BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Tuna (Thunnus sp.) Tuna (Thunnus sp.) merupakan jenis ikan laut pelagis yang termasuk dalam keluarga Scombroidae. Tubuh ikan ini seperti cerutu, mempunyai sirip punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hipural. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Ditjen Perikanan,1983). Tuna terdiri dari 5 spesies yaitu Albacore (Thunnus alalunga), Yellowfin Tuna (Thunnus albacores), Tuna Sirip Biru/Southtern Bluefin Tuna (Thunnus macoyii), Big eye Tuna (Thunnus obesus), Longtail Tuna (Thunnus tongkol) (Saanin, 1984). Gambar jenis-jenis ikan tuna disajikan pada Gambar 1. Kalsifikasi ikan tuna (Thunnus sp.) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Sub phylum
: Vertebrata Thunnus
Class
: Teleostei
Sub Class
: Actinopterygii
Ordo
: Perciformes
Sub ordo
: Scombroidae
Genus
: Thunnus
Species
: Thunnus alalunga (Albacore) Thunnus albacores (Yellowfin Tuna) Thunnus macoyii (Southtern Bluefin Tuna) Thunnus obesus (Big eye Tuna) Thunnus tonggol (Longtail Tuna).
6
7
Gambar 1. Jenis-Jenis Ikan Tuna (Thunnus sp.) (Sumber : www.damandiri.or.id )
8
Ikan tuna hidup pada habitat berupa perairan dengan suhu 100 – 400 C, pada kedalaman 0 - 400 m di bawah permukaan laut. Faktor yang berpengaruh terhadap pola penyebaran ikan tuna antara lain suhu, arus, salinitas perairan dan tempat memijah. Ikan tuna termasuk ke dalam ikan buas, karnivor, predator dan dapat mencapai panjang 50 - 150 cm (Alfindo, 2009). Tuna memiliki kebiasaan bergerombol kecil dan biasanya tertangkap bersama-sama ikan cakalang. Cara penangkapannya dengan memakai peralatan seperti tuna longline, purse seine, pole and line dan trolling. Pergerakan (migrasi) kelompok ikan tuna di wilayah perairan Indonesia mencakup wilayah perairan pantai, teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pada wilayah perairan ZEE Indonesia, migrasi ikan tuna merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan antara samudera Hindia dan samudera Pasifik (Alfindo, 2009). Jumlah tangkapan tuna di beberapa titik penangkapan hasil laut Indonesia cukup banyak, hal ini dikarenakan perairan Indonesia yang merupakan lintasan jalur migrasi tuna. Jumlah hasil tangkapan tuna di perairan Indonesia disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Produksi Beberapa Jenis Ikan Tuna Tahun 2004-2010 di Indonesia (ton) Jenis-jenis Tuna Tahun Albacora Madidihang Sirip Biru Mata Longtail Besar 29.135 94.904 665 52.292 107.438 2004 33.790 110.163 1.831 37.360 93.119 2005 20.293 94.406 747 43.958 94.981 2006 34.335 103.655 1.079 52.489 117.941 2007 36.538 102.765 891 53.979 95.229 2008 25.621 114.163 641 62.844 95.299 2009 30.134 130.422 474 52.766 89.281 2010 Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2011)
9
Tuna memiliki kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 gr/100 gr daging. Lemak antara 0,2 - 2,7 gr/100 gr daging. Ikan tuna juga mengandung mineral kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin, riboflavin dan niasin) (Departemen of Health Education and Walfare 1972 dalam Maghfiroh, 2000). Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Nilai Gizi Beberapa Jenis Ikan Tuna (Thunnus sp.) per100 gr Daging. Jenis Ikan Tuna Komposisi
Bluefin
Skipjack
Yellowfin
121,0 131,0 105,0 Energi 22,6 26,2 24,1 Protein 2,7 2,1 0,1 Lemak 1,2 1,3 1,2 Abu 8,0 8,0 9,0 Kalsium 190,0 220,0 220,0 Fosfor 2,7 4,0 1,1 Besi 90,0 52,0 78,0 Sodium 10,0 10,0 5,0 Retinol 0,1 0,03 0,1 Thiamin 0,06 0,15 0,1 Riboflavin 10,0 18,0 12,0 Niasin Sumber : (Departement of Health, Education and Walfare (1972) dalam Maghfiroh, 2000)
Satuan g g g mg mg mg mg mg mg mg mg mg
2.2 Mutu dan Kualitas Ikan Menurut Feigenbaum (1991) dalam Lesmana (2011) bahwa mutu adalah suatu produk atau jasa yang memenuhi syarat atau keinginan pelanggan, dimana pelanggan dapat menggunakan atau menikmati produk atau jasa tersebut dengan sangat puas dan ia menjadi pelanggan tetap, sedangkan kualitas merupakan keseluruhan karakteristik produk dan jasa yang meliputi pemasaran, teknik, perancangan dan pelayanan yang cepat, dimana produk dan jasa tersebut dalam pemakaianya akan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan. Penentuan produk yang baik dan layak dalam pangan, mutu dan kualitas selalu diperhatikan, sehingga untuk menentukan mutu dan kualitas harus mengacu
10
kepada standar yang sudah disepakati secara bersama. Untuk mengetahui mutu dan kualitas pada hasil perikanan dapat dilihat dari tingkat kesegarannya, pengamatan seperti ini sering disebut pengamatan organoleptik. Ciri-ciri ikan yang segar pada umumnya disajikan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Ciri-ciri Ikan Segar Deskripsi
Karaktersitik Organoleptik cemerlang, kornea bening, pipih hitam, dan mata cembung Mata Insang
warna merah sampai tua cemerlang
Kulit
cemerlang, belum pudar, warna asli kontras
Sisik
melekat kuat, mengkilap dengan warna khusus
Bau
segar dan berbau laut/garam, tidak berbau pesing
Kondisi
bebas dari parasit apapun tanpa kerusakan pada badan ikan.
Sumber : Ilyas (1993) dalam Syarifuddin (2006)
Dalam menentukan tingkat kesegaran ikan, dapat diketahui berdasarkan score sheet ikan segar. Karakteristik organoleptik ikan segar secara umum dapat digunakan untuk mengetahui masih segar atau tidaknya ikan tersebut. Tabel score sheet ikan segar secara umum disajikan pada Tabel 4.
11
Tabel 4. Score Sheet Ikan Segar No. 1
Kriteria Kenampakan dan lendir
2
Mata
Deskripsi - Cemerlang spesifik jenis, sisik kuat, lendir tipis jernih/transparan. - Cemerlang, sisik kuat, lendir tipis, agak transparan. - Agak cemerlang, sisik agak kuat, lendir agak kental. - Agak kusam, sisik agak mudah lepas, lendir putih susu, kental tidak merata. - Kusam, sisik mudah lepas, lendir kekuningan, kental, bau busuk. - Cembung, kornea transparan, pupil hitam cemerlang. - Agak cembung, kornea agak berkabut, pupil hitam, agak cemerlang. - Datar, kornea berkabut, pupil keabu-abuan. - Agak cekung, kornea keruh, pupil putih keabu-abuan. - Cekung, kornea putih susu, pupil keputihan, tenggelam.
- Merah cemerlang, filamen teratur, bau segar, tidak berlendir. - Merah muda agak cemerlang, ujung filamen memucat, susunan agak jarang, bau agak segar, lendir tipis. - Merah kecoklatan, ujung filamen pucat, susunan jarang, belum tercium bau yang berbeda, agak berlendir. - Kecoklatan pucat agak kusam, filamen putih pucat, susunan jarang tidak teratur, bau agak busuk, lendir agak tebal. - Coklat pucat kehijauan, ujung filamen putih dan menciut, bau busuk dan lendir tebal. - Segar, spesifik jenis. 4 Aroma - Segar, bau spesifik mulai menghilang - Agak segar, netral, dan belum tercium bau - Tidak segar, sudah tercium bau yang berbeda - Bau busuk. - Elastis, kompak, dan padat 5 Tekstur - Agak elastis, kompak dan agak padat - Agak elastis, agak kompak, dan agak padat - Tidak elastis, tidak kompak dan agak lembek - Tidak elastis, lembek/lunak. Sumber : Evi Liviawaty, Otong Suhara, dan Eddy Afrianto (2013) 3
Insang
12
Untuk mengetahui mutu dan kualitas, tuna juga memiliki ciri-ciri yang mudah diamati secara langsung, sehingga pemilihan tuna yang bermutu baik untuk penjualan/pembelian ataupun ekspor-impor dapat lebih dimudahkan. Pada umumnya ciri-ciri tuna segar yang baik disajikan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Ciri-ciri Tuna Segar No.
Parameter
Ciri-ciri
1. Bau
Bau yang masih khas ikan laut, tidak berbau busuk.
2. Warna
Warna daging tuna masih cerah (sesuai jenis tuna), kulit masih mengkilap. Tekstur daging masih kenyal/kompak/keras atau tidak lembek. Kondisi fisik tubuh ikan tuna dari ekor hingga kepala harus baik atau tidak rusak.
3. Tekstur 4. Kondisi Fisik
Sumber : Hasil Pengamatan di PT. Graha Insan Sejahtera
Tuna memiliki ranking/grade untuk memudahkan penilaian tuna yang berkualitas. Penentuan ranking/grade yaitu dilihat dari warna daging tuna yang diambil dengan alat tertentu. Kualitas mutu ikan tuna dibedakan menjadi empat kategori, yaitu grade/kualitas A, B, C, dan D. Kegiatan sortasi dilakukan oleh seorang pemeriksa (checker) dengan menggunakan alat coring tube yaitu semacam alat yang berbentuk batang, tajam dan terbuat dari besi. Pengambilan sampel dilakukan pada kedua sisi ikan (bagian belakang sirip atau ekor kanan dan kiri) dengan cara menusukan coring tube ke tubuh ikan, sehingga didapatkan potongan daging ikan tuna. Perbedaan klasifikasi mutu daging ikan tuna disajikan pada Tabel 6.
13
Tabel 6. Ranking/Grade Ikan Tuna Mutu
Grade Warna Daging
I
II
III
IV
Sumber : Fadly, 2009
Ciri-ciri Warna daging untuk tuna jenis yellowfin adalah merah, seperti darah segar atau buah semangka, Warna daging tuna jenis bigeye, dagingnya berwarna merah seperti bunga mawar yang berwarna merah tua, warna daging seperti pelangi atau ya ke tidak ada. Mata bersih, terang, dan menonjol Kulit normal, warna bersih, dan cerah Untuk jenis tuna yellowfin tekstur daging keras, kenyal dan elastis, Jenis tuna bigeye tekstur dagingnya lembut kenyal, dan elastis Kondisi ikan (penampakannya) bagus atau utuh. Daging tuna berwarna merah, terdapat warna pelangi (ya ke) pada daging tuna, otot daging agak elastis, jaringan daging tidak pecah Mata bersih, terang dan menonjol Kulit normal, bersih, sedikit lendir Tidak ada kerusakan fisik (utuh). Daging tuna kurang merah, terdapat warna pelangi pada daging tuna (ya ke) Kulit normal dan berlendir Otot daging kurang elastis Kondisi ikan tidak utuh atau cacat, biasanya pada bagian punggung/dada.
Warna daging agak kurang merah dan cenderung berwarna coklat dan pudar Otot daging kurang elastis, lemak sedikit dan ada warna pelangi pada daging tuna (ya ke) Teksturnya lunak, jaringan daging pecah Terjadi kerusakan fisik pada tubuh ikan (seperti: daging ikan yang sudah sobek, mata ikan hilang dan kulit terkelupas).
14
Ikan tuna yang memiliki kualitas mutu A dan B akan langsung di ekspor dalam bentuk utuh dan segar/fresh (tidak dibekukan terlebih dahulu), sedangkan ikan dengan kualitas mutu C dan D akan diolah terlebih dahulu sebelum diekspor. Produk olahan tuna kualitas C dan D berupa produk beku dalam bentuk utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted), loin (frozen loin), steak (frozen steak), tuna saku dan produk tuna kaleng (canned tuna). Negara tujuan ekspor produk fresh tuna adalah Jepang dan Uni Eropa, sedangkan untuk produk olahan tuna adalah Amerika Serikat. 2.3. Standar Nasional Indonesia (SNI) Standar Nasional Indonesia adalah satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di Indonesia. SNI dirumuskan oleh panitia teknis dan ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional. Agar SNI dapat diterima secara luas antara para pengusaha atau stakeholder, maka SNI dirumuskan dengan memenuhi WTO Code of good practice (Strategi BSN 2006-2009), yaitu: - Openess (keterbukaan) yaitu terbuka bagi agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat berpartisipasi dalam pengembangan SNI; - Transparency (transparansi) yaitu transparan agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat mengikuti perkembangan SNI mulai dari tahap pemrograman dan perumusan sampai ke tahap penetapannya, dan dapat dengan mudah memperoleh semua informsi yang berkaitan dengan pengembangan SNI; - Consensus and impartiality (konsensus dan tidak memihak) yaitu tidak memihak dan konsensus agar semua stakeholder dapat menyalurkan kepentingannya dan diperlakukan secara adil; - Effectiveness and relevance yaitu efektif dan relevan agar dapat memfasilitasi perdagangan karena memperhatikan kebutuhan pasar dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; - Coherence yaitu koheren dengan pengembangan standar internasional agar perkembangan pasar negara kita tidak terisolasi dari perkembangan pasar global dan memperlancar perdagangan internasional; dan
15
- Development
dimension
(berdimensi
pembangunan)
yaitu
berdimensi
pembangunan agar memperhatikan kepentingan publik dan kepentingan nasional dalam meningkatkan daya saing perekonomian nasional.
2.4 Konsep HACCP 2.4.1 Pengertian HACCP HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) adalah suatu sistem dengan pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi dan mengakses bahayabahaya dan risiko-risiko yang berkaitan dengan pembuatan, distribusi dan penggunaan produk pangan. Sistem ini bertanggung jawab untuk menentukan aspek-aspek kritis dalam memperoleh keamanan makanan selama proses di pabrik. HACCP memberikan kesempatan pada pabrik makanan untuk meningkatkan
efisiensi
pengontrolan
dengan
menciptakan
kedisiplinan
pendekatan sistematik terhadap prosedur untuk keamanan pangan (Indarwati, 2001). Sistem HACCP ini dikembangkan atas dasar identifikasi titik pengendalian kritis (Critical control point) dalam tahap pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan risiko. Dengan kata lain dalam sistem manajemen mutu tersebut terdapat tahapan dalam suatu proses, dimana jika tidak dikontrol sebagaimana mestinya akan mengakibatkan bahaya resiko ketidaknyamanan, ketidaklayakan atau penipuan ekonomis dari produk yang dihasilkan, dengan kata lain merupakan setiap tahapan dalam suatu proses dimana faktor Biologis, Kimia dan Fisik dapat dikontrol/dikendalikan, proses ini dinamakan Titik kendali Kritis ( Critical Control Point/CCP). Dari segi teknik, HACCP menggunakan pendekatan yang rasional, menyeluruh, berkelanjutan dan sistematis dalam menjamin bahwa produk yang dihasilkan
aman
untuk
dikonsumsi.
HACCP
disebut
rasional
karena
pendekatannya didasarkan pada sejarah penyebab penyakit dan kerusakan pangan yang memfokuskan perhatian terhadap operasi kegiatan kritis yang memerlukan pengendalian (control) yang memadai. HACCP bersifat berkelanjutan, karena jika ditemukan masalah, dengan segera dapat dilakukan tindakan koreksi untuk memperbaikinya. Konsep ini bersifat sistematis, karena konsep ini merupakan
16
perencanaan yang teliti mencakup tahap demi tahap operasi, prosedur dan sarana pengendalian masalah. Menurut Wiryanti dan Witjaksono (2001) dalam Mahendra (2005), alasan utama pembuatan dan penerapan sistem HACCP dalam industri pangan adalah: a. Meningkatnya tuntutan konsumen atas keamanan pangan (food safety) b. Pengujian akhir/End Product Inspection (EPI) sudah tidak mampu memenuhi tuntutan konsumen c. Adanya pendekatan baru yang berdasarkan pada pengukuran pencegahan (Preventive) measures, dalan proses inspeksi (In Process Inspection/IPI) dan semakin dominannya peranan perusahaan/swasta dalam pengontrol peraturan (self regulatory quality control).
Penerapan HACCP didapatkan beberapa keuntungan yaitu (Sofiah dan Sukarminah, 2011) : 1. Efektif mengoptimalkan keamanan produk yang mendukung terhadap peningkatan kepercayaan diri, kepercayaan konsumen dan daya saing produk. 2. Biaya lebih efektif sehingga resiko produksi dan penjualan produk tidak aman, juga mengatasi beberapa keterbatasan pemeriksaan gambar (snapshot) dan pengujian akhir. 3. Memenuhi peraturan perundangan yang ada, baik secara nasional maupun internasional.
2.4.2 Tahapan dan Prinsip Pembentukan Sistem HACCP Sistem HACCP yang diterapkan pada industri dan diakui dunia, salah satunya mengacu pada pedoman Codex Alimentarius Comission dalam “Guidelines for Application of The Hazard Analysis Critical Control Point System” yang terdiri dari 12 tahapan. Tahapan dalam HACCP terdiri dari dua bagian yaitu tahapan awal pembentukan HACCP yang terdiri dari 5 bagian dan tahapan pokok yang juga disebut dengan prinsip sistem HACCP. Terdapat 7 prinsip dalam HACCP
yang merupakan prinsip dasar. Tahap-tahap dalam
pembuatan sistem HACCP disajikan pada Gambar 2.
17
Pembentukan Tim HACCP
Mendeskripsikan Produk
Identifikasi Konsumen yang Dituju
Penyusunan Diagram Alir proses produksi
Verifikasi Diagram Alir
Identifikasi Bahaya Potensial
Penentuan Titik Kendali Kritis
Menetapkan Batas Kritis untuk setiap TKK
Pemantauan Batas Kritis untuk setiap TKK
Menetapkan Tindakan Koreksi
Menetapkan Prosedur Verifikasi
Menetapkan Prosedur Pencatatan
Gambar 2. Peta Alir Tahap Aplikasi HACCP (Sumber : Thaheer, 2005)
18
Menurut Thaheer (2005), penjelasan dari tahapan dan prinsip pembuatan sistem HACCP adalah sebagai berikut : 1) Pembentukan Tim HACCP Pembentukan tim HACCP merupakan langkah awal dalam penyusunan rencana HACCP yang melibatkan semua komponen dalam industri yang terlibat dalam menghasilkan produk yang baik. Tim ini dibentuk sesuai kebutuhan dari perusahaan yang disesuaikan dengan kegiatan produksi yang dilakukan. Tim HACCP sebaiknya terdiri dari perwakilan seluruh departemen yang ada di dalam perusahaan serta berasal dari disiplin ilmu yang berbeda, dan memiliki keahlian spesifik dari bidang ilmu yang bersangkutan, misalnya ahli mikrobiologi, ahli mesin/engineer, ahli kimia, dan lain sebagainya sehingga dapat melakukan diskusi dalam mengambil keputusan.
2) Deskripsi Produk Tim HACCP yang telah dibentuk kemudian menyusun deskripsi atau uraian dari produk pangan yang akan disusun rencana HACCP-nya. Deskripsi produk yang dilakukan berupa keterangan lengkap mengenai produk, termasuk jenis produk, komposisi, formulasi, proses pengolahan, daya simpan, cara distribusi, serta keterangan lain yang berkaitan dengan produk. Semua informasi tersebut diperlukan Tim HACCP untuk melakukan evaluasi secara luas dan komprehensif.
3) Identifikasi Konsumen yang Dituju Setiap produk yang akan dikendalikan melalui penerapan sistem HACCP terlebih dahulu harus ditentukan rencana penggunaannya atau ditentukan sasaran konsumennya. Tim HACCP menuliskan kelompok konsumen yang mungkin berpengaruh pada keamanan produk. Tujuan penggunaan produk harus didasarkan pada pengguna akhir produk tersebut. Konsumen ini dapat berasal dari orang umum atau kelompok masyarakat khusus, misalnya kelompok balita atau bayi, kelompok remaja, atau kelompok orang tua. Pada kasus khusus harus dipertimbangkan kelompok populasi pada masyarakat beresiko tinggi.
19
4) Penyusunan Diagram Alir Proses Penyusunan diagram alir proses pembuatan produk dilakukan dengan mencatat seluruh proses sejak diterimanya bahan baku sampai dengan dihasilkannya produk jadi untuk disimpan. Pada beberapa jenis produk, terkadang disusun diagram alir proses sampai dengan cara pendistribusian produk tersebut. Hal tersebut tentu saja akan memperbesar pekerjaan pelaksanaan HACCP, akan tetapi pada produk-produk yang mungkin mengalami penurunan mutu (abuse) akibat suhu dan sebagainya selama distribusi, maka tindakan pencegahan ini menjadi amat penting. Diagram alir proses disusun dengan tujuan untuk menggambarkan keseluruhan proses produksi. Diagram alir proses ini selain bermanfaat untuk membantu tim HACCP dalam melaksanakan kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau lembaga lainnya yang ingin mengerti proses dan verifikasinya.
5) Verifikasi Diagram Alir Agar diagram alir proses yang dibuat lebih lengkap dan sesuai dengan pelaksanaan di lapangan, maka tim HACCP harus meninjau operasinya untuk menguji dan membuktikan ketepatan serta kesempurnaan diagram alir proses tersebut. Bila ternyata diagram alir proses tersebut tidak tepat atau kurang sempurna, maka harus dilakukan modifikasi. Diagram alir proses yang telah dibuat dan diverifikasi harus didokumentasikan.
6) Identifikasi Bahaya Potensial Setelah lima tahap pendahuluan terpenuhi, tim HACCP melakukan analisa bahaya dan mengindentifikasi bahaya beserta cara-cara pencegahan untuk mengendalikannya. Identifikasi bahaya potensial merupakan prinsip awal/satu dalam sistem HACCP. Analisa bahaya amat penting untuk dilakukan terhadap bahan baku, komposisi, setiap tahapan proses produksi, penyimpanan produk, dan distribusi, hingga tahap penggunaan oleh konsumen. Tujuan analisis bahaya adalah untuk mengenali bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi dalam suatu proses pengolahan sejak awal hingga ke tangan konsumen.
20
Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu, identifikasi bahaya, penetapan tindakan pencegahan (preventive measure), dan penentuan kategori resiko atau signifikansi suatu bahaya. Dengan demikian, perlu dipersiapkan daftar bahan mentah dan bahan tambahan (ingredient) yang digunakan dalam proses, diagram alir proses yang telah diverifikasi, serta deskripsi dan penggunaan produk yang mencakup kelompok konsumen beserta cara konsumsinya, cara penyimpanan, dan lain sebagainya.
7) Penentuan Titik Kendali Kritis Penentuan titik kendali kritis (TKK) merupakan prinsip kedua dalam sistem HACCP. Titik Kendali Kritis
(Critical Control Point/CCP) atau
didefinisikan sebagai suatu titik, langkah atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan dapat dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat diterima. Pada setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya, maka dapat ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat dikendalikan. Masing-masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah ditetapkan diuji dengan menggunakan CCP decision tree untuk menentukan CCP. Decision tree ini berisi urutan pertanyaan mengenai bahaya yang mungkin muncul dalam suatu langkah proses, dan dapat juga diaplikasikan pada bahan baku untuk mengidentifikasi bahan baku yang sensitif terhadap bahaya atau untuk menghindari
kontaminasi
silang.
Suatu
CCP
dapat
digunakan
untuk
mengendalikan satu atau beberapa bahaya, misalnya suatu CCP secara bersamasama dapat dikendalikan untuk mengurangi bahaya fisik dan mikrobiologi.
8) Menetapkan Batas Kritis untuk Setiap Titik Kritis Menetapkan batas kritis untuk setiap titik kritis merupakan prinsip ketiga dalam sistem HACCP. Penetapan batas kritis/Critical limit (CL) adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi untuk setiap tindakan pencegahan yang ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai batas aman. Batas ini akan memisahkan antara yang diterima dan yang ditolak, berupa kisaran toleransi pada
21
setiap CCP. Batas kritis ditetapkan untuk menjamin bahwa CCP dapat dikendalikan dengan baik. Penetapan batas kritis haruslah dapat diidentifikasi, artinya memiliki alasan kuat mengapa batas tersebut digunakan dan harus dapat divalidasi artinya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan serta dapat diukur. Penentuan batas kritis ini biasanya dilakukan berdasarkan studi literatur, regulasi pemerintah, para ahli di bidang mikrobiologi maupun kimia, Codex dan lain sebagainya. Secara umum batas kritis dapat digolongkan ke dalam batas fisik (suhu, waktu), batas kimia (pH, kadar garam). Penggunaan batas mikrobiologi (jumlah mikroba dan sebagainya) sebaiknya dihindari karena memerlukan waktu untuk mengukurnya, kecuali jika terdapat uji cepat untuk pengukuran tersebut.
9) Pemantauan Batas Kritis Pemantauan batas kritis merupakan prinsip keempat dalam sistem HACCP. Kegiatan pemantauan (monitoring) adalah pengujian dan pengamatan terencana dan terjadwal terhadap efektifitas proses mengendalikan CCP (Critical Control Limit) dan CL (Critical Limit) untuk menjamin bahwa CL tersebut menjamin keamanan produk. CCP dan CL dipantau oleh personel yang terampil serta dengan frekuensi yang ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan, misalnya kepraktisan. Pemantauan dapat berupa pengamatan yang direkam dalam suatu pengontrol/penanda (checklist) atau pun merupakan suatu pengukuran yang direkam ke dalam suatu lembar data (datasheet). Pada tahap ini, tim HACCP perlu memperhatikan mengenai cara pemantauan, waktu dan frekuensi, serta hal apa saja yang perlu dipantau dan orang yang melakukan pemantauan.
10) Penetapan Tindakan Koreksi Penetapan tindakan koreksi merupakan prinsip kelima dalam sistem HACCP. Tindakan koreksi dilakukan apabila terjadi penyimpangan terhadap batas kritis suatu CCP. Tindakan koreksi yang dilakukan jika terjadi penyimpangan, sangat tergantung pada tingkat risiko produk pangan. Pada produk pangan berisiko tinggi misalnya, tindakan koreksi dapat berupa penghentian
22
proses produksi sebelum semua penyimpangan dikoreksi/diperbaiki, atau produk ditahan/tidak dipasarkan dan diuji keamanannya. Penerapan sistem dinyatakan gagal apabila tindakan koreksi tidak dilakukan. Bahkan meskipun dilakukan apabila tidak berhasil masuk ke akar masalah maka tidak akan mampu membangun sistem dengan baik.
11) Menetapkan Prosedur Verifikasi Menetapkan prosedur verifikasi merupakan prinsip keenam dalam sistem HACCP. Verifikasi adalah metode, prosedur dan uji yang digunakan untuk menentukan bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang ditetapkan. Dengan verifikasi maka diharapkan bahwa kesesuaian program HACCP dapat diperiksa dan efektifitas pelaksanaan HACCP dapat dijamin. Beberapa kegiatan verifikasi misalnya: - Penetapan jadwal inspeksi verifikasi yang tepat - Pemeriksaan kembali rencana HACCP - Pemeriksaan catatan CCP - Pemeriksaan catatan penyimpangan dan disposisi inspeksi visual terhadap kegiatan untuk mengamati jika CCP tidak terkendalikan - Pengambilan contoh secara acak - Catatan tertulis mengenai inspeksi verifikasi yang menentukan kesesuaian dengan rencana HACCP, atau penyimpangan dari rencana dan tindakan koreksi yang dilakukan. Verifikasi harus dilakukan secara rutin dan tidak terduga untuk menjamin bahwa CCP yang ditetapkan masih dapat dikendalikan. Verifikasi juga dilakukan jika ada informasi baru mengenai keamanan pangan atau jika terjadi keracunan makanan oleh produk tersebut.
12) Menetapkan Prosedur Pencatatan Menetapkan prosedur pencatatan merupakan prinsip ketujuh/prinsip akhir dalam sistem HACCP. Dokumentasi program HACCP meliputi pendataan tertulis seluruh program HACCP sehingga program tersebut dapat diperiksa ulang dan
23
dipertahankan selama periode waktu tertentu. Dokumentasi mencakup semua catatan mengenai CCP (Critical Control Point), CL (Critical Limit), rekaman pemantauan CL, tindakan koreksi yang dilakukan terhadap penyimpangan, catatan tentang verifikasi dan sebagainya. Oleh karena itu dokumen ini dapat ditunjukkan kepada inspektur pengawas makanan jika dilakukan audit eksternal dan dapat juga digunakan oleh operator.
2.5 GMP (Good Manufacturing Practices) dan SSOP (Sanitation Standard Operating Procedure) Sistem HACCP merupakan suatu sistem yang tidak dapat berdiri sendiri, melainkan sistem ini dibangun melalui penerapan persyaratan dasar berupa prosedur operasi standar untuk sanitasi/Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) dan cara produksi yang baik/Good Manufacturing Practices (GMP). Kedua persyaratan dasar ini akan memudahkan implementasi penerapan sistem HACCP yang efektif dan efisien. Menurut Thaheer (2005), dengan penerapan GMP dan SSOP yang baik, tidak ditemukan terlalu banyak titik kendali kritis dalam sistem HACCP karena sudah dikendalikan oleh penerapan GMP dan SSOP yang baik. Perbedaan GMP dan SSOP adalah GMP secara luas berfokus dan berakibat pada banyak aspek, baik aspek operasi pelaksanaan tugas yang terjadi di dalam pabriknya sendiri maupun operasi personal. SSOP merupakan prosedur atau tata cara yang digunakan oleh industri untuk membantu mencapai tujuan atau sasaran keseluruhan yang diharapkan GMP dalam memproduksi makanan yang bermutu tinggi dan aman.
2.5.1 GMP (Good Manufacturing Practices) GMP (Good Manufacturing Practices) atau cara produksi yang baik merupakan suatu pedoman bagi industri pangan, bagaimana cara berproduksi pangan yang baik. GMP merupakan prasyarat utama sebelum suatu industri pangan dapat memperoleh sertifikat sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) (Susiwi, 2009). Dalam penerapan GMP, terdapat beberapa bagian yang sangat penting untuk diperhatikan, seperti :
24
a. Sanitasi dan Higiene Sanitasi pangan ditujukan untuk mencapai kebersihan yang prima dalam tempat produksi, persiapan penyimpanan, penyajian makanan, dan air sanitasi. Hal-hal tersebut merupakan aspek yang sangat esensial dalam setiap cara penanganan pangan. Program sanitasi dijalankan bukan untuk mengatasi masalah kotornya
lingkungan
atau
kotornya
pemrosesan
bahan,
tetapi
untuk
menghilangkan kontaminan dari makanan dan mesin pengolahan, serta mencegah terjadinya kontaminasi silang. Program higienis dan sanitasi yang efektif merupakan kunci untuk pengontrolan pertumbuhan mikroba pada produk dan industri pengolahan makanan. b. Prinsip Dasar Sanitasi Prinsip dasar sanitasi meliputi dua hal, yaitu membersihkan dan sanitasi. Membersihkan yaitu menghilangkan mikroba yang berasal dari sisa makanan dan tanah yang mungkin menjadi media yang baik bagi pertumbuhan mikroba. Sanitasi merupakan langkah menggunakan zat kimia dan atau metode fisika untuk menghilangkan sebagian besar mikroba yang tertinggal pada permukaan alat dan mesin pengolah makanan. c. Sumber Kontaminasi Beberapa hal yang memungkinkan untuk menjadi sumber kontaminasi pada industri pangan adalah : 1) Bahan baku mentah Proses pembersihan dan pencucian untuk menghilangkan tanah dan untuk mengurangi jumlah mikroba pada bahan mentah. Penghilangan tanah amat penting karena tanah mengandung berbagai jenis mikroba khususnya dalam bentuk spora. 2) Peralatan/mesin yang berkontak langsung dengan makanan Alat ini harus dibersihkan secara berkala dan efektif dengan interval waktu agak sering, guna menghilangkan sisa makanan dan tanah yang memungkinkan sumber pertumbuhan mikroba.
25
3) Peralatan untuk sterilisasi Harus diusahakan dipelihara agar berada di atas suhu 750 – 760 C agar bakteri thermofilik dapat dibunuh dan dihambat pertumbuhannya. 4) Air untuk pengolahan makanan Air yang digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan air minum. 5) Peralatan/mesin yang menangani produk akhir (post process handling equipment) Pembersihan peralatan ini harus kering dan bersih untuk menjaga agar tidak terjadi rekontaminasi. d. Persyaratan GMP GMP mempersyaratkan agar dilakukan pembersihan dan sanitasi dengan frekuensi yang memadai terhadap seluruh permukaan mesin pengolah pangan baik yang berkontak langsung dengan makanan maupun yang tidak. Mikroba membutuhkan air untuk pertumbuhannya. Oleh karena itu persyaratan GMP mengharuskan setiap permukaan yang bersinggungan dengan makanan dan berada dalam kondisi basah harus dikeringkan dan disanitasi. Peraturan GMP juga mempersyaratkan penggunaan zat kimia yang cukup dalam dosis yang dianggap aman. e. Tahap-Tahap Higienis dan Sanitasi Prosedur untuk melaksanakan kehigienisan dan sanitasi harus disesuaikan dengan jenis dan tipe mesin/alat pengolah makanan. Standar yang digunakan adalah : 1) Pre rinse atau langkah awal, yaitu : menghilangkan tanah dan sisa makanan dengan mengerok, membilas dengan air, menyedot kotoran dan sebagainya. 2) Pembersihan : menghilangkan tanah dengan cara mekanis atau mencuci dengan lebih efektif. 3) Pembilasan: membilas tanah dengan pembersih seperti sabun/deterjen dari permukaan. 4) Pengecekan visual: memastikan dengan indera mata bahwa permukaan alat bersih. 5) Penggunaan disinfektan : untuk membunuh mikroba.
26
6) Pembersihan akhir : bila diperlukan untuk membilas cairan disinfektan yang padat 7) Drain dry atau pembilasan kering : disinfektan atau final rinse dikeringkan dari alat-alat tanpa diseka/dilap. Cegah jangan sampai terjadi genangan air karena genangan air merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan mikroba.
2.5.2 SSOP (Sanitation Standard Operating Procedure) Prosedur operasional standar untuk sanitasi adalah pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja instasi pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administrasif dan prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan. Tujuan SOP adalah menciptakan komitment mengenai apa yang dikerjakan oleh satuan unit kerja instansi pemerintahan untuk mewujudkan good governance.
SSOP yang biasanya diterapkan di suatu perusahaan (Atmoko, 2012) adalah sebagai berikut : 1. Pemeliharaan Umum, bangunan atau fasilitas fisik pabrik atau tempat mengolah makanan haru dijaga dengan cara-cara perbaikan, pembersihan, dan sanitasi yang memadai. 2. Bahan yang digunakan untuk pembersihan atau sanitasi, penyimpanan, dan penyimpanan bahan toksik atau berbahaya harus dilakukan secara tertib. 3. Pengendalian hama, cara pengendalian hama yang efektif. Penggunaan insektisida atau rodentisida yang diizinkan dan dilakukan dengan cara yang sangat hati-hati agar tidak ada kontaminasi ke makanan atau lingkungan. 4. Sanitasi permukaan peralatan yang berkontak langsung dengan makanan harus dalam keadaan bersih dan secara reguler dibersihkan dan disanitasi.
27
5. Penyimpanan dan penanganan peralatan harus disimpan di lokasi yang bebas dari rekontaminasi ulang atau kontaminasi silang. Setiap pengolah makanan harus dilengkapi dengan peralatan sanitasi yang meliputi sumber air, saluran air, pembuangan sampah, fasilitas toilet, dan fasilitas cuci tangan. 6. Tempat pembuangan harus dilakukan secara tertutup rapat agar tidak menghasilkan bau busuk yang dapat mengontaminasi udara dan kamar kerja.
2.6 Tuna Steak Beku Tuna steak beku ialah potongan-potongan kecil daging tuna, yang biasanya didapatkan dari potongan-potongan kecil dari loin tuna, yang kemudian ditangani dengan suhu beku. Tuna setak merupakan salah satu bentuk penanganan daging tuna dari beberapa bentuk penanganan lainnya yang diekspor. Penanganan bentuk lain seperti loin tuna, tuna saku, slice tuna, ground meat tuna, dan tuna kubus (cube tuna). Gambar beberapa bentuk penanganan tuna disajikan pada Lampiran 1. Proses pembuatan tuna steak beku yaitu penerimaan bahan baku, pencucian, penyiangan, pembuatan loin, pengulitan dan perapihan, sortir mutu, pembungkusan (wrapping), pembekuan, pembentukan steak, penggelasan atau tanpa penggelasan, penimbangan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan. Contoh gambar steak tuna disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Steak Tuna
28
Berikut ini ialah penjelasan dari setiap perlakuan penanganan dari tuna steak beku sesuai dengan SNI : 01-4485.1-2006 (BSN, 2006) a) Penerimaan Bahan Baku - Potensi bahaya : kontaminasi bakteri patogen dari alat pengangkut, mutu bahan baku kurang baik/segar, ukuran dan jenis tidak sesuai. - Tujuan: mendapatkan bahan baku yang bebas bakteri patogen dan memenuhi persyaratan mutu, ukuran dan jenis. - Petunjuk : bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan higienis dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C. Pengukuran suhu pusat dilakukan dengan menggunakan alat termometer batang dengan menancapkan ke bagian tengah daging tuna. b) Pencucian - Potensi bahaya: kontaminasi bakteri dari sumber air dan kemunduran mutu. - Tujuan: menghilangkan sisa kotoran dan darah yang menempel di tubuh ikan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen. - Petunjuk: ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat dan higienis. c) Pembuatan Loin (Loinning) - Potensi bahaya : kontaminasi bakteri patogen dari peralatan yang digunakan. - Tujuan : mendapatkan bentuk loin sesuai dengan ukuran yang ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen. - Petunjuk : pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan higienis. d) Pengulitan dan Perapihan (Trimming) - Potensi bahaya : kontaminasi bakteri patogen dari peralatan yang digunakan, terdapat tulang, daging merah dan kulit pada daging tuna yang sudah dikuliti. - Tujuan : mendapatkan loin yang rapi dan bebas dari tulang, daging merah dan kulit serta terhindar dari kontaminasi bakteri patogen.
29
- Petunjuk : tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan higienis dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C. Pengukuran suhu pusat dilakukan dengan menggunakan alat termometer batang dengan menancapkan ke bagian tengah daging tuna. e) Sortasi Mutu - Potensi bahaya : kemunduran mutu, kontaminasi bakteri patogen dari peralatan, terdapat daging merah, tulang, duri dan kulit pada daging tuna yang saat akan disortasi. - Tujuan : mendapatkan loin dengan mutu yang baik dan serta bebas dari kontaminasi bakteri patogen. - Petunjuk : sortasi dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang, duri, dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan higienis. f) Pembentukan Steak - Potensi bahaya: bentuk serta ukuran steak yang tidak sesuai, kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri patogen dari peralatan yang digunakan. - Tujuan: mendapatkan steak tuna dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen. - Petunjuk: loin yang sudah rapi dipotong menjadi bentuk steak dengan bentuk dan ukuran yang sesuai. Pembentukan steak harus dilakukan secara cepat, cermat dan higienis dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C. Pengukuran suhu pusat dilakukan dengan menggunakan alat termometer batang dengan menancapkan ke bagian tengah daging tuna. g) Pembungkusan (Wrapping) - Potensi bahaya: pembungkusan kurang sempurna/kurang vacuum dan kontaminasi bakteri dari pembungkus yang digunakan. - Tujuan: mendapatkan steak dalam kemasan yang hampa udara/vacuum dan terhindar dari kontaminasi bakteri.
30
- Petunjuk: steak yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual dan dikemas secara vacuum. Proses pembungkusan harus dilakukan secara cepat, cermat dan higienis. h) Pembekuan (Frozen) - Potensi bahaya: pembekuan yang tidak sempurna (partial freezing) dan kehilangan cairan (driploss). - Tujuan: membekukan produk hingga mencapai suhu pusat –18 °C secara cepat dan tidak mengakibatkan pengeringan terhadap produk. - Petunjuk: loin yang sudah disusun dalam pan pembekuan, dibekukan dalam alat. - pembeku hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal -18 °C dalam waktu maksimal 4 jam. - Pengukuran suhu pusat dilakukan dengan menggunakan alat termometer batang dengan menancapkan ke daging tuna. i) Penggelasan atau Tanpa Penggelasan - Potensi bahaya: kontaminasi bakteri patogen dari peralatan yang digunakan dan kemunduran mutu. - Tujuan: melapisi ikan dengan air es agar tidak mudah terjadi pengeringan pada saat penyimpanan. - Petunjuk: steak yang telah dibekukan kemudian disemprot dengan air dingin. Proses penggelasan harus dilakukan secara cepat, cermat dan higienis untuk mempertahankan suhu pusat ikan maksimal -18 °C. - Pengukuran suhu pusat dilakukan dengan menggunakan alat termometer batang dengan menancapkan ke bagian tengah daging tuna. j) Penimbangan - Potensi bahaya: kemunduran mutu, kekurangan berat dan kontaminasi bakteri patogen dari peralatan yang digunakan. - Tujuan: mendapatkan berat steak yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen.
31
- Petunjuk: steak ditimbang sesuai berat yang ditentukan, dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan higienis serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18 °C. k) Pengepakan - Potensi bahaya: kontaminasi bakteri patogen dari peralatan yang digunakan dan kesalahan label. - Tujuan: melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label. - Petunjuk: steak yang telah ditimbang kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan higienis. l) Pengemasan Bahan kemasan untuk Tuna steak beku haruslah bersih, tidak mencemari produk yang dikemas, terbuat dari bahan yang baik dan memenuhi persyaratan bagi produk ikan beku. Untuk teknik pengemasan yaitu produk akhir dikemas dengan cepat, cermat dan higienis. Pengemasan dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya kontaminasi dari luar terhadap produk. m) Syarat Penandaan (Labelling) Setiap kemasan produk tuna steak beku yang akan diperdagangkan agar diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca, mencantumkan bahasa yang dipersyaratkan disertai keterangan sekurang-kurangnya sebagai berikut : - jenis produk; - berat bersih produk; - nama dan alamat lengkap unit pengolahan secara lengkap; - bila ada bahan tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut; - tanggal, bulan dan tahun produksi; - tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa.
32
n) Penyimpanan Penyimpanan tuna steak beku dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu dibawah -18 °C dengan fluktuasi suhu maksimal ± 2 °C. Penataan produk dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan dalam pembongkaran.
2.7 Standar Mutu dan Keamanan Pangan Tuna Steak Beku Penanganan tuna steak beku memiliki standar pengawasan terhadap hasil uji organoleptik, mikrobiologi, kimia dan fisik. Standar ini berdasarkan SNI 014485.1-2006, spesifikasi tuna steak beku. Standar ini dimaksudkan agar hasil penanganan tuna steak beku bebas dari bahaya biologi, kimia maupun fisik yang dapat
merusak
kesehatan
manusia,
sehingga
aman
untuk
dikonsumsi.
Persyaratan mutu dan keamanan pangan tuna steak beku berdasarkan uji organoleptik, mikrobiologi, kimia dan fisik disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Tuna Steak Beku Jenis Uji
Satuan
a. Organoleptik Angka (1-9) b. Cemaran Mikroba - Angka Lempeng Koloni/g Tunggal (ALT) - Escherichia coli APM/g - Salmonella Per 25 g - Vibrio cholerae Per 25 g * c. Cemaran kimia - Raksa (Hg) mg/kg - Timbal (Pb) mg/kg - Histamin mg/kg - Cadmium (Cd) mg/kg d. Fisik 0 - Suhu pusat C e. Parasit Ekor * Keterangan : tanda ( ) Bila diperlukan Sumber : SNI 01-4485.1-2006 Spesifikasi Tuna Steak Beku.
Persyaratan Minimal 7 Maksimal 5,0 x 105 Maksimal < 3 negatif negatif maksimal 1 maksimal 0,4 maksimal 100 maksimal 0,1 maksimal -18 maksimal 0
33
2.8 Keadaan Umum Perusahaan Graha Insan Sejahtera PT. Insan Graha Sejahtera (Gambar 4) berdiri pada tahun 2008, dimana usaha produksi dilakukan di areal Pelabuhan Nizam Zachman muara baru, Jakarta Utara. Perusahaan ini menangani jenis-jenis ikan laut, baik pelagis maupun demersal. Beberapa jenis ikan yang ditangani yaitu, penanganan tuna menjadi loin dan steak, penanganan cumi-cumi (Loligo pealei), ikan kakap merah (Lutjanus argentimaculatus), ikan gindara (Lepidocibium plavobrunneum), cakalang (Katsuwonus pelamis), dan jenis ikan pelagis maupun demersal lainnya. Produk yang ditangani diekspor ke beberapa Negara Eropa, Amerika, dan beberapa Negara Asia seperti Jepang, sehingga kualitas dan mutu produk yang ditangani harus sesuai dengan permintaan pembeli (buyer).
Gambar 4. Gedung PT. Graha Insan Sejahtera (GIS)
PT. Graha Insan Sejahtera, tahun 2013 memiliki karyawan sekitar 85 orang, terdiri atas karyawan tetap, pekerja harian/pekerja borongan dan petugas keamanan. Rata-rata karyawan di PT. GIS ialah lulusan Sekolah Tinggi Perikanan (STP) ataupun Sarjana Perikanan dan sisanya tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA). Fasilitas bangunan terdiri atas 3 bagian yaitu area produksi, area penyimpanan dan area luar penunjang pabrik, fasilitas di PT.GIS disajikan pada Tabel 8 berikut.
34
Tabel 8. Fasilitas Bangunan dan Penunjang di PT. GIS Jenis Area Jenis Fasilitas Jumlah Ruangan (buah) Area Produksi
Area Penyimpanan
Area Penunjang
- Ruang Penerimaan Bahan Baku (Receiving Room) - Ruang Pemotongan (Butchering Area) - Ruang Pencucian (Waste Area) - Ruang Pengulitan dan Perapihan (Skinning and Trimming Room) - Ruang Pendinginan (Chilling Room) - Ruang Pembersihan dan Pengepakan (Cleaning & Packing Area) - Ruang CO ( CO Room) - Ruang Penyimpanan Beku dengan Sistem Air Blast Freezer (ABF) - Ruang Penyimpanan Bahan Kimia - Laboratorium (Laboratory) - Ruang Inspeksi Produk (Inspect Room) - Ruang Peristirahatan (Rest Area) - Gudang (Warehouse) - Ruang Kantor (Office Room) - Kantin - Ruang Ganti dan Toilet/WC untuk Karyawan - Toilet/WC Kantor
1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 7 1 2 2
Sumber : PT. Graha Insan Sejahtera
Tata letak dan desain ruangan/area produksi, penyimpanan ataupun bangunan penunjang lainnya yang terdapat di PT. GIS diatur sesuai dengan kebutuhan perusahaan untuk memproduksi produk perikanan yang higenis dan bernilai jual tinggi. Tata letak fasilitas perusahaan yang dimiliki PT. GIS disajikan pada Lampiran 2.