BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Kajian Teori
2.1.1. Belajar dan Pembelajaran Belajar dimulai sejak manusia lahir sampai akhir hayat. Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, keterampilan, dan sikap. Dan dalam proses belajar ini akan membuat manusia atau seseorang akan tahu, paham dan mengerti. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam lingkungannya (Slameto, 2003:2). Menurut Thursan Hakim, W.S.Winkel (dalam Darsono 2001:3) berpendapat “belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan
lingkungan,
yang
menghasilkan perubahan dalam pengetahuan,
pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Sedangkan belajar menurut Darsono (2001:4) adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Peneliti sependapat dengan definisi belajar yang dikemukakan oleh ketiga pakar tersebut. Ketiga pakar tersebut memiliki jalan pemikiran yang sama dimana dapat disimpulkan oleh peneliti bahwa belajar adalah suatu proses yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru maupun meningkatkan pengetahuan yang telah ada dari yang tidak tahu menjadi tahu yang akan diikuti dengan perubahan perilaku yang bersifat progresif melalui suatu pengalamannya sendiri pada saat berinteraksi dengan lingkungannya. Adapun unsur-unsur yang terdapat di dalam belajar (Anni, 2007: 4) meliputi: a) b)
Pembelajar, dapat berupa peserta didik, pembelajar, warga belajar, dan peserta pelatihan. Rangsangan (stimulus) yaitu peristiwa yang merangsang penginderaan pembelajar.
8
9
c)
d)
Memori, memori pembelajar berisi berbagai kemampuan yang berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dihasilkan dari aktifitas belajar sebelumnya. Respon, tindakan yang dihasilkan dari aktualisasi memori
Kegiatan belajar tidak dapat terlepas dari pembelajaran. Berdasarkan UU No. 20/2003, Bab I Pasal Ayat 20, Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Sedangkan menurut Corey (dalam Nyimas Aisyah, 2007:1-3) pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Menurut Tasker (dalam Lapono, 2008:3-103), ada dua hal yang harus ditekankan dalam pembelajaran. Pertama adalah peran aktif peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingnya membuat kaitan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Dari ketiga definisi pembelajaran yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran artinya suatu proses yang dilakukan dengan tujuan tertentu yang dipengaruhi oleh kondisi, lingkungan dan suasana belajar yang dapat memungkinkan peserta didik terlibat aktif dan proaktif baik secara fisik maupun mental sehingga terjadi interaksi timbal balik antara peserta didik dan pendidik serta sumber belajar dalam rangka membangun sendiri pengetahuan yang dimiliki oleh siswa agar lebih bermakna. Dalam proses pembelajaran, ada komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai pembelajaran yang efektif dan efisien. Menurut Udin S. Winataputra (2007:1-21) komponen-komponen pembelajaran saling berkaitan satu sama lain. Komponen-komponen tersebut terdiri dari tujuan, materi, kegiatan, dan evaluasi. Dengan demikian apabila salah satu dari komponen tersebut dihilangkan atau tidak ada, tentunya akan terjadi kepincangan dalam pembelajaran, karena semua komponen yang seharusnya ada tidak terpenuhi, sehingga tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran tidak dapat tercapai secara optimal. Menurut Oemar Hamalik (2009:32) ada 10 faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran, yaitu: 1) Faktor kegiatan, penggunaan, dan ulangan (memanfaatkan indra penglihatan, pendengaran, merasakan, berfikir, kegiatan
10
motoris) 2) Belajar memerlukan jalan, 3) Dilakukan dalam suasana menyenangkan, 4) Perlu mengetahui apakah ia berhasil atau gagal, 5) Faktor asosiasi, 6) Pengalaman masa lampau atau apersepsi dan pengertian yang elah dimenegrti siswa, 7) Faktor kesiapan belajar, 8) Faktor minat dan usaha, 9) Faktor fisiologis, dan 10) Faktor intelegensi.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran yang telah dilakukan akan berhasil dengan baik dan efektif apabila faktor-faktor yang berkaitan dengan pembelajaran dapat berperan sebagaimana mestinya secara berkesinambungan dan saling melengkapi satu sama lain. 2.1.2. Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu
Pengetahuan
Alam
(IPA)
didefinisikan
sebagai
kumpulan
pengetahuan yang tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) bahwa “IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan”. Selain itu IPA juga merupakan ilmu yang bersifat empirik dan membahas tentang fakta serta gejala alam. Hal ini menunjukkan bahwa, hakikat IPA sebagai proses diperlukan untuk menciptakan pembelajaran IPA yang empirik dan faktual. Hakikat IPA sebagai proses diwujudkan dengan melaksanakan pembelajaran yang melatih ketrampilan proses bagaimana cara produk sains ditemukan. Menurut Nash, 1993 (dalam Samatowa, 2010: 3) menyatakan bahwa IPA adalah suatu cara atau metode untuk mengamati alam. Cara IPA mengamati dunia ini bersifat analisis, lengkap, cermat, serta menghubungkannya antara suatu fenomena dengan fenomena lain. Sehingga keseluruhannya membentuk suatu perspektif yang baru tentang objek yang diamati.
Dari pengertian di atas didapat bahwa Ilmu Pengetahuan Alam adalah suatu cara atau metode untuk mengamati alam yang meliputi observasi dan eksperimen yang sistematik, serta dijelaskan dengan bantuan aturan-aturan, hukum-hukum, prinsip-prinsip, teori-teori, dan hipotesis-hipotesis. Menurut Laksmi Prihantoro dkk, 1986 (dalam Trianto, 2010: 137) mengatakan bahwa IPA hakikatnya merupakan suatu produk, proses, dan aplikasi. Sebagai produk, IPA merupakan sekumpulan pengetahuan dan sekumpulan konsep dan bagan konsep. Sebagai suatu proses, IPA merupakan proses yang dipergunakan untuk memepelajari objek studi, menemukan dan mengembangkan produk-
11
produk sains, dan sebagai aplikasi, teori-teori IPA akan melahirkan teknologi yang dapat memberi kemudahan bagi kehidupan.
Karakteristik pembelajaran IPA meliputi: a.
Melibatkan seluruh alat indera untuk melakukan suatu proses berpikir, dan melakukan gerakan otot.
b.
Membutuhkan berbagai teknik (cara), seperti observasi, eksplorasi dan eksperimen.
c.
Mengunakan alat bantu untuk memperoleh data yang obyaktif, sesuai dengan sifat IPA yang mengutamakan obyektivitas.
d.
Kegiatan menemukan sesuatu yang baru (penemuan ilmiah), mengunjungi objek, studi pustaka, dan penyusunan hipotesis untuk memperoleh pengakuan kebenaran yang benar-benar objektif.
e.
Proses belajar yang aktif, artinya belajar IPA merupakan suatu yang dilaksanakan siswa, bukan sesuatu yang silakukan untuk siswa dengan kata lain siswa itu sendiri yang melakukan dan menemukan sesuatu (ilmu/konsep). Hakikat dan tujuan pembelajaran IPA diharapkan dapat memberikan
antara lain sebagai berikut: a)
Kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam untuk meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan YME.
b) Pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang dasar dari prinsip dan konsep, fakta yang ada di alam, hubungan antara sains dan teknologi. c)
Keterampilan dan kemampuan untuk menangani peralatan, memecahkan masalah dan melakukan observasi.
d) Sikap ilmiah, antara lain skeptis, kritis, sensitive, objektif, terbuka, jujur, benar, dan dapat bekerja sama. e)
Kebiasaaan mengembangkan kemampuan berfikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip sains untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam.
f)
Apersiatif terhadap sains dengan menikmati dan menyadari keindahan keteraturan perilaku alam serta penerapannya dalam teknologi. (Depdiknas, 2003 dalam Trianto, 2010: 141-143)
12
2.1.3 Hakikat Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar Mata Pelajaran IPA di Sekolah Dasar bertujuan agar siswa memahami konsep-konsep
IPA,
memiliki
keterampilan
proses,
mempunyai
minat
mempelajari alam sekitar, bersikap ilmiah, mampu menerapkan konsep-konsep IPA untuk menjelaskan gejala-gejala alam dan memecahkan masalah dalam kehidupan seharihari, mencintai alam sekitar, serta menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan. Berdasarkan tujuan di atas, maka pembelajaran pendidikan IPA di SD menuntut proses belajar mengajar yang tidak terlalu akademis dan verbalistik. Selain itu dalam kondisi ketergantungan hidup manusia akan ilmu dan teknologi yang sangat tinggi, maka pembelajaran IPA di SD harus dijadikan sebagai mata pelajaran dasar dan diarahkan untuk menghasilkan warga Negara yang peduli terhadap IPA. Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD / MI meliputi aspek-aspek sebagai berikut : 1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan. 2) Benda / materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi : cair, padat, dan gas. 3) Energi dan perubahannya meliputi : gaya, bunyi, panas, magnet, Listrik, cahaya, dan pesawat sederhana. 4) Bumi dan alam semesta meliputi : tanah, bumi, tata surya, dan bendabenda langit lainnya. Asy’ari, Muslichah (2006:22) menyatakan bahwa ketrampilan proses yang perlu dilatih dalam pembelajaran IPA meliputi ketrampilan proses dasar misalnya mengamati, mengukur, mengklasifikasikan, mengkomunikasikan, mengenal hubungan ruang dan waktu, serta ketrampilan proses terintegrasi misalnya merancang dan melakukan eksperimen yang meliputi menyusun hipotesis, menentukan variabel,
menyusun definisi operasional,
menafsirkan data,
menganalisis dan mensintesis data. Poedjiati (2005:78) menyebutkan bahwa ketrampilan dasar dalam pendekatan proses adalah observasi, menghitung, mengukur, mengklasifikasi, dan membuat hipotesis.
13
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketrampilan proses dalam pembelajaran IPA di SD meliputi ketrampilan dasar dan ketrampilan terintegrasi. Kedua ketrampilan ini dapat melatih siswa untuk menemukan dan menyelesaikan masalah secara ilmiah untuk menghasilkan produk-produk IPA yaitu fakta, konsep, generalisasi, hukum dan teori-teori baru. Sehingga perlu diciptakan kondisi pembelajaran IPA di SD yang dapat mendorong siswa untuk aktif dan ingin tahu. Dengan demikian, pembelajaran merupakan kegiatan investigasi terhadap permasalahan alam di sekitarnya. Setelah melakukan investigasi akan terungkap fakta atau diperoleh data. Data yang diperoleh dari kegiatan investigasi tersebut perlu digeneralisir agar siswa memiliki pemahaman konsep yang baik. Untuk itu siswa perlu di bimbing berpikir secara induktif. Selain itu, pada beberapa konsep IPA yang dilakukan, siswa perlu memverifikasi dan menerapkan suatu hukum atau prinsip. Sehingga siswa juga perlu dibimbing berpikir secara deduktif. Kegiatan belajar IPA seperti ini, dapat menumbuhkan sikap ilmiah dalam diri siswa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakikat IPA meliputi beberapa aspek yaitu faktual, keseimbangan antara proses dan produk, keaktifan dalam proses penemuan, berfikir induktif dan deduktif, serta pengembangan sikap ilmiah. Pelaksanaan pembelajaran IPA seperti diatas dipengaruhi oleh tujuan apa yang ingin dicapai melalui pembelajaran tersebut. Tujuan pembelajaran IPA di SD telah dirumuskan dalam kurikulum yang sekarang ini berlaku di Indonesia. Kurikulum yang sekarang berlaku di Indonesia adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam kurikulum KTSP selain dirumuskan tentang tujuan pembelajaran IPA juga dirumuskan tentang ruang lingkup pembelajaran IPA, standar kompetensi, kompetensi dasar, dan arah pengembangan pembelajaran IPA untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Sehingga setiap kegiatan pendidikan grave di SD harus mengacu pada kurikulum tersebut.
14
Tujuan pembelajaran IPA di SD menurut Kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) secara terperinci adalah: 1)
Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaann-Nya
2)
Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
3)
Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat
4)
Mengembangkan ketrampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan
5)
Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan
7)
Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan ketrampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP atau MTs.
2.1.4. Model Pembelajaran Talking Stick 2.1.4.1. Asal Mula Model Pembelajaran Talking Stick Talking Stick adalah model yang pada mulanya digunakan oleh penduduk asli Amerika untuk mengajak semua orang berbicara atau menyampaikan pendapat dalam suatu forum. Sebagaimana dikemukakan Carol Locust (dalam Deden: 2010) berikut ini: The talking stick has been used for centuries by many Indian tribes as a means of just and impartial hearing. The talking stick was commonly used in council circles to decide who had the right to speak. When matters of great concern would come before the council, the leading elder would hold the talking stick, and begin the discussion. When he would finish what he had to say, he would hold out the talking stick, and whoever would speak after him would take it. In this manner, the stick would be passed from one individual to another until all who wanted to speak had done so. The stick was then passed back to the elder for safe keeping.
Tongkat berbicara telah digunakan selama berabad-abad oleh suku–suku Indian sebagai alat menyimak secara adil dan tidak memihak. Tongkat berbicara sering digunakan kalangan dewan untuk memutuskan siapa yang mempunyai hak
15
berbicara. Pada saat pimpinan rapat mulai berdiskusi dan membahas masalah, ia harus memegang tongkat berbicara. Tongkat akan pindah ke orang lain apabila ia ingin berbicara atau menanggapinya. Dengan cara ini tongkat berbicara akan berpindah dari satu orang ke orang lain jika orang tersebut ingin mengemukakan pendapatnya. Apabila semua mendapatkan giliran berbicara, tongkat itu lalu dikembalikan lagi ke ketua/pimpinan rapat. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Talking Stick dipakai sebagai tanda seseorang mempunyai hak suara (berbicara) yang diberikan secara bergiliran/bergantian. 2.1.4.2. Pengertian Model Pembelajaran Talking Stick Model pembelajaran Talking Stick adalah model pembelajaran yang dipergunakan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran yang diiinginkan. Talking Stick sebagaimana dimaksudkan penelitian ini, dalam proses belajar mengajar di kelas berorientasi pada terciptanya kondisi belajar melalui permainan tongkat yang diberikan dari satu siswa kepada siswa yang lainnya pada saat guru menjelaskan materi pelajaran dan selanjutnya mengajukan pertanyaan. Saat guru selesai mengajukan pertanyaan, maka siswa yang sedang memegang tongkat itulah yang memperoleh kesempatan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini dilakukan hingga semua siswa berkesempatan mendapat giliran menjawab pertanyaan yang diajukan guru. Dalam bidang pendidikan, Talking Stick termasuk salah satu model pembelajaran yang dilakukan dengan bantuan tongkat. Siapa yang memegang tongkat wajib menjawab pertanyaan dari guru setelah siswa mempelajari materi pokoknya. Model pembelajaran Talking Stick sangat cocok diterapkan bagi siswa SD, selain untuk melatih berbicara pembelajaran ini akan menciptakan suasana yang menyenangkan dan membuat siswa aktif. Suprijono (2009:10) mengungkapkan bahwa “Model Talking Stick mendorong peserta didik untuk berani mengemukakan pendapat”. Model talking stick ini sangat tepat digunakan dalam pengembangan proses pembelajaran PAIKEM yaitu pembelajaran partisipatif, aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Pembelajaran PAIKEM adalah pembelajaran bermakna yang dikembangkan dengan cara membantu peserta didik membangun keterkaitan
16
antara informasi (pengetahuan) baru dengan pengalaman (pengetahuan lain) yang telah dimiliki dan dikuasai peserta didik. Model pembelajaran Talking Stick merupakan model pembelajaran interaktif karena menekankan pada keterlibatan aktif siswa selama proses pembelajaran.
Pembelajaran
dapat
dilaksanakan
guru
dengan
berbagai
pendekatan. Untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa, guru menggunakan media tongkat sebagai alat bantu dalam pelaksanaan Talking Stick. Apabila kita lihat dari pendapat di atas mengenai model pembelajaran Talking Stick yakni diharapkan setelah siswa mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan model Talking Stick ini dapat memperoleh banyak pengetahuan dan keterampilan. Siswa menjadi termotivasi untuk belajar lebih giat, kegiatan mengajar menjadi menyenangkan dan tidak membosankan. 2.1.4.3. Langkah-langkah Model Pembelajaran Talking Stick Teknis pelaksanaan model Talking Stick sebagai mana tercantum dalam buku panduan materi sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Nasional 2006 dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Guru menyiapkan sebuah tongkat. 2) Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk membaca dan mempelajari materi. 3) Setelah selesai membaca materi pelajaran, siswa diperintahkan untuk menutup buku. 4) Guru mengambil tongkat dan memberikan kepada siswa, setelah itu guru memberikan pertanyaan dan siswa yang memegang tongkat tersebut harus menjawabnya, demikian seterusnya hingga seluruh siswa mendapat bagian untuk menjawab pertanyaan yang diajukan guru. 5) Guru memberikan kesimpulan. 6) Melakukan evaluasi. 7) Menutup pelajaran.
17
Menurut Suherman (2006:84) sintaks pembelajaran Talking Stick adalah sebagai berikut: 1) Guru menyiapkan tongkat. 2) Guru menyajikan materi pokok. 3) Siswa diberi kesempatan untuk membaca materi lengkap pada wacana. 4) Siswa diminta menutup bukunya. 5) Guru menjelaskan aturan permainan. 6) Guru mengambil tongkat dan memberikan tongkat kepada siswa yang nantinya akan diputar dengan diiringi musik dari siswa yang satu ke siswa yang lain dan siswa yang memegang tongkat saat putaran berhenti melaksanakan intruksi dari guru misalnya diminta menjawab pertanyaan dari guru atau menyatakan pendapat, begitu seterusnya sampai sebagian besar siswa sudah menjawab. 7) Guru membimbing siswa dalam pembelajaran. 8) Guru dan siswa menarik kesimpulan. 9) Guru melakukan refleksi proses pembelajaran. 10) Guru memberi ulasan terhadap seluruh kegiatan yang dilakukan oleh siswa. 11) Siswa diberi evaluasi. Berdasarkan berbagai langkah-langkah model pembelajaran Talking Stick menurut berbagai sumber di atas, maka dapat dirangkum bahwa langkah-langkah model pembelajaran Talking Stick adalah sebagai berikut: 1) Penyajian Materi oleh Guru a. Guru menyiapkan tongkat. b. Guru menyajikan materi pokok. 2) Pendalaman Materi oleh Siswa a. Siswa diberi kesempatan untuk menbaca materi lengkap pada wacana. b. Siswa diminta menutup bukunya untuk memulai permainan Talking Stick. 3) Permainan dengan Tongkat a. Guru menjelaskan aturan permainan Talking Stick.
18
b. Guru mengambil tongkat dan memberikan tongkat kepada siswa yang nantinya akan diputar dengan diiringi musik dari siswa yang satu ke siswa yang lain. c. Siswa yang memegang tongkat saat putaran berhenti melaksanakan intruksi dari guru misalnya diminta menjawab pertanyaan dari guru, begitu seterusnya sampai sebagian besar siswa sudah menjawab. 4) Menarik Kesimpulan Guru bersama siswa menarik kesimpulan dari pembelajaran yang telah dilakukan. 5) Evaluasi a. Guru membagikan soal evaluasi. b. Siswa mengerjakan soal evaluasi. Suprijono (2010) pembelajaran dengan model Talking Stick mendorong peserta didik untuk berani mengemukakan pendapat. Hal itu merupakan salah satu kelebihan dari pembelajaran Talking Stick. Kelebihan yang lain antara lain: 1. Menguji kesiapan siswa. 2. Melatih membaca dan memahami dengan cepat. 3. Pembelajaran dirasakan menyenangkan oleh siswa karena menggunakan sistem permainan. 4. Agar lebih giat belajar (belajar dahulu).
2.1.5. Media pembelajaran 2.1.5.1. Pengertian Media Pembelajaran Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “medium“ yang secara harfiah berarti “perantara” atau “pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Gerlach dan Ely (dalam Hamdani, 2011) mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar, media adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi agar siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Dengan kata lain, media adalah komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung materi instruksional di lingkungan siswa, yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Adapun media pembelajaran adalah media yang membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran. Dalam pengertian yang lebih luas media pembelajaran adalah alat,
19
metode, dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara pengajar dengan pembelajar dalam proses pembelajaran dikelas. Selain membangkitkan motivasi dan minat siswa, media pembelajaran juga dapat membantu siswa meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpecaya. Media pembelajaran yang dapat digunakan guru untuk membantu membelajarkan siswa SD dalam belajar IPA, antara lain benda-benda konkrit (nyata), lingkungan alam, kit IPA, chart, slide film, film animasi, model, torso, globe, infokus dan reflector, komputer, mikroskop dan kaca pembesar. 2.1.5.2. Manfaat Media Pembelajaran Manfaat media pembelajaran sebagai alat bantu pembelajaran adalah sebagai berikut: 1) Pengajaran lebih menarik perhatian pembelajar sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar. 2) Memberikan struktur materi pelajaran dan mempermudah pembelajar untuk belajar. 3) Merangsang pembelajar untuk berpikir dan beranalisis. 4) Pembelajar dapat memahami materi pelajaran dengan sistematis yang disajikan pengajar lewat media pembelajaran. 2.1.5.3. Komputer sebagai media pembelajaran Penggunaan komputer sebagai media pembelajaran mungkin merupakan suatu hal baru bagi sekolah-sekolah di Indonesia. Apabila komputer digunakan sebagai media pembelajaran yang baikdi sekolah, harus memenuhi beberapa syarat. Sebab suatu media pembelajaran mempunyai kemampuan untuk meningkatkan motivasi belajar pembelajar. Penggunaan komputer sebagai media pembelajaran harus mempunyai tujuan untuk memberikan motivasi kepada pembelajar. Selain itu, harus mampu merangsang pembelajar untuk mengingat apa yang sudah dipelajari dan dapat memberikan rangsangan belajar baru bagi pembelajar. Dengan demikian, “media yang baik” akan memiliki kelampuan untuk “mengaktifkan pembelajar dalam memberikan tanggapan, umpan balik dan mendorong pembelajar untuk melakukan prktik-praktik dengan benar”.
20
2.1.5.4. Media Pembelajaran dengan Power Point Media pembelajaran dengan Power Point adalah sarana komunikasi untuk menyampaikan materi pembelajaran dengan menggunakan teknologi informasi (komputer) dengan aplikasi microsoft Power Point. Media pembelajaran dengan microsoft Power Point memiliki karakteristik (Sanaky, 2009) yaitu: 1) Berbentuk slide-slide. 2) Dapat digunakan secara berulang-ulang. 3) Berbentuk visual. 4) Menggunakan bantuan LCD Proyektor. 5) Menggunakan aplikasi Microsoft Power Point. Selain itu Microsoft Power Point juga memiliki kelebihan, kelebihan media pembelajaran dengan Microsoft Power Point yaitu: 1) Dapat memusatkan perhatian. 2) Dapat digunakan dalam kelompok besar (kelas). 3) Di bawah kontrol guru. 4) Dapat digunakan untuk menyampaikan berbagai materi pembelajaran. 5) Tahan lama (awet). 6) Penyimpanannya mudah. 7) Tidak memerlukan ruang gelap, karena itu siswa dapat melihatnya sambil mencatat interaktif. 8) Dapat menyajikan teks, gambar, animasi, audio, dan vidio sehingga lebih menarik siswa dalam belajar. 2.1.6. Motivasi Belajar 2.1.6.1. Pengertian Motivasi Belajar Aktivitas belajar kegiatan yang tidak terlepas dari faktor lain. Belajar tidak akan pernah dilakukan tanpa suatu dorongan yang kuat baik dari dalam yang lebih utama maupun dari luar sebagai upaya lain yang tidak kalah pentingnya. Salah satu aspek psikologis yang ada pada diri seseorang adalah motivasi. Samsudin (2005) memberikan pengertian motivasi sebagai proses mempengaruhi atau mendorong dari luar terhadap seseorang atau kelompok kerja agar mereka mau melaksanakan sesuatu yang telah ditetapkan. Motivasi juga dapat diartikan
21
sebagai dorongan (driving force) dimaksudkan sebagai desakan yang alami untuk memuaskan dan memperahankan kehidupan. Menurut Egsenck (dalam Slameto, 2003:170) motivasi merupakan suatu proses yang menentukan tingkatan kegiatan, intensitas, konsisten, serta arah umum dari tingkah laku manusia. Seseorang termotivasi atau terdorong untuk melakukan sesuatu karena adanya tujuan atau kebutuhan yang hendak dicapai. Sedangkan menurut Djamarah (2002: 114) motivasi adalah suatu pendorong yang rnengubah energi dalam diri seseorang kedalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam proses belajar, motivasi sangat diperlukan sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Nur (2001:3) bahwa siswa yang termotivasi dalam belajar sesuatu akan menggunakan proses kognitif yang lebih tinggi dalam mempelajari materi itu, sehingga siswa itu akan menyerap dan mengendapkan materi itu dengan lebih baik. Dari pengertian diatas peneliti menyimpulkan bahwa motivasi belajar adalah suatu kondisi yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Motivasi belajar merupakan daya penggerak psikis dari dalam diri seseorang untuk dapat melakukan kegiatan belajar dan menambah keterampilan, pengalaman. Motivasi mendorong dan mengarah minat belajar untuk tercapai suatu tujuan. Siswa akan bersungguh-sungguh belajar karena termotivasi mencari prestasi, mendapat kedudukan dalam jabatan, menjadi politikus, dan memecahkan masalah. Motivasi mempunyai peranan penting dalam proses belajar mengajar baik bagi guru maupun siswa. Bagi guru mengetahui motivasi belajar dari siswa sangat diperlukan guna memelihara dan meningkatkan semangat belajar siswa. Bagi siswa motivasi belajar dapat menumbuhkan semangat belajar sehingga siswa terdorong untuk melakukan perbuatan belajar. Siswa melakukan aktivitas belajar dengan senang karena didorong motivasi. Bila siswa memiliki motivasi selama proses belajar, segala kegiatan akan berjalan lancar, komunikasi berlangsung tanpa hambatan dan kecemasan atau ketekutan akan menurun. Sebagai suatu hasil, motivasi merupakan hasil diri suatu pembelajaran yang efektif. Pembelajaran
22
yang menarik, bermanfaat
dan cocok bagi siswa akan meningkatkan
kompetensi/keterampilan, keterlibatan dan usaha siswa dalam melaksanakan tugas belajar sehingga tujuan pembelajaran akan tercapai secara maksimal atau sesuai dengan harapan. Ada dua jenis motivasi dalam rangka perubahan perilaku, baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Berikut merupakan dua jenis motivasi. 1) Motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang datangnya secara alamiah atau murni dari diri peserta didik itu sendiri sebagai wujud adanya kesadaran diri (self awareness) dari lubuk hati yang paling dalam. 2) Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang datangnya disebabkan faktor-faktor di luar diri peserta didik, seperti adanya pemberian nasihat dari gurunya, hadiah (reward), kompetisi sehat antar peserta didik, hukuman (funishment), dan sebagainya. 2.1.6.2. Fungsi Motivasi Motivasi belajar bertalian erat dengan tujuan belajar. Terkait denga hal tersebut motivasi mempunyai fungsi: 1) Mendorong peserta didik untuk berbuat. Motivasi sebagai pendorong atau motor dari setiap kegiatan belajar. 2) Menentukan arah kegiatan pembelajaran yakni kearah tujuan belajar yang hendak dicapai. Motivasi belajar memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuan pembelajaran. 3) Menyeleksi kegiatan pembelajaran, yakni menentukan kegiatan-kegiatan apa yang harus dikerjakan yang sesuai guna mencapai tujuan pembelajaran dengan menyeleksi kegiatan-kegiatan yang tidak menunjang bagi pencapaian tujuan tersebut. 2.1.6.3. Cara Membangkitkan Motivasi Keberhasilan belajar pada dasarnya terletak pada tangan siswa sendiri, dan faktor motivasi belajar memegang peranan penting didalam menciptakan efektivitas kegiatan belajar-mengajar. Guru harus memotivasi siswa agar mereka aktif belajar, terlibat, dan berperan serta dalam setiap pelaksanaan proses belajar
23
mengajar dikelas. Oleh karena itu, guru harus memikirkan sebaik-baiknya usahausaha apa yang patut dilakukan untuk membangkitkan motivasi para siswa yang dikelolanya agar mereka melaksanakan kegiatan belajar secara aktif. Beberapa teknik atau pendekatan untuk memotivasi siswa agar memiliki gairah dalam belajar, antara lain sebagai berikut: 1) Berikan kepada siswa rasa puas untuk keberhasilan lebih lanjut. 2) Ciptakan suasana kelas yang menyenangkan. 3) Aturlah tempat duduk siswa secara bervariasi. 4) Pakailah metode penyampaian yang bervariasi sesuai dengan meteri yang disajikan. 5) Kembangkan pengertian para siswa secara wajar. 6) Berikan komentar terhadap pekerjaan siswa. 2.1.6.4 Mengukur Aspek - Aspek dalam Motivasi Motivasi merupakan aspek penting dalam proses pembelajaran peserta didik. Tinggi rendahnya motivasi belajar siswa dapat terlihat dari indikator motivasi itu sendiri. Mengukur motivasi belajar dapat diamati dari sisi-sisi berikut: 1) Durasi belajar, yaitu tinggi redahnya motivasi belajar dapat diukur dari seberapa lama penggunaan waktu peserta didik untuk melakukan kegiatan belajar. 2) Sikap terhadap belajar, yaitu motivasi belajar siswa dapat diukur dengan kecenderungan perilakunya terhadap belajar apakah sengang, ragu, atau tidak senang. 3) Frekuensi belajar, yaitu tinggi rendahnya motivasi belajar dapat diukur dari seberapa sering kegiatan belajar itu dilakukan peserta didik dalam periode tertentu. 4) Konsistensi terhadap belajar, yaitu tinggi rendahnya motivasi belajar peserta didik dapat diukur dari ketetapan dan kelekatan peserta didik terhadap pencapaian tujuan pembelajaran.
24
5) Kegigihan dalam belajar, yaitu tinggi rendahnya motivasi belajar peserta didik dapat diukur dari keuletan dan kemampuannya dalam mensiasati dan memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. 6) Loyalitas terhadap belajar, yaitu tinggi rendahnya motivasi belajar peserta didik dapat diukur dengan kesetiaan dan berani mempertaruhkan biaya, tenaga, dan pikiranya secara optimal untuk mencapai tujuan pembelajaran. 7) Visi dalam belajar, yaitu tinggi rendahnya motivasi belajar peserta didik dapat diukur
dengan
target
belajar
yang
kreatif,
inovatif,
efektif,
dan
menyenangkan. 8) Achievement dalam belajar, yaitu tinggi rendahnya motivasi belajar peserta didik dapat diukur dengan prestasi belajarnya. Cara mengukur motivasi yaitu dengan teknik penilaian non tes. Disini peneliti mengukur motivasi dengan cara memberikan angket kepada siswa kemudian siswa mengisi angket tersebut. Angket yang digunakan pada penelitian ini merupakan angket tertutup, artinya angket yang pengisianya hanya memberikan centang atau menyilang pada kolom yang telah tersedi dari beberapa item yang telah ditentukan oleh peneliti. Angket motivasi belajar dibuat dengan memperhatikan beberapa indikator agar proses pembelajaran yang dilakukan menarik, bermakna, dan memberikan tantangan pada siswa. Seperti pendapat Keller (dalam Sugihartono dkk, 2007:78-80) bahwa: Menyusun seperangkat prinsip-prinsip motivasi yang dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar yang disebut sebagai model ARCS. Dalam model ARCS ada 4 kategori kondisi motivasional yang harus diperhatikan guru agar proses pembelajaran yang dilakukan menarik, bermakna, dan memberi tantangan pada siswa. Kondisi tersebut adalah: a. Attention (perhatian) Perhatian siswa didorong rasa ingin tahu. Oleh karena itu rasa ingin tahu ini perlu mendapat rangsangan sehingga siswa selalu memberikan perhatian terhadap materi pembelajaran yang diberikan. Agar siswa berminat dan memperhatikan materi pelajaran yang disampaikan guru dapat menyampaikan materi dan metode secara bervariasi, senantiasa mendorong keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar, dan banyak menggunakan contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari. b. Relevance (relevan) Relevansi menunjukkan adanya hubungan antara materi pelajaran dengan kebutuhan dan kondisi siswa. Motivasi siswa terpelihara apabila siswa menganggap apa yang dipelajari memenuhi kebutuhan pribadi atau bermanfaat dan sesuai dengan nilai yang dipegang.
25
c. Confidence (kepercayaan diri) Merasa diri kompeten atau mampu merupakan potensi untuk dapat berinteraksi secara positif dengan lingkungan. Bandura (1977) mengembangkan konsep tersebut dengan mengajukan self efficacy. Konsep tersebut berhubungan dengan keyakinan pribadi bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu tugas yang menjadi syarat keberhasilan. Self efficacy tinggi akan semakin mendorong dan memotivasi siswa untuk belajar tekun dalam mencapai prestasi belajar yang maksimal. Agar kepercayaan diri siswa meningkat guru perlu memperbanyak pengalaman berhasil siswa misalnya menyusun kegiatan pembelajaran ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, meningkatkan harapan untuk berhasil dengan menyatakan persyaratan untuk berhasil dan memberikan umpan balik yang konstruktif selama proses pembelajaran. d. Satisfaction (kepuasan) Keberhasilan dalam mencapai tujuan akan menghasilkan kepuasan, dan siswa akan semakin termotivasi untuk mencapai tujuan yang serupa. Kepuasan dalam mencapai tujuan dipengaruhi oleh konsekuensi yang diterima, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri siswa. Untuk meningkatkan dan memelihara motivasi siswa guru dapat memberikan penguatan (reinforcement) berupa pujian, pemberian kesempatan dsb.
2.1.7. Hasil Belajar 2.1.7.1. Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar berasal dari dua kata dasar yaitu hasil dan belajar. Keberhasilan suatu proses belajar dan mengajar diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Hasil belajar didefinisikan sebagai hasil yang diharapkan dari pembelajaran yang telah ditetapkan dalam rumusan perilaku tertentu sebagai akibat dari proses belajarnya. Anni (2004:4) menyatakan bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar. Nasution (2006:36) juga berpendapat bahwa hasil belajar adalah hasil dari suatu interaksi tindak belajar mengajar dan biasanya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan guru. Sedangkan menurut Dimyati dan Mudjiono (2002:36) hasil belajar adalah hasil yang ditunjukkan dari suatu interaksi tindak belajar dan biasanya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan guru. Definisi hasil belajar menurut Hamalik (2002:155) hasil belajar tampak sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang dapat diamati dan diukur dalam perubahan pengetahuan sikap dan keterampilan. Perubahan dapat diartikan terjadinya peningkatan dan
26
pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, sikap tidak sopan menjadi sopan dan sebagainya. Dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian hasil belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa setelah terjadinya proses pembelajaran yang ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan oleh guru setiap selesai memberikan materi pelajaran pada satu pokok bahasan. Hasil belajar menjadi penting karena hasil belajar merupakan tolak ukur dari suatu kegiatan pembelajaran. Dengan mengetahui hasil belajar yang dimiliki siswa guru dapat menentukan tindakan apa yang harus guru tempuh setelah materi yang diberikan selesai apakah melanjutkan materi atau pengayaan bahkan remidi. 2.1.7.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar Faktor dari dalam diri, terdiri dari: a.
Kesehatan Apabila kesehatan anak terganggu dengan sering sakit kepala, pilek, deman dan lain-lain, maka hal ini dapat membuat anak tidak bergairah untuk mau belajar. Secara psikologi, gangguan pikiran dan perasaan kecewa karena konflik juga dapat mempengaruhi proses belajar.
b.
Intelegensi Slameto (2003:56) mengemukakan bahwa intelegensi atau kecakapan terdiri dari tiga jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dan cepat efektif mengetahui/menggunakan konsepkonsep yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat.
c.
Minat dan motivasi Minat
yang
besar
terhadap sesuatu terutama dalam belajar
akan
mengakibatkan proses belajar lebih mudah dilakukan. Motivasi merupakan dorongan agar anak mau melakukan sesuatu. Motivasi bisa berasal dari dalam diri anak ataupun dari luar lingkungan.
27
d.
Cara belajar Perlu untuk diperhatikan bagaimana teknik belajar, bagaimana bentuk catatan buku, pengaturan waktu belajar, tempat serta fasilitas belajar.
Faktor dari lingkungan, terdiri dari: a.
Keluarga Situasi keluarga sangat berpengaruh pada keberhasilan anak. Pendidikan orangtua, status ekonomi, rumah, hubungan dengan orangtua dan saudara, bimbingan orangtua, dukungan orangtua, sangat mempengaruhi prestasi belajar anak.
b.
Sekolah Tempat, gedung sekolah, kualitas guru, perangkat kelas, relasi teman sekolah, rasio jumlah murid per kelas, juga mempengaruhi anak dalam proses belajar.
c.
Masyarakat Apabila masyarakat sekitar adalah masyarakat yang berpendidikan dan moral yang baik, terutama anak-anak mereka. Hal ini dapat sebagai pemicu anak untuk lebih giat belajar.
d.
Lingkungan sekitar Bangunan rumah, suasana sekitar, keadaan lalu lintas dan iklim juga dapat mempengaruhi pencapaian tujuan belajar. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, jelas bahwa tinggi atau rendahnya hasil
belajar siswa tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas pembelajaran di sekolah saja. Ada faktor dari dalam diri siswa ataupun dari lingkungan siswa. Maka dari itu untuk dapat meningkatkan prestasi siswa, diharapkan ada keinginan dari dalam diri siswa dan juga dukungan ataupun motivasi dari keluarga dan lingkungan. 2.1.7.3. Penilaian Hasil Belajar Penilaian
merupakan
serangkaian
kegiatan
untuk
memperoleh,
menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan (Trianto, 2010:252). Cara mengukur hasil belajar pada peneliti ini adalah dengan teknik penilaian tes. Tes yang peneliti gunakan adalah tes objektif dalam bentuk tes
28
pilihan ganda. Tes pilihan ganda adalah salah satu bentuk tes objektif yang terdiri atas pertanyaan atau pernyataan yang sifatnya belum selesai, dan untuk menyelesaikannya harus dipilih salah satu dari beberapa kemungkinan jawaban yang telah disediakan pada tiap-tiap butir soal yang disediakan. Dari penggunaannya yang dipandang sudah valid, penilaian mempunyai pengaruh langsung pada pembelajaran. Penilaian proses pembelajaran adalah upaya memberi nilai terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru dalam mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Hasil penialian yang diperoleh menjadi penting dan dapat dipercaya. Instrumen-instrumen penilaian itu sendiri dapat dibentuk dan mempengaruhi kurikulum. Dengan demikian, penilaian menjadi suatu bentuk komunikasi yang menyampaikan suatu pesan dari guru kepada siswa mengenai apa yang penting untuk diketahui. Penilaian mempunyai beberapa fungsi, berikut adalah beberapa fungsi dari penilaian. 1) Alat untuk mengetahui tercapai-tidaknya tujuan pembelajaran. Dengan fungsi ini
maka penilaian
harus
mengacu pada
rumusan-rumusan tujuan
pembelajaran sebagai penjabaran dari kompetensi mata pelajaran. 2) Umpan balik bagi perbaikan proses belajar-mengajar. Perbaikan mungkin dilakukan dalam hal tujuan pembelajaran, kegiatan atau pengalaman belajar siswa, strategi pembelajaran yang digunakan guru, media pembelajaran, dll. 3) Dasar dalam menyusun laporan kemajuan belajar siswa kepada para orang tuanya. Dalam laporan tersebut dikemukakan kemampuan dan kecakapan belajar siswa dalam berbagai bidang studi atau mata pelajaran dalam bentuk nilai-nilai prestasi yang dicapainya. Tujuan dari penilaian adalah untuk mengukur seberapa jauh tingkat keberhasilan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan, dikembangkan dan ditanamkan di sekolah serta dapat dihayati, diamalkan/diterapkan, dan dipertahankan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu penilaian juga bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh keberhasilan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang digunakan sebagai feedback/umpan balik bagi guru dalam merencanakan proses pembelajaran selanjutnya. Hal ini
29
dimaksudkan untuk mempertahankan, memperbaiki dan menyempurnakan proses pembelajaran yang dilaksanakan (Sudjana, 2002:2). Penilaian ini harus dilakukan secara jujur, dan transparan agar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya (Mulyasa, 2002:183). Hal-hal
yang
perlu
diperhatikan
dalam
melaksanakan
penilaian
berdasarkan Kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi 2002 adalah : 1) Valid, artinya penilaian harus memberikan informasi yang akurat tentang hasil belajar siswa. 2) Mendidik, artinya penilaian harus memberikan sumbangan positif terhadap pencapaian hasil belajar siswa. 3) Berorientasi pada kompetensi, artinya penilaian harus menilaia pencapaian kompetensi yang dimaksud dalam kurikulum. 4) Adil, artinya penilaian harus adil terhadap semua siswa dengan tidak membedakan latar belakang sosial-ekonomi, budaya, bahasa dan gender. 5) Terbuka, artinya kriteria penilaian dan dasar pengambilan keputusan harus jelas dan terbuka bagi semua pihak (siswa, guru, sekolah, orang tua, dan pihak lain yang terkait) 6) Berkesinambungan, artinya penilaian dilakukan secara berencana, bertahap, dan terus-menerus untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan belajar siswa sebagai hasil kegiatan belajarnya. 7) Menyeluruh, artinya penilaian dapat dilakukan dengan berbagai teknik dan prosedur termasuk mengumpulkan berbagai bukti hasil belajar siswa. 8) Bermakna, artinya penilaian hendaknya mudah dipahami, mempunyai arti, berguna, dan bisa ditindak lanjuti oleh semua pihak (Fajar, 2002:184).
2.2.
Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain
menyebutkan
bahwa
melalui
model pembelajaran Talking Stick
dapat
meningkatan hasil belajar. Berikut adalah hasil penelitian oleh beberapa peneliti lain yang sudah berhasil.
30
Penelitian yang dilakukan oleh Winda Sustyanita Mutarto dengan judul: Penerapan model pembelajaran Talking Stick untuk meningkatkan pembelajaran IPA kelas IV SDN 2 Pringapus Kecamatan Dongko Kabupaten Trenggalek. Hasil penelitian
menunjukkan
bahwa
penerapan
model
talking
stick
dapat
meningkatkan pembelajaran IPA kelas IV, kompetensi dasar "mendeskripsikan perubahan kenampakan bumi" SDN 2 Pringapus Kecamatan Dongko Kabupaten Trenggalek. Penerapan model pada siklus I dan II memperoleh nilai 89,59 dan 95. Aktivitas belajar siswa meningkat ketika diterapkan model talking stick, pada sikus I dan II diperoleh nilai rata-rata 73,72 dan 87,05. Siswa yang mendapat kriteria tuntas belajar meningkat dari siklus I ke siklus II setelah diterapkan model talking stick, yaitu 57,69% menjadi 88,81%. Sedangkan rata-rata ketuntasan klasikal kelas siklus I dan II sebesar 73,08%. Skor tersebut telah mencapai skor ketuntasan klasikal yang ditetapkan oleh peneliti, yaitu 70%. Tatik, Darlia. 2012. Penerapan Metode Pembelajaran Talking Stick untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPS pada Siswa Kelas V SDN Blitar Kecamatan Sukorejo Kota Blitar. Skripsi, jurusan Kependidikan Sekolah Dasar dan Pra Sekolah. Program Studi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar FIP Universitas Negeri Malang. Penelitian ini bertujuan (1) Mendeskripsikan tentang pelaksanaan pembelajaran IPS kelas V di SDN Blitar Kecamatan Sukorejo Kota Blitar dengan model pembelajaran Talking Stick. (2) Mendeskripsikan peningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS kelas V dengan penggunaan model pembelajaran talking stick di SDN Blitar Kecamatan Sukorejo Kota Blitar. Tujuan penelitian pelaksanaan pembelajaran mata pelajaran IPS di kelas V SDN Blitar Kecamatan Sukorejo Kota Blitar adalah mendeskripsikan tentang pelaksanaan pembelajaran IPS kelas V di SDN Blitar Kecamatan Sukorejo Kota Blitar dengan model pembelajaran Talking Stick di SDN dan mendeskripsikan peningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS kelas V dengan penggunaan model talking stick di SDN Blitar Kecamatan Sukorejo Kota Blitar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model talking stick dapat meningkatkan hasil belajar IPS siswa. Dalam setiap siklus ketuntasan hasil belajar pada proses belajar siswa mengalami peningkatan yaitu
31
pra siklus (27,7%), siklus I (50%) dan siklus II (100%). Dalam setiap siklus ketuntasan belajar pada tes akhir siswa mengalami peningkatan yaitu pra siklus (30,6%), siklus I (63,9%), dan siklus II (100%). Kelebihan dari penelitian ini adalah peningkatan hasil belajar pada proses belajar dan hasil belajar pada tes akhir menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi. Kekurangan dari penelitian ini adlah
pada
tujuan
mendeskripsikan.
penelitian
Tindak
lanjut
kurang
sesuai
sebaiknya
jika
menggunakan
kata
tujuan dalam penelitian ini
dioperasionalkan. Senada dengan penelitian di atas, penelitian yang dilakukan oleh Dwi Enggar Septiyani berjudul “Penerapan Model Talking Stick untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran PKn Kelas V SDN Tanjungrejo 2 Malang” dimana hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penerapan model Talking Stick pada pembelajaran PKn dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SDN Tanjungrejo 2 Malang. Hal tersebut dilihat dari perolehan rata-rata hasil belajar siswa yang terus meningkat, mulai dari nilai rata-rata sebelumnya (62) mengalami peningkatan pada siklus I dengan nilai rata-rata kelas sebesar (66) dan persentase ketuntasan belajar kelasnya yaitu (50%) meningkat pada siklus II dengan nilai rata-rata kelasnya sebesar (80) dan persentase ketuntasan belajar kelasnya sebesar (93%). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, peneliti menerapkan model pembalajaran Talking Stick dengan tujuan untuk menekankan pemahaman siswa tentang materi IPA sehingga meningkatkan motivasi dan hasil belajar IPA melalui penelitian tindakan kelas. Hasil refleksi dan saran-saran penelitian-penelitian terdahulu dapat dijadikan dasar dalam melakukan penelitian tindakan kelas. Halhal yang menyebabkan kurang berhasilnya penelitian dapat dijadikan pengetahuan untuk penelitian selanjutnya, dan hal-hal yang yang menyebabkan penelitian terdahulu berhasil dapat dijadikan pedoman agar penelitian yang dilakukan dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPA kelas 2 SD Negeri Salatiga 02. Alasan penelti melakukan penelitian ini karena pada penelitian terdahulu hanya menggunakan model Talking Stick saja, maka penelitian yang dilakukan
32
oleh peneliti menambahkan penggunaan media Power Point untuk membantu meningkatkan pemahaman sehingga meningkatkan motivasi dan hasil belajar IPA. Oleh karena itu peneliti akan melakukan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan model pembelajaran Talking Stick dan pemanfaatan media Power Point akan lebih bagus.
2.3.
Kerangka Berpikir Motivasi belajar siswa sangat penting dalam pembelajaran, sebab
pengetahuan, keterampilan, dan sikap tidak dapat ditransfer begitu saja tetapi harus siswa sendiri yang mengolahnya. Praktik pembelajaran yang keliru menkondisikan siswa hanya menerima tanpa kreativitas untuk menemukannya sendiri pengetahuannya atau apa yang dibutuhka untuk dipelajari. Siswa seharusnya punya motivasi yang tinggi untuk belajar, dan aktif secara fisik maupun mental. Begitu juga dengan hasil belajar, tinggi atau rendahnya hasil belajar siswa tidak hanya dipengaruhi oleh adanya keinginan dari dalam diri siswa ataupun motivasi dari keluarga dan lingkungan disekitarnya, tetapi juga dipengaruhi oleh kualitas pembelajaran di sekolah. Motivasi dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran dapat diwujudkan melalui penggunaan berbagai macam variasi model pembelajaran dan media pembelajaran. Oleh karena itu peneliti menggunakan model pembelajaran Talking Stick dan pemanfaatan media Power Point untuk menumbuhkan motivasi dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran. Untuk memberikan ketertarikan dan suasana menyenangkan kepada siswa, maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan menggunakan model pembelajaran Talking Stick. Model ini dalam pelaksanaannya penuh dengan nuansa permainan tetapi tidak meninggalkan esensi proses pembelajaran. Melalui penggunaan model pembelajaran Talking Stick, murid diharapkan dapat lebih termotivasi dan aktif dalam pembelajaran IPA sehingga penguasaan siswa terhadap materi pelajaran dapat lebih maksimal. Hal ini tentunya diharakan dapat berimplikasi terhadap peningkatan hasil belajar murid, karena dalam model
33
pembelajaran tersebut, murid dapat belajar sambil bermain melalui permainan tongkat yang diberikan kepada murid. Keberadaan siswa
sebagai objek pencapaian tujuan pelaksanaan
pembelajaran sudah selayaknya diberikan keleluasaan dalam belajar sesuai dengan keinginan mereka, sepanjang keleluasaan tersebut tidak disalah artikan oleh siswa. Tugas gurulah untuk membimbing siswa jika dalam pelaksanaan proses pembelajaran masih terdapat siswa yang menunjukkan sikap yang tidak diinginkan. Maka melalui penggunaan model pembelajaran yang tepat dan efektif diharapkan terjadi perubahan sikap dan hasil belajar siswa, dalam hal ini peningkatan hasil belajar yang disebabkan penggunaan model Talking Stick dan pemanfaatan media Power Point dalam pelaksanaan proses pembelajaran IPA khususnya pada siswa kelas 2 SD Negeri Salatiga 02. Belajar sambil bermain Pembelajaran Interaktif
Pembelajaran PAIKEM
Model pembelajaran Talking Stick Motivasi Belajar Meningkat Media Power Point Hasil Belajar Meningkat Berbasis Komputer
Berbentuk Slide Media Visual
Gambar 2.1 Alur Kerangka Berfikir
34
2.4
Hipotesis Tindakan Bedasarkan tinjauan pustaka dan kerangka berpikir diatas, maka hipotesis
yang dirumuskan adalah sebagai berikut : 1) Motivasi belajar siswa kelas 2 SD Negeri Salatiga 02 pada mata pelajaran IPA dapat ditingkatkan melalui model pembelajaran Talking Stick dan pemanfaatan media Power Point. 2) Hasil belajar siswa kelas 2 SD Negeri Salatiga 02 pada mata pelajaran IPA dapat
ditingkatkan melalui model pembelajaran Talking Stick dan
pemanfaatan media Power Point.