digunakan untuk menambah atau mengganti kemampuan bicara alami bagi individu tanpa bicara fungsional. Tidak seperti sistem AAC lainnya, PECS adalah unik karena tidak memerlukan keterampilan prasyarat, seperti menunjuk, pelabelan, atau pencocokan, melainkan mengajarkan individu untuk meminta barang-barang yang disukai, yang merupakan keterampilan fungsional oleh penguatan yang disukai. Hal tersebut sesuai dengan Bondy & Frost (2011 : 69) bahwa “Skills such as eye-to-eye contact, sitting quietly in a chair, responding to a series of simple instructions, or matching pictures to objects
24
or other pictures are not prerequisites for PECS.” Dimana diartikan bahwa keterampilan seperti kontak mata-ke-mata, duduk di kursi dengan tenang, menanggapi serangkaian instruksi sederhana, atau mencocokkan gambar ke objek atau gambar lainnya adalah bukan prasyarat untuk PECS. PECS adalah suatu teknik pembelajaran dengan cara memberikan sebuah gambar kepada orang lain sehingga orang tersebut paham bahwa anak menginginkan benda (atau orang atau kegiatan atau aktifitas) tersebut (Sussman, 1999).
Proses belajarnya dilakukan secara bertahap dengan
memberikan kesempatan anak untuk mengungkapkan diri secara spontan, dan mudah dipahami orang lain. Picture Exchange Communication System tidak ada instruksi dari pengajar sehingga sungguh-sungguh belajar untuk berekspresi
secara
spontan
tetapi
konsekuen.
Picture
Exchange
Communication System menggunakan simbol-simbol yang mudah dipahami anak sesuai dengan kulturnya bahkan dapat dengan menciptakan sendiri gambar-gambar atau simbol-simbol khusus. Guru, orangtua, terapis atau siapapun yang akan menggunakan Picture Exchange Communication System diharapkan menggali secara maksimal potensi yang terpendam pada anak. Menurut Frea, Arnold & Vittimberga (2001) PECS juga sangat efektif dalam mengurangi perilaku agresif pada anak autis. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Bondy dan Frost bahwa “PECS dilaporkan sebagai intervesi yang efektif untuk anak 4 tahun dengan autisme untuk mengurangi perilaku agresif di dalam pendidikan umum pada kelas prasekolah” (Tien, 2008 : 62). PECS dapat digunakan sebagai alat berkomunikasi secara spontan dan mandiri. Seiring dengan meningkatnya penggunaan PECS diketahui dapat mengurangi perilaku negatif yang disebabkan oleh frustrasi, meningkatkan ketersediaan untuk belajar dan interaksi, meningkatkan hubungan dan kedekatan emosional, membangun keterampilan bahasa lisan Pembelajaran komunikasi melalui PECS ini harus dimulai dari objek yang benar-benar anak inginkan. Oleh karena menurut Bondy dan Frost (Gardner, 1999) dalam penerapan Picture Exchange Communication System
25
ini perlu adanya penggunaan modifikasi perilaku. Melalui modifikasi perilaku tersebut akan diketahui apa yang diinginkan anak. Objek yang diinginkan anak tersebut akan menjadi penguatan bagi anak untuk melakukan komunikasi melalui gambar. Wolpe (1973) dalam Purwanta (2012 : 7) memberi batasan tentang modifikasi perilaku adalah penerapan prinsip-prinsip belajar yang telah teruji secara eksperimental untuk mengubah perilaku yang tidak adaptif, kebiasaankebiasaan yang tidak adaptif dilemahkan dan dihilangkan, perilaku adaptif akan ditimbulkan dan dikukuhkan. Dapat
disimpulkan
bahwa
PECS
adalah
metode
dengan
menggunakan media visual seperti gambar atau simbol-simbol khusus yang bertujuan untuk mendorong anak agar bisa mengungkapkan keinginannya melalui media visual yang diberikan, metode ini juga dapat mendorong anak untuk melakukan komunikasi secara verbal walaupun tujuan utamanya tidak memaksa anak untuk berkomunikasi secara verbal. Selain itu, PECS dapat mengurangi perilaku agresif, karena dengan diberikannya gambar-gambar anak dapat mengetahui tentang perbuatan yang baik dan jelek.
b. Desain Metode PECS Material atau bahan-bahan yang digunakan dalam PECS cukup murah. Simbol atau gambar dapat diperoleh dengan cara menggambar sendiri, dari majalah atau koran, foto, gambar compic atau gambar dari komputer (clip art atau dari internet). Dapat juga menggunakan material resmi PECS yang diterbitkan oleh Pyramid Educational Consultan. Inc. Gambar-gambar atau simbol tersebut dibentuk menjadi sebuah kartu yang kemudian dilaminating agar awet atau tidak cepat rusak. Kemudian di bagian belakang gambar dipasang pengait (velcro) atau double tape agar bisa dipasang atau digantung pada berbagai media. Untuk menyimpan kartu gambar diperlukan file. Dibawah ini adalah contoh gambar yang dapat digunakan dalam metode PECS.
26
Sumber : www.childrenwithspecialneeds.com Gambar 2.1
Sumber : http://autismspectrum.illinoisstate.edu/ Gambar 2.2
Sumber : http://www.autism-community.com Gambar 2.3 Kartu-kartu compic yang dapat digunakan untuk PECS
Gambar-gambar dan simbol dikelompokkan dan disusun dari paling mudah sampai yang paling sulit. Ukuran gambar atau simbol yang digunakan oleh setiap anak akan berbeda tergantung kepada kemampuan menggenggam, visual dan kognitif anak. Untuk tahap awal biasanya berukuran besar (10 x 15 cm). Ukuran gambar dapat diperkecil disesuaikan dengan pemahaman serta
27
penguasaan kosa kata anak dan anak sudah terbiasa dengan penggunaan dan permainan gambar-gambar yang sudah disediakan.
c.
Langkah-Langkah Pelaksanaan Metode PECS Sebelum pelaksanaan PECS terlebih dahulu dilakukan tahapan asesmen yang bertujuan untuk mengetahui pada level mana anak dapat memahami gambar yang digunakan. Gambar dicobakan kepada anak mulai dari gambar yang paling mudah sampai yang paling sulit. Salvia dan Ysseldy mendefinisikan asesmen sebagai suatu pengumpulan informasi yang akan digunakan untuk membuat suatu pertimbangan dan keputusan yang berhubungan dengan seseorang anak (Purwanta, 2012 : 117). Langkah-langkah asesmen yang dianjurkan sesuai dengan konsep penggunaan PECS adalah sebagai berikut: 1) Memilih dua atau lebih objek yang sudah dikenal oleh anak, sering digunakannya, dan ia menyukainya. 2) Membuat simbol atau gambar dari objek tersebut, bisa foto objek itu, gambar hasil lukis, gambar hitam putih, jika anak sudah bisa membaca buatlah nama objek itu pada kartu kata. 3) Mulai dari level yang paling mudah, yaitu objek kongkrit. Simpanlah objek itu di depan anak. Tanyakan kepada anak “Apa yang kamu inginkan?”. Perhatikan apa yang dipilih oleh anak. 4) Setelah anak memilih salah satu objek tersebut, lalu sisihkan semua objek kongkrit kemudian semua objek itu kemudian ganti dengan foto. 5) Meminta anak untuk memilih foto objek. Jika pilihan foto tersebut sesuai dengan pilihan benda kongkritnya berilah reinforcement. Jika masih salah ulangi dengan langkah d dan e. 6) Jika pada level c anak sudah mampu melakukan akan tetapi tidak mampu pada level berikutnya berarti kemampuan anak untuk belajar Picture Exchange Communication System dimulai lagi dengan objek kongkrit.
28
7) Jika level paling mudah anak sudah mampu melakukan, lanjutkan terus sampai batas kemampuan anak. Setelah diperoleh hasil asesmen selanjutnya anak mulai masuk pada penerapan PECS. Dalam manual yang disusun oleh Bondy dan Frost tediri dari enam fase. Setiap fase merupakan jenjang hirarkis, saling berkaitan dan harus berurut. Dalam pelaksanaan PECS ini, anak dibimbing oleh dua orang guru atau pembimbing. Salah satunya sebagai pembimbing/guru utama, satunya lagi sebagai asisten. Posisi guru utama berhadapan dengan anak, sedangkan asisten berada dibelakang dekat anak. Guru utama bertugas sebagai pembimbing untuk mengajarkan dan melakukan penukaran gambar/berkomunikasi dengan anak. Asisten bertugas untuk memberikan bantuan (prompting) kepada anak dan membantu guru utama menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Adapun fase-fasenya sebagai berikut: 1) Fase I a) Tujuan: Anak mampu mengamati item/objek yang disajikan, anak memilih salah satu gambar dari item itu, mengambil gambar itu dan menyerahkannya pada guru. b) Catatan: Pada fase ini tidak ada prompting verbal (misalnya: “Apa yang kamu inginkan?” atau “Berikan gambar itu!”). Anak boleh belajar berbagai gambar. Gambar yang berbeda boleh diajarkan jika gambar sebelumnya sudah dikuasai c) Prosedur latihan (1) Simpanlah di depan anak dua atau tiga objek yang disukai, sering digunakannya dan sudah dikenal oleh anak. (2) Pada
saat
anak
memilih
objek
tersebut
biarkanlah
ia
memainkannya untuk beberapa saat, kemudian guru utama
29
mengambil objek itu. Simpanlah objek itu, jangan sampai terlihat oleh anak. (3) Gantilah objek itu dengan gambarnya dan simpan gambar itu di depan anak. Sementara salah satu tangan guru memegang objek yang diinginkan oleh anak dan tangan satu lagi sebagai prompting posisinya terbuka (posisi tangan meminta sesuatu). Diharapkan anak memberikan gambar objek itu ke guru. Reaksi anak mungkin akan berusaha untuk merebut objek yang diinginkan oleh guru, oleh karena itu asisten harus menjaga agar anak tetap duduk. Reaksi seperti itu adalah reaksi yang tidak diinginkan. (4) Jika anak bereaksi tidak sesuai yang diharapakan maka asisten dapat memberikan bantuan/prompting dengan cara memegang tangan anak untuk meraih gambar objek dan memberikannya pada tangan guru. Mintalah anak untuk melepas gambar itu sambil melabel perbuatan anak itu dengan mengatakan, misalnya: “oh, kamu ingin main mobil-mobilan, ya!”. Kemudian segera berikanlah objek yang diinginkannya. (5) Biarkanlah anak beberapa saat memainkan objek itu. Kemudian ambil lagi objek itu dan lakukan langkah c dan d. langkah-langkah itu terus diulang sambil coba dihilangkan bantuan/prompting dari asisten dan guru. (6) Latihan dapat dilanjutkan pada fase kedua jika respon anak benar dan tidak membutuhkan prompting dari guru ataupun asisten. 2) Fase II a) Tujuan: Anak
berkomunikasi
menggunakan
buku/papan
komunikasi,
menempel/menyimpan gambar, mampu berganti partner komunikasi, dan menyerahkan gambar pada tangan partner komunikasinya.
30
b) Persiapan: Siapkanlah papan komunikasi untuk menempelkan atau mengaitkan kartu gambar. Siapkanlah gambar ditempat yang mudah dijangkau guru. c) Catatan: Tidak ada prompting verbal. Anak boleh belajar berbagai gambar. Gambar yang bebeda boleh diajarkan jika gambar sebelumnya sudah dikuasai. Posisi sebagai guru dan asisten bergantian, boleh juga diganti oleh guru lain. d) Prosedur latihan: (1) Tempelkan pada papan komunikasi gambar tertentu yang mewakili keinginan anak. (2) Anak harus mengambil gambar dari papan itu dan memberikannya kepada guru, kemudian guru memberikan apa yang diinginkan anak. Guru memasang kembali gambar tersebut. (3) Jika anak tidak mengambil gambar di papan atau responnya salah maka perlu promting (bantuan) dari asisten dengan cara memegang
tangan
anak
untuk
meraih
gambar
dan
menyerahkannya pada tangan guru. (4) Apabila respon anak sudah benar maka perlebarlah sedikit-sedikit jarak guru dengan anak. Sehingga anak akan bergerak/berjalan keluar dari kursi menuju guru untuk menyerahkan gambar. Segeralah guru memberikan objek yang diinginkannya. Guru memasang kembali gambar. (5) Selanjutnya perlebar juga sedikit-sedikit jarak antara anak dengan papan komunikasi. (6) Cobalah lakukan agar anak memasang kembali gambar yang telah diberikan kepada guru. Jangan mengatakan “Tempel kembali gambar ini!”
31
(7) Apabila anak sudah konsisten dan mandiri bisa mengambil gambar dan menyerahkannya kepada guru maka lanjutkanlah pada fase III 3) Fase III a) Tujuan: Anak mampu meminta objek yang diinginkannya dengan cara bergerak menuju papan komunikasi kemudian memilih gambar tertentu yang mewakili keinginannya dan menyerahkan gambar itu ke guru atau partner komunikasinya. b) Persiapan: Tempellah dua gambar pada papan komunikasi, termasuk gambar objek yang diinginkan oleh anak. Gambar yang tidak mewakili keinginan anak harus benar-benar bertolak belakang dengan keinginannya (misalnya anak ingin snack dipasang pula gambar sepatu, atau baju, dll). c) Catatan: Tidak ada prompting verbal. Anak boleh belajar berbagai gambar. Gambar yang bebeda boleh diajarkan jika gambar sebelumnya sudah dikuasai. Posisi sebagai guru dan asisten bergantian, boleh juga diganti oleh guru lain. Lokasi gambar yang diingankan pada papan komunikasi harus berubah-ubah, sehingga mendorong anak untuk mengidentifikasi dan mengamati. d) Prosedur latihan: (1) Pasanglah pada papan komunikasi satu gambar objek yang diinginkan dan gambar objek lain yang tidak diinginkannya. (2) Awalnya pasangkan gambar objek yang diinginkan dengan objek kongkritnya (dengan cara menempatkan gambar diantara objek dan anak). (3) Kemudian secepatnya ambil/pindahkan objek kongkrit dan hanya gambar objek yang ada di hadapan anak.
32
(4) Kembali ke papan komuniasi. Jika anak memilih gambar objek yang tidak diinginkannya, bantulah ia untuk mengambil gambar yang sesuai dengan yang diinginkan, sambil mengatakan “Kalau kamu mau kue, kamu minta kue”. Kalau kesalahan itu terus terjadi berarti tidak benar-benar menginginkan objek yang diinginkan itu. (5) Untuk meyakinkan hubungan antara gambar objek dengan objek yang diinginkan, melalui cara memberikan langsung objek yang diinginkan ketika anak menyerahkan gambar objek yang diinginkan. Kemudian amati apakah anak menolak atau tidak. Cara seperti itu, dapat pula untuk melihat apakah anak sudah memiliki atau belum, konsep hubungan antara gambar dengan objek yang diinginkannya. (6) Langkah-langkah
di
atas
menyebabkan
anak
belajar
memeperhatikan gambar dan melakukan diskriminasi terhadap gambar-gambar itu. Lalu, mulailah menambahkan permintaan melalui berbagai gambar pula. (7) Lanjutkan terus aktifitas itu hingga anak dapat mendiskriminasi 120 gambar. (8) Pada poin ini guru dapat mengembangkan tema-tema pada papan komunikasi ini dan bisa ditempel di dinding atau buku. (9) Anak dapat melanjutkan ke fase IV bila anak sudah mampu membedakan (mendiskriminasi) berbagai gambar dan mampu meminta melalui gambar objek yang diinginkan diantara sekelompok gambar lain. 4) Fase IV a) Tujuan: Siswa mampu meminta objek yang diinginkan dengan atau tanpa ada gambar objeknya disertai penggunaan phrase multi-kata sambil membuka
buku
kompilasi
gambar,
kemudian
mengambil
gambar/simbol “Saya ingin” atau “Saya mau”, lalu gambar/simbol itu diletakan pada papan kalimat, selanjutnya anak mengambil gambar
33
objek yang diinginkan dan diletakan disebelah kanan simbol “Saya ingin”. Susunan gambar tersebut diserahkan kepada guru atau pasangan komunikasinya. Di akhir fase ini, diharapkan anak dapat menggunakan 20-50 gambar dalam berkomunikasi dan bekomunikasi dengan berbagai partner (pasangan). b) Persiapan: Sediakan papan kalimat dan siapkan gambar/simbol “Saya ingin” atau “Saya mau”. c) Catatan: Tidak ada prompting verbal. Teruskan menguji pemahaman anak tentang hubungan antar gambar dengan yang diinginkannya. Lanjutkan pula dengan berbagai aktifitas dengan berbagai partner komunikasi. d) Prosedur latihan: (1) Simpanlah simbol “Saya ingin” pada papan kalimat. (2) Bimbinglah anak untuk menempatkan gambar objek yang diinginkan disebelah kanan simbol “Saya ingin”. (3) Mintalah anak untuk menyerahkan susunan gambar itu kepada guru, sambil guru mebacakan keinginan anak “Saya ingin ………” (ada jeda diharapkan anak mengulangi ucapan guru atau mengisi jeda itu). (4) Apabila siswa sudah konsisten mampu melakukan ini, pasanglah terus simbol “Saya ingin” pada papan kalimat. (5) Pada
saat
siswa
menginginkan
sesuatu,
bimbinglah
ia
menempatkan simbol “Saya ingin”, kemudian bimbinglah anak untuk menempatkan gambar objek yang diinginkannya di sebelah kanan simbol “Saya ingin”. (6) Lanjutkan terus latihan ini hingga anak mampu melengkapi langkah-langkah latihan secara mandiri. (7) Mulai jauhkan dari pandangan anak objek yang diinginkannya.
34
5) Fase V a) Tujuan: Anak mampu secara spontan meminta objek yang diinginkan melalui gambar dan dapat menjawab dengan gambar pertanyaan “Apa yang kamu inginkan?” atau “Kamu mau apa?” b) Prosedur latihan: (1) Pada fase ini, anak dapat secara mandiri menggunakan simbol “Saya ingin” atau “saya mau” diikuti gambar objek yang diinginkan. (2) Idealnya, untuk mengungkapkan pada yang anak inginkan, ia tidak perlu dibantu dengan pertanyaan “Apa yang kamu inginkan?” Namun hal itu tidak bisa dielakkan lagi, bahwa orang akan selalu mengatakan itu. Oleh karena itu fase ini mengajarkan anak untuk merespon pertanyaan itu. (3) Meskipun demikian yang paling penting adalah anak mampu mengungkapkan keinginannya secara spontan tanpa harus dibantu pertanyaan lagi. 6) Fase VI a) Tujuan: Anak mampu berkomentar, mengekspresikan perasaan, suka dan tidak suka, dll. b) Persiapan: Membuat simbol “Menurut saya”, “Saya suka”, “Saya rasa”, dan lainlain. c) Catatan: Guru juga menggunakan kartu gambar untuk berkomunikasi dengan anak. Hal itu akan menjadi model untuk pnggunaan fungsi-fungsi komunikasi. d) Prosesur latihan: (1) Ciptakan kesempatan agar anak berkomentar dalam aktifitas secara alami, misalnya, saat jam istirahat, guru dapat membuat
35
komentar “mmm, Saya suka kue” (menggunakan kartu gambar milik anak), “Apa yang kamu sukai?”. (2) Contoh yang lain “Saya bahagia”, “Bagaimana Perasaan mu?” (3) Akhir dari fase ini, diharapkan siswa siap menggunakan gambar untuk mengungkapkan komentar dan perasaannya kepada siapa pun, meskipun harus membawa buku/papan komunikasi kemanamana. (4) Konsep warna/ukuran/lokasi dapat dipelajari oleh anak bersamaan dengan mengungkapkan komentar atau perasaan (anak tidak hanya mengatakan “Saya ingin bola”, anak boleh menambahkan dengan “Saya ingin bola merah”, atau “Saya ingin bola besar”, atau “Saya ingin bola merah yang besar”). Konsep tersebut dapat diajarkan melalui format struktur konteks secara alamiah.
4. Hasil Penelitian yang Relevan Untuk menghindari duplikasi, peneliti melakukan penelusuran terhadap penelitian-penelitian terdahulu. Dari hasil penelusuran penelitian terdahulu, diperoleh beberapa masalah yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, yaitu: 1. Metode
PECS
(Picture
Exchange
Comunication
System)
Untuk
Meningkatkan Kecakapan Komunikasi Anak Autisme. Penelitian ini dilakukan oleh Sukinah, Dosen Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2011. Hasil penelitiannya adalah metode PECS (Picture Exchange Communication System) merupakan salah satu metode yang dapat dikembangkan dan diterapkan untuk meningkatkan kecakapan komunikasi bagi anak autis, sehubungan dengan kelebihan kemampuan anak autis dalam visual learner. 2. Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Non Verbal Dengan Menggunakan Media PECS ((Picture Exchange Communication System) Pada Anak Autis Kelas Persiapan Semester Genap di SLB Negeri Sragen Tahun Pelajaran
36
2010/1011. Penelitian ini dilakukan oleh Dwi Astuti, Skripsi, Program Studi Pendidikan Luar Biasa, Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Tahun 2012. Hasil penelitiannya adalah penggunaan media PECS ((Picture Exchange Communication System) dapat meningkatkan komunikasi non verbal pada anak autis. 3. Effectiveness of the Picture Exchange Communication System as a Functional Communication Intervention for Individuals with Autism Spectrum Disorders: A Practice-Based Research Synthesis. Penelitian ini dilakukan oleh Kai-Chien Tien dalam jurnal Education and Training in Developmental Disabilities, 2008, 43(1), 61–76. Ia menguji PECS dapat meningkatkan keterampilan komunikasi fungsional dengan gangguan spektrum autisme (ASD).
Ia menjelaskan bahwa PECS hanya dapat
direkomendasikan sebagai intervensi yang telah terbukti untuk imdividu dengan ASD, bukan untuk individu dengan diagnosis lain. Penelitian lebih lanjut yang melibatkan individu dengan jenis lain diagnosa akan diperlukan untuk menentukan apakah atau tidak Pecs efektif sebagai intervensi komunikasi fungsional untuk populasi lain. 4. Picture
Exchange
Communication
System
With
Individuals
With
Developmental Disabilities: A Meta-Analysis of Single Subject Studies. Penelitian ini dilakukan oleh Stephanie L. Hart dan Devender R. Banda dalam jurnal Remedial and Special Education, 2010, 31(6) 476– 488. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PECS meningkatkan hasil dalam semua komunikasi fungsional kecuali 1 peserta. Selain itu, PECS juga dapat menurunkan masalalah perilaku dan meningkatkan bicara pada beberapa individu. Dari ketiga penelitian terdahulu seperti pemaparan di atas, terdapat kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Media yang digunakan yaitu PECS (Picture Exchange Comunication System), PECS (Picture Exchange Comunication System) ini digunakan untuk meningkatkan komunikasi bagi anak autis dan pada anak dengan gangguan perkembangan lainnya.
37
Pada penelitian pertama dijelaskan bahwa PECS dapat meningkatkan kecakapan komunikasi anak autis. Penelitian kedua menjelaskan bahwa media PECS dapat meningkatkan komunikasi non verbal pada anak autis, karena menurut peneliti bahwa metode ini yang paling cocok atau tepat untuk suatu proses
berkomunikasi
karena
di
dalam
media
PECS
siswa
mampu
mengungkapkan keinginannya. Penelitian ketiga juga menjelaskan bahwa PECS sangat efektif untuk meningkatkan komunikasi fungsional hanya pada anak autis. Sedangkan pada penelitian keempat menunjukkan peningkatan komunikasi pada penyandang gannguan perkembangan, termasuk anak autis. Selain itu PECS dapat menurunkan masalah perilaku, namun dalam penelitian tersebut tidak dijelaskan secara spesifik masalah perilakunya karena fokus dalam penelitian ini adalah komunikasi. Dari ketiga penelitian tersebut tidak ada yang benar-benar sama dengan masalah yang akan diteliti. Sehingga peneliti menggunakan PECS (Picture Exchange Comunication System) sebagai metode yang digunakan terhadap perilaku agresif pada subjek anak autis. Dari pemaparan di atas telah jelas mengenai perbedaan dan persamaan antara penelitian yang akan dilakukan dengan hasil penelitian-penelitian yang sudah dilakukan. Oleh karena itu penelitian yang berjudul “Pengaruh Penggunaan Metode PECS (Picture Exchange Communication System) Terhadap Perilaku Agresif Pada Anak Autis di SLB-Autisme Mitra Ananda Karanganyar Tahun Ajaran 2014/2015” dapat dilakukan karena masalah yang akan diteliti bukan duplikasi dari penelitian–penelitian yang sebelumnya.
B. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir pada dasarnya merupakan arah pemikiran untuk bisa sampai pada pemberian jawaban sementara atas masalah yang telah dirumuskan. Perilaku anak autis berbeda dengan perilaku anak normal. Anak autis memiliki perilaku yang berlebihan (excessive), perilaku yang berkekurangan (deficient), atau sampai ke tingkat tidak ada perilaku. Salah satu perilaku berlebihan (excessive) pada anak autis yaitu agresif. Misalnya, anak berperilaku
38
menendang, memukul, menggigit, atau mencubit. Perilaku agresif yang dilakukan oleh anak autis ini sangat menganggu saat proses pembelajaran. Oleh sebab itu penulis ingin meneliti dengan memberikan metode PECS (Picture Exchange Communication System) sebagai cara untuk mengurangi perilaku agresif anak autis. Dengan metode PECS perilaku anak diharapkan dapat berkurang karena kegiatan meminta objek yang diinginkan anak dapat diberikan melalui pertukaran gambar dengan objek yang sebenarnya. Pada saat melakukan pertukaran gambar disini guru mengamati respon anak, dalam hal ini peneliti mengamati perilaku yang ditimbulkan anak pada saat kegiatan pembelajaran menggunakan metode PECS (Picture Exchange Communication System). Dengan menggunakan metode ini, diharapkan pada saat kegiatan belajar perilaku agresif pada anak autis dapat diminimalisir sehingga membantu guru/terapis dalam menangani masalah perilakunya. Berdasarkan atas kajian teori tersebut, penulis berasumsi jika menggunakan metode PECS (Picture Exchange Communication System), maka diduga ada pengaruh terhadap perilaku agresif. Apabila terdapat pengaruh, maka dapat mengurangi perilaku agresif pada anak autis. Adapun gambar dari alur kerangka berfikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
39
Anak Autis
Baseline 1 (A1) Pembelajaran Belum Menggunakan Metode PECS
Perilaku Agresif Anak Autis Tinggi
Intervensi 1 (B1) Penggunaan Metode PECS
Baseline 2 (A2) Pembelajaran Kembali Dilakukan Tanpa Metode PECS
Intervensi 2 (B2) Penggunaan Metode PECS
Perilaku Agresif Anak Autis Rendah
Gambar 2.4 : Bagan Kerangka Berfikir
C. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara dari masalah yang sedang diteliti dan harus dibuktikan kebenarannya terlebih dahulu dengan menggunakan langkah-langkah penelitian. Menurut Sugiyono (2008 : 64) “hipotesis merupakan jawaban sementara atau teoritis terhadap rumusan masalah penelitian yang jawabannya masih harus diuji secara empirik”. Berdasarkan teori dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh penggunaan metode PECS (Picture Exchange
40
Communication System) terhadap perilaku agresif pada anak autis di SLBAutisme Mitra Ananda Karanganyar tahun ajaran 2014/2015.