BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan dapat dikatakan sebagai pembangunan daerah apabila dilakukan dalam ruang lingkup yang lebih kecil, yaitu di daerah, propinsi, kabupaten, kecamatan, desa dan lain-lain. Pembangunan ekonomi daerah merupakan proses dimana pemerintahan daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja dan dapat merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) di dalam wilayah tersebut. Tujuan utama dari pembangunan ekonomi daerah adalah untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakat harus bersama-sama ikut serta dalam pembangunan daerah. Pemerintah daerah dan masyarakat harus mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk merancang dan membangun perekonomian daerah. Beberapa teori secara parsial dapat membantu menjelaskan mengenai arti penting pembangunan ekonomi daerah (Arsyad, 2010). Inti dari pembahasan teori-teori tersebut berkisar tentang metode analisis perekonomian suatu
13
14
daerah dan teori-teori yang membahas tentang faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Pembangunan yang dilakukan tidak hanya mencakup pembangunan internal, namun juga pembangunan eksternal. Pembangunan yang dilakukan juga bukan hanya semata dari aspek ekonomi saja melainkan juga beberapa aspek kehidupan, seperti aspek sosial (meliputi : kependudukan, kemiskinan, pemukiman dan pendidikan), aspek nilai (meliputi: berkembangnya etos kerja, kepedulian, dan lain sebagainya), serta aspek kondisi psikologis masyarakat (meliputi: ketentraman, keserasian, kedamaian, kemerdekaan, martabat, dan lain sebagainya). Melalui perencanaan pembangunan daerah, suatu daerah dilihat secara keseluruhan sebagai unit ekonomi (economic entity) yang di dalamnya terdapat berbagai unsur yang berinteraksi satu sama lain. Ada tiga unsur dari perencanaan perencanaan ekonomi daerah jika dikaitkan dengan hubungan antara pusat dan daerah (Kuncoro, 2004), ialah : a. Perencanaan pembangunan yang realistik dan diperlukan pemahaman. b. Sesuatu yang baik secara nasional belum tentu baik untuk daerah, begitu pula sebaliknya sesuatu yang baik secara nasional belum tentu baik untuk daerah. c. Perangkat kelembagaan yang tersedia untuk pembangunan daerah, sebagai contoh administrasi, proses pengambilan keputusan, otoritas, yang terjadi biasanya sangat berbeda pada tingkat daerah dengan yang tersedia pada tingkat pusat. Derajat pengenalan yang dilakukan kedua
15
daerah pun berbeda. Oleh karena itu, perencanaan daerah yang efektif harus bisa membedakan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai sumber daya pembangunan sebaik mungkin sehingga benar-benar dapat dicapai, dan mengambil manfaat dari informasi yang lengkap dan tersedia pada tingkat daerah karena kedekatan antara para perencananya dengan obyek perencanaan.
2. Otonomi Daerah Dalam UU No.32 tahun 2004 ayat 1 pasal 5 menjelaskan bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan
kepentingan
masyarakat
dan
mengurus
urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia. Sedangkan menurut Suparmoko (2002), mengartikan Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah otonomi adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
16
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Reublik Indonesia. Jadi secara umum otonomi daerah itu mencakup tiga pengertian : a. Hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. b. Wewenang untuk mengatur daerah sendiri. c. Kewajiban untuk mengatur rumah tangga sendiri. Produk perundang-undangan yang mengatur otonomi daerah di Indonesia sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 2004 adalah sebagai berikut (Winarna Surya Adi Subrata, 2003): a. UU No. 1 Tahun 1945 b. UU No. 22 Tahun 1948 c. UU No. 1 Tahun 1957 d. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 e. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1974 f. UU No. 18 Tahun 1965 g. UU No. 5 Tahun 1974 h. UU No. 5 Tahun 1979 i. UU No. 22 Tahun 1999 j. UU No. 25 Tahun 1999 k. UU No. 32 Tahun 2004 l. UU No. 33 Tahun 2004 Dalam UU No.32 tahun 2004 ayat 1 pasal (8), (9), (10), dan (11) ada beberapa asas penting dalam perundang-undangan otonomi daerah, yaitu sebagai berikut :
17
a. Asas Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada kepala daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Asas Dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Instansi vertikal adalah perangkat kementrian dan/atau lembaga pemerintah non kementrian yang mengurus Urusan Pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah otonom dalam wilayah tertentu dalam rangka Dekonsentrasi. c. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. d. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, serta kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
18
urusan pemerintah diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat (UU No. 32 Tahun 2004). Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip ekonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraan harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Menurut Mardiasmo (2002), adapun tujuan utama penyelenggarakan otonomi daerah adalah : a. Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. b. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. c. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dari kepentingan Pemerintah Pusat tujuan utama dari otonomi daerah adalah pada pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, menciptakan
19
stabilitas politik dan mewujudkan demokratisasi sistem pemerintah di daerah. Sementara bila dilihat dari sisi kepentingan Pemerintah Daerah ada tiga tujuan yaitu : a. Untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality, artinya melalui otonomi daerah diharapkan akan lebih membukan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politikdi tingkat lokal atau daerah. b. Untuk mewujudkan local accountability, artinya dengan otonomi akan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak masyarakat. c. Untuk mewujudkan local responsiveness,
artinya dengan otonomi
daerah diharapkan akan mempermudah antisipasi terhadap berbagai masalah yang muncul sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi daeah. Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, pemerintah pusat wajib melakukan pembinaan berupa pemberian pedoman, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, serta evaluasi dalam penelitian, pengembangan, perencanaan, dan pengawasan pelaksanaan otonomi daerah. Bersama itu, pemerintah
wajib
memberikan
fasilitas,
seperti pemberian peluang
kemudahan, bantuan. Dan dorongan kepada daerah agar otonomi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian fasilitas tersebut salah satunya adalah melalui penataan kembali keuangan daerah.
20
3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Guna menunjukkan alokasi sumber daya manuasia, material, dan sumber daya lainnya secara sistematis dan akuntabel, diperlukan suatu rencana keuangan yang andal dan terwujud dalam suatu penganggaran. Selain sebagai alat ukur dan pertanggungjawaban kinerja pemerintah, sistem penganggaran yang dikembangkan oleh pemerintah berfungsi sebagai pengendali keuangan, rencana manajemen, prioritas penggunaan dana, dan pertanggungjawaban bagi manajemen untuk mengaitkan setiap biaya yang dituangkan atau dianggarkan dalam kegiatan-kegiatan dengan manfaat yang dihasilkan dimana manfaat tersebut dideskripsikan melalui seperangkat sasaran yang dituangkan
dalam
target
kinerja
pada
setiap
unit
kerja.
Untuk
mengidentifikasikan keterkaitan biaya dengan manfaat serta keterkaitan antara nilai uang dan hasil di tingkat pemerintah daerah, pemerintah daerah menuangkan penganggaran tersbut dalam suatu rencana keuangan yang dikenal dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD. Menurut pasal 16 Permendagri No. 13 tahun 2006, APBD memiliki fungsi sebagai berikut : a. Otorisasi, anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. b. Perencanaan, anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
21
c. Pengawasan, anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sudah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. d. Alokasi, anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. e. Distribusi, kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. f. Stabilisasi, anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah. Arti penting anggaran daerah dapat dilihat dari aspek-aspek sebagai berikut : a. Anggaran merupakan alat bagi pemerintah daerah untuk mengarahkan dan menjamin kesinambungan pembangunan serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat. b. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tak terbatas dan terus berkembang sedangkan sumber daya yang ada terbatas. Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber daya (scarcity of resources), pilihan (choice), dan trade offs. Berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa struktur APBD terdiri atas pendapatan, belanja, dan pembiayaan. a. Pendapatan Daerah
22
Pendapatan Daerah menurut UU No. 33 Tahun 2004, adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun yang bersangkutan. Pendapatan Daerah dalam struktur APBD dikelompokkan atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain pendapatan yang sah. b. Belanja Daerah Belanja Daerah adalah kewajiban daerah yang diakui sebagai penunjang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Belanja Daerah dipergunakan dalam rangkan mendanai pelaksanaan urusan
pemerintahan
yang
menjadi
kewenangan
propinsi/kabupaten/kota yang terdiri atas urusan wajib, urusan pilihan, dan urusan penangannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama pmerintah pusat dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundangundangan. Dalam penyelenggaraan belanja, urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat sebagai upaya pemenuhan keawajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat tersebut diwujudkan melalui prestasi kinerja dalam pencapaian standar minimal sesuai peraturan perundang-undangan.
23
c. Pembiayaan Daerah Pembiayaan daerah adalah setiap penerimaan yang perlu dibiayai kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran selanjutnya. Pembiayaan daerah bersumber dari : sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, transfer dari dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pinjaman daerah.
4. Sumber Pendapatan Pendapatan daerah, sebagaimana yang telah didefinisikan sebelumnya yang mempunyai makna sebagai hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Sumber pendapatan diperoleh dari : a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) 1) Definisi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan hasil yang diperoleh dari penerimaan daerah itu sendiri yang bersumber dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri, yang dipungut berdasarkan peraturan daerah yang sesuai. 2) Komponen Pendapatan Asli Daerah Dalam UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah bersumber dari : a) Pajak Daerah
24
Pajak Daerah ialah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk penyelenggarakan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Pemerintah daerah memiliki wewenang dalam menetapkan pajak daerah dan siapa saja yang menjadi wajib pajaknya sesuai dengan Undang-Undang perpajakan yang berlaku. Jenis-jenis Pajak Daerah :Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Parkir. b) Retribusi Daerah Retribusi
Daerah
adalah
pungutan
daerah
sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dari/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Objek Retribusi Daerah : Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tetentu. c) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan yang merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil
25
perusahaan milik Daerah dan pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan. Objek Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan : Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD, Bagian atas laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/BUMN, dan Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta maupun kelompok masyarakat. d) Lain-lain PAD Yang Sah : Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah adalah penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik Pemerintah Daerah. Komponen lain-lain PAD yang sah : hasil penjualan kekayaan
Daerah
yang
tidak
dipisahkan,
jasa
giro,
pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah. b. Dana Perimbangan Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sumber dana yang berasal dari pos Dana Perimbangan terdiri dari : 1) Dana Bagi Hasil (DBH)
26
a)
Pengertian Dana Bagi Hasil Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan
kepada daerah
berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. b)
Sumber Dana Bagi Hasil : Pajak, yang terdiri atas Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang dibagi antara daerah kabupaten/kota dengan propinsi, dengan pembagian 10% (sepuluh persen) untuk pemerintah pusat dan 90%(sembilan puluh persen) untuk daerah. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dibagi dengan proporsi 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah kabupaten/kota, dan yang terakhir adalah Pajak Penghasilan (PPH). Sumber Daya Alam (bukan pajak) yang berasal dari kehutanan berasal dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH). Pertambangan umum dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah kabupaten/kota.
Pertambangan
minyak
bumi
(setelah
dikurangi pajak dan pungutan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan) maka dibagi dengan imbangan 84,55 untuk pemerintah pusat dan 15,5% untuk pemerintah daerah. Pertambangan gas bumi dibagi dengan imbangan 69,5%
27
untuk pemerintah pusat dan 30,5% untuk daerah, dan yang terakhir pertambangan panas bumi dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah kabupaten/kota. 2) Dana Alokasi Umum (DAU) a)
Pengertian Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
b)
Ketentuan mengenai DAU dapat dijabarkan sebagai berikut : Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. Penerimaan Dalam Negeri Neto adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan Negara yang dibagihasilkan kepada daerah. DAU untuk suatu daerah suatu daerah propinsi dihitung berdasarkan bobot daerah propinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU untuk seluruh propinsi. Bobot daerah propinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah propinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah propinsi. Celah fiskal daerah (baik propinsi maupun
28
kabupaten/kota) adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Kebutuhan Fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layangan dasar umum. Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil. 3) Dana Alokasi Khusus (DAK) a)
Pengertian Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
b)
Kriteria Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan oleh pemerintah : Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuasn keuangan dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundangundangan dan karakteristik daerah. Sedangkan kriteria teknis ditetapkan oleh kementrian negara/departemen teknis.
c. Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah 1) Pengertian Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah merupakan seluruh pendapatan daerah selian PAD dan Dana Perimbangan.
29
2) Komponen Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah :
a)
Hibah Hibah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.
a)
Dana Darurat Dana Darurat adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepad daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa, dan/atau krisis solvabilitas.
5. Keuangan Daerah a.
Pengertian Keuangan Daerah
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Keuangan Daerah dapat juga diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, juga dengan segala satuan, baik yang berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum di miliki/dikuasai oleh negara atu daerah
30
yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/ peraturan perundang-undangan yang berlaku(Abdul Halim,2007). Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa dalam keuangan daerah terdapat dua unsur penting yaitu : 1) Semua hak dimaksudkan sebagai hak untuk memungut pajak daerah, retribusi daerah dan/atau penerimaan dan sumber-sumber lain sesuai ketentuan yang berlaku merupakan penerimaan daerah sehingga menambah kekayaan daerah. 2) Kewajiban daerah dapat berupa kewajiban untuk membayar atau sehubungan adanya tagihan kepada daerah dalam rangka pembiayaan rumah tangga daerah serta pelaksanaan tugas umum dan tugas pembangunan oleh daerah yang bersangkutan. b.
Dasar Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah
1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 2) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 3) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. 4) UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. 5) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 6) UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 7) PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerinath. 8) PP no. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
31
9) Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. c.
Asas Umum Keuangan Daerah
1) Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat. 2) APBD, perubahan APBD, dan pertanggyngjawaban pelaksanaan APBD setiap tahn ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 3) APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, dan distribusi. 4) Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD. 5) Surplus APBD dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah tahun anggaran berikutnya. 6) Pengunaan surplus APBD dimaksudkan untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan dalam perusahaan daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPRD. d.
Manajemen Keuangan Daerah Guna mewujudkan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel, dibutuhkan pengelolaan dengan suatu sistem manajemen keuangan yang jelas dan berdaya guna. Manajemen merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasikan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan
32
sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dari penjelasan tersebut, maka dapat diketahui empat fungsi dasar yaitu : perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian.
Beberapa prinsip penting manajemen keuangan daerah (Sonny Yuwono,dkk, 2008) : 1) Taat pada peraturan perundang-undangan, dengan maksud bahwa pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan. 2) Efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dan hasil. 3) Efisien merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. 4) Ekonomis merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga terendah. 5) Transparan merupakan prinsip keterbukaan untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah. 6) Bertanggungjawab merupakan wujud dari kewajiban seseorang untuk
mempertanggungjawabkan
pengelolaan
dan
pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang
33
dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang ditetapkan. 7) Keadilan adalah kesinambungan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban bersarkan perimbangan yang obyektif. 8) Kepatutan adalah tindakan atau suatu tindakan yang dilakukan dengan wajar dan proporsional. 9) Manfaat maksudnya keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. e.
Prinsip Pengelolaan Keuangan Daerah Pengelolaan keuangan daerah menganut prinsip transparansi, akuntabilitas, dan value for money. Transparansi merupakan wujud adanya keterbukaan dalam proses perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan anggaran daerah. Dalam prinsip ini, anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan bersama, teriutama pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Prisnip akuntabilitas terkait dengan pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa proses penganggaran, mulai dari perencanaan, penyusunan, ingga pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan
dipertanggungjawabkan
kepada
DPRD
dan
masyarakat.
Masyarakat tidak hanya memiliki hak untuk mengetahui anggaran tersenut tetapi juga berhak menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut.
34
Prinsip value for money menerapkan prinsip ekonomi, efisiensi dan efektivitas dalam proses penganggaran. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu dengan harga yang paling murah. Secara ringkas, dalam sistem pengelolaan keuangan daerah terdapat tiga siklus utama, yaitu : perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Pada tahap perencanaan, input yang digunakan adalah aspirasi masyarakat melalui musrenbang yang dilakukan oleh DPRD dan pemerintah daerah sebagai cikal bakal keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah dan kebijakan strategis yang akhirnya memberi payung dan arah bagi suatu APBD. Dari musrenbang tersebut dihasilkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang kemudian dijabarkan dalam usula kegiatan/aktivitas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan diproses dengan Standar Analisis Belanja (SAB) sehingga setiap aktivitas yang diusulkan dapat mencerminkan visi, misi, tujuan, sasaran, dan hasil yang telah ditetapkan. Selain itu, anggaran yang diusulkan juga harus mencerminkan (anggaran) kinerja karena telah diproses dengan menekankan aspek kinerja. Pada tahap pelaksanaan, input yang digunakan adalah APBD yang sudah ditetapkan untuk kemudian dan dicatat melalui sistem akuntansi gunan menghasilkan laporan pelaksanaan APBD, baik berupa laporan semesteran maupun tahunan sebagai laporan pertanggungjawaban kepala daerah. Sedangkan pada tahap
pengendalian,
meliputi
penyampaian
laporan
35
pertanggungjawaban kepala daeah kepada DPRD, proses evaluai laporan pertanggungjawaban, serta keputusan evaluasi berupa penerimaan atau penolakan laporan pertanggungjawaban (Sonny Yowono, 2008).
6. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah a. Definisi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah adalah tingkat capaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi anggaran dan realisasi PAD dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau peraturan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Jika hasil capaian sesuai dengan yang direncanakan, artinya kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik namun apabila hasil capaian tidak sesuai dengan rencana maka kinerja dinilai kurang baik (Sularso dan Restianto, 2011). Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah adalah kemampuan suatu daerah untuk menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah dalam memenuhi kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerahnya dengan tidak tergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batas-batas yang ditentukan peraturan perundang-undangan (Ibnu Syamsi,1986).
36
Berdasarkan kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah adalah tingkat capaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi anggaran dan realisasi dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama periode anggaran. Menurut Ibnu Syamsi (1986), ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui kemampuan pemerintah daerah dalam mengatur rumah tangganya sendiri, yaitu :
1) Kemampuan struktural organisasinya Struktur organisasi Pemerintah Daerah harus mampu menampung segala aktivitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya,
jumlah
unit-unit
beserta
macamnya
cukup
mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas wewenang dan tanggung jawab yang cukup jelas. 2) Kemampuan aparatur Pemerintah Daerah Aparat Pemerintah Daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang diidam-idamkan oleh daerah. 3) Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat Pemerintah Daerah harus mampu mendorong agar masyarakat mau berperan serta kegiatan pembanguan.
37
4) Kemampuan Keuangan Daerah Pemeintah Daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan,
pembangunan
dan
kemasyarakatan
sebagai
pelaksanaan pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Untuk itu kemampuan keuangan daerah harus mampu mendukung terhadap pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. b. Tujuan Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah dilakukan untuk memenuhi tiga (3) tujuan yaitu (Mardiasmo, 2002) : 1) Memperbaiki Kinerja Pemerintah Daerah. 2) Membantu
mengalokasikan
sumber
daya
dan
pembuatan
keputusan. 3) Mewujudkan
pertanggungjawaban
publik
dan
memperbaiki
komunikasi kelembagaan. c.
Indikator Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Pengukuran
Kinerja
Pemerintah
Daerah
harus
mencakup
pengukuran Kinerja Keuangan. Hal ini terkait dengan tujuan organisasi Pemda. Indikator Keuangan Kinerja Pemerintah Daerah, meliputi (Hony Adhiantoko, 2013) : 1) Indikator Masukan (Inputs) Indikator Masukan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Misalnya : jumlah data yang dibutuhkan, jumlah pegawai yang
38
dibutuhkan, jumlah infrastruktur yang ada, dan jumlah waktu yang digunakan. 2) Indikator Proses (Process) Indikator Proses adalah merumuskan ukuran kegiatan, baik dari segi kecepatan, ketepatan, maupun tingkat akurasi pelaksanaan kegiatan tersebut. Misalnya : ketaatan pada peraturan perundangan dan
rata-rata
yang
diperlukan
untuk
memproduksi
atau
menghasilkan layanan jasa. 3) Indikator Keluaran (Output) Indikator Keluaran adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik atau nonfisik. Misalnya : jumlah produk atau jasa yang dihasilkan dan ketepatan dalam memproduksi barang atau jasa. 4) Indikator Hasil (Outcome) Indikator hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah. Misalnya : tingkat kualitas produk dan jasa yang dihasilkan dan produktivitas para karyawan atau pegawai. 5) Indikator Manfaat (Benefit) Indikator Manfaat adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. Misalnya : tingkat kepuasan masyarakat dan tingkat partisipasi masyarakat. 6) Indikator Dampak (Impact)
39
Indikator Dampak adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif. Misalnya : peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan pendapatan masyarakat.
B. Konsep Hubungan Variabel 1. Pajak Daerah dengan Pendapatan Asli Daerah Pajak Daerah (Darwin, 2010) yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada pemerintah daerah tanpa balas jasa langsung yang dapat ditunjuk, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pajak Daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang mempunyai peranan penting berasal dari pendapatan asli daerah sendiri. Hal ini dikarenakan semakin besar jumlah Penerimaan Pajak Daerah maka akan semakin besar pula jumlah Pendapatan Asli Daerah. 2. Retribusi Daerah dengan Pendapatan Asli Daerah Retribusi daerah berpengaruh terhadap meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (Riduansyah, 2003). Retribusi Daerah juga perlu dikelola secara professional dan transparan sama seperti Pajak Daerah. Seperti Pajak
Daerah,
penyelenggaraan
Retribusi
Daerah
pemerintahan
dan
menjadi
salah
pembangunan
satu daerah
sumber untuk
meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Daerah diberi peluang dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis retribusi.
40
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan dengan Pendapatan Asli Daerah Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan erat kaitannya dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). BUMD memiliki peran dalam mewujudkan kemakmuran daerah dengan memberikan kontribusi terhadap penerimaan PAD, yaitu dengan melihat kontribusi nilai tambahnya terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dan kemampuannya menyerap tenaga kerja. 4. Lain-lain PAD Yang Sah dengan Pendapatan Asli Daerah Lain-lain PAD yang Sah merupakan penerimaan di dalam Pendapatan Asli Daerah diluar pajak dan pungutan lain, seperti halnya hasil penjualan aset daerah. Apabila lain-lain PAD yang sah ini dapat dimaksimalkan efektivitas dan kontribusinya sehingga mengalami peningkatan maka, otomatis penerimaan Pendapatan Asli Daerah pun juga akan meningkat. 5. Pendapatan
Asli
Daerah
(PAD)
dengan
Kinerja
Keuangan
Pemerintah Daerah Pendapatan Asli Daerah memberikan kontribusi yang besar sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah, maka dari itu diperlukan kebijakan guna mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan pada Pendapatan Asli Daerah tersebut dan dapat memperkecil tingkat ketergantungan terhadap dana yang diberikan oleh pemerintah pusat. Apabila kontribusi PAD di dalam sumber penerimaan berkontribusi besar, maka dapat menggambarkan kemampuan pemerintahan daerah dalam
41
mengelola dan mensosialisasikan pentingnya mematuhi ketaatan tentang perundang-undangan yang berkaitan sumber penerimaan daerah terutama pada PAD dengan komponen : Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang Sah sehingga dapat diketahui bahwa partisipasi masyarakat juga dapat digolongkan tinggi. Menurut Batubara (2009), bahwa secara simultan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, sedangkan secara parsial hanya pajak daerah, retribusi daerah, dan lain-lain pendapatan asli yang sah saja yang berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah.
C. Hasil Penelitian Terdahulu 1. Dwirandra pada tahun 2008 dalam skripsi dengan judul “Efektivitas dan Kemandirian Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota Di Propinsi Bali Tahun 2002-2006”. Maka diperoleh hasil sebagai berikut : a) Daerah otonom kabupaten/kota di Bali memiliki rasio efektivitas keuangan (EKD) berkisar 75,01 % sampai dengan di atas 100%, b) Kemampuan Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Propinsi Bali
rata-rata
7
kabupaten/kota
tergolong
rendah
sekali,
1
kabupetan/kotatergolong sedang, dan Kota Denpasar tergolong rendah dan memiliki hubungan konsultatif, c) Trend efektivitas keuangan daerah tahun 2006 semakin baik walaupun masih ada yang dibawah 100%, d) Trend kemandirian keuangan Jembrana arahnya sangat baik
42
dibanding Tabanan, Gianyar, dan Badung. Sedangkan sisanyan lima kabupaten/kota cenderung berkurang. 2. Nurjanna Ladjin pada tahun 2008 dalam tesis dengan judul “Analisis Kemandirian Fiskal Di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus Di Propinsi Sulawesi Tengah)”. Maka diperoleh hasil sebagai berikut : a) Derajat Kemandirian Fiskal Propinsi Sulawesi Tengah kurun waktu 2001-2006 dapat disimpulkan proporsi terhadap Total Penerimaan Daerah adalah : PAD sebesar 24,18%, BHPBP 6,24%, DAU dan DAK 61,36%, Pinjaman Daerah 0,775, dan SILPA 6,67%. 3. Cherrya Dhia Wenny pada tahun 2012 dalam jurnal dengan judul “Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Kinerja Keuangan Pada Pemerintah Kabupaten dan Kota Di Provinsi Sumatera Selatan”. Maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : a) Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan pada pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Selatan, artinya keseluruhan dari komponen PAD sangat mempengaruhi kinerja keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah, b) Secara parsial menyatakan bahwa hanya lain-lain PAD yang Sah secara dominan berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Selatan. 4. Ebit Julitawati, Darwanis dan Jalaluddin pada tahun 2012 dalam jurnal dengan judul “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Dana Perimbangan Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota Di Provinsi Aceh”. Maka diperoleh hasil bahwa : a) Pendapatan Asli
43
Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Aceh, b) Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Aceh, c) Dana Perimbangan berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Aceh. 5. Arfandi Arief pada tahun 2013 dalam jurnal dengan judul “ Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur Tahun Anggaran 2009-2012”. Maka diperoleh hasil bahwa : a) Pertumbuhan rata-rata
Pemerintah
Daerah
Provinsi
Kaltim
menunjukkan
pertumbuhan yang positif, b) Dilihat dari Kemandirian Keuangan tergolong rendah sekali dengan pola hubungan instruktif, c) Hasil estimasi
pada
regresi
linier
berganda
menunjukkan
bahwa
investasiberpengaruh signifikan terhadap Kemandirian Fiskal. 6. Riris Dwi Anggraini pada tahun 2015 dalam skripsi dengan judul “ Analisis Kemampuan Daerah, Tingkat Kemandirian dan Efektivitas Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Tangerang Tahun Anggaran 20102014”. Maka diperoleh hasil bahwa : a) Rasio DOF Kota Tangerang secara rata-rata dalam 5 tahun sebesar 33% kategori cukup mampu, b) Rasio Kemandirian Kota Surakarta rata-rata 5 tahun menunjukkan angka 49,26% dikategorikan rendah dan memiliki pola hubungan konsultatif, c) Rasio Efektivitas PAD Kota Tangerang rata-rata 5 tahun menunjukkan hasil 120,32% atau dikatakan efektif.
44
D. Kerangka Berfikir dan Pengajuan Hipotesis Otonomi Daerah yang terselenggara mengharuskan setiap daerah mampu mengelola serta meningkatkan kinerja keuangan daerah yaitu kemampuan pemerintah daerah untuk menghasilkan keuangan daerah sendiri dengan cara pengoptimalan sumber-sumber penerimaan yang tersedia, melalui peningkatan Pendapatan Asli Daerah yang harus terus menerus dipacu pertumbuhannya oleh pemerintah daerah. Karena di Kota Surakarta memiliki potensi yang dapat dimaksimalkan, maka Pemerintah Daerah perlu kebijakan yang tepat dan mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan PAD. Apabila Pemerintah Kota Surakarta berhasil melakukan peningkatan kontribusi PAD, maka secara otomatis juga akan sangat berperan dalam kemandirian keuangan. Hal tersebut dapat dilihat dari keberhasilan Pemerintah Kota Surakarta dalam mencapai target sasaran pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat melalui pemanfaatan pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang Sah terhadap penerimaan PAD sehingga dapat mengetahui kinerja keuangan daerahnya dan mengurangi tingkat ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat dilihat dari kontribusi PAD terhadap Total Penerimaan Daerah dan melihat peranan pemerintah pusat dari perbandingan Pendapatan Asli Daerah terhadap Dana Perimbangan.
45
Berikut Skema Kerangka Berfikir : Gambar 2.1 Skema Kerangka Berfikir
Pajak Daerah Kota Surakarta
Retribusi Daerah Kota Surakarta
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Lain-lain PAD yang Sah Kota Surakarta
Kota Surakarta
1
Pendapatan Asli Daerah Kota Surakarta
2
Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
3
Rasio Kemandirian Keuangan Daearah
46
Perumusan Hipotesis 1. Diduga Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang Sah kontribusinya meningkat pada Pendapatan Asli Daerah Kota Surakarta. 2. Diduga Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Surakarta masuk dalam kriteria Sedang. 3. Diduga Rasio Kemandirian Keuangan Kota Surakarta masuk dalam kriteria Sedang.