BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. 1. a.
Kajian Teori
Hakikat Pendidikan Karakter
Pengertian Karakter dan Pendidikan Karakter Terminologi pendidikan karakter mulai dikenal sejak tahun 1990-an. Thomas Lickona sebagai penggagas pendidikan karakter melalui beberapa tulisan-tulisannya berusaha untuk menyadarkan dunia barat tentang pentingnya pendidikan karakter. Indonesia mulai menggagas pendidikan karakter sejak lima tahun terakhir. Pendidikan karakter dirasa mendesak melihat berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia cukup memprihatinkan. Pendidikan karakter bertalian erat dengan tujuan pendidikan nasional dalam mewujudkan warga negara yang berakhlak mulia, berilmu, kreatif, demokratis, dan bertanggungjawab (Undang-Undang no 20 tahun 2003). Koesuma (2007) memandang karakter sebagai “struktur antropologis dalam diri individu sehingga pendekatan yang digunakan bersifat prosesual, menekankan dimensi pertumbuhan menuju kesempurnaan” (hlm. 79). Klann (2007) mendefinisikan
karakter sebagai
kombinasi
antara
emosional,
intelektual, dan kualitas moral yang membedakan seseorang. Jika mengacu pada pendapat diatas, secara sederhana karakter mengacu pada tentang siapa kita dan akan menjadi siapa kita, yaitu tentang baik atau buruk kepribadian seseorang sebagai tolok ukur orang lain menilai karakter seseorang (Arthur, 2003). Stedje memandang karakter sebagai cita-cita dan hasil dari sebuah kebisaaan, etika, tingkah laku, dan sikap yang dilakukan oleh seseorang (2010). Karakter merupakan serangkaian karakteristik psikologi individu yang mempengaruhi kemampuan seseorang sebagai agen moral (Berkowitz, 2002). Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit mengutarakan bahwa salah satu tujuan dari pendidikan nasional
7
8
antara lain adalah berkembangnya peserta didik menjadi manusia berakhlak mulia dan bermoral tinggi. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan karakter tidak terlepas daripada pendidikan moral. Lickona mendefinisikan karakter sebagai penalaran moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral doing/moral behavioural). Mendukung pendapat Lickona, Muchson dan Samsuri menjabarkan secara rinci ketiga komponen tersebut, sebagai berikut: 1)
Penalaran moral, merupakan suatu proses pertimbangan moral sebelum suatu tindakan moral dilakukan seseorang. Penalaran moral merupakan suatu prinsip moral yang tidak hanya berupa aturan suatu tindakan, namun juga alasan morang bertindak. Oleh karena itu, hati nurani memiliki peranan yang sangat sacral untuk menilai apakah keputusan moral atas suatu perbuatan itu bermakna atau tidak.
2)
Perasaan moral, mengungkapkan perasaan setuju atau tidak setuju. Perasaan moral dinilai berdasarkan perasaan, oleh karena itu tidak ada salah dan benar dalam penilaian moral.
3)
Perilaku moral, merupakan suatu pola perilaku di dalam kerangka konteks tertentu, dengan memperhatikan proses-proses batin yang melahirkan perilaku moral tersebut. Perilaku moral tersebut diwujudkan dalam sebuah tindakan yang disebut dengan tindakan moral, yaitu tindakan yang sejalan atau konsisten dengan pertimbangan moral (2013: 41-48). Karakter bukan warisan namun sesuatu yang dibangun secara
kesinambungan melalui pikiran, perbuatan, dan tindakan. Konsep fitrah manusia menyebutkan bahwa manusia diciptakan di dunia sudah memiliki kecenderungan untuk mencintai dan condong kepada kebaikan. Manusia secara naluri mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah tanpa diajari terlebih dahulu. Pelajaran yang diterima dari keluarga, sekolah, dan lingkungan hanyalah sarana untuk mengasah kefitrahan tersebut (Mulia dan Arini, 2013). Sehubungan dengan konsep tersebut, Saptono memandang karakter melalui dua
9
sisi pengertian yaitu secara deterministik dan non deterministik. Karakter secara deterministik karakter dipahami sebagai sekumpulan kondisi rohaniah pada diri kita yang sudah teranugrahi atau sudah ada sejak manusia itu lahir. Karakter nondeterministic adalah tingkat ketangguhan seseorang dalam upaya mengatasi kondisi rohaniah yang sudah diberikan (2011). Karakter merupakan proses yang dikehendaki oleh seseorang untuk menyempurnakan kemanusiaannya. Jadi, karakter merupakan sebuah watak, akhlak, perilaku, kepribadian, kemampuan berpikir yang membedakan antara individu satu dengan yang lain. Karakter secara sederhana berkaitan penilaian perilaku baik dan buruk seseorang, orang yang jujur, sabar, dan dermawan akan disebut orang yang berkarakter baik, sebaliknya bagi mereka yang bisaa berbuat onar, pencuri, pelaku pembunuhan tentu akan mendapat label karakter buruk bagi orang yang menilainya. Mendidik anak menurut Ki Hajar Dewantara adalah mendidik rakyat, pendidikan ditujukan untuk memerdekakan manusia menjadi warga negara yang mandiri (1977). Manusia yang merdeka yaitu manusia yang hidupnya baik lahir maupun batin tidak bergantung pada orang lain. Asumsi tersebut selaras dengan pendapat Kuntowijoyo dalam sebuah kalimat “didiklah anak-anakmu, sebab mereka akan mengalami zaman yang berbeda dengan zaman kamu” (2002: 60). Manusia merupakan objek sekaligus subjek pendidikan, sebagai sebuah objek pendidikan manusia dapat mengalami pertumbuhan juga perkembangan, sedangkan sebagai subjek pendidikan manusia dapat bereaksi terhadap intervensi pendidikan itu sendiri (Koesuma, 2007). Pendidikan memainkan peranan penting bagi perkembangan manusia, oleh karena itu pendidikan harus diarahkan bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Pendidikan menurut Klann lebih banyak mengarah pada penyampaian sistematis pengetahuan yang berupa kesadaran, keakraban, dan pemahaman
10
terhadap informasi, fakta, dan prinsip, ataupun sudut pandang, sehingga dalam pendidikan tersirat wawasan, pencerahan, dan pikiran yang terbuka (2007). Pokok pelaksananaan pendidikan menurut McIntyre adalah pengajaran moral (Arthur, 2003: 27-28). Moral merupakan pengetahuan dasar tentang apa yang benar untuk dilakukan beserta alasannya, begitupun sebaliknya. Pendidikan menawarkan jalan untuk berpikir dan memahami alasan untuk mempercayai suatu hal dan melaksanakan prosedur yang pasti, sehingga dalam perkembangannya manusia akan mampu hidup dalam dunia yang penuh dengan peraturan-peraturan yang dibuat oleh kaum pembuat kebijakan. Jadi, definisi pendidikan secara umum merupakan sebuah usaha yang dilakukan manusia sebagai upaya dalam membentuk manusia secara utuh dan seimbang secara intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Manusia pada dasarnya sudah dibekali kemampuan untuk mengetahui tindakan baik dan buruk, oleh karena itu pendidikan berfungsi untuk memperkuat fitrah tersebut sehingga pada akhirnya manusia tidak hanya mengetahui tindakan tersebut, tapi juga mampu merasakan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan mempunyai hubungan erat dengan karakter. Mengutip kalimat Rev Martin Luther King bahwa “Intelligence plus character that is the goal of true education” (kecerdasan ditambah karakter adalah tujuan sebenarnya pendidikan). Seorang filsuf Inggris Herbert Spencer (1820-1903) pun berpendapat bahwa tujuan sejati dari pendidikan adalah pembentukan karakter (Klann, 2007: 89). Karakter sebagai salah satu bagian kehidupan manusia perlu dikembangkan seiring perkembangan zaman. Pendidikan karakter diartikan sebagai gerakan nasional untuk menciptakan sekolah yang membina etika, tanggung jawab, dan merawat orang-orang muda melalui permodelan dan pengajaran karakter baik melalui penekanan pada nilai-nilai universal yang kita bagi. Adapun nilai-nilai tersebut oleh Association for Supervision an Curriculum Development diklasifikasikan berupa nilai-nilai kemanusiaan dasar, termasuk kejujuran, kebaikan, kemurahan
11
hati, keberanian, kesetaraan, dan rasa hormat. Tujuannya adalah untuk membesarkan anak-anak yang dapat bertanggung jawab secara moral dan menjadi warga yang disiplin (Berkowitz dan Bier, 2005: 2). Pendidikan karakter menurut Kemendiknas mempunyai makna yang lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebisaaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan melakukannya (domain perilaku) (2010). Jadi, pendidikan karakter terkait erat dengan “habit” atau kebisaaan yang terus menerus dipraktekan atau dilakukan. Seseorang baru disebut ‘orang yang berkarakter’ apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Asumsi tersebut didukung oleh pendapat Lickona (2013) bahwa mendidik orang hanya dalam pikiran dengan mengesampingkan moral akan menimbulkan ancaman bagi masyarakat. Menurut Lickona ada beberapa alasan mengapa pendidikan karakter ini diperlukan; (1) banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran nilai-nilai moral; (2) memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda yang mempakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama; (3) peran sekolah sekolah sebagai wahana pendidikan karakter menjadi sangat semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orang tua, masyarakat, atau lembaga keagamaan; (4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima ditengah masyarakat seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggimg jawab; (5) demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat; (6) komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terns menjadi guru yang baik; dan (7) pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat (2013). Alasan ini menunjukkan bahwa pendidikan
12
karakter sangat perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan sekitamya, tidak memiliki rasa tanggung jawab, rendahnya kepercayaan diri dan Iain-lain. Jadi, pendidikan karakter harus menjadi gerakan nasional, utamanya menjadikan sekolah (institusi pendidikan) sebagai agen untuk membangun karakter peserta didik melalui pembelajaran dan permodelan. Melalui pendidikan karakter, sekolah harus berpretensi untuk membawa peserta didik memiliki nilai-nilai karakter mulia, seperti hormat dan peduli pada orang lain, tanggung jawab, jujur, memiliki integritas, dan disiplin. Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak. Lebih dari itu, pendidikan karakter harus menanamkan kebisaaan (habituation) tentang perilaku baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan perilaku yang baik. Dengan demikian, penyimpanganpenyimpangan yang terjadi di masyarakat akan semakin sempit apabila setiap individu sudah tertanam jiwa karakter yang kuat. b.
Nilai-Nilai Karakter Pendidikan karakter merupakan salah satu upaya penanaman nilainilai. Meskipun pendidikan karakter tidak selalu identik dengan pendidikan nilai, namun setiap pembicaraan tentang pendidikan karakter mau tidak mau pasti membahas atau menyentuh tentang nilai-nilai yang ditanamkan dalam lembaga pendidikan (Koesuma, 2012). Pendekatan berbagai pengetahuan tentang nilai tanpa adanya tindakan nyata dari sekolah, masyarakat, dan lingkungan global tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang muncul (Snook, 2007). Nilai-nilai etika dan moral sudah seharusnya dibawa ketingkat praksis dengan menanamkannya di lingkungan sekolah. Sekolah harus terbuka dengan perkembangan dunia politik, agar selaras dengan usaha sekolah dalam mengembangkan nilai-nilai.
13
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter menurut Kemendikbud dirujuk dari beberapa sumber: 1)
Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragam. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
2)
Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsipprinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilainilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hokum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
3)
Budaya, sebagai suatu kebeneran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat
mengharuskan
budaya
menjadi
sumber
nilai
dalam
pendidikan budaya dan karakter bangsa. 4)
Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga
14
negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa (2010) Nilai-nilai karakter yang dijiwai dari sumber-sumber diatas dijabarkan dalam konfigurasi psikologis sebagai berikut:
1)
Oleh hati; antara lain antara lain beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik.
2)
Olah piker; antara lain cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif.
3)
Olah raga; antara lain bersih, dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih.
4)
Olah rasa dan karsa; antara lain kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, nasionalis, peduli, kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air (patriotis), bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos. Klasifikasi di atas saling berpengaruh satu sama lain, apabila disajikan
dalam diagram ven akan muncul skema perilaku berkarakter sebagai berikut:
Gambar 1. Koherensi Karakter dalam Totalitas Proses Psikososial (Sumber: Kemendiknas, 2010: 9)
15
c.
Tujuan Pendidikan Karakter Pendidikan karakter diarahkan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan secara menyeluruh. Peserta didik melalui pendidikan karakter diharapkan
mampu
secara
mandiri
meningkatkan
dan
menggunakan
pengetahuannya, mengkaji, dan mempersonalisasikan nilai-nilai karakter dalam kehidupan sehari-hari (Mulyasa, 2012). Tujuan pendidikan karakter merupakan bagian dari tujuan pendidikan, yaitu membentuk manusia sempurna berkepribadian bangsa sesuai dengan kaidah. Secara holistic tujuan pendidikan masa kini mengarah pada perkembangan yang lebih dalam, maksimal, dan seimbang antara dimensi spiritual, sosial, emosional, intelektual, dan fisikal. 1)
Pengembangan dimensi spiritual, manusia yang memiliki norma-norma sesuai dengan kaidah-kaidah agama yang mereka yakini.
2)
Pengembangan dimensi sosial, membentuk kepribadian bangsa yang memiliki semangat sosial yang tinggi, sehingga akan memunculkan sikap toleransi, tenggang rasa, dan menghargai ssesama manusia.
3)
Pengembangan
dimensi
emosional,
pendidikan
bertujuan
untuk
mengembangkan emosi yang baik dan menekan emosi yang tidak baik sekecil mungkin. 4)
Pengembangangan dimensi intelektual, pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa agar terwujud kesejahteraan hidup dan terbebas dari kemiskinan.
5)
Pengembangan dimensi fisikal, pembentukan jasmani yang sehat, sehingga manusia dapat berpikir, bekerja, dan melakukan aktifitas hidup menurut kebutuhan mereka (Surya, Hasim, dan Suwarno,2010).
d.
Strategi Pelaksanaan Pendidikan Karakter Sekolah merupakan salah satu sasaran dari penerapan pendidikan karakter yang berperan penting dalam pembentukan karakter peserta didik. Terdapat beberapa metode yang bisa diterapkan guna mendukung tercapainya tujuan pendidikan karakter di sekolah. Setidaknya ada lima unsur yang menjadi
16
pertimbangan dalam pelaksanaan pendidikan karakter, yang digambarkan dalam diagram berikut; Mengajarkan Refleksi Memberikan teladan
Praksis prioritas Menentukan prioritas
Gambar 2. Unsur-Unsur Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Sumber: Koesuma (2007: 217) Keterangan: Pendidikan karakter mengajarkan nilai-nilai kebaikan maupun keadilan sehingga peserta didik memiliki gagasan konseptual tentang nilai-nilai pemandu perilaku yang bisa dikembangkan dalam mengembangkan karakter pribadinya. Guru sebagai tumpuan dari pendidikan sudah seharusnya menjadi teladan dalam kehidupan nyata baik itu didalam kelas maupun diluar kelas. Insan pendidikan harus menjadi model pendidikan karakter yang bisa diteladani oleh peserta didik sehingga apa yang mereka pahami tentang nilai-nilai itu memang bukan sesuatu yang jauh dari hidup peserta didik. Selain itu perlu ada skala prioritas nilai yang harus ditekankan dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Prioritas nilai tersebut digunakan sebagai patokan keberhasilan sekolah dalam melaksanakan pendidikan karakter. Unsur lain dalam pendidikan karakter adalah bukti dilaksanakannya prioritas nilai pendidikan karakter tersebut. Berkaitan dengan prioritas nilai yang menjadi visi dari kinerja pendidikan, lembaga pendidikan mesti mampu membuat verivikasi sejauh mana visi sekolah telah dapat direalisasikan. Unsur yang terakhir dalam pendidikan
17
karakter adalah evaluasi untuk melihat sejauh mana lembaga pendidikan telah berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikan karakter (Koesuma, 2007). Sebuah lembaga yang bergerak dibidang karakter, Character Education Partnership (2014) menawarkan 11 (sebelas) prinsip yang dapat dilakukan sekolah dalam melaksanakan pendidikan karakter. Prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah berupa; (a) sosialisasi nilai-nilai etika di lingkungan sekolah, (b) sekolah mendefinisikan karakter secara menyeluruh, meliputi pikiran, perasaan, dan tindakan, (c) dalam pelaksanaan pendidikan karakter sekolah menggunakan pendekatan yang komprehensif, sengaja, dan proaktif dalam mengembangkan karakter peserta didik, (d) penciptaan lingkungan sekolah yang peduli, (e) sekolah memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bertindak sesuai moral, (f) sekolah menawarkan kurikulum pembelajaran yang bermakna dan menantang, namun juga mengajarkan untuk menghormati orang lain, mengembangkan karakter peserta didik, dan membantu peserta didik untuk sukses, (g) sekolah membantu peserta didik dalam memotivasi diri, (h) pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama, oleh karena itu stakeholders mempunyai tanggung jawab yang sama dalam pelaksanaan pendidikan karakter, mereka harus mematuhi nilai-nilai dan memberi contoh yang baik kepada peserta didik, (i) sekolah turut serta dalam menumbuhkan juwa kepemimpinan dan mendukung pelaksanaan pendidikan jangka panjang, (j) sekolah melibatkan keluarga dan anggota masyarakat dalam kegiatan pembanguna karakter, (k) sekolah secara teratur menilai perkembangan pelaksanaan pendidikan karakter, fungsi staff sekolah adalah sebagai pendidik karakter dan membantu peserta didik dalam mewujudkan karakter yang baik. e.
Peranan Guru sebagai Pendidik Karakter Pendidikan karakter dan pendidikan akademik seperti dua sisi mata uang, jika dilakukan secara efektif keduanya akan berpengaruh satu sama lain. Karakter berperan penting dalam kehidupan akademik yang terbagi atas dua definisi yaitu karakter moral dan karakter performa (Davidson, Lickona, dan
18
Khmelkov, 2014). Karakter performa berhubungan dengan melakukan pekerjaan terbaik, sedangkan karakter moral merujuk pada melakukan hal yang benar dalam sebuah hubungan. Lebih jelas ia menjelaskan bahwa; 1) Peserta didik memerlukan karakter performa (etos kerja, disiplin diri, ketekunan, inisiatif, kerja tim, dll) untuk melakukan tugas akademis terbaik mereka. 2) Peserta didik mengembangkan karakter performa mereka (kemampuan untuk bekerja keras, mengatasi hambatan, merasa senang dalam pekerjaan yang dilakukan dengan baik, dll) dari tugas sekolah mereka. 3) Peserta didik mengembangkan karakter moral (rasa hormat, keadilan, kebaikan, kejujuran, dll) untuk membangun hubungan kelas yang menciptakan lingkungan belajar yang positif. 4) Peserta didik mengembangkan karakter moral dari sekolah mereka (misalnya, dengan membantu rekan-rekan mereka untuk mengerjakan untuk mengerjakan tugas terbaik mereka melalui “budaya kritik” yang menawarkan umpan balik konstruktif, dengan mempelajari masalah etika dalam kurikulum, dan dengan menggunakan pembelajaran kurikuler mereka dalam proyek pengabdian yang membantu memecahkan masalah dunia nyata (Davidson, Lickona, dan Khmelkov, 2014: 549) Guru adalah profesi yang mulia, mendidik, dan mengajarkan pengalaman baru bagi peserta didik. Guru sebagai pendidik mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Peranan pendidik diantaranya adalah sebagai teladan dan penasehat untuk peserta didik, pendidik juga harus mampu menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, mengajar nilai-nilai yang terkandung dalam kurikulum, melaksanakan pembelajaraan yang kooperatif, dan mengajar pemecahan masalah. Berkenaan dengan asumsi tersebut
Sanjaya
menjelaskan bahwa peran
utama guru memanglah
menyampaikan ilmu pengetahuan (sumber belajar), namun bukan satu-satunya. Peran guru dalam proses pembelajaran selain sebagai sumber belajar adalah sebagai fasilitator, pengelola, demonstrator, pembimbing, motivator, dan evaluator (2013).
19
Lickona (mengutip pendapat Lickona , 1991) memperkenalkan 12 pendekatan komprehensif dalam pelaksanaan pendididkan karakter yang digambarkan dalam roda berikut:
Gambar 3. Pendekatan Komprehensif dalam Pendidikan Karakter (Sumber: Lickona, 1997: 67) Merujuk pada roda tersebut setidaknya guru mempunyai 9 peranan sebagai pendidik karakter, yang meliputi: ) a)
Guru sebagai pengasuh, model moral, dan mentor moral
b)
Menciptakan masyarakat kelas peduli
c)
Disiplin moral
d)
Menciptakan lingkungan kelas yang demokratis
e)
Mengajarkan nilai yang terkandung dalam kurikulum
f)
Pembelajaran kooperatif
g)
Rajin yang berasal dari hati nurani
h)
Refleksi perilaku
i)
Mengajarkan pemecahan masalah (Lickona, 1997) Guru berkarakter menurut Uhar Saputra (2014), bukan tentang
pengajaran dalam arti transfer of moral knowledge, namun lebih pada permodelan atau percontohan melalui interaksi edukatif
yang dapat
20
mengkondisikan suasana pembelajaran yang menumbuhkan sikap positif serta perilaku dalam melaksanakan peran dan tugasnya sebagai pendidik. Dalam situasi yang demikian proses permodelan dan pengkondisian dalam membentuk karakter peserta didik akan efektif karena dikelola oleh guru yang berkarakter yang mampu menanamkan nilai-nilai pada peserta didik sebagai pelanggan primer pendidikan di sekolah. Peranan guru dalam membina karakter peserta didik yaitu: (1) menemukan pribadi, yakni guru memfasilitasi peserta didik menerimanya secara positif dalam rangka mengembangkan dirinya kea rah yang lebih baik; (2) mengenal lingkungan, yakni guru memfasilitasi peserta didik agar mengenal lingkungannya seperti lingkungan sosial, ekonomi, budaya dan dapat menerima berbagai kondisi lingkungan itu secara positif, (3) merencanakan masa depan, yakni guru memfasilitasi peserta didik agar mereka dapat merencanakan masa depannya (Masnur Muslich, 2011).
2. a.
Hakekat Pembelajaran Sejarah
Pengertian Pembelajaran dan Pembelajaran Sejarah Pembelajaran merupakan serangkaian kombinasi yang tersusun atas beberapa unsur, meliputi unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling berpengaruh untuk mencapai tujuan pembelajaran (Hamalik, 2014). Proses pembelajaran berlangsung bersamaan dengan kegiatan mengajar dan belajar. Mengajar merupakan proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru kepada peserta didik. Mengajar oleh Welton diartikan sebagai “emphatically skilled work. It may be, and often is done mechanically, but then the result in inferior; in other words, the children so treated suffer an irreparable wrong” (1906: 17). Hamalik secara utuh menjelaskan pembelajaran sebagai (1) upaya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik di sekolah, (2) pewarisan kebudayaan kepada generasi muda melalui lembaga pendidikan sekolah, (3) mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi
21
peserta didi, (4) mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga negara yang baik, dan (5) membantu peserta didik menghadapi kehidupan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari (2014). Kelima pengertian tersebut menyiratkan bahwa tujuan dari sebuah pembelajaran bukan hanya anak mendapat nilai 10 di semua mata pelajaran, jauh dari pada itu pembelajaran mempunyai tujuan jangka panjang dan lebih mendalam untuk diri setiap peserta didik yang mencakup kemampuan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Sejarah dalam pandangan Kuntowijoyo merupakan ilmu yang mandiri (2008). Sejarah berusaha menafsirkan, memahami dan mengerti gejala tunggal yang dialami oleh manusia. Sejarah oleh Syafii Maarif (1997) diartikan sebagai jembatan penghubung masa silam dan masa kini, dan sebagai petunjuk arah ke masa depan (Aman, 2011: 5). Kartodirdjo (2001) memberikan pemahaman yang tidak jauh berbeda bahwa sejarah tidak selalu menyangkut “past event” atau peristiwa-peristiwa masa lalu, tetapi berhubungan atau menyangkut peristiwa-peristiwa mutakhir (current event) (Aman, 2011: 2). Inti dari sejarah adalah dapat mengatakan sesuatu secara benar tentang masa lalu. Lee secara rinci mengutarakan bahwa setiap orang membutuhkan pengetahuan masa lalu untuk memahami kehidupan saat ini dan kehidupan yang akan datang (2011). Manusia dituntut tidak hanya belajar tentang sejarah, namun juga belajar dari sejarah. Sejarah sebagai sebuah ilmu menyajikan beragam peristiwa-peristiwa yang mengandung pengalaman berharga. Belajar dari sejarah mampu membuat manusia berpikir arif. Fungsi sejarah mengarah pada pemahaman seseorang dalam menganalisa peristiwa dimasa lampau yang kemudian ditarik lurus terhadap peristiwa masa kini dan nanti. Sejarah mempunyai unsur kesinambungan antara masa lalu, masa sekarang, dan masa akan datang. Mengutip kalimat Nurcholis Madjid dalam sebuah pengantar bahwa masa lalu, masa sekarang, dan masa depan adalah kontinum ruang dan waktu yang tidak mengenal keterputusan, mustahil ada masa kini tanpa masa lalu. Betapapun bermasalahnya dipandang
22
masa lalu itu, namun ia tetap berpengaruh dimasa sekarang (Munawar & Rachman, 2011) Sjamsudin mengartikan sejarah sebagai kejadian-kejadian yang terjadi pada manusia dimasa lampau (1996). Komponen-komponen yang terkandung dalam sejarah berhubungan dengan sejarah sebagai peristiwa, ilmu, dan kisah, namun tidak semua peristiwa dimasa lampau bisa disebut peristiwa sejarah, hanya apabila peristiwa tersebut bersifat unik dan berpengaruh untuk kehidupan manusia berikutnya. Pengertian sejarah adalah kejadian atau peristiwa itu sendiri, yakni proses dalam aktualitasnya terlepas dari subjek manapun (Arif, 2011). Sejarah disusun berdasarkan fakta-fakta yang benar-benar terjadi dimasa lampau melalui metodologi tertentu (Historiografi). Pembelajaran sejarah merupakan proses dan produk dalam pendidikan sejarah. Pembelajaran dikatakan sebagai sebuah proses karena pembelajaran membawa kita pada arena persaingan teori pembelajaran, ide-ide tentang bagaimana pembelajaran mungkin terjadi, sedangkan pembelajaran sebagai produk diartikan sebagai hasil dari beberapa proses yang sudah dilalui. Sama seperti pengertian pembelajaran secara umum produk tersebut adalah berupa tingkah laku peserta didik (Mark K. Smith, 2009). Sejarah berusaha untuk menanamkan pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat dari masa lampau hingga kini kepada peserta didik (Agung dan Wahyuni, 2013). Namun, perlu dipahami bahwa hakikat pendidikan sejarah dan ilmu sejarah itu berbeda meskipun subjek kajian mereka sama. Pendidikan sejarah merupakan pembelajaran sejarah di sekolah guna mengungkap fakta sejarah secara lebih bijak. Secara sederhana pengajaran sejarah diartikan sebagai mengajar sejarah. Tujuan pembelajaran sejarah bukan untuk melahirkan calon sejarawan seperti halnya ilmu sejarah, namun tujuan pembelajaran sejarah bertumpu pada tujuan pendidikan pada umumnya, yaitu ikut membangun kepribadian dan sikap mental peserta didik.
23
b.
Tujuan Pembelajaran Sejarah Tujuan pendidikan sejarah selaras dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 yaitu turut membangun kepribadian dan sikap mental peserta didik. Pembelajaran sejarah disekolah berfungsi utnuk melatih peserta didik berfikir kritis, selain itu pembelajaran sejarah juga berfungsi sebagai pembentuk identitas dan eksisternsi bangsa. Garvey dan Krug mengidentifikasi setidaknya ada lima keguanaan belajar sejarah, diantaranya; (1) mendapat pengetahuan tentang fakta sejarah, (2) untuk memperoleh pemahaman atau pengertian tentang peristiwa peristiwa, zaman, atau manusia di masa lalu, (3) mampu mengevaluasi dan mengkritisi tulisan sejarah, (4) belajar teknik penelitian sejarah, dan (5) belajar bagaimana menulis sejarah (1997).
c.
Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah Pelaksanaan pembelajaran sejarah terbagi dalam beberapa tahapan. Arends (2008) dan Mulyasa (2011) mengungkapkan bahwa sedikitnya terdapat 3 tahapan dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang terintegrasi dengan pendidikan karakter, yaitu tahap perencanaan, tahap pembelajaran, dan tahap penilaian (assessment) dan evaluasi. 1)
Tahap Perencanaan Pembelajaran Perencanaan dalam proses pengajaran dapat diartikan sebagai proses penyusunan materi pelajaran, penggunaan media pengajaran, penggunaan pendekatan dan metode pengajaran, dan penilaian dalam suatu alokasi waktu yang akan dilaksanakan pada masa tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (Majid, 2011). Berkaitan dengan perancanaan pembelajaran yang terintegrasi dengan pendidikan karakter Mulsaya mengartikan RPP berkarakter sebagai rencana jangka pendek untuk memperkirakan atau memproyeksikan karakter yang akan ditanamkan kepada peserta didik dalam pembelajaran (2012).
24
Langkah-langkah dalam menyusun perencanaan pembelajaran sejarah meliputi; a)
Merumuskan tujuan pembelajaran Rumusan tujuan pembelajaran harus mencakup tiga aspek, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga aspek tersebut berkaitan dengan perkembangan peserta didik dari segi pemahaman pengetahuan, perilaku, dan ketrampilan.
b)
Memilih pengalaman belajar yang harus dilakukan peserta didik sesuai dengan tujuan pembelajaran. Aktifitas ini berguna dalam rangka
memberi
peserta
didik
pengalaman
agar
mampu
bersosialisasi dengan orang lain. c)
Menyusun perencanaan pembelajaran dengan pendekatan sistem, baik itu berupa pendekatan kelompok ataupun pendekatan individu.
d)
Menyeleksi bahan dan alat pembelajaran. Kegiatan ini diantaranya dengan
mempertimbangkan
hal-hal
seperti
berikut:
(1)
keberagaman kemampuan intelektual peserta didik; (2) jumlah dan keberagaman tujuan yang hendak dicapai; (3) jenis-jenis media; (4) alternatif pengalaman belajar; (5) bahan dan alat; (6) fasilitas fisik yang tersedia. e)
Fasilitas fisik. Komponen ini meliputi ketersediaan ruang kelas, laboratorium, atau pusat media (Agung & Wahyuni, 2013).
2)
Tahap Kegiatan Pembelajaran (Instruksional) Kegiatan pembelajaran merupakan akumulasi dari konsep mengajar (teaching) dan konsep belajar (learning). Strategi dalam kegiatan pembelajaran diklasifikasikan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu (1) tahap prainstruksional, (2) tahap instruksional, dan (3) tahap penilaian dan tindak lanjut (Majid, 2013). a)
Tahap prainstruksional adalah tahapan awal yang ditempuh guru saat memulai proses belajar dan mengajar. Tujuan kegiatan ini
25
secara umum adalah untuk memunculkan tanggapan peserta didik terhadap bahan ajar sebelumnya dan menumbuhkan kondisi belajar peserta didik (Madjid, 2013). Kegiatan tersebut antara lain; (1)
Guru menanyakan kehadiran peserta didik dan mencatan siapa saja yang tidak hadir. Guna mengukur ketertarikan peserta didik terhadap suatu mata pelaran salah satunya bisa dilihat melalui tingkat kehadiran peserta didik (2013).
(2)
Bertanya kepada peserta didik tentang pembahasan materi sebelumnya, untuk mengetahui kebisaaan belajar peserta didik dirumah atau bisa juga untuk mengetahui sejauh mana persiapan peserta didik menghadapi pelajaran.
(3)
Mengajukan pertanyaan kepada peserta didik. Kegiatan ini berguna untuk mengatahui sejauh mana pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran yang sudah diajarkan.
(4)
Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya tentang materi pelajaran yang belum dipahami sebelumnya.
(5)
Mengulang kembali bahan pelajaran yang lalu sebagai dasar bagi pelajaran yang akan dibahas.
(6)
Mennyampaikan tujuan pembelajaran yang harus dicapai peserta didik.
b)
Tahap Instruksional Tahap instruksional atau tahap pengajaran merupakan tahap inti pembelajaran. Kegiatan yang dilakukan guru dalam tahapan ini antara lain; (1)
Menuliskan materi pokok yang akan dibahas hari itu
(2)
Membahas materi pokok.
(3)
Memberikan contoh-contoh konkret pada setiap pokok bahasan.
26
(4)
Penggunaan alat bantu pengajaran untuk memperjelas pembahasan materi pokok bahasan.
(5)
Menyimpulkan hasil pembahasan materi. Kegiatan ini dilakukan oleh guru ataupun guru bersama-sama dengan peserta didik bahkan dapat dilakukan sepenuhnya oleh peserta didik.
3)
Tahap Penilaian Kelas Penilaian merupakan salah satu dari serangkaian tugas pokok guru, berperan untuk mengukur keberhasilan guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Penilaian berbeda dengan pengukuran dan evaluasi. Suwandi mengartikan kegiatan penilaian sebagai suatu proses untuk mengetahui apakah proses dan hasil dari suatu program kegiatan telah sesuai dengan tujuan atau kriteria yang telah ditetapkan (2011). Alat yang digunakan dalam penilaian berupa pengukuran. Pengukuran oleh Putra diartikan sebagai kegiatan membandingkan sesuatu dengan ukuran tertentu dan bersifat kuantitatif (2013). Istilah yang ketiga adalah evaluasi merupakan kegiatan penilaian pendidikan secara menyeluruh meliputi pperencanaan substansi pendidikan, kurikulum, penilaian, pelaksanaan, kemampuan guru, managemen pendidikan, dan reformasi pendidikan secara menyeluruh (Suwandi, 2011). Mengacu pada pengertian evaluasi diperoleh pengertian bahwa penilaian merupakan bagian dari evaluasi. Penilaian hasil belajar diatur dalam Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan nomo 104 tahun 2014. Penilaian diartikan sebagai
proses
pengumpulan
informasi/bukti
tentang
capaian
pembelajaran peserta didik dalam kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial, kompetensi pengetahuan dan kompetensi keterampilan yang dilakukan secara terencana dan sistematis selama dan setelah proses pembelajaran dan berfungsi untuk memantau kemajuan untuk memantau kemajuan belajar, memantau hasil belajar, dan mendeteksi kebutuhan
27
perbaikan
hasil
belajar
peserta
didik
secara
berkesinambungan
(Permendikbud nomor 104 tahun 2014 pasal 1 dan 3). Penilaian kelas berhubungan dengan pengambilan keputusan guru tentang pencapaian kompetensi atau hasil belajar peserta didik setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tertentu melalui proses pengumpulan dan penggunaan informasi (Jihad & Haris, 2012). Teknikteknik yang digunakan dalam kegiatan penilaian sangat beragam, Jihad dan Haris (2012) dan Suwandi (2011) mengklasifikasikan penilaian dalam beberapa teknik, meliputi: a)
Penilaian test, merupakan salah satu teknik yang digunakan guru dalam melakukan penilaian. Bentuk-bentuk penilaian test meliputi test esai dan test objektif, bentuk pengerjaan test tersebut bisa dilakukan secara tertulis atau lisan sesuai dengan kebijakan guru.
b)
Penilaian unjuk kerja, yaitu penilaian yang dilakukan dengan cara mengamati kegiatan peserta didikdalam melaksanakan sesuatu.
c)
Penilaian sikap. Sikap terbagi atas tiga ranah yaitu afektif, kognitif, dan psikomotorik. Sikap yang wajib dinilai pada proses pembelajaran berupa sikap peserta didik terhadap meteri pelajaran, sikap terhadap guru, sikap terhadap proses pembelajaran, dan sikap terhadap nilai atau norma yang berhubungan dengan materi pelajaran.
d)
Penilaian proyek,merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam periode/waktu tertentu.
e)
Penilaian portipolio, merupakan penilaian berkelanjutan yang didasarkan
pada
kumpulan
informasi
yang
menunjukan
perkembangan kemampuan peserta didik dalam satu periode tertentu. f)
Penilian diri, merupakan teknik penilaian dimana peserta didik diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan status,
28
proses, dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya dalam mata pelajaran tertentu.
3. a.
Hakikat Kurikulum 2013
Pengertian Kurikulum 2013 Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Peraturan Pemerintah no. 32 tahun 2013).
Kurikulum 2013
merupakan usaha terpadu antara (1) rekonstruksi kompetensi lulusan, dengan (2) kesesuaian dan kecukupan, keluasan dan kedalaman materi, (3) revolusi pembelajaran dan (4) reformasi penilaian (Kemendikbud, 2013). Kurikulum 2013 merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan secara holistic,yaitu mencakup ranah kompetensi sikap, pengetahuan, dan ketrampilan secara terpadu. Jadi, Kurikulum 2013 berusaha untuk menyeiimbangkan antara hardskill dan softskill, dimulai dari Standar Kompetensi Lulusan, Standar Proses, Standar Penilaian. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum konstruktivisme. Sebagaimana dinyatakan Tjipto Sumadi bahwa “Kurikulum 2013 sesungguhnya berbasis pada kurikulum konstruktivisme yang menekankan pada pembangunan jiwa anak. Kontruktivisme berarti peserta didik diajak turut serta dalam pembelajaran itu sendiri” (Anbarani, 2014: 1). Guru bertugas mengarahkan apa yang harus dilakukan oleh peserta didik. Jadi, guru tidak lagi mendominasi proses
pembelajaran
karena
proses
pembelajaran,
karena
paradigma
pembelajaran teacher center sudah terganti menjadi student center. b.
Struktur Kurikulum SMA Struktur kurikulum menggambarkan posisi belajar seorang peserta didik untuk menyelesaikan seluruh mata pelajaran yang tercantum dalam struktur kurikulum.
29
Struktur kurikulum SMA/MA terdiri atas: 1)
Kelompok mata pelajaran wajib yang diikuti oleh seluruh peserta didik.
2)
Kelompok mata pelajaran peminatan yang diikuti oleh peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
3)
Untuk MA dapat menambah dengan mata pelajaran kelompok peminatan keagamaan (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2013).
c.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kurikulum 2013 RPP merupakan rencana pengajaran yang dikembangkan secara rinci mengacu pada silabus, buku teks pelajaran, dan buku panduan guru. Prinsipprinsip penyusunan RPP dalam Kurikulum 2013 mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 103 tahun 2014, adalah: 1)
RPP harus memuat kompetensi dasar sikap spirituan (KD dari KI-1), social (KD dari KI-2), pengetahuan (KD dari KI-3), dan ketrampilan (KD dari KI-4).
2)
Satu RPP dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih.
3)
Memperhatikan perbedaan individu peserta didik, yaitu RPP disusun dengan memperhatikan perbedaan kemampuan awal, tingkat intelektual, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan social, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang, budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik.
4)
Berpusat pada siswa, yaitu proses pembelajaran dirancang dengan berpusat pada peserta didik untuk mendorong motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar, menggunakan pendekatan saintifik meliputi mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar/mengasosiasi, dan mengomuni-kasikan.
5)
Berbasis konteks, yaitu proses pembelajaran yang menjadikan lingkungan sekitarnya sebagai sumber belajar.
30
6)
Berorientasi kekinian, yaitu pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan nilai-nilai kehidupan masa kini.
7)
Mengembangkan kemandirian belajar, yaitu pembelajaran memfasilitasi peserta didik untuk belajar secara mandiri.
8)
Memberikan umpan balik dan tindak lanjut pembelajaran berupa penguatan, pengayaan, dan remidi.
9)
Memiliki
keterkaitan
dan
keterpaduan
antarkomptensi
dan/atau
antarmuatan. 10) d.
Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Proses Pembelajaran dalam Kurikulum 2013 Proses pembelajaran Kurikulum 2013 terdiri atas pembelajaran intrakurikuler dan pembelajaran ekstra-kurikuler. 1)
Pembelajaran intrakurikuler didasarkan pada prinsip berikut: a)
Proses pembelajaran intra-kurikuler adalah proses pembelajaran yang berkenaan dengan mata pelajaran dalam struktur kurikulum di kelas, sekolah, dan masyarakat.
b)
Proses
pembelajaran
di
SMA/MA
berdasarkan
Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran. c)
Proses pembelajaran didasarkan atas prinsip pembelajaran siswa aktif untuk menguasai Kompetensi Dasar dan Kompetensi Inti pada tingkat yang memuaskan (excepted).
d)
Proses pembelajaran dikembangkan atas dasar karakteristik konten kompetensi yaitu pengetahuan yang merupakan konten yang bersifat mastery dan diajarkan secara langsung (direct teaching), ketrampilan kognitif dan psikomotorik adalah konten yang bersifat development yang dapat dilatih (trainable) dan diajarkan secara langsung (direct teaching), sedangkan sikap adalah konten
31
developmental dan dikembangkan melalui proses pendidikan yang tidak langsung (indirect teaching). e)
Pembelajaran kompetensi untuk konten yang bersifat developmental dilaksanakan berkesinambungan antara satu pertemuan dengan pertemuan lainnya, dan salingmemperkuat antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lain.
f)
Proses pembelajaran tidak langsung (indirect) terjadi pada setiap kegiatan belajar yang terjadi di kelas, sekolah, rumah, dan masyarakat. Proses pembelajaran tidak langsung bukan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) karena sikap yang dikembangkan dalam proses pembelajaran tidak langsung harus tercantum dalam silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibuat guru.
g)
Proses pembelajaran dikembangkan atas prinsip pembelajaran siswa aktif melalui kegiatan mengamati (melihat, membaca, mendengar, menyimak), menanya (lisan, tulis), menganalis (menghubungkan, menentukan
keterkaitan,
membangun
cerita/konsep),
mengkomunikasi-kan (lisan, tulis, gambar, grafik, tabel, chart, dan lain-lain). h)
Pembelajaran remedial dilaksanakan untuk membantu peserta didik menguasai kompetensi yang masih kurang. Pembelajaran remedial dirancang
dan
dilaksanakan
berdasarkan
kelemahan
yang
ditemukan berdasarkan analisis hasil tes, ulangan, dan tugas setiap peserta didik. Pembelajaran remedial dirancang untuk individu, kelompok atau kelas sesuai dengan hasil analisis jawaban peserta didik. i)
Penilaian hasil belajar mencakup seluruh aspek kompetensi, bersifat formatif dan hasilnya segera diikuti dengan pembelajaran remedial
32
untuk
memastikan
penguasaan
kompetensi
pada
tingkat
memuaskan. 2)
Pembelajaran ekstrakurikuler Pembelajaran ekstrakurikuler adalah kegiatan yang dilakukan untuk aktivitas yang dirancang sebagai kegiatan di luar kegiatan pembelajaran terjadwal secara rutin setiap minggu. Kegiatan ekstrakurikuler terdiri atas kegiatan wajib dan pilihan. Pramuka adalah kegiatan ekstrakurikuler wajib. Kegiatan ekstrakurikuler wajib dinilai yang hasilnya digunakan sebagai unsur pendukung kegiatan intrakurikuler (Sigit dalam Lokakarya School Community, 2014). Karakteristik proses pembelajaran dalam Kurikulum 2013 yaitu; (1)
menggunakan pendekatan saintifik melalui kegiatan mengamati, menanya, menalar,
mencoba,
dan
mengkomunikasikan,
(2)
menggunakan
ilmu
pengetahuan sebagai penggerak pembelajaran untuk semua mata pelajaran, (3) menuntun siswa untuk mencari tahu, bukan diberi tahu (discovery learning), (4) menekankan kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi, pembeawa pengetahuan dan berfikir logis, sistematis, dan kreatif (Paparan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan, 2013). Proses pembelajaran dalam Kurikulum 2013 diarahkan untuk meningkatkan krativitas peserta didik yang mengedepankan pengalaman personal melalui proses mengamati, menanya, menalar, dan mencoba (observation based learning). Disamping itu peserta didik juga dibisaakan untuk bekerja dalam jejaringan melalui collaborative learning. e.
Penilaian dalam Kurikulum 2013 Standar Penilaian merupakan satu dari delapan Standar Nasional Pendidikan yang bertujuan untuk; (1) menjamin perencanaan penilaian peserta didik sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai dan berdasarkan prinsipprinsip penilaian, (2) menjamin pelaksanaan penilaian peserta didik secara professional, terbuka, edukatif, efekti, efisien, dan sesuai dengan konteks social
33
dan budaya, (3) menjamin pelaporan hasil penilaian peserta didik secara objektif, akuntabel, dan informative (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, 2013). Kurikulum 2013 mempersyaratkan penggunaan penilaian autentik (authentic assessment) untuk menilai kemajuan belajar peserta didik yang meliputi sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 104 tahun 2014 diperoleh gambaran sebagai berikut: 1)
Penilaian Kompetensi Sikap Penilaian sikap berkaitan dengan kecenderungan seseorang dalam merespon sesuatu/objek. Teknik yang digunakan dalam menilai sikap peserta didik antara lain melalui observasi, penilaian diri, penilaian teman sebaya, dan penilaian jurnal.
2)
Penilaian Kompetensi Pengetahuan Teknik penilaian kompetensi pengetahuan terdiri atas test tertulis, pengamatan terhadap diskusi/tanya jawab, dan penugasan. Penilaian autentik dalam soal test tertulis menghendaki peserta didik merumuskan jawabannya sediri. Hal tersebut bisa mengasah kemampuan peserta didik untuk mengemukakan pendapat, berpikir kritis, dan menarik simpulan. Penilaian pengetahuan melalui pengamaan ketika diskusi/tanya jawab berlangsung dapat membantu guru untuk mengenal kemampuan peserta didin dalam mengungkapkan gagasan yang orisinal, kebenaran konsep, dan ketepatan penggunaan istilah/fakta/prosedur.
3)
Penilaian Kompetensi Ketrampilan Kompetensi ketrampilan terdiri atas ketrampilan abstrak dan konkret. Teknik yang digunakan dalam penilaian ini meliputi unjuk kerja, projek, produk, dan portopolio.
34
3.
Peranan Pembelajaran Sejarah dalam Pelaksanaan Pendidikan Karakter Belajar sejarah memberikan banyak kontribusi dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hubungannya dengan pendidikan karakter, sejarah mengajar dengan contoh, sejarah tidak hanya mengisahkan tentang pahlawan-pahlawan di masa lalu, orangorang besar dalam sejarah tapi sejarah juga mengisahkan tentang orang-orang biasa yang memberikan pelajaran tentang keberanian, ketekunan, atau protes konstruktif. Selain pemahaman moral, dengan belajar sejarah seseorang bisa belajar menjadi warganegara yang baik. Belajar sejarah membantu kita memahami bagaimana kemarin, saat ini, dan calon perubahan yang mempengaruhi kehidupan warga negara yang muncul dan apa penyebab yang terlibat (Stearns, 1998). Karakteristik materi pelajaran sejarah menurut Aman (2011) secara substabsif terdiri atas: a)
b)
c)
d)
Mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patiotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik; Membuat khasanah mengenai peradaban bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasari proses pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa depan; Menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa; Berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup (Lestari, 2015: 18). Keempat krakteristik mata pelajaran sejarah tersebut mengisyaratkan bahwa
dalam materi pelajaran sejarah juga terkandung nilai-nilai karakter yang dapat ditanamkan pada peserta didik. Nilai-nilai karakter tersebut, nantinya akan dikemas oleh pendidik agar tertanam dalam jiwa peserta didik. Sehingga peserta didik tidak hanya mampu memahami nilai-nilai karakter, namun secara nyata juga mempraktikan pemahaman nilai tersebut kehidupan sehari-hari. Pembelajaran moral sebagai salah satu komponen pendidikan karakter dalam pendidikan sejarah berusaha untuk tidak hanya menghasilkan sejarawan yang baik namun juga orang-orang baik.
35
Pembelajaran moral bukan sesuatu yang terpinggirkan namun terletak dalam inti pendidikan sejarah itu sendiri (Peterson, 2011). Merujuk pada kutipan Sartono Kartodirdjo bahwa “apabila sejarah hendak tetap berfungsi dalam pendidikan, maka harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi sosial dewasa ini” (1982: 6). Jika studi sejarah terbatas pada pengetahuan fakta-fakta, akan mematikan segala minat terhadap sejarah. Sependapat dengan Sartono Kartodirdjo, Aman (mengutip pernyataan Maarif, 1995) mengatakan bahwa, “pengajaran sejarah yang terlalu mengedepankan aspek kognitif, tidak akan banyak pengaruhnya dalam rangka memantapkan apa yang sering disebut sebagai jati diri dan kepribadian bangsa (2011: 7).
B.
Hasil Penelitian Relevan
Penelitian ini bukanlah penelitian pertama sepanjang berjalannya proses pendidikan,
terutama
yang berhubungan
dengan
pendidikan
karakter
dan
pembelajaran sejarah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa rujukan diantaranya sebagai berikut: 1.
Penelitian yang dilakukan oleh Marzuki, berjudul “Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah” yang dimuat dalam Jurnal Pendidikan Karakter, tahun II, nomor 1, Februari 2012. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa a) terdapat 4 pilar reformasi pendidikan karakter yang meliputi masyarakat penyelenggara dan pelaku pendidikan, mandat pemerintah yang jelas dan transparan dan akuntabel, managemen pengelolaan pendidikan karakter, pemberdayaan guru, dan pengelolaan pendidikan harus ditingkatkan, dan keterlibatan orang tua peserta didik yang didukung dengan budaya dan kebisaaan hidup masyarakat yang kondusif sekaligus mejadi teladan bagi peserta didik dalam bersikap dan berilaku sehari-hari, b) pendidikan karakter harus berdasarkan nilai-nilai pancasila dan ajaran agama, sehingga dengan bekal nilai-nilai karakter mulia, peserta didik diharapkan menjadi manusia yang berkarakter sekaligus memiliki ilmu pengetahuan yang siap dikembangkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
36
2.
Penelitian yang dilakukan oleh Alex Agboola dan Kaun Chen Tsai yang berjudul “Bring Character Education into Classroom”, yang dimuat dalam European Journal of Educational Research, volume: 1, nomor: 1, tahun 2012, halaman: 163-170. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa (a) sekolah masih perlu untuk menerapkan pendidikan karakter yang melengkapi peserta didik dengan karakteristik yang tepat untuk membantu mereka menjadi warga negara yang baik, (b) dibutuhkan pendekatan antar disiplin ilmu dengan sudut pandang berbeda yang dapat memfasilitasi pemahaman yang lebih baik tentang pendidikan karakter, (c) pendidikan karakter bukan hanya sebuah slogan, namun misi yang menempel dalam kehidupan sekolah sehari-harinya. Fungsi sekolah adalah sebagai arena dimana peserta didik dapat berbuat baik dan menikmati kehidupan sekolah mereka.
3.
Penelitian yang dilakukan oleh Lailatus Sa’diyah yang berjudul “Peranan Guru Sejarah dan Pendidikan karakter dalam Pembentukan Sikap Nasionalisme Peserta didik Kelas XI di SMA Negeri 2 Kudus Tahun Ajaran 2012/2013”. Skripsi Universitas Negeri Semarang. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa: (a) upaya guru sejarah dalam pembentukan sikap nasionalisme peserta didik meliputi pembelajaran sejarah (perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi) dan kegiatan ekstrakurikuler, (b) peranan guru sejarah dalam pembentukan sikap nasionalisme peserta didik adalah guru sebagai teladan, inspirator, motivator,
dinamisator,
dan
insoirator.
Nilai-nilai
yang
menunjang
pembentukan sikap nasionalisme diantaranya nilai nasionalisme, tanggung jawab, disiplin, toleransi, kerja keras, dan peduli sosial. 4.
Penelitian yang dilakukan oleh Hendra Kurniawan yang berjudul “Penanaman Karakter Melalui Pembelajaran Sejarah dengan Paradigma Konstruktivistik dalam Kurikulum 2013” yang dimuat dalam jurnal SOCIA, vol: 12, no: 1, tahun 2013, halaman: 45-58. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa guru seiring dengan perubahan kurikulum dituntut untuk semakin kritis dalam menerapkan kegiatan pembelajaran. Mata pelajaran sejarah dalam Kurikulum
37
2013 dianggap memiliki peran strategis bagi penanaman kesadaran sejarah dan nilai-nilai karakter pada peserta didik. 5.
Penelitian yang dilakukan oleh Syamsu A. Kamaruddin yang berjudul “Character Education and Students Sosial Behavior” yang dimuat dalam Journal of Education and Learning, vol: 6, no: 4, tahun 2012 halaman: 223-230. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa program pendidikan karakter memang tidak serta merta mengubah murid secara langsung, dibutuhkan komitmen dan konsistensi dalam pelaksanaannya. Namun pendidikan karakter diharapkan dapat memberi warna yang positif dalam suasana belajar.
C.
Kerangka Berpikir
Ranah pelaksanaan pendidikan karakter salah satunya melibatkan lingkungan sekolah. Hal tersebut dikarenakan hampir sebagian besar waktu peserta didik dihabiskan disekolah, selain itu banyak para orang tua yang sudah sepenuhnya mempercayakan perkembangan kognitif maupun perilaku anak kepada pihak sekolah. Sekolah bertanggung jawab atas perkembangan peserta didik. Pelaksanaan pendidikan karakter berusaha untuk mengintegrasikan secara seimbang nilai-nilai karakter guna menciptakan peserta didik yang cakap dalam bidang kognitif, afektif, psikomotorik, selain itu juga secara spritual. Nilai-nilai yang diajarkan dalam pendidikan karakter memang dipersiapkan agar peserta didik siap menghadapi percaturan dunia ketika mereka beranjak dewasan dalam figur manusia yang baik dan tanggap terhadap perkembangan zaman. Pendidikan karakter memang tidak terbingkai dalam mata pelajaran kusus, namun penerapan pendidikan karakter terintegrasi dengan mata pelajaran-mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, diantaranya sejarah.. Pendidikan karakter diharapkan peserta didik tidak hanya tahu tentang nilai-nilai kebaikan namun mereka juga secara nyata bisa mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata. Pembelajaran sejarah memiliki beberapa tahapan yang dimulai dari perencanaan pembelajaran, pelaksanaan, hingga evaluasi. Penerapan pendidikan
38
karakter terintegrasi dengan pembelajaran adalah dengan menyisipkan setiap nilai yang bisa
diterapkan
dalam
setiap
point
pembelajaran.
Sebagai
contoh,
pengimplementasian nilai tersebut bisa tertera dalam RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang harus dimiliki guru. Perencanaan pembelajaran berkarakter menentukan keberhasilan pendidikan karakter dalam pembelajaran, sebagai sebuah skenario RPP mengandung pemilihan pendekatan pembelajaran, model pembelajaran, metode, serta langkah-langkah pembelajaran berkarakter. Pelaksanaan pembelajaran berkarakter terekam dalam kegiatan belajar mengajar. Guru sebagai pendidik karakter berapan penting sebagai teladan dan sumber informasi bagi peserta didiknya. Penilaian pembelajaran sejarah berbasis pendidikan karakter mengedepankan penilaian autentik, yakni penilaian mendalam tentang ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik yang diperoleh melalui test, pengamatan, maupun penugasan.
39
Pembelajaran Sejarah
Pendidikan Karakter
Internalisasi NilaiNilai Karakter
Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendidikan Karakter
Perencanaan Pembelajaran
Pelaksanaan Pembelajaran
Hambatan Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendidikan Karakter
Gambar 4. Kerangka Berpikir Pelaknakaan Pembelajaran Sejarah terintegrasi dengan Pendidikan Karakter
Penilaian Pembelajaran
