BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Pengertian Kemiskinan
Berbagai definisi tentang kemiskinan sudah diberikan oleh para ahli di bidangnya. Kemiskinan adalah suatu keadaan, yaitu seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf hidup kelompoknya dan tidak mampu memanfaatkan, baik tenaga mental maupun psikologisnya dalam upaya mempertahankan hidup kelompok tersebut (Marhaeni, 2007). Kemiskinan didefinisikan sebagai standar hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (Yasa, 2008). Kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau kelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat (BAPPENAS, 2005). Menurut Mubyarto (1998), kemiskinan adalah suatu situasi serba kekurangan dari penduduk yang disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahya produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksi orang miskin, dan rendahnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan. Rendahnya kualitas penduduk miskin yang dicerminkan oleh rendahnya pendidikan/keterampilan yang dimiliki menyebabkan penghasilan yang diterima juga rendah.
14
15
Menurut Todaro (2003), salah satu generalisasi (anggapan sederhana) yang terbilang paling sahih (valid) mengenai penduduk miskin adalah bahwa mereka pada umumnya bertempat tinggal di daerah-daerah pedesaan, dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat hubungannya dengan sektor ekonomi tradisional. Pengertian kemiskinan itu sangat luas, dimana Arsyad (1997) mengelompokkan ukuran kemiskinan menjadi 2 macam, yaitu. 1) Kemiskinan Absolut, yang diartikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan dari seseorang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya
seperti
sandang,
pangan,
pemukiman,
kesehatan
dan
pendidikan. Ukuran ini dikaitkan dengan batasan pada kebutuhan pokok atas kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup secara layak. Seseorang yang mempunyai pendapatan dibawah kebutuhan minimum, maka orang tersebut dikatakan miskin. 2) Kemiskinan Relatif, yang berkaitan dengan distribusi pendapatan yang mengukur ketidakmerataan. Dalam kemiskinan relatif ini, seseorang yang telah mampu memenuhi kebutuhan minimumnya belum tentu disebut tidak miskin. Kondisi seseorang atau keluarga apabila dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya mempunyai pendapatan yang lebih rendah, maka orang atau keluarga tersebut berada dalam keadaan miskin. Dengan kata lain, kemiskinan ditentukan oleh keadaan sekitarnya dimana orang tersebut tinggal.
16
BKKBN membagi keluarga miskin menjadi dua, yaitu : pertama, keluarga miskin sekali, yaitu keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi : pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih, anggota memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja atau sekolah dan bepergian, bagian lantai terluas bukan tanah ; kedua, keluarga miskin, yaitu keluarga karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah indikator yang meliputi : paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging atau ikan atau telur, setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru, luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni (BKKBN, 2000). 2.1.2 Indikator Kemiskinan Ada bermacam-macam indikator kemiskinan, yakni tingkat konsumsi beras perkapita pertahun, tingkat pendapatan, tingkat kecukupan gizi, kebutuhan fisik minimum dan tingkat kesejahteraan (Sarwono, 2009). Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara berbedabeda, ini disebabkan oleh adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. BPS menggunakan batas kemiskinan dari besarnya rupiah yang dibelanjakan perkapita perbulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan
17
makanan. Batas garis kemiskinan dibedakan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Pada tahun 2010, batas garis kemiskinan di daerah perkotaan adalah Rp. 232.988, sedangkan batas garis kemiskinan di daerah pedesaan adalah Rp. 192.354 (BPS, 2011). 2.1.3 Kriteria Rumah Tangga Miskin (RTM) Menurut BPS Provinsi Bali (2007), kriteria untuk menentukan keluarga / rumah tangga dikategorikan miskin apabila. 1)
Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2)
Jenis lantai tempat tinggal dari tanah / bambu / kayu murahan
3)
Jenis dinding tempat tinggal dari bamboo / bersama-sama dengan rumah tangga lain
4)
Tidak memiliki fasilitas buang air besar / bersama-sama dengan rumah tangga lain
5)
Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik
6)
Sumber air minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindung / sungai / air hujan
7)
Bahan bakar memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang / minyak tanah
8)
Hanya mengkonsumsi daging / susu / ayam satu kali dalam seminggu
9)
Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10) Hanya sanggup makan sebanyak satu / dua kali dalam sehari 11) Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik
18
12) Sumber penghasilan rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000,00 per bulan. 13) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah / tidak tamat SD / hanya SD 14) Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,00 seperti sepeda motor (non-kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Jika minimal sembilan variabel terpenuhi, maka dapat dikategorikan sebagai rumah tangga miskin. 2.1.4 Ketidaksetaraan Gender Sumber dari permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh perempuan menurut Muhadjir ( dikutip dari Arjani, 2006) terletak pada budaya patriarki yaitu nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sistem distribusi resources yang bias gender. Kultur yang demikian ini akhirnya akan bermuara pada terjadinya perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, eksploitasi maupun kekerasan terhadap perempuan.
19
2.1.5 Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan ekonomi rakyat dalam kerangka pengentasan kemiskinan sangatlah penting untuk mengetahui potensi ekonomi lokal dari berbagai sektor, selain juga perlunya mengetahui potensi sumberdaya manusianya. Potensi ekonomi lokal meliputi usaha menengah mikro dan usaha kecil (Yasa, 2008). Menurut Sumaryadi (dikutip dari Ayu, 2011), pemberdayaan merupakan upaya peningkatan harkat lapisan masyarakat dan pribadi manusia. Upaya ini meliputi, (1) mendorong, memotivasi, meningkatkan kesadaran akan potensinya dan menciptakan iklim/suasana untuk berkembang; (2) memperkuat daya, potensi yang dimiliki
dengan
langkah-langkah positif memperkembangnya;
(3)
penyediaan berbagai masukan dan pembukaan akses ke peluang-peluang. Tujuan dari pemberdayaan adalah membantu pengembangan manusiawi yang otentik dan integral dari masyarakat lemah, rentan, miskin, marjinal dan kaum kecil seperti petani, kaum cacat dan kelompok wanita yang dikesampingkan. Disamping itu, tujuan yang lainnya adalah memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat tersebut secara sosio ekonomis sehingga mereka dapat mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka, namun sanggup berperan serta dalam pengembangan masyarakat. Prinsip pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat tidak hanya dilihat sebagai objek belaka yang hanya sebagai penerima manfaat dari pelaksanaan pembangunan, namun masyarakat haruslah sebagai subyek. Pembangunan akan sangat ditentukan oleh masyarakat sebagai pelaku sekaligus sebagai penerima manfaat dari pelaksanaan pembangunan.
20
2.1.6 Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Sebagai Salah Satu Cara Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Keputusan Menkokesra Nomor 25 Tahun 2007, tentang percepatan penanggulangan kemiskinan, maka dilaksanakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri
(PNPM
Mandiri)
yang sepenuhnya
mengadopsi mekanisme pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) (Depdagri, 2007). Program Pengembangan Kecamatan (PPK) adalah bagian dari upaya pemerintah Indonesia untuk memberdayakan masyarakat pedesaan dalam menanggulangi masalah kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. PPK merupakan korelasi terhadap sistem pembangunan terdahulu yang pada umumnya yang dinilai bersifat sentralistik. PPK juga merupakan penyempurnaan terhadap program penanggulangan kemiskinan terdahulu seperti Inpres desa Tertinggal (IDT). Secara umum, visi PPK adalah terwujudnya masyarakat mandiri dan sejahtera. Sumber-sumber dana PPK berasal dari swadaya masyarakat, cost sharing yang bersumber dari APBD, APBN yang bersumber dari pinjaman luar negeri dan partisipasi dunia usaha atau pihak lain yang tidak mengikat. Alokasi bantuan PPK ini ditetapkan antara 500 juta rupiah sampai dengan 1 milyar rupiah per kecamatan. Penetapan bersama alokasi dana berdasarkan jumlah masyarakat miskin dan lokasi. Dalam pelaksanaannya, PPK membentuk Unit Pengelola Kegiatan (UPK) yang anggotanya dipilih dalam musyawarah kecamatan. UPK bertugas mengelola dan bertanggungjawab atas kegiatan yang dibiayai dalam PPK. Jenis kegiatan yang dibiayai melalui dana bantuan langsung dari PPK diutamakan untuk kegiatan yang memenuhi kriteria; (1) lebih bermanfaat bagi
21
masyarakat miskin; (2) mendesak untuk dilakukan; (3) bisa dikerjakan oleh masyarakat; (4) didukung oleh sumber daya yang ada di masyarakat; (5) memiliki potensi berkembang dan berkelanjutan. Jenis-jenis kegiatan yang dibiayai dikategorikan sebagai berikut: 1) kegiatan pembangunan atau perbaikan prasarana dan sarana desa (infrastruktur pedesaan) yang dapat memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat. 2) kegiatan peningkatan kualitas masyarakat miskin melalui bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan, termasuk bidang pelatihan pengenbangan keterampilan masyarakat (pendidikan informal). 3) kegiatan Simpan Pinjam Perempuan (SPP). Tujuan umum dari PPK adalah mempercepat penanggulangan kemiskinan berdasarkan pengembangan kemandirian masyarakat melalui peningkatan kapasitas masyarakat, pemerintah lokal, serta penyediaan prasarana dan sarana sosial dasar yang mendukung perekonomian masyarakat. Adapun tujuan khusus dari pelaksanaan PPK yaitu. 1) meningkatkan peran serta masyarakat terutama kelompok miskin dan perempuan
dalam
pengambilan
keputusan
perencanaan,
pelaksanaan,
pengendalian dan pelestarian pembangunan. 2) mengimplementasikan
pengelolaan
pembangunan
partisipatif
dengan
mendayagunakan potensi dan sumber lokal. 3) menyediakan prasarana dan sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan masyarakat.
22
4) melembagakan pengelolaaan keuangan mikro dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin. Untuk mendapatkan jenis usulan kegiatan pembangunan yang berbasis aspirasi masyarakat, dalam PPK ada sejumlah forum atau media musyawarah untuk mengambil keputusan. Forum-forum tersebut berjenjang dari tingkat kelompok masyarakat, dusun, desa hingga antar desa. Pada tingkat desa terdapat forum Musyawarah Desa (MD), sementara pada tingkat kecamatan terdapat forum Musyawarah Antar Desa (MAD). Forum tersebut dirancang sebagai tempat masyarakat untuk merancang dan memutuskan kegiatan program sesuai dengan petunjuk pelaksanaan program. Untuk melaksanakan keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam forum-forum pengambilan keputusan, dibentuk lembaga pelaksana kegiatan yang terdiri dari : 1) Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK), sebagai penanggung jawab operasional kegiatan di tingkat kecamatan, yang merupakan representasi kehadiran pemerintah sebagai pemilik investasi dana yang akan dibantukan kepada masyarakat. 2) Unit Pengelola Kegiatan (UPK), merupakan representasi masyarakat antar desa, yang anggotanya dibentuk dan dipilih berdasarkan kesepakatan musyawarah di Musyawarah Antar Desa (MAD). 3) Tim Pelaksana Kegiatan (TPK), yang merupakan representasi masyarakat desa yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat desa. 4) Kelompok Masyarakat (POKMAS)
23
2.1.7 Program Simpan Pinjam Perempuan (SPP) Salah satu tujuan khusus dari PPK adalah meningkatkan peran serta masyarakat terutama kelompok miskin dan perempuan dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelestarian pembangunan. Untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan keberpihakan kepada perempuan melalui Program Simpan Pinjam Perempuan (SPP). Program SPP yang merupakan penjabaran dari PPK adalah suatu program simpan pinjam khusus bagi kaum perempuan berupa dana bergulir yang disalurkan untuk usaha peningkatan kesejahteraan kaum perempuan melalui kelompok simpan pinjam kaum perempuan. Kelompok Simpan Pinjam Perempuan (SPP) adalah kelompok ibu-ibu atau perempuan yang melakukan kegiatan produktif untuk meningkatkan pendapatan keluarga dalam rangka mewujudkan keluarga sejahtera. Adapun tujuan umum dari program SPP adalah memberdayakan kaum perempuan dalam mengembangkan usaha ekonomi produktif sehingga terwujud keluarga yang sejahtera. Tujuan khusus dari program SPP yaitu; (1) mempercepat proses pemenuhan kebutuhan pendanaan usaha ataupun sosial dasar; (2) memberikan kesempatan kaum perempuan dalam meningkatkan ekonomi rumah tangga melalui pendanaan peluang usaha; (3) mendorong penguatan kelembagaan simpan pinjam oleh kaum perempuan. Mekanisme penyaluran dana program SPP adalah dengan melalui mekanisme usulan kegiatan yang ditetapkan oleh musyawarah desa, yaitu musyawarah yang melibatkan segenap aparatur dalam PPK dan kelompok kaum perempuan dalam
24
rangka membahas gagasan-gagasan dari kelompok-kelompok perempuan dan menetapkan usulan kegiatan yang merupakan kebutuhan desa. Usulan tersebut kemudian disampaikan pada musyawarah desa perencanaan untuk disahkan sebagai bagian dari usulan desa. Proses pencairan dana dapat dilakukan setelah dilaksanakan Musyawarah Antar Desa/Kelurahan sesuai dengan usulan yang diajukan. Setiap kelompok terdiri dari minimal 5 orang kaum perempuan atau ibu rumah tangga dengan dana bantuan minimal 10 juta/kelompok. 2.1.8 Pengertian Pendapatan Menurut Sukirno (2000), pendapatan individu adalah pendapatan yang diterima seluruh rumah tangga dalam perekonomian dari pembayaran atas penggunaan faktor-faktor produksi yang dimiliki dan juga sumber lain. Menurut Reksoprayitno (2000), untuk menghitung besar kecilnya pendapatan, dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu. 1) Pendekatan produksi (production approach), yaitu dengan menghitung semua nilai produksi barang dan jasa akhir yang dapat dihasilkan dalam periode tertentu. 2) Pendekatan pendapatan (income approach), yaitu
dengan menghitung
nilai keseluruhan balas jasa yang dapat diterima oleh pemilik faktor produksi dalam suatu periode tertentu. 3) Pendekatan pengeluaran (expenditure approach), yaitu pendapatan yang diperoleh
dengan
menghitung
pengeluaran
perusahaan, pemerintah dan luar negeri.
konsumsi
masyarakat,
25
Salah satu tujuan pokok pembangunan nasional adalah meningkatkan pendapatan masyarakat. Pendapatan merupakan salah satu tolok ukur kemajuan ekonomi masyarakat yang sering digunakan dalam melihat keberhasilan suatu proses pembangunan. Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan pendapatan (income approach), yaitu dengan menghitung keseluruhan balas jasa yang dapat diterima oleh anggota kelompok SPP dari hasil usahanya dengan menggunakan bantuan program SPP. 2.1.9 Kesempatan Kerja Istilah kesempatan kerja mengandung pengertian lapangan pekerjaan atau kesempatan yang tersedia untuk bekerja akibat dari suatu kegiatan ekonomi (produksi). Dengan demikian, pengertian kesempatan kerja adalah mencakup lapangan pekerjaan yang sudah diisi dan semua lapangan pekerjaan yang masih lowong. Dari pekerjaan yang masih lowong tersebut (yang mengandung arti adanya kesempatan), kemudian timbul kebutuhan akan tenaga kerja. Kebutuhan tenaga kerja ini nyata-nyata diperlukan oleh perusahaan/lembaga penerima tenaga kerja pada tingkat upah, posisi dan syarat kerja tertentu. Tingkat upah, posisi maupun syarat kerja tertentu biasanya diumumkan melalui iklan di media masa, selebaran dan lain-lain. Lapangan pekerjaan tersebut dapat diartikan sebagai lowongan (vacancy). Mengingat data kesempatan kerja nyata sulit untuk diperoleh, maka untuk keperluan praktis digunakan pendekatan bahwa jumlah kesempatan kerja didekati melalui banyaknya lapangan pekerjaan yang terisi yang tercermin dari jumlah penduduk yang bekerja (employed). Analisa ketenagakerjaan umumnya dilakukan
26
dengan melihat berbagai karakteristik yang mempengaruhi kesempatan kerja. Dalam hal ini yang biasa digunakan untuk analisis kesempatan kerja adalah karakteristik-karakteristik kesempatan kerja menurut tingkat pendidikan, status pekerjaan, sektor lapangan usaha dan jabatan (Departemen Tenaga Kerja RI, 1995). 2.1.10 Efektivitas Program Menurut Subagyo (2000), efektivitas adalah kesesuaian antara output dengan tujuan
yang
ditetapkan.
Tingkat
efektivitas
program
dalam
hal
ini
menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan program yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan. Apabila realisasi program 1 persen sampai dengan 50 persen dari target termasuk efektivitas rendah, sedangkan apabila realisasi program antara 51 sampai dengan 100 persen dari target, termasuk efektivitas tinggi. Pengukuran tingkat efektivitas menggunakan standar sesuai acuan Litbang Depdagri Republik Indonesia 1991 (Prapta, 2007), sebagai berikut. 1) Rasio efektivitas di bawah 40 persen = sangat tidak efektif. 2) Rasio efektivitas antara 40-59,99 persen = tidak efektif. 3) Rasio efektivitas antara 60-79,99 persen = cukup efektif. 4) Rasio efektivitas di atas 80 persen = sangat efektif. Tingkat efektivitas dapat dievaluasi dengan variabel input, variabel proses dan variabel output. Variabel input meliputi : sosialisasi program, ketepatan waktu pemberian bantuan, kecukupan jumlah bantuan, dan ketepatan sasaran program. Variabel proses meliputi ketepatan penggunaan dana bantuan, ketepatan waktu
27
pengembalian bantuan, pendampingan dan evaluasi/monitoring, sedangkan variabel output yaitu pendapatan peserta sebelum mengikuti program, pendapatan peserta sesudah mengikuti program, kesempatan kerja peserta sebelum mengikuti program, dan kesempatan kerja peserta sesudah mengikuti program. 2.1.11 Dampak Program Menurut Subagyo (2000), ada dua dampak utama dari bantuan kredit (kredit mikro), yaitu peningkatan pendapatan masyarakat (income generation) dan menciptakan peluang usaha atau kerja (employment creation). Dampak program terhadap pendapatan dan kesempatan kerja dapat diketahui dengan variabel pendapatan peserta sebelum mengikuti program, pendapatan peserta sesudah mengikuti program, kesempatan kerja peserta sebelum mengikuti program, dan kesempatan kerja peserta sesudah mengikuti program. 2.2 Penelitian Sebelumnya Penelitian ini dilaksanakan dengan mengacu pada penelitian sebelumnya. Hal ini dimaksudkan memberi dasar yang kuat dalam penyajian materi, baik dari segi variabel maupun konsep umum yang dipakai. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Sarwono (2009) dengan judul ”Evaluasi Program Pengembangan Kecamatan dalam Pengentasan Kemiskinan di Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung”. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung dan menggunakan analisis matematik dan statistik sederhana untuk menguji efektivitas program dengan empat (4) variabel dan dampak program terhadap pendapatan dan kesempatan kerja penerima bantuan program SPP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
28
tingkat efektivitas program sangat efektif, yaitu sebesar 98,60 persen serta berdampak positif dan signifikan terhadap pendapatan dan kesempatan kerja penerima bantuan. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Ayu (2011) dengan judul ’Efektivitas Pelaksanaan Program Simpan Pinjam Khusus Perempuan (SPP) dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Keluarga di Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana”. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Negara, Kabupaten Negara dan menggunakan analisis matematika dan statistik sederhana untuk menguji efektivitas program dengan empat (4) variabel dan dampaknya terhadap pendapatan penerima bantuan. Penelitian ini menunjukkan hasil, bahwa tingkat efektivitas program SPP di Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana sangat tinggi yaitu 98,70 persen serta berdampak positif dan signifikan terhadap pendapatan penerima bantuan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama meneliti efektivitas program SPP dan menggunakan analisis matematika dan statistik sederhana. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah lokasi penelitian dan variabel penelitian.