BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Nilai-nilai Kearifan Lokal a. Pengertian Kearifan Lokal Seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat, kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan,tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan untuk pedoman bangsa Indonesia belajar. Sedangkan menurut pendapat Ki Hajar Dewantara, kebudayaan adalah buah budi manusia, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat) dalam perjuangan mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada akhirnya bersifat tertib dan damai. Kebudayaan berganti wujudnya karena pergantian alam dan jaman. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa kebudayaan sifatnya dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan jaman (Moertjipto, dkk, 1997: 1). Bangsa Indonesia dewasa ini sedang melaksanakan pembangunan baik pembangunan fisik maupun rohani. Disisi lain mengembangkan pula kebudayaan nasional dengan menghadapi pergeseran nilai-nilai. Namun yang menjadi masalah adalah dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi, nilai-nilai lama yang semula menjadi acuan suatu
kelompok masyarakat akan menjadi goyah akibat masuknya nilai baru dari luar. Hal ini menyebabkan nilai-nilai lama yang menjadi pedoman hidup dan pranata sosial milik masyarakat menjadi pudar (Moertjipto, dkk, 1997: 2). Nilai dalam hubungan sosial-budaya berkenaan dengan “harga kepantasan” atau “harga kebaikan”, yang dapat dikatakan “penting” dan “tidak penting”, ataupun “mendalam” dan “dangkal”, tetapi kualifikasi tersebut tak dapat diukur secara kuantitatif (Edy Sedyawati, 2007: 254). Nilai budaya adalah hal-hal yang dianggap baik, benar dan atau pantas, sebagaimana disepakati di dalam masyarakat. Jadi, nilai budaya itu dirumuskan dalam kebudayaan dan dilaksanakan di dalam masyarakat, dan terungkap di dalam pengarahan diri ataupun di dalam interaksi, langsung maupun tidak langsung, antarwarga masyarakat, dalam berbagai jenis kegiatannya. Pengarahan diri yang dipandu oleh nilai-nilai budaya itu mengacu kepada keberterimaan di dalam masyarakat. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya dengan sendirinya bersifat sosial-budaya (Edy Sedyawati, 2007: 254). Pakar-pakar Antropologi menggolongkan nilai-nilai budaya itu di atas 5 (lima) jenis yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan 5 (lima) hal, yaitu: 1. Tuhan atau “Yang Adikodrati”; 2. Alam;
3. Sesama manusia; 4. Kerja; dan 5. Waktu. Masing-masing dari kelima golongan nilai budaya itu tentu dapat dijabarkan ke dalam banyak rincian, dan jumlahnya dapat berbeda-beda diantara berbagai kebudayaan. Meskipun nilai-nilai tersebut dalam analisis dapat dipilah-pilah, namun dalam kenyataan penghayatannya di dalam masyarakat mendapat keterjalinan satu sama lain. Adapun dalam wacana Etika, istilah “nilai” menyatakan sesuatu yang pada dirinya sendiri terdapat keberartian, atau sesuatu yang berharga (Edy Sedyawati, 2007: 254-255). Sedangkan kearifan berasal dari kata arif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arif memiliki dua arti, yaitu tahu atau mengetahui. Arti kedua cerdik, pandai dan bijaksana. Kata arif yang jika ditambah awalan “ke” dan akhiran “an” menjadi kearifan berarti kebijaksanaan, kecendekiaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam berinteraksi. Melayani orang, adalah orang yang mempunyai sifat ilmu yaitu netral, jujur dan tidak mempunyai kepentingan antara, melainkan semata-mata didasarkan atas nilai-nilai budaya dan kebenaran sesuai ruang lingkupnya. Kata lokal, yang berarti tempat atau pada suatu tempat atau pada suatu tempat tumbuh, terdapat, hidup sesuatu yang mungkin berbeda dengan tempat lain atau terdapat di suatu tempat yang bernilai yang mungkin
berlaku setempat atau mungkin juga berlaku universal (Muin Fahmal, 2006: 30-31). Dalam bentangan Indonesia baru dewasa ini, maka yang dimaksud dengan kebudayaan “lokal” mestinya lebih tepat disebut kebudayaan “subbangsa” atau “suku-bangsa”. Memang pada umumnya suatu suku bangsa (golongan etnik) itu mempunyai suatu “tanah asal” tertentu di Indonesia ini, yang bisa meliputi wilayah yang kecil sampai ke yang sangat luas, atau yang „bercabang-cabang‟ (Edy Sedyawati, 2006:381). Kearifan lokal diartikan sebagai “kearifan dalam kebudayaan tradisional” suku-suku bangsa. Kearifan dalam arti luas tidak hanya berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika. Dengan pengertian tersebut maka yang termasuk sebagai penjabaran “kearifan lokal” adalah berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya. Dalam arti yang luas itu maka diartikan, “kearifan lokal” itu terjabar dalam seluruh warisan budaya, baik yang tangible maupun yang intangible (Edy Sedyawati, 2006:382). Wacana seputar local wisdoms atau kearifan lokal, biasanya selalu disandingkan dengan wacana perubahan, modernisasi, dan relevansinya. Hal ini bisa dimaklumi sebab wacana diseputar kearifan lokal pada prinsipnya berangkat dari asumsi yang mendasar bahwa, nilai-nilai asli, ekspresi-ekspresi kebudayaan asli dalam konteks geografis dan kultural
dituntut
untuk
mampu
mengekspresikan
dirinya
ditengah-tengah
perubahan. Pada sisi lain ekspresi kearifan lokal tersebut juga dituntut untuk mampu merespons perubahan-perubahan nilai dan masyarakat. Kearifan lokal itu tidak ingin hilang dari peredaran nilai sebuah masyarakat. Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilainilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal seperti tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup (Nasiwan, dkk, 2012: 159). Menurut Wales, sebagaimana dikutip oleh Nasiwan, dkk (2012: 16) kearifan lokal dapat dilihat dari dua perspektif yang saling bertolak belakang. Yakni extreme acculturation dan a less extreme acculturation. Extreme acculturation memperlihatkan bentuk-bentuk tiruan suatu budaya yang tanpa adanya proses evolusi budaya dan akhirnya memusnahkan bentuk-bentuk budaya tradisional. Sedangkan less extreme acculturation adalah proses akulturasi yang masih menyisakan dan memperlihatkan local genius adanya. Yakni adanya unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan dan bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan
unsur-unsur
budaya
dari
luar
serta
mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli. Selebihnya, nilai-nilai kearifan lokal mempunyai kemampuan untuk memegang pengendalian serta memberikan arah perkembangan kebudayaan. Dengan demikian tepatlah dikatakan bahwa kebudayaan merupakan manifestasi kepribadian
suatu masyarakat. Artinya identitas masyarakat tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam pola serta sikap hidup yang diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari, serta dalam gaya hidup yang mewarnai peri kehidupannya. Kedudukan lokal genius ini sangat signifikan dalam konteks sebuah eksistensi kebudayaan suatu masyarakat atau kelompok. Hal ini disebabkan karena merupakan kekuatan yang mapu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa yang akan datang. Hilangnya atau pudarnya local genius, berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedang kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian masyarakat tersebut. Menurut Edi Sedyawati (2006: 412) setiap masyarakat tradisional, yang dalam kasus Indonesia itu berarti setiap suku bangsa, mempunyai kekhasannya dalam cara-cara pewarisan nilai-nilai budayanya. Pada masa Jawa Kuno, yaitu ketika bahasa Jawa Kuno digunakan sebagai bahasa resmi dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat berbagai kegiatan pendidikan yang dapat diketahui dari data artefaktual maupun tekstual. Kegiatan pendidikan disini adalah dalam arti luas, yakni yang bersifat formal, nonformal, dan informal. Yang disebut pendidikan formal pada masa kini adalah yang ditandai oleh kurikulum yang jelas, serta sistem evaluasi yang jelas juga baku. Disamping itu untuk setiap program dan jenjang studi diberikan keterangan tanda tamat belajar, baik berupa ijazah
maupun diploma. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan nonformal adalah tidak diikat oleh keketatan masa studi maupun kurikulum yang standar. Sedangkan pendidikan informal tidak diikat oleh batas-batas waktu maupun tingkatan, dan tujuannya adalah untuk secara umum memberikan informasi ataupun menanamkan watak, moral maupun nilainilai budaya ataupun keagamaan. Segala peremuan insidental, maupun segala sesuatu yang disampaikan melalui media massa dapat tergolong kategori ini. Pada masa Jawa Kuno, saran pendidikan informal ini dapat dicontohkan oleh ajaran-ajaran yang disampaikan melalui rangkaian relief di candi-candi, pembacaan karya sastra, pertunjukan teater, maupun pelaksanaan upacara-upacara yang mengandung makna sosial religius. b. Kearifan Lokal dalam Pelaksanaan Pemerintahan Menurut Laica Marzuki, sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 31) di dalam kaidah-kaidah hukum (rechtnormen) dibangun nilainilai etika hukum (values of legal ethic) yang nilai kepatuhannya didasarkan pada kesadaran hukum (kesadaran hukum pada hakikatnya adalah pematuhan nilai-nilai etika hukum). Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 32) mengemukakan asas hukum bukanlah sebuah norma hukum, sebagaimana hukum yang telah dirumuskan dalam berbagai ketentuan perundang-undangan yang serta merta mengikat. Akan tetapi, sebagai penanaman normative (legal term) bagi nilai etika hukum yang sesungguhnya adalah nilai yang tumbuh
sebagai budaya (budaya hukum) masyarakat, sehingga nilai tersebut ditaati sebagai tolok ukur terwujudnya keadilan yang sesungguhnya. Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa budaya hukum masyarakat menjadi sangat penting di samping perilaku penegak hukum. Bagir Manan (2004: 5) menyatakan bahwa manusia juga diatur dan tunduk pada aturan adat-istiadat (hukum kebiasaan), hukum agama (sepanjang belum menjadi hukum positif), dan hukum moral. Moertjipto dkk (1997: 3) menjelaskan bahwa sejarah telah membuktikan bahwa sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia dicapai, bentuk pemerintahan yang ada adalah kerajaan. Segala roda pemerintahan dipusatkan dan berkiblat ke kerajaan. Dengan demikian posisi kerjaan menjadi pusat berbagai kegiatan, termasuk didalamnya kebudayaan. Kerajaan pada waktu itu merupakan pusat kebudayaan, segala kebudayaan yang dihasilkan dari dalam istana atau Kraton dianggap memiliki nilai yang tinggi atau adi luhung. Karena selain memiliki nilai lebih, mereka percaya bahwa hasil kebudayaan dari istana itu memiliki daya kekuatan tertentu sehingga dapat mempengaruhi terhadap orang yang menikmati atau mengikutinya. Pada masa kerajaan, secara garis besar ada dua macam hasil kebudayaan, yaitu kebudayaan besar dan kebudayaan kecil. Kebudayaan besar maksudnya adalah kebudayaan yang dihasilkan dari dalam istana, sedangkan kebudayaan kecil ialah kebudayaan yang dihasilkan di daerah-daerah atau di luar istana. Pembagian seperti itu
karena pada umumnya, kebudayaan istana diciptakan oleh orang-orang yang memang berkompeten di bidangnya dan proses penciptaannya melalui jalan prihatin (berpuasa/nglakoni). Sedangkan kebudayaan yang dihasilkan daerah-daerah dianggap lebih rendah dari istana. Antara kebudayaan besar dengan kebudayaan kecil tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling berinteraksi, terutama pengaruh kebudayaan besar terhadap kebudayaan kecil tampak kuat. Di dalam masyarakat Jawa, Kuntowijoyo (2006: 47) menjelaskan bahwa terdapat semacam pendidikan humaniora yang mengajarkan nilainilai kemanusiaan dan pernyataan-pernyataan simbolisnya merupakan bagian integral dari sistem budaya. Kandungan pendidikan humaniora ditentukan oleh sistem pengetahuan yang dimiliki masing-masing subkultur, kelompok sosial, dan pelembagaan pendidikan humaniora sesuai dengan pengelompokan masyarakat. Dalam setiap kelompok masyarakat, pendidikan itu diselenggarakan baik secara formal melalui sebuah lembaga pendidikan, maupun secara informal melalui berbagai bentuk komunikasi sosial. Selanjutnya
Kuntowijoyo
(2006:
50)
memaparkan
bahwa
berdasarkan kandungan nilai-nilai subkultur, kelompok sosial, dan pelembagaan pendidikan humaniora, dapat ditemukan tiga loci pendidikan humaniora dalam masyarakat Jawa tradisional, yaitu istana, pesantren dan perguruan. Dalam tradisi Kraton, pelembagaan produksi dan distribusi
nilai-nilai dan simbol-simbol ada di bawah patronase raja. Dalam lembaga abdidalem ditampung bermacam-macam pekerjaan kreatif dari penciptaan karya-karya sastra sampai kesenian representasional. Di dalam lingkungan birokrasi Kraton terdapat pujangga Kraton yang memproduksi karya sastra abdi-abdi dan abdi-abdi dalem lain yang mendukung berbagai macam kepentingan simbolis, seperti abdi dalem dalang untuk keperluan pertunjukan wayang kulit, abdi dalam juru sungging untuk keperluan menggambar terutama wayang, dan sebagainya. Di lingkungan Kraton dan lingkungan keluarga raja terdapat sejumlah tenaga kerja yang secara khusus mengelola kelangsungan pendidikan ngelmu (berguru) yang bermacam-macam. Sekalipun Kraton bukan satu-satunya tempat ngelmu (berguru) itu dilestarikan dan dikembangkan, tetapi dari Kraton lah mengalir nilai dan simbol ke bawah secara paling deras. Menurut Franz Magnis Suseno (1985: 108), kekuatan Raja dari Kraton memancar sampai ke desa-desa. Semakin jauh dari Kraton, maka semakin lemah pula pancaran kekuatan Raja. Pendidikan ngelmu (berguru) dan kawruh menurut Kuntowijoyo (2006: 52) dapat dilakukan melalui bermacam-macam produk humaniora itu terutama ditujukan untuk mendidik kalangan keluarga istana sendiri, untuk pendidikan para ksatria, tetapi pendidikan itu pada akhirnya juga diperuntukkan bagi abdi dalem, dan semua kawula sesuai dengan kedudukan masing-masing dalam sistem hierarki masyarakat. Patronase
raja atas penciptaan produk-produk humaniora merupakan pengesahan bahwa istana adalah pusat kehidupan budaya masyarakat feodal. Kandungan pendidikan humaniora di istana bermacam-macam, sesuai dengan kepentingan kaum bangsawan. Ngelmu atau kawruh itu yang diciptakan pujangga Kraton pada umumnya berupa wawasan etika dalam berbagai bidang. Dalam literatur Jawa, etika itu disebut Asthabrata, yaitu delapan kebajikan sebagaimana diisyaratkan oleh watak dari gejala-gejala alam. Jadi kenegarawan tidak terletak pada keterampilan memerintah, tetapi pada sikap paternalistik dan laku utama. Selain itu pendidikan humaniora
juga
mengajarkan
bagaimana
seorang
bangsawan
menggunakan waktu luangnya, yang berupa cara-cara memperoleh kesenangan sampai cara-cara mesu budi atau olah rasa. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suwarno (1994: 79), bahwa penanaman unsur-unsur tradisional yang berkembang di dalam Kraton juga telah dilakukan Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan memadukan unsur-unsur pemerintahan tradisional yang masih berkembang di dalam Kraton dan unsur birokrasi modern. Sultan mendapatkan dukungan dan kesetiaan dari pemimpin-pemimpin nasionalis, Islam, dan dukungan dan tokoh masyarakat lainnya. Rakyat Yogyakarta mendukung dan mengikuti pemikiran Sultan yang dikomunikasikan kepada mereka secara luas dan langsung.
Selanjutnya, Suwarno (1994: 80) menjelaskan bahwa pemikiran Sultan yang dijadikan dasar perubahan birokrasi pemerintahan Yogyakarta antara lain saat Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan keris pusaka “Kangjeng Kyai Kopek” kepada Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan Hamengku Buwono VIII mengajarkan ajaran Asthabrata dan memberi pesan agar kelak jika Sultan Hamengku Buwono IX mendapat anugerah kedudukan raja jangan menyombongkan diri karena kedudukannya dan memiliki pendidikan tinggi di Negeri Belanda. Pesan tersebut memberikan kesan yang mendalam dalam pikiran dan jiwa Sultan Hamengku Buwono IX mengenai hakekat kekuasaan menurut faham jawa, sehingga mempengaruhi pemikiran dan tindakaanya dalam birokrasi pemerintahan. Sultan Hamengku Buwono IX menunjukkan bahwa pemikirannya tentang legitimasi kekuasaan tradisional cukup kuat. Pemikiran ini tentu tidak diabaikan
dalam
mengadakan
perubahan
birokrasi
pemerintahan
Yogyakarta. Nilai-nilai tradisional yang di kandung oleh Asthabrata yang tersimpan di Kraton Yogyakarta itu memberi kondisi yang kondusif untuk menumbuhkan tekad mengusir penjajah dengan mengadakan perubahan. Semuanya menjadi salah satu dasar pemikiran dan tindakan Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengadakan perubahan birokrasi di Yogyakarta. Suwarno (1994: 82) juga menyatakan bahwa pemikiran Sultan Hamengku Buwono IX tentang birokrasi pemerintahan Yogyakarta yang
pertama adalah pemikiran yang masih berkisar tentang tradisi. Dengan pengetahuan modern, Sultan menolak “tradisi” yang merugikan. Dengan kata lain Sultan Hamengku Buwono IX menggunakan pengetahuan modern untuk seleksi terhadap tradisi. Kedua, secara lugas Sultan Hamengku Buwono IX mengemukakan pemikirannya tentang demokrasi yang jelas-jelas demokrasi barat, yang memberi keleluasaan kepada wakil rakyat untuk berbicara menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Pemikiran Sultan Hamengku Buwono IX yang lain yaitu pemikiran tentang kehidupan bermasyarakat orang Jawa. Kehidupan bermasyarakat orang Jawa sesuai dengan sifat Dewa Baruna dalam Asthabrata, yaitu mengalahkan kepentingan pribadi untuk kepentingan orang banyak dengan dasar cinta sesama. Sebagai masyarakat maka sudah menjadi kewajiban untuk memperhatikan sesamanya yang menderita. Sultan Hamengku Buwono IX menekankan bahwa hanya orang yang mempunyai wewenang untuk memerintahlah yang harus ditaati.
Pemikiran itu
menunjuk pada otoritas pemerintahan yang mantap berdasarkan legitimasi tradisional yang menghasilkan ketentraman masyarakat. Menurut Sultan Hamengku Buwono IX birokrasi pemerintahan merupakan perpaduan antara unsur tradisional dan unsur baru yang untuk melayani kepentingan rakyat Dengan mengamati pemikiran Sultan Hamengku Buwono IX tentang birokrasi modern dan pemerintahan berdasarkan tradisi, Suwarno
(1994: 87) berpendapat bahwa hal itu menandakan bahwa Sultan mempunyai kemampuan tinggi untuk memadukan kedua pemikiran itu, kemudian mewujudkannya dalam kenyataan. Perwujudan ini juga menuntut kemampuan untuk menyesuaikan pemikiran dan kehendak semua pihak terutama rakyat banyak atau istilah Jawa Ngudi jumbuhing kawula gusti (mengusahakan kesesuaian antara rakyat dan raja). Franz Magnis Suseno (1985: 113) menjelaskan bahwa dalam paham kekuasaan Jawa tertanam motivasi-motivasi kuat bagi penguasa untuk berusaha menjadi seorang penguasa yang baik, yang adil, dan dicintai rakyatnya, yang mempertahankan negaranya dalam keadaan tenteram dan sejahtera. B. Tinjauan tentang Prinsip-prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Baik Menurut Ridwan HR (2007: 245) Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur dapat diterjemahkan menjadi prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sementara Muin Fahmal (2006: 13) menyatakan bahwa konsep pemerintahan yang baik (good governance) adalah asas tata pemerintahan yang baik, yang pada dasarnya bertumpu pada dua landasan utama, yaitu: Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi, yaitu negara hukum dan demokrasi. Sedangkan menurut Wiarda, sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 12) menyatakan bahwa asas-asas umum pemerintahan yang layak tidak berlaku sebagai tendensi-tendensi etik yang menjadi dasar hukum bagi Tata Usaha Negara baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,
termasuk praktek pemerintahan. Sebagian dari prinsip-prinsip atau asasasas tersebut dapat diturunkan dari undang-undang dan praktek, dan untuk sebagian secara eviden langsung mengikat. Muin Fahmal (2006: 270), menjelaskan bahwa dalam konsep Hukum Adminstrasi, pemerintahan yang bersih tidak dirumuskan dalam norma hukum positif. Tapi dapat disinonimkan dengan pemerintahan yang sesuai dengan hukum, yaitu Hukum Administrasi sebagai bagian dari Hukum Tata Negara. Philipus M. Hadjon (2008: 270) menyatakan bahwa dalam pelbagai undang-undang yang menguasai peradilan administrasi di Nederland, asas-asas umum pemerintahan yang baik
Algemene
Beginselen van Behoorlijk Bestuur disebut sebagai dasar banding dan atau pengujian.
Disimpulkan bahwa asas-asas yang terkandung di dalam
Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur merupakan kaidah hukum tak tertulis, sebagai pencerminan yang wajib diperhatikan disamping kaidah-kaidah hukum positif. Dapat pula dikatakan, bahwa Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur adalah prinsip-prinsip atau asas-asas hukum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan. Rechtmatigheid menurut Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh
Muin
Fahmal
Onrechtmatigheid
(2006:
sebagai
14)
bermakna
tindakan
yang
keabsahan, tidak
sah.
sehingga Karena
Rechtmatigheid van Bestuur adalah asas keabsahan dalam pemerintah, sehingga dapat disimpulkan bahwa: 1. Asas keabsahan berfungsi sebagai norma pemerintahan bagi aparat pemerintahan. 2. Asas keabsahan berfungsi sebagai landasan mengajukan gugatan kepada pemerintah bagi rakyat yang dirugikan. 3. Asas keabsahan berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindakan pemerintah (administrasi) oleh hakim. Paparan di atas menunjukkan bahwa dalam dimensi hukum administrasi, komponen good governance menjadi norma pemerintahan yang dapat menjadi indikator terwujudnya pemerintahan yang bersih (clean government). Dalam kehidupan bernegara telah dipraktekkan terutama dalam pelaksanaan peradilan, khususnya dalam lingkup peradilan Tata Usaha Negara yang menganut asas umum pemerintahan yang layak, sebagai dasar pengujian keabsahan tindakan pemerintahan. Hubungan antara politik hukum dengan realitas sosial masyarakat memperhadapkan antara keadilan dan kapastian hukum, yang justru keduanya menjadi tuntutan pada setiap negara hukum. Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 14), pelaksanaan hukum tidak sekedar mulut undang-undang sebagai dasar untuk menjamin penerapan hukum yang sesuai dengan cita-cita dan dasar suatu negara yang berdaulat. Hakim harus selalu sungguh-sungguh mempertimbangkan
faktor-faktor kultural yang hidup nyata dalam masyarakat. Hakim dapat mengesampingkan kaidah-kaidah hukum yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan negara. Sedangkan menurut
Muin Fahmal (2006: 15), dalam konteks
negara Hukum Indonesia, para pelaksana hukum diingatkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya agar mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Bahkan hakim sebagai penegak hukum dianggap sebagai perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Untuk itu, ia harus terjun di tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Muin Fahmal (2006: 15) juga mengutip pendapat Laica Marzuki, bahwa para hakim seyogyanya menggali, mangikuti, serta memahami nilai-nilai sosial budaya hukum masyarakat, utamanya yang terpaut dengan perilaku administrasi yang mendukung budaya hukum setempat. Penggalian hukum tersebut, diharapkan
dapat
menemukan
dan
mengembangkan
asas-asas
pemerintahan yang layak. Asas hukum merupakan “jantung” nya peraturan hukum, hal itu dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo (2006: 45). Terhadap perundangundangan yang tidak cukup mengakomodasi budaya hukum masyarakat, menurut Satjipto Rahardjo diperlukan keberanian dan kemauan (credible) dari aparat administrasi untuk menerapkan asas-asas umum pemerintahan
yang layak. Dalam hal ini, berani menyimpang dari materi hukum yang berlaku jika materi hukum tersebut bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Hal itu dilakukan dengan cara melaksanakan hukum progresif dan bukan sekedar menjaga hukum “status quo” . Signifikasi tiga komponen hukum menurut Friedman. L. M sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 19) yaitu, materi hukum, budaya hukum dan pelaksana hukum. Hal itu menjadi pra-syarat terwujudnya clean government. Yaitu pemerintahan yang bersih dari hukum dan sebagai bagian dari good governance. Keterlibatan masyarakat menurut Muin Fahmal (2006: 20) untuk merasa „memiliki hukum‟ menjadi
penting dalam
mewujudkan
pemerintahan
yang bersih.
Pemerintahan yang bersih memerlukan penegakan hukum yang menjamin terwujudnya keadilan yang bersinggungan dengan perasaan hukum. Indikator itu adalah tertanamnya kepercayaan masyarakat terhadap integritas pelaksana hukum. Selama tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum rendah, maka selama itu pula tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) cenderung tinggi. Sunarso (2013: 173) mengutip definisi good governance menurut UNDP yakni sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif, di antara negara, sektor swasta dan masyarakat. Secara umum good governance mengandung unsur utama yang terdiri dari akuntabilitas, transparansi, keterbukaan dan aturan hukum. Unsur-unsur tersebut meliputi:
1. Akuntabilitas Tanggung gugat dari pengurusan, penyelenggaraan dari governance yang dilakukan lebih jauh diartikan adalah kewajiban bagi aparatur pemerintah
untuk
bertindak
selaku
penanggung
jawab
dan
penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijaksanaan yang ditetapkan. 2. Transparansi Dapat diketahui oleh banyak pihak mengenai perumusan kebijakan (politik) dari pemerintah, organisasi, badan usaha. Dengan kata lain, segala tindakan dan kebijaksanaan pemerintah baik dipusat maupun daerah harus selalu dilaksanakan secara terbuka diketahui oleh umum. 3. Keterbukaan Pemberian informasi secara terbuka, terbuka untuk open free suggestion, dan terbuka untuk kritik yang merupakan partisipasi. Keterbukaan bisa meliputi bidang politik, ekonomi dan pemerintahan. 4. Aturan hukum Keputusan, kebijakan pemerintah, organisasi, badan usaha berdasarkan hukum jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijaksanaan publik yang ditempuh. Berdasarkan perihal tersebut UNDP (badan PBB untuk program pembangunan 1996) merumuskan karakteristik good governance sebagai berikut:
1. Partisipasi, yaitu setiap warga masyarakat, baik laki-kali maupun perempuan, harus mempunyai hak suara yang sama dalam proses pemilihan umum dengan kebebasan berpendapat secara konstruktif. 2. Penegakan hukum, yaitu kerangka yang dimiliki haruslah berkeadilan dan dipatuhi. 3. Transparan, yaitu bahwa transparansi pemerintahan harus dibangun dalam kebebasan aliran informasi yang ingin dimiliki oleh mereka yang membutuhkan. 4. Daya tanggap, bahwa setiap lembaga dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (masyarakat). 5. Berorientasi pada consensus, yaitu bahwa pemerintahan yang baik adalah yang dapat menjadi penengah bagi berbagai perbedaan dan memberikan suatu penyelesaian. 6. Berkeadilan,
yaitu
memberikan
kesempatan
upaya
untuk
meningkatkan kualitas hidup. 7. Efektivitas dan efisiensi, yaitu bahwa setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan suatu yang benar-benar dibutuhkan. 8. Akuntabilitas, yaitu bahwa para pengambil keputusan dalam pemerintah dapat memiliki pertanggungjawaban pada publik.
9. Bervisi strategis, yaitu bahwa para pengambil keputusan dalam pemerintah dapat memiliki pandangan yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia. 10.
Kesalingterikatan,
yaitu
bahwa
kesuluruhan
ciri
pemerintah
mempunyai kesalingterikatan yang saling memperkuat dan tidak bisa berdiri sendiri. a. Arti Penting Prinsip-prinsip Umum Pemerintahan yang Baik Eny Kusdarini (2011: 144) menjelaskan bahwa tindakan alat administrasi negara yang didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam lapangan Hukum Administrasi Negara sangat diperlukan, mengingat kekuasaan negara yang dijalankan oleh pemerintah atau alat administrasi negara mempunyai wewenang yang istimewa di dalam rangka penyelenggaraan kesejahteraan dan kepentingan umum sangat luas. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya ini dengan asas kebebasan bertindak (frieies ermessen) yang dipunyainya seringkali terjadi perbuatan alat administrasi negara menyimpang dari hukum yang berlaku dan tendensinya bisa mengakibatkan kerugian pada warga masyarakat. Untuk meningkatkan perlindungan hukum yang lebih baik bagi warga masyarakat maka tindakan-tindakan alat administrasi negara, diperlukan perangkat hukum sebagai tolok ukurnya. Hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis yang berbentuk ketentuan-ketentuan perundnag-
undangan maupun hukum yang tidak tertulis. Di dalam hukum yang tidak tertulis, prinsip-prinsip atau asas-asas umum yang baik memegang peranan yang penting, diharapkan dengan mengindahkan asas ini dimungkinkan tidak terjadinya penyalahgunaan wewenang, jabatan atau kekuasaan atau yang seringkali dikenal dengan istilah detournement de pouvoir ini sangat diperlukan dalam mewujudkan good governance (tata kelola pemerintah yang sehat/baik). Selanjutnya Eny Kusdarini juga menjelaskan (2011: 147) bahwa terkait dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik/layak, maka asasasas ini juga substansinya berasal dari nilai-nilai etik yang berasal dari nilai-nilai etik yang berasal dari kehidupan masyarakat Indonesia yang sudah dipraktekkan sejak lama oleh nenek moyang bangsa Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Di Indonesia nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat ini telah dikristalisasikan ke dalam dasar falsafah negara kita yang dinamakan Pancasila yang sekaligus juga merupakan sumber dari segala sumber tertib hukum yang ada di Indonesia. Oleh karena itu nilai-nilai luhur yang telah dikristalisasi dalam Pancasila, selain semestinya harus dilaksanakan oleh alat administrasi negara sebagai pelaksana penyelenggara negara yang bertugas selaku pelayan
masyarakat.
Asas-asas
umum
pemerintahan
yang
baik
sesungguhnya merupakan rambu-rambu bagi penyelenggara negara (alat administrasi negara) di dalam menjalankan tugasnya. Rambu-rambu
tersebut diperlukan agar perbuatan-perbuatan alat administrasi negara tetap sesuai dengan tujuan hukum. Menurut Jazim Hamidi sebagaimana dikutip oleh Eny Kusdarini (2011:148-149), asas-asas umum pemerintah yang baik, mengandung beberapa unsur pengertian secara komprehensif, yakni: 1. Asas-asas umum pemerintahan yang layak merupakan nilai-nilai etik yang hidup berkembang dalam lingkungan hukum administrasi Negara; 2. Asas-asas umum pemerintahan yang layak berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi negara, dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat; 3. Sebagian besar dari asas-asas umum pemerintahan yang layak yang tidak tertulis, masih abstrak dan dapat digali dari praktik kehidupan di masyarakat; 4. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif. Meskipun sebagian dari asas itu sudah berubah menjadi kaidah hukum tertulis, namun sifatnya tetap sebagai asas hukum. b.
Perincian Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan
Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur atau yang dapat diterjemahkan menjadi prinsip-prinsip atau asas-asas umum pemerintahan yang baik ini disampaikan dan dirangkum oleh Crince Le Roy dalam kuliahnya pada Penataran lanjutan Hukum Tata Usaha Negara/Hukum Tata Pemerintahan di Fakultas Hukum Unair 1978 ada sebelas (11) prinsip atau asas, yang kemudian di Indonesia dikembangkan oleh Kuntjoro Purbopranoto sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon (2008: 279) menjadi tiga belas (13) asas, yaitu: 1. Asas kepastian hukum (principle of legal security) 2. Asas keseimbangan (principle of proportionally) 3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality) 4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness) 5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation) 6. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misure of competence) 7. Asas permainan yang layak (principle of fair play) 8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbritariness) 9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meering raised expectation); 10. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of annulled decision)
11. Asas perlindungan atas pandangan hidup (principle of protecting the personal way of life) 12. Asas kebijaksanaan (sapientia) 13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public services) Asas-asas tersebut berpangkal tolak dari teori-teori hukum dan yurisprudensi serta norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dikemukakan oleh Eny Kusdarini (2011: 160). Menurut Eny Kusdarini (2011: 160) berlakunya asas-asas umum pemerintahan yang baik di Indonesia harus diselesaikan dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945, dan juga tampaknya Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara sudah mengakuinya dengan mencantumkan dalam rumusan ketentuan Pasal 53 ayat (2). Dinyatakan dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) bahwa alasanalasan yang dapat dipakai oleh penggugat untuk mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara yang sekaligus dipakai sebagai dasar pengujian
oleh
hakim
Peradilan
Tata
Usaha
Negara
terhadap
keputusan/ketetapan administrasi Negara (KTUN) yang digugat adalah: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputsan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut. SF Marbun (2003: 285) mengemukakan, bahwa dalam rangka menemukan dan merumuskan asas-asas pemerintahan Indonesia yang adil dan patut, kiranya asas-asas umum pemerintahan yang dirangkum oleh Crince Le Roy dan dikembangkan oleh Kuncoro Purbopranoto di atas perlu dijadikan pedoman dan tolok ukur, sepanjang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, agama, hukum adat dan hukum positif lainnya. SF Marbun (2003: 285) menawarkan asas-asas umum pemerintahan Indonesia yang adil dan patut sebagai berikut: 1. Asas persamaan; 2. Asas keseimbangan, keserasian, keselarasan; 3. Asas menghormati dan memberikan haknya setiap orang; 4. Asas ganti rugi karena kesalahan; 5. Asas kecermatan; 6. Asas kepastian hukum; 7. Asas kejujuran dan keterbukaan; 8. Asas larangan menyalahgunakan wewenang; 9. Asas larangan sewenang-wenang; 10. Asas kepercayaan atau pengharapan;
11. Asas motivasi; 12. Asas kepantasan atau kewajaran; 13. Asas pertanggungjawaban; 14. Asas kepekaan; 15. Asas penyelenggaraan kepentingan umum; 16. Asas kebijaksanaan; 17. Asas itikad baik. C. Bentuk-bentuk Hukum Administrasi Negara 1. Keputusan/Ketetapan Administrasi Negara Keputusan atau Ketetapan administrasi negara di Indonesia, menurut Bagir Manan (2004: 17), lazim disebut beschikking. Keputusan atau Ketetapan ini bersifat konkrit dan tertentu subyek dan atau obyeknya. Selanjutnya menurut Eny Kusdarini (2011: 95) di Jerman Keputusan atau Ketetapan administrasi negara disebut dengan Verwaltungsakt, sedangkan di Prancis dikenal dengan sebutan Acte Administratif. Sedangkan unsur-unsur yang terdapat dalam keputusan menurut Ridwan HR (2007), adalah: a. Pernyataan kehendak sepihak (enjizdie schriftelijke wilsverklaring) b. Dikeluarkan oleh organ pemerintahan (bestuurorgaan); c. Didasarkan
pada
kewenangan
hukum
yang
bersifat
publik
(publiekbevoegdheid); d. Ditujukan untuk hal khusus atau peristiwa konkret dan individual; dan
e. Dengan
maksud
menimbulkan
akibat
hukum
dalam
bidang
administrasi. Bentuk-bentuk keputusan administasi menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Eny Kusdarini (2011:95) dapat dibedakan menjadi lima (5) yakni: a. Keputusan-keputusan yang berisi peraturan perundang-undangan (algemene verbindende voorschriften); b. Keputusan-keputusan yang berisi penetapan (beschikkingen); c. Keputusan-keputusan yang bukan merupakan peraturan perundangundangan tetapi mempunyai akibat secara umum; d. Keputusan-keputusan yang berisi perencanaan (planner); e. Keputusan-keputusan yang berisi peraturan kebijakan (beleidregels). Selanjutnya Eny Kusdarini
(2011:95)
menjelaskan bahwa
keputusan administrasi negara merupakan perbuatan hukum publik bersegi satu, yang dilakukan oleh alat administrasi negara untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Keputusan yang dibuat oleh alat administrasi negara ini merupakan bagian terbesar dari macam-macam perbuatan hukum yang dilakukan oleh alat administrasi negara. Perbuatan alat administrasi negara dalam mengadakan keputusan/ketetapan ini disebut penetapan. Adapun
yang
dimaksudkan
dengan
keputusan/ketetapan
administrasi negara atau Keputusan Tata Usaha Negara, berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Unsur-unsur utama Keputusan Tata Usaha Negara seperti dirumuskan pada ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, yakni: a. Penetapan tertulis; b. Oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara; c. Konkret; d. Individual; e. Final; serta f. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Ridwan HR (2007: 163-168) menyatakan bahwa secara teoritis, dalam hukum administrasi, dikenal ada beberapa macam ketetapan, yakni: a. Ketetapan Deklaratoir dan Ketetapan Konstitutif b. Ketetapan yang Menguntungkan dan yang Memberi Beban c. Ketetapan Eenmalig dan Ketetapan yang Permanen d. Ketetapan yang Bebas dan yang Terikat e. Ketetapan Positif dan Negatif
f. Ketetapan Perorangan dan Kebendaan 2. Peraturan Untuk menjalankan tugasnya, selain membuat dan mengeluarkan keputusan, alat administrasi negara juga mengeluarkan peraturan. Prajudi Atmasudirjo sebagaimana dikutip oleh Eny Kusdarini (2011: 99) menyatakan bahwa peraturan ini termasuk dalam undang-undang dalam arti luas yang merupakan bagian dari sumber hukum tata usaha negara yang bersifat otonom, yang dapat diubah, ditambah oleh alat tata usaha negara
apabila
perlu
dengan
memperhatikan
asas-asas
umum
pemerintahan yang baik. Peraturan
merupakan hukum in abstracto atau generale norm
yang sifatnya mengikat umum dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum
(Eny Kusdarini, 2011:99). Istilah perundang-undangan
(peraturan perundang-undangan) secara harafiah dapat diartikan sebagai peraturan yang berkaitan dengan undang-undang baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan yang lebih rendah dari undangundang (dalam arti formal) yang merupakan atribusi atau delegasi dari undang-undang. Adapun ciri-ciri peraturan (peraturan perundangundangan) menurut Ridwan HR (2007: 135), yakni: a. Bersifat umum dan komprehensif, yang merupakan kebalikan dari sifat-sifat khusus dan terbatas;
b. Bersifat universal, kebalikan dari sifat individual, dan diciptakan untuk mengahdapi peristiwa-peristiwa yang diperkirakan muncul pada masa yang akan datang yang belum jelas terjadinya atau belum jelas bentuk konkretnya; c. Memiliki kekuatan mengoreksi serta memperbaiki dirinya sendiri adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan suatu klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali. 3. Perundang-undangan Semu/Peraturan Kebijaksanaan Peraturan kebijaksanaan menurut Bagir Manan (2004: 15) adalah peraturan yang dibuat baik kewenangan atau materi muatannya tidak berdasar pada peraturan perundang-undangan, delegasi atau mandate, melainkan berdasarkan wewenang yang timbul dari Freies Ermessen yang dilekatkan pada administrasi negara untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum. Hal ini senada dengan pendapat Eny Kusdarini (2011: 102), disamping membuat keputusan dan peraturan alat administrasi negara juga mengeluarkan produk hukum yang dikenal dengan sebutan pseudo wetgeving atau peraturan-peraturan kebijaksanaan yang sering juga dikenal dengan nama peraturan perundang-undangan semu. Hak ini dilakukan alat tata usaha negara untuk menempuh berbagai langkah kebijaksanaan tertentu. Pengeluaran produk alat administrasi negara yang dikenal dengan sebutan perundang-undangam semu atau
pseudo wetgeving dimaksudkan untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugasnya. Menurut Sadjijono sebagaimana dikutip oleh Eny Kusdarini (2011:103-104) perundang-undangan semu atau yang sering dikenal dengan “kebijakan” dan “kebijaksanaan” dimaknai sama, namun secara teoritis berbeda. “kebijakan” secara teoritis adalah perilaku atau tindakan yang mencerminkan kebajikan atau rasa bijak bagi setiap pribadi atau individu pejabat (alat administrasi negara), karena itu kebijakan lebih banyak dipengaruhi oleh budi pekerti dan hati nurani setiap pejabat (alat administrasi
negara)
bukan
kekuasaan
semata-mata,
sedangkan
“kebijaksanaan” adalah sebagai tindakan yang cenderung dan mengarah pada tujuan sebagai pelaksana dari kekuasaan pejabat (alat administrasi negara) atau organ pemerintahan. Kebijaksanaan ini lahir semata-mata dari wewenang yang diperoleh dan dalam rangka menjalankan wewenang itu. Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR (2007: 186-187), ciri-ciri peraturan kebijaksanaan yakni sebagai berikut: a. Peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundangundangan. b. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundangundangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijaksanaan.
c. Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat keputusan peraturan kebijaksanaan tersebut. d. Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan frieies ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat peraturan perundang-undangan. e. Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diserahkan pada doelmatigheid sehingga batu ujinya adalah asas-asas pemerintahan yang layak. f. Dalam praktik diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman, dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan. 4. Rencana/Het Plan Selain
mengeluarkan
produk-produk
hukum
yang
berupa
keputusan atau ketetapan, peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving), alat administrasi negara juga sering mengeluarkan produk yang disebut dengan het plan (rencana) yang dijumpai di berbagai bidang kegiatan pemerintahan. Rencana merupakan keseluruhan tindakan yang saling berkaitan dari alat administrasi negara untuk mengupayakan terlaksananya keadaan tertentu yang tertib/teratur. Suatu rencana menunjukkan kebijaksanaan apa yang akan dijalankan alat administrasi negara pada suatu lapangan tertentu (Eny Kusdarini, 2011; 110).
Rencana, menurut A.D Belifante sebagaimana dikutip Ridwan HR (2007: 196), merupakan bagian dari tindakan hukum pemerintahan (bestuurrechtshandeling), suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Disimpulkan olwh Eny Kusdarini (2011: 110) bahwa rencana adalah suatu keputusan dari badan atau pejabat tata usaha negara atau alat administrasi negara yang dipakai sebagai dasar untuk
melakukan
tindakan
hukum
tata
usaha
negara
secara
berkesinambungan dan saling berkaitan untuk mengupayakan adanya keadaan tertentu yang tertib dan teratur. Unsur-unsur rencana menurut Ridwan HR (2007: 199) dalam perspektif hukum administrasi negara, adalah sebagai berikut: a. Schriftelijke Presentatie (Gambaran Tertulis) b. Besluit of Handeling (Keputusan atau Tindakan) c. Bestuurorgaan (Organ Pemerintahan) d. Op de Toekomst Gericht (ditujukan pada Masa yang Akan Datang) e. Planelemanten (Elemen-elemen Rencana) f. Ongelijksoortig Karakter (Memiliki Sifat yang Tidak Sejenis, Beragam) g. Samenhaang (Keterkaitan) h. Al dan Niet voor een Bepaalde Duur (untuk Waktu Tertentu) D. Produk-produk Hukum Administrasi Negara pada Pemerintahan Daerah a. Peraturan Daerah
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik. Selanjutnya ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, dan diatur dengan undang-undang. Artinya, Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 menganut asas desentralisasi, bukan sentralisasi sehingga pemerintahan daerah diadakan dalam kaitan desentralisasi. Dalam kerangka desentralisasi berdasarkan ketentuan pasal 18 ayat (5) UUD 1945 pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah yang oleh Undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa bentuk negara Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dijalankan berdasarkan desentralisasi, dengan otonomi yang seluas-luasnya. Berdasarkan ketentuan Pasa1 136 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.
Peraturan Daerah dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan perundang-undangan, hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 137 Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yakni meliputi: a.
kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c.
kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan; e.
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.
kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan. Sedangkan asas yang terkandung dalam materi muatan Peraturan Daerah diatur dalam ketentuan Pasal 138 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yakni meliputi: a.
pengayoman;
b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhineka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i.
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Kedudukan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, yakni: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi; dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Daerah Provinsi atau nama lainnya dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau nama lainnya, adalah peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Hal ini diatur di dalam Ketentuan Umum Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie (2011: 69), peraturan daerah itu jelas merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawah
undang-undang. Percantuman bentuk Peraturan Daerah itu dalam susunan hierarkis
tata
urutan
perundang-undangan
dimaksudkan
untuk
meningkatkan kedudukan hukum peraturan daerah itu, sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja oleh pejabat pusat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peraturan daerah hanya berlaku di dalam wilayah pemerintahan daerah yang bersangkutan. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie (2011: 71) menjelaskan bahwa dari segi pembentukannya, peraturan daerah itu mirip dengan undang-undang, yaitu dibentuk oleh lembaga legislatif atas pembahasan bersama dan persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif. Di dalam proses pembentukan undang-undang dan peraturan daerah itu sama-sama terkandung unsur-unsur sistem perwakilan rakyat yang berdaulat melalui pemilihan umum, maka baik undang-undang maupun peraturan daerah dapat dikatakan sama-sama merupakan produk sistem demokrasi, baik di tingkat lokal ataupun di tingkat nasional. Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah, hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang menyatakan pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.Artinya, peraturan daerah merupakan sarana legislasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Peraturan daerah disini adalah peraturan daerah dalam arti materiil yang bersifat mengikat (legally binding) warga dan penduduk daerah otonom.
Berdasarkan ketentuan pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Peraturan Daerah adalah produk hukum daerah yang bersifat pengaturan. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Peraturan Daerah yang bersifat pengaturan itu terdiri atas: 1. Peraturan Daerah Provinsi Berdasarkan Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. 2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Berdasarkan Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Program Legislasi Daerah Provinsi. Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi. Berdasarkan ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penyusunan daftar rancangan peraturan daerah provinsi didasarkan atas: a. perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi; b. rencana pembangunan daerah; c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan d. aspirasi masyarakat daerah. Sedangkan untuk Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam Program Legislasi Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam Program Legislasi Daerah Kabupaten/Kota dapat
dimuat
daftar
kumulatif
terbuka
mengenai
pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan Kecamatan atau nama lainnya dan/atau pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Desa atau nama lainnya. b.
Peraturan Gubernur Suryo Sakti Hadiwijoyo (2011: 200) menjelaskan bahwa tugas pokok dan kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat secara umum adalah mewakili kepala negara dan pemerintah pusat untuk menyelenggarakan pemerintahan umum dan sektoral di wilayahnya. Sebagai wakil pusat di daerah dalam konteks “integrated perfectoral system”
gubernur
mengawasi,
mempunyai
melakukan
kewenangan
supervisi
dan
untuk
memfasilitasi
mengkoordinir, agar
daerah
bawahannya mampu menjalankan otonominya secara optimal. Gubernur mempunyai “tutelage power” yaitu menjalankan kewenangan pusat untuk membatalkan kebijakan daerah bawahannya yang bertentangan dengan kepentingan umum ataupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni terdiri atas: a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Gubernur termasuk dalam jenis peraturan perundang-
undangan selain yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan yang telah disebutkan diatas. Peraturan Gubernur tercantum dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Peraturan Gubernur termasuk dalam Peraturan Kepala Daerah. Peraturan Gubernur merupakan jenis peraturan perundang-undangan, akan tetapi
Peraturan Gubernur baru diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Hal ini bisa dilihat dari ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yakni, Peraturan
Perundang-undangan
sebagaimana
dimaksud
diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Menurut Jimly Asshiddiqie (2010: 298), Peraturan Gubernur dimaksudkan sebagai peraturan pelaksanaan terhadap Peraturan Daerah tingkat provinsi sebagai produk lembaga legislatif daerah. Hubungan antara Peraturan Gubernur ini dengan Peraturan Daerah provinsi, sesuai tingkatannya dan lingkup muatan materinya masing-masing dapat dianalogikan dengan hubungan Peraturan Presiden dengan Undangundang, dan antara Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan Peraturan Bupati/Walikota serta Peraturan Desa dengan Peraturan Kepala Desa. Kewenangan pembentukan Peraturan Gubernur ada pada Gubernur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau dibentuk berdasarkan kewenangan Gubernur. Fungsi Peraturan Gubernur yang bersifat pengaturan (regeling) adalah untuk menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Daerah Provinsi atau atas kuasa peraturan
perundang-undangan lain, sesuai dengan lingkup kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administratif (wakil Pemerintah Pusat). c. Peraturan Bupati/Walikota Untuk melaksanakan Peraturan Daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasa1 146 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa, peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah, dan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi. Peraturan Bupati/Walikota termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
yang
telah
disebutkan
diatas.
Peraturan
Bupati/Walikota tercantum dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, yakni mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi,
Gubernur,
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Peraturan Bupati/Walikota termasuk dalam Peraturan Kepala Daerah. Dalam hubungannya dengan Gubernur sebagai wakil pemerintah, menurut Suryo Sakti Hadiwijoyo (2011: 202), hubungan antara gubernur dengan bupati/walikota bersifat bertingkat, dimana gubernur dapat melakukan peran pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebaliknya bupati/walikota dapat melaporkan permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk dalam hubungan
antarkabupaten/kota.
Selanjutnya,
Bupati/Walikota yang bersifat pengaturan
fungsi
Peraturan
(regeling) yaitu untuk
menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau atas kuasa peraturan perundang-undangan lain, sesuai dengan lingkup kewenangan Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom sepenuhnya.
d. Peraturan Kebijaksanaan Daerah
Philipus M. Hadjon (2008: 152) menjelaskan bahwa peraturan kebijaksanaan terkait dengan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari yang menunjukkan betapa badan atau pejabat tata usaha negara acapkali menempuh
pelbagai
langkah
kebijaksanaan
tertentu,
antara
lain
menciptakan apa yang kini sering dinamakan peraturan kebijaksanaan (beleidsregels, policy rule). Produk semacam peraturan kebijaksanaan ini tidak terlepas dari kaitan penggunaan freies Ermessen yaitu, badan atau pejabat
tata
usaha
negara
yang
bersangkutan
merumuskan
kebijaksanaannya itu dalam berbagai bentuk juridische regels, seperti halnya
peraturan,
pedoman,
pengumuman,
surat
edaran,
dan
mengumumkan kebijaksanaan itu. Suatu peraturan kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “naar buiten gebracht schriftelijk beleid (menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis)” namun tanpa disertai kewenangan perbuatan peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang menciptakan peraturan kebijaksanaan tersebut. Senada dengan Philipus M. Hadjon, SF Marbun (2003: 139) juga menjelaskan, bahwa peraturan kebijaksanaan adalah kebebasan atau keleluasaan bertindak atas inisiatif sendiri yang dimungkinkan oleh hukum, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak yang muncul secara tiba-tiba, yang pengaturannya belum ada atau
kewenangannya yang tidak jelas atau samar-samar, yang harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun moral. e. Keputusan atau Penetapan Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dinyatakan bahwa keputusan/penetapan/ketetapan adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang dan badan hukum perdata. Dikutip dari website resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang menjadi unsur-unsur dari keputusan/penetapan/ketetapan ialah: 1.Penetapan tertulis Syarat tertulis dari suatu penetapan tidak ditujukan pada bentuk formalnya, tetapi ditujukan pada isi atau sustansi dari keputusan tersebut. Persyaratan tertulis ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam perbuktian apabila terjadi sengketa antara pemerintah dengan rakyatnya sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. 2. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
Yang dimaksud dengan badan atau pejabat tata usaha negara adalah badan atau pejabat di pusat dan daerah yang melaksanakan kegiatan yang bersifat eksekutif. 3. Berisi tindakan hukum tata usaha negara Tindakan hukum tata usaha negara adalah perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum tata usaha negara yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban kepada orang lain. 4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku Artinya bahwa keputusan itu harus didasarkan pada kewenangan dari pejabat tata usaha negara, sedangkan kewenangan pejabat tersebut bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain bahwa keputusan itu berfungsi untuk melaksanakan peraturan yang bersifat umum,
sehingga harus ada peraturan yang menjadi
dasarnya. 5. Bersifat konkrit, individual dan final Konkrit berarti objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara tidak abstrak, tetapi berwujud tertentu atau dapat ditentukan. Individual artinya tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju, jika lebih dari seorang harus disebutkan satu persatu dalam keputusan. Final artinya keputusan tersebut sudah definitif dan karenanya menimbulkan akibat hukum.
6. Menibulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata Akibat hukum dalam hal ini adalah menimbulkan hak dan kewajiban kepada seseorang atau badan hukum perdata yang terkena keputusan tersebut. Keputusan/penetapan/ketetapan yang termasuk dalam produk-produk hukum daerah yakni meliputi Keputusan Gubernur dan Keputusan Bupati. Menurut Suryo Sakti Hadiwijoyo (2011: 200), tugas pokok dan kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat secara umum adalah mewakili kepala negara dan pemerintah pusat untuk menyelenggarakan pemerintahan umum dan sektoral di wilayahnya. Wakil pemerintah pusat karena kedudukan, tugas dan kewenangannya mempunyai tanggungjawab menjamin tetap tegaknya
negara
dan
kelangsungan
penyelenggaraan
pemerintahan,
sehubungan dengan hal tersebut wakil pemerintah pusat mempunyai kekuasaan kenegaraan dan pemerintahan dalam wilayahnya atas nama presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan. Sebagai wakil pusat di
daerah
gubernur
mempunyai
kewenangan
untuk
mengkoordinir,
mengawasi, melakukan supervisi dan memfasilitasi agar daerah bawahannya mampu menjalankan otonominya secara maksimal.