BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab II ini berisi kajian teori tentang belajar yang meliputi hakikat belajar, hakikat pembelajaran, prinsip pembelajaran, managemen pembelajaran, strategi pengajaran. Selain itu, terdapat juga kajian pustaka mengenai proses belajar, belajar tuntas (mastery learning), dan hasil belajar. Bab ini juga membahas mengenai IPS yang meliputi pendekatan IPS dan kajian IPS SD. Terdapat ulasan mengenai Make a Match Berbantuan Mind Mapping yang meliputi pengertian Make a Match dan Mind Mapping, alasan peneliti menggunakan Make a Match Berbantuan Mind Mapping dan sintak penerapan Make a Match Berbantuan Mind Mapping. Penelitian yang relevan, kerangka berpikir dan hipotesis tindakan akan tersusun secara sistematis dalam Bab II ini. 2.1 Belajar 2.1.1 Hakikat Belajar Menurut Deni Darmawan dan Permasih (2011:124), “belajar adalah aktivitas yang disengaja dan dilakukan oleh individu agar terjadi perubahan kemampuan diri, dengan belajar anak yang tadinya tidak mampu melakukan sesuatu, menjadi mampu melakukan sesuatu, atau anak yang tadinya tidak terampil menjadi terampil.” Menurut Gagne (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011:124), “belajar adalah suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.” Dari pengertian Gagne (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011:124), terdapat tiga unsur pokok dalam belajar yaitu proses, perubahan perilaku, dan pengalaman. Seseorang dikatakan belajar apabila pikiran dan perasaannya aktif. Dijelaskan lebih lanjut bahwa:
7
8
1) Belajar adalah mekanisme yang dengan itu menjadikannya anggota masyarakat yang cakap, yang penting dalam menentukan semua keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai yang tingkah laku yang berlainan(kapabilitas), 2) Kapabilitas diperoleh dari (1) Stimulasi yang berasal dari lingkungan, dan (2) Proses yang dilakukan oleh si pelajar. Aktivitas pikiran dan perasaan itu sendiri tidak dapat diamati orang lain, akan tetapi dirasakan oleh yang bersangkutan sendiri. Belajar tidak hanya dengan mendengarkan penjelasan dari guru(tidak harus ada yang mengajar), karena belajar dapat dilakukan siswa dengan berbagai macam cara dan kegiatan, asal terjadi interaksi antara individu dengan lingkungannya. Menurut Arief Sadiman (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 125), “belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup, sejak dia masih bayi hingga ke liang lahat.” Seperti halnya ketika masih bayi belajar mencari air asi ibunya, ketika menginjak usia satu tahun sampai dewasa, seseorang akan terus belajar yang belum pernah dia terima, dia alami, dia rasakan, dan belum pernah dia dapatkan. Menurut para ahli psikologi dalam (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 125), “tidak semua perubahan perilaku sebagai hasil belajar.” Bisa terjadi perubahan perilaku yang dengan tanpa belajar, anak tersebut dengan sendirinya mengalami perubahan perilaku (dari dirinya sendiri). Perubahan perilaku hasil belajar diklasifikasikan menjadi tiga domain yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pada pembelajaran perubahan perilaku sebagai hasil belajar yang ingin dicapai ini dapat dirumuskan dalam bentuk tujuan pembelajaran atau rumusan kompetensi yang ingin dicapai dengan segala indikatornya. Menurut Gagne (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 126), “lingkungan pembelajaran yang baik adalah lingkungan yang merangsang dan menantang siswa untuk belajar.” Lingkungan belajar yang baik sangat mempengaruhi rangsangan siswa untuk lebih giat dalam belajar, untuk lebih sungguh-sungguh dalam menerima pelajaran dan belajar. Menurut Whiterington (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 127), “belajar adalah sesuatu yang mendorong, memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membimbing murid-murid dalam usaha mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.”
9
Dari beberapa penelitian tersebut disimpulkan, belajar adalah suatu proses aktivitas yang disengaja dan tidak disengaja, yang dilakukan oleh individu, untuk membuat perubahan pada diri dari setiap individu, yang awalnya belum tahu menjadi tahu, yang awalnya tidak mampu menjadi mampu, yang awalnya belum terampil menjadi terampil, yang bisa membuat perubahan perilaku pada diri dari setiap individu. 2.1.2 Hakikat Pembelajaran Belajar
dan
pembelajaran
memiliki
sebuah
keterkaitan. Belajar
merupakan proses individu melakukan sesuatu yang menghasilkan perubahan sikap, pola pikir, tingkah laku, dan pemikiran yang baik yang dapat terjadi didalam kehidupan individu baik ada dan tidak adanya orang lain yang sengaja ikut campur dalam proses belajarnya (Deni Darmawan dan Permasih 2011: 128). Contohnya seorang anak yang melihat ayahnya melihat film bersejarah, berdasarkan pengalamannya tersebut ia belajar banyak hal seperti melihat hal yang bersejarah dalam “Lihatlah gambar-gambar yang ada di film ini, Nak!,” dalam gambar di film “Lihatlah di dalam film ini ada gambar bangunan-bangunan dan orang-orang jaman dahulu”, sejarah dalam film “bagaimana kalau kita tebaktebakan untuk gambar bangunan dan orangnya tersebut adalah kerajaan-kerajaan di Indonesia dan tokohnya?”, padahal ayah tersebut tidak mengajarinya IPS, anak hanya disuruh mengamati gambar bangunan dan orangnya. Bila belajar bisa berasal dari pengalaman, maka individu dihadapkan pada situasi di mana ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan cara biasa, atau apabila ia harus mengatasi rintangan-rintangan yang mengganggu kegiatan-kegiatan yang diinginkan. Menurut Deni Darmawan dan Permasih (2011: 129), “pembelajaran merupakan perkembangan dari istilah pengajaran, dan istilah belajar-mengajar yang dapat kita perdebatkan, atau kita abaikan saja yang penting makna dari ketiganya.” Menurut Deni Darmawan dan Permasih (2011: 128), “pembelajaran adalah suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang guru atau pendidik untuk membelajarkan siswa yang belajar.” Pembelajaran tidak jauh dari upaya mengajak
10
siswa untuk belajar, memberikan siswa ilmu, dan mendidik siswa dari segi karakter serta akademik, agar siswa benar-benar mampu memahami dan bisa menerima pelajaran yang disampaikan, serta terbentuk menjadi anak yang diinginkan dan diharapkan orangtua maupun guru. Menurut Mudhofir (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 128), ada empat pola pembelajaran yaitu: pertama, pola pembelajaran guru dengan siswa tanpa menggunakan alat bantu/bahan pembelajaran dalam bentuk alat peraga. Kedua, dengan menggunakan pola (guru + alat peraga) dengan siswa. Ketiga, dengan menggunakan pola (guru) + (media) dengan siswa. Dan keempat, dengan menggunakan pola media dengan siswa atau pola pembelajaran jarak jauh menggunakan media atau bahan pembelajaran yang disiapkan.” Menurut Chaedar Alwasilah, hakikat pembelajaran adalah interaksi antara siswa dengan lingkungan pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran (perubahan perilaku). Dari pendapat diatas hakikat belajar adalah proses individu melakukan sesuatu yang menghasilkan perubahan, baik itu perubahan sikap, perubahan pola pikir, perubahan tingkah laku, perubahan pemikiran yang lebih baik, dan perubahan kehidupan pada setiap individu. Serta usaha untuk membelajarkan seseorang agar menghasilkan hasil perubahan yang diharapkan. 2.1.3 Prinsip Pembelajaran Menurut Zaenal Arifin (2011: 182), prinsip pembelajaran terbagi menjadi dua yaitu prinsip umum pembelajaran dan prinsip khusus pembelajaran. Prinsip umum pembelajaran yaitu: (1) Belajar menghasilkan perubahan perilaku peserta didik yang relatif permanen atau tetap, (2) Peserta didik memiliki potensi, gandrung, dan kemampuan yang merupakan benih kodrati untuk ditumbuhkembangkan, (3) Perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh alami linear sejalan proses kehidupan. Prinsip khusus pembelajaran yaitu: (1) Prinsip perhatian dan motivasi untuk siswa merupakan dalam proses pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting sebagai langkah
11
awal dalam memicu aktivitas-aktivitas belajar.” Menurut Zaenal Arifin (2011: 183), “perhatian adalah memusatkan pikiran dan perasaan emosional secara fisik dan psikis terhadap sesuatu yang menjadi pusat perhatiannya.” Dari sini siswa sangat memerlukan perhatian dari guru, agar pikirannya bisa fokus pada pelajaran yang disampaikan guru dan merasakan nyaman dalam menerima pelajaran. Menurut Zaenal Arifin (2011: 183), “motivasi adalah dorongan atau kekuatan yang dapat menggerakkan sesesorang untuk melakukan sesuatu.” Siswa juga memerlukan motivasi, tidak semua siswa kehidupannya baik dan kondisi lingkungan maupun keluarga sesuai dengan umuran mereka, maka dari itu motivasi dari guru atau dari sekolah sangat penting bagi setiap anak didik dalam menjalani sekolah. Menurut H.L Petri (dalam Zaenal Arifin 2011: 183), “motivation is the concept we use when we describe the forces acting on or within an organism to initiate and direct behavior,” (2) Prinsip keaktifan merupakan kecenderungan psikologi saat ini menyatakan bahwa anak adalah makhluk yang aktif. Belajar pada hakikatnya adalah proses aktif dimana seseorang melakukan kegiatan secara sadar untuk mengubah suatu perilaku secara tidak sadar atau secara sadar, terjadi kegiatan merespon terhadap setiap pembelajaran. Menurut gage & Berliner (dalam Zaenal Arifin 2011: 183), “teori kognitif menyatakan bahwa belajar menunjukkan adanya jiwa yang aktif, jiwa tidak sekadar merespons informasi, namun jiwa mengolah dan melakukan transformasi informasi yang diterima.” Penilaian kepada siswa secara kognitif sangat diperlukan agar siswa benar-benar mampu merespons informasi materi pelajaran yang disampaikan oleh guru dan dapat menerimanya dengan baik. Sedangkan menurut Tutik Rachmawati dan Daryanto (2015: 155), “prinsip pembelajaran adalah suatu landasan, konsep dasar, dan sumber yang menjadikan proses belajar yang terjadi antara pendidik dengan peserta didik lebih dinamis dan terarah sesuai dengan tujuannya.” Dalam penerapannya, prinsip ini memerlukan usaha guru untuk membuat siswa bisa berinteraksi baik dengan guru selama proses pembelajaran berlangsung dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang disampaikan. Menurut beberapa ahli pendidikan (dalam Tutik Rachmawati dan Daryanto 2015: 155), prinsip-prinsip umum pembelajaran yaitu: 1)
Perhatian dan Motivasi
12
Perhatian mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar, karena perhatian merupakan faktor yang besar pengaruhnya, jika peserta didik mendapatkan perhatian yang besar mengenai apa yang dipelajari, maka peserta didik dapat mengarahkan dirinya sendiri pada tugas yang diberikan. Motivasi adalah tenaga yang menggerakan dan mengarahkan seseorang melakukan aktivitas. Motivasi berkaitan erat dengan minat, peserta didik yang memiliki minat pada suatu bidang studi, maka peserta didik tersebut akan tertarik perhatiannya pada sebuah bidang studi tersebut dan timbul rasa untuk mempelajarinya (motivasi). 2) Keaktifan Menurut pandangan psikologi, anak adalah makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk melakukan sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya sendiri. 3) Keterlibatan Langsung/Pengalaman Belajar harus dilakukan oleh peserta didik itu sendiri, sehingga pembelajaran harus dibuat secara unik dan menarik agar peserta didik dapat langsung mengikuti proses pembelajarannya sendiri, melihat sendiri, dan mencobanya sendiri. Sebagaimana menurut seorang filsof China Confocius (dalam Tutik Rachmawati dan Daryanto 2015: 157), bahwa: Apa yang saya dengar, saya lupa. Apa yang saya lihat, saya ingat. 4) Pengulangan Mengulang salah satu faktor yang besar pengaruhnya dalam belajar, karena dengan adanya pengulangan “bahan yang belum begitu dikuasai serta mudah terlupakan” akan tetap tertanam pada otak seseorang. Teori yang menekankan prinsip pengulangan adalah teori koneksionisme Thordike, dalam teori ini ia mengemukakan bahwa belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respons benar. 5) Tantangan Bahan belajar yang baru, inovatif, kreatif, dan menantang akan membuat peserta didik tertantang dan dengan sendirinya meraka akan lebih giat dan sungguh-sungguh dalam belajar. 6) Balikan dan Penguatan Ketika peserta didik melakukan suatu perbuatan yang berefek baik maka mereka akan dengan sendirinya mengulanginya lagi, dan apabila mereka melakukan perbuatan yang berefek jelek, mereka akan dengan sendirinya meninggalkannya. Namun, kadangkala dorongan belajar itu tidak saja dari penguatan yang menyenangkan tapi juga yang tidak menyenangkan, dalam memperkuat belajar. Dari beberapa pengertian tersebut, prinsip pembelajaran merupakan sebuah proses yang mengharapkan sebuah perubahan, dimana terdapat perubahan perilaku, perubahan yang menghasilkan pencapaian kualitas, serta pemberian
13
perubahan yang menghasilkan perhatian dan motivasi, keaktifan, pengalaman, pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan secara signifikan. 2.1.4 Manajemen Pembelajaran Menurut Terry(dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 70), “The management is the process of getting thing done by the effort of other people.” Dapat dipahami bahwa manajemen adalah kekuatan utama dalam sebuah organisasi seperti guru yang mengkoordinir berbagai kegiatan bagian-bagian (sub sistem)
serta
memfokuskan
berhubungan perhatian
atas
dengan proses
lingkungan. pokok
Manajemen mencakup
berusaha
perencanaan,
pengorganisasian, dan pengawasan yang sangat esensial jika organisasi ingin mencapai tujuan dan sasaran utamanya. Menurut Reigeluth dan Garfinkel (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 75), “guru adalah sebagai fasilitator dan manajer pendidikan.” Peran ini mensyaratkan sistem yang berbasis sumber daya, penggunaan kekuatan alat-alat baru berkaitan dengan kemajuan teknologi daripada berbasis kepada guru untuk dijadikan alat peraga dalam mengajar. Menurut Davis (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 75), peranan guru sebagai manajer dalam proses pengajaran yaitu: (1) Merencanakan yaitu menyusun tujuan belajar sebagai pengajaran, (2) Mengorganisasikan yaitu menghubungkan atau menggabungkan seluruh sumber daya belajar-mengajar dalam mencapai tujuan secara efektif dan efisien, (3) Memimpin yaitu memotivasi para peserta didik untuk siap menerima materi pelajaran dan memberikan ilmu kepada para peserta didik untuk siap mendengarkan penjelasan, (4) Mengawasi yaitu apakah kegiatan belajar mengajar mencapai tujuan pengajaran. Menurut Hoban (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 76), “manajemen pembelajaran mencakup saling berhubungan berbagai peristiwa tidak hanya seluruh peristiwa pembelajaran saja, dalam proses pembelajaran tetapi juga faktor logistik.” Teori pembelajaran, pengajaran, manajemen pembelajaran adalah ilmu murni, ilmu terapan, dan ilmu sistem. Menurut Glover (2000), “manajemen pembelajaran adalah proses menolong murid untuk mencapai pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan pemahaman terhadap dunia di sekitar mereka.”
14
Manfaat manajemen pembelajaran adalah sebagai aktivitas profesional dalam menggunakan dan memelihara satuan program pengajaran yang dilaksanakan (Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 78). Fungsi manajemen pembelajaran adalah
untuk
perencanaan,
pengajaran,
pengorganisasian
pengajaran,
kepemimpinan dalam KBM, dan evaluasi pengajaran dilaksanakan (Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 79). Dari beberapa pengertian tersebut, manajemen pembelajaran adalah proses menolong siswa untuk mencapai pengetahuan yang seharusnya didapat, mencapai keterampilan yang seharusnya dimiliki, mencapai kemampuan yang seharusnya dimiliki, dan pemahaman terhadap dunia mereka sendiri, dengan guru sebagai fasilitator atau yang mengkoordinir proses pengajarannya. 2.1.5 Strategi Pengajaran Menurut Mac Donald (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 76), strategi adalah “The art of carrying out a plan skillfully.” Seni yang menunjukkan kestrategian bisa membawa rencana pembelajaran menjadi cekatan/mahir sehingga siswa merasakan kenyamanan dalam menerima pelajaran jika guru dapat melakukan hal tersebut. Strategi pengajaran adalah sebagai pandangan yang bersifat umum serta arah umum dari tindakan untuk menentukan metode yang akan dipakai dalam proses belajar mengajar, oleh Abizar (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 76). Menurut Gulo (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 76), strategi belajar-mengajar adalah rencana dan cara-cara membawakan pengajaran agar segala prinsip dasar dapat terlaksana dan segala tujuan pengajaran dapat dicapai secara efektif. Strategi belajar-mengajar merupakan rancangan dasar bagi seorang guru tentang cara guru menyampaikan pelajaran di kelas secara bertanggung jawab. Menurut Abizar (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 76), dilihat dari proses belajar dan pembelajaran terdapat strategi pembelajaran yaitu belajar melalui penerimaan (reception learning), dan belajar melalui penemuan (discovery learning).
15
Adapun belajar melalui penerimaan disebut juga proses informasi (information processing), sedangkan belajar melalui penemuan disebut juga belajar melalui pengalaman (experimental learning). Menurut Oemar Hamalik (2014: 131), ada 4 strategi pembelajaran yang pantas disajikan dan diketahui oleh guru atau calon guru, yaitu: 1) Pembelajaran Penerimaan (reception learning): penerimaan, pemahaman, partikularisasi, dan tindakan terhadap prinsip-prinsip umum, aturan-aturan, illustrasi khusus, contoh-contoh yang diberikan, dan proses simbol ke perbuatan/tindakan. 2) Pembelajaran Penemuan (discovery learning): pendukung utama pendekatan ini adalah Piaget dan Bruner yakni penganut Psikologi Kognitif dan Humanistik. 3) Pembelajaran Penguasaan (mastery learning): pendukung utama pendekatan ini adalah Carrol, memadukan teori behavioristik dan humanistik. Belajar tuntas adalah salah satu strategi pembelajaran yang diinividualisasikan dengan menggunakan pendekatan kelompok. Pendekatan ini yaitu siswa belajar bersama-sama, memberikan banyak waktu untuk siswa, dan memberi bantuan ke siswa yang kesulitan. 4) Pembelajaran Terpadu (unit learning): pendekatan ini berpangkal pada teori psikologi Gestalt, pembelajaran terpadu adalah suatu sistem pembelajaran yang bertitik tolak dari suatu masalah, yang dipelajari oleh siswa baik secara individual maupun kelompok dengan metode yang bervariasi serta dengan bimbingan guru. Strategi pengajaran tidak sama dengan metode pengajaran, Rohani dan Ahmadi (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 76), menyimpulkan pola pengajaran yaitu: (1) Perumusan tujuan umum adalah penjabaran topik-topik dibarengi dengan rumusan tujuan umum pengajaran, (2) Identifikasi ciri-ciri yang penting dari pelajaran untuk terlibat dalam pelajaran, (3) Perumusan tujuan belajar atau tujuan khusus pengajaran, (4) Kumpulan isi atau bahan pelajaran yang diperlukan untuk mencapai tujuan, (5) Penjajakan awal latar belakang dan kemampuan siswa yang berkaitan dengan topik yang ditentukan (pre test), (6) Pemilihan aktivitas pengajaran dan sumber pengajaran, (7) Koordinasi layanan penunjang seperti biaya, alat, fasilitas, rancangan, dan jadwal serta metode, (8) Evaluasi penguasaan tujuan (post test). Dari beberapa pengertian tersebut, strategi pengajaran merupakan suatu tindakan untuk menentukan metode yang akan dipakai selama proses belajar mengajar, seperti rencana pengajaran dan cara-cara membawakan pengajaran yang efektif, serta mempunyai rancangan dasar dalam menyampaikan pelajaran.
16
2.2 Proses Belajar 2.2.1 Hakikat Proses Belajar Menurut Bruner (dalam S. Nasution 2008: 9), dalam proses belajar dapat dibedakan menjadi tiga fase, yakni: (1) informasi, (2) transformasi, (3) evaluasi. Informasi, dalam tiap pelajaran kita peroleh informasi, ada yang menambah pengetahuan, ada yang memperhalus dan ada yang memperdalamya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui. Transformasi, informasi itu harus dianalisis, diubah ke dalam bentuk yang lebih abstrak agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Evaluasi, kita menilai sampai manakah pengetahuan yang kita peroleh dan transformasi itu dapat kita manfaatkan. Di dalam proses belajar juga dapat kita ajarkan setiap mata pelajaran dalam bentuk yang sesuai dengan taraf perkembangan anak, oleh S. Nasution 2008: 10. Kurikulum spiral dapat digunakan untuk memusatkan masalah-masalah penting dan nilai-nilai siswa, oleh S. Nasution 2008: 10. Menurut S. Nasution (2008: 10), “berpikir intuitif bisa digunakan guna mengingatkan siswa di dalam proses belajar bahwa siswa telah lama memikirkan sesuatu yang dilihat atau suatu soal dan secara tiba-tiba melihat pemecahannya.” Dari beberapa pengertian tersebut, hakikat proses belajar adalah proses belajar yang dibedakan menjadi 3 fase yaitu informasi, transformasi, dan evaluasi. Informasi sesuai dengan informasi yang diperoleh kemudian diperhalus dan diperdalam. Transformasi merupakan proses analisis agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Evaluasi merupakan penilaian untuk pengetahuan yang diperoleh dan transformasi yang didapat. 2.2.2 Belajar Tuntas (mastery learning) Tujuan proses belajar-mengajar secara ideal adalah agar bahan yang dipelajari dikuasai sepenuhnya oleh murid. Ini disebut “mastery learning” atau belajar tuntas, artinya penguasaan penuh dalam hal materi, oleh S. Nasution 2008: 36. Menurut Undang-undang Dasar 1945, “menginginkan agar setiap warga
17
negara mendapat kesempatan belajar seluas-luasnya.” Memberi kesempatan belajar saja belum memadai bila jumlah yang tinggal kelas dan putus sekolah masih tinggi. Setiap murid harus mendapat bimbingan agar ia berhasil menyelesaikan pelajarannya dengan baik. Pelajaran di sekolah harus merupakan pelajaran yang menyenangkan bagi siswa, masalah yang sangat penting yang kita hadapi adalah usaha agar sebagian besar siswa dapat belajar dengan efektif, menguasai bahan pelajaran, dan keterampilan yang di anggap esensial bagi perkembangannya. Menurut S. Nasution (2008: 37), “siswa akan mengalami frustasi ketika mendapat nilai jelek tetapi di tegur, mendapatkan kecaman dan celaan, selama nilai-nilai baik yang hanya diberikan ke sebagian kecil siswa maka mengalami frustasi dan tidak mengembangkan bakat akan berhenti atau berkurang.” Menurut penelitian, bila semua anak-anak yang bermacam-macam bakatnya diberi pengajaran yang sama, maka hasilnya akan berbeda menurut bakat mereka, ada yang mempunyai bakat tinggi di mata pelajaran seperti matematika, IPA, sejarah, bahasa, dan ada yang mempunyai bakat rendah di mata pelajaran tersebut. Hampir semua murid sanggup menguasai sepenuhnya bahan pelajaran tertentu dengan syarat-syarat tertentu: (1) Bakat untuk mempengaruhi penguasaan penuh merupakan syarat yang pertama. Bakat, misalnya inteligensi, mempengaruhi prestasi belajar. Korelasi antara bakat, misalnya untuk IPS dan prestasi untuk bidang studi itu setinggi 70. Hasil itu akan tampak bila murid dalam suatu kelas diberikan metode yang sama dan waktu belajar yang sama. Kenyataannya bahwa IPS dan mata pelajaran lain hanya dapat dikuasai oleh sebagian siswa saja, yaitu yang mempunyai bakat khusus untuk mata pelajaran yang bersangkutan. Tetapi mata pelajaran IPS masih termasuk rendah dari mata pelajaran yang lainnya. Menurut John Carrol (dalam S. Nasution 2008: 38), “adanya perbedaan bakat sebagai perbedaan waktu yang diperlukan untuk menguasai sesuatu.” (2) Mutu pengajaran merupakan syarat yang kedua. Pestalozzi merupakan pengajaran klasikal yang populer sebagai pengganti pengajaran individual. Pengajaran klasikal merupakan keharusan dalam menghadapi jumlah murid yang membanjiri sekolah sebagai kewajiban belajar. Buku yang diberikan oleh pemerintah sama semua dan metode mengajar harus paling efektif. Pada dasarnya anak-anak tidak belajar secara kelompok, akan tetapi secara individual, menurut cara masing-masing
18
meskipun dalam kelompok. Itu sebabnya setiap anak memerlukan bantuan individual, meskipun dengan satu metode untuk semua siswa, maka guru harus mempersiapkan diri untuk membimbing setiap anak yang belum paham dan belum mengerti pelajaran yang diajarkan, oleh S. Nasution 2008: 41. (3) Kesanggupan untuk memahami pengajaran merupakan syarat yang ketiga. Kemampuan murid untuk menguasai suatu bidang studi banyak bergantung pada kemampuannya untuk memahami ucapan guru selama menjelaskan. Dalam pengajaran, guru menyampaikan materi melalui bahasa dan penggunaan alat peraga oleh S. Nasution 2008: 42. (4) Ketekunan merupakan syarat yang keempat. Indikasi ketekunan belajar antara lain jumlah jam rata-rata dalam seminggu yang digunakan oleh murid untuk membuat pekerjaan rumah menurut laporan murid. Ketekunan belajar ini bekaitan dengan sikap dan minat terhadap pelajaran, karena bila suatu pelajaran tidak menarik minatnya, maka ia segera menyampaikan kesulitannya, begitu juga sebaliknya, oleh S. Nasution 2008: 46. Bagaimanapun, murid-murid berbeda secara individual dalam cara belajarnya, ini harus dipertimbangkan dalam strategi mengajar agar setiap anak dapat menguasai pelajaran secara tuntas, oleh Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 184. Pembelajaran tuntas diambil dari pemikiran Benyamin S. Bloom (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 184), “terhadap munculnya format tertentu dari perencanaan pengajaran dengan menggunakan beberapa model belajar yang dibuat Carrol yaitu pembelajaran menuju kriteria 100% atau pembelajaran tuntas tidak hanya suatu keinginan saja tetapi juga suatu pencapaian tujuan.” Rancangan sistem pembelajaran tuntas, rancangan pengajarannya dimulai dengan analisis kebutuhan yang bertujuan untuk menentukan kebutuhan yang dipelajari, oleh Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 184. Dari beberapa pengertian tersebut, belajar tuntas adalah semua bahan materi pelajaran dipelajari dan dikuasai sepenuhnya oleh murid. Memberikan kesempatan belajar pada murid seluas-luasnya serta membimbing setiap murid dengan berbagai macam karakter yang berbeda sampai benar-benar menguasai bahan materi pelajaran dan bahan keterampilan bakat yang dimiliki. Pemerintah memberikan buku yang sama dan metode yang sama serta yang paling efektif, akan tetapi anak-anak tidak belajar secara kelompok melainkan secara individu, itu sebabnya setiap anak memerlukan bimbingan secara individual. Rancangan
19
sistem pembelajaran tuntas yaitu dengan menganalisis kebutuhan yang bertujuan menentukan kebutuhan yang dipelajari. 2.2.3 Hasil Belajar UNESCO
(dalam
Deni
Darmawan
dan
Permasih,
2011:
140),
“mengemukakan empat pilar hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh pendidikan, yaitu learning to know, learning to be, learning to life together, dan learning to do.” Siswa sangat perlu belajar untuk tahu segala hal, belajar untuk menjadi yang diinginkan, belajar untuk hidup bersama yang lain, dan belajar untuk melakukan sesuatu yang diinginkan (aktif). Menurut Bloom (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 140), “menyebutnya dengan tiga ranah hasil belajar, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Aspek kognitif terdiri dari enam tingkatan yaitu, (1) Pengetahuan, (2) Pemahaman, (3) Pengertian, (4) Aplikasi, (5) Analisis, (6) Sintesis, dan yang terakhir sebagai tambahan ada evaluasi.” Proses perubahan belajar dapat terjadi dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks, yang bersifat pemecahan masalah, dan pentingnya peranan kepribadian dalam proses serta hasil belajar. Variasi dalam Cognitive Entry Behaviours, Afektif Entry Characteristic, dan kualitas pengajaran menentukan hasil belajar, variabel kualitas pengajaran yang tercemin dalam penyajian bahan petunjuk latihan (tes formatif), proses balikan, dan perbaikan penguatan partisipasi siswa harus sesuai dengan kebutuhan siswa, oleh Bloom (dalam Max Darsono, 1989: 88, dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 140). Secara umum, menurut Deni Darmawan dan Permasih(2011: 140), hasil belajar dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal, yaitu: Faktor internal yaitu, 1) Faktor fisiologis yang bersifat bawaan yang diperoleh dari mendengar, melihat, cacat tubuh, dan lain-lain, 2) Faktor psikologis bersifat keturunan yang terdiri atas faktor intelektual: faktor potensial yaitu inteligensi dan bakat, dan faktor non-intelektual yaitu kecakapan nyata dan prestasi, 3) Faktor kematangan baik fisik maupun psikis yang tergolong faktor eksternal seperti faktor sosial, faktor budaya, faktor lingkungan fisik, dan faktor spiritual.
20
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai oleh seseorang yang didapatnya belajar untuk tahu, belajar untuk melakukan, belajar untuk bersama dimana hasil belajar tidak hanya berupa nilai tetapi juga dapat dilihat dari pengaruh faktor internal dan eksternal. 2.3 IPS 2.3.1 Pendekatan IPS PIPS atau Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dikaji dari perspektif kependidikan sebagai cabang ilmu pendidikan maupun sebagai tindakan pendidikan yang perlu dikaji pendekatan-pendekatan apa yang kini masih menjadi orientasi kegiatannya. Pendekatan yang kuno dan sempit terhadap pengajaran studi IPS menganggap bahwa ilmu tersebut disederhanakan untuk tujuan pendidikan (Wesley dan Wronsky, 1958, dalam Stanley, 1991), sedangkan pendekatan yang lebih maju memandangnya terutama dari kaitannya dengan pembentukan warga negara yang baik yang terungkapkan dalam perpaduan isi ilmu tersebut dengan masalah luas dari masyarakat, di mana seseorang dihadapkan kepada berbagai proses keputusan pada situasi praktis. Penanaman atau pembebanan yang tidak reflektif dari isi dan nilai tertentu, dasar pengfokusannya adalah isi, dengan asumsi bahwa kita sudah mengetahui nilai mana yang penting, sehingga sama sekali atau sedikit sekali mengajarkan keterampilan untuk memberikan pilihan yang efektif antara berbagai nilai yang berkembang. Pendekatan yang bersifat consensus de facto yang status quo, dasar pemikirannya adalah pendidikan IPS dengan pendekatan yang dulu berbeda dari yang kini diberlakukan, sebagai transmisi kultural yang konservatif untuk mempertahankan dan menghasilkan status quo dari peraturan masyarakat dan institusi. Di dalam kemajuan teknologi yang maju ini, pembelajaran PIPS tidak hanya buka saja sangat relevan, melainkan merupakan conditi sine qua non. Dari beberapa pengertian tersebut, pendekatan IPS adalah perspektif dari kependidikan sebagai cabang ilmu pendidikan. Pendekatan kuno dan sempit terhadap pengajaran studi IPS merupakan ilmu tersebut disederhanakan untuk
21
tujuan pendidikan, sementara pendekatan yang lebih maju terkait dengan pembentukan warga negara yang baik serta perpaduan isi ilmu dengan masalah dari masyarakat. 2.3.2 Kajian IPS Berpikir sistematik berarti kita harus menggunakan masukan (input) situasi aktual dengan berpijak pada penjelasan tentang sebab akibat masalah yang dihadapi hari ini untuk dipahami, sehingga dapat dikembangkan pemikiran strategis konseptual apakah masukan hari ini dapat digunakan untuk mencapai tujuan (situasi ideal) yang ingin diraih. Pengamatan terhadap pembelajaran PIPS menghasilkan persepsi kognitif yang kurang ditandai oleh aspek kemampuan berkinerja (the ability to perform), memecahkan masalah dalam kehidupan hari ini yang terkait dengan realitas kehidupan apa adanya. Cara berpikir yang deduktif yang diperoleh dari pengalaman belajar memroseskan perolehan, merupakan figurative learning dan bukan operative learning (Piaget dalam Good dan Brophy, 1990). Dalam pembelajaran yang sistematik kita ingin mengantisipasi hari depan (situasi ideal) dengan berpijak pada fakta dan masalah hari ini. Atas dasar asumsi unforeseen, uncontrollable dan uncalculable (Toffler, 1990, dalam in Memorium of Panglaykim), maka bagi berbagai ilmu terutama yang siklus pengembangannya panjang (seperti psikologi, PIPS, dan ilmu pengetahuan sosial pada umumnya), dan yang tidak seperti berbagai ilmu teknologi yang ibarat baterai habis cepat bergerak, sepantasnya dipatokkan skenario tertentu di masa yang akan datang dalam upaya pembentukan kemampuan mengadakan pilihan. Menurut Subekti (2013:2), “tujuan IPS akan dicapai melalui kompetensi peserta didik yang ditetapkan pada SK (Standar Kompetensi) dan KD (Kompetensi Dasar).” SK adalah kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap tingkat dan/atau semester. SK terdiri atas sejumlah kompetensi dasar sebagai acuan baku yang harus dicapai dan berlaku secara nasional. KD
22
merupakan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan untuk menyusun indikator kompetensi. Adapun SK dan KD IPS untuk kelas 5 pada semester 1 dijelaskan melalui tabel 2.3.2.1 berikut ini. Tabel 2.3.2.1 SK dan KD IPS KELAS V SEMESTER 1 Standar Kompetensi 1.1. Menghargai berbagai peninggalan dan tokoh sejarah yang berskala nasional pada masa Hindu-Budha dan Islam, keragaman kenampakan alam dan suku bangsa, serta kegiatan ekonomi di Indonesia
Kompetensi Dasar 1.1 Mengenal makna peninggalan-peninggalan sejarah yang berskala nasional dari masa HinduBudha dan Islam di Indonesia 1.2 Menceriterakan tokoh-tokoh sejarah pada masa Hindu-Budha dan Islam di Indonesia 1.3 Mengenal keragaman kenampakan alam dan buatan serta pembagian wilayah waktu di Indonesia dengan menggunakan peta/atlas/globe dan media lainnya 1.4 Menghargai keragaman suku bangsa dan budaya di Indonesia 1.5 Mengenal jenis-jenis usaha dan kegiatan ekonomi di Indonesia
2.4 Make a Match Berbantuan Mind Mapping 2.4.1 Pengertian Make a Match Make a Match merupakan metode pembelajaran make a match atau mencari pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Bisa diterapkan untuk semua mata pelajaran dan tingkatan kelas. Make a Match menekankan pada kegiatan belajar sambil melakukan sesuatu yaitu mencari pasangan. Make a Match merupakan suatu metode mengajar yang sistematik yang mengajak siswa dalam mempelajari pengetahuan penting dan membuat siswa dalam belajar dalam suasana yang menyenangkan. Proses keingintahuan yang mempengaruhi siswa yang terstruktur secara kompleks disekitarnya, pertanyaan yang dapat dibuktikan dan jawaban yang dirancang dengan baik. Model pembelajaran make a match adalah sistem pembelajaran yang mengutamakan penanaman kemampuan sosial terutama
23
kemampuan bekerja sama, kemampuan berinteraksi disamping kemampuan berpikir cepat melalui permainan mencari pasangan dengan dibantu kartu (Wahab, 2007: 59). Make a Match membawa siswa untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menemukan sendiri jawaban dari suatu pertanyaan, masalah atau tantangan, begitu sebaliknya siswa menemukan sendiri pertanyaan dari suatu jawaban, masalah atau tantangan. Hal ini juga membuat siswa harus dapat berpikir dan menentukan pilihannya (jawaban dan pertanyaan) serta diatur dan dinilai secara hati-hati guna mencapai sasaran pembelajaran dan menciptakan produk yang asli dan bermutu tinggi. Pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompokkelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pembelajaran (Robert E. Slavin, 2011: 4). Para siswa akan secara mandiri menyelesaikan hasil mereka tanpa bantuan guru. 2.4.2 Alasan peneliti menggunakan Make a Match Peneliti menggunakan Make a Match karena alasan sebagai berikut: a. Make a Match dapat menjadi metode yang bisa memenuhi tujuan Satuan Pendidikan SD yang tercantum pada kurikulum KTSP yaitu menjadikan siswa menjadi manusia yang mandiri, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif, dan percaya diri serta toleran, peka sosial, demokratis dan bertanggung jawab. b. Penggunaan Make a Match dianggap akan membuat efektif karena pengaruh kematangan siswa kelas V dalam berpikir dan bersikap. Sifat metode Make a Match yang berpusat pada siswa diduga akan lebih efektif karena siswa kelas V lebih mandiri dan sudah bisa bertanggung jawab atas tugas yang diberikan guru pada
mereka.
Peran
guru
pelatih/mentor/fasilitator saja.
disini
nantinya
adalah
hanya
sebagai
24
c.
Siswa merasa jenuh dengan pengajaran IPS yang terkesan monoton, membosankan dan sulit karena terlalu banyak hafalan seperti lokasi kerajaan, tokoh-tokohya, dan tahun setiap kerajaan. Make a Match dinilai tidak akan membuat siswa merasa bosan karena mereka nantinya tidak hanya akan menciptakan suatu hasil yang sebenarnya merupakan bagian dari pembelajaran IPS itu serta berdiskusi dengan teman untuk menemukan jawaban/soal sehingga IPS terkemas kedalam kondisi yang menyenangkan.
d. Make a Match merupakan metode pembelajaran make a match atau mencari pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (1994), namun sayangnya sekolah sekolah yang masih
menggunakan KTSP sebagai kurikulumnya merasa
janggal dalam mengaplikasikannya padahal jika dicermati sebenarnya baik KTSP maupun kurikulum 2013 mengacu pada masalah pembelajaran yang ada. e. Keunggulan Make a Match adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. f. Kelemahan Make a Match adalah: 1. Proses pembelajaran membutuhkan waktu yang lama. 2. Guru tidak dapat mengetahui kemampuan siswa masing-masing. 3. Siswa kurang konsentrasi.
2.4.3 Penerapan Make a Match Kakarakter utama dari Make a Match adalah proses/produk sebagai hasil akhir pembelajaran, oleh Yohana Setiawan (2014: 20). Menurut Yohana Setiawan (2014: 20), “guru sebaiknya mampu memberikan motivasi kepada siswa dalam menentukan proyek apa yang akan siswa lakukan agar siswa tertarik mengerjakan proyek dan tidak merasa bosan.” Selain itu, proyek harus memenuhi tujuan pembelajaran yang tentunya sesuai dengan kompetensi dasar, materi dan hasil belajar yang ingin dicapai siswa. Berikut ini sintaks pelaksanaan Make a Match:
25
a. Guru membuat potongan-potongan kertas sejumlah siswa yang ada dalam kelas. b. Guru mengkondisikan siswa dengan memberi contoh konkret atau nyata yang akan dilakukan siswa. c. Setiap kertas berisi satu pertanyaan atau satu jawaban dari materi yang disampaikan. d. Guru membagi jumlah kertas yang sudah dipotong menjadi dua bagian yang sama untuk soal atau jawaban. e. Guru mengkocok kertas yang sudah dibagi menjadi dua bagian tersebut sampai tercampur. f.
Guru membagikan satu per satu kertas tersebut ke setiap siswa, satu siswa mendapatkan satu kertas.
g. Separo siswa akan menerima pertanyaan, separo siswa lagi akan mendapatkan jawaban. h. Guru meminta setiap siswa untuk mencari pasangan dari kertas yang mereka dapatkan, misalnya mendapat pertanyaan, siswa tersebut keliling mencari jawaban sebagai pasangan pertanyaannya. i.
Jika siswa sudah menemukan pasangan, mereka harus diam tidak boleh memberitahu materi (pertanyaan dan jawaban) yang mereka dapatkan ke teman yang lain.
j.
Setelah semua siswa menemukan pasangan, bagi yang mendapatkan pertanyaan, membacakan pertanyaan tersebut secara keras dan selanjutnya soal tersebut dijawab oleh pasangan yang lain.
k. Langkah terakhir adalah membuat kesimpulan dan klarifikasi.
26
2.4.4 Pengertian Mind Mapping Mind map adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi keluar dari otak, serta cara mencatat yang kreatif, efektif, dan secara harfiah yang “memetakan” pikiran-pikiran kita. Pusat Mind Map mewakili ide utama, jalan utama yang menyebar dari pusat mind map mewakili pikiran-pikiran utama dalam proses pemikiran kita, jalan sekunder mewakili pikiran-pikiran sekunder, dan seterusnya. Mid map juga merupakan peta rute yang hebat untuk ingatan, membuat kita menyusun fakta dan pikiran sedemikian rupa sehingga cara kerja alami otak dilibatkan sejak awal. Mind map mempunyai kesamaan, semuanya menggunakan warna, memikiki struktur alami yang memancar dari pusat, menggunakan garis lengkung, simbol, kata, dan gambar yang sesuai dengan satu rangkaian aturan yang sederhana, mendasar, alami, dan sesuai dengan cara kerja otak. (Tony Buzan, 2012: 4) 2.4.5 Alasan peneliti menggunakan bantuan Mind Mapping Peneliti menggunakan bantuan Mind Mapping karena alasan sebagai berikut: a. Mind mapping memberikan kemudahan untuk kita merencanakan rute dan mengetahui ke mana kita akan pergi dan di mana kita akan berada. b. Mind mapping menyenangkan untuk dilihat, dibaca, dicerna, diingat, dan sangat menarik diagramnya karena warna-warni serta teratur, sehingga informasi yang didapat sangat mudah untuk diingat. c. Siswa tidak akan jenuh dan pembelajaran tidak akan terlihat monoton karena terlalu banyak hafalan seperti lokasi kerajaan, tokoh-tokohya, dan tahun setiap kerajaan. d. Keunggulan Mind Mapping adalah: 1. Pembelajaran menjadi lebih kreatif. 2. Menghemat waktu selama penjelasan materi. 3. Menyelesaikan masalah pembelajaran. 4. Memusatkan perhatian pada titik-titik yang ditunjuk ketika menjelaskan.
27
5. Membuat ingatan menjadi lebih bagus. 2.4.6 Penerapan Mind Mapping Kakarakter utama dari Mind Mapping adalah proses/produk selama pembelajaran, oleh Yohana Setiawan (2014: 20). Menurut Yohana Setiawan (2014: 20), “guru sebaiknya mampu memberikan motivasi kepada siswa dalam menentukan proyek apa yang akan siswa lakukan agar siswa tertarik melihat/mengamati proyek dan tidak merasa bosan.” Selain itu, proyek harus memenuhi tujuan pembelajaran yang tentunya sesuai dengan kompetensi dasar, materi dan hasil belajar yang ingin dicapai siswa. Berikut ini sintaks pelaksanaan Mind Mapping: a.
Guru membuat mind map yaitu mengenai pelajaran yang dibahas dan dijelaskan ke siswa.
b.
Guru mengisi mind map dengan menggunakan banyak gambar daripada tulisan/keterangan untuk gambar.
c.
Guru menjelaskan secara runtut, diawali dari titik pusat menuju ke lengkungan pertama yang dituju, kemudian lanjut ke lengkungan berikutnya sampai selesai.
d.
Guru mengosongi beberapa tempat untuk siswa ikut aktif/terlibat dalam pembelajaran berbantuan mind map.
2.5 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh Subekti pada tahun 2013 pada siswa kelas 5 SD Negeri Ketitang Wetan 01 Pati Semester 1 Tahun 2013/2014 dengan judul, “Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Model Pembelajaran Tipe Make A Match Siswa Kelas 5 SD Negeri Ketitang Wetan 01 Pati Semester 1 Tahun 2013/2014”, menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas 5 SD Negeri Ketitang Wetan 01 Pati Semester 1 Tahun 2013/2014 rendah, hal ini tampak dari dominasi guru dalam proses pembelajaran menyebabkan siswa lebih bersifat pasif, guru menggunakan metode ceramah, sehingga mengaktifkan guru, sehingga siswa lebih banyak
menunggu sajian guru daripada mencari, menemukan
28
sendiri pengetahuan atau sikap dalam pembelajaran IPS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran MM pada mata pelajaran IPS kelas 5 SD Negeri Ketitang Wetan 01 Pati Semester 1 Tahun 2013/2014 menghargai peranan para tokoh pejuang dan masyarakat dalam mempersiapkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, siswa kelas 5 SD Negeri Ketitang Wetan 01 Pati Semester 1 Tahun 2013/2014 terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dalam setiap siklus ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa mengalami peningkatan yaitu pada tahap tindakan pada siklus 1 sebesar 66,67%; dan pada siklus 2 mengalami kenaikan menjadi 88,89% yang tuntas dan 11,11% belum tuntas. Ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa dari siklus 1 naik 22,22% ke siklus 2. Ketuntasan hasil belajar pada tes akhir siswa dari nilai awal ke siklus I naik 5,56% dan dari siklus 1 ke siklus 2 naik 22,22%. Penelitian senada dilakukan oleh Heni Kusumawati dengan judul “Efektifitas Penggunaan Benda Kongkret Pada Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match Terhadap Hasil Belajar IPS Kelas 5 SD Gugus Perkutut Tuntang Semarang Semester II Tahun Ajaran 2011/2012”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil belajar IPS melalui model MM bagi siswa kelas 5 semester 2 SD Gugus Perkutut Tuntang Semarang Semester II Tahun Ajaran 2011/2012. Menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas 5 SD Gugus Perkutut Tuntang Semarang Semester 2 Tahun Ajaran 2011/2012 rendah, hal ini disebabkan penggunaan model dan metode pembelajaran monoton, sehingga siswa merasa bosan dan enggan untuk mengikuti pelajaran, selain itu disebabkan juga oleh kurangnya pemanfaatan media pembelajaran sehingga siswa kurang tertarik mengikuti kegiatan belajar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran MM pada mata pelajaran IPS kelas 5 SD Gugus Perkutut Tuntang Semarang Semester II Tahun Ajaran 2011/2012, terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan saat ini, penelitian dilakukan pada tahun 2016 pada siswa kelas 5 SD Negeri Kutowinangun 4 Salatiga Semester 2 Tahun Pelajaran 2015/2016 dengan judul, “Penerapan Model
29
Pembelajaran Kooperatif Learning Tipe Make A Match Berbantuan Mind Mapping Untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SDN Kutowinangun 4 Tahun Pelajaran 2015/2016”, menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas 5 SD Negeri Kutowinangun 4 Salatiga Semester 2 Tahun Pelajaran 2015/2016 rendah, hal ini tampak dari dominasi guru dalam proses pembelajaran menyebabkan siswa lebih bersifat pasif, guru menggunakan metode ceramah, sehingga mengaktifkan guru, sehingga siswa lebih banyak menunggu sajian guru daripada
mencari,
menemukan
sendiri
pengetahuan
atau
sikap
dalam
pembelajaran IPS, dan melakukan praktik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran MM pada mata pelajaran IPS kelas 5 SD Negeri Kutowinangun 4 Salatiga Semester 2 Tahun Pelajaran 2015/2016 peninggalan sejarah kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia, siswa kelas 5 SD Negeri Kutowinangun 4 Salatiga Semester 2 Tahun 2015/2016 terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dalam setiap siklus ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa mengalami peningkatan yaitu pada tahap tindakan pada siklus I sebesar 79,67% dengan 5 siswa tidak tuntas dan pada siklus II menjadi 81,23% dengan seluruh siswa mengalami ketuntasan. 2.6 Kerangka Pikir Kegiatan pembelajaran merupakan proses komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa. Guru harus dapat menciptakan suasana belajar yang memberikan kemudahan untuk siswa serta siswa mampu menerima yang telah dijelaskan oleh guru. Guru menggunakan metode pembelajaran yang monoton yaitu ceramah. Siswa hanya melihat, memperhatikan, dan mendengarkan guru menjelaskan materi, sehingga membuat siswa lebih banyak diam karena mengantuk dan tidak terlalu berkonsentrasi. Pada kondisi seperti ini, siswa ketika diberi pertanyaan atau tes, hasil yang diperoleh masih banyak dibawah KKM yaitu 70. Kondisi seperti ini memerlukan suatu perbaikan, salah satunya yaitu dengan menggunakan model pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa
30
yaitu model pembelajaran kooperatif tipe MM. Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe MM adalah: 1. Membagi siswa satu kelas menjadi dua kelompok besar 2. Memberikan dua macam kartu yang masing-masing isinya berupa pertanyaan dan jawaban ke masing-masing siswa di setiap kelompok 3. Masing-masing siswa mendapatkan kartu yang berisi pertanyaan atau jawaban 4. Siswa yang mendapatkan kartu berisi pertanyaan, membacakan isinya 5. Masing-masing siswa yang memegang kartu jawaban mencari pasangannya 6. Dalam waktu yang telah ditentukan, mendapatkan poin 7. Membuat keismpulan 2.7 Hipotesis Tindakan Dengan penggunaan model Make a Match Berbantuan Mind Mapping ini, diduga terjadi peningkatan presentasi siswa tuntas KKM dan siswa menjadi lebih positif atau menjadi sangat baik terhadap IPS. Adapun indikator kinerjanya adalah: a. Guru terampil mengelola proses pembelajaran IPS dengan menggunakan metode Make A Match berbantuan Mind Mapping. b. Terjadi perubahan sikap dan perilaku siswa selama mengikuti pelajaran IPS yang ditandai dengan aktivitas siswa yang dapat dilihat pada lembar penilaian observasi siswa. c. 80% siswa kelas V SD Negeri Kutowinangun 4 Salatiga mengalami ketuntasan belajar dalam materi Peninggalan Sejarah Kerajaan HinduBuddha dan Islam.