BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Kajian Teori
2.1.1 Belajar Menurut Baharudin dan Esa nur Wahyuni (2007: 11) belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, ketrampilan, dan sikap. Belajar dimulai sejak lahir sampai akhir hayat. Menurut Slameto (2003: 2) Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperolaeh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Menurut Syaiful Sagala (2005: 11) belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit (tersembunyi). Suryabrata dan Syaodih Sukmadinata dalam Syaiful Sagala menegaskan bahwa belajar adalah berusaha mengatasi hambatan-hambatan untuk mencapai tujuan. Bruner dalam S. Nasution (2008: 9) menyatakan bahwa dalam proses belajar dapat dibedakan tiga fase atau episode, yakni:
1.
Informasi Dalam tiap pembelajaran, dieproleh sejumlah informasi, ada yang
menambah pengetahuan yang telah kita miliki, ada yang memperluas dan memperdalamnya, dan ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah seseorang ketahui sebelumnya. 2.
Transformasi Informasi
yang
telah
didapat
harus
dianalisis,
diubah
atau
ditransformasi ke dalam bentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan.
!
"
3.
Evaluasi Kemudian
informasi
tersebut
akan
dinilai
sampai
manakah
pengetahuan yang seseorang peroleh dan transformasi itu dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain. Gagne dalam Kokom Komalasari (2010: 2) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku yang meliputi perubahan kecenderungan manusia seperti sikap, minat, atau nilai dan perubahan kemampuannya yakni peningkatan kemampuan untuk melakukan berbagai jenis performance (kinerja). Sunaryo dalam Kokom Komalasari (2010: 2) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu kegiatan di mana seseorang membuat atau menghasilkan suatu perubahan tingkah laku yang ada pada dirinya dalam pengetahuan, sikap, dan ketrampilan. Dari kajian-kajian tentang belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang di dalamnya terdapat proses perubahan tingkah laku yang relatif mantap karena adanya latihan dan perolehan pengalaman, yang diarahkan pada tujuan mengubah tingkah laku dalam berpikir, bersikap, dan berbuat pada individu yang belajar. 2.1.2 Hasil Belajar Menurut Oemar Hamalik (2001: 155), menyatakan bahwa hasil belajar tampak sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang dapat diamati dan diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan sikap dan ketrampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan yang sebelumnya, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, sikap kurang sopan menjadi sopan, dan sebagainya. Menurut Nana Sudjana (1990: 22) pada dasarnya hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah menerima pengalaman belajar. Berdasarkan teori Taksonomi Bloom hasil belajar dalam rangka studi dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain kognitif, afektif, psikomotor. Perinciannya adalah sebagai berikut:
#
1. Ranah Kognitif Berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analitis, sintesis, dan penilaian. 2. Ranah Afektif Berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai. 3. Ranah Psikomotor Meliputi
ketrampilan
motorik,
manipulasi
benda-benda,
koordinasi
neuromuscular.( menghubungkan, mengamati ). Slameto (2003: 2) menyatakan bahwa perubahan yang terjadi dalam diri seseorang banyak sekali baik sifat maupun jenisnya karena itu sudah tentu tidak setiap perubahan dalam diri sesoeorang merupakan perubahan dalam arti belajar. Ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar adalah: (1) perubahan terjadi secara sadar; (2) perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional; (3) perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif; (4) perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara; (5) perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah; dan (6) perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku. Menurut Agus Suprijono (2011: 5) hasil belajar adalah pola-pola perbuatan,nilainilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan ketrampilan. Gagne dalam Agus Suprijono (2011: 5) menyatakan bahwa hasil belajar berupa (1) informasi verbal, (2) ketrampilan intelektual, (strategi Kognitif0, (4) ketrampilan motorik, dan (5) sikap. Sementara menurut Lindgren dan Agus Suprijono (2011: 7) hasil pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian dan sikap. Dari pengertian beberapa hasil belajar oleh para ahli di atas, maka dapat disimpulkan pengertian hasil belajar, yaitu sesuatu yang digunakan guru untuk menilai hasil pelajaran yang telah diberikan kepada siswanya dengan adanya perubahan tingkah laku pada siswa. Hasil belajar yang baik diindikasikan dengan tingkah laku yang lebih
$
baik daripada tingkah laku sebelum melakukan kegiatan belajar, bersifat kontinu, dan tidak hanya bertahan sementara. 2.1.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Perolehan hasil belajar antar siswa tidak sama karena banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar. Secara garis besar faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yakni: a.
Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan fisiologis dan psikologis: 1.
Keadaan fisiologis meliputi panca indera dan kondisi jasmani yang melatar belakangi aktivitas belajar seperti gizi yang cukup dan lain-lain. Menurut Syah (2005: 146) panca indera yang dominan adalah indera pendengaran dan penglihatan. Daya pendengaran dan penglihatan yang rendah, umpamanya, akan menyulitkan sensory register dalam menyerap item-item informasi yang bersifat echoic dan iconic (gema dan citra).
3. Faktor psikologis yang mempengaruhi proses belajar siswa meliputi: 1) kecerdasan/bakat, 2) motivasi, 3) perhatian, 4) berpikir, 5) ingatan/lupa, dan sebagainya. (Mappa, 1994: 36). b.
Faktor eksternal (faktor dari luar siswa). Yaitu keadaan/kondisi lingkungan di sekitar siswa. Faktor eksternal meliputi lingkungan sosial dan non sosial. 1. Lingkungan sosial meliputi lingkungan sekolah seperti guru, para staf administrasi dan teman-teman sekelas dan lingkungan sosial siswa seperti masyarakat dan tetangga juga teman-teman sepermainan serta lingkungan keluarga. 2. Lingkungan non sosial meliputi gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca, dan waktu belajar siswa.
c.
Faktor pendekatan belajar (approcah to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan mempelajari materi-materi pembelajaran.
%
Siswa dapat mencapai hasil belajar yang maksimal bila seorang guru tepat dalam menerapkan metode mengajar. Untuk itu diperlukan suatu metode pembelajaran yang inovatif dan mampu meningkatkan hasil belajar siswa yaitu metode demonstrasi. Seorang guru dalam menyampaikan materi perlu memilih metode mana yang sesuai dengan keadaan kelas atau siswa sehingga siswa merasa tertarik untuk mengikuti pelajaran yang diajarkan. Menurut Slameto (2003: 96) Dengan variasi metode dapat meningkatkan kegiatan belajar siswa. Dari penjelasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor internal dan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa seperti keadaan fisiologis dan psikologis. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan sosial dan non sosial. Penerapan metode pembelajaran yang tepat juga mempengaruhi hasil belajar siswa. Sedangkan faktor pendekatan belajar adalah faktor di dalamnya terdapat startegi pembelajaran. 2.1.4 Metode Demonstrasi Metode berasal dari bahasa latin “ methodos ” yang berarti jalan yang harus di lalui. Menurut Nana Sudjana (2002 : 260) metode adalah cara yang digunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya mengadakan pelajaran, oleh karena itu perana metode pengajaran sebagai alat untuk menciptakan proses belajar mengajar. Sedangkan menurut Sukartiaso dalam Moedjiono dan Dimyati (1995: 45) metode adalah cara untuk melakukan sesuatu atau cara untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2000: 14) metode demonstrasi adalah metode yang digunakan untuk memperlihatkan suatu proses atau kerja suatu benda yang berkenaan dengan bahan pelajaran. Sedangkan menurut Muhibbin Syah (2000: 33) metode demonstrasi adalah metode cara mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan atau urutan melakukan kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan/materi yang sedang disajikan.
&
Dari beberapa pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa metode adalah suatu cara yang di gunakan untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan. Dalam kegiatan pembelajaran, metode sangat diperlukan oleh guru untuk mencapai tujuan yang ingin di capai. Metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan memperagakan suatu kejadian, baik secara langsung ataupun menggunakan alat peraga.
Menurut Devi (2010: 8) metode demonstrasi adalah metode yang digunakan untuk membelajarkan siswa dengan cara menceritakan dan memperagakan suatu kegiatan-kegiatan suatu langkah-langkah pengerjaan sesuatu. Demonstrasi merupakan praktek yang dipergakan kepada siswa. Berdasarkan tujuannya demonstrasi dapat dibagi menjadi dua: 1) Demonstrasi proses yaitu metode yang mengajak siswa memahami langkah demi langkah suatu proses. 2) Demonstrasi hasil yaitu metode untuk memperlihatkan/memperagakan hasil dari sebuah proses. Setelah mengikuti demonstrasi siswa akan memperoleh pengalaman belajar langsung dengan melihat, melakukan, dan merasakan sendiri. Menurut Sumantri dalam Roestiyah (2001: 82) metode demonstrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan memperagakan atau mempertunjukkan kepada peserta didik suatu proses, situasi atau benda tertentu yang sedang dipelajari baik dalam bentuk sebenarnya maupun dalam bentuk tiruan yang dipertunjukkan oleh guru atau sumber belajar lain yang ahli dalam topik bahasan. Menurut Roestiyah (2001: 83) menyatakan bahwa metode demonstrasi adalah cara mengajar dimana seorang instruktur atau tim guru menunjukkan, memperlihatkan suatu proses. Menurut Devi (2010: 9) metode demonstrasi mempunyai keunggulan dan kelemahan. Keunggulan metode demonstrasi : 1)
Tidak banyak memerlukan peralatan laboratorium.
2)
Penggunaan bahan praktikum tidak boros.
3)
Pengembangan konsep terarah.
4)
Konsep yang dipelajari akan lebih mudah diingat karena siswa melihat fakta-fakta secara langsung. Kelemahan metode demonstrasi :
1)
Kalau siswa sama sekali tidak diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang halhal yang akan terjadi pada kegiatan demonstrasi, maka materi yang didemonstrasikan hanya akan berupa tontonan.
2)
Kalau sajian demonstrasi tidak dapat dilihat oleh semua siswa, materi ajar tentu saja tidak dapat terserap dengan baik.
3)
Siswa tidak terlatih dalam ketrampilan penggunaan alat.
4)
Demonstrasi memerlukan kesiapan dan perencanaan yang matang di samping memerlukan waktu yang cukup panjang, yang mungkin terpaksa mengambil waktu atau jam lain dalam pembelajaran. Dari kajian-kajian tentang metode demonstrasi yang telah dijelaskan, maka
dapat disimpulkan bahwa metode demonstrasi merupakan suatu cara dalam pembelajaran yang memperagakan/mempertunjukkan suatu proses, situasi, atau benda dalam bentuk nyata atau tiruan untuk mengajak siswa memahami langkahlangkah suatu proses. Melalui demonstrasi ini siswa akan mampu berpikir kritis dan kreatif sejak dini. Dengan demikian, di akhir kegiatan siswa diharapkan dapat menemukan sendiri konsep mengenai materi-materi yang diajarkan berdasarkan konsep dan cara mereka sendiri, yang mereka temukan melalui demonstrasi yang telah dilihat dan diperagakan. 2.1.5
Hakikat Pembelajaran IPA Pada hakikatnya IPA dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap
ilmiah. Menurut Donosepoetro dalam Trianto (2010: 137) IPA dipandang pula sebagi proses, sebagai produk, dan sebagai prosedur. Sebagai proses diartikan semua kegiatan ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan tentang alam maupun untuk menemukan pengetahuan baru. Sebagai produk diartikan sebagai hasil proses, berupa pengetahuan yang diajarkan dalam sekolah atau di luar sekolah ataupun bahan bacaan untuk penyebaran atau dissiminasi pengetahuan. Sebagai prosedur dimaksudkan adalah metodologi atau cara yang dipakai untuk mengetahui sesuatu (riset pada umumnya) yang lazim disebut metode ilmiah (scientific method).
Menurut Kardi dan Nur dalam Trianto (2010: 142) hakikat IPA mesti tercermin dalam tujuan pendidikan dan metode mengajar yang digunakan. Dengan demikian, pembelajaran IPA pada tingkat pendidikan manapun harus dikembangkan dengan memahami berbagai pandangan tentang makna IPA, yang dalam konteks pandangan hidup dipandang sebagai suatu instrumen untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan sosial manusia. Menurut Depdiknas (2006: 47) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsipprinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran IPA secara khusus sebagaimana tujuan pendidikan secara umum sebagaimana termaktub dalam taksonomi Bloom bahwa: Diharapkan dapat memberikan pengetahuan (kognitif), yang merupakan tujuan utama dari pembelajaran. Jenis pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan dasar dari prinsip dan konsep yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari. Pengetahuan secara garis besar tentang fakta yang ada di alam untuk dapat memahami dan memperdalam lebih lanjtu, dan melihat adanya keterangan serta keteraturannya. Di samping hal itu, pembelajaran sains diharapkan pula memberikan ketrampilan (psikomotorik), kemampuan sikap ilmiah (afektif), pemahaman, kebiasaan, dan apresiasi. Menurut Laksmi dalam Trianto (2010: 142) di dalam mencari jawaban terhadap suatu permasalahan karena ciri-ciri tersebut yang membedakan dengan pembelajaran lainnya. Dari uraian tersebut, maka hakikat dan tujuan pembelajaran IPA diharapkan dapat memberikan antara lain sebagai berikut: 1)
Kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam untuk meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2)
Pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang dasar dari prinsip dan konsep, fakta yang ada di alam, hubungan saling ketergantungan, dan hubungan antara sains dan teknologi.
3)
Keterampilan dan kemampuan untuk menangani peralatan, memecahkan masalah, dan melakukan observasi.
4)
Sikap ilmiah, antara lain skeptis, kritis, sensitive, objektif, jujur terbuka, benar, dan dapat bekerja sama.
5)
Kebiasaan mengembangkan kemampuan berpikir analitis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip sains untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam.
6)
Apresiatif terhadap sains dengan menikmati dan menyadari keindahan keteraturan
perilaku
alam
serta
penerapannya
dalam
teknologi.
(Depdiknas, 2003: 2). Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa proses belajar mengajar IPA lebih ditekankan pada pendekatan ketrampilan proses, hingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori-teori dan sikap ilmiah siswa itu sendiri yang akhirnya dapat berpengaruh positif terhadap kualitas proses pendidikan maupun produk pendidikan. Selama ini proses belajar mengajar fisika hanya menghafalkan fakta, prinsip atau teori saja. Untuk itu perlu dikembangkan suatu model pembelajaran IPA yang melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-idenya. Menurut Nur dan Wikandari dan Nur dalam Trianto (2010: 143) guru hanya memberi tangga yang mebantu siswa untuk mencaapi tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa dapat menaiki tangga tersebut. Prinsip-prinsip Piaget dalam pengajaran IPA Harsono (1993) diterapkan dalam program-program yang menekankan pembelajaran melalui penemuan dan pengalaman-pengalaman nyata dan pemanipulasian ala, bahan, atau media belajar yang lain seta peranan guru sebagi fasilitator yang mempersiapkan lingkungan dan memungkinkan siswa dapat meperoleh berbagi pengalaman belajar. Implikasi teori kognitif Piaget pada pendidikan adalah sebagai berikut: (1) memusatkan perhatian kepada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya.
Selain kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga samapai pada jawaban tersebut, (2) mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar.oleh karena itu, selain mengajar secara klasik, guru mempersiapkan beranekaragam kegiatan secara langsung dengan dunia fisik, (3) memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. 2.2
Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan Menurut penelitian yang dilakukan Mulyo, S.Pd, program PJJ FKIP UKSW
dengan judul “Upaya peningkatan hasil belajar IPA menggunakan metode demonstrasi di SD Negeri Karang Anom 02 Kec. Kandeman Kab. Batang semester I Tahun pelajaran 2010/2011”, hipotesis tindakan dalam penelitian tersebut yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan penggunaan metode demonstrasi dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas II SD Negeri Karang Anom 02 semester I tahun pelajaran 2010/2011 ternyata didukung oleh kebenaran empirik yang berupa hasil tindakan kelas dalam dua siklus. Hasil penelitian siklus I dan siklus II dengan penggunaan metode demonstrasi dalam pembelajaran lebih maksimal, maka hasil belajar siswa dapat meningkat. Terbukti dalam penelitian di SD Negeri Karang Anom 02 pada kelas II nilai rata-rata hasil belajar siswa apabila penyampaian materi tanpa menggunakan metode demonstrasi adalah 27,78% dan nilai rata-rata belajar siswa dengan menggunakan metode demonstrasi pada siklus I adalah 55, 56% tuntas, tidak tuntas 44,44% dengan jumlah nilai 1088, rata-rata 60,44%. Pada siklus II 80% tuntas, tidak tuntas 20% dengan jumlah nilai 1455, rata-rata 80,83. Penelitian yang dilakukan oleh Darsim, Program PJJ PGSD FKIP UKSW tahun 2010 dengan judul “ Upaya peningkatan hasil belajar IPA tentang sifat-sifat cahaya dengan metode demonstrasi di SD negeri Kalisalak UPK Kebasun Banyumas”, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Pembelajaran IPA dengan metode demonstrasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam materi pokok sifat-sifat cahaya. Hal itu dapat dilihat dari hasil belajar siswa pada tes pembelajaran siklus I dan siklus II. Rata-rata nilai siswa saat kondisi awal adalah 55, 76. Saat siklus I rata-rata nilainya meningkat sebanyak 75, 45 dan saat siklus II
!
rata-rata nilai siswa menjadi 85, 45 dan perbandingan ketuntasan siswa dari siklus I dan siklus II adalah sebanyak 53%. 2.
Penggunaan metode demonstrasi dalam pembelajaran IPA sangat berpengaruh bagi hasil belajar siswa dan nilai siswa sudah memenuhi KKM yang ditentukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2009), Program PJJ FKIP-PGSD UKSW dengan judul “ Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran IPA tentang Periskop Melalui Metode Demonstrasi di SD Negeri Ngablak 02 Semester II Tahun Pelajaran 2008/2009”, menyimpulkan bahwa metode demonstrasi berhasil meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SD Negeri Ngablak 02. Hasil belajar siswa pada saat belum dilakukan tindakan adalah 75% siswa memperoleh nilai di bawah KKM 65 dan 25% memperoleh nilai memenuhi KKM. Setelah dilakukan tindakan pada siklus I, hasil belajar siswa meningkat menjadi 60% memperoleh nilai memenuhi KKM. Sedangkan pada siklus perbaikan yaitu siklus II, hasil belajar siswa meningkat lagi menjadi 90% siswa memperoleh nilai memenuhi KKM 65. .Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode demonstrasi sangat efektif untuk digunakan dalam kegiatan pembelajaran IPA. Hal itu disebabkan oleh aktifitas siswa dapat timbul dengan sendirinya, seperti menyampaikan pendapat, menemukan sendiri materi pembelajaran dengan melakukan percobaan-percobaan, kerjasama, menghargai pendapat sesama teman dalam berkelompok dan sebagainya. 2.3
Kerangka Pikir Berdasarkan kajian teori yang telah diuraikan sebelumnya diperoleh kerangka
pikir bahwa kondisi awal pembelajaran IPA kelas V SD Negeri Kopeng 01 kec. Getasan Kab. Semarang Semester II tahun pelajaran 2011/2012 lebih banyak berpusat kepada guru, guru lebih banyak berceramah. Siswa hanya sebagai pendengar, kondisi seperti ini mengakibatkan siswa merasa bosan dan enggan belajar IPA. Akibatnya hasil belajar IPA siswa tidak maksimal. Ini terbukti dengan nilai pretest IPA siswa yang menunjukkan bahwa sebagian besar siswa mendapatkan nilai di bawah KKM 70. Dengan kondisi awal seperti ini kemudian peneliti akan melaksanakan suatu tindakan untuk mengatasinya. Peneliti akan menerapkan metode demonstrasi dlam proses pembelajaran IPA.
"
Dari tindakan yang dilaksanakan peneliti, diharapkan mencapai kondisi akhir, yaitu hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri Kopeng 01 Kec. Getasan Kab. Semarang semsetr II tahun pelajaran 2011/2012 dapat meningkat. Melalui metode demonstrasi, diharapkan siswa lebih senang dan tertarik untuk belajar IPA. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat digambarkan kerangka pikir yang disajikan pada gambar 2.1 berikut ini:
'
(
+
.
/ )
''
#&
*+,-
.
*
/
*+,
. /
'
''
0 #&-
Gambar 2.1. Kerangka Pikir
**
#
2.4
Hipotesa Tindakan penelitian Berdasarkan uraian dalam landasan teori dan kerangka pikir di atas, maka dapat
dirumuskan hipotesis dalam penelitian tindakan kelas sebagai berikut: jika pembelajaran dengan metode demonstrasi diterapkan dalam mata pelajaran IPA, maka dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 01 Kec. Getasan Kab. Semarang semester II tahun pelajaran 2011/2012.