BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Hakikat Karya Sastra Drama a. Pengertian Karya Sastra Drama Pada hakikatnya karya sastra merupakan cerminan dari realitas kehidupan manusia. Oleh karena itu, karya sastra selalu menarik perhatian pembacanya. Membaca berbagai karya sastra akan membuat kita larut ke dalam alur kisah karya sastra tersebut. Sastra lahir disebabkan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, dan menaruh minat terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang malam (Semi, 1993:1). Sastra merupakan karya imajinatif dan kreatif pengarang sebagai ungkapan perasaan ataupun kritikan terhadap lingkungan sekitar atau fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Menurut jenisnya, karya sastra terbagi tiga, yaitu puisi, prosa, dan drama. Masing-masing jenis memiliki kekhasan tersendiri. Berbeda dengan dua jenis karya sastra lain yang bisa dinikmati melalui kegiatan membaca, drama tentu memiliki tujuan akhir suatu pementasan, akan tetapi naskah drama tetap dapat dinikmati dan dipahami meskipun tanpa pementasan. Semi mengungkapkan, “Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Drama sebagai karya sastra tidak terlepas dari pembicaraan di atas” (1984: 2). Sejalan dengan hal tersebut, Hasanuddin WS (2009: 3) menyebutkan bahwa drama adalah karya yang memiliki dua dimensi karakteristik yaitu dimensi sastra dan dimensi sastra pertunjukan, meskipun drama ditulis dengan tujuan untuk dipentaskan, akan tetapi tanpa dipentaskan sekalipun karya drama tetap dipahami, dimengerti, dinikmati. Atmazaki (2005: 43) menambahkan, hal tersebut karena adanya dialog yang menjadi ciri khas sebuah naskah drama. Dialog yang dimaksud bukanlah dialog yang berbentuk narasi, akan tetapi dialog dalam deretan peristiwa yang membentuk plot.
9
10
Waluyo (2002: 1) berpendapat bahwa drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Melihat drama, penonton seolah melihat kejadian dalam masyarakat. Kadang-kadang konflik yang disajikan dalam sebuah drama sama dengan konflik batin mereka sendiri. Drama adalah potret kehidupan manusia, potret suka duka, pahit manis, hitam putih kehidupan manusia. Waluyo (2006: 2) menambahkan, drama berarti perbuatan, tindakan atau action. Drama juga dapat didefinisikan sebagai cerita yang dipertunjukkan karena pada dasarnya drama merupakan dialog dari tokoh dalam cerita yang diperankan dalam panggung. Drama sebagai suatu genre sastra mempunyai kekhususan dibandingkan dengan genre sastra lain, layaknya puisi dan fiksi. Kekhususan drama disebabkan tujuan drama ditulis oleh pengarangnya tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembeberan peristiwa untuk dinikmati secara artistik imajinatif oleh pembacanya, melainkan juga harus dilanjutkan pada sebuah pementasan secara visual di atas panggung pertunjukan. Kekhususan drama inilah yang menjadikan drama sebagai genre sastra yang berorientasi pada seni pertunjukan dibanding genre sastra lain. Untuk itulah, drama dapat dianggap sebagai suatu karya yang memiliki dua dimensi, yakni dimensi sastra dan dimensi seni pertunjukan. Drama merupakan karya sastra yang tidak terlepas dari naskah. Jadi, dapat dikatakan bahwa naskah merupakan karangan yang masih asli ditulis tangan atau diketik secara manual atau karangan seseorang yang dianggap sebagai karya asli yang berisi bahan-bahan cerita yang siap diedit dan diberitakan. Waluyo (2006: 7) mengungkapkan drama naskah disebut juga sastra lakon. Sebagai salah satu genre sastra, drama naskah dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) dan struktur batin (semantik, makna). Wujud fisik sebuah naskah adalah dialog atau ragam tutur. Ragam tutur itu adalah ragam sastra. Menurut Wiyanto (2007: 31), yang dimaksud dengan naskah adalah karangan yang berisi cerita atau lakon. Dalam naskah tersebut termuat nama-nama tokoh dalam cerita, dialog yang diucapkan oleh para tokoh, dan keadaan panggung yang diperlukan.
11
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, drama merupakan seni sastra yang mengungkapkan berbagai potret kehidupan manusia melalui dialog langsung dengan menampilkan objeknya yang merupakan manusia dan divisualisasikan dalam bentuk pementasan di atas panggung dengan disaksikan oleh banyak orang, didasarkan pada naskah drama yang dipentaskan. b. Jenis – Jenis Karya Sastra Drama Drama yang dikenal masyarakat memiliki variasi dalam jalan ceritanya. Menurut Suroto (1989: 76 – 78), sebagai pertunjukan drama dibedakan menjadi drama tradisional dan drama modern. 1) Drama tradisional Drama tradisional merupakan drama yang hidup dalam kehidupan masyarakat. Drama tersebut juga memiliki unsur-unsur pembangun cerita seperti drama-drama yang lain. Pendapat mengenai drama tradisional juga disampaikan oleh Johnny Saldaña dan Hare bahwa drama dapat disusun berdasarkan wawancara, catatan lapangan, jurnal, media cetak, maupun artikel. Ia juga menyebutkan perbedaan drama tradisional dengan teater tradisional. Teater tradisional merupakan pertunjukan langsung yang menggunakan kerajinan-kerajinan tradisional dan teknik artistik (2008: 3). 2) Drama modern Drama modern berbeda dengan drama tradisional. Jika drama tradisional berkembang secara alamiah dan berkaitan dengan adat, maka drama modern merupakan drama yang sengaja dibuat oleh pengarang dan sutradara. Waluyo dan Tarigan memiliki pendapat yang sama. Mereka menyebutkan empat klasifikasi drama, sebagai berikut. 1) Tragedi Semi (1993: 168) menyatakan bahwa tragedi merupakan sejenis drama yang berakhir dengan kesedihan, terjadinya kematian, berhubungan dengan tindakan serius yang menarik perhatian. Boulton mendefinisikan drama tragedi sebagai sebuah drama dengan akhir yang menyedihkan, biasanya paling tidak suatu kematian. Tindakan dan pikiran tokoh
12
diperlakukan secara serius (1983: 147). Tragedi atau drama duka juga diartikan sebagai drama yang menyuguhkan cerita kesedihan yang dominan. Tokoh-tokoh dalam drama ini mengalami bencana besar. Terdapat tragic hero yang merupakan tokoh pahlawan, tetapi memiliki kisah tragis dalam hidupnya (Waluyo, 2002: 39). Menurut Tarigan, ciri drama tragedi yakni: a) objek yang digarap merupakan lakon yang serius; b) pahlawan atau tokoh utama merupakan orang penting yang herois; c) insiden yang terdapat dalam cerita harus wajar; serta d) rasa kasihan, sedih, dan takut merupakan emosi utama pada karya tragedi (1993: 83 – 84). Tidak jauh berbeda, Kosasih (2003: 273) mengungkapkan ciri-ciri drama tragedi, antara lain: a) menampilkan kisah sedih; b) cerita bersifat serius; c) memunculkan rasa kasihan dan ketakutan; serta d) terdapat tokoh yang bersifat kepahlawanan. 2) Komedi Komedi merupakan drama penggeli hati, penuh kelucuan yang menimbulkan tawa (Wiyanto, 2002: 7). Semi berpendapat sejalan. Ia mengungkapkan, bahwa komedi ialah drama untuk menyenangkan hati atau menimbulkan suasana gembira (1993: 168). Fungsi utama dari komedi ialah untuk menghibur. Hiburan dapat berkisar dari senyum tenang hingga tertawa terbahakbahak. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Boulton (1983: 151). Waluyo (2002: 40) menyebut komedi sebagai drama ringan yang bersifat menghibur, biasanya di dalamnya terdapat dialogdialog yang menyindir dan berakhir dengan kebahagiaan. Dalam drama komedi, terdapat tokoh-tokoh yang konyol dan kocak. Namun, kelucuan drama ini tidak menjadi prioritas satu-satunya. Pengarang tetap menjaga nilai dramatik dalam drama komedi. Ciri-ciri drama komedi menurut Kosasih yaitu: a) cerita tersebut umumnya berupa cerita-cerita ringan; b) dalam drama komedi terkadang ada bagian serius, tetapi disajikan secara ringan; c) kisah ini mengenai peristiwa yang mungkin terjadi; d) kelucuan yang timbul ialah dari tokoh; serta e) kelucuan yang terjadi masih bersifat bijaksana (2003: 273 – 274). Sedangkan ciri-ciri drama komedi menurut
13
Tarigan ialah: a) subjek yang diperankan dapat serius atau ringan; b) kejadian yang terdapat di dalamnya bersifat probable dan possible; c) segala yang terjadi muncul dari tokoh, bukan situasi; dan d) kelucuannya berupa jenis humor yang serius, tidak dibuat-buat (1993: 85). 3) Melodrama Melodrama merupakan drama dengan kisah yang mengharukan. Lakonnya dibuat berlebihan, sehingga kurang dapat meyakinkan penonton terhadap cerita tersebut. Dalam melodrama, tokoh yang hero tidak memiliki kekurangan sedikitpun. Sedangkan tokoh jahat mutlak jahat, tanpa ada sifat baiknya (Waluyo, 2002: 40). Semi menyebutkan bahwa melodrama adalah drama yang dialognya diucapkan dengan iringan musik (1993: 169). Ciri-ciri melodrama adalah: a) menampilkan cerita yang serius; b) memunculkan kejadian-kejadian yang bersifat kebetulan secara berlebihan; dan c) menciptakan rasa sentimental (Kosasih, 2003: 274). Tarigan (1993: 86) juga mengemukakan pendapatnya mengenai ciri melodrama, sebagai berikut: a) subjek bersifat serius, tetapi tidak seotentik drama tragedi; b) terdapat unsur-unsur perubahan; c) rasa kasihan yang ditonjolkan cenderung sentimentalitas; dan d) tokoh utama biasanya menang dalam pertempuran. 4) Farce (Dagelan) Dagelan sering disebut juga dengan banyolan atau komedi picisan. Farce hanya mementingkan tawa dari penonton. Jenis drama ini kurang menjaga aspek dramatik. Tokoh-tokoh dalam farce sering melakukan over acting dan tidak memperhatikan disiplin acting (Waluyo, 2002: 42). Farce merupakan drama yang bertujuan untuk mengundang gelak tawa berlebihan dari penontonnya (Semi, 1993: 170). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Boulton (1983: 153), yakni farce bertujuan untuk menghasilkan tawa dengan efek berlebihan tanpa pemahaman psikologis. Tarigan menyebutkan bahwa farce harus memenuhi kriteria: a) kejadian dan tokoh cerita kemungkinan ada di kehidupan nyata; b) kelucuan yang timbul seenaknya dan tidak teratur; c) bersifat episodik; dan d) segala
14
sesuatu yang terjadi berasal dari situasi, bukan tokoh. Sedangkan ciri-ciri yang diungkapkan Kosasih (2003: 274) yakni: a) kelucuan yang timbul berlebihan; b) bersifat episodik; dan c) kelucuan muncul dari situasi. c. Unsur – Unsur Pembangun Karya Sastra Drama Berkaitan dengan pendekatan struktural yang akan diterapkan, maka pemahaman makna dari sebuah karya sastra menjadi tujuan utama. Untuk memahami isi dari sebuah naskah drama secara terperinci, harus diketahui struktur unsur-unsur intrinsik pembentuknya. Unsur-unsur tersebut saling terkait satu sama lain sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh. Menurut Milawati (2011: 72), berdasarkan standar kompetensi yang harus dikuasai oleh anak dalam pemahaman drama yaitu mengidentifikasi unsur intrisik yang terdiri dari unsur-unsur pembangun struktur tokoh, sifat/karakter, alur, latar/ setting, tema dan amanat. Tarigan (1993: 74) menyebutkan unsur-unsur drama, antara lain: (1) alur; (2) penokohan; (3) dialog; (4) aneka sarana kesastraan dan kedramaan. Waluyo menyebutkan enam unsur dalam struktur naskah drama, yakni: (1) alur; (2) penokohan; (3) dialog; (4) setting; (5) tema; dan (6) amanat (2008, 6-28). Namun, dalam penelitian ini akan dibahas secara lebih rinci. Struktur intrinsik pembangun drama yang akan dikaji, antara lain: tema, penokohan dan perwatakan, plot/alur, latar/ setting, dialog, petunjuk teknis, serta amanat. 1) Tema Setiap karya sastra yang diciptakan pasti memiliki tema. Tema tersebut dapat secara implisit maupun eksplisit tertuang dalam jalinan cerita. Suroto (1989: 88) menyebutkan bahwa tema adalah pokok pikiran atau pokok persoalan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui jalinan cerita yang dibuatnya. Jalinan yang disampaikan tersebut tentulah memiliki pokok. Pokok cerita adalah sesuatu yang diceritakan oleh pengarang. Tema berada dalam pokok cerita. Dengan kata lain, tema adalah pokok pikiran atau pokok persoalan dibalik pokok cerita. Berkaitan dengan drama, Waluyo (2002: 24 – 25) mengungkapkan pengertian tema sebagai gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema berhubungan dengan premis dan nada dasar yang dikemukakan pengarangnya.
15
Premis dapat disebut sebagai landasan pokok yang menentukan arah tujuan lakon dan merupakan landasan bagi pola konstruksi lakon. Sedangkan nada dasar dapat disamakan dengan jiwa atau suasana yang mendasari sebuah lakon. Interpretasi pentonton terhadap nada dasar suatu naskah drama dapat bervariasi. Oleh karena itu, naskah drama bersifat multiinterpretable. Hal itu dapat disebabkan oleh latar belakang pengetahuan yang berbeda-beda dari penonton. Waluyo juga mengemukakan bahwa drama yang besar adalah drama yang mengangkat tema abadi. Maksudnya, tema tersebut bersifat interpersonal dan dapat diterima di segala kurun waktu. Pengertian tema juga diperoleh dari pendapat Stanton & Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2005: 66). Menurut mereka, tema adalah makna yang terkandung dalam sebuah cerita. Hartoko & Rahmanto (dalam Nurgiyantoro, 2005: 68) juga berpendapat bahwa tema juga dapat didefinisikan sebagai gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaanperbedaan. Penentuan tema berdasar pada nurani pengarangnya. Banyak hal yang dapat memengaruhi pengarang dalam menentukan tema dari karya-karyanya. Latar belakang budaya, pendidikan, maupun pengetahuan dapat menjadi dasar pembentukan tema. Hal itu juga mendapat pengaruh dari aliran filsafat yang dianut oleh pengarang. Waluyo (2002: 26 – 28) menyebutkan beberapa aliran filsafat yang mendasari penciptaan naskah drama, sebagai berikut. a) Aliran Klasik Naskah drama berwujud dialog yang panjang-panjang dan isi cerita yang bertema duka. Lakonnya bersifat statis dan diselingi dengan monolog. b) Aliran Romantik Naskah drama beraliran romantik ini seringkali berupa cerita-cerita yang tidak logis. Isi dramanya fantastis dan tokohnya bersifat sentimental. c) Aliran Realis Aliran ini menginspirasi terciptanya drama-drama realis yang isi ceritanya mirip dengan kehidupan sehari-hari. Ada dua macam aliran realis, yaitu aliran realis sosial dan aliran realis psikologis. Realis sosial menggambarkan problem sosial yang sangat berpengaruh terhadap kondisi psikis pelaku. Sedangkan realis psikologis menekankan pada unsur
16
kejiwaan secara apa adanya. Rasa senang, sedih, kecewa, bahagia, dilukiskan dengan apa adanya. d) Aliran Ekspresionis Aliran ekspresionis didasarkan pada perubahan sosial, pergantian adegan dilakukan dengan cepat, serta fragmen cerita disajikan secara filmis dan ekstrim. e) Aliran Eksistensialis Naskah yang dilatarbelakangi aliran ini mendapat pengaruh yang besar dari filsafat eksistensialis negara-negara barat. Berdasarkan dari beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tema sebagai gagasan pokok atau ide cerita yang mendasari sebuah karya sastra, atau disebut juga sebagai landasan cerita. 2) Penokohan dan Perwatakan Drama merupakan tiruan dari realitas kehidupan manusia yang dikemas dalam bentuk seni sandiwara yang dimainkan oleh para tokoh yang memainkan sandiwara kehidupan manusia. Istilah tokoh atau penokohan merujuk pada pelaku cerita. Penokohan selalu identik dengan perwatakan, sedangkan perwatakan menunjuk pada sifat tokoh-tokoh dalam cerita. Sudjiman (1988: 16) menyampaikan bahwa tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berperan dalam berbagai peristiwa di cerita. Jones dalam Nurgiyantoro (2005: 165) juga berpendapat bahwa penokohan sebagai pelukisan yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Sependapat dengan Jones, Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 165) menyebutkan tokoh cerita ialah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki ciri khas dalam mengekspresikan wataknya dalam tindakan-tindakannya. Oemarjati (dalam Dewojati, 2010: 169) menyebutkan bahwa melalui penokohan, pengarang dapat mengungkapkan alasan logis terhadap tingkah laku tokohnya. Tokoh-tokoh tersebut yang kemudian membawakan tema dalam keseluruhan latar dan alur cerita. Sudjiman, (1988: 27) menambahkan, untuk membuat tokoh yang meyakinkan, pengarang harus mengerti dengan benar tabiat manusia, serta kebiasaan bertindak dan berujar di masyarakat.
17
Waluyo (2002: 14) menyatakan bahwa, dalam naskah drama terdapat dramatic personae yang merupakan daftar tokoh-tokoh yang berperan dalam drama itu. Dramatic personae biasanya menjelaskan nama, jenis kelamin, tipe fisik, jabatan, dan keadaan kejiwaan tokoh. Waluyo (2002: 16) juga mengklasifikasikan tokoh drama berdasarkan peranannya dalam lakon serta fungsinya. Tokoh-tokoh dalam drama dapat diklasifikasikan menjadi dua, seperti berikut. 1) Berdasarkan Peranannya terhadap Jalan Cerita a) Tokoh Protagonis, yaitu tokoh yang mendukung jalannya cerita. Biasanya ada satu atau dua figur tokoh protagonis utama, yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita. b) Tokoh Antagonis, yaitu tokoh penentang cerita. Biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita, dan beberapa figur pembantu yang ikut menentang cerita. c) Tokoh Tritagonis, yaitu tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun tokoh antagonis. 2) Berdasarkan Peranannya dalam Lakon serta Fungsinya a) Tokoh Central, yaitu tokoh-tokoh yang paling menentukan gerak lakon. Mereka merupakan proses perputaran lakon. Tokoh central merupakan biang keladi pertikaian. Dalam hal ini tokoh central adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis. b) Tokoh utama, yaitu pendukung atau penentang tokoh central. Dapat juga sebagai medium atau perantara tokoh central. c) Tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap atau tambahan dalam rangkaian cerita. Yustinah dan Iskak (2008: 28) memiliki pandangan yang tak jauh berbeda. Mereka menyebutkan bahwa tokoh dalam drama terdiri atas: a) protagonis, tokoh yang berperan utama sebagai tokoh idaman b) antagonis, tokoh yang berperan menentang tokoh utama c) figuran/pemeran pembantu, tokoh yang mendampingi tokoh utama dan dapat sebagai sumber konflik dalam drama. Tarigan (1993: 76) menambahkan, jenis tokoh dalam drama menjadi empat, yaitu tokoh pembantu, tokoh serba bisa, tokoh statis dan tokoh berkembang (1993: 76). Suroto (1989: 93 – 94) juga mengungkapkan bahwa yang dimaksud penokohan yaitu merupakan cara pengarang menyampaikan tokohtokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut memerankan tokoh
18
sesuai dengan watak dan karakter yang dituliskan pengarang. Suroto juga menjabarkan cara melukiskan watak tokoh dalam cerita, sebagai berikut. a) Secara analitik, pengarang menjelaskan secara langsung karakter tokohnya. b) Secara dramatik, pengarang tidak secara lugas menjabarkan watak tokoh, melainkan menggambarkannya melalui setting peristiwa, dialog antartokoh, dan tingkah laku tokoh tersebut. c) Secara analitik dan dramatik, pengarang menjelaskan secara langsung yang didukung penggambarannya melalui reaksi-reaksi tokoh. Antara penjelasan dan penggambaran harus terdapat kesesuaian agar mendukung jalan cerita. Berkaitan dengan hal tersebut, teknik pelukisan tokoh menurut Nurgiyantoro (2009: 195-210) terbagi menjadi dua, yaitu teknik ekspositori dan teknik dramatik. Teknik dramatik terbagi menjadi delapan, yaitu teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik. Berikut ulasan dari teknik-teknik tersebut. a) Teknik Ekspositori Teknik Ekspositori adalah teknik pendeskripsian, uraian, maupun penjelasan pada suatu tokoh yang diberikan secara langsung oleh pengarang. Pelukisan terhadap tokoh dijelaskan oleh pengarang dengan sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca. b) Teknik Dramatik Pada teknik dramatik, pendeskripsian sifat dan tingkah laku tokoh digambarkan tidak secara langsung, melainkan dengan aktivitas atau tindakan verbal melalui kata-kata (percakapan dan kata-kata dalam pikiran), tindakan nonverbal atau tindakan fisik, dan melalui setiap peristiwa yang dialami oleh tokoh tersebut atau mengacu pada latar. Dari beberapa teknik penggambaran tokoh tersebut dalam teknik pelukisan tokoh melalui teknik dramatik dapat dibagi menjadi beberapa teknik. Berikut ulasan teknik-teknik tersebut. c) Teknik Cakapan Teknik cakapan merupakan teknik pelukisan tokoh melalui percakapan antar tokoh. Percakapan yang efektif dan fungsional dapat menunjukkan perkembangan alur sekaligus dapat menggambarkan perwatakan dan segala pandangan hidup dari suatu tokoh. d) Teknik Tingkah Laku Teknik pelukisan melalui tingkah laku adalah penggambaran tokoh yang dilakukan pengarang dengan pendeskripsian tindakan fisik atau bersifat nonverbal. Tindakan tersebut dilandasi dengan tanggapan, reaksi, sifat,
19
dan sikap suatu tokoh terhadap peristiwa yang terjadi sehingga dapat melukiskan jati dirinya. e) Teknik Pikiran dan Perasaan Kondisi pikiran dan perasaan dapat menjadi indikator perwatakan dari suatu tokoh. Tindakan baik verbal maupun nonverbal merupakan bentuk konkret hasil pemikiran dan perasaan dari tokoh tersebut dalam memilih penyikapan terhadap permasalahan yang dihadapi. Melalui hal tersebut perwatakan dan kepribadian dari suatu tokoh dapat diketahui. f) Teknik Reaksi Tokoh Reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata-kata, dan sikap tingkah laku tokoh lain dapat mencerminkan perwatakan dari tokoh tersebut. Rangsangan yang diimbangi dengan reaksi suatu tokoh akan menentukan kepribadiannya dalam cerita tersebut. g) Teknik Reaksi Tokoh Lain Reaksi tokoh lain adalah tanggapan yang diberikan suatu tokoh terhadap tokoh utama. Dari reaksi tokoh lain inilah perwatakan tokoh utama akan teridentifikasi. Tokoh lain akan memberikan reaksi berupa pandangan, sikap, pendapat, dan penilaian tentang tokoh utama. Secara tidak langsung akan terlihat kepribadian suatu tokoh utama dari reaksi tokoh lain yang demikian. Harymawan (dalam Dewojati, 2010: 169) menyatakan bahwa setiap karakter yang ada dalam seorang tokoh mempunyai sifat multidimensional. Dimensi yang dimaksud meliputi dimensi fisiologis, dimensi sosiologis, dan dimensi psiologis. Wirajaya & Sudarmawarti (2008: 56 – 57) juga mengungkapkan cara melukiskan watak tokoh, yaitu: a) melukiskan bentuk fisik tokoh secara langsung, b) melukiskan jalan pikiran tokoh, c) melukiskan reaksi tokoh terhadap suatu peristiwa yang terjadi, d) melukiskan keadaan di sekitar tokoh, dan e) melukiskan anggapan tokoh tersebut terhadap tokoh lain. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian penokohan adalah cara untuk menggambarkan tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita naskah drama. Sedangkan perwatakan ialah penjelasan mengenai sifat dan karakter tokoh-tokoh tersebut melalui tingkah laku, pikiran, perasaan, dan tanggapan/reaksi tokoh lain dalam cerita.
20
3) Plot/Alur Tarigan (1993: 75) menyampaikan, suatu lakon hendaknya bergerak maju dari suatu permulaan melalui pertengahan menuju suatu akhir. Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro 2005: 113), plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian. Kejadian yang satu mendorong terjadi kejadian lain. Kenny (dalam Nurgiyantoro 2005: 113) juga berpendapat bahwa, plot diartikan sebagai peristiwa yang tidak sederhana dalam cerita, karena pengarang menyusunnya dengan hubungan sebab akibat antara peristiwa satu dan lainnya. Forster (dalam Nurgiyantoro 2005: 113) menambahkan, pengertian plot yaitu peristiwa cerita yang memiliki penekanan terhadap hubungan kausalitas. Sejalan dengan pendapat tersebut, Suroto (1989: 89 – 90) menyebutkan bahwa plot merupakan suatu jalan cerita yang berupa peristiwa-peristiwa yang disusun menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita. Suroto menyampaikan urutan pola plot secara tradisional, yaitu perkenalan, pertikaian, perumitan,
klimaks
dan
pelarian.
Wirajaya
dan
Sudarmawarti
juga
mengungkapkan bahwa alur adalah rangkaian cerita yang merupakan jalinan konflik antar tokoh yang berlawanan. Alur drama terdiri atas perkenalan, pertikaian, klimaks, peleraian dan penyelesaian (2008: 15). Pendapat Kosasih (2003: 271) juga menguatkan pendapat sebelumnya. Ia menyatakan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa yang dijalin dengan seksama dan menggerakkan cerita dari awal hingga penyelesaian. Sudjiman (1988: 29) memiliki opini yang tidak jauh berbeda. Menurutnya, alur ialah tulang punggung cerita yang dibangun oleh urutan peristiwa-peristiwa. Alur cerita merupakan kesengajaan penulis. Boulton (1983: 64) mengungkapkan bahwa setiap jalan cerita memiliki sumber tertentu. Plot datang dari suatu tempat, tidak terjadi secara kebetulan. Menurut Yustinah & Iskak (2008: 28) pemaparan/eksposisi,
komplikasi,
klimaks,
plot dalam drama meliputi peleraian/antiklimaks dan
penyelesaian. Waluyo (2002: 147) menyampaikan bahwa plot sebagai kerangka dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antartokohnya. Ia membagi tahapan plot menjadi tujuh, yaitu:
21
a) Eksposisi b) inciting moment (saat perkenalan) c) rising action d) complication e) climax f) falling action g) denoument (penyelesaian). Tahap situation, berarti tahap penyituasian. Waluyo menyebutnya sebagai eksposisi, yang berarti paparan awal cerita. Tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, pengenalan tokoh, watak, dan latar cerita. Di tahap ini pembaca dapat mengetahui bentuk cerita tersebut termasuk novel, cerpen, atau naskah drama. Tujuan dari adanya tahap ini adalah untuk memberikan gambaran awal kepada pembaca sehingga pembaca tidak bingung mengikuti cerita. Selain itu, juga menjadi landas tumpu cerita untuk memasuki tahap selanjutnya. Tahap generating circumstances, disebut juga inciting moment. Tahap ini merupakan tahap pemunculan masalah atau peristiwa yang berpotensi menimbulkan konflik. Pengarang mulai memunculkan peristiwa-peristiwa yang mengandung masalah yang nantinya akan dikembangkan menjadi konflik. Peristiwa-peristiwa tersebut dihadirkan berdasarkan kebutuhan konflik yang akan ditimbulkan. Semakin banyak peristiwa atau masalah yang dihadirkan, semakin rumit dan kompleks konflik yang akan timbul. Konflik-konflik yang timbul tersebut akan semakin berkembang dan ruwet atau kompleks hingga akhirnya mencapai puncak. Tahap rising action atau disebut juga tahap peningkatan konflik. Pada tahap ini, konflik yang mulai muncul pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan terus-menerus muncul. Konflik-konflik tersebut semakin tak terkendali dan tak dapat dihindari. Peristiwa-peristiwa dalam cerita semakin mencekam dan menegangkan. Keadaan konflik yang semakin ruwet tersebut oleh Waluyo (2002: 148) disebut complication.
22
Tahap climax merupakan puncak penggawatan. Pada tahap ini semua konflik mencapai puncaknya. Klimaks ini dilihat dari sudut tokoh utama yang menjadi pelaku atau penderita konflik utama cerita. Apabila yang mengalami puncak konflik adalah tokoh pembantu maka ini bukan disebut klimaks cerita. Pada tahap klimaks, ketegangan cerita mencapai puncak. Puncak ketegangan atau klimaks ini dapat saja terjadi lebih dari satu kali, namun klimaks utama tetaplah satu. Jumlah klimaks tersebut tergantung dari cerita yang dihadirkan. Tahap denoument disebut juga tahap penyelesaian. Konflik yang telah mencapai puncak tersebut menurun dan mengalami penyelesaian. Termasuk dalam tahap ini adalah falling action atau penurunan ketegangan yang dapat juga disebut antiklimaks. Ketegangan mengendor dan emosi yang telah mencapai puncak berangsur-angsur turun untuk mencapai batas bawah. Dalam struktur karya sastra, plot memiliki beberapa jenis. Jenis-jenis plot ialah sebagai berikut: a) Menurut Suroto (1989: 91), secara kualitatif alur dibedakan menjadi alur rapat dan alur renggang. Sedangkan scara kuantitatif, alur dibedakan menjadi alur tunggal dan alur ganda. b) Menurut Kosasih (2003: 271), ada tiga jenis alur, yaitu: (1) alur maju; (2) alur mundur; dan (3) alur campuran. c) Menurut Nurgiyantoro (2005: 153-160), dibedakan ke dalam tiga kriteria: (1) berdasarkan kriteria waktu, plot ada dua jenis, yaitu plot maju/progresif/lurus dan plot mundur/regresif/ flash back; (2) berdasarkan kriteria jumlah, ada plot tunggal dan sub-subplot; (3) berdasarkan kriteria kepadatan, plot ada dua, yaitu plot renggang/longgar dan plot rapat/padat. d) Menurut Waluyo (2002: 12), plot drama ada tiga jenis, yaitu sirkuler, linear, dan episodik. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa plot/alur adalah rangkaian peristiwa yang terbagi dalam beberapa tahap untuk menentukan jalannya cerita dari tahap permulaan hingga penyelesaian yang disusun dengan hubungan sebab akibat. Alur biasanya akan bergerak maju mengikuti jalannya cerita.
23
4) Setting Waluyo (2002: 23) menyampaikan bahwa setting sering disebut juga dengan latar cerita. Sudjiman (1988: 46) menambahkan, latar memberikan informasi mengenai situasi ruang dan tempat serta berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 216) menyebutkan bahwa setting sebagai landasan tumpu dalam sebuah cerita, mengacu pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Dari pendapat tersebut dapat pula disimpulkan, setting merupakan latar cerita yang bisa menunjukkan waktu, tempat atau keadaan dari situasi peristiwa yang terdapat dalam cerita. Sejalan dengan pendapat Suroto (1989: 94) menurutnya, setting atau latar adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa. Pengertian yang serupa disampaikan oleh Kosasih (2003: 273), yaitu latar merupakan keterangan mengenai tempat, ruang, dan waktu di dalam naskah drama. Waluyo (2002: 23) mengungkapkan: “setting memuat tiga hal, yakni tempat, waktu dan ruang. Setting tempat tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan waktu dan ruang. Misalnya, tempat di Jawa, tahun berapa, dan di dalam rumah atau luar rumah. Setting waktu merupakan penggambaran waktu terjadinya peristiwa, yaitu dapat siang, malam, pagi, atau sore hari. Sedangkan setting ruang dapat berarti di dalam ruang atau di luar dan juga dapat berupa pelukisan yang mendetail sesuai keinginan pengarang.” Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2005: 219) menyebutkan bahwa latar tidak hanya berkaitan dengan lokasi atau sesuatu yang bersifat fisik, tetapi juga yang berwujud adat istiadat, tata cara, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Nurgiyantoro (2005: 227) membagi latar menjadi tiga, yaitu latar tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggunaan latar tempat dengan namanama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Keberhasilan latar tempat ditentukan oleh ketepatan deskripsi, fungsi dan keterpaduannya dengan unsur latar yang lain sehingga semuanya bersifat saling
24
mengisi. Ketepatan, ketelitian, dan kerealistisan deskripsi tempat sangat mempengaruhi persepsi pembaca terhadap cerita. Latar waktu biasanya berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa dalam karya fiksi. Latar waktu dalam fiksi bisa menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, apalagi jika latar waktu tersebut berhubungan dengan sejarah. Nurgiyantoro (2005: 230-231) mengungkapkan bahwa penggarapan unsur sejarah menjadi sebuah karya fiksi menyebabkan waktu yang diceritakan bersifat khas, tipikal, dan menjadi sangat fungsional. Penggarapan latar waktu yang terdapat dalam cerita haruslah sesuai dengan waktu nyata. Jika terjadi ketidaksesuaian waktu peristiwa antara yang terjadi di dunia nyata dengan yang terjadi di dalam karya fiksi maka akan menyebabkan cerita tak wajar, bahkan apabila cerita tersebut tidak masuk akal pembaca akan merasa dibohongi. Inilah yang dalam fiksi disebut anakronisme, yaitu waktu dalam fiksi tidak cocok dengan urutan waktu atau sejarah dalam dunia nyata. Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta hal lain yang tergolong latar spiritual. Selain itu, latar sosial juga berhubungan dengan status tokoh yang bersangkutan. Latar sosial berperan menentukan apakah sebuah latar, khususnya latar tempat, menjadi khas dan tipikal, serta lebih fungsional. Deskripsi latar tempat harus sekaligus disertai dengan deskripsi latar sosial, tingkah laku kehidupan sosial masyarakat di tempat yang bersangkutan. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa setting atau latar adalah keseluruhan keterangan aspek lingkungan cerita, baik tempat, waktu, maupun sosial. Latar berfungsi sebagai dasar cerita, terutama mendukung penggambaran watak tokoh cerita. Tanpa adanya latar, cerita akan sulit untuk diimajinasikan dan terlihat tidak nyata atau tidak realistis. Waluyo, (2002: 198) mengemukakan tiga fungsi latar, yaitu mempertegas watak para pelaku, memberikan tekanan pada tema cerita dan memperjelas tema yang disampaikan. Berdasarkan pengungkapan tersebut, latar berhubungan erat
25
dengan perwatakan dan tema cerita. Penggambaran latar yang detail dan teliti akan mengokohkan atau memantapkan watak pelaku, mempermudah pembaca mengenali cerita, serta menegaskan eksistensi tema dalam cerita. Dengan demikian, yang dimaksud dengan setting/latar yaitu pelukisan keadaan tempat, ruang, dan waktu terjadinya peristiwa dalam cerita di naskah drama yang dapat dilihat dari deskripsi tempat, gerak-gerik tokoh atau tingkah laku, adat istiadat dan kehidupan sosial para tokoh dalam cerita. 5) Dialog Ciri khas naskah drama yaitu tersusun dari dialog-dialog para tokohnya. Dialog merupakan dominasi dari sebuah naskah drama. Suroto (1989: 94) mengungkapkan bahwa, dialog merupakan ujaran yang diucapkan tokoh dalam cerita. Dialog berperan penting dalam cerita karena dapat membantu pembaca maupun penonton untuk mengetahui karakter tokoh dan tema cerita. Dialog juga dapat membantu menggambarkan setting yang digunakan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Wirajaya & Sudarmawarti (2008: 15) menyatakan bahwa dialog merupakan percakapan yang dilakukan para pelaku dalam drama. Suroto (1989: 137) juga mengungkapkan bahwa dialog dan tingkah laku harus merupakan kesatuan yang utuh. Mayoritas drama tersusun atas dialog tokoh-tokohnya. Namun, terdapat jenis drama yang hanya memiliki satu pemain. Seorang tokoh menjalankan cerita dengan segala ekspresi dan penghayatannya terhadap karakter. Jenis drama seperti itu ialah solilokui. Pada drama solilokui tidak terdapat dialog, melainkan monolog. Monolog-monolog tersebut yang akan menentukan pemahaman penonton mengenai karakter dan alur cerita. Boulton (1983: 81) mengungkapkan bahwa dalam drama solilokui monolog yang akan dimainkan harus mengandung ekspresi dan tata bahasa yang koheren sehingga dapat mendukung cerita. Waluyo (2002: 20) menegaskan bahwa percakapan yang ditulis pengarang dalam naskah drama harus pantas untuk diucapkan di atas panggung. Tarigan (1993: 77) juga menyebutkan bahwa syarat dialog dalam suatu lakon drama yaitu dialog harus dapat mempertinggi nilai gerak dan dialog harus baik serta bernilai tinggi.
26
Ragam bahasa dialog merupakan ragam bahasa komunikatif lisan, bukan bahasa tertulis. Kosasih (2003: 271) mengemukakan bahwa tuntutan yang harus dipenuhi dalam pembuatan dialog, yautu dialog harus mendukung gerak-gerik tokoh dan lebih bermakna daripada ujaran sehari-hari. Dialog yang dilontarkan tokoh juga harus sesuai dengan perasaan yang ingin disampaikan serta mencerminkan peistiwa yang terjadi. Waluyo (2002: 21 – 22) juga menyampaikan bahwa pilihan kata dalam dialog harus sesuai dengan dramatic action. Dialog juga harus bersifat estetis, yakni memiliki nilai keindahan bahasa. Selain itu, dialog harus hidup, artinya dapat mewakili watak tokoh yang dibawakan. Namun, Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 44) berpendapat bahwa, dialog-dialog tokoh drama pada hakikatnya ialah ragam bahasa lisan yang komunikatif, bukan ragam bahasa tulis. Senada
dengan
pendapat
tersebut,
Semi
(1993:
165
–
166)
mengungkapkan bahwa ujaran mestilah menarik dan ekonomis dibandingkan dengan kenyataan sehari-hari. Menurutnya, fungsi dialog dalam drama antara lain: a) merupakan wadah penyampaian informasi kepada penonton b) menggambarkan watak dan perasaan tokoh c) menunjukkan alur cerita d) menggambarkan tema atau gagasan pengarang e) mengatur suasana dan tempo jalannya cerita. Berdasar pada uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa dialog adalah percakapan antar tokoh dalam naskah drama yang memuat isi cerita. Dialog dalam naskah drama dapat menggunakan ragam bahasa sehari-hari maupun bahasa kiasan sesuai dengan keinginan pengarang. 6) Petunjuk Teknis Petunjuk teknis disebut juga teks samping. Teks samping ini memberikan petunjuk teknis tentang tokoh, waktu, suasana pentas, suara, musik, keluar masuknya aktor dan aktris, keras lemahnya dialog, warna suara, perasaan yang mendasari dialog, dan sebagainya. Teks samping biasanya ditulis dengan huruf yang berbeda dari teks dialog. Teks samping ini berfungsi sebagai petunjuk kapan
27
tokoh harus diam, berpindah tempat atau posisi, pembicaraan pribadi, dan sebagainya. Waluyo (2002: 29) mengungkapkan bahwa manfaat adanya teks samping yaitu untuk mempermudah sutradara dalam menafsirkan naskah drama. Namun, ada beberapa naskah drama yang tidak menggunakan petunjuk teknis. Seperti pada naskah drama Hamlet (naskah drama tragedi karya William Shakespeare), sutradara atau pembaca diberi kebebasan dalam menafsirkannya. Rahmanto (1988: 95) menegaskan bahwa tidak adanya teks samping dalam suatu naskah drama dapat menjadi masalah ketika sutradara yang menggarapnya tidak mampu memahami dengan baik pesan yang ingin disampaikan oleh penulis naskah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa petunjuk teknis merupakan teks petunjuk bagi tokoh dalam drama untuk memainkan perannya, dapat berupa posisi tubuh, ekspresi, mimik, maupun pekerjaan yang sedang dilakukan. Petunjuk teknis dapat menjadi hal penting dalam suatu naskah drama apabila naskah drama tersebut akan dipentaskan. 7) Amanat Ada kalanya karya sastra dapat diambil suatu pesan moral, atau pesan yang ingin disampaikan pengarangnya. Suroto (1989: 135) menyatakan bahwa pengertian amanat mrupakan sikap penulis terhadap persoalan yang terdapat dalam naskah drama yang ingin disampaikannya kepada penikmat karya sastra. Waluyo (2002: 28) juga menyebutkan bahwa amanat bersifat kias, umum, dan subjektif, sehingga penafsiran penikmat karya sastra dapat bervariasi. Amanat dari sebuah naskah drama akan lebih mudah dipahami jika naskah tersebut dipentaskan. Amanat biasanya bertujuan untuk memberikan manfaat bagi para penikmat karya sastra tersebut. Wirajaya & Sudarmawarti (2008: 15) berpendapat bahwa amanat merupakan pesan atau pelajaran yang dapat diambil dari cerita. Wiyanto (2002: 23) juga menyampaikan bahwa amanat merupakan pesan moral yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca naskah drama atau penonton drama. Nurgiyantoro (2005: 336) mengungkapkan bahwa tidak semua amanat dapat dengan mudah diterima penikmat. Ia juga menyampaikan bahwa amanat ada yang
28
tersembunyi dan ada pula amanat yang disampaikan langsung dengan menonjolkannya dalam cerita. Jadi, dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui jalannya cerita dalam suatu naskah drama, biasanya mengandung nilai moral dan nilai pendidikan. Amanat tersebut diharapkan dapat memberi manfaat dan pesan moral bagi pembaca dalam kehidupan nyata. Penelitian yang membahas tentang struktur naskah drama pernah dilakukan oleh Devi Cintia Kasimbara (2014) berjudul “Naskah Drama Pelacur dan Sang Presiden Karya Ratna Sarumpaet (Analisis Strukur, Gender dan Nilai Pendidikan)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa naskah drama Pelacur dan Sang Presiden memiliki struktur naskah yang kuat, yaitu alur, penokohan dan perwatakan, dialog, setting, tema, amanat, serta petunjuk teknis. 2. Hakikat Analisis Struktural Karya sastra dibangun oleh berbagai unsur pembangun yang memberikan penegasan dan gambaran nyata sehingga membentuk suatu kesatuan yang indah dan bermakna. Sebuah karya sastra tidak dapat terlepas dari struktur pembangunnya, struktur dalam karya sastra harus dilihat sebagai suatu totalitas karena sebuah struktur terbentuk dari serangkaian unsur-unsurnya. Siswantoro (2010: 83-93) mengemukakan bahwa strukturalisme dalam dunia sastra lahir sebagai gerakan pemikiran yang mengarahkan kajiannya dengan berorientasi kepada model kajian liguistik struktural, yaitu mengarahkan kajiannya kepada unsur-unsur internal karya sebagai pembentuk utama struktur. Seorang pakar pendidikan berpendapat, “teori struktural adalah suatu disiplin ilmu yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya (Sangidu, 2004: 16). Sementara itu, metode analisis struktural karya sastra bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dalam karya sastra yang secara bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, dalam Sangidu: 17).
29
Nurgiyantoro (1996: 36 - 37) mengungkapkan bahwa strukturalisme sebagai suatu pendekatan yang menekankan pada kajian antarunsur pembangun karya sastra yang bersangkutan, atau disamakan dengan pendekatan objektif. Strukturalisme dalam pandangan sastra dipandang sebagai teori atau pendekatan. Endraswara (2013: 49) menambahkan bahwa hal tersebut tidak keliru, karena baik pendekatan maupun teori saling melengkapi dalam penelitian sastra. Pendekatan strukturalisme akan menjadi sisi pandang apa yang akan diungkapkan melalui karya sastra, sedangkan teori adalah analisisnya. Berdasarkan pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis struktural merupakan suatu metode pendekatan dalam penelitian sastra yang mengungkapkan dan menguraikan unsur-unsur pembangun karya sastra secara menyeluruh dan menyangkut satu kesatuan yang utuh antarunsur pembangun yang saling terkait. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Niken Yunindar Kuncoroningrum (2012) berjudul “Naskah Drama Kapai-kapai karya Arifin C. Noer:
Tinjauan Struktural,
Nilai Edukatif, dan Relevansinya terhadap
pembelajaran Apresiasi Drama di SMA”. Berdasarkan analisis data melalui pendekatan struktural, dapat disimpulkan: (1) tema dalam cerita ialah penderitaan hidup karena harapan semu, memiliki tokoh protagonis Abu, tokoh antagonis Emak dan Majikan, serta tokoh tritagonis Bulan, Yang Kelam, Iyem, Kakek, dan lain-lain, alur cerita menggunakan alur maju, setting terjadi di Jakarta antara tahun 1930 – 1980, dialog tokoh Abu merupakan dialog tak resmi, sedangkan tokoh Emak dan Kakek menggunakan bahasa resmi, serta amanat cerita yakni pentingnya pondasi agama dalam hidup; (2) tema penderitaan hidup memengaruhi munculnya tokoh Abu yang miskin, setting tempat tinggal yang tidak layak huni, alur yang berantakan, serta digunakannya dialog yang kasar karena tokoh sentral memiliki latar belakang pendidikan yang rendah; (3) nilai kultural yang muncul yakni penggunaan pantun dan lenong, nilai kesosialan ditandai dengan rasa peduli Abu terhadap Gelandangan, nilai kesusilaan yang ada, antara lain sikap patuh terhadap atasan serta pelanggaran nilai moral dengan membunuh bayi, dan nilai keagamaan yang ditunjukkan dengan petuah Kakek mengenai ajaran agama;
30
(4) naskah drama Kapai-Kapai memiliki struktur yang lengkap serta nilai edukatif yang tinggi sehingga jika direlevansikan dengan pembelajaran apresiasi drama di SMK, naskah ini dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran apresiasi drama pada kelas XI semester II. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Devi Cintia Kasimbara (2014) berjudul “Naskah Drama Pelacur dan Sang Presiden Karya Ratna Sarumpaet (Analisis Strukur, Gender dan Nilai Pendidikan)”. Hasil penelitian ini sebagai berikut: Pertama, naskah drama Pelacur dan Sang Presiden memiliki struktur naskah yang kuat, yaitu alur, penokohan dan perwatakan, dialog, setting, tema, amanat, serta petunjuk teknis. Kedua, ketidakadilan gender yang diterima oleh tokoh wanita melahirkan berbagai bentuk perjuangan gender dalam hal akses, partisipasi, dan kontrol dalam pembangunan. Dalam hal akses yaitu perjuangan Jamila dalam memperbaiki kehidupannya. Dalam hal partisipasi yaitu Jamila ikut berpartisipasi dalam melawan ketidakadilan yang dialami para pelacur di lokalisasi di tengah hutan Kalimantan, sedangkan dalam hal kontrol dalam dalam pembangunan yaitu keberanian Jamila untuk memutuskan pergi dari lokalisasi milik Bu Darno menuju kehidupan yang lebih baik. Ketiga, kritik sosial yang disampaikan pengarang, yaitu kritik terhadap perdagangan anak-anak di bawah umur, kritik terhadap permasalahan gender, kritik terhadap pemerintah, kritik terhadap organisasi massa, dan kritik terhadap tokoh agama. Keempat, nilai-nilai pendidikan yang dapat dipetik meliputi nilai pendidikan moral, nilai pendidikan religius, dan nilai pendidikan sosial. Nurgiyantoro (1996: 37) mengungkapkan bahwa analisis struktural dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan
fungsi dan
hubungan antarunsur intrinsik karya sastra tersebut, seperti bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, sudut pandang pengarang dan lain-lain, sehingga membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Selain itu, ada hal yang lebih penting, yaitu menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur itu dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai.
31
Endraswara (2003: 52) mengungkapkan, langkah-langkah yang perlu dilakukan seorang peneliti struktural sebagai berikut: (a) Membangun teori struktur yang sesuai dengan genre yang diteliti; (b) Melakukan pembacaan secara cermat, mencatat unsur-unsur struktur yang terkandung di dalamnya; (c) Unsur tema sebaiknya dilakukan lebih dahulu sebelum membahas unsur lain, karena tema akan selalu terikat langsung secara komprehensif dengan unsur lain; (d) Setelah menganalisis tema, baru analisis alur, konflik, sudut pandang, gaya bahasa, setting, dan sebagainya; (e) Semua penafsiran harus dihubungkan dengan unsur lain agar terbentuk makna yang padu; (f) Penafsiran harus dilakukan dalam keadaan sadar bahwa keterkaitan antarunsur sangat penting. Berdasarkan penjelasan tersebut, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secara cermat fungsi dan keterkaitan antarunsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan suatu kesatuan yang menyeluruh. Analisis struktural tidak hanya cukup dilakukan untuk mendata unsur tertentu sebuah karya sastra, namun yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur tersebut dan manfaat apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. 3. Hakikat Nilai Pendidikan Karakter a. Pengertian Pendidikan Karakter Karakter merupakan hal yang sangat penting dan mendasar. Karakter adalah pegangan hidup yang membedakan manusia dengan binatang atau makhluk lainnya. Manusia tanpa karakter adalah manusia yang sudah kehilangan identitas diri. Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial ialah mereka yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Mengingat pentingnya karakter, maka institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menanamkannya melalui proses pembelajaran. Rizal (dalam Agus Wibowo, 2012: 36) berpendapat bahwa, karakter dalam diri seseorang itu pada dasanya sulit diubah. Namun demikian, lingkungan dapat menguatkan atau memperlemah karakter tersebut. Senada dengan Rizal, Taryana & Rinaldi (dalam Agus Wibowo, 2012: 36) juga mengemukakan bahwa karakter tersebut terbentuk dari proses meniru, yaitu melalui proses melihat, mendengar dan mengikuti maka karakter sesungguhnya dapat diajarkan secara sengaja.
32
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa karakter pada dasarnya sulit diubah, namun karakter dapat dirancang sedemikian rupa tergantung dengan kondisi lingkungan di sekitar. Kemendiknas (dalam Agus Wibowo, 2012: 36) menyampaikan bahwa karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues), yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Karakter (character) mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivation), dan keterampilan (skill). Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal
dan emosional
yang memungkinkan seseorang
berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha melakukan hal yang terbaik. Dari berbagai definisi tentang karakter yang telah dijabarkan diatas, dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan sikap seseorang yang pada dasarnya sulit untuk dirubah karena itu adalah watak dasar dari seseorang, namun karakter dapat dirancang dan dibentuk sedemikian rupa melalui lingkungan untuk bisa memperkuat pembentukan karakter yang baik. Salah satu usaha dalam proses pembentukan karakter yang baik adalah melalui lingkungan pendidikan. Pendidikan adalah sarana yang tepat untuk memperkuat pembentukan karakter. Karena itulah, pendidikan di Indonesia sekarang ini diperkuat dengan adanya pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah usaha yang disengaja untuk mengembangkan karakter yang baik berdasarkan nilai-nilai inti yang baik untuk individu dan baik
33
untuk masyarakat. Menurut T. Ramli (dalam Agus Wibowo, 2012: 39) mengungkapkan bahwa, pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral atau pendidikan akhlak. Tujuannya untuk membentuk pribadi peserta didik agar menjadi pribadi yang lebih baik, menjadi warga masyarakat yang baik, dan menjadi warga negara yang baik. Buchori dan Dwi Setyawati (dalam penelitannya “Development Learning Model of Character Education Through E-comic in Elementary School”: 2015) menyatakan, “The character education has been become a concern to many countries in order to prepare next generation of quality, just not benefit individual citizens, but also for citizens as a all.” Artinya, “Pendidikan Karakter menjadi sorotan di banyak negara untuk menyiapkan generasi berkualitas, tidak hanya untuk kepentingan individu, tetapi juga seluruh masyarakat.” Dapat dikatakan bahwa, pendidikan karakter merupakan cara untuk mempersiapkan generasi muda agar menjadi generasi yang berkualitas tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga mampu memberikan manfaat kepada orang lain terutama bangsa dan negara. Sementara Kemendiknas (dalam Agus Wibowo, 2012: 40) menyatakan: “pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa pada diri peserta didik, sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang religious, nasionalis, produktif dan kreatif.” Pendidikan karakter secara esensial, yaitu mengembangkan moral (building moral intelligence) atau mengembangkan kemampuan moral anak-anak. Cara menumbuhkan karakter yang baik dalam diri anak didik adalah dengan membangun kecerdasan moral. Kecerdasan moral adalah kemampuan memahami hal yang benar dan yang salah, artinya memiliki keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut. Berdasarkan berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah menumbuhkan karakter moral yang baik dan pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian
generasi
muda
sebagai
generasi
penerus
bangsa
yang
34
bertanggungjawab dan berakhlak mulia serta bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara. b. Pengertian Nilai Pendidikan Karakter Zubaedi (2011: 72) mengemukakan bahwa pendidikan karakter di Indonesia didasarkan pada sembilan pilar karakter dasar. Karakter dasar menjadi tujuan utama pendidikan karakter. Kesembilan pilar karakter dasar ini, antara lain: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya tanggung jawab, disiplin, dan mandiri jujur hormat dan santun kasih sayang, peduli, dan kerja sama percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah keadilan dan kepemimpinan baik dan rendah hati toleransi, cinta damai, dan persatuan.
Pendidikan karakter dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu, pendidikan karakter pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia diidentifikasi berasal dari empat sumber. Seperti yang dikutip dari Buku Agus Wibowo yang berjudul “Pendidikan Karakter Berbasis Sastra” bahwa pendidikan karakter di Indonesia diidentifikasi berasal dari empat sumber, yaitu agama, pancasila, budaya, dan Tujuan Pendidikan Nasional. Berikut penjelasannya. a) Agama Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan masyarakat di Indonesia selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaan. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilainilai yang berasal dari agama. Karenanya, nilai-nilai pendidikan karakter harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama. b) Pancasila Pancasila terdapat pada pembukaan UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut ke dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilainilai yang terkandung dalam pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni.
35
Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara. c) Budaya Nilai budaya ini dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. d) Tujuan Pendidikan Nasional Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negra yang demokratis dan bertanggung jawab. Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan karakter, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Nilai-nilai pendidikan karakter tersebut akan dijabarkan dalam tabel berikut. Tabel 2.1 Nilai Pendidikan Karakter No
Nilai
1
Religius
Deskripsi Sikap
dan
perilaku
yang
patuh
dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2
Jujur
Perilaku
yang
didasarkan
pada
upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
36
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3
Toleransi
Sikap
dan
tindakan
yang
menghargai
perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4
Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5
Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6
Kreatif
Berpikir
dan
melakukan
sesuatu
untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7
Mandiri
Sikap
dan
tergantung
perilaku pada
yang orang
tidak
mudah
lain
dalam
menyelesaikan tugas-tugas. 8
Demokratis
Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9
Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu
yang
dipelajarinya,
dilihat,
dan
didengar. 10
Semangat
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
Kebangsaan
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11
Cinta Tanah Air
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
37
menunjukkan
kesetiaan,
kepedulian,
dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. 12
Menghargai
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
Prestasi
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13
Bersahabat/
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
Komunikatif
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14
Cinta Damai
Sikap sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15
Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16
Peduli
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
Lingkungan
mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17
Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan
18
Tanggung Jawab
Sikap
dan
perilaku
seseorang
untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
38
Penelitian yang menganalisis tentang pendidikan karakter pada karya sastra pernah dilakukan oleh Zalmasri, Thahar dan Ngusman (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Naskah Drama Anak Kerajaan Burung Karya Saini KM dan Naskah Drama Anak Neng Nong Karya M. Udaya Syamsudin” Hasil penelitian menunjukkan bahwa naskah drama tersebut mengandung nilai pendidikan karakter diantaranya Religius, Kejujuran, Demokratis, Toleransi, Cinta damai, dan Bersahabat/komunikatif. 4. Hakikat Materi Ajar a. Pengertian Materi Ajar Salah satu faktor penting yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan adalah kemampuan dan keberhasilan guru merancang materi pembelajaran. Materi pembelajaran pada hakikatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari silabus, yakni perencanaan, prediksi dan proyeksi tentang apa yang akan dilakukan pada saat kegiatan pembelajaran. Panen (2001: 21) menyatakan bahwa materi ajar merupakan bahan-bahan atau materi pelajaran yang disusun secara sistematis, yang digunakan guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Ismawati (2013: 39) berpendapat bahwa materi ajar merupakan sesuatu yang mengandung pesan yang akan disajikan dalam proses pembelajaran, bahan ajar yang dikembangkan harus sesuai dengan tujuan pembelajaran. Nurdin (2010: 2) mengungkapkan bahwa materi ajar merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran yang memegang peranan penting dalam membantu peserta didik mencapai Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Secara garis besar, materi pembelajaran berisikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau nilai yang harus dipelajari peserta didik. Pendapat lain dikemukakan oleh Abdul Gafur (dalam Nurdin, 2010: 2) yang menyatakan bahwa
materi
ajar
(instructional
materials)
merupakan
pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang harus diajarkan oleh guru dan dipelajari peserta didik.. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa materi ajar merupakan komponen pembelajaran yang digunakan oleh guru sebagai bahan
39
belajar bagi siswa dan membantu guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Materi ajar yang ditentukan untuk kegiatan pembelajaran hendaknya materi yang benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar,serta tercapainya indikator. Terkait dengan penelitian analisis struktural dalam naskah drama Lautan Bernyanyi karya Putu Wijaya ini haruslah disesuaikan dengan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) yang terdapat dalam silabus mata pelajaran bahasa Indonesia pada kurikulum 2013. Silabus merupakan rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup KI, KD, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Dalam mengembangkan silabus, terdapat delapan prinsip, yaitu: (1) ilmiah, (2) relevan, (3) sistematis, (4) konsisten, (5) memadai, (6) aktual dan kontekstual, (7) fleksibel serta (8) menyeluruh. Yang dimaksud dengan bahan ajar yang relevan adalah bahan ajar yang memiliki cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spritual peserta didik (Depdiknas, 2006: 14 – 15). Adapun jenis materi ajar atau bahan ajar dibedakan atas beberapa kriteria pengelompokan. Menurut Koesnandar (2008: 36), jenis bahan ajar berdasarkan subjeknya terdiri dari dua jenis antara lain: 1) bahan ajar yang sengaja dirancang untuk belajar, seperti buku, handouts, LKS dan modul 2) bahan ajar yang tidak dirancang namun dapat dimanfaatkan untuk belajar, misalnya kliping, koran, film, iklan atau berita. Koesnandar juga menyatakan bahwa jika ditinjau dari fungsinya, maka bahan ajar yang dirancang terdiri atas tiga kelompok yaitu bahan presentasi, bahan referensi, dan bahan belajar mandiri. Berdasarkan teknologi yang digunakan, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas (2008: 11) mengelompokkan bahan ajar menjadi empat kategori, yaitu bahan ajar cetak (printed) antara lain handout, buku, modul, lembar kegiatan
40
siswa, brosur, leaflet, wallchart, foto/gambar, dan model/maket. Bahan ajar dengar (audio) antara lain kaset, radio, piringan hitam, dan compact disk audio. Bahan ajar pandang dengar ( audio visual) seperti video compact disk, dan film. Bahan ajar multimedia interaktif (interactive teaching material) seperti CAI (Computer Assisted Instruction), compact disk (CD) multimedia pembelajaran interaktif dan bahan ajar berbasis web (web based learning material). Begitu pula dengan Pengembangan Bahan Ajar, pengembangan suatu bahan ajar harus didasarkan pada analisis kebutuhan siswa. Terdapat sejumlah alasan mengapa perlu dilakukan pengembangan bahan ajar, seperti yang disebutkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas (2008: 8-9) sebagai berikut. 1) Ketersediaan bahan sesuai tuntutan kurikulum, artinya bahan belajar yang dikembangkan harus sesuai dengan kurikulum 2) Karakteristik sasaran, artinya bahan ajar yang dikembangkan dapat disesuaikan dengan karakteristik siswa sebagai sasaran, karakteristik tersebut meliputi lingkungan sosial, budaya, geografis maupun tahapan perkembangan siswa 3) Pengembangan bahan ajar harus dapat menjawab atau memecahkan masalah atau kesulitan dalam belajar. Dengan
demikian,
pengembangan
bahan
ajar
di
sekolah
perlu
memperhatikan karakteristik siswa dan kebutuhan siswa sesuai kurikulum, yaitu menuntut adanya partisipasi dan aktivasi siswa lebih banyak dalam pembelajaran. Materi ajar menempati posisi yang sangat penting dari keseluruhan kurikulum, yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran dapat mencapai tujuan. Tujuan tersebut harus sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh peserta didik. Artinya, materi yang ditentukan untuk kegiatan pembelajaran hendaknya materi yang benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta tercapainya indikator. b. Ciri – Ciri Materi Ajar yang Baik Pemilihan materi ajar perlu mendapatkan perhatian dan persiapan yang cermat. Hal ini karena dalam melaksanakan pembelajaran guru bertanggung jawab sepenuhnya mengenai materi ajar yang akan disampaikan kepada peserta
41
didik. Materi ajar yang baik harus relevan dengan kebutuhan peserta didik sehingga ada kebermanfaatannya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Badan Standar Nasional Pendidikan Tahun 2006 mengidentifikasi materi pembelajaran
yang
baik
untuk
menunjang
kompetensi
dasar
harus
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: (1)Potensi peserta didik, (2) relevansi dengan karakteristik daerah, (3) tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual peserta didik; (4) kebermanfaatan bagi peserta didik, (5) struktur keilmuan, (6) aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran; dan (7) relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan. Ismawati (2013: 38) membagi prinsip-prinsip pengembangan materi ajar menjadi sembilan, yaitu: 1) berorientasi pada tujuan, pengembangan bahan ajar dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan kurikulum mencapai jenjang tertentu dengan empat aspek, yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilainilai; 2) relevansi, dalam pengembangan bahan ajar meliputi tujuan, isi, dan sistem yang harus sesuai dengan kebutuhan siswa, kondisi masyarakat, dan sejalan dengan perkembangan ipteks; 3) efisien dan efektivitas, maksudnya dari segi waktu dana, SDM yang dapat mencapai hasil yang optimal; 4) fleksibilitas, maksudnya mudah disesuaikan, diubah, dilengkapi, dikurangi, ditambah sesuai kebutuhan, tidak statis dan kaku; 5) kontinuitas (kesinambungan), artinya bahan ajar disusun berkesinambungan, berurutan, dan memiliki pertalian fungsional. Bahan ajar tidak terlepas-lepas atau seolah-olah berdiri sendiri; 6) keseimbangan antara program dan subprogram, antara aspek-aspek perilaku yang ingin dikembangkan (pengetahuan, keterampilan, dan sikap). Keseimbangan teori dan praktik; 7) keterpaduan, maksudnya keterpaduan dalam proses pembelajaran yang mencakup interaksi antarsiswa dan guru. Keterpaduan teori dan praktik; 8) mutu, artinya bahan ajar berorientasi pada pendidikan mutu. Pembelajaran bermutu ditentukan oleh kualitas guru, kualitas kegiatan belajar mengajar, peralatan dan sarana yang ada; serta 9) adekuasi (kecukupan), artinya materi dalam bahan ajar cukup untuk mencapai kompetensi dasar yang ditetapkan. Dalam pengajaran sastra, Sarumpaet (2012: 138–139) mengatakan bahwa kriteria pemilihan materi ajar meliputi: (1) Materi tersebut valid untuk mencapai tujuan pengajaran sastra; (2) Bahan tersebut bermakna dan bermanfaat jika ditinjau
42
dari kebutuhan peserta didik (kebutuhan pengembangan insting, etis, estetis, imajinasi, dan daya tarik); (3) Materi ajar berada dalam batas keterbacaan dan intelektuas peserta didik. Artinya materi tersebut dapat dipahami, ditanggapi, diproses, peserta didik sehingga mereka merasa pengajaran sastra merupakan pengajaran yang menarik, bukan pengajaran yang berat; (4) materi berupa bacaan berupa karya sastra haruslah berupa karya sastra yang utuh, bukan sinopsisnya saja karena sinopsis itu hanya berupa problem kehidupan tanpa diboboti nilai-nilai estetika yang menjadi pokok atau inti karya sastra. Seperti halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Annisa Rakhmawati (2015) berjudul “Analisis Wacana Tekstual dan Kontekstual Naskah Drama Matahari di Sebuah Jalan Kecil Karya Arifin C. Noor Serta Relevansinya Sebagai Bahan Ajar di Sekolah Menengah Atas”, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa naskah drama Matahari di Sebuah Jalan Kecil memiliki potensi untuk digunakan dan dikembangkan sebagai bahan ajar pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas. Hal ini terlihat dari kesesuaian naskah dengan kompetensi dasar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang ada di tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas. Tidak hanya kesesuaian dengan kompetensi dasar, naskah ini juga memiliki banyak nilai pendidikan yang baik jika diajarkan dalam pembelajaran di SMA. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam memilih materi ajar guru harus mempertimbangkan beberapa kriteria materi ajar yang baik. Adapun kriteria tersebut yaitu memiliki kesesuaian dengan tujuan pembelajaran, potensi peserta didik, sesuai dengan karakteristik dan budaya Indonesia, sesuai dengan intelektual peserta didik, memiliki keaktualitasan, kedalaman dan keluasan
materi,
memiliki
tingkat
keterbacaan
yang
baik,
memiliki
kebermanfaatan dan memiliki kesesuaian terhadap tujuan pembelajaran sastra. 5. Pembelajaran Resensi Drama di SMK a. Pengertian Pembelajaran Pembelajaran merupakan hal yang tidak terpisahkan dari proses pendidikan. Sudjana (2004 : 28) menyebutkan bahwa pembelajaran merupakan setiap upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik yang dapat menyebabkan peserta didik melakukan kegiatan belajar. Pembelajaran merupakan
43
interaksi yang ditujukan pada perubahan peserta didik ke arah yang lebih baik. Pembelajaran memberikan pengalaman belajar bagi peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan oleh guru, baik pada ranah kognitif, psikomotorik, maupun afektif. Menurut Syaiful Sagala (2009: 61) pembelajaran adalah “membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan”. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah. Mengajar dilakukan pihak guru sebagai pendidik., sedangkan belajar oleh peserta didik. Pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seeorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku dalam kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Undang-Undang
Sistem
Pendidikan
Nasional
No.
20
Tahun
2003 menyatakan “pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkontruksikan pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran. Menurut Oemar Hamalik (2006: 239) pembelajaran adalah “suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran”. Dari teori-teori yang dikemukakan banyak ahli tentang pembelajaran, Oemar Hamalik mengemukakan 3 (tiga) rumusan yang dianggap lebih maju, yaitu: 1) Pembelajaran
adalah
upaya
mengorganisasikan
lingkungan
untuk
menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik. 2) Pembelajaran adalah upaya mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga masyarakat yang baik. 3) Pembelajaran adalah suatu proses membantu siswa menghadapi kehidupan masyarakat sehari-hari.
44
Dalam istilah ”pembelajaran” lebih dipengaruhi oleh perkembangan hasilhasil teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan belajar, siswa diposisikan sebagai subyek belajar yang memegang peranan utama sehingga dalam setting proses mengajar siswa dituntut beraktifitas secara penuh, bahkan secara individual mempelajari bahan pelajaran. Dengan demikian, kalau dalam istilah “mengajar” (pengajaran) atau “teaching” menempatkan guru sebagai “pemeran utama” memberikan informasi, maka dalam “instruction” guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator dan manager berbagai sumber dan fasilitas untuk dipelajari siswa. Pembelajaran
disimpulkan
sebagai
upaya
untuk
melatih
dan
mempersiapkan peserta didik untuk mengubah perilaku peserta didik menjadi lebih baik. Perubahan dalam kemampuan, sikap, atau perilaku siswa yang relatif permanen sebagai akibat dari pengalaman atau pelatihan agar nantinya peserta didik mampu menjadi warga masyarakat yang baik. b. Pembelajaran Resensi Drama di SMK Ada banyak cara, kiat, strategi dan metode yang bisa digunakan untuk menginternalisaskan pendidikan karakter. Mata pelajaran Bahasa Indonesia bisa menjadi sarana menginternalisasikan pendidikan karakter sesuai dengan cakupan dan keluasan masing-masing. Pada pembahasan kali ini, peneliti merasa tertarik untuk menguraikan internalisasi pendidikan melalui pengajaran sastra. Menurut Suhardini Nurhayati (dalam Agus Wibowo, 2013: 19) mengungkapkan bahwa pengajaran sastra memiliki pertautan erat dengan pendidikan karakter, karena pengajaran sastra dan sastra pada umumnya secara hakiki membicarakan nilai hidup dan kehidupan-yang mau tidak mau berkaitan langsung dengan pembentukan karakter manusia. Sastra dalam pendidikan anak bisa
berperan
mengembangkan
aspek
kognitif,
afektif,
psikomotorik,
mengembangkan kepribadian dan mengembangkan pribadi sosial. Edi Firmansyah (dalam Agus Wibowo, 2013: 20) juga berpendapat bahwa sastra bukan hanya berfungsi sebagai agen pendidikan namun juga sebagai pembentuk pribadi seseorang dan memupuk kehalusan adab dan budi kepada individu serta masyarakat agar menjadi masyarakat yang berperadaban.
45
Suwarsih Madya (dalam Agus Wibowo, 2013: 24) mengungkapkan bahwa banyak kelas-kelas bahasa dan sastra dianggap kurang menarik bagi anak didik karena pendekatannya kurang tepat. Bahasa dan sastra selama ini diperlakukan sebagai pengetahuan sehingga kurang melibatkan anak didik. Ditambahkannya, para guru bahasa dan sastra tidak berupaya membuat pembelajaran menarik bagi anak didik. Karena itu, diperlukan upaya agar anak didik merasa bangga terhadap bahasa nasionalnya. Pengajaran bahasa/sastra di sekolah, juga hanya mampu membentuk anak didik terampil dalam komunikasi wicara, tutur atau lisan. Keterampilan ini juga masih mendominasi kultur kehidupan masyarakat kita. Salah satu pembelajaran sastra yang diajarkan di SMK pada kurikulum 2013 ini adalah pembelajaran drama. Dalam mempelajari drama, siswa siswa tidak hanya melakukan pementasan saja, namun juga harus melakukan apresiasi terhadap teksnya. Seperti yang disampaikan oleh Herman J. Waluyo (2003: 153) bahwa pengajaran drama di sekolah bisa ditafsirkan menjadi dua macam, yaitu pengajaran teori tentang teks (naskah) drama dan pengajaran teori tentang pementasan drama. Lebih lanjut Herman J. Waluyo mengutarakan bahwa suasana kondusif dalam pembelajaran drama memang harus selalu diciptakan. Suasana kondusif di sini berarti bahwa siswa perlu diberi ruang untuk mengapresiasi naskah drama dengan baik dan sungguh-sungguh. Diperlukan peran guru dan sekolah, misalnya untuk menyediakan naskah-naskah drama dan waktu luang untuk berdiskusi secara khusus untuk menganalisis nilai-nilai yang ada pada naskah drama itu. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang terdapat dalam kurikulum 2013 adalah resensi teks drama, sehingga dapat disimpulkan bahwa kegiatan mengapresiasi drama dalam kurikulum ini salah satunya dengan merensi teks drama dan mampu menilai struktur isi teks drama secara keseluruhan. c. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pembelajaran Resensi Drama di SMK Berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMA/SMK, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (2006: 260) menyatakan bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk
46
meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indoensia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia ini diharapkan: (1) Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri; (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar; (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya; (4) orang tua dan masyarakat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program berbahasa dan bersastra di sekolah; (5) sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kehasna daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional (BNSP, 2006 : 260) Berikut ini beberapa Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pembelajaran resensi drama di SMK yang sesuai dengan Kurikulum 2013 yang berkaitan dengan sastra, khususnya naskah drama. Pembelajaran resensi drama di dalam Kurikulum 2013 dilaksanakan di kelas XI semester genap. Menurut Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang telah diatur BNSP, pada semester dua pembelajaran resensi drama siswa diharapkan mampu memahami unsur-unsur drama, kelebihan drama, serta nilai pendidikan karakter yang terdapat didalamnya. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukardi (2006) bejudul ”Pembelajaran Menulis Resensi dan Teks Drama di Sekolah Menengah Atas” penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran menulis drama dilakukan dengan cara menceritakan ringkasan isi drama, mnganalisis unsur-unsur intrinsik drama, dan menulis resensi drama. Dengan demikian, siswa diharapkan mampu memahami naskah drama secara keseluruhan kemudian mampu menuliskan resensi drama sesuai dengan kriteria yang diajarkan.
47
Tabel 2.2 KI dan KD Pembelajaran Resensi Drama SMA/SMK Kelas XI Semester II Kurikulum 2013 Kompetensi Inti 3. Memahami, menerapkan, dan
Kompetensi Dasar 3.1 Memahami struktur dan kaidah
menganalisis pengetahuan faktual,
teks cerita pendek, pantun,
konseptual, prosedural, dan
cerita ulang, eksplanasi
metakognitif berdasarkan rasa ingin
kompleks, dan ulasan/review
tahunya tentang ilmu pengetahuan,
film/drama baik melalui lisan
teknologi, seni, budaya, dan humaniora
maupun tulisan.
dengan wawasan kemanusiaan,
3.3 Menganalisis teks cerita
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban
pendek, pantun, cerita ulang,
terkait penyebab fenomena dan
eksplanasi kompleks, dan
kejadian, serta menerapkan
ulasan/review film/drama baik
pengetahuan prosedural pada bidang
melalui lisan maupun tulisan
kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Atas (SMA) / Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) untuk kelas XI Semester II Kurikulum 2013. Pembelajaran resensi drama di dalam Kurikulum 2013 dilaksanakan di kelas XI. Menurut Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar dalam Kurikulum 2013 tujuan pembelajaran resensi drama adalah (1) siswa mampu mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami, menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan ulasan/review film/drama baik secara lisan maupun tulisan; dan (2) siswa mampu mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam mengolah, menalar, dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan ulasan/review film/drama baik secara lisan maupun tulisan.
48
B. Kerangka Berpikir Pembelajaran sastra khususnya resensi teks drama di SMK selama ini kurang mendapat perhatian. Dalam pemilihan bahan ajar, masih banyak guru yang kurang
memperhatikan
kesesuaian
antara
bahan
ajar
dengan
tingkat
perkembangan peserta didik. Padahal, SMK merupakan sekolah menengah yang berorientasi langsung dengan dunia kerja sehingga pemilihan bahan ajar yang baik berpengaruh pada output peserta didik. Dengan pendidikan karakter yang diajarkan sejak masih sekolah, ketika mereka nanti memasuki dunia kerja dengan usia yang masih cukup muda, diharapkan mereka mampu menjadi pribadi yang kreatif, inovatif, pekerja keras, jujur, dan bertanggung jawab. Apalagi mereka sebagai generasi muda diharapkan mampu untuk menjadi generasi yang lebih jujur dan lebih berkarakter dalam memasuki dunia global ini. Salah satu kiat dan stategi yang bisa diterapkan untuk mengembangkan dan menumbuhkan karakter yang baik dan pendidikan moral yang baik dalam pelajaran bahasa Indonesia ini adalah dengan pengajaran apresiasi karya sastra drama dalam materi ajar resensi drama. Pemilihan naskah drama sebagai materi ajar pengajaran sastra hendaknya memperhatikan aspek kesesuaian dengan potensi siswa serta sesuai dengan tujuan pembelajaran. Naskah drama yang akan dibahas pada penelitian ini adalah naskah drama Lautan Bernyanyi karya Putu Wijaya. Dalam naskah drama tersebut juga banyak mengandung nilai pendidikan karakter. Namun, untuk dapat mengetahui nilai pendidikan yang terdapat dalam naskah drama tersebut harus melakukan identifikasi struktur naskah drama terlebih dahulu. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam naskah drama diharapkan dapat sesuai dengan nilai-nilai karakter yang dirancang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu: Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif, Cinta damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial dan Tanggung jawab. Selanjutnya, dari analisis struktural dan nilai pendidikan tersebut akan dianalisis relevansi naskah drama Lautan Bernyanyi karya Putu Wijaya sebagai materi ajar resensi drama di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
49
Skema kerangka berpikir dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut: Analisis Struktural
Karya Sastra Naskah Drama Lautan Bernyanyi karya Putu Wijaya
Analisis unsur intrinsik naskah drama: tema, alur, latar/setting, tokoh/penokohan, sudut pandang, petunjuk teknis, dan amanat.
Keterjalinan antar unsur naskah drama: Tema-Penokohan, Tema-Alur, penokohan-alur, penokohan-Setting, penokohan-dialog, petunjuk teknisdialog dan penokohan, amanat-unsur lain.
Nilai pendidikan karakter: 1. Religius; 2. Jujur; 17. Peduli Sosial; 3. Toleransi; 18. Tanggung jawab. 4. Disiplin; 5. Kerja Keras; 6. Kreatif; 7. Mandiri; 8. Demokratis; 9. Rasa Ingin Tahu; 10. Semangat Kebangsaan; 11. Cinta Tanah Air; 12. Menghargai Prestasi; 13. Bersahabat/ Berkomunikasi 14. Cinta Damai; 15. Gemar Membaca; 16. Peduli Lingkungan;
Relevansi dengan Materi Ajar di SMK
Simpulan Gambar 2.1 Kerangka Berpikir