BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perspektif/Paradigma Kajian Paradigma berasal dari bahasa Latin, yaitu para dan deigma. Secara etimologis, para berarti (di samping, di sebelah) dan deigma berarti (memperlihatkan, yang berarti, model, contoh, arketipe, ideal). Berdasarkan uraian Bagus (Pujileksono, 2015: 26) menyatakan paradigma berarti di sisi model, di samping pola atau di sisi contoh. Pujileksono (2015) menyatakan, paradigma adalah satu set asumsi, konsep, nilai-nilai dan praktek, dan cara pandang realitas dalam disiplin ilmu. Paradigma
digunakan
sebagai
landasan/pijakan
berpikir
peneliti
dalam
memandang dunia. Dalam hal ini, peneliti menggunakan paradigma sebagai jalur berpikir dalam menyelesaikan masalah yang ada. Paradigma membantu peneliti untuk menentukan dari sisi mana suatu masalah akan dikaji, sehingga tidak terjadi bias dalam proses penelitian yang akan dilakukan selanjutnya. Paradigma berkisar pada tiga area, yang mewakili tiga pertanyaan filosofis yang berkaitan dengan penelitian: ontologi (ontology), pertanyaan mengenai sifat realita; epistemologi (epistemology), pertanyaan mengenai bagaimana kita mengetahui sesuatu, dan aksiologi (axiology), pertanyaan mengenai apa yang layak untuk diketahui (West & Turner, 2009: 55). Beberapa jenis paradigma menurut para ahli (Pujileksono, 2015: 27), yaitu: 1. Menurut
Neuman:
paradigma
positivistik,
pos-positivistik,
konstruktivistik dan kritis. 2. Menurut Habermas: instrumental knowledge, hermenic knowledge, dan critical/emancipatory knowledge.
9
Universitas Sumatera Utara
10
3. Menurut Cresswell: pragmatisme paradigm, post-positivisme paradigm, constructivisme paradigm, advocacy and participatory paradigm. 4. Menurut
Guba
dan
Lincoln:
positivisme,
pos-positivisme,
konstruktivisme, dan kritis. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma post-positivistik. Paradigma post-positivistik dipilih atas dasar karakteristik sebagai berikut (Pujileksono. 2015: 28): a. Paradigma post-positivistik menganggap bahwa peneliti sendiri tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai pribadi peneliti sendiri. Peneliti perlu memasukkan nilai-nilai sebagai pendapatnya sendiri dalam menilai realita yang diteliti. Dengan hal itu maka peneliti dapat lebih memandang suatu realita secara kritis. b. Paradigma ini lebih bersifat kualitatif. c. Realita yang diteliti berada di luar dan peneliti berinteraksi dengan objek penelitian tersebut. Jarak hubungan antara peneliti dengan objek lebih dekat. d. Tujuan penelitian dengan paradigma ini sama dengan positivistik yaitu untuk mengetahui pola umum yang ada dalam masyarakat. Pada akhirnya paradigma post-positivistik ini menentukan jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan pemilihan paradigma post-positvistik, maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tentang “Strategi Komunikasi Pengasuh dalam Mengembangkan Kemandirian Anak Panti Asuhan” ini adalah metode „studi kasus‟.
2.2 Kajian Pustaka 2.2.1
Komunikasi
2.2.1.1 Pengertian Komunikasi menurut Carl I. Hovland disebut sebagai science of communication, yaitu: “ A systematic attempt to formulate in rigorous fashion the principles by which information is transmitted and opinions and attitudes are formed
Universitas Sumatera Utara
11
”. (Upaya sistematis untuk merumuskan suatu kebiasaan secara tepat melalui penyampaian informasi sehingga terbentuk opini dan sikap.) Sedangkan proses yang terjadi dalam komunikasi tersebut dinyatakan Hovland sebagai: “ The process by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually verbal symbols) to modify the behaviour of other individuals (communicatee ) ” (Effendy, 1999: 4). (Proses dimana individu (komunikator) mengirimkan stimulus (biasanya dengan simbol verbal) untuk mengubah perilaku individu lain.) Berdasarkan pengertian ini, komunikasi dianggap sebagai suatu proses penyampaian pesan yang mengharapkan adanya perubahan sikap dan tingkah laku.
Kegiatan komunikasi bukan hanya informatif, yakni agar orang lain
mengerti dan tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan, melakukan suatu perbuatan atau kegiatan, dan lainlain. Selain itu komunikasi dalam definisi di atas dinyatakan sebagai sebuah „proses‟, yang berarti komunikasi merupakan rangkaian beberapa komponen yang saling terikat satu sama lain sehingga dapat menghasilkan suatu „keluaran‟ (output). Dasar dari asumsi ini dapat dilihat dari paradigma Lasswell yang menyatakan, terdapat 5 unsur komunikasi dengan menjawab pertanyaan berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect ? (Effendy, 1999: 10). Unsur - unsur komunikasi tersebut, antara lain: 1. Komunikator (communicator, source, sender) 2. Pesan (messsage) 3. Media (media, channel) 4. Komunikan (communicant, communicatee, receiver, recipient) 5. Efek (effect, impact, influence) 2.2.1.2 Proses Komunikasi Proses komunikasi pada dasarnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa berupa gagasan, informasi,opini dan lain-lain yang muncul dari benaknya.
Perasaan
bisa
berupa
keyakinan,
kepastian,
keragu-raguan,
Universitas Sumatera Utara
12
kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati (Effendy, 1999: 11). Pada sebuah proses komunikasi pertukaran pesan-pesan disampaikan dalam bentuk lambang/simbol baik verbal maupun non-verbal yang menggunakan alat/sarana untuk menyampaikan lambang/simbol tersebut. Setelah proses komunikasi dilangsungkan terdapat tujuan yang harus dicapai dari sebuah komunikasi yaitu kesamaan maksud antara komunikator dan komunikan. Kesamaan maksud inilah yang menjadi tolak ukur suatu proses komunikasi yang terjadi berhasil dan berlangsung efektif. Wilbur Schramm dalam karyanya “Communication Research in The United States”, menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan „kerangka acuan‟ (Frame of Reference/ FOR), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experience and meaning) yang pernah diperoleh komunikan. Faktor lain yang penting yaitu „bidang pengalaman‟ (Field of Experience/ FOE) (Effendy, 1999: 13). 2.2.2
Komunikasi Antarpribadi Komunikasi
interpersonal
(interpersonal
communication)
komunikasi yang dilakukan antara dua orang atau lebih.
adalah
Komunikasi
interpersonal juga sering disebut juga komunikasi antarpribadi. Komunikasi antarpribadi dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan sifatnya, yaitu: Komunikasi diadik ialah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang dalam situasi tatap muka. Komunikasi diadik menurut R. Wayne Pace dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yakni percakapan, dialog, dan wawancara. Percakapan berlangsung dalam suasana yang bersahabat dan informal. Dialog berlangsung dalam situasi yang lebih intim, lebih dalam dan lebih personal. Sedangkan wawancara bersifat lebih serius karena terdapat pihak dominan bertanya dan pihak yang dominan menjawab.
Universitas Sumatera Utara
13
Komunikasi kelompok kecil ialah proses komunikasi yang berlangsung antara tiga orang atau lebih secara tatap muka, di mana anggota-anggotanya saling berinteraksi satu sama lainnya. Komunikasi kelompok kecil oleh banyak kalangan dinilai sebagai tipe komunikasi antarpribadi dikarenakan; (i) anggota-anggotanya terlibat dalam suatu proses komunikasi yang berlangsung secara tatap muka, (ii) pembicaraan berlangsung secara terpotong-potong di mana semua peserta bisa berbicara dalam kedudukan yang sama, (iii) sumber dan penerima sulit diidentifikasi. Hal ini terjadi karena anggota-anggota dalam proses komunikasi secara timbal balik berperan sebagai komunikator dan komunikan. Selain itu terdapat pula komunikasi antarpribadi yang dibedakan berdasarkan penggunaan media komunikasi, yaitu (i) komunikasi antarpribadi yang beralat (memakai media mekanik), dan (ii) komunikasi antarpribadi yang tidak beralat (berlangsung secara tatap muka) (Cangara, 2006: 33). 2.2.3
Strategi Komunikasi
2.2.3.1 Pengertian Kata “strategi” berasal dari bahasa Yunani strategos yang berarti “seni umum”, dan kemudian berkembang menjadi strategia berarti “keahlian militer”. Kemudian terdapat strategi komunikasi yang berarti: 1. Strategi
yang
mengartikulasikan,
menjelaskan,
dan
mempromosikan suatu visi komunikasi dan satuan tujuan komunikasi dalam suatu rumusan yang baik. 2. Strategi
untuk
menciptakan
komunikasi
yang
konsisten,
komunikasi yang dilakukan berdasarkan satu pilihan (keputusan) dari beberapa opsi komunikasi. 3. Strategi berbeda dengan taktik, strategi komunikasi menjelaskan tahapan konkret dalam rangkaian aktivitas komunikasi yang berbasis pada satu teknik bagi pengimplementasian tujuan komunikasi.
Adapun
taktik
adalah
satu
pilihan
tindakan
Universitas Sumatera Utara
14
komunikasi tertentu berdasarkan strategi yang telah ditetapkan sebelumnya. 4. Adalah tujuan akhir komunikasi, strategi berperan memfasilitasi perubahan perilaku untuk mencapai tujuan komunikasi manajemen. (Liliweri, 2011: 240). Strategi merupakan paduan perencanaan (planning) dan manajemen (management) untuk mencapai suatu tujuan. Sedang, strategi komunikasi merupakan paduan dari perencanaan komunikasi (communication planning) dan manajemen komunikasi (communication management) untuk mencapai tujuan yang berkaitan dengan keberhasilan proses komunikasi. Pencapaian tujuan dengan strategi komunikasi menunjukkan adanya fleksibilitas dalam pelaksanaan proses. Hal ini dilakukan sesuai dengan keperluan dan kondisi di lapangan saat komunikasi tersebut dilangsungkan. Selain itu menurut Liliweri (2011) strategi komunikasi selalu dihubungkan dengan: 1. Siapa saya bicara. 2. Maksud apa saya bicara. 3. Pesan apa yang harus disampaikan kepada seseorang. 4. Cara bagaimana saya menyampaikan pesan kepada seseorang. 5. Bagaimana mengukur dampak pesan tersebut. 2.2.3.2 Tujuan Strategi Komunikasi Penggunaan strategi dalam berkomunikasi tentu memiliki suatu tujuan. Beberapa tujuan strategi komunikasi (Liliweri, 2011: 248-249), meliputi: 1. Memberitahu (Announcing) Pemberitahuan yang dilakukan tertuju pada kapasitas dan kualitas informasi (one of the first goals of your communications strategy is to announce the availability of information on quality). Hal ini menunjukkan bahwa sebuah informasi yang disampaikan adalah informasi yang penting dan mewakili informasi secara keseluruhan. 2. Memotivasi (Motivating) Melalui strategi komunikasi diharapkan pesan yang diberikan menstimulasi komunikan untuk lebih jauh menggali informasi yang
Universitas Sumatera Utara
15
telah diterima selain itu terdorong untuk melakukan hal sesuai isi pesan yang diberikan. 3. Mendidik (Educating) Pemberian pemahaman baru dalam hal ini mendidik menjadi sebuah
tujuan
komunikasi.
Diharapkan
setelah
komunikan
mengerti tentang sebuah pesan, mereka akan menyebarkan dan memberikan pemahaman pula ke khalayak yang lebih luas. 4. Menyebarkan Informasi (Informing) Informasi yang disebarkan merupakan informasi yang spesifik dan aktual, sehingga dapat dimengerti oleh komunikan. Selain itu informasi yang jelas juga dapat mengurangi bias yang akan terjadi pada saat penyebaran informasi dari satu komunikan ke komunikan yang lain. 5. Mendukung pembuatan keputusan (Supporting Decision Making) Dalam rangka pembuatan keputusan maka informasi yang dikumpulkan, dikategorisasi, dianalisis sedemikian rupa, sehingga dapat dijadikan informasi utama bagi pembuatan keputusan. Praktik strategi komunikasi umumnya terdiri dari tiga esensi utama, yaitu :
Strategi implementasi
Strategi dukungan
Strategi integrasi
Strategi komunikasi terkait dengan formula Harold D. Lasswell yang menyatakan 5 komponen dalam sebuah proses komunikasi yaitu komunikator, pesan, channel, komunikan dan efek. Hal ini memberikan gambaran bahwa dengan memahami setiap komponen komunikasi dapat memaksimalkan keberhasilan sebuah strategi komunikasi. Formula tersebut menunjukkan adanya komponen efek, dimana dalam komponen inilah pada akhirnya penilaian strategi komunikasi akan ditentukan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cangara (2006) jika formula Lasswell dikaji lebih jauh dengan pertanyaan “ Efek apa yang diharapkan? ”, secara implisit
Universitas Sumatera Utara
16
mengatakan pertanyaan lain yang perlu dijawab dengan seksama. Pertanyaan tersebut ialah: When (Kapan dilaksanakannya?) How (Bagaimana melaksanakannya?) Why (Mengapa dilaksanakan demikian?) Pertanyaan tambahan ini menentukan pendekatan (approach) terhadap efek yang diharapkan dari suatu kegiatan komunikasi yang bisa berjenis-jenis, yakni: Information (informasi) Persuasion (persuasi) Instruction (instruksi) Wilbur Schramm dalam karyanya “ How Communication Works ” menyatakan: 1. Pesan harus dirancangkan dan disampaikan sedemikan rupa sehingga dapat menarik perhatian sasaran yang dimaksud. 2. Pesan harus mempergunakan tanda-tanda yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga sama-sama dapat dimengerti. 3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi pihak komunikan, dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan itu. 4. Pesan harus menyarankan suatu cara untuk memperoleh kebutuhan pribadi tadi, yang layak bagi situasi kelompok tempat komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dihendaki. (Effendy, 2004: 32-33) R. Wayne Pace, Brent D. Peterson, dan M. Dallas Burnett dalam bukunya, Techniques for Effective Communication, menyatakan bahwa tujuan sentral kegiatan komunikasi terdiri atas tiga tujuan utama, yaitu (Effendy, 1999: 32):
Universitas Sumatera Utara
17
1. To secure understanding, memastikan bahwa komunikan mengerti pesan yang diterimanya. 2. To establish acceptance, pembinaan komunikan yang telah menerima pesan. 3. To motivate action, memotivasi komunikan untuk melakukan aksi sesuai isi pesan. 2.2.3.3 Korelasi Antarkomponen dalam Strategi Komunikasi Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan suatu strategi komunikasi, antara lain: 1. Mengenali Sasaran Komunikasi Sasaran komunikasi merujuk pada target dari penyampaian pesan, dalam hal ini disebut sebagai komunikan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam diri komunikan, antara lain: Faktor kerangka referensi ( frame of reference), yang terbentuk dari pengalaman, pendidikan, gaya hidup, norma hidup, status sosial, ideologi, dan sebagainya. Faktor situasi dan kondisi, akan sangat berpengaruh dalam menentukan kelancaran penyampaian pesan. Faktor ini terkait dengan hambatan (noise) yang terjadi saat komunikasi sedang berlangsung. Hambatan itu sendiri bersifat dapat diprediksi dan tidak dapat diprediksi. Selain itu hambatan bukan hanya berasal dari lingkungan di luar diri komunikan tetapi dari diri komunikan itu sendiri. Effendy (1999) dalam bukunya menyatakan kondisi yang dimaksud adalah state of personality yaitu keadaan fisik dan psikis komunikan pada saat ia menerima pesan komunikasi. 2. Pemilihan Media Komunikasi Seiring dengan berjalannya waktu, media komunikasi semakin canggih dan beragam. Media menjadi saluran yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan penyampaian pesan. Pemilihan media komunikasi perlu diperhatikan agar penggunaannya tepat sasaran. Selain itu dapat pula menggunakan kombinasi media komunikasi dalam hal penyampaian pesan.
Universitas Sumatera Utara
18
3. Pengkajian Tujuan Pesan Komunikasi Strategi
komunikasi
memiliki
pesan komunikasi
yang khas,
dikarenakan memiliki tujuan yang berbeda-beda. Penyesuaian perlu dilakukan antara isi pesan, tujuan pesan, dan cara penyampaian pesan. 4. Peranan Komunikator dalam Komunikasi Komunikator
memiliki
peranan
penting
dalam
menentukan
keberhasilan strategi komunikasi yaitu dalam faktor source credibility. Istilah kredibilitas ini adalah istilah yang menunjukkan nilai terpadu dari keahlian dan kelayakan dipercaya (a term denoting the resultant value expertness and trustworthiness). Faktor yang penting dimiliki seorang komunikator, yaitu : Daya tarik sumber, hal ini menjadi penting sebab dapat menentukan penilaian dari komunikan untuk menerima atau menolak pesan yang disampaikan oleh komunikator. Komunikan akan melihat suatu pesan sebagai perwakilan dari keberadaan komunikatornya sendiri. Jika komunikan menerima seorang komunikator maka pesan yang disampaikannya pun akan memperoleh respon positif. Kredibilitas sumber, sebagai penentu kepercayaan komunikan. Komunikator yang memiliki kredibilitas dalam suatu bidang akan memudahkan komunikan untuk menerima pesan yang telah disampaikan. Hal ini dapat dilihat pada kenyataan, bahwa orang akan pergi ke dokter jika sakit atau ingin memperoleh informasi tentang kesehatan karena mereka percaya bahwa dokter ahli di bidang kesehatan. Demikian pula orang tua akan menyekolahkan anaknya di sekolah dengan guru-guru terbaik, karena mereka percaya anak mereka akan mendapat pendidikan yang terbaik dari guru-guru yang kredibel. Berdasarkan kedua faktor di atas, perlu diperhatikan bahwa semakin komunikan merasa terdapat kesamaan dengan keadaan komunikator, maka penerimaan oleh komunikan akan semakin mungkin terjadi.
Universitas Sumatera Utara
19
Strategi komunikasi menurut Effendy (1999) bersifat makro dimana strategi komunikasi berada dalam prosesnya berlangsung secara vertikal piramidal. Hal ini menunjukkan adanya komunikasi ke atas dan komunikasi ke bawah. Berdasarkan hal ini, maka penyampaian pesan dengan strategi komunikasi akan dititikberatkan pada peran komunikator dalam membentuk sebuah pesan. Sehingga terdapat teori yang relevan dengan alur berpikir ini, yaitu: 2.2.4 Teori Mendapatkan Kepatuhan Kepatuhan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar „patuh‟ yang berarti suka menurut (perintah dan sebagainya); taat (pada perintah, aturan, dan sebagainya); berdisiplin. Sedangkan, „kepatuhan‟ berarti
bersifat
patuh.
(http://kbbi.web.id/patuh). Sehingga demikian dapat dikatakan bahwa, kepatuhan adalah suatu sikap yang dimiliki individu/kelompok yang menurut/taat/berdisiplin dalam mengikuti perintah atau aturan. Kepatuhan sering kali dituntut oleh pihak yang lebih dominan kepada pihak yang kurang dominan. Hal ini dilakukan dengan maksud pencapaian tujuan dengan melaksanakan apa yang dikehendaki dan menghindar dari apa yang dilarang. Pada keadaan inilah yang disebut dengan mendapatkan kepatuhan (gaining compliance). Teori mendapatkan kepatuhan dapat disusuri dengan mengacu pada hasil penelitian Gerald Marwell dan David Schmitt yang menunjukkan bahwa yang mendasari terjadinya kepatuhan dari orang lain adalah dengan adanya pertukaran sosial. Pada akhirnya diperoleh 16 strategi umum untuk mendapatkan kepatuhan. Konsep pertukaran sosial yang terjadi menunjukkan bahwa kepemilikan kekuasaan berpengaruh dalam penentuan keberhasilan mendapatkan kepatuhan. Mendapatkan kepatuhan dalam kaitannya dengan strategi komunikasi adalah membuat strategi agar jumlah daftar strategi diupayakan sesedikit mungkin, sehingga memudahkan dalam pengelolaannya. Morissan (2013) menyatakan salah satu pertanyaan paling penting mengenai strategi mendapatkan kepatuhan adalah bagaimana mengurangi jumlah daftar strategi tersebut sehingga menjadi seperangkat strategi umum yang lebih mudah dikelola. Dengan kata lain, kita membutuhkan daftar yang lebih pendek yang mampu memperjelas berbagai strategi tersebut ke dalam kualitas, fungsi, tujuan atau dimensi-dimensi lain yang esensial yang membantu menjelaskan apa yang sebenarnya dicapai seseorang ketika mereka mencoba membujuk orang lain.
Universitas Sumatera Utara
20
Lima strategi umum (lima kelompok taktik) yang berhasil diringkas Marwell dan Schmitt, yaitu : 1. Pemberian penghargaan (termasuk di dalamnya memberikan janji). 2. Hukuman (termasuk mengancam). 3. Keahlian (menunjukkan pengetahuan terhadap penghargaan). 4. Komitmen impersonal (misalnya daya tarik moral). 5. Komitmen personal (misalnya utang). Selain itu terdapat pula pemikiran dari Lawrence Wheeles dan rekan yaitu cara terbaik untuk memperoleh kepatuhan adalah terkait dengan jenis kekuasaan yang dimiliki komunikator. Wheeles mengemukakan tiga tipe umum kekuasaan, yaitu: 1. Kekuasaan
dalam
hal
kemampuan
untuk
memanipulasi
konsekuensi dari suatu arah tindakan tertentu (ability “to manipulate the consequnces of” a certain course of action). Orang sering kali menggunakan kekuasaan jenis ini ketika menghukum atau memberikan penghargaan anak-anak mereka. 2. Kekuasaan atau kemampuan untuk menentukan posisi hubungan (relational position) seseorang dengan orang lain. Di sini orang yang memiliki kekuasaan yang dapat mengidentifikasi elemenelemen tertentu dari suatu hubungan yang dapat membawa kepatuhan. 3. Kekuasaan atau kemampuan untuk menentukan nilai, kewajiban atau keduanya (to define values, obligations, or both). Di sini seseorang memiliki kredibilitas untuk mengatakan kepada orang lain berbagai norma tindakan yang diterima atau diperlukan. Misalnya dengan membalas pertolongan orang lain yang pernah menolong kita atau berperilaku baik atau sensitif/peka terhadap kebutuhan orang lain. (Morissan, 2013: 164-165) Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa kepemilikan kekuasaan oleh komunikator terhadap diri komunikan menjadi faktor yang
Universitas Sumatera Utara
21
menentukan
kemampuan
komunikator
itu
sendiri
untuk
memilih
dan
menggunakan strategi. Tabel 1. Strategi Mendapatkan Kepatuhan oleh Marwell dan Schmitt Strategi Mendapatkan Kepatuhan oleh Marwell dan Schmitt (Sumber Stephen W. Littlejohn dan Karess Foss, Theories of Human Communication, hlm. 117)
1.
Janji. Menjanjikan hadiah bagi kepatuhan.
2.
Ancaman. Menunjukkan bahwa hukuman akan dikenakan bagi yang tidak patuh.
3.
Menunjukkan keahlian atas hasil positif. Menunjukkan bagaimana hal-hal baik akan terjadi bagi mereka yang patuh.
4.
Menunjukkan keahlian atas hasil negatif. Menunjukkan bagaimana halhal buruk akan terjadi terhadap mereka yang tidak patuh.
5.
Menyukai. Menunjukkan keramahan.
6.
Memberi duluan. Memberikan penghargaan sebelum meminta kepatuhan.
7.
Mengenakan stimulasi aversif. Menggunakan hukuman hingga diperoleh kepatuhan.
8.
Meminta “utang”. Mengatakan kepada seseorang mengenai bantuan atau pertolongan yang pernah diterimanya pada masa lalu.
9.
Membuat daya tarik moral. Menggambarkan kepatuhan sebagai hal yang baik dilakukan secara moral.
10. Menyatakan perasaan positif. Mengatakan kepada orang lain betapa senangnya dia jika terdapat kepatuhan. 11. Menyatakan perasaan negatif. Mengatakan kepada orang lain betapa tidak senangnya dia jika tidak ada kepatuhan. 12. Perubahan peran secara positif. Menghubungkan kepatuhan dengan orang-orang yang memiliki kualitas baik. 13. Perubahan peran secara negatif. Menghubungkan ketidakpatuhan dengan orang-orang yang memiliki kualitas buruk. 14. Patuh karena peduli. Mencari kepatuhan orang lain semata-mata sebagai bentuk bantuan atau pertolongan orang itu. 15. Menunjukkan penghormatan positif. Mengatakan kepada seseorang
Universitas Sumatera Utara
22
bahwa ia akan disukai orang lain jika ia patuh. 16. Menunjukkan penghormatan negatif. Mengatakan kepada seseorang bahwa ia akan kurang disukai orang lain jika tidak patuh. Sumber Gambar: Morissan, Teori Komunikasi Individu hingga Massa, hlm. 162.
2.2.5 Pesan Persuasif 2.2.5.1 Pengertian Istilah „persuasi‟ (persuasion) bersumber dari perkataan Latin persuasio. Kata kerjanya adalah persuadere
yang berarti membujuk, mengajak, atau
merayu.(Effendy, 2004: 21) Devito (2008) menyatakan: Persuasion is the process of influencing another person‟s attitudes, beliefs, values and/or behaviors. (Persuasi adalah proses mempengaruhi sikap, kepercayaan, nilai-nilai dan/atau perilaku orang lain). Berdasarkan
penyataan
tersebut
dijelaskan
pula
definisi
sikap,
kepercayaan, nilai-nilai dan perilaku, sebagai berikut: Sikap merupakan tendensi/kecenderungan untuk memberi respon yang pasti terhadap sesuatu (penilaian). Kepercayaan adalah keyakinan pada keberadaan atau kenyataan sesuatu hal atau kebenaran dengan beberapa penegasan. Nilai merupakan sebuah indikator apakah seseorang merasakan baik-buruk, beretika-brutal, pantas-tidak pantas. Perilaku: Tindakan yang dapat diamati. Para ahli sering menekankan bahwa persuasi merupakan kegiatan persuasi. Sehingga menjadi lebih sulit untuk melancarkan komunikasi persuasif daripada komunikasi informatif yang hanya sekadar memberi tahu. Secara umum tujuan dari komunikasi persuasif, yaitu: 1. Untuk menguatkan atau melemahkan sikap, kepercayaan, atau nilai-nilai. 2. Untuk mengubah sikap, kepercayaan, atau nilai-nilai.
Universitas Sumatera Utara
23
3. Untuk memotivasi tindakan. 2.2.5.2 Prinsip-Prinsip Persuasi Robert Cialdini dalam bukunya tentang persuasi menjelaskan enam prinsip yang mempengaruhi persuasi, yaitu: 1. Reciprocation. Orang cenderung berusaha untuk kembali ke suatu situasi yang baik, aman, dan menyenangkan. Keadaan ini dapat digunakan komunikator sebagai acuan merancang pesan, bahwa komunikator menyakinkan komunikannya keadaan akan menjadi aman dan baik jika mereka mau melakukan hal sesuai arahan yang diberikan. 2. Commitment
and
consistency.
Persuasi
dilakukan
untuk
memperhatikan aspek komitmen dan konsistensi. Ketika seseorang memiliki komitmen dan konsistensi dan hal tersebut dihargai, maka pesan persuasi yang disampaikan akan lebih diterima. 3. Social proof. Diartikan pula sebagai “daya tahan sosial”, yang menjelaskan bahwa orang yang berada salam suatu kelompok yang kohesif cenderung sangat solider terhadap kelompok. Solidaritas ini dijadikan “daya tahan sosial” untuk menghadapi ancaman, tantangan, dan gangguan dari luar. 4. Authority. Orang cenderung patuh dan taat pada otoritas atau orang yang memegang otositas sekalipun mereka diminta untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai. 5. Liking. Orang lebih mudah dipersuasi oleh oran orang yang mereka sukai. 6. Scarcity. Orang lebih mudah dipersuasi dengan informasi tentang sesuatu yang ketersediaannya sangat langka. (Liliweri, 2011: 295296) Selain persuasi ada pula koersi (coersion), yang keduanya bertujuan untuk mengubah sikap, kepercayaan, nilai-nilai, pendapat dan perilaku. Namun hal ini berbeda dalam praktiknya, sebab persuasi menenkankan pada kerelaan diri
Universitas Sumatera Utara
24
untuk menerima dan berubah dengan menggunakan tindakan manusiawi. Sedangkan koersi lebih bersifat keras, mengandung sanksi dan ancaman. Bentuk dari pesan koersif adalah perintah, instruksi, suap, pemerasan dan boikot. 2.2.5.3 Perencanaan Komunikasi Persuasif Perencanaan digunakan agar tujuan dari komunikasi persuasi dapat diperoleh secara optimal. Perencaan komunikasi persuasif dilakukan dengan memperhatikan komponen-kompen proses komunikasi yaitu komunikator, pesan, saluran, dan komunikan. Komponen efek sendiri telah tercakup dalam tujuan komunikasi persuasif itu sendiri yaitu mengubah sikap, kepercayaan, nilai-nilai dan perilaku. Proses komunikasi ditandai dengan adanya pemindahan informasi melalui
pesan. Sehingga perlu dilakukan
pengelolaan pesan
(message
management) sesuai dengan komunikan yang dijadikan sebagai sasaran komunikasi
persuasif.
Pada
tahapannya,
komunikator
perlu
memahami
komunikan dari sudut pandangnya sendiri dan mencari tahu apa sebenarnya hal yang diinginkan dari komunikan. Kegiatan ini dilakukan oleh komunikator dengan melakukan komunikasi intrapersonal (intrapersonal communication) yaitu berkomunikasi dengan diri sendiri, berdialog dengan diri sendiri, bertanya kepada diri sendiri untuk dijawab oleh diri sendiri. Setelah itu komunikator perlu melakukan pemilihan saluran yang akan digunakan dalam menyampaikan pesan baik secara langsung/tatap muka atau menggunakan alat. Namun pada kenyataannya, komunikasi persuasif akan lebih maksimal dilakukan dengan komunikasi langsung secara tatap muka. Kemudian dalam mendesain pesan diperlukan pemahaman tentang komunikan secara nyata. Sehubungan dengan proses komunikasi persuasif itu berikut adalah teknik-teknik yang dapat dipilih (Effendy, 2004: 22), yaitu: 1. Teknik Asosiasi
Universitas Sumatera Utara
25
Teknik asosiasi adalah penyajian pesan komunikasi dengan cara menumpangkannya pada suatu objek atau peristiwa yang sedang menarik perhatian khalayak. Teknik ini sering dilakukan kalangan bisnis atau kalangan politik. 2. Teknik Integrasi Integrasi
di
sini
adalah
kemampuan
komunikator
untuk
menyatukan diri secara komunikatif dengan komunikan. Ini berarti bahwa, melalui
kata-kata verbal atau nonverbal, komunikator
menggambarkan bahwa ia „senasib‟ dan karena itu menjadi satu dengan komunikan. 3. Teknik Ganjaran Teknik ganjaran (pay-off technique) adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang lain dengan cara mengiming-imingi hal yang menguntungkan atau menjanjikan harapan. Teknik ini sering dipertentangkan dengan teknik „pembangkitan rasa takut‟ (fear arousing), yakni suatu cara yang bersifat menakutnakuti atau menggambarkan konsekuensi yang buruk. Jadi, kalau pay-off technique menjanjikan ganjaran (rewarding), fear arousing technique menunjukkan hukuman (punishment). Teknik ganjaran lebih baik karena berdaya upaya menumbuhkan „kegairahan emosional‟, sedangkan teknik pembangkitan rasa takut menimbulkan „ketegangan emosional‟. 4. Teknik Tataan Tataan (icing) berasal dari kata „to ice‟ berarti menata kue yang baru keluar dari pembakaran sehingga menjadi menarik. Kaitannya dengan komunikasi adalah upaya menyusun pesan komunikasi sedemikian rupa, sehingga enak didengar atau dibaca serta termotivasi untuk melakukan sebagaimana disarankan oleh pesan tersebut. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan „imbauan
Universitas Sumatera Utara
26
emosional‟ (emotional appeal), namun tanpa ada pengubahan fakta informasi yang sebenarnya. 5. Teknik Red-Herring Teknik ini mengikuti kebiasaan ikan di Samudera Atlantik Utara bernama Red-herring yang membuat gerak tipu ketika diburu. Dalam hubungannya dengan komunikasi persuasif, teknik redherring
adalah
seni
seorang
komunikator
untuk
meraih
kemenangan dalam perdebatan atau mengelakkan argumentasi. Teknik ini dilakukan ketika komunikator berada dalam keadaan terdesak, dimana suatu aspek tidak terlalu dikuasai secara utuh. Namun tetap dapat memberikan informasi yang tepat dengan mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih dikuasai namun masih tetap berhubungan. 2.2.6
Penggolongan Usia dan Tugas Perkembangan Anak
2.2.6.1 Periode Perkembangan Anak Periode perkembangan anak digambarkan dalam perkiraan rentang usia biasa digunakan utuk tujuan organisasi atau pemahaman. Penggolongan periode perkembangan yang paling luas digunakan menggambarkan perkembangan seorang anak dalam istilah tahap-tahap berikut : 1. Periode prakelahiran (prenatal period) adalah waktu mulai pembuahan hingga kelahiran, sekitar sembilan bulan. 2. Masa bayi (infancy) adalah periode perkembangan yang terus terjadi dari lahir sampai sekitar usia 18 hingga 24 bulan. Masa bayi merupakan waktu ketergantungan yang ekstrem terhadap orang dewasa. Banyak aktivitas psikologis baru dimulai-kemampuan berbicara, mengatur indera-indera dan tindakan fisik, berpikir dengan simbol, dan meniru dan belajar dari orang lain. 3. Masa kanak-kanak awal (early childhood) merupakan periode perkembangan yang terjadi mulai akhir masa bayi hingga sekitar usia 5 atau 6 tahun, kadang periode ini disebut tahun-tahun
Universitas Sumatera Utara
27
prasekolah. Selama waktu tersebut, anak kecil belajar menjadi mandiri dan merawat diri sendiri, mereka mengembangkan keterampilan kesiapan sekolah (mengikuti perintah, mengenali huruf), dan mereka menghabiskan berjam-jam untuk bermain dengan teman sebaya. Kelas satu Sekolah Dasar biasanya menandai berakhirnya periode ini. 4. Masa kanak-kanak tengah dan akhir (middle and late childhood) merupakan periode perkembangan yang dimulai dari sekitar usia 6 hingga usia 11 tahun; kadang periode ini disebut sebagai tahuntahun sekolah dasar. Anak menguasai keterampilan dasar membaca,
menulis,
aritmatik,
dan
mereka
secara
formal
dihadapkan pada dunia yang lebih besar dan budayanya. Prestasi menjadi tema sentral yang lebih dari dunia anak, dan kontrol dirinya meningkat. 5. Masa remaja (adolescence) adalah periode peralihan perkembangan dari kanak-kanak ke masa dewasa awal, memasuki masa ini sekitar usia 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. (Santrock, 2007: 19-20). Sedangkan Suyanto (1977) membagi berdasarkan rentang umur, sebagai berikut: 1. Masa Kanak-kanak, yaitu sejak lahir sampai 5 tahun. 2. Masa Anak, yaitu umur 6 sampai 12 tahun. 3. Masa Pubertas, yaitu umur 13 tahun sampai kurang lebih 18 tahun bagi anak putri dan sampai 22 tahun bagi anak putra. 4. Masa Adolesen, sebagai masa transisi ke masa dewasa. Berdasarkan hal di atas dapat dikatakan untuk cakupan Indonesia maka masa kanak-kanak terjadi sebelum anak memasuki jenjang Sekolah Dasar. Masa Anak berada dalam jenjang Sekolah Dasar. Kemudian dilanjutkan masa pubertas yang umumnya terjadi mulai Sekolah Menengah Pertama hingga Sekolah Menengah Atas. Sedangkan masa adolesen terjadi pada masa akhir di jenjang Sekolah Menengah Atas.
Universitas Sumatera Utara
28
2.2.6.2 Tugas Perkembangan Anak Nuryanti (2008) menyatakan, tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada periode tertentu dalam kehidupan individu, di mana keberhasilan penyelesaian tugas tersebut akan menimbulkan kebahagiaan dan kesiapan menghadapi tuhas selanjutnya. Tugas perkembangan berbeda antara satu masyarakat dengan masyrakat lainnya, berkaitan dengan harapan masyarakat terhadap perkembangannya. Untuk tujuan tersebut, psikolog Robert Havighurst pada tahun 1953 merumuskan tugas perkembangan individu (Development Task) yang berlaku secara universal. Berikut ini contoh Tugas Perkembangan Indivisu dari masa bayi (infant) sampai tahap remaja (adolescence). (Sunarti, 2004: 65-67). 1. Tugas Perkembangan bayi dan kanak-kanak awal ( Early Childhood: 2 minggu-2 tahun) yaitu: Belajar untuk mengambil makanan padat. Belajar berjalan. Belajar bicara. Belajar mengontrol pembuangan sisa metabolisme tubuh. Siap untuk membaca. Belajar membedakan benar dan salah, dan mulai belajar mengembangkan kesadaran diri. 2. Tugas Perkembangan masa kanak-kanak akhir (Late Childhood : 6 - 12 tahun) adalah: Belajar keterampilan fisik yang dibutuhkan dalam permainanpermainan. Membangun perilaku sehat menuju pribadi yang sedang berkembang. Belajar membangun pertemanan atau persahabatan. Mulai mengembangkan peran sosial ala maskulin atau feminine. Mengembangkan keterampilan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung.
Universitas Sumatera Utara
29
Mengembangkan konsep yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Mengembangkan kesadaran, nilai moralitas, dan skala-skala nilai. Mengembangkan sikap yang dibutuhkan menuju kelompok dan institusi sosial. Mencapai kemandirian diri. 3. Tugas perkembangan anak masa remaja (Pra-Adolescence & Adolescence: 12-14 tahun, 14-18 tahun) yaitu: Mencapai hubungan pertemanan atau hubungan dengan lawan jenis yang lebih stabil. Mencapai peran sosial maskulin/feminine. Menerima kondisi fisik diri sendiri dan menggunakan atau memanfaatkannya secara efektif. Menginginkan, menerima, dan mencapai perilaku bertanggungjawab. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya. Mempersiapkan karir ekonomi. Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan keluarga. Menggunakan sistem nilai dan etika sebagai panduang perilaku, dan mengembangkannya sebagai ideologi. 2.2.7 Kemandirian Kemandirian berasal dari kata dasar „mandiri‟ yang berarti dalam keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain. Sehingga kemandirian merupakan hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. (http://kbbi.web.id/mandiri) Basri (1995) menyatakan bahwa dalam arti psikologi, kemandirian mempunyai pengertian sebagai keadaan seseorang dalam kehidupannya yang mampu memutuskan atau mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Kemampuan tersebut hanya akan diperoleh jika seseorang mampu untuk memikirkan secara seksama tentang sesuatu yang dikerjakannya
Universitas Sumatera Utara
30
dan diputuskannya, baik dari segi manfaat atau kerugian yang akan dialaminya. Selain itu, Siswoyo juga memberikan definisi tentang kemandirian sebagai : “ Suatu karakteristik individu yang mengaktualisasikan dirinya, menjadi dirinya seoptimal mungkin, dan ketergantungan pada tingkat yang relatif kecil. Orang-orang yang demikian relatif bebas dari lingkungan fisik dan sosialnya.” (http://arsip.uii.ac.id/files/2012/08/05.2-bab-233.pdf, hlm. 12. ). Kemandirian merupakan salah satu modal penting bagi anak-anak untuk bertahan hidup kelak saat mereka dewasa. Karenanya mengajarkan kemandirian adalah hal yang pantas dan perlu dilakukan oleh orang yang mengasuh anak. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mulai menanamkan kemandirian pada anak: 1. Sediakan pilihan-pilihan. Saat anak semakin bertambah dewasa, izinkan anak membuat keputusan-keputusan yang lebih sulit, seperti memilih pakaiannya sendiri. Membiarkan anak mengontrol beberapa bagian adalm hidupnya akan memupuk kepercayaan diri dan kemandirian. 2. Terapkan waktu tidur malam yang rutin. Hal ini berguna pula dalam manajemen waktu pribadi anak yang telah memasuki sekolah
dasar.
Mereka
harus
bangun
tepat
waktu
dan
mempersiapkan keperluan sekolahnya secara mandiri. 3. Jangan melakukan sesuatu untuk anak-anak bila dia mampu melakukannya sendiri. Pembuktian diri anak dapat dilakukan dengan mampu menyelesaikan tugas sendiri. Hal ini akan berkaitan dengan menumbuhkembangkan kemandirian anak. (Kurniawan, 2013: 90-91) 2.2.7.1 Ciri-ciri Kemandirian Suyoto dkk. (dalam eprints.walisongo.ac.id/2276/3/73111549_bab
2
.pdf, hlm. 23) mengungkapkan bahwa anak dikatakan mandiri apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
31
1. Menemukan dirinya atau identitas dirinya. 2. Memiliki inisiatif. 3. Bertanggung jawab atas tindakannya. 4. Mencukupi kebutuhan dirinya. 5. Mampu membebaskan diri dari keterikatan yang tidak perlu. 6. Membuat pertimbangan-pertimbangan sendiri dalam bertindak. 7. Mampu mengambil keputusan sendiri dalam bentuk kemampuan memilih.
2.2.7.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Mohammad Ali (2009) terdapat faktor yang mempengaruhi kemandirian individu, baik faktor sifat yang telah dimiliki sejak lahir maupun dibentuk oleh lingkungan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian, antara lain: 1. Gen atau turunan orang tua Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian yang tinggi juga, namun faktor keturunan ini masih menjadi perdebatan karena ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat kemandirian orang tuanya itu yang menurun kepada anaknya, melainkan sifat orang tuanya muncul berdasarkan cara orang tua mendidik anaknya. 2. Pola asuh orang tua Cara orang tua mengasuh atau mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan kemandirian anak pada usia remajanya. Orang tua yang terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kata “jangan” kepada anak tanpa disertai dengan penjelasan yang rasional akan menghambat perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, orang tua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya dengan baik akan dapat mendorong kelancaran perkembangan kemandirian anak. 3. Sistem pendidikan di sekolah Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan
Universitas Sumatera Utara
32
demokratisasi pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian remaja. Sebaliknya, proses pendidikan yang lebih menekankan pentingnya penghargaan terhadap potensi anak, pemberian reward, dan
penciptaan
kompetensi
positif
akan
memperlancar
perkembangan kemandirian remaja. 4. Sistem kehidupan di masyarakat Sistem
kehidupan
masyarakat
yang
terlalu
menekankan
pentingnya hirarki struktur sosial, merasa kurang aman atau mencekam serta kurang menghargai manifestasi potensi remaja dalam
kegiatan
produktif
dapat
menghambat
kelancaran
perkembangan kemandirian remaja. Sebaliknya, lingkungan masyarakat yang aman, menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk berbagai kegiatan, dan tidak terlalu hirarkis akan merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian remaja. (http://eprints.walisongo.ac.id/2276/3/73111549_bab2.pdf,
hlm.
20-21) 2.2.8 Pola Pengasuhan dan Panti Asuhan 2.2.8.1 Pola Pengasuhan Pengasuhan berasal dari kata dasar „asuh‟/ kata kerja „mengasuh‟. Kata „asuh‟/‟mengasuh‟
berarti:
(1) menjaga
(merawat
dan
mendidik)
anak
kecil; (2) membimbing (membantu, melatih, dan sebagainya) supaya dapat berdiri sendiri
(tentang
orang
atau
negeri); (3) memimpin
(mengepalai,
menyelenggarakan) suatu badan kelembagaan (http://kbbi.web.id/asuh). Sehingga kata pengasuhan berarti proses, cara, atau perbuatan mengasuh. Sunarti (2004) menyatakan, pengasuhan diartikan sebagai implementasi serangkaian keputusan yang dilakukan orang tua atau orang dewasa kepada anak, sehingga memungkinkan anak menjadi bertanggung jawab, menjadi anggota masyarakat yang baik, memiliki karakter-karakter baik. Pengasuhan
mengajarkan
kecakapan
hidup,
suatu
proses
yang
mengantarkan seorang individu menjadi seorang insan, dimana proses tersebut
Universitas Sumatera Utara
33
dimulai sejak lahir dan berlangsung sampai meninggal. Pengasuhan dapat dikatakan sebuah proses terpadu yang ditujukan kepada individu sejak dia lahir dan berlangsung hingga meninggal. Proses terpadu yang dimaksudkan adalah kegiatan yang memperhatikan mulai dari kebutuhan fisik hingga pembangunan moral, kepribadian, dan karakter. Pengasuhan juga menyangkut aspek manajerial, berkaitan dengan kemampuan merencanakan, melaksanakan, mengorganisasikan, serta mengontrol atau mengevaluasi semua yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.(Sunarti, 2004: 4). Pentingnya pengasuhan seorang anak untuk menjadi mandiri, untuk bertanggung jawab, untuk menjadi warga masyarakat yang berguna. Pengasuhan berkaitan dengan komunikasi, dilihat dari proses pengasuhan yang terdapat pertukaran pesan antara pengasuh dengan orang yang diasuh. Pada konteks penelitian ini pengasuh merupakan orang dewasa (pengasuh di panti asuhan), sedangkan orang yang diasuh adalah anak panti asuhan. Komunikasi yang terjadi di antara kedua pihak adalah komunikasi dua arah (bidirectional). Hal ini menunjukkan bahwa jarak sosial antara kedua pihak ada pada satu garis. Namun demikian, perlu diketahui bahwa meskipun komunikasi yang terjadi antara pengasuh dan anak asuh terjadi secara dua arah (timbal balik) tetap terdapat dominasi yang lebih dari pengasuh dalam mengarahkan/membimbing anak asuh. 2.2.8.2 Tujuan Pengasuhan Pengasuhan yang dilakukan dengan memerhatikan pertimbangan manajerial dan juga pemenuhan kebutuhan anak tentu memiliki tujuan. Beberapa tujuan pengasuhan diantaranya: 1. Pengembangan Konsep Diri Konsep diri anak akan terbentuk secara otomatis melalui interaksinya dengan orang tua/orang dewasa. Interaksi tersebut membuat anak mulai mengidentifikasi dirinya, menemukan dan mencari persamaan dan perbedaan antara dirinya dengan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
34
2. Mengajarkan Disiplin Diri Disiplin adalah kemampuan seseorang untuk bertindak sesuai norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku. Disiplin muncul oleh adanya tuntutan dan kesadaran dalam diri untuk berbuat baik sesuai aturan. Disiplin diri termasuk kemampuan mengontrol emosi dan perilaku seseorang. Perilaku disiplin termasuk menunda atau memodifikasi keinginan atau kepuasan sementara untuk mencapai tujuan jangka panjang. Hal ini pada akhirnya adalah untuk mencapai kehidupan yang harmonis. 3. Mengajarkan Keterampilan Perkembangan Pengasuhan mengajarkan anak berbagai keterampilan hidup (kognitif, sosial, dan emosional) melalui upaya-upaya yang memungkinkan anak berkembang secara optimal. Tugas perkembangan tersebut merupakan jalan tengah antara kebutuhan
perkembangan
setiap
individu
dengan
harapan
masyarakat pada setiap tahap kehidupan individu. 2.2.8.3 Panti Asuhan Menurut
buku
Petunjuk
Teknis
Pelaksanaan
Penyantunan
dan
Pengetahuan Anak Melalui Panti Asuhan Anak, mengenai definisi dari Panti Asuhan bahwa: “Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar serta melaksanakan pelayanan pengganti, atau perwalian anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial kepada anak asuh sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa, sebagai insan yang akan turut serta aktif di dalam bidang pembangunan nasional.” ( Depsos RI, 1986: 3 ). Sedangkan menurut Badan Pembinaan Koordinasi dan Pengawasan Kegiatan (BPKPK), definisi dari Panti Asuhan adalah:
Universitas Sumatera Utara
35
“ Panti asuhan dapat diartikan sebagai suatu lembaga untuk mengasuh anak-anak, menjaga dan memberikan bimbingan dari pimpinan kepada anak dengan tujuan agar mereka dapat menjadi manusia dewasa yang cakap dan berguna serta bertanggung jawab atas dirinya dan terhadap masyarakat kelak di kemudian hari. Panti asuhan dapat pula dikatakan atau berfungsi sebagai pengganti keluarga dan pimpinan panti asuhan sebagai pengganti orang tua; sehubungan dengan orang tua anak tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dalam mendidik dan mengasuh anaknya” (BPKPK: PA, 1982: 1). (http://argyo.staff.uns.ac.id/files/2010/08/pola-pengasuhan-anakpanti.pdf) Berdasarkan kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahawa panti asuhan berperan dalam memenuhi kebutuhan fisik dan rohani anak, serta bertindak sebagai orang tua bagi anak-anak asuh. Panti asuhan berupaya memberikan pelayanan yang tidak diterima dari orang tua anak asuh seperti pengembangan kepribadian yang wajar dan kemampuan keterampilan kerja. Umumnya anak-anak yang tinggal di panti asuhan adalah: 1. Anak yatim, piatu dan yatim piatu terlantar. 2. Anak terlantar yang keluarganya mengalami perpecahan, sehingga tidak memungkinkan anak dapat berkembang secara wajar baik jasmani, rohani maupun sosial. 3. Anak terlantar yang keluarganya dalam waktu relatif lama tidak mampu melaksanakan fungsi dan peranan sosialnya secara wajar. Penyebab keterlantaran ini antara lain salah satu atau kedua orang tuanya meninggal sehingga tidak ada yang merawat.
2.3 Model Teoretik Pada penelitian ini, peneliti membuat model teoritik dengan memahami keterkaitan antara beberapa teori. Keterkaitan teori-teori ini membentuk rangkaian yang berkesinambungan yang pada akhirnya membantu peneliti untuk memecahkan masalah penelitian. Teori adalah suatu pemikiran,penelaahan, bisa juga penelitian yang telah diakui kebenarannya secara ilmiah (Pujileksono, 2015: 10-12 ).
Universitas Sumatera Utara
36
Model teoritik dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut: PENGASUH STRATEGI KOMUNIKASI
ANAK PANTI ASUHAN
TEORI MENDAPATKAN KEPATUHAN 16 Strategi Mendapatkan Kepatuhan oleh Marwell dan Schmitt, yang telah diringkas menjadi 5 bagian besar: 1. Pemberian penghargaan (termasuk di dalamnya memberikan janji). 2. Hukuman (termasuk mengancam). 3. Keahlian
(menunjukkan pengetahuan
terhadap penghargaan). 4. Komitmen impersonal (misalnya daya tarik moral). 5. Komitmen personal (misalnya utang).
KEMANDIRIAN ANAK PANTI ASUHAN Ciri-ciri Anak Mandiri Menurut Suyoto,dkk (http://eprints.walisongo.ac.id/2276/3/731115 49_bab2.pdf, hlm. 23): 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Menemukan dirinya atau identitas dirinya. Memiliki inisiatif. Bertanggung jawab atas tindakannya. Mencukupi kebutuhan dirinya. Mampu membebaskan diri dari keterikatan yang tidak perlu. Membuat pertimbangan-pertimbangan sendiri dalam bertindak. Mampu mengambil keputusan sendiri dalam bentuk kemampuan memilih.
Bagan 1. Model Teoritik Penelitian
Universitas Sumatera Utara