BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pembelajaran IPA 2.1.1 Definisi Pembelajaran Menurut Susanto (2013: 19) pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan guru agar terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, pengasaan, kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan keyakinan yang dimiliki peserta didik .Pembelajaran merupakan interaksi dari seorang guru dengan peserta didik, keduanya terjadi komunikasi yang intens dan terarah menuju suatu target yang telah diterapkan sebelumnya (Trianto, 2010). Berdasarkan pengertian pembelajaran menurut para ahli, peneliti menyimpulkan pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengubah tingkah laku menjadi yang lebih baik misalnya, perilaku menjadi lebih aktif, menjadi lebih pintar memahami perilaku yang sepantasnya. Pembelajaran di kelas dibutuhkan metode-metode yang relevan untuk menjadi tujuan pembelajaran bukan hanya metode ceramah, namun menggunakan berbagai variasi model, seperti berkelompok, diskusi, kunjungan ke objek dan lain sebagainya. Pengetahuan siswa tidak hanya di dapatkan dari luar siswa, tetapi siswa memperoleh pengetahuannya dari diri siswa sendiri dari struktur kognitif yang dimilikinya dan pengalamannya. Jadi, pengetahuan berlangsung bukan hanya dari guru memberikan ke siswa namun siswa sendiri sudah mempunyai modal untuk membangun pengetahuannya. Pembelajaran guru harus mampu berinovasi dengan model-model pembelajaran agar siswa mampu menggali kemampuannya. Guru menyediakan tempat untuk memberikan latihan siswa dalam belajar. Siswa mempunyai dua otak yaitu otak kanan dan otak kiri, kedua otak tersebut harus seimbang agar siswa dapat bertumbuh kembang dengan maksimal. Guru bukan hanya memberikan kemampuan siswa pada otak kanan saja yang di sisi dengan pengetahuan namun guru juga harus memberikan kesempatan pada siswa untuk menyeimbangkan otaknya dengan cara melatih keterampilannya, siswa di ajak untuk bermain sambil belajar atau siswa diajak untuk berkelompok. Cara
5
6
pembelajaran seperti itu akan menyeimbangkan otak kanan dan kiri siswa. Adapun tujuan pembelajaran adalah untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
2.1.2 Definisi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah berkaitan dengan bagaimana siswa mencari tahu pemahaman fenomena alam secara sistematis, IPA bukan pengetahuan yang harus dihafal namun siswa harus memiliki kemampuan proses penemuan (Depdiknas, 2006: 443). Ilmu Pengetahuan Alam adalah pengetahuan manusia yang luas yang didapat dengan cara observasi atau pengamatan dan eksperimen yang sistematik, serta dijelaskan dengan aturan, hukum, prinsip, teori, serta hipotesa, pendapat Depdiknas didukung oleh pendapat Sulistyorini (2007: 39) IPA merupakan cara mencari tahu pemahaman alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan sistematis dan bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, prinsip saja, tetapi juga merupakan proses penemuan. IPA sebagai proses artinya IPA diperoleh dengan cara berproses melakukan pengamatan, eksperimen, percobaan dan sebagaianya. IPA sebagai produk artinya mempelajari fakta, data, konsep, prinsip dan teori dari kumpulan hasil para ahli. IPA sebagai sikap artinya IPA mengajarkan siswa untuk mempunyai sikap jujur, teliti, ingin tahu, ilmiah dan sebagainya. Peneliti menyimpulkan pembelajaran IPA adalah siswa belajar bukan hanya melihat, mengetahui dan mendengarkan saja, akan tetapi siswa dapat mengalami, mengamati, merasakan, menerapkan secara langsung untuk menemukan gagasan baru yang ditemukan sendiri dengan cara yang ilmiah.
2.2 Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe NHT dan Tipe TSTS 2.2.1 Pengertian Model Pembelajaran Cooperatif Learning Pembelajaran cooperative learning merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama antara siswa, sehingga terjalin interaksi positif dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Slavin (2009: 4) mengemukakan pendapatnya
7
bahwa pembelajaran kooperatif merunjuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pembelajaran. Pembelajaran Cooperatif Learning diberikan bertujuan agar proses pembelajaran tidak monoton dan tidak didominasi oleh satu orang saja, jadi tidak ada istilah yang pintar yang maju, namun model pembelajaran cooperative learning mengharuskan semua anggota kelompoknya bekerja sama untuk menyelesaikan masalah kelompoknya, setiap anggota mempunyai tugas masingmasing. Sehingga pembelajaran dapat terjadi secara aktif, partisipasi semua siswa terjalin tidak ada siswa yang tidak bekerja dan berfikir, hal ini senada dengan pernyataan Anita Lie (2008: 12) bahwa pembelajaran cooperative learning adalah sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa lainnya dalam tugas-tugas terstruktur. Pendapat Lie tersebut diperkuat dengan pernyataan yang dilontarkan Etin Solihatin dan Raharjo (2005: 4) yang menyatakan bahwa: “Cooperative learning mengandung pengertian sebagai suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu diantara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih dimana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Cooperative learning juga dapat diartikan sebagai suatu struktur tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok seperti yang dikatakan Isjoni (2009: 62) Bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Peneliti menyimpulkan pembelajaran cooperative learning merupakan pembelajaran yang dilakukan dengan cara berkelompok untuk memberikan kesempatan siswa saling bekerjasama dalam bertukar pikiran maupun pendapat. Tujuan model pembelajaran Cooperative learning menurut Eggen dan Kauchak (dalam Winayari, 2010: 12) adalah sebagai berikut: (1) Mengingatkan partisipasi peserta didik, (2) Memfasilitasi peserta didik agar memiliki pengalaman
mengembangkan
kemampuan
kepemimpinan
dan
membuat
keputusan kelompok, dan (3) Memberi kesempatan kepada mereka untuk
8
berinteraksi dan belajar bersama-sama dengan teman yang seringkali berbeda latar belakangnya. Peneliti menyimpulkan tujuan pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan keaktifan siswa, meningkatkan hasil belajar, bisa menerima keragaman, kerjasama kelompok berkolaborasi.
2.2.2 Cooperatif Learning Tipe NHT Number Head Together (NHT) merupakan suatu model pembelajaran kooperatif dimana siswa diberi nomor kemudia dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru memanggil nomor tersebut (Zuhdi, Ahmad, 2010:64). Teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat (Lie, 2008: 59). NHT merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik. NHT (Number Head Together) menurut Trianto (2007: 62) merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. NHT (Number Head Together) sebagai model pembelajaran pada dasarnya merupakan sebuah variasi diskusi kelompok dengan ciri khas dari NHT adalah guru memberi nomor dan hanya menunjuk seorang siswa yang mewakili kelompoknya. Guru tidak memberitahu terlebih dahulu siapa yang akan menjadi ketua kelompoknya, guru meberikannya secara acak jadinya tidak akan ada yang mengira mana yang sudah menguasai materi atau belum, jadi semua anggota harus sudah siap semuanya. Model kooperatif tipe Number Head Together (NHT) pada dasarnya merupakan variasi dari diskusi kelompok dengan bercirikan pemakain nomor disetiap kepala siswa kemudian guru menunjuk siswa tanpa memberi tanpa memberi tahu siapa yang akan mewakili kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi kelompoknya. Teknik ini menjamin keterlibatan semua siswa untuk aktif dan upaya yang baik untuk meningkatkan tanggung jawan dalam diskusi kelompok.
9
Peneliti menyimpulan pembelajaran NHT adalah model pembelajaran yang melibatkan semua siswa secara aktif untuk bekerja pada kelompoknya dengan mengarah pada pembagian nomor yang berbeda pada setiap anggota kelompok untuk menyelesaikan masalah atau tugas yang diberikan guru dengan masalah yang berbeda. Cara penyajian siswa untuk menyampaikan hasil diskusi kelompoknya dengan cara guru memanggil nomor secara acak, jadi semua anggota kelompok harus memahami dengan jawaban hasil diskusi kelompok tersebut.
2.2.2.1 Langkah-langkah Pembelajaran Tipe NHT Langkah pembelajaran NHT menurut Trianto (2007: 63) dalam pengajuan pertanyaan kepada seluruh kelas, guru menggunakan empat tahap yaitu, sebagai berikut: Tahap 1: Numbering Guru membuat kelompok kecil yang terdiri dari 3-5 anggota dan masingmasing anggota dalam kelompok mendapat nomor antara satu sampai enam. Tahap 2: Questioning Guru memberikan sebuah pertanyaan atau tugas pada tiap-tiap kelompok. Pertanyaan bisa bervariasi dari mulai pertanyaan yang bersifat umum hingga bersifat spesifik. Tahap 3: Heads Together Semua anggota kelompok mendisukusikan pertanyaan dari guru dan memastikan setiap anggota kelompok mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut. Tahap 4: Answering Guru memanggil salah satu nomor siswa. Siswa dengan nomor yang dipanggil mengangkat tangan dan menjawab pertanyaan yang diberikan guru. Menurut
Kosasih
(2010:61)
pembelajaran model NHT yaitu:
mengatakan
ada
6
langkah
dalam
10
1) Siswa dibagi dalam kelompok dan setiap siswa dalam kelompok diberikan nomor yang berbeda. 2) Guru memberikan tugas untuk masing-masing kelompok. 3) Semua anggota kelompok dalam tiap kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan setiap anggota kelompok mengerjakan serta mengetahui jawabannya. 4) Guru memanggil salah satu siswa dengan memanggil nomor dan nomor yang dipanggil menyampaikan hasil diskusinya dengan kelompok. 5) Teman-teman yang lain yang berbeda jawabannya diberikan kesempatan untuk menyampaikan tanggapannya kemudian guru mengulang kembali untuk memanggil nomor yang lain guna menyampaikan tugas yang selanjutnya. 6) Guru bersama siswa menyampaikan kesimpulan dari keseluruhan tugas yang sudah dikerjakan. Berdasarkan pendapat para ahli, penulis menyimpulkan 6 langkah-langkah NHT sesuai dengan kebutuhan penelitian, sebagai berikut: 1) Persiapan 2) membentuk kelompok 3) memberikan nomor 4) diskusi masalah 5) memanggil nomor dan mempresentasikan jawaban 6) menyimpulkan
2.2.2.2 Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Tipe NHT Model pembelajaran kooperatif tipe NHT juga mempunyai kelebihan dan kelemahan seperti model-model pembelajaran yang lainnya. Menurut Zauhdi (2010: 65) terdapat kelebihan dan kelemahan pembelajaran tipe NHT. Kelebihan NHT yaitu setiap siswa menjadi siap semua, dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh, dan siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai. Sedangkan, kelemahan NHT yaitu kemungkinan nomor yang dipanggil akan dipanggil lagi oleh guru dan tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru.
11
Anita Lie (2002: 59) juga berpendapat terdapat kelebihan dan kelemahan NHT. Kelebihan NHT yaitu memudahkan dalam pemberian tugas, memudahkan siswa belajar melaksanakan tanggung jawab pribadinya, meningkatkan semangat kerja siswa, dan siswa dapat saling berbagai ide-ide. Sedangkan kelemahan NHT yaitu kurang cocok untuk jumlah siswa yang banyak karena membutuhkan waktu yang lama dan tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru. Berdasarkan dua pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe NHT tidak serta merta selalu unggul dibandingkan model yang lainnya tipe NHT juga memiliki kelemahan. Tipe NHT menurut para ahli dapat meningkatkan siswa menjadi lebih aktif dan malatih siswa untuk bertanggung jawab dalam bekerjasama dalam proses pembelajaran berlangsung. Namun, selain itu NHT juga memiliki kelemahan yaitu prosesnya membutuhkan waktu yang lama dan juga tida semua siswa dapat mendapatkan giliran untuk menjawab pertanyaan.
2.2.3 Cooperative Learning Tipe Two Stay two Stray (TSTS) Metode tipe Two Stay Two Stray (TSTS) merupakan salah satu bagian dari model pembelajaran kooperatif yang menempatkan peserta didik dalam kelompok kecil yang beranggotakan empat orang. Lie (2002:60-61) mengemukakan bahwa metode Two Stay Two Stray (TSTS) adalah salah satu teknik dalam metode diskusi yang berbasis cooperative learning, banyak kegiatan yang diwarnai dengan kegiatan individu. Menurut Komalasari (2013: 69) menyatakan bahwa Two Stay Two Stray memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lainnya. Berdasarkan pengertian tipe Two Stay Two Stray (TSTS) yang telah dikemukakan para ahli, peneliti menyimpulkan pengertian Two Stay Two Stray (TSTS) adalah pembelajaran yang membuat siswa lebih aktif, bekerjasama antar anggota kelompok, memberikan kesempatan kepada anggota kelompok utnuk menyampaikan perndapat dengan cara kerjasama dengan kelompoknya untuk
12
berbagi tugas, 2 anak mencari informasi ke kelompok lain (tamu) dan 2 anak lainnya tetatp tinggal untuk memberikan informasi kepada tamu yang datang.
2.2.3.1 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS Menurut Lie (2002:61) menjelaskan langkah-langkah tentang metode Two Stay Two Stray (TSTS). Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: 1) Siswa bekerjasama dengan kelompok yang berjumlah 4 orang 2) Setelah selesai siswa dibagi 2 (dua) orang menjadi tamu dan 2 (dua) orang lain tinggal dalam kelompok 3) Dua orang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil keja dan informasi kepada tamu mereka 4) Kelompok mencocokan dan membahas hasil kerja mereka 5) Kesimpulan. Menurut Miftakhul Huda adapun langkah-langkah pelaksanaan metode Two Stay Two Stray (TSTS) antara lain sebagai berikut: 1) Siswa bekerjasama dengan kelompok berempat sebagaimana biasa 2) Guru memberikan tugas pada setiap kelompok untuk mendiskusikan dan dikerjakan bersama. 3) Setelah selesai, dua anggota dari masing-masing kelompok diminta meninggalkan kelompoknya dan masing-masing bertamu kedua anggota dari kelompok lain. 4) Dua orang yang “tinggal” dalam kelompok bertugas mensharing informasi dan hasil kerja mereka. 5) “Tamu” mohon diri dan kembali ke kelompok yang semula dan melaporkan apa yang mereka temukan dari kelompok lain. 6) Setiap kelompok lalu membandingkan dan membahas hasil pekerjaan merekaa semua. Menurut kedua teori yang dipaparkan para ahli tahapan-tahapan dalam metode Two Stay Two Stray (TSTS) peneliti menyimpulkan sebagai berikut:
13
Tahap 1: Persiapan Tahap pertama, hal yang dilakukan guru adalah membuat silabus dan sitem penilaian, desain pembelajaran, menyiapkan tugas siswa dan membagi siswa menjadi beberapa kelompok dengan masing-masing anggota empat siswa dan setiap anggota kelompok harus heterogen berdasarkan prestasi akademik siswa. Tahap 2: Presentasi Guru Tahap kedua, guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan menjelaskan materi. Selain itu, guru pada tahap ini menjelaskan cara main belajar dengan metode Two Stay Two Stray (TSTS). Tahap 3: Kegiatan Kelompok TSTS Tahap ketiga, pembelajaran menggunakan lembar kegiaatan yang berisi tugas yang harus dipelajari oleh tiap-tiap siswa dalam satu kelompok. Setelah menerima lembar kegiatan yang berisi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan konsep materi dan klasifikasinya, siswa mempelajarinya dalam kelompok kecilnya yaiitu mendiskusikan masalah terebut. Masing-masing kelompok menyelesaikan masalahnya dengan cara mereka sendiri. Pembagian kelompok terdiri dari: 1) Kelompok Stay Dua anggota yang tinggal dalam kelompok bertugas menyampaikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu. 2) Kelompok Stray Dua dari empat anggota dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya dan bertamu ke kelompok yang lain. Tahap 4: Formalisasi Tahap keempat, setelah belajar dalam kelompok dan menyelesaikan permasalahan yang diberikan salah satu kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya untuk dikomunikasikan atau didiskusikan dengan kelompok lainnya. Kemudian guru membahas dan mengarahkan siswa ke bentuk formal.
14
Tahap 5: Evaluasi Kelompok dan Penghargaan Pada tahap evaluasi ini untuk mengetahui seberapa besar kemampuan siswa dalam memahami materi yang telah diperoleh dengan menggunakan metode pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS). Masing-masing siswa diberi kuis yang berisi pertanyaan-pertanyaan dari hasil metode pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS), yang selanjutnya dilanjutkan dengan pemberian penghargaan kepada kelompok yang mendapatkan skor rata-rata tertinggi.
2.2.3.2 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Tipe TSTS. Menurut Huda (2011:140) terdapat kelebihan metode pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS) yaitu dapat dikombinasikan dengan teknik kepala bernomor (NHT), dapat diterapkan untuk semua mata pelajaran dan tingkatan umum, dan memungkinkan setiap kelompok untuk saling berbagi informasi dengan kelompok-kelompok lain. Kelebihan dari metode Two Stay Two Stray (TSTS) menurut peneliti berdasarkan uraian dua pendapat ahli yaitu dapat diterapkan pada semua mata pelajaran, dapat diterapkan pada semua tingkat, mejadikan pembelajaran menjadi lebih
bermakna,
diharapkan
siswa
percaya
diri
berani
menyampaikan
pendapatnya, meningkatkan kemampuan berbicara, membantu meningkatkan minat dan hasil belajar. Menurut Lie (2008) metode pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS) mempunyai kelemahan yaitu membutuhkan banyak waktu, membutuhkan sosialisasi yang lebih baik, jumlah ganjil menyulitkan proses pengambilan suara, dan kurang kesempatan untuk kontribusi individu. Berdasarkan pendapat para ahli tentang kelebihan dan kelemahan pembelajaran TSTS, peneliti menyimpulkan kelebihan TSTS memberikan kesempatan untuk saling bertukar pendapat dengan kelompok lain sehingga memudahkan pengelolaan kelas, sedangkan kelemahan pada pembelajaran TSTS mendasarkan pada pembentukan kelompok jika jumlah siswa bukan kelipatan 4.
15
2.3 Hasil belajar 2.3.1 Pengertian Belajar Menurut Gagne (dalam Suprijono, 2013: 2) belajar adalah perubahan kemampaun yang dicapai sesorang melalui aktivitas, sebagai akibat dari pengalamannya. Djamarah (2008:2) menyatakan bahwa belajar merupakan aktivitas yang dilakukan individu secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari apa yang telah dipelajari dan sebagai hasil dari interaksinya dengan lingkungan sekitar. Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan seseorang secara sadar melalui latihan dan pengalamannya dalam interaksi dengan lingkungan sehingga memperoleh perubahan tingkah laku, pengetahuan, dan sikap ke arah yang lebih baik. Setelah melakukan belajar maka siswa akan memperoleh hasil belajar yang diinginkan.
2.3.2 Pengertian Hasil Belajar Kemampuan akademik siswa dapat diukur dengan hasil belajarnya. Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang dalam belajar maka perlu dilakukan suatu evaluasi yang bertujuan untuk mengetahui hasil yang diperoleh yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur kemampuan siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung. Suprijono (2011:7), mengemukakan hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Sedangkan, menurut Nawawi (dalam Susanto, 2013: 5) Hasil belajar merupakan tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang ditunjukkan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes sejumlah materi pelajaran tertentu. Hasil belajar menurut Sudjana (2005:7), merupakan suatu kompetisi atau kecakupan yang dapat dicapai siswa setelah melalui kegiatan pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan oleh guru di suatu sekolah dan kelas tertentu.
16
Berdasarkan beberapa pendapat menurut ahli, peneliti mengambil kesimpulan bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang tetap sebagai hasil proses pembelajaran di sekolah.
2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Menurut Wasliman (dalam Susanto, 2013: 12) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi belajar siswa. Faktor tersebut dikelompokann menjadi dua golongan, yaitu faktor intern dan faktor ekstrn. Kedua faktor tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi dalam proses belajar sehingga menentukan kualitas hasil belajar. Faktor-faktor tersebut akan dijelaskan, sebagai berikut: (1) Faktor intern, faktor yang bersumber dari dalam diri peserta didik yang mempengaruhi kemampuan belajar peserta didik. Faktor internal meliputi, sebagai berikut: kecerdasan, minat dan perhatian, motivasi belajar, ketekunan, sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan kesehata, (2) Faktor ekstern, faktor ini merupakan faktor yang berada diluar diri peserta didik. Faktor eksternal meliputi: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sudjana (2008: 39-40) mengemukakan pendapat bahwa hasil belajar yang didapat siswa dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam dan luar siswa. Kemampuan yang dimiliki siswa merupakan faktor yang berasal dari diri siswa. Sedangkan, faktor dari luar siswa antara lain seperti lingkungan yang merupakn berperan paling dominan mempengaruhi hasil belajar di sekolah. Berdasarkan pendapat Wasliman dan Sudjana, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi siswa dalam hasil belajarnya berasal dari diri siswa sendiri dan faktor lingkungannya. Jika kedua faktor tersebut sama-sama berjalan dengan baik maka hasil belajar siswa juga dapat baik pulan.
2.3.4 Manfaat Hasil Belajar Hasil belajar pada hakekatnya mencangkup tiga ranah yaitu dalam bidang kognitif, afektif dan psikomotorik. Pendidikan dikatakan berhasil jika hasil belajar peserta didik mengalami perubahan-perubahan yang lebih baik, sehingga dapat bermanfaat untuk, (1) Menambah pengetahuan, (2) Lebih memahami sesuatu
17
yang dipahami sebelumnya, (3) Lebih mengembangkan keterampilannya, (4) Memiliki pandangan yang baru atas semua hal, dan (5) Lebih menghargai sesuatu dari pada sebelumnya.
2.4 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membandingkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan TSTS. Penelitian yang sudah dilakukan terdahulu digunakan sebagai rujukan dalam penulisan penelitian ini. Berikut beberapa penelitian yang relevan, Penelitian pertama dilakukan Tri Sugiarto (2012) dengan judul “Perbedaan Hasil Belajar Matematika antara Siswa yang Diajar dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT dan Model Pembelajaran Konvensional Kelas VIII di SMP Negeri 3 Salatiga Tahun Ajaran 2012/2013”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar kooperatif tipe NHT dan Model pembelajaran konvensional. Hal ini dibuktikan dengan nilai t adalah 2,673 dengan probabilitas signifikansi 0,011 < 0,05. Penelitian kedua dilakukan Tri Wulaningsih (2014) dengan judul “Perbedaan Hasil Belajar Matematika dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT dan NHT Pada Siswa Kelas 4 SD Negeri di Gugus Abiyasa Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Hasil penelitiannya adalah hasil uji t diperoleh perhitungan signifikansi 0,040 < 0,05 artinya terdapat perbedaan hasil belajar matematika sntara siswa yang diajrkan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT pada siswa kelas 4 SD Negeri di Gugus Abiyasa Kabupaten Semarang. Perbedaan tersebut ditunjukkan dengan perolehan rata-rata tipe TGT yaitu 78,61 lebih baik daripada menggunakan NHT yang hanya 68,43. Penelitian ketiga dilakukan Ratna Puspita Sari (2014) dengan judul “Perbedaan Teknik Pembelajaran TSTS dan Snowball Throwing Terhadap Hasil Belajar PKn Siswa Kelas VII SMP Stella Matutina Salatiga Tahun Pelajaran 2013/2014”. Hasil penelitian yang dilakukan adalah adanya perbedaan hasil belajar menggunakan teknik TSTS dan Snowball throwing dibuktikan dengan
18
perbedaan nilai rata-rata sebesar 76,64 pada kelas TSTS yang hasilnya lebih baik dari pada menggunakan Snowball throwing yaitu 68,71. Diketahui juga melalui uji t yang menunjukkan bahwa nilai t hitung lebih besar pada t table (3.720 > 1.674) yang berarti H0 ditolak dan Ha diterima yang artinya adanya perbedaan pengaruh penggunakaan teknik TSTS dengan teknik snowball Throwing terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran PKn kelas VIII SMP Stella Matutina Salatiga Semester Genap Tahun Ajaran 2013/2014. Berdasarkan hasil penelitian yang relevan dapat dilihat dari ketiga penelitian yang diuraikan diatas dua diantaranya penggunaan model kooperatif tipe TSTS dan NHT sama-sama menunjukkan keberhasilan dalam penerapan dalam pembelajaran di kelas. Keberhasilan penerapan TSTS dan NHT ditunjukkan adanya perubahan hasil belajar menjadi lebih baik. Penelitian ini akan melibatkan variabel hasil belajar. Tujuan dari penelitian yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan NHT terhadap hasil belajar IPA siswa kelass 4 SD Negeri di Gugus Dieng Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung Tahun Ajaran 2015/2016.
2.5 Kerangka Berfikir Pada dasarnya mata pelajaran IPA adalah mata pelajaran yang menekankan banyak eksperimen dan eksplorasi dari siswa. Artinya bahwa pengetahuan teori yang diperoleh, diperlakukan sebagai hipotesis yang perlu diuji kebenarannya lewat eksperimen secara langsung. Agar hal ini terlaksana, siswa diberikan kesempatan untuk mengeksplor kemampannya. Kesuksesan proses pembelajaran tidak terlepas dari hasil belajar yang telah dicapai dalam pembelajaran, proses dimana menghasilkan hasil belajar secara maksimal merupakan harapan dari semua pengajar atau pendidikan. Model yang menuntut siswa aktif salah satunya adalah model pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT dan TSTS yang mendorong siswa untuk aktif untuk mencari informasi dari teman sebayanya. Sehingga terciptalah proses pembelajaran yang tidak satu arah oleh guru saja model pembelajaran kooperatif tipe NHT adalah model yang menekankan pada adanya interaksi dan
19
aktivitas siwa untuk saling membantu dan bekerja sama dalam mempelajari materi, sehingga siswa akan dengan mudah untuk memahami materi yang dipelajari, sedangkan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS merupakan pertukaran kelompok dengan kelompok lain namun ada perbedaan penting yakni mengajarkan sesuatu pada siswa lain. Tiap kelompok mempelajari satu bagian masalah yang nantinya akan saling bertukar informasi dengan mengunjungi kelompok lain yang bila digabungkan siswa akan membentuk pengetahuan atau keterampilan yang terpadu. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan TSTS diharapkan dapat membuat siswa menjadi lebih tertarik dan fokus dalam memahami materi yang diberikan sehingga hasil belajar siswa lebih tinggi. Berdasarkan paparan teoritik, model TSTS tampak dapat lebih memberikan ruang kepada
siswa
untuk
dapat
saling
bekerjasama
dan
mengeksplorasi
kemampuannya. Kelas eksperimen 1
Kondisi awal siswa sama
Pretest
Kelas eksperimen 2
Pretest
Pemberian perlakuan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS
Pemberian perlakuan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Posttest
Posttest Hasil Belajar pada Ranah kognitif Uji-t
Ada atau tidak ada perbedaan penerapan model pembelajaran TSTS dan NHT terhadap hasil belajar IPA siswa kelas 4 SD Gugus Dieng Bulu Temanggung Gambar 2.1 Kerangka Berfikir
20
2.6 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teori, kajian penelitian yang relevan dan kerangka berpikir yang telah diuraikan maka hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut: H0
= Tidak ada perbedaan yang signifikan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan TSTS terhadap hasil belajar IPA siswa kelas 4 SD Negeri di Gugus Dieng Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung Tahun ajaran 2015/2016.
Ha
= Ada perbedaan yang signifikan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan TSTS terhadap hasil belajar IPA siswa kelas 4 SD Negeri di Gugus Dieng Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung Tahun Ajaran 2015/2016.