BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Teori Pembelajaran 1. Definisi Pembelajaran dan Teori Deskriptif Preskreptif Pembelajaran memiliki hakikat perencanaan atau perencanaan (desain) sebagai upaya untuk membelanjarkan siswa (Hamzah B. Uno, 2011: 2). Menurut Isjoni (2012: 14) pembelajaran adalah upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar. Pada dasarnya pembelajaran adalah upaya yang membelajarkan siswa dalam kegiatan belajar. Bruner (dalam Degeng, 1989) yang dikutip Asri Budiningsih (2012: 11) mengemukakan bahwa teori pembelajaran adalah preskreptif dan teori belajar adalah diskriptif. Disebut preskreptif karena tujuan teori pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal, sedangkan deskriptif
karena tujuan utama
teori
belajar adalah
menjelaskan proses belajar. Pada intinya teori pembelajaran berupaya mengontrol variabel yang dispesifikkan dalam teori belajar agar memudahkan belajar. Teori pembelajaran mengungkapkan hubungan antara kegiatan pembelajaran dengan proses-proses psikologis dalam diri si belajar, teori pembelajaran harus memasukkan variabel metode pembelajaran.
12
Teori Pembelajaran deskriptif menempatkan variabel kondisi dan metode pembelajaran sebagai given, dan memberikan hasil pembelajaran sebagai variabel yang diamati. Atau kondisi dan metode pembelajaran sebagai variabel bebas dan hasil pembelajaran sebagai variabel tergantung. Sedangkan teori pembelajaran yang preskriptif, kondisi dan hasil pembelajaran ditempatkan sebagai given, dan metode yang optimal ditempatkan sebagai variabel yang diamati, atau metode pembelajaran sebagai variabel tergantung ( Asri Budiningsih, 2012: 17) 2. Teori Belajar Behavioristik Menurut Teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal (Asri Budiningsih, 2012: 27) : tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakter siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Dalam teori ini pembelajaran merupakan kegiatan belajar yang ditekankan sebagai aktifitas yang menuntun siswa untuk mengungkap kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, secara umum langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik yang dikemukakan oleh Siciati dan Prasetya irawan (Asri Budiningsih, 2012: 29) dapat digunakan merancang pembelajaran, Langkah-langkah tersebut meliputi: a) Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran b) Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal (entry behavior) siswa.
13
c) Menentukan materi pelajaran d) Memecahkan materi pelajaran menjadi bagian kecil-kecil, meliputi pokok bahasan, sub pokok bahasan, topik, dsb. e) Menyajikan materi pelajaran f) Memberi stimulus, dapat berupa pertanyaan baik lisan maupun tertulis, tes/kuis, latihan, atau tugas-tugas g) Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan siswa h) Memberikan penguatan atau hukuman i) Memberi stimulus baru j) Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan siswa k) Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman l) Demikian seterusnya m) Evaluasi hasil belajar. Sehingga pada dasarnya dalam teori ini pembelajaran merupakan kegiatan belajar yang ditekankan sebagai aktifitas yang menuntun siswa untuk mengungkap kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. 3. Teori Belajar Kognitif Teori belajar ini lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar, teori ini menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal (Asri Budiningsih, 2012: 48), dalam
14
merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi, tidak lagi mekanistik, kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut (Asri Budiningsih, 2012: 48): a) Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya, mereka mengalami perkembangan kognitif melaui tahp tertentu b) Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama menggunakan benda-benada kongkrit c) Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar sangat penting, karena dengan keaktifan siswa pembelajaran dapat berjalan baik d) Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar dengan mengaitkan pengalaman dan informasi baru e) Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi berpola dari sederhana ke kompleks Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam kegitan pembelajaran, keterlibatan siswa secara aktif amat dipentingkan, untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa, materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu.
15
4. Teori Belajar Konstruktivistik Pandangan konstruktivistik, pembelajaran konstruktivistik membantu siswa
menginternalisasi
dan
mentransformasi
informasi
baru.
Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru (Asri Budiningsih, 2012: 62). Karakteristik pembelajaran konstruktivistik yang dilakukan adalah: a) Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah ditetapkan, dan memberikan kebebasan siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara luas b) Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau gagasan, kemudian menyimpulkan c) Guru bersama siswa mengkaji pesan penting bahwa dunia adalah kompleks d) Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaian merupakan suatu usaha yang kompleks (Asri Budiningsih, 2012:65) Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya, oleh karena itu pembelajaran diusahakan agar dapat
16
memberikan kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal pada diri siswa. 5. Teori Belajar Humanistik Teori Humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat, sebagamana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah dinyatakan eksplisit dan dapat diukur, kondisi belajar yang diatur dan ditentukan, serta pengalaman belajar yang dipilih untuk siswa mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Asri Budiningsih, 2012:77). Kesimpulannya teori humanistik tujuan belajarnya adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri secara optimal. 6. Teori Belajar Sibernetik Menurut teori ini, belajar adalah pengolahan informasi (Asri Budiningsih, 2012: 81-90). Proses belajar memang penting dalam teori sibernetik, namun lebih penting lagi adalah sistem informasi yang diproses yang akan dipelajari siswa. Teori belajar pemrosesan informasi mendeskripsikan tindakan belajar merupakan proses internal yang mencakup beberapa tahapan. Tahpan-tahapan ini dapat dimudahkan
17
dengan menggunakan metode pembelajaran yang mengikuti urutan tertentu sebagai peristiwa pembelajaran, yang mempreskripsikan kondisi belajar internal dan eksternal utama untuk kapabilitas apapun. B. Tinjauan tentang Pendidikan Kewarganegraan 1. Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan Dengan dasar atau landasan proklamasi bangsa Indonesia bertekad mengupayakan pencapaian cita-cita nasional, dan tujuan nasional sebagai bagiannya yang telah disepakati bersama, tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pemb. UUD NKRI) yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Oleh karena itu kepada seluruh warga negara perlu dibekali kemampuan bela negara dalam rangka upaya mempertahankan dan mengamankan bangsa dan negara. Kemampuan itu harus secara dini diberikan kepada warga negara yang berhak wajib ikut serta dalam bela negara, yang tujuannya untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, meningkatkan keyakinan akan ketangguhan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Ketangguuhan ideologi bangsa harus didukung oleh pengmalannya. Bela negara yang dimaksudkan adalah tekad, sikap semangat dan tindakan seluruh warga negara secara teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut.
18
Pendidikan yang dimaksudkan dalam Undang-undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I, Pasal 1 ayat (1) adalah sebagai berikut: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kewarganegaraan berasal dari kata warga negara yang secara singkat berarti sekelompok manusia yang menjadi anggota suatu negara. Kewarganegaraan dalam rangka pendidikan, diartikan kesadaranan kecintaan serta berani membela bangsa dan negara. Pendidikan kewarganegaraan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam mengembangkan kecintaan, kesetiaan, keberanian untuk rela berkorban membela bangsa dan tanah air Indonesia. 2. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah nama salah satu mata pelajaran sebagai muatan wajib dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah (Pasal 37 Ayat 1 UU SPN). Selanjutnya dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi ditegaskan bahwa PKn termasuk cakupan kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian, dimaksudkan untuk
19
peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya
dalam
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa,
dan
bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Selain itu perlu pula ditanamkan kesadaran wawasan kebangsaan, jiwa patriotisme dan bela negara, penghargaan terhadap hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku antikorupsi, kolusi, dan nepotisme. (Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, 2011 :1-2) Dalam hal ini PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) disamakan dengan PKn (Pendidikan Kewarganegaraan). Karena hakekat PPKn merupakan civic education atau citizenship education (Pendidikan Kewarganegaraan) versi Indonesia. Pengertian PKn sangat beragam, berikut pengertian PKn secara umum, dikemukakan beberapa pengertian PKn (Cholisin, 2000: 1.7-1.8): a. Menurut National Council of Social Studies (NCSS) Amerika Serikat PKn adalah proses yang meliputi semua pengaruh positif yang dimaksud untuk membentuk pandangan seorang warga negara dalam peranannya di masyarakat. PKn adalah lebih dari pada sekedar bidang studi. PKn mengambil bagian dari pengaruh positif dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Melalui PKn, generasi muda dibantu untuk memahami cita-cita nasional, hal-hal yang
20
baik diakui oleh umum, proses pemerintahan sendiri, dan dibantu untuk memahami arti kemerdekaan untuk mereka dan untuk semua manusia dan untuk individu dan kelompok, dalam bidang kepercayaan, perdagangan, pemilu, atau dalam tingkah laku seharihari. Mereka juga dibantu untuk memahami bermacam-macam hak kemerdekaan warga negara yang dijamin dalam konstitusi dan peraturan-peraturan lainnya dan bertanggung jawab atas apa yang telah dicapainya. Dari pengertian PKn menurut NCSS, dapat dinyatakan bahwa ciri yang penting dari PKn (Civics Education) adalah: (1) merupakan program pendidikan (proses yang meliputi pengaruh positif); (2) fokus materinya adalah ideologi nasional, proses pemerintahan sendiri, hak dan kewajiban asasi dan warga negara sebagaimana yang dijamin dalam konstitusi ditambah dengan pengaruh positif dari keluraga, sekolah dan masyarakat; (3) tujuannya adalah membentuk orientasi warga negara tentang peranannya dalam masyarakat. b. Menurut Nu‟man Somantri Nu‟man Somantri, memberikan pengertian PKn adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik, yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, positive influence pendidikan sekolah, masyarakat, orang tua, yang kesemuanya itu diproses untuk melatih pelajar-pelajar berpikir kritis, analitis, dan
21
bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokrasi dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Dari definisi tersebut, dapat dinyatakan bahwa PKn memiliki ciri-ciri (1) merupakan program studi; (2) materi pokoknya adalah demokrasi politik yang diperluas dengan pengaruh positif dari pendidikan sekolah, keluarga dan masyarakat; (3) bersifat interdisipliner; (4) tujuan melatih berpikir kritis dan analitis (Intelektual skill), bersikap dan bertindak demokratis sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Dewasa ini, pengertian PKn, secara khusus mengacu pada pengertian yang ditetapkan Tim Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah yang menuliskan dalam Standar Isi mendefinisikan Pendidikan Kewarganegaraan (2006: 201) sebagai mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukkan warganegara yang memahami dan mampu
melaksanakan
warganegara
indonesia
hak-hak yang
dan
cerdas,
kewajiban terampil,
untuk dan
menjadi
berkarakter
sebagaiman diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Dari berbagai batasan pengertian yg disebutkan diatas, kesimpulan yang dinyatakan atau dimaksud Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang mencakup pembentukkan karakter warganegara yang berfokus untuk pemahaman dan pelaksanaan hak dan kewajiban menjadi warganegara yang berkarakter sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
22
3. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Secara sederhana tujuan PKn adalah membentuk warganegara yang lebih baik (a good citizen) dan mempersiapkan untuk masa depan. Dimon dan Pflieger (Cholisin, 2000: 1.15) mengidentifikasikan warganegara yang baik adalah yang memiliki ciri-ciri: (1) The good citizen is loyal (Warg yang baik adalah setia); (2) The good citizen practices democratic human relationships (Warga yang baik menerapkan hubungan yang demokratis antara sesama); (3) The good citizen tries to be a welladjusted person (warga yang baik berusaha untuk menjadi individu yang mudah menyesuaikan diri); (4) The good citizen is a learner (warga negara yang baik adalah pelajar); (5) The good citizen is a thinker (warga negara yang baik adalah pemikir); (6) The good citizen is a doer (warga negara yang baik adalah seorang yang melakukan). Sedangkan menurut National Council for The Social Studies (NCSS), dalam Donald W. Robinson yang dikutip Cholisin (2000: 1.15) mengajukan tujuan PKn, yaitu: “...civic education today seeks to create citizen who are informed, analytic, committed to democratic values, and actively involved in society”( PKn dewasa ini meminta untuk membuat warganegara yang terinformasi, analitis, melaksanakan nilai-nilai demokrasi dan terlibat aktif dalam masyarakat). Kemudian tujuan PKn tersebut dirinci menjadi 11 Poin sebagai berikut: a. Knowledge and skills for solving problems (Pengetahuan dan ketrampilan memcahkan masalah).
23
b. Awareness of the contemporary fole of science (Memiliki kesadaran akan peranan kontemporer dari ilmu pengetahuan). c. Readiness for effective economic life (Memiliki kesiapan untuk kehidupan ekonomi yang efektif). d. Value judgments for a changing world (Memiliki kemampuan mengambil keputusan-keputusan nilai terhadap dunia yang berubah-ubah). e. Receptivity to new facts, ideas, and ways of life (Penerimaan terhadap fakta-fakta baru, gagasan-gagasan baru dan cara-cara hidup baru). f. Particiaton in decision-making (Partisipasi dalam pembuatan keputusan). g. Belief in equaity and liberty (Meyakini akan asas persamaan dan kebebasan). h. National pride and international coorperation (Menumbuhkan kebanggaan nasional dan semangat kerja sama internasional). i. The creative arts and humanistic awarness (Menumbuhkan seni kreatif dan humanistik). j. A compassionate citizenry (Menumbuhkan perasaan belas kasihan terhadap rakyat atau menumbuhkan pandangan yang bisa menghargai manusia sebagai manusia). k. Development
and
application
of
democratic
principles
(Pengembangan dan pengetrapan prinsip-prinsip demokrasi).
24
Kemudian Menurut Ahmad Sanusi (Cholisin, 2000: 1.17), konsepkonsep pokok yang lazimnya merupakan tujuan Civic Education pada umumnya adalah sebagai berikut: a. Kehidupan kita dalam jaminan-jaminan konstitusi b. Pembinaan bangsa menurut syarat-syarat konstitusi c. Kesadaran warga negara melalui pendidikan dan koomunikasi politik d. Pendidikan untuk (ke arah) warganegara yang bertanggung jawab e. Latihan-latihan berdemokrasi f. Turut serta secara aktif dalam urusan-urusan publik g. Sekolah sebagai laboratorium demokrasi h. Prosedur dalam pengambilan keputusan i. Latihan-latihan kepemimpinan j. Pengawasan demokrasi terhadap lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif k. Menumbuhkan pengertian dan kerja sama internasional. Kemudian tujuan PKn di Indonesia menurut Simorangkir (Cholisin, 2000: 1.18) adalah: (1) Memberikan pengetahuan umum yang selayaknya diketahui oleh setiap warganegara Indonesia tentang bangsa, negara, dan pemerintah Republik Indonesia; (2) Membangkitkan dan memelihara keinsafan para pelajar kita, bahwa setiap warganegara itu mempunyai tanggung jawab terhadap diri pribadi, terhadap keluarga, terhadap masyarakat, terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (3) Membina dan
25
mengarahkan para anak didik kita menjadi putra-putri warganegara yang baik sebagai pemilik masa kini dan pewaris masa depan Tanah Air tercinta, NKRI. Menurut Pendapat Numan Somantri yang dikutip oleh Abdul Aziz (2011: 312) bahwa tujuan PKn hendaknya dirinci dalam tujuh kurikuler yang meliputi: (1) Ilmu pengetahuan, yang mencakup fakta, konsep, dan generalisasi; (2) Keterampilan intelektual, dari keterampilan sederhana sampai keterampilan kompleks, dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih, dari berpikir kritis sampai berpikir kreatif; (3) Sikap, meliputi nilai, kepekaan, dan perasaan; dan (4) Keterampilan Sosial. Apabila dikaji secara konseptual dan operasional pelaksanaan penyelenggaraan PKn di Indonesia akan tampak bahwa rincian tujuan kurikulum PKn ini umumnya telah terakomodasi secara parsial. Dalam Sistem Pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan saat ini, tujuan PKn mengacu pada standar isi mata pelajaran PKn sebagaimana yang tercantum dalam Permendiknas nomor 22 tahun 2006, tujuan PKn untuk jenjang SD, SMP, SMA tidak berbeda, semuanya berorientasi pada pengembangan kemampuan atau kompetensi peserta didik yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan kejiwaan dan intelektual, emosional, dan sosialnya. Secara rinci matapelajaran PKn bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan: 1. Berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
26
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi. 3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya. 4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi dan tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan dikaji secara seksama maka rumusan tujuan yang cukup pada hakikatnya mengarahkan warga negara pada tantangan kehidupan yang dinamis yakni tantangan pada era globalisasi, warga negara yang diharapkan adalah warga negara yang cerdas, warga negara yang mampu berfikir kritis, analitis dan warga negara yang memiliki dedikasi tinggi untuk memajukan bangsa dan mau melibatkan diri dalam kehidupan bermasyarkat, berbangsa, dan bernegara dan tentunya dilandasi pada kecintaan tanah air. 4. Cakupan Materi Pendidikan Kewarganegaraan Banyak pihak yang berpendapat dalam merumuskan materi cakupan PKn, berikut penyajian beberapa pandangan tentang cakupan PKn baik menurut para ahli, institusi, kurikulum, hasil seminar atau konsekuensi PKn sebagai pengembangan dari civis, konsekuensi PKn sebagai bagaian
27
sosialisasi politik/pendidikan politik (Cholisin, 2000:1.27), berikut menurut NCSS (National Council for Social) cakupan PKn meliputi: (a) Cita-cita nasional (Ideologi); (b) Hal-hal yang baik yang diakui oleh masyarakat (common good); (c) Proses pemerintahan sendiri (the process of self government); (d) Hak asasi manusia dan warga negara yang dijamin konstitusi, dan; (e) Seluruh pengaruh positif yang berasal dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sedangkan menurut Robert Fitch dalam makalahnya Citizenship Education in the United States and Pancasila Education in Indonesia, menyatakan bahwa secara garis besar cakupan PKn mencakup: (a) factor in United States History and Cultural shaping the Nation Today (Faktor di dalam Sejarah dan budaya bangsa amerika sekarang); (b) How American Politics Really Works (Bagaimana Politik amerika benar-benar bekerja); (c) Current Problems and Issues (Arus Masalah dan Isu). Menurut Konsep PKn sebagai pengembangan dari civics fokus materi Civics adalah demokrasi politik, karena PKn merupakan pengembangan dari civics, maka demokrasi politik menjadi materi pokok PKn, dengan ditambah dari aspek pendidikan. Menurut Konsep PKn sebagai aspek Pendidikan Politik, PKn juga akan mencakup konsep-konsep yang penting dalam sosialisasi politik, Menurut Byron G. Massiala (Cholisin, 2000: 1.29) : menyatakan Political socialization may be measured through the use of indexes, the most important of which are (1)political efficacy, (2) political trust; (3)
28
Citizen duty; (4) expectations of political participation; (5) political knowledge; and (6) other nation or world concept. Political efficacy, adalah kemampuan memahami fungsi pemerintah dan adanya perasaan bahwa ia atau warga negara yang lain memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi keputusan politik. Political trust, adalah perasaan yakin atau kurang yakin terhadap pemerintah dan pejabatpejabatnya akan mampu mengembangkan warga negara. Citizen duty, dimaksudkan
adanya
perasaan
memiliki
kewajiban
terhadap
pemerintahannya, yang diekspresikan lewat pemberian suara dalam pemilihan, menjalankan hukum dan peraturan. Political participation, dimaksudkan menyangkut kegiatan seperti melakukan diskusi politik atau mengikuti pertemuan dan rapat umum politik. Political knowledge, dimaksudkan
adalah
pengetahuan
akan
pemahaman
mengenai
pelaksanaan sistem politik serta kemampuan menilai secara kritis efektifitas sistem poltik. Other nation or world concept, dimaksudkan adanya persepsi mengenai hubungan antara suatu bangsa dengan bangsa lainnya dalam masyarakat dunia. Menurut
Hasil
Seminar
di
Tawangmangu-Surakarta
1972,
menetapkan Materi PKn meliputi materi IKN (Ilmu Kewargaan Negara) ditambah dengan Kewiraan, Filsafat Pancasila, Mental Pancasila dan filsafat pendidikan Nasional, serta menuju kedudukan para warganegara yang diharapkan dimasa depan (Cholisin, 2000: 1.30).
29
Menurut Standar Isi PKn 2006, cakupan materi PKn meliputi meliputi aspek-aspek sebagai berikut: a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia,
Sumpah
Pemuda,
Keutuhan
Negara
Kesatuan
Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif
terhadap
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia,
Keterbukaan dan jaminan keadilan. b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional. c. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban
anggota
masyarakat,
Instrumen
nasional
dan
internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM. d. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri , Persamaan kedudukan warga negara.
30
e. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, digunakan di
Konstitusi-konstitusi yang pernah
Indonesia, Hubungan dasar negara dengan
konstitusi. f. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi. g. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan seharihari, Pancasila sebagai ideologi terbuka. h. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, Mengevaluasi
globalisasi.
dan
(http://staff.uny.ac.id/dosen/drs-
cholisin-msi, diakses tanggal 17 maret 2013 pukul 17.00) Memperhatikan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa cakupan materi PKn berkaitan dengan nilai untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang baik (Common Good), dan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk mempersiapkan warga negara untuk masa depan, dan nilai-nilai
31
tersebut berkembang untuk ruang lingkup individu, keluarga, lokal, regional, nasional, dan inetrnasional. 5. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan a. Pengertian Inovasi pembelajaran PKn dalam komponen pendekatan harus selalu dilakukan oleh semua prkatisi pendidikan, terlebih khususnya guru, salah satu inovasi itu adalah pergeseran dalam penerapan pendekatan pembelajaran PKn dari pendekatan yang berorientasi pada tujuan dan isi (content based carriculum) ke arah yang lebih menekankan pada proses (process based curriculum) bahkan sekarang telah bergeser pada inovasi yang lebih terkini, yakni pendekatan yang berorientasi pada kompetensi (competency based curriculum). Gagasan ini dimaksudkan agar melalui PKn dapat terbentuk warga negara yang lebih mandiri dalam memahami dan mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi serta mengambil keputusan-keputusan yang terbaik bagi dirinya dan lingkungan sekitar. Kemampuan ini telah dirangkum menajadi tiga sasaran pembelajaran PKn ( Abdul Aziz, 2011:334) yang dikenal sebagai orientasi tujuan pembelajaran PKn untuk membentuk warga negara yang demokratis, ialah membentuk warga negara yang baik dan cerdas (good and smart citizen), partisipatif (participative citizen), dan bertanggung jawab (responsible citizen).
32
Jelas dinyatakan pemaparan diatas pembelajran PKn adalah merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik untuk terfokus pada pembentukan warga negara yang demokratis, yang baik dan cerdas, partisipatif dan bertanggung jawab.
b. Indikator Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Sejak
disahkannya
ketentuan
perundangan
tentang
Sistem
Pendidikan Nasional yakni UU No 20 Tahun 2003, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan ditindak lanjuti oleh Permendiknas Nomor 20/2008 tentang Standar Penilaian, maka ketentuan tentang penilaian mata pelajaran PKn di Indonesia mengacu pada semua ketentuan tersebut. UU Nomor 20 tahun 2003 pasal 35 ayat (1) menyatakan standar nasional pendidikan mencakup standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidikan dan tenaga kependidikan, sarana
dan
prasarana,
pendidikan lebih lanjut
pengelolaan, pembiyaan, dan penilaian dikemukakan bahwa standar nasional
pendidikan merupakan dasar untuk penjamin dan pengendalian mutu pendidikan. Menurut Abdul Aziz (Abdul Aziz Wahab, 2011:350) Standar penilaian berorientasi pada tingkat penguasaan kompetensi yang ditargetkan dalam standar isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan
33
(SKL), dan dalam PP Nomor 19 pasal 1 butir 5 dinyatakan bahwa SI adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Pada pasal I butir 4 dinyatakan bahwa yang dimaksud SKL adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian pendidikan termasuk PKn hendaknya mencakup semua kemampuan yang utuh dan komperhensif. Pasal 64 ayat (3) menyatakan bahwa penilaiaan hasil belajar kelompok mata pelajaran PKn dan kepribadian dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai pengembangan afeksi dan kepribadian peserta didik, serta ujian, ulangan, dan/ atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Menurut Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 mengenai standar proses, ketercapaian pembelajaran adalah dengan menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi: Dalam kegiatan eksplorasi guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan
34
belajar dari aneka sumber, kemudian guru menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain. Guru memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya, guru melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran dan memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan. Dalam kegiatan elaborasi guru membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna, guru memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis. Guru memberikan kesempatan untuk berpikir, menganalisi, menyelsaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut. Guru juga memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif. Guru memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar, guru memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok, guru memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok, guru memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan, guru memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.
35
Dalam kegiatan konfirmasi guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik, guru memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber. Guru memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh
pengalaman
belajar
yang
telah
dilakukan,
guru
memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar. Sehingga dapat ditarik kesimpulan dari paparan diatas adalah ketercapaian
dari
indikator
pembelajaran
adalah
guru
telah
melaksanakan pembelajaran dengan proses elaborasi, eksplorasi, dan konfirmasi. Ditinjau dari sudut perencanaan, melalui Standar Isi yang telah ditetapkan harus terpenuhi sebagai indikator tercapainya pembelajaran, dalam proses dan pelaksanaan, melalui pembelajran yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh SI disalurkan melaui Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang disajikan secara baik dan benar untuk mendidik peserta didik untuk membentuk karakter good citizen. Melalui Evaluasi dilihat dari tingkah laku dan sikap peserta didik dengan melihat proses perubahannya dari tahap pertahap. Jadi berdasarkan pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan indikator tercapainya pembelajran PKn adalah peserta didik diharpakan, dapat merubah perilaku sikap seiring bertambahnya ilmu khususnya tentang
36
Pendidikan Kewarganegaraan, maupun perkembangan pemikiran sejalan dengan bertambahnya ilmu pengetahuan dengan dipantau oleh Pendidik
melalui
standar-standar
yang
telah
ditetapkan
oleh
pemerintah.
C. Pendidikan Politik 1. Konsep Pendidik Politik PKn sebagai pendidikan politik terikat oleh nilai (Value Based), nilai pengikatnya
adalah
sistem
politik
nasional
yakni
demokrasi
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta kebiasaan-kebiasaan yang baik (Common Good) dalam masyarakat Indonesia. Substansi PKn adalah pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) yang berbasis pada keilmuan yang jelas dan relevan bagi masyarakat demokratis, keterampilan kewarganegaraan (civic skills), karakter kewarganegaraan (Civic dispositions) yang mampu mengembangkan pembangunan karakter bangsa (nation and character building), pemberdayaan warganegara (citizen empowerment) dan masyarakat kewarganegaraan (civil society) (Cholisin, 2006: 13). Menurut Edgar Fore sebagaimana dikutip oleh Utsman (2000: 81) mendefinisikan pendidikan politik sebagai penyiapan generasi untuk berfikir merdeka seputar esensi kekuasaan dan pilar-pilarnya, seputar faktor-faktor
yang
berpengaruh
dalam
lembag-lembaga
atau
berpengaruh dalam masyarakat melalui lembaga-lembaga tersebut.
37
Edgar juga berpendapat bahwa yang esensial dari pendidikan politik adalah mengaitkan aktivitas pendidikan dengan praktek kekuasaan secara seimbang, berguna, dan demokratis. Good yang dikutip oleh Utsman (Utsman, 2000: 82) mendefinisikan pendidikan politik adalah sebagai pengembangan kesadaran generasi terhadap
berbagai
problematika
kekuasaan
dan
kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan politik. Pengembangan aspek itu adalah dengan
menggunakan
berbagai
sarana
seperti
diskusi-diskusi
nonformal, ceramah-ceramah, dan berpartisipasi dalam kegiatan politik. Sedangkan
menurut
pendapat
ahli
lain
Pendidikan
Politik
merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan, melalui pesan ini para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik yang ideal dari berbagai pihak dalam sistem politik, seperti pemerintah, sekolah, dan partai politik (Ramlan Surbakti, 1992: 117) Ahli lain juga yaitu Alfian mengemukakan bahwa sosialisasi politik dapat dianggap sebagai pendidikan politik dalam arti yang longgar. Disadari atau tidak, disenangi atau tidak, diketahui atau tidak, hal itu dialami oleh semua anggota masyarakat baik penguasa ataupun orang awam (Alfian, 1978: 235). Sedangkan dalam arti sempit, Alfian juga mengemukakan bahwa pendidikan politik dalam arti dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-
38
nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun (Alfian, 1990: 245). Almond dan Verba mengemukakan manfaat pendidikan politik adalah
pendidikan
dapat
mengembangkan
sejumlah
komponen
kebudayaan warganegara yang besar. Pendidikan dapat melatih individu dalam keahlian berpartisipasi politik. Mereka dapat diajarkan bagaimana mengumpulkan informasi, mereka dapat berhubungan dengan media massa, mereka dapat mempelajari struktur formal politik, dan juga arti penting lembaga pemerintah dan lembaga politik. Dan terbuka peluang mengadakan komunikasi melalui pendidikan dengan norma eksplisit partisipasi dan bertanggung jawab demokratis (Almond verba, 1984: 447) Pendidikan politik dari berbagai pemaparan ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa
Pendidikan
Politik
adalah
proses
dimana
penanaman nilai-nilai politik oleh pendidik yang dilakukan sengaja atau tidak sengaja, disadari ataupun tidak disadari, direncana atau tidak direncana yang tidak terbatas informal ataupun nonformal, agar terbentuk warga negara yang mau berpartisipasi aktif dalam sistem politik serta sadar akan hak dan kewajibannya secara bertanggung jawab. 2. Tujuan Pendidikan Politik Menurut Alfian (1992: 235), pendidikan politik mempunyai tujuan yaitu usaha sadar untuk mengubah politik masyarakat sehingga mereka
39
memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap dan tingkah laku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal tersebut, dan bersamaan dengan itu lahir pulalah suatu kebudayaan politik baru. Dengan kata lain pendidikan politik bertujuan mengubah pola pikir masyarakat yang menganggap bawasannya politik itu hanya diperankan oleh segelintir elit politik yang bercokol di pemerintahan, dengan berusaha menanamkan penghayatan nilai-nilai politik dan tatcara politik dengan disadarkan hak dan kewajiban yang bertanggung jawab bahwa seluruh element lapisan masyarakat terlibat dalam sistem politik, agar tercipta sebuah paradigma baru, cara berpikir baru yang akhirnya membuat culture baru politik.
3. Agen-agen Pendidikan Politik Dalam Pendidikan politik, terdapat agen-agen politik, yang mulai dari ruang lingkup terkecil adalah keluarga, lingkungan/masyarakat, sekolah, dan partai politik, semua berperan penting untuk membentuk sebuah budaya politik. Karena Pendidikan Politik/Sosialisasi politik adalah proses mentransmisikan nilai-nilai politik. Untuk dapat mentranmisikan nilai-nilai, sikap-sikap, pandangan-pandangan ataupun keyakinan-keyakinan politik itu diperlukan agen-agen.
40
Untuk dapat mensosialisasikan nilai politik, maka agen/ sarana sosialisasi politik harus mengunakan metode penyampaian pesan yang tepat, Tentang metode penyampaian pesan tersebut adalah sebagai berikut (Ramlan Surbakti, 1992: 117-118): A. Dari segi metode penyampaian pesan sosialisasi politik dibagi menjadi dua, yakni: a. Pendidikan Politik merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. b. Indoktrinasi Politik, adalah suatu proses sepihak ketika penguasa
memobilisasi
dan
memanipulasi
warga
masyarakat untuk menerima nilai, norma dan simbol yang dianggap pihaknya berkuasa sebagai ideal dan baik. B. Berdasarkan pada metode, bentuk dan cara penyampaian sosialisasi politik digeneralisasikan dalam dua bentuk yakni: a. Sosialisasi Politik Langsung (direct forms of political socialisation) Sosialisasi langsung ini menunjukan suatu proses
dimana
hal-hal
yang
ditransmisikan
atau
disampaikan secara langsung kepada generasi berikutnya. Sosialisasi politik langsung ini dapat berwujud nilai-nilai informasi,
sikap-sikap,
pandangan-pandangan
dan
keyakinan mengenai politik secara eksplisit b. Sosialisasi Politik Tidak Langsung (Indirect forms of political socialisation).
41
Dari banyaknya agen-agen pendidikan politik, dapat disimpulkan bawasannya agen pendidikan politik tersebut dapat melakukan pendidikan politik dengn benar menggunakan cara yang sama dapat melalui dialogtik pendidikan politik dimana ada yang berperan sebagai pemberi dan penerima pesan, atau melalui indoktrinasi politik yang biasanya dilakukan elite penguasa untuk memanipulasi pengetahuan politik warga negaranya. 4. Sekolah Sebagai Agen Pendidikan Politik Sekolah hanyalah merupakan salah satu agen sosialisasi politik untuk siswa. Sekolah melakukan sosialisasi politik terutama melalui PKn yang memiliki karakteristik antara lain: terprogram (terencana) dan sistematis, sebagaimana tercermin dalam kurikulum juga memiliki karakteristik sebagai berpadunya atau berinteraksinya orientasi politik yang telah diperoleh dalam sosialisasi politik melaui agen yang lain (keluarga, teman, masyarakat, dan lain-lain). Sehingga dalam sosilalisasi politik
di sekolah dapat bersifat mempertajam atau
memperluas orientasi politik yang telah dimiliki subyek didik, atau meluruskan sejalan dengan aturan main dalam politik (sistem politik nasional) yang berlaku dan prinsip-pronsip ilmiah (berdasarkan teori) (Cholisin, 2000: 9.14). Pendidik ataupun guru bertanggung jawab menanamkan nilai-nilai politik melaui pembelajaran PKn dengan cerminan kurikulum yang ada dengan berpatokan pada Standar isi yang telah ditetapkan, sehingga
42
pendidikan politik tidak melenceng jauh dari yang diharapkan dan tentunya guru mempunya pondasi kuat dalam pendidikan politik, sehingga orientasi politik peserta didik dapat terasah dan terarah guna membentuk kebudayaan politik yang baik dan benar. 5. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Politik PKn merupakan mata pelajaran yang bertujuan untuk membentuk warganegara yang lebih baik (a Good citizen) dan mempersiapkan untuk masa depan. Warga negara yang baik adalah warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, baik itu dalam bidang politik, sosial, budaya dan lain-lain. Oleh karena itu melalui PKn warganegara perlu diberikan pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge),
ketrampilan
kewarganegaraan
(civic
skill),
dan
pengembangan karakter kewarganegaraan (civic dispositions). Prewit & Dawson dalam Hand out kuliah PKn yang dikutip oleh Cholisin, menyatakan ada tipe pengajaran politik yaitu PKn (civi education) dan Indoktrinasi Politik. James Colleman membedakan antara kedua tipe itu bahwa PKn atau latihan Kewarganegaraan (civic training) merupakan bagian dari pendidikan politik yang menekankan bagaimana seorang warga negara yang baik berpartisipasi dalam kehidupan politik bangsanya. Dan yang dimaksud indoktrinasi politik lebih memperhatikan belajar ideologi politik tertentu yang dimaksudkan untuk merasionalisasi dan menjastifikasi rezim tertentu.
43
PKn sebagai pendidikan politik di sekolah berarti menyangkut belajar dan mengajar tentang politik dalam mata pelajaran PKn yang disampaikan secara manifes dan eksplesit di sekolah oleh guru secara resmi dan terstruktur yang berpedoman pada kurikulum yang ada (Cholisin, 2000: 9.5) Dalam paradigma barunya yang dipakai sekarang ini, PKn lebih mengarahkan pada pembentukkan pribadi siswa yang paham akan politik, dan ini memang sudah seharusnya diberikan kepada para siswa, karena pendidikan politik akan lebih bermanfaat dan juga akan memberikan pengetahuan politik warga negara terutama dalam pembentukan warganegara yang baik tersebut (a good citizens). Dalam pendidikan politik paradigma baru tentunya sudah tidak lazim bila menerapkan pendidikan politik yang berorientasi pada indoktrinasi politik, melaui dialogtik antar pendidik dan peserta didik dituntut adanya sebuah kebebasan yang bertanggung jawab agar, dengan adanya pertukaran pemikirian menyebabkan perkembangan pembelajaran berorientasi pada pembelajran yang demokrasi, oleh karena itu pendidikan kewarganegaraan sudah saat nya melakukan pendidikan politik yang demokrasi tidak terbelenggu oleh apapun dan berlandaskan demokrasi pancasila, dengan ini maka akan disampaikan beberapa pemaparan tentang demokrasi dan demokrasi Pancasila:
44
a. Hakikat dan Konsep Demokrasi Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua suku kata Yunani, yaitu demos, yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan cratein atau cratos, yang kekuasaan atau kedaulatan. Gabungan dua kata demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) memiliki arti suatu sistem pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Sedangkan pengertian demokrasi secara terminologi adalah seperti yang dikatakan oleh para ahli tentang demokrasi (A. Ubaedillah & Abdul Rozak, 2008: 36): (a) Joseph A. Schmeter mengatakan, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat; (b) Sidney Hook berpendapat, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusankeputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa; (c) Philippe C. Schmitter menyatakan, demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warag negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih; dan (d) Henry B. Mayo menyatakan,
45
demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Dari beberapa pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa hakikat demokrasi adalah peran utama rakyat dalam proses sosial dan politik. Dengan kata lain, pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan ditangan rakyat yang mengandung pengertian tiga hal: pemerintahan dari rakyat (goverment of people); pemerintah oleh rakyat (goverment by the people); dan pemerintahan untuk rakyat (goverment for the people). Tiga faktor ini merupakan tolak ukur umum dari suatu pemerintahan yang demokratis. Schumpeter yang dikutip oleh hasna habib (Cholisin, 2002: 17) mengartikan demokrasi sebagai kompetisi memperoleh suara rakyat.
Pengertian
pada
esensi
itu
merupakan
pengertian
„minimalis‟ dan disebut “demokrasi elektoral” atau “demokrasi formal”. Robert Dahl yang dikutip oleh Ramlan Surbakti (Cholisin, 2002: 17-18) mengajukan konsep “demokrasi polyarchy”. Konsep demokrasi polyarchy, melibatkan dua dimensi yaitu perlombaan (contestation) dan peran serta (participation). Prosedur demokrasi semacam
ini
mengasusmsikan
adanya
kebebasan-kebebasan
46
berbicara, menyebarluaskan pendapat, berkumpul, dan berserikat sehingga perdebatan politik dan kampanye pemilihan umum dapat diselenggarakan. Tentang nilai-nilai yang dikandung oleh oleh demokrasi Sigmun Neuman dalam buku Meriam Budiardjo yang dikutip Cholisin (2002: 20) menyatakan meliputi nilai-nilai sebagai berikut: 1. Sebagai zoon politikon, manusia menemukan kepuasan dan kebebasan jiwanya dalam melakukan peranannya di dalam masyarakat. Ia ingin menjadi suatu makhluk sosial. 2. Setiap generasi dan setiap masyarakat harus menemukan jalannya sendiri yang berguna, untuk sampai kepada kepuasan, dan untuk ini, ia harus meninjau kembali masalah-masalah dunia, negara dan masyarakat. 3. Kebesaran demokrasi terletak dalam hal ia memberikan setiap
hari
kepada
manusia
kesempatan
untuk
mempergunakan kebebasannya dan dalam pada itu, memenuhi kewajibanya dan dengan demikian menjadikan pribadi yang lebih baik. Menurut Henry B. Mayo (R. Siti Zuhro dkk, 2009: 17-18), demokrasi mencakup beberapa norma atau nilai,
yaitu:
penyelesaian perselisihan secara damai dan melembaga; terjadinya perubahan secara damai dalam suatu
masyarakat yang sedang
47
berubah; pergantian pimpinan secara teratur; pembatasan pemakai kekerasan
(paksaan)
secara
minimum;
pengakuan
dan
penghormatan atas keanekaragaman serta jaminan penegak keadilan.
Senada
dengan
Mayo,
Carter
dan
Hertz
mengkonseptualisasi tujuh ciri demokrasi yaitu: pembatasan terhadap tindakan pemerintahan dengan menjamin terjadinya pergantian pemimpin secara berkal, tertib, damai, melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif; menghargai sikap toleransi terhadap
perbedaan
pendapat
yang
berlawanan;
menjamin
persamaan didepan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk kepada rule of law tanpa membedakan kedudukan politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan perorangan termasuk bagi pers dan media massa; penghormatan terhadap hak rakyat untuk meberikan pendapatnya betapapun tampak salah dan tidak populer; penghargaan terhadap hak-hak minoritas dan perorangan; dan penggunaan cara persuasif dan diskursif ketimbang koersif dan represif. Sedangkan Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria demokrasi, yakni: persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat; partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif; pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan;
48
kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda yang harus dantidak harus diputuskan melalui pemerintahan; dan terliputnya masyarakat dalam kaitannya dengan hukum. Pada intinya demokrasi adalah pemerintahan yang ada ditangan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, yang mencakup nilai-nilai tertentu yang semuanya berasal dari rakyat. b. Demokrasi Pancasila Pengakuan dimuka Tuhan akan berpegang pada Pancasila itu tidak mudah diabaikan. Dan di situ pulalah terletak jaminan, bahwa demokrasi tidak akan lenyap di Indonesia. Ia dapat ditekan sementara dengan berbagai rupa. Akan tetapi lenyap dia tidak. Lenyap demokrasi berarti lenyap Indonesia Merdeka (Bung Hatta, 2004: 38). Notonagoro, filosof Pancasila dalam Slamet Sutrisno (Cholisin, 2007:2-3) meyatakan “Asal mula materiil Pancasila adalah adat, tradisi dan kebudayaan Indonesia. “Lima unsur yang tercantum di dalam Pancasila bukanlah hal-hal yang timbul baru dalam pembentukkan negara Indonesia, akan tetapi sebelumnya dan selama-lamanya telah dimiliki oleh rakyat, bangsa indonesia, yang nyata dan hidup dalam jiwa masyarakat, rakyat, dan bangsa Indonesia”.
49
Jika diperhatikan benar-benar, Pancasila itu terdiri atas dua fondamen: Pertama, fondamen moral yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, fondamen politik yaitu perikemanusiaan, persatuan Indonesai, deokrasi dan keadilan sosial, dengan meletakkan dasar moral di atas diharapkan oleh mereka yang memperbuat pedoman negar ini supaya negara dan pemerintahannya memperoleh dasar yang kokoh, yang memerintahkan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran serta persaudaraan ke laur dan kedalam(Bung Hatta, 2004: 39). Demokrasi dalam Pancasila bukanlah demokrasi-demokrasian atau demokrasi sebagai topeng belaka. Ia adalah demokrasi yang harus diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa, sila pertama yang memimpin seluruh cita-cita kenegaraan kita, Demokrasi kita harus dijalankan
dengan
perbuatan
yang berdasarkan
kebenaran,
keadilan, kejujuran, kebaikan, persaudaraan dan perikemanusiaan, Syarat pertama untuk melaksanakan ini yang juga berlaku bagi segala demokrasi adalah keinsyaffan tentang tanggung jawab dan toleransi dan kesedian hati melaksankan prinsip ornag yang tepat pada tempat yang tepat(Bung Hatta, 2004: 44). Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang unik, keunikan demokrasi Pancasila terletak pada (Cholisin, 2007:15):
50
1) Pada cakupannya tidak terbatas dalam arti demokrasi politik, tetapi juga mencakup demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Indikator terwujudnya ketiga aspek yaitu demokrasi politik terwujud bila dalam distribusi kekuasaan masyarakat berada di atas negara. Demokrasi sosial terjadi jika jaminan kesejahteraan rakyat/warga negara mendapat lokasi memadai. Demokrasi ekonomi terwujud bila kekuasaan produktif berada di tangan bagian terbesar masyarakat. 2) Pada spirit yang dikandungnya yakni religius, humanis, kolektivisme/kekeluargaan (pola kehidupan desa). Atau spiritualitas (religius) (sila I), keadilan (sila II dan V), dan kekeluargaan (sila III dan IV) 3) Meskipun kelembagaan demokrasi modern yang digunakan tetapi
dalam
pengambilan
keputusan
menggunakan
mekanisme dari pranata sosial budaya asli yakni sistem permusyawaratan. Warga negara yang demokratis dalam perspektif demokrasi Pancasila, memiliki pola sikap dan perilaku dalam berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara antara lain (Cholisin, 2013:120-121): 1) Religius, tidak sekular apalagi atheis; 2) Memiliki toleransi; 3) Adil dalam arti tidak diskriminatif/humanistis;
51
4) Anti imperialisme dan kolonialisme; 5) Memiliki komitmen untuk mewujudkan kemakmuran bersama; 6) Memiliki solidaritas dan kesetiakawanan yang tinggi sebagai sesama anak bangsa; 7) Menghargai pluralisme; 8) Menyerasikan
antara
kepentingan
pribadi
dengan
kepentingan umum; 9) Menolak liberalisme, kapitalisme, dan neo-liberalisme; 10) Mengedepankan musyawarah untuk mufakat dalam mengambil
keputusan
terhadap
masalah
yang
menyangkut kepentingan bersama; 11) Komitmen terhadap konstitusi dan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya. Keunikan atau karakteristik demokrasi Pancasila tersebut, menjadi karakteristik warga negara yang demokratis dalam NKRI. Misalnya religius, humanis, nasionalis, demokratis dan berkeadilan sosial. Karakteristik yang demikian akan membedakannya dengan warga negara demokrasi yang non-Pancasila. Pada dasarnya demokrasi pancasila merupakan demokrasi yang berasal dari dalam masyarakat indonesia yangterkandung nilai-nilai keindonesiaan
yang
akan
membangunkarakter
kebangsaan
52
indonesia berdasarkan cita-cita luhur dari landasan dasar bangsa Indonesia. c. Pendidikan Politik Demokrasi Pancasila Hubungan antara demokrasi dan pendidikan amat erat dan bersifat saling memberi dan saling membutuhkan. Plato dan juga Aristole (Zamroni, 2007:45) menyatakan bagaimana keadaan negara, begitulah keadaan sekolah. Apa yang kamu inginkan untuk negara, kamu juga harus menyediakan untuk sekolah. John Dewey, bapak pendidikan modern suatu ketika menyatakan keterkaitan antara demokrasi dan pendidikan lebih spesifik, dengan menyatakan: “Democracy has to be born anew in each generation and education is its midwife”. Sebaliknya masih menurut Dewey, pendidikan tanpa demokrasi akan menjadi kering, menjemukan dan merana. Peran utama Pendidikan dalam mewujudkan demokrasi adalah mengembangkan
kepribadian
dan
watak
individu
bagi
terwujudnya warga negara yang baik. The Association for Education in Citizenship (1947) (Zamroni, 2007: 61) menegaskan bahwa setiap peserta didik hendaknya: (1) Diberikan kesempatan penuh mengembangkan dirinya sendiri sebagai seorang individu yang memiliki kepribadian sehingga mampu menikmati hidupnya dengan mengembangkan kemampuannya sendiri dan dapat hidup sesuai dengan realitas yang dihadapi; (2) Memiliki kemampuan
53
memainkan peran sosial dan politik secara aktif sebagai warga masyarakat;
(3)
Disiapkan
dengan
kemampuan
untuk
melaksanakan pekerjaan sesuai dengan minat dan interesnya; (4) Dikembangkan kemampuannya untuk dapat berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat dan budayanya dengan senantiasa meningkatkan kemampuan dan kreativitasnya. Sebelum jauh melangkah tentang pendidikan demokrasi, sedikit saya akan memberikan gambaran tentang perbedaan pendidikan demokrasi dengan pendidikan politik, Pendidikan yang bersifat demokratis, harus memiliki tujuan menghasilkan lulusan yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan mampu mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan publik, dengan kata lain, pendidikan harus mampu menanamkan kesadaran dan membekali pengetahuan akan peran warga dalam masyarakat demokratis, untuk itu dalam diri setiap peserta didik harus ditanam dan dikembangkan sikap politik dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses politik (Zamroni, 2001:9-10) sehingga pendidikan demokrasi adalah merupakan bagian dari pendidikan politik, yang dimana ruang lingkup pendidikan politik lebih luas cakupannnya dari pendidikan demokrasi. Dalam kaitan dengan pendidikan demokrasi, Snauwaen (2001) yang dikutip Zamroni (2007: 62) berpendapat bahwa pendidikan demokrasi senantiasa harus mendasarkan diri pada prinsip-prinsip
54
kemanusiaan,
dan
menitik
beratkan
pada
tujuan
untuk
mengembangkan pada diri peserta didik, emphati, respek pada yang lain, dan memiliki pandangan sebagai warga negara bangsa dan global. Dalam masyarakat demokratis masing-masing individu harus mampu mengambil keputusan sendiri dalam situasi yang amat rumit sekalipun dengan rasional. Keputusan yang diambil tidak saja bermanfaat bagi diri pribadi, tetapi juga berguna bagi masyarakat,
paling
menggangu
orang
tidak lain,
keputusan oleh
karena
yang itu
diambil
tidak
pengembangan
kemampuan berfikir kritis, analitis dan jernih disertai dengan pengendalian yang tinggi merupakan sesuatu yang mutlak dalam alam demokrasi. Demokrasi yang didasarkan pada keyakinan akan martabat dan kehormatan setiap individu hanya akan berhasil apabila didampingi dengan pendidikan yang bertujuan mengembangkan manusia seutuhnya. Oleh karena itu, pendidikan demokrasi harus menekankan pada pengembangan intellectual skill, personal and social skill. Intellectual skill ditekankan pada pengembangan critical thinking peserta didik, bukannya knowledge deposit. Personal skill ditekankan pada pengembangan percaya diri dan political selft efficacy. Sedngkan pengembangan social skill, terutama ditekankan emphati dan respek pada orang lain,
55
kemampuan untuk berkomunikasi dan memiliki toleransi (Zamroni, 2007: 63). Secara singkat, pendidikan demokrasi memiliki empat tujuan (Zamroni, 2007: 65) : a)mengembangkan kepribadian peserta didik sehingga memiliki sifat emphati, respek, toleransi dan kepercayaan pada orang lain; b)mengembangkan kesadaran selaku warga suatu bangsa dan warga dunia; c)meningkatkan kemampuan mengambil keputusan secara rasional efisiensi individu, dan; d)meningkatkan kemampuan berkomunikasi diantara sesama warga. Di banyak negara berkembang pendidikan politik dan pendidikan demokrasi sering dianggap sebagai “taken for granted or ignored”, yakni dianggap akan terjadi dengan sendirinya (gandal dan finn dalam winataputra dikutip Sunarso, 2007:22). Pendidikan demokrasi sebaiknya ditempatkan sebagai bagian integral
dari
pendidikan
secara
keseluruhan.
Pendidikan
demokrasi dapat dilakukan lewat dua jalur, yakni lewat Pendidikan
Formal
dan
pendidikan
Non
Formal
dalam
masyarakat (Sunarso, 2007:22), jadi pada statmen ini berpendapat pendidikan demokrasi tidak terbetur atau terkendala akan dilakukan melaui jalur formal maupun informal, kebanyakan pola pandang masyarakat bawasannya pendidikan harus dilakukan dengan cara yang formal.
56
Pendidikan untuk demokrasi memerlukan dua hal (Zamroni, 2007:65) kultur sekolah dan kurikulum, khususnya ilmu pengetahuan sosial, yang memadai untuk mengembangkan demokrasi. Kultur sekolah dan dinamika hubungan serta interaksi yang terjadi disekolah merupakan faktor yang amat penting bagi setiap peserta didik untuk menghayati the way of life dan nilainilai yang mempengaruhi hubungan antar pribadi diantara mereka, pemgalaman di sekolah akan menentukan apakah sekolah akan mengembangkan sifat toleransi atau malah sebaliknya. Artinya pendidikan untuk demokrasi akan berjalan apabila sekolah itu sendiri bersifat demokratis, memiliki kultur demokrasi yang mengilhami nilai-nilai, cita-cita, prinsip-prinsip yang akan mendorong setiap warga sekolah untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan demokrasi. Sekolah, dalam prkatek kehidupan sehari-hari akan mencerminkan suatu a mini society yang demokratis, disamping itu kurikulum sebagai jantung pendidikan harus dapat memberikan kesempatan peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang akan mengembangkan watak, keyakina, citacita dan sikap serta perilaku yang cocok dengan nilai-nilai demokrasi. Pendidikan demokrasi hanya akan berlangsung dengan baik dalam pendidikan yang demokratis; pendidikan yang meiliki kultur demokrtais sehingga seluruh warga pendidikan memiliki
57
kebebasan dan sekaligus tanggung jawab. Kultur yang demokratis akan melahirkan pula perilaku yang demokratis dikalangan warga sekolah (Zamroni, 2007: 66). Dalam hal ini kaitan pendidikan politik demokrasi pancasila, berakar pada pendidikan politik yang menurut Edgar fore sebagaimana
dikutip
Utsman
(2000:81)
mendefinisikan
pendidikan politik sebagai penyiapan generasi untuk berfikir merdeka seputar esensi kekuasaan dan pilar-pilarnya, seputar faktor-faktor yang berpengaruh dalam lembaga-lembaga tersebut, edgar juga berpendapat bahwa yang esensial dari pendidikan politik adalah mengkaitkan aktivitas pendidikan dengan praktek kekuasaan secara seimbang, berguna, dan demokratis, sedangkan untuk mencapai aktivitas pendidikan dengan praktek kekuasaan yang demokratis, harus melalui pendidikan demokrasi. Pendidikan demokrasi akan menciptakan warga negara yang berpikir kritis yang tidak terbelenggu oleh indoktrinasi politik, dan
akan
menciptakan
sebuah
budaya
yang demokratis
dikalangan warga sekolah ataupun akan berkembang dikalangan masyarakat luas, karena dari pondasi dasar sekolah, berkembang pendidikan yang baik maka tentunya hasil out put akan berkembang dengan baik juga. Sehingga pendidikan politik demokrasi Pancasila adalah proses penanaman nilai-nilai politik oleh pendidik agar terbentuk
58
warga negara yang dapat berpartisipasi aktif dalam sistem politik serta sadar akan hak dan kewajibannya secara bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. D. Kerangka Berpikir Dalam standar isi BNSP (Badan Nasional Standar Pendidikan) 2006, disebutkan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajiban untuk menjadi warganegara yang cerdas, terampil, dan berkarakter sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. PKn dalam pelaksanaan pembelajaran harus berawal atau bertumpu pada standar
isi
seperti
yang
disebutkan
diatas,
lalu
diterapkan
pada
KTSP(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) agar dapat terlaksana nyata di lapangan, melalui agen-agen sosialisasi politik salah satunya sekolah, dengan menerapkan pendidikan politik yang benar melalui guru, akator yang berperan mendidik peserta didik dengan berlandaskan ideologi Pancasila dengan menerapkan pembelajaran demokratis yang tentunya demokrasi pancasila, sehingga diperlukkannya pemahaman guru/pendidik tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang benar, yang menjadikan Pendidikan Politik sebagai Pendidikan Demokrasi disekolah dengan berlandaskan Pancasila/Demokrasi Pancasila.
59