BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Ciri Umum dan Jenis Penyu Pengenalan terhadap bagian-bagian tubuh penyu (Gambar 1) beserta
fungsinya sangat diperlukan agar dapat melakukan identifikasi terhadap jenis penyu dengan baik. Bagian luar tubuh penyu, diantaranya: 1. Karapas, yaitu bagian tubuh yang dilapisi zat tanduk, terdapat di bagian punggung dan berfungsi sebagai pelindung. 2. Plastron, yaitu penutup pada bagian dada dan perut. 3. Infra Marginal, yaitu keping penghubung antara bagian pinggir karapas dengan plastron. Bagian ini dapat digunakan sebagai alat identifikasi. 4. Tungkai depan, yaitu kaki berenang di dalam air yang berfungsi sebagai dayung. 5. Tungkai belakang, yaitu kaki bagian belakang (pore fliffer), berfungsi sebagai alat penggali
Gambar 1. Bagian-Bagian Tubuh Penyu(Sumber: Yayasan Alam Lestari 2000)
Menurut Carr (1972) dalam Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut (2009), penyu termasuk kedalam phylum Chordata yang memiliki dua famili, yaitu:
5
6
1.
Famili
: Cheloniidae, meliputi:
Species :
1. Chelonia mydas (penyu hijau) 2. Natator depressus (penyu pipih) 3.Lepidochelys olivacea (penyu lekang/penyu abu) 4.Lepidochelys kempi (penyu kempi) 5.Eretmochelys imbricate (penyu sisik) 6.Caretta caretta (penyu tempayan)
2.
Famili
: Dermochelydae, meliputi :
Spesies
: Dermochelys coriacea (penyu belimbing)
Indonesia merupakan jalur migrasi dan habitat 6 jenis penyu dari 7 jenis penyu yang ada di dunia. Pantai Pangumbahan merupakan tempat peneluran penyu hijau (Chelonia mydas) sedangkan Pantai Sindangkerta merupakan tempat peneluran penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea) namun tetap di dominasi oleh penyu hijau. Dalam membedakan kedua jenis penyu tersebut dapat dilihat dari ciri-ciri morfologinya. 2.1.1 Penyu Hijau (Chelonia mydas) Penyu hijau memiliki ciri-ciri karapas berbentuk oval dengan 5 buah neural, 4 buah coastal, 10 buah marginal dan bentuk karapasnya tidak meruncing di punggung serta memiliki kepala yang bundar. Memiliki sepasang kaki depan dan sepasang kaki belakang, kuku pada kaki depannya hanya satu, warna karapasnya coklat atau kehitam-hitaman. Ukuran panjang penyu hijau antara 80150 cm dengan berat dapat mencapai 132 kg (Safrizal 2009). Penyu hijau sangat jarang ditemui di perairan beriklim sedang, tetapi sangat banyak tersebar di wilayah tropis dekat dengan pesisir benua dan sekitar kepulauan. Penyu hijau dewasa merupakan herbivora dengan makanan utamanya adalah lamun dan alga, sedangkan tukik penyu hijau merupakan omnivora. Penyu hijau terdapat di kawasan pesisir Afrika, India dan Asia Tenggara serta sepanjang garis pantai Australia dan Kepulauan Pasifik Selatan (Safrizal 2009).
7
Gambar 2. Penyu Hijau (Chelonia mydas) (Sumber: Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut 2009) Klasifikasi penyu hijau (Chelonia mydas) menurut Linnaeus, 1758 (dalam Integrated Taxonomic Information System) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Subkingdom Filum Subfilum Kelas Sub Kelas Ordo Sub Ordo Family Genus Spesies
: Metazoa : Chordata : Vertebrata : Reptilia : Anapsida : Testudinata : Cryptodira : Cheloniidae : Chelonia : Chelonia mydas
2.1.2 Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) Penyu lekang memiliki karapas berbentuk kubah tinggi, terdiri dari 5 pasang coastal scutes dimana setiap sisinya terdiri dari 6-9 bagian, bagian pinggir karapasnya lembut. Penyu lekang ini serupa dengan penyu hijau namun kepalanya lebih besar dan bentuk karapasnya lebih langsing dan bersudut. Penyu lekang merupakan penyu karnivor, makannya berupa kepiting, kerang, udang dan kerang remis (Safrizal 2009).
8
Gambar 3. Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) (Sumber: Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut 2009) Klasifikasi penyu lekang (Lepidochelys olivacea) menurut Eschscholtz, 1829 (dalam Integrated Taxonomic Information System) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Subfilum Kelas Ordo Family Genus Spesies 2.2
: Animalia : Chordata : Vertebrata : Reptilia : Testudines : Cheloniidae : Lepidochelys : Lepidochelys olivacea
Habitat Penyu Habitat adalah suatu daerah yang ditempati makhluk hidup, memiliki
komponen biotik dan abiotik, berupa ruang, lahan, makanan, lingkungan dan makhluk hidup lainnya (Herdiawan 2003). Penyu hidup di dua habitat yang bebeda yaitu habitat darat sebagai tempat peneluran (nesting ground) yang memiliki beberapa karekteristik dan habitat laut sebagai habitat utama bagi keseluruhan hidupnya. Habitat darat merupakan tempat peneluran (nesting ground) bagi penyu betina. Dalam satu kali musim peneluran penyu akan bertelur tiga kali dengan rata-rata jumlah telur 110 telur (Spotila 2007). Penyu memiliki kecenderungan memilih tempat tertentu sebagai pantai penelurannya. Umumnya pantai penelurannya adalah daratan luas dan landai yang terletak di atas pantai dengan rata-rata kemiringan 30° serta diatas pasang surut antara 30 sampai 80 meter,
9
memiliki butiran pasir tertentu yang mudah digali dan secara naluriah dianggap aman untuk bertelur. Selain itu pantai yang didominasi oleh vegetasi pandan laut memberikan rasa aman tersendiri bagi penyu yang bertelur (Nuitja 1992). Idealnya dalam proses peneluran penyu ada beberapa faktor yang dapat mendukung aktivitas tersebut seperti suasana yang sunyi, tidak terdapat penyinaran dan tidak ada aktivitas pergerakan yang dapat mengganggu penyu menuju pantai (Dharmadi dan Wiadnyana 2008). Habitat laut merupakan tempat yang utama bagi kehidupan penyu. Perairan tempat hidup penyu adalah laut dalam terutama samudera di perairan tropis, sedangkan tempat kediaman penyu adalah daerah yang relatif agak dangkal, tidak lebih dari 200 meter dimana kehidupan lamun dan rumput laut masih terdapat (Spotila 2004). Daerah yang lebih disukai penyu adalah daerah yang mempunyai batu-batu sebagai tempat menempel berbagai jenis makanan penyu dan berbagai tempat berlindung. Chelonia mydas tergolong herbivora yang mencari makan pada daerah-daerah yang dangkal dimana alga laut seperti Zostera, Chymodocea, Thallasia dan Hallophila masih dapat tumbuh dengan baik (Rebel 1974). Penyu hijau adalah jenis penyu yang tahan terhadap kisaran suhu yang lebar (eurythermal), meskipun demikian penyu hijau ditemukan lebih aktif bergerak di laut sub tropis bersuhu 18°C - 22°C dan di laut tropis bersuhu 26°C30°C. Penyu hijau pernah ditemukan di Laut Izu (Jepang) pada musim dingin ketika suhu mencapai 13°C. Pada suhu seperti ini, gerakan penyu hijau menjadi lemah (Takeuchi 1983). 2.3
Periode Peneluran Penyu di Wilayah Indonesia Musim di Indonesia berada dalam pengaruh angin muson. Angin muson
timur bertiup mulai bulan Mei sampai September sepanjang tahun dan angin muson barat bertiup mulai bulan Desember sampai Maret. Pada bulan April - Mei dan Oktober - November arah angin sudah tidak menentu, periode ini dikenal sebagai Musim Peralihan I dan Musim Peralihan II atau pancaroba awal dan pancaroba akhir tahun.
10
Aktivitas peneluran penyu hijau sangat tergantung pada kondisi lingkungan setempat, seperti musim dan tersedianya makanan di laut (Segara 2008). Kondisi lingkungan dalam hal ini musim, berpengaruh pada saat induk betina akan bertelur. Pada periode musim barat, angin bertiup kencang, disertai ombak besar, bahkan badai. Angin kencang akan menerbangkan butir pasir dan kondisi pasir lebih sulit digali. Demikian pula bila saat musim penghujan berlangsung yang menyebabkan pasir pantai jenuh air. Kondisi-kondisi yang tidak biasa ini akan menunda penyu untuk bertelur (Nuitja 1992). 2.4
Karakteristik Biofisik Tempat Peneluran Penyu
2.4.1 Kemiringan Pantai Kemiringan pantai sangat berpengaruh pada jumlah penyu yang akan mendarat dan membuat sarang, karena kondisi pantai yang landai dan memiliki pasir yang halus dapat memudahkan penyu menuju daratan untuk mencari lokasi dan membuat lubang sebagai tempat peneluran. Habitat untuk bertelur penyu adalah daratan luas dan landai dengan rata-rata kemiringan 30°, karena semakin curam pantai akan semakin menyulitkan bagi penyu untuk melihat obyek yang lebih jauh di depan karena mata penyu hanya mampu melihat dengan baik pada sudut 150° ke bawah (Dharmadi dan Wiadnyana 2008). Selain itu penyu biasa meletakkan sarangnya berjarak 30 sampai 80 meter diatas pasang terjauh (Nuitja 1992). Menurut Dharmadi dan Wiadnyana (2008) penyu menyukai daerah dengan kemiringan 30º untuk bertelur. Kemiringan Pantai Pangumbahan dalam Segara (2008) pada Musim Timur dan Musim Barat masih berada pada kisaran normal, sesuai dengan kesesuaian tempat peneluran penyu pada umumnya. Kemiringan pantai sangat berpengaruh pada aksesbilitas penyu untuk mencapai daerah yang sesuai untuk bertelur. Semakin curam pantai maka akan semakin besar pula energi penyu yang diperlukan untuk naik dan bertelur.
11
2.4.2 Besar Butir Pasir Pasir merupakan tempat yang mutlak diperlukan untuk penyu bertelur. Semua jenis penyu, termasuk yang hidup di perairan Indonesia, akan memilih daerah tempat bertelur yang khas. Tekstur pasir berhubungan dengan tingkat kemudahan dalam menggali sarang. Pasir, liat dan debu merupakan hasil dari proses pecahan secara alami terhadap batu-batu karang. Penyu hijau pada umumnya memilih pantai yang landai untuk tempat penelurannya dengan susunan sedimen tidak kurang dari 90% berupa pasir dan sisanya adalah debu maupun liat, dengan diameter butiran pasir halus dan sedang (Nuitja 1992). Umumnya tempat pilihan bertelur merupakan pantai yang luas dan landai serta terletak di bagian atas pantai atau di atas garis pasang tertinggi. Menurut Bustard (1972), pantai berpasir tebal dan berhutan pandan lebat memberikan naluri pada penyu hijau untuk bertelur. Keberadaan vegetasi naungan akan melindungi sarang dari sinar matahari langsung sehingga mengurangi penguapan. Klasifikasi diameter butir pasir menurut Bustard 1997 (Tabel 1). Tabel 1. Klasifikasi Pasir Berdasarkan Diameter No Klasifikasi Diameter Pasir (mm) 1
Sangat halus
0,053-0,10
2
Halus
0,10-0.21
3
Sedang
0,21-0,50
4
Kasar
0,50-1,00
5
Sangat Kasar
1,00-2,00
2.4.3 Suhu Pasir Suhu pasir sangat berpengaruh terhadap proses peneluran dan penetasan penyu, suhu pasir yang terlalu tinggi (>35°C) akan menyulitkan penyu untuk membuat sarang, sedangkan apabila suhu terlalu rendah (<25°C) akan berpengaruh terhadap masa inkubasi dan tingkat keberhasilan penyu menetas (Dharmadi dan Wiadnyana 2008). Pertumbuhan embrio penyu sangat dipengaruhi oleh suhu. Embrio akan tumbuh optimal pada kisaran suhu 24-33°C dan akan mati
12
apabila diluar kisaran suhu tersebut (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut 2009). Semakin tinggi suhu pasir, maka telur akan cepat menetas. Penelitian terhadap telur penyu hijau yang ditempatkan pada suhu pasir yang berbeda menunjukan bahwa telur yang terdapat pada suhu pasir 32°C menetas dalam waktu 50 hari, sedangkan telur pada suhu pasir 24°C menetas dalam waktu lebih dari 80 hari (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut 2009). 2.4.4 Vegetasi Penyu hijau memiliki kecenderungan untuk memilih tempat bertelur daerah pantai yang berlatar belakang vegetasi pohon pandan (Pandanus tectorius) yang lebat, seperti terdapat di Pulau Berhala dan kepulauan Heron di Australia (Bustard 1972). Penyu hijau cenderung membuat sarang di bawah naungan pohon pandan laut, karena sistem perakaran pandan laut meningkatkan kelembaban pasir, memberikan kestabilan pada pasir dan memberi rasa aman pada penyu saat melakukan penggalian sarang. Tekstur pasir yang relatif halus, vegetasi pantai yang didominasi oleh jenis tanaman kangkung laut (Ipomea pescaprae) yang merambat, pandan laut (Pandanus tectorius), serta waru (Thespesia populnea) merupakan habitat yang disukai oleh penyu hijau (Chelonia mydas) sebagai lokasi peneluran (Nuitja 1992). Selain itu menurut Nuitja 1992 kehadiran hutan-hutan yang lebat memberikan pengaruh yang baik terhadap kestabilan populasi penyu yang bertelur. Jika pohon-pohon tumbuh dengan lebat, maka daun-daun yang jatuh lama-kelamaan mengalami proses dekomposisi menjadi partikel-partikel mineral dan langsung hanyut terbawa air ke laut. Proses tersebut berlangsung secara terusmenerus sehingga kesuburan perairan dapat tetap terjamin. Kesuburan perairan menjadi kebutuhan biota yang hidup di daerah tersebut, seperti tumbuhnya rumput laut dan tersediaanya invertebrata laut berupa zooplankton, dimana invertebrata laut merupakan makanan yang dibutuhkan oleh populasi penyu hijau yang masih juvenile (tukik).
13
2.4.5 Pasang Surut Pasang surut laut adalah gelombang yang dibangkitkan oleh adanya interaksi antara laut, matahari dan bulan. Puncak gelombang disebut pasang tinggi dan lembah gelombang disebut pasang rendah. Perbedaan vertikal antara pasang tinggi dan pasang rendah disebut rentang pasang surut (tidal range). Kisaran pasang surut adalah perbedaan tinggi air pada saat pasang maksimum dengan tinggi air pada saat surut minimum, rata-rata berkisar antara 1 m hingga 3 m (Nontji 1987). Periode pasang surut adalah waktu antara puncak atau lembah gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya. Nilai periode pasang surut bervariasi antara 12 jam 25 menit hingga 24 jam 50 menit (Musrifin 2011). Terdapat tiga tipe dasar pasang surut yang didasarkan pada periode dan keteraturannya, yaitu pasang surut harian (diurnal), tengah harian (semi diurnal) dan campuran (mixed tides). Dalam sebulan variasi harian dari rentang pasang surut berubah secara sistematis terhadap siklus bulan. Rentang pasang surut juga bergantung pada bentuk perairan dan konfigurasi lantai samudera (Musrifin 2011). Pengetahuan tentang pasang surut sangat diperlukan dalam transportasi laut, kegiatan di pelabuhan, pembangunan di daerah pesisir pantai, dan pengkajian kehidupan hewan dan tumbuhan. Pasang surut merniliki hubungan yang erat dengan aktivitas peneluran penyu hijau. Penyu hijau menghemat energi pada malam hari dengan cara memanfaatkan air pasang untuk mencapai area yang kering (supratidal) baru kemudian membuat sarang dan bertelur (Segara 2008). 2.4.6 Cuaca Cuaca adalah keadaan udara pada suatu daerah yang sempit dalam waktu yang relatif singkat. Unsur-unsur dari cuaca meliputi suhu udara, radiasi, tekanan udara, kelembapan udara, keadaan awan, dan curah hujan. Cuaca dan laut memiliki interaksi yang erat karena perubahan cuaca dapat mempengaruhi kondisi laut. Angin sangat menentukan terjadinya gelombang dan arus di perrnukaan laut, sedangkan curah hujan dapat menentukan salinitas air laut. Sebaliknya proses fisis
14
di laut seperti terjadinya air naik (upwelling) dapat mempengaruhi keadaan cuaca setempat (Nontji 1987). Tingkah laku bertelur penyu sangat berkaitan dengan faktor cuaca. Menurut Nuitja, di Pangumbahan penyu hijau akan muncul tidak dari hempasan ombak jika angin bertiup kencang, terutama pada bulan punama dan bulan mati. Pada musim barat angin bertiup kencang dan kadang kala disertai dengan badai yang sangat besar. Angin yang kencang menyebabkan ombak menjadi besar dan menerbangkan butiran-butiran pasir dan benda-benda ringan lainnya di sepanjang pantai. Dalam periode itu daerah peneluran akan lebih keras dan lebih sulit untuk digali akibat curah hujan yang tinggi. Kesulitan penggalian dan hujan yang jatuh terus-menerus memberikan pengalaman bagi penyu untuk menunda proses bertelurnya. Dapat disimpulkan bahwa unsur cuaca yang paling berpengaruh terhadap pendaratan penyu adalah curah hujan yang turun di sekitar pantai peneluran penyu (Nuitja 1992). 2.5
Kesesuaian Biofisik Pantai Peneluran Penyu Pantai peneluran penyu merupakan habitat yang sangat penting dalam
keberlangsungan hidup populasi penyu. Penyu mempunyai kecenderungan untuk memilih habitat bertelurnya. Pantai peneluran yang ideal bagi penyu mempunyai segi karakteristik tertentu sesuai dengan jenis penyu yang melakukan peneluran di pantai tersebut. Kesesuaian pantai peneluran penyu (Tabel 2) berdasarkan kesesuaian biofisik pantai peneluran penyu hijau (Chelonia mydas).
15
No
Tabel 2. Kesesuaian Biofisik Pantai Peneluran Penyu Kesesuaian Biofisik Sesuai Tidak Sesuai
1
Kemiringan Pantai
<30°
>30°
2
Lebar Pantai
3
Pasir
>30-80 m dari pasang terjauh ≥90% pasir
<30 m dari pasang terjauh <90% pasir
4
Besar Butir Pasir
0,10-0,5 mm (halus-sedang)
< 0,10 mm
5
Suhu substrat
28-35°C
>35°C atau <28°C
6
Vegetasi
7
Cuaca
didominasi oleh vegetasi: kangkung laut (Ipomea pescaprae)/ pandan laut (Pandanus tectorius)/ waru laut (Thespesia populnea) cerah-curah hujan rendah
Tidak terdapat vegetasi: kangkung laut (Ipomea pescaprae)/ pandan laut (Pandanus tectorius)/ waru laut (Thespesia populnea) curah hujan tinggi
8
Suasana pantai
suasana sunyi
suasana ramai
tidak terdapat penyinaran
pencahayaan yang berlebihan terdapat aktivitas yang menggangu penyu bertelur
tidak ada aktivitas pergerakan yang dapat mengganggu penyu bertelur
Sumber Dharmadi dan Wiadnyana 2008 Nuitja 1992 Nuitja 1992 Bustard 1972
>0,5 mm Dharmadi dan Wiadnyana 2008 Nuitja 1992
Nuitja 1992 Dharmadi dan Wiadnyana 2008