1
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aktivitas Fisik Aktivitas fisik adalah aktivitas yang terjadi sebagai akibat dari kontraksi otot dengan menggunakan energi secara proporsional, yang sangat erat kaitannya dengan kebugaran fisik. Aktivitas fisik menyangkut sistem lokomotorik untuk menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Aktivitas fisik tersebut dilakukan dengan tujuan dan aturan tertentu secara sistematis seperti adanya aturan waktu, target latihan, jumlah pengulangan, dan lain-lain. Ditambahkan juga aktivitas fisik yang dilakukan secara bertahap melalui suatu persiapan untuk mencapai penampilan puncaknya, disebut pelatihan (Bompa dan Haff, 2009). Pelatihan adalah aktivitas fisik yang dilakukan secara sistematik dan berulang-ulang dalam waktu lama dengan peningkatan pembebanan secara progresif dan individual, bertujuan untuk memperbaiki fungsi tubuh agar saat kompetisi mencapai kemampuan yang optimal (Ananto, 2000). Selanjutnya Nala (2011) menyatakan, pelatihan fisik merupakan gerakan fisik dan atau aktivitas mental secara sistimatik dan berulang-ulang (repetitif), dalam waktu (durasi) lama dengan pembebanan meningkat secara progresif dan individual yang bertujuan untuk memperbaiki fisiologis dan psikologis tubuh agar pada saat latihan dapat mencapai penampilan yang optimal. Sistematis merupakan cara pelatihan yang teratur dan terencana. Repetitif adalah gerakan yang dilakukan secara berulang-ulang lebih dari satu kali gerakan. Durasi merupakan lamanya aktivitas yang dilakukan dalam satu sesi, termasuk pemanasan, latihan inti, istirahat dan pendinginan. Progresif adalah penambahan atau peningkatan beban pelatihan secara bertahap, yang diawali dengan menggunakan beban ringan kemudian ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan atlet yang bersangktan dan. Individual adalah peningkatan pembebanan yang disesuaikan dengan kemampuan atlet yang dilatih, di mana pemberian beban tidak dapat disamakan antara atlet satu dengan yang lainnya walaupun berada pada cabang olahraga yang sama.
2
Kementrian Pelajaran Malaysia (2010) mengatakan, pelatihan fisik mempunyai lima prinsip yaitu: prinsip pembebanan berlebih, prinsip individual, prinsip spesialisasi/kekhususan, prinsip berkesinambungan, dan prinsip variasi. Nala (2011) berpendapat, pelatihan mempunyai beberapa prinsip di antaranya adalah: prinsip aktif dan bersungguh-sungguh, prinsip pengembangan multilateral, prinsip spesialisasi, prinsip individualisasi, prinsip variasi atau keserbaragaman, prinsip penggunaan model dalam pelatihan, dan prinsip peningkatan beban secara progresif. Aktivitas fisik sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia sehari hari, di mana manusia sebagai makluk sosial perlu aktivitas. Tujuan dari aktivitas fisik dipisahkan menjadi tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang yang pada intinya adalah untuk menurunkan berat badan dan glukose darah (Barnes, 2012). Aktivitas fisik mengakibatkan terjadinya perubahan pada fungsi tubuh, baik secara sementara maupun secara menetap (Kuntaraf dan Kuntaraf, 2009). Aktivitas fisik secara teratur dalam waktu kurang lebih 30 menit dapat menurunkan tekanan darah dan denyut nadi istirahat (Divine, 2012). Peningkatan jumlah aktivitas fisik bermanfaat terhadap penurunan risiko penyakit jantung (Durstine, 2012). Aktivitas fisik juga meningkatkan konsumsi oksigen yang akan mencapai keadaan maksimal yang dikenal dengan konsumsi oksigen maksimal (VO2-Max). Keadaan ini dibatasi oleh sistem respirasi, kardiak output, dan kemampuan otot untuk berkontraksi (Bompa dan Haff, 2009). Latihan fisik yang dilakukan secara teratur dan terprogram secara akut dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung, frekuensi pernapasan, tekanan darah, dan suhu tubuh. Di samping itu secara kronis juga dapat meningkatkan massa otot dan massa tulang, pertahanan antioksidan dan penurunan frekuensi denyut nadi istirahat (Kuntaraf dan Kuntaraf, 2009). Akibat dari aktivitas fisik yang diberikan, seseorang akan mengalami peningkatan kemampuan fungsionalnya. Peningkatan ini dapat berupa berbagai keadaan yang menyangkut 10 komponen biomotorik (Kementrian Pelajaran Malaysia,
3
2010), yaitu: daya tahan, kekuatan, daya ledak, kecepatan, kelentukan, kelincahan, ketepatan, waktu reaksi, keseimbangan, dan koordinasi. 1. Daya tahan (endurance) menyangkut daya tahan umum dan daya tahan otot. Daya tahan umum atau daya tahan respirasi-kardiovaskular adalah kemampuan tubuh untuk melakukan aktivitas dalam waktu lama yaitu lebih dari 10 menit tanpa kelelahan yang berarti. Daya tahan otot adalah kemampuan otot skeletal untuk melakukan kontraksi berulang-ulang dalam waktu yang lama. 2. Kekuatan (strength) adalah kemampuan otot skeletal untuk melakukan gerakan kontraksi atau tegangan maksimal dalam menerima pembebanan waktu melakukan aktivitas fisik. 3. Daya ledak (explosive strength) adalah kemampuan untuk melakukan gerakan atau aktivitas secara cepat dengan menggunakan seluruh kekuatan otot dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. 4. Kecepatan (speed) kemampuan tubuh untuk melakukan gerakan berulang-ulang yang sama dan berkesinambungan dalam waktu sesingkat-singkatnya. 5. Kelentukan (flexibility) adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh untuk melakukan penjuluran ke daerah tertentu atau menempuh beberapa sendi seluasluasnya. 6. Kelincahan (agility) adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh untuk mengubah arah gerakan secara mendadak atau tiba-tiba dalam kecepatan yang setinggi-tingginya. 7. Ketepatan (accuracy) adalah kemampuan tubuh untuk melakukan atau mengemdalikan gerakan menuju ke suatu sasaran tertentu. 8. Waktu reaksi (Reaction time) adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh untuk melakukan reaksi secepat-cepatnya ketika adanya rangsangan, baik mengenai rangsangan somatik, kinestetik, maupun rangsangan vestibular.
4
9. Keseimbangan (balance) adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan sikap dan posisinya dari berbagai keadaan sehingga tubuh tetap dalam keadaan stabil dan terkendali. 10. Koordinasi (coordination) adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh untuk mengkoordinasikan berbagai gerakan yang berlainan menjadikan suatu gerakan yang tunggal, harmonis, dan efektif. 2.2 Lingkungan Olahraga Lingkungan olahraga merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam berolahraga. Lingkungan olahraga menyangkut: suhu lingkungan, kelembaban relatif, ketinggian tempat dari permukaan laut, dan lain-lain (Birch dkk., 2005; Powers dan Howley, 2009). Menurut Giriwijoyo (2007), pengaruh lingkungan terdiri dari suhu lingkungan, kelembaban relatif, radiasi, dan kecepatan angin. Lingkungan dalam olahraga terdiri dari lingkungan fisik, biologis, kimia, dan lingkungan sosial. Untuk dapat beraktivitas secara optimal, aspek lingkungan harus diperhatikan dan diperkenalkan kepada atlet sehingga terbiasa bekerja dalam lingkungan tersebut (Adiputra, 2010). Dalam suatu aktivitas fisik, keadaan lingkungan ini dapat dioptimalkan dengan aklimatisasi terhadap lingkungan baru yang bertujuan untuk melatih dan membiasakan tubuh terhadap lingkungan tersebut (Giriwijoyo, 2007). Suhu adalah suatu keadaan panas dinginnya sesuatu yang dinyatakan dengan thermometer (Muda, 2008). Suhu merupakan bentuk energi yang bisa berpindah dari suhu yang lebih tinggi ke suhu yang lebih redah (Gabriel, 2013). Suhu lingkungan adalah tingkat panasnya udara di suatu tempat yang dinyatakan dalam derajat celcius (oC) (Kanginan, 2000). Latihan pada lingkungan panas perlu memperhatikan berbagai hal, di antaranya adalah faktor lingkungan, pengaruh tekanan panas, dan aklimatisasi pada lingkungan olahraga.
5
2.2.1 Faktor Lingkungan yang Harus Diperhatikan Ada dua hal yang harus diperhatikan terhadap faktor lingkungan yang menyangkut karakteristik lingkungan dan karakteristik indipidu. a). Karakteristik lingkungan Kondisi lingkungan yang panas dan kering seperti di padang pasir ditandai oleh suhu udara yang tinggi dengan kelembaban relatif udara yang rendah dan radiasi matahari yang tinggi. Dalam keadaan ini, pembuangan panas melalui radiasi, konduksi dan konveksi menjadi sulit, tetapi udara yang kering memudahkan penguapan keringat (Kanginan, 2000). Kondisi panas dan lembab atau kondisi tropis, suhu lingkungan tinggi dan kelembaban udara tinggi, pembuangan panas melalui evaporasi keringat menjadi kurang efektif dan keringat menetes dari kulit tanpa menguap (FPOK, 2010b). Skala yang dipakai untuk menilai tingkat kenyamanan lingkungan adalah index wet bulb-globe-temperature (WBGT). Indeks WBGT ini merupakan gabungan dari dampak radiasi matahari dan bumi, suhu lingkungan, kelembaban relatif udara, dan kecepatan angin. Index WBGT (di luar ruangan) = 0.7 X suhu bola basah + 0.2 X suhu bola hitam + 0.1 X suhu bola kering. Indeks yang sederhana ini penting untuk menilai jumlah dan tingkat latihan yang dapat dilakukan dalam kondisi panas untuk keselamatan atlet. Pada saat, dianjurkan untuk berhati-hati bila index WBGT mencapai 25 oC, dan olahraga dianggap tidak aman bila index WBGT mencapai 28 oC bagi yang tidak terlatih atau belum beraklimatisasi. Untuk kegiatan dengan tingkat aktivitas yang tinggi seperti lari jarak jauh diharapkan tidak dilakukan bila index WBGT > 28 oC (Giriwijoyo, 2007). Faktor lain yang mempengaruhi kehilangan panas tubuh adalah kecepatan hembusan angin dan faktor air (Kusnanik dkk, 2011). Kecepatan hembusan angin yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan pembekuan jaringan. Cuaca dingin saja tidak terlalu membebani sistem pengaturan panas tubuh, akan tetapi lebih tinggi pembebanannya apabila cuaca dingin ditambah dengan kecepatan angin yang tinggi. Air mempunyai daya antar panas 26 kali lebih tinggi dari udara, yang berarti bahwa
6
kehilangan panas tubuh di air 26 kali lebih cepat dibandingkan dengan di udara. Akan tetapi transfer panas tubuh pada temperatur yang sama di dalam air empat kali lebih cepat dibandingkan dengan di udara. b). Karakteristik individu Karakteristik individu menyangkut bentuk tubuh, komposisi tubuh, umur, dan jenis kelamin. Bentuk tubuh yang umum dipergunakan dalam penelitian mengenai toleransi panas adalah rasio luas permukaan tubuh terhadap massa tubuh (LPT/MT). Anak usia pubertas mempunyai rasio sampai 50% lebih besar daripada laki-laki dewasa, sedangkan wanita, nilai itu dapat mencapai 10% lebih besar. Mereka yang mempunyai bentuk tubuh ramping (ectomorph) mempunayi rasio lebih tinggi dari pada yang berotot (mesomorph) apalagi dengan yang gemuk (endomorph). Bila berolahraga dengan beban yang sama, orang yang lebih besar akan membentuk panas lebih tinggi dari pada yang lebih ramping per satuan luas permukaan tubuhnya. Oleh karena itu pada kondisi yang panas dan lembab, orang yang lebih besar akan menimbun panas sedangkan yang lebih kecil dapat dengan mudah mempertahankan keseimbangan panas. Pada panas lingkungan yang ekstrim, orang dengan rasio LPT/MT yang lebih tinggi akan membentuk panas yang lebih sedikit daripada yang mempunyai rasio LPT/MT yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena produksi panas yang rendah dan pembuangan panas yang lebih baik pada semua cara (FPOK, 2010b). Komposisi tubuh. Respon ini dikaitkan pada sejumlah faktor yaitu: rasio LPT/MT orang kurus lebih tinggi, panas jenis jaringan lemak jauh lebih rendah dari pada jaringan tanpa lemak. Dengan demikian muatan panas per satuan massa tubuh lebih meningkatkan suhu tubuh pada orang gemuk dari pada orang kurus. Kemampuan yang diberikan terhadap panas pada orang gemuk akan lebih besar (Gabriel, 2012). Umur. Apabila berolahraga di tempat panas, orang yang lebih tua menunjukkan suhu rektal yang lebih tinggi dari pada orang muda; perbedaan ini menjadi lebih besar pada stress iklim yang lebih tinggi dan meningkatnya durasi pemaparan. FPOK (2010a) melaporkan, bahwa laki-laki umur 20 - 30 tahun dapat menguapkan keringat lebih
7
banyak per derajat peningkatan suhu rektal dan mempunyai suhu kulit yang lebih rendah daripada orang tua umur 45 - 70 tahun. Hal ini disebabkan karena pengeluaran keringat pada orang muda terjadi lebih awal sehingga aliran darah ke kulit berkurang. Jenis kelamin. Wanita kurang toleran untuk berolahraga pada tempat panas oleh karena tingkat pengeluaran keringatnya yang lebih rendah. Akan tetapi wanita mempunyai keuntungan karena cairan tubuh lebih dihemat (Cameron dkk., 2012). 2.2.2 Pengaruh Paparan Panas Tekanan panas yang mengenai tubuh dapat mengakibatkan permasalahan kesehatan hingga kematian. Kematian para atlet yang disebabkan karena latihan atau pertandingan ditempat panas dan lembab disebabkan karena sistem mekanisme pengaturan suhu tubuh tidak mampu dalam melindungi tubuh terhadap perubahan cuaca, sehingga diperlukanlah adaptasi dalam waktu yang pendek dan adaptasi dalam waktu yang lebih lama, beberapa bulan, beberapa tahun atau disebut dengan aklimatisasi (Kusnanik dkk., 2011). Ada beberapa kelainan patologi tubuh yang diakibatkan oleh suhu dan kelembaban relatif yang tinggi di antaranya adalah (Arief, 2012) 1. Heat syncope (pingsan panas) adalah ganggunan induksi panas yang serius. Ciri dari gangguan ini adalah pening dan pingsan akibat berolahraga dalam lingkungan panas dan lembab dalam waktu yang lama. Kejadian ini timbul dengan adanya vasodilatasi sistemik berlebihan. Penanggulangannya adalah pendinginan dan diberikan minum air dingin dengan suhu antara 5-10 oC. Pendinginan ini akan menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah dan akhirnya akan menjadi normal. 2. Heat cramp (kejang panas). Gejala kelinan ini adalah rasa nyeri dan kejang pada kaki, tangan, dan perut dan ditandai dengan pengeluaran keringat yang banyak. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan cairan dan garam selama melakukan olahraga yang berat di lingkungan yang panas dan lembab. Olahraga
8
dalam waktu lama, mengeluarkan banyak garam yang keluar bersamaan dengan keringat yang hanya diganti dengan air putih. 3. Heat exhaustion (kelelahan panas) merupakan reaksi tubuh terhadap terpaan panas dalam waktu yang lama (dapat berjam-jam atau berhari-hari) yang diakibatkan oleh berkurangnya cairan tubuh atau volume darah. Kondisi ini terjadi jika jumlah keringat yang dikeluarkan melebihi air yang diminum selama terkena panas. Gejalanya adalah keringat sangat banyak, kulit pucat, lemah, pening, mual, pernapasan pendek dan cepat, pusing dan pingsan. Suhu tubuh berkisar antara 37 - 40 oC. 4. Heat stroke (kegawatan panas) adalah penyakit gangguan panas yang mengancam nyawa yang berkaitan dengan olahraga pada lingkungan yang panas dan lembab. Kelainan ini dapat menyebabkan koma dan kematian. Gejalanya adalah detak jantung cepat, suhu tubuh sekitar 40 oC atau lebih, kulit kering dan tampak kebiruan atau kemerahan, Tidak ada keringat di tubuh korban, pening, menggigil, mual, pusing, kebingungan dan pingsan. Kelainan yang diakibatkan oleh stres panas ini disebabkan karena naik turunnya suhu inti tubuh. Bila berubah naik turun 2 oC dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh. Pada saat olahraga temperatur tubuh dapat mencapai 40 oC yang menyebabkan meningkatkan metabolisme pada otot. Akan tetapi suhu inti tubuh yang tinggi, akan mempengaruhi sistem saraf oleh hipotalamus yang menghambat pelepasan panas tubuh (Ganong, 2012; Guyton dan Hall, 2012). 2.2.3 Aklimatisasi pada Lingkungan Olahraga Aklimatisasi adalah adaptasi fisiologis terhadap sifat-sifat alamiah lingkungan yaitu penyesuaian fungsi tubuh terhadap lingkungan yang baru yang berbeda dengan kawasan hunian sebelumnya. Toleransi terhadap paparan panas dan lembab meningkat dengan aklimatisasi sehingga diperlukan cukup waktu apabila seseorang melakukan olahraga di tempat panas dan lembab, setelah bermukim di tempat dingin. Proses ini meningkatkan respons sirkulasi dan pengeluaran keringat yang memfasilitasi
9
pembuangan panas dan menurunkan suhu tubuh. Perbaikan kapasitas berkeringat dan kemampuan berkeringat disertai dengan distribusi keringat yang lebih merata pada permukaan tubuh. Mekanisme ini meningkatkan perbedaan suhu antara inti tubuh dengan bagian perifernya. Dengan demikian pembuangan panas meningkat dengan aliran darah lebih sedikit ke kulit (Silverthorn, 2004). .
Suhu dan kelembaban relatif yang lebih tinggi mempercepat perubahan fungsi
tubuh ke arah yang merugikan, sehingga orang yang belum teraklimatisasi dengan lingkungan baru, dapat mempercepat bahaya. Oleh karena itu, aklimatisasi terhadap lingkungan khususnya panas dan lembab perlu diperhatikan agar keadaan patologis dapat dihindari (Giriwijoyo, 2007).
Pengaturan suhu tubuh
penting untuk
mempertahankan homeostasis yaitu pemeliharaan kondisi cairan tubuh agar tubuh berfungsi dengan baik dalam aspek fisik maipun psikis (Guyton dan Hall, 2012). Bersamaan dengan itu aliran darah yang lebih lancar dalam otot selama berolahraga memungkinkan penyediaan energi secara aerobik. Dengan demikian orang yang telah beraklimatisasi, selama olahraga yang intensif menurunkan pembentukan panas dan durasipun dapat ditingkatkan. Pendinginan melalui evaporasi terhambat oleh pakaian yang digunakan. Meningkatnya kelembaban antara kulit dan pakaian, akan meningkatkan suhu kulit disertai peningkatan pengeluaran keringat. Peningkatan suhu kulit pada bagian tubuh yang ditutupi pakaian akan terjadi, diikuti kenaikan suhu rektal, pengeluaran keringat meningkat, dan denyut nadi meningkat. Penurunan suhu rektal akan dipercepat bila menggunakan pakaian kaos dari bahan jaring ikat (FPOK, 2010b). Penggantian cairan yang hilang perlu dilakukan apabila volume cairan tubuh berkurang secara signifikan oleh karena dehidrasi atau bila aliran darah ke otot harus dibagi ke kulit seperti pada olahraga di tempat panas dan lembab, maka kerja fisik daya tahan, dan pengaturan suhu menjadi terganggu. Menurunnya penampilan terlihat setelah dehidrasi mencapai 2% dari berat badan. Pada tingkat dehidrasi yang lebih tinggi, akan terjadi penurunan penampilan daya tahan secara dramatis. Penggantian
10
cairan cukup 40-50% dari cairan yang hilang sudah cukup untuk mengurangi resiko overheating dan gangguan penampilan daya tahan. Hal ini disebabkan karena tubuh membentuk air selama olahraga (McArdle dkk., 2010). Keringat mengandung berbagai elektrolit seperti Na dan Cl tetapi dalam kadar yang sangat rendah yaitu sepertiga dari kadarnya di dalam plasma darah. Pada orang yang terlatih, kadar garam keringat lebih rendah dan kadarnya meningkat pada olahraga berat bila keringatnya lebih banyak. Oleh karena tubuh kehilangan lebih banyak air dibandingkan elektrolit selama latihan, maka cairan tubuh menjadi lebih pekat dan mengganti air sangat diharapkan (FPOK, 2010b). 2.3 Kelembaban Udara 2.3.1 Pengertian Kelembaban Udara Kelembaban udara adalah suatu besaran yang menunjukkan kandungan uap air di dalam udara, yang merupakan bagian dari komponen iklim. Kelembaban udara ini mempunyai pengaruh terhadap cuaca lingkungan. Ketika udara mengandung banyak uap air, maka dikatakan udara tersebut mempunyai kelembaban yang tinggi (Kanginan, 2000). Kelembaban udara adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara yang dinyatakan dalam gram per meter kubik atau dapat juga dinyatakan dalam persen. Kelembaban udara secara bersamaan dengan suhu udara, kecepatan angin, dan radiasi panas mempengaruhi tubuh dalam menerima panas dari lingkungan atau membuang panas ke lingkungan (Uhud dkk., 2008). Kelembaban udara ada dua macam yaitu kelembaban mutlak dan kelembaban relatif. Kelembaban mutlak (absolute humidity) adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam satu meter kubik (m3) udara. Kelembaban ini dinyatakan dalam gram per meter kubik (g/m3). Kelembaban relatif (relative humidity) adalah bilangan persen yang menunjukkan perbandingan antara massa uap air yang berada dalam udara dan massa uap air yang terkandung dalam udara jenuh pada tekanan dan suhu yang sama (Bradshow, 2006). Kelembaban relatif udara biasa disebut dengan kelembaban udara (Kanginan, 2000).
11
RH = m/mj X 100%. di mana: RH
= kelembaban relatif
m
= massa uap air udara
mj
= massa uap air udara jenuh.
Kelembaban relatif meningkat apabila kandungan uap air atmosfer meningkat ditambah dengan meningkatnya permukaan air terbuka, seperti: laut, sungai, danau, dan permukaan air lainnya. Kelembaban udara juga berubah berbanding terbalik dengan perubahan suhu udara, yaitu ketika udara didinginkan maka kandungan uap air akan meningkat dan bila udara dipanaskan maka kandungan uap air akan menurun. Pendinginan udara lebih lanjut sampai lebih kecil dari 5 oC, menyebabkan terjadinya kelebihan uap air dalam udara dan akhirnya akan mengembun. pengembunan menyebabkan uap air dalam udara berkurang. Hal ini sering terjadi di daerah kutub dengan suhu udara di bawah 0oC tetapi mempunyai kelembaban relatif udara yang sangat rendah (Kanginan, 2000). 2.3.2 Alat Ukur Kelembaban Udara Untuk mengukur kelembaban relatif udara umumnya digunakan psikrometer yang disebut dengan sling psychrometer (Suma’mur, 2014). Alat ini terdiri dari dua buah termometer yaitu termometer bola basah dan termometer bola kering yang dikemas dalam satu alat. Termometer kering mengukur suhu udara lingkungan dan termometer basah mengukur suhu pada kapas yang dibasahi dengan air. Kepala termometer basah ini dikipasi dengan cara memutar tombol kipas. Pengipasan ini bertujuan untuk mempercepat penguapan (Umar, 2010). Kecepatan angin yang dipakai dalam termometer basah ini berkisar antara 2 m/dt sampai dengan 5 m/dt (meter per detik) (Japanes Industrial Standard dalam Tristomo, 2007). Kelembaban relatif udara dapat ditentukan dengan menggunakan tabel, yaitu dengan mencari pertemuan antara suhu bola basah dengan selisih antara suhu bola kering dengan suhu bola basah. Alat ukur kelembaban yang lain adalah higrometer. Higrometer terdiri dari higrometer
12
analog dan hidrometer digital. Higrometer analog digunakan untuk mengukur kelembaban relatif udara dengan menggunakan pembacaan jarum penunjuk sedangkan higrometer digital menggunakan penunjuk angka (Sigar, 2010). 2.3.3 Pengaturan Kelembaban Udara Di daerah tropis seperti Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa yaitu antara 6o lintang utara dan 11o lintang selatan dengan suhu udara yang tinggi dan kelembaban yang tinggi (Rosa dkk., 2010). Kondisi udara seperti ini sangat tidak cocok untuk olahraga atau latihan fisik dalam ruangan tertutup. Hal ini akan diperberat oleh jumlah penonton yang memenuhi kapasitas ruangan, sehingga peningkatan temperatur dan kelembaban udara akan terjadi (Giriwijoyo, 2007). Peningkatan kelembaban relatif udara dapat menimbulkan masalah terhadap lingkungan sekitar, baik pada manusia, organisme maupun peralatan yang ada di dalamnya. Terhadap manusia kelembaban relatif udara yang tinggi dapat menyebabkan tekanan fisiologis berupa ketidaknyamanan dan dapat mengganggu kesehatan, sedangkan terhadap lingkungan menyebabkan percepatan pertumbuhan organisme seperti jamur dan spora serta dapat mempercepat mengkaratnya logam (Muchamad, 2006; Gabriel, 2013). Kelembaban relatif udara yang tinggi dapat menyebabkan meningkatnya pengeluaran keringat sehingga akan meningkatkan penurunan cairan tubuh yang berefek terhadap peningkatan beban kardiovaskular (Fajrin dkk., 2014). Selanjutnya Megasari dan Juniani (2010) menyatakan, kelembaban relatif yang tinggi merupakan beban bagi tubuh ditambah dengan meningkatnya beban kerja fisik. Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap penurunan tingkat kesehatan dan stamina. Oleh karena itu kelembaban udara dalam ruangan yang dipakai untuk latihan fisik perlu diatur pada kondisi nyaman. Menurut Menkes (2011), kelembaban relatif yang nyaman untuk beraktifitas di dalam ruangan adalah berkisar antara 40 - 60%. Untuk mendapatkan kelembaban udara di dalam ruangan sebesar itu maka perlu dilakukan pengkondisian udara buatan yaitu dengan menggunakan air conditioning (AC). Menurut Rosa dkk. (2010), orang yang berada dalam ruangan dibutuhkan suhu
13
udara dan kelembaban relatif udara yang benar sehingga merasa nyaman dan sehat. Oleh karena itu, perlu pengkondisian udara sesuai standar yang telah ditetapkan. AC berperan untuk mengatur suhu, kelembaban relatif udara, dan kecepatan angin sesuai dengan yang diinginkan. Di samping itu AC juga menjadikan udara bersih dari debu, melindungi peralatan, serta memberikan kenyamanan sehingga meningkatkan produktivitas kerja dalam ruangan (Eddy, 2004). Untuk menurunkan kelembaban relatif udara, dapat dilakukan dengan cara menggunakan dehumidifier. Dehumidifier adalah proses yang dilakukan dengan melewatkan udara pada alat desiccant yang berfungsi sebagai penyerap uap air dengan menggunakan silica gel sehingga uap air yang berada dapam udara akan menerun (Brundrett dalam Mucchammad, 2006). Pengkondisian udara pada AC dilakukan dengan evaporator yang berada pada bagian alat dalam ruangan (in-door). Apabila AC diaktifkan, maka kompresor bekerja dan mengalirkan zat pendingin (refrigerant) ke evaporator. Evaporator didinginkan oleh refrigerant dengan bantuan blower. Udara yang melewati evaporator, uap airnya akan diembunkan pada sirip evaporator dan disalurkan keluar lewat pipa. Pengembunan udara ini menyebabkan uap air udara dalam ruangan menjadi berkurang atau kelembabannya menurun (Anonim, 2008). 2.3.4 Pengaruh Kelembaban Relatif Udara Kelembaban relatif udara sangat penting diperhatikan mengingat kelembaban ini sangat berpengaruh terhadap proses industri, kelangsungan hidup organisme, dan kesehatan. Dalam industri pengawetan dan pemrosesan makanan atau minuman seperti roti dan jenis kue membutuhkan kelembaban relatif antara 40 - 80%, penyimpanan alatalat listrik membutuhkan kelembaban relatif antara 15 - 70%, sedangkan industri farmasi membutuhkan kelembaban relatif antara 15 - 50% (Carrier Air Conditioning Company dalam Muchammad, 2006). Olahraga dalam ruangan tertutup seperti olahraga bulutangkis, bola voli, tenis meja, dan lain-lain kelembaban relatif udara sangat tinggi perannya. Hal ini terlihat dari
14
indeks WBGT yang ditentukan oleh suhu lingkungan, kelembaban relatif, radiasi, dan kecepatan hembusan angin. Indeks WBGT dapat dituliskan dengan persamaan (Muchammad, 2006): WBGT oC = 0,7 WB + 0,2 G + 0,1 DB (di luar ruangan) WBGT oC = 0,7 WB + 0,3 G (di dalam ruangan) di mana: WB
= suhu bola basah
G
= suhu bola hitam
DB
= suhu bola kering
Suhu lingkungan ditunjukkan oleh suhu thermometer bola kering, daya pancaran matahari dan lingkungan ditunjukkan oleh thermometer bola hitam, sedangkan kelembaban relatif udara ditunjukkan oleh thermometer bola kering dan kecepatan angin (Megasari dan Juniani, 2010). Dari uraian tersebut, maka peran dari kelembaban relatif udara terhadap indeks WBGT sangatlah penting. Hal ini dinyatakan oleh (President Council on Physical Fitness and Sport (2007), bahwa kelembaban relatif udara adalah faktor terpenting yang mempengaruhi kejadian heat stress. Hal ini disebabkan karena apabila kelembaban relatif udara tinggi ditambah dengan tidak adanya aliran udara maka evaporasi keringat sangat rendah, yang menyebabkan suhu kulit meningkat. Tingginya suhu kulit menyebabkan konduksi panas dari inti tubuh ke permukaan kulit menjadi tidak lancer. Gagalnya konduksi panas dari inti tubuh ke kulit dapat menyebabkan heat stress. Selanjutnya Takarosha (2005) menyatakan, bahwa untuk menciptakan kenyamanan dalam beraktivitas di dalam ruangan tertutup perlu diperhatikan suhu udara, kelembaban relatif udara, dan kecepatan angin, serta faktor individual yang menyangkut aklimatisasi, pakaian, jenis kelamin, usia, tingkat kesehatan, tingkat kegemukan, warna kulit, serta minuman yang dikonsumsi. Indeks WBGT sesuai dengan American Collage of Sport Medicin (ACSM) terbagi menjadi empat kategori dengan masing-masing disertai dengan tanda dan status
15
serta kejadian yang dapat atau akan dialami oleh peserta yang beraktivitas baik di dalam ruangan maupun dalam area terbuka (Fox, 1983). Kategori indeks WBGT ditampilkan seperti Tabel 2.1.
No:
Tanda/Status
Tabel 2.1 Kategori Indeks WBGT Indeks WBGT
1
Merah / Risiko tinggi
23 – 28 oC
2
Jingga / Risiko sedang
18 – 23 oC
3
Hijau / Risiko rendah
10 – 18 oC
4
Putih / Risiko Rendah
Di bawah 10 oC
Keterangan
Peserta harus waspada akan kemungkinan kegawatan panas. Orang yang peka terhadap suhu dan kelembaban tinggi sebaiknya tidak diikutkan. Perlu diingat bahwa indeks WBGT meningkat sesuai perjalanan waktu. Masih tidak dapat menjamin tidak terjadi kegawatan panas Kemungkinan hyperthermia kecil tetapi dapat terjadi hypothermia.
Sumber: Fox (1983) Kecepatan angin dalam ruangan juga berperan untuk menyatakan kenyamanan termal dalam ruangan. Semakin tinggi kelembaban dan suhu udara maka dibutuhkan kecepatan angin yang semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Macfarlane dalam Huda dan Pandiangan (2012), merumuskan sebuah persamaan untuk menentukan kecepatan angin yang dibutuhkan dengan memperhatikan kelembaban relatif dan suhu lingkungan: CV = 0,15 (DBT – 27,2 ((RH - 60)/10) X 0,56) m/dt di mana: CV
= kecepatan hembusan angin yang dibutuhkan (m/dt)
DB
= suhu bola kering (oC)
RH
= kelembaban relatif (%)
16
Kerlembaban Relatif udara berpengaruh langsung terhadap tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik. Hal ini dapat diterima karena pada kelembaban relatif udara yang tinggi terjadi peneluaran cairan tubuh saat latihan lebih tinggi dibandingkan dengan kelembaban relatif yang rendah. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatan kebutuhan darah ke kulit untuk mengeluarkan keringat (Fajrin dkk., 2014). Hasil penelitian yang menunjukkan terjadinya peningkatan tekanan darah saat aktivitas fisik pada kelembaban relatif yang melebihi nilai ambang batas (NAB) adalah penelitian Sugiyarto (2011), terhadap 42 pekerja yang diberikan tekanan panas dan sebelum tekanan panas. Peningkatan juga terjadi terhadap prekuensi denyut nadi latihan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purnomo dan Rizal (2000), terhadap 30 mahasiswa yang berumur di atas umur 20 tahun yang diberikan latihan fisik pada suhu ruangan 22oC dan 27oC. Didapatkan semakin meningkat kelembaban relatif udara maka grekuensi denyut nadi semakin meningkat, sebaliknya semakin menurun kelembaban relatif maka frekuensi denyut nadi semakin menurun. Pernyataan lain yang mendukung adalah Budiman dalam Jamaludin dkk. (2012), bahwa meningkatnya tekanan panas akan meningkatkan frekuensi denyut nadi. Peningkatan frekuensi denyut nadi ini disebabkan karena menurunnya cairan tubuh. Wikipedia (2014) menyatakan bahwa bila cairan tubuh menurun sebanyak 2 - 6% akan meningkatkan kerja jantung, ditandai dengan meningkatnya frekuensi denyut nadi. Peningkatan suhu tubuh terjadi saat atau setelah melakukan aktivitas fisik. Peningkatan suhu tubuh lebih tinggi terjadi apabila kelembaban relatif udara meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guyton dan Hall (2012), bahwa suhu tubuh akan meningkat mencapai 40 oC pada suhu dan kelembaban relatif udara yang tinggi dan menurun mencapai 35,3 oC bila suhu dan kelembaban udara rendah. Selanjutnya Wilmore dkk. (2008) menyatakan, bahwa meningkatnya kelembaban relatif udara sangat berperan dalam peningkatan suhu tubuh dan menurunnya kelembaban relatif udara akan mempercepat penurunan suhu tubuh saat latihan.
17
Kelembaban relatif udara yang tinggi akan meningkatkan paparan panas, sebaliknya pada kelembaban relatif yang rendah suhu kulit akan menurun. Penurunan suhu kulit menyebabkan konduksi panas dari inti tubuh meningkat dan tubuh menjadi lebih dingin (Cameron dkk., 2012). Pendapat ini didukung oleh McArdle (2010), bahwa konduksi panas dari inti tubuh ke kulit akan meningkat pada kelembaban yang rendah. Hal ini disebabkan karena terjadinya penguapan keringat pada kulit yang menyebabkan permukaan kulit menjadi dingin. Selanjutnya Janssen (1993) menyatakan, olahraga dalam kelembaban udara tinggi akan meningkatkan pengeluaran keringat yang berdampat terhadap peningkatan suhu tubuh. Di samping terjadi peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut nadi, dan suhu tubuh, latihan berkepanjangan pada kelembaban relatif tinggi juga meningkatkan kadar asam laktat darah. Hal ini didukung oleh Sugiharto dan Sumartiningsih (2012), bahwa meningkatnya frekuensi denyut nadi akan diikuti dengan peningkatan kadar asam laktat darah. Peningkatan kadar asam laktat darah sangat berkaitan dengan peningkatan viskositas darah setelah terjadinya pengeluaran keringat berlebih. Peningkatan viskositas darah ini menyebabkan pasokan O2 ke bagisan tubuh yang aktif berkurang, yang menyebabkan pasokan energi aerobik menurun dan pasokan energi anaerobik meningkat. Peningkatan pasokan energi anaerobik akan meningkatkan asam laktat darah (Purnomo, 2011). Selanjutnya Brun dkk (1995) melalui penelitiannya, setelah latihan sepak bola dengan intensitas maksimum viskositas darah akan menurun. Didapatkan terjadi hubungan antara viskositas darah dengan kadar asam laktat darah dengan hubungan berbanding terbalik. 2.4 Cairan Tubuh 2.4.1 Pengertian Cairan Tubuh Cairan tubuh (tissue fluid) adalah cairan suspensi dari tubuh yang berfungsi mengangkut nutrisi baik karbohidrat, vitamin, dan mineral serta O2 ke sel-sel tubuh yang membutuhkannya. Cairan tubuh juga sebagai pengangkut produk samping
18
metabolisme, dan beberapa fungsi lainnya. Semua sel mengambil nutrisi dan O2 dan mengeluarkan hasil metabolism juga melalui cairan ini (Irianto, 2010). Manusia mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap lingkungan sekitarnya dari berbagai perubahan iklim, baik dari suhu panas ke dingin dan sebaliknya dari suhu dingin ke suhu panas. Jadi manusia memiliki sistem regulasi yang baik untuk mengantisipasi setiap perubahan karakteristik lingkungan. Adaptasi ini dilakukan oleh mekanisme homeostatis yang mengatur suhu tubuh, keseimbangan cairan, elektrolit, dan berbagai zat yang terdapat dalam cairan tubuh (Hasin, 2009). Dalam aktivitas fisik, tubuh selalu menghasilkan panas. Panas yang dihasilkan harus segera dikeluarkan dari dalam tubuh melalui cairan tubuh, akibatnya cairan tubuh dan elektrolit berkurang. Kehilangan cairan tubuh dan elektrolit pada saat berolahraga menyebabkan dehirasi yang dapat mengganggu penampilan fisik (Wilmore dkk., 2008). Kehilangan cairan tubuh berlebihan berakibat fatal terhadap kinerja fungsi tubuh, tentunya harus segera dikembalikan ke tingkat sebelumnya. Keadaan ini disebut dengan rehidrasi. Kehilangan cairan tubuh ini dapat mempengaruhi penampilan fisik, memperberat kerja jantung, dan dapat menyebabkan kematian (WHO, 2011). Pada saat berolahraga diharapkan minum air secukupnya dengan jumlah disesuaikan dengan cairan tubuh yang hilang. Cepatnya cairan tubuh hilang tergantung dari intensitas latihan. Intensitas latihan yang lebih tinggi meningkatkan pengeluaran keringat. Begitu juga sebaliknya, intensitas latihan yang rentah pengeluaran keringat akan menurun. Tidak cukup hanya air putih yang diminum apabila berolahraga dalam waktu yang lama, akan tetapi perlu minuman olahraga dengan tambahan glukose dan garam (UNICEF, 2012). 2.4.2 Fungsi Cairan Tubuh Dalam metabolisme yang terjadi di dalam tubuh manusia, air mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai pembawa zat-zat nutrisi seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral serta berfungsi sebagai pembawa oksigen (O2) ke dalam sel-sel tubuh. Selain itu, air di dalam tubuh juga berfungsi untuk mengeluarkan produk
19
samping hasil metabolisme seperti karbon dioksida (CO2 ) dan senyawa nitrat (Syaifuddin, 2012). Selain berperan dalam metabolisme, air juga memiliki fungsi penting antara lain sebagai pelembab jaringan-jaringan tubuh seperti mata, mulut dan hidung, pelumas dalam cairan sendi tubuh, katalisator reaksi biologik sel, pelindung organ dan jaringan tubuh serta membantu dalam menjaga tekanan darah dan konsentrasi zat terlarut konstan. Selain itu agar fungsi-fungsi tubuh dapat berjalan dengan normal, air di dalam tubuh juga berfungsi sebagai pengatur panas tubuh (Guyton dan Hall, 2012). Air memiliki fungsi vital di dalam tubuh. Menurut Almatsier (2013), air berperan dalam melarutkan zat-zat gizi serta mengangkut zat gizi tersebut ke seluruh bagian tubuh. Air berperan dalam mengangkut sisa metabolisme untuk dikeluarkan dari tubuh melalui paru, kulit, dan ginjal. Air adalah media utama reaksi intrasel. Juga dinyatakan air merupakan katalisator dalam berbagai reaksi biologi dalam sel, termasuk dalam saluran pencernaan. Air merupakan pelarut terbaik pada solut polar dan ionik. Air merupakan media transpor pada sistem sirkulasi, ruang intravaskular, intersistium, dan intraselular (Darwis dkk., 2007). Air berperan dalam memecah atau menghidrolisis zat gizi kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana dan sebagai pelumas cairan sendi. Sebagai bagian dari jaringan tubuh, air bahkan diperlukan sebagai zat pembangun. Sebagian panas yang dihasilkan dari metabolisme energi diperlukan untuk mempertahankan suhu tubuh sehingga kinerja enzim didukung secara optimal. Kelebihan panas dari metabolisme energi perlu segera disalurkan ke luar (Almatsier, 2013). Cairan intraselular berperan untuk menghasilkan, menyimpan, menggunakan energi, serta dalam proses perbaikan sel. Cairan intraselular juga berperan dalam proses replikasi serta sebagai cadangan air untuk mempertahankan volume dan osmolalitas cairan ekstraselular. Cairan ekstraselular berperan sebagai pengantar semua keperluan sel, seperti zat gizi dan oksigen. Cairan ekstraselular juga berperan sebagai pengangkut karbon dioksida, sisa metabolisme, serta bahan-bahan toksik (Darwis dkk., 2007).
20
Organ-organ tubuh tertentu terlindung dari berbagai gesekan atau benturan akibat dari air yang terkandung di dalam jaringan tubuh seperti mata, jaringan saraf, dan tulang belakang. Air berperan dalam memelihara kelembaban membran mukosa. Air mempengaruhi osmolaritas jaringan dengan mempertahankan volume dan hematokrit darah, volume cairan serta fungsi ginjal. Pada proses pencernaan makanan, air memiliki peran penting, mulai dari pencernaan sampai absorbsi sari-sari makanan. Air juga berperan dalam produksi berbagai zat untuk disekresikan di sepanjang saluran cerna, dan pembuangan sisa makanan (Irianto, 2010). Tubuh manusia terdiri dari sebagian besar air, sehingga asupan cairan sangat dibutuhkan agar penampilan atlet optimal. Dalam hal ini air berfungsi sebagai (Ronald, 2009; Arif, 2012): 1). Menjaga volume darah dan fungsi kardiovaskular, 2). Pengaturan suhu tubuh melalui berbagai cara yaitu radiasi, konduksi, konveksi, epavorasi, dan pernapasan, 3). Sebagai media pengangkut O2, CO2, dan nutrien. Juga dinyatakan bahwa keseimbangan konsentrasi cairan dalam sel dibutuhkan untuk mengoptimalkan kinerja inpuls saraf menuju tujuan akhirnya yaitu otot. Cairan intraselular dan ekstraselular dipertahankan konsentrasinya. Tujuannya adalah untuk transmisi inpuls saraf dan kontraksi otot yang dibutuhkan pada saat olahraga. Produksi energi diperlukan akibat dari kontraksi otot yang sebagian besar diubah menjadi panas. Hal yang tidak kalah pentingnya dalam olahraga disampaikan oleh Irawan (2007a) adalah mempertahankan suhu tubuh oleh karena energi yang dibentuk oleh kontraksi otot yaitu sebanyak 75% diubah menjadi panas dan sisanya 25% diubah menjadi gerak. Panas tubuh yang ditimbulkan pada olahraga harus segera dikeluarkan agar tidak membahayakan tubuh melalui suatu proses pendinginan tubuh. Cara pendinginan yang dilakukan tubuh adalah dengan berkeringat (Gabriel, 2012). Kegagalan tubuh membuang panas tergantung dari aktivitasnya. Pada saat istirahat kematian akan terjadi dalam waktu kurang dari enam jam dan pada saat olahraga kematian dapat terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit (Giriwijoyo, 2007).
21
2.4.3 Distribusi dan Kandungan Cairan Tubuh Cairan tubuh terdiri dari dua bagian utama yaitu cairan intraselular dan cairan ekstrasellular. Cairan intraselular adalah cairan yang terdapat di dalam sel sedangkan cairan ekstraselular adalah cairan yang terdapat di luar sel. Kedua kompartemen ini dipisahkan oleh sel membran yang memiliki permeabilitas tertentu. Hampir 67% dari total air tubuh manusia terdapat di dalam cairan intrasellular dan 33% sisanya berada pada cairan ekstraselular. Air yang berada di dalam cairan ekstraselular ini kemudian terdistribusi kembali kedalam dua sub-bagian yaitu pada cairan interstisial dan cairan intravaskular (plasma darah). Tujuh puluh lima persen dari air pada cairan ekstraselular ini terdapat pada sela-sela sel (cairan interstisial) dan 25%-nya berada pada plasma darah atau cairan intravascular. Pendistribusian air ini sangat bergantung pada jumlah elektrolit dan makromolekul yang terdapat di dalam kedua bagian tersebut. Karena membran sel memiliki permeabilitas yang berbeda untuk tiap zat, maka konsentrasi larutan (osmolality) pada kedua bagian juga berbeda (Irianto, 2010). Cairan tubuh pria dewasa terdiri dari 18% protein dan zat terkait, 15% adalah lemak, 7% mineral dan sebagian besar 60% adalah air. Dari
komponen cairan
intraselular tubuh, terdapat sebanyak 40% dari berat badan dan komponen ekstraselular sekitar 20% berat badan. Komponen ekstraselular ini terdiri dari plasma darah yang menempati sekittar 5% dari berat badan dan cairan intertisial sebanyak 15% dari berat badan (Syaifuddin, 2012). Air adalah komponen utama pembentuk tubuh manusia dengan berbagai unsur yang dibutuhkan untuk kesehatan dan kelangsungan hidup sel. Sekitar 60% dari total berat badan orang dewasa terdiri dari air, namun bergantung dari kandungan lemak dan otot dalam tubuh. Nilai persentase ini dapat bervariasi antara 50-70% dari total berat badan orang dewasa. Oleh karena itu, tubuh yang terlatih seperti tubuh olahragawan mengandung lebih banyak air (Pearce, 2012). Di samping air, cairan tubuh juga mengandung berbagai zat di antaranya adalah elektrolit (Darwis dkk., 2007). Elektrolit yang terdapat pada cairan tubuh berada dalam
22
bentuk ion bebas yang dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu kation dan anion. Kation adalah elektrolit yang mempunyai muatan positif (+) sedangkan anion adalah elektrolit yang mempunyai muatan negatif (-). Kation yang terdapat dalam tubuh adalah natrium (Na+) dan kalium (K+) dan anion adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3). Elektrolit yang terdapat dalam jumlah besar di dalam tubuh antara lain adalah natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca2), magnesium (Mg+), klorida (Cl-), bikarbonat (HCO3), fosfat (HPO42-) dan sulfat (SO42-). Dalam berolahraga sejumlah cairan dikeluarkan tubuh lewat kulit sebagai keringat. Air keringat mengandung beberapa elektrolit dengan kandungan utama atau terbesar yaitu natrium, kalium dan klorida. Semakin berat aktivitas fisik, laju pengeluaran keringat semakin meningkat, sehingga kehilangan natrium, kalium dan klorida dari dalam tubuh juga meningkat (Irawan, 2007a). 2.4.4 Pengaturan Cairan Tubuh Keseimbangan air di dalam tubuh dipengaruhi oleh sistem regulasi yaitu regulasi osmotik dan regulasi volume. Regulasi osmotik aktivitasnya karena tinggi rendahnya osmolalitas plasma. Sensor dari regulasi osmotik ini berada pada hipotalamus supra optic neuron (SON), nucleus paraventrikular, organum vaskulasum laminae terminal (OVLT), dan pusat rasa haus di hipotalamus. Regulasi volume beraktivitas karena volume tekanan arteri dengan sensor berada di sel otot atrium dan ventrikel, sinus karotis, dan arteri aferen glomeralus (Siregar, 2011). Keseimbangan air tubuh dikontrol dengan pengaturan masukan dan ekskresi cairan. Secara normal, masukan air dipengaruhi oleh rasa haus, yang merupakan pertahanan utama terhadap kekurangan cairan. Rasa haus merupakan keinginan untuk minum air yang diatur oleh suatu pusat di midhipotalamus. Keseimbangan cairan tubuh diatur oleh mekanisme homeostatis cairan tubuh. Defisiensi air meningkatkan konsentrasi ionik pada kompartemen ekstraseluler yang meyebabkan sel mengkerut. Pengerutan sel dideteksi oleh dua sensor otak, yang satu mengontrol minum dan yang
23
lain mengontrol ekskresi urin. Kehilangan cairan terjadi melalui paru, kulit, traktus gastrointestinal, dan ginjal (Darwis dkk., 2007). 2.4.5 Sumber Asupan Cairan Tubuh Manusia memenuhi kebutuhan air dari luar tubuh melalui minuman dan makanan. Minuman memiliki kontribusi tertinggi dalam pemenuhan kebutuhan air. Persentase konsumsi cairan yang berasal dari makanan dan metabolik pada pria dewasa sebesar 28,1%, dan pada wanita dewasa sebesar 26,2%, sedangkan pada pria dewasa 71,9%, dan wanita dewasa 73,8% (Primana, 2000). Sel tubuh yang mempunyai konsentrasi air paling tinggi adalah sel otot dan rongga badan, seperti paru dan jantung, sedangkan sel yang mempunyai konsentrasi air paling rendah adalah jaringan tulang dan gigi. Konsumsi cairan yang ideal untuk memenuhi kebutuhan harian tubuh adalah satu ml air untuk setiap satu kkal konsumsi energi tubuh atau dapat juga diketahui berdasarkan estimasi total jumlah air yang keluar dari dalam tubuh. Rata-rata tubuh orang dewasa kehilangan 2,5 liter cairan per hari. Sekitar 1.5 liter cairan tubuh keluar melalui urin, 500 ml melalui keluarnya keringat, 400 ml keluar dalam bentuk uap air melalui proses pernafasan (respirasi) dan 100 ml keluar bersama dengan tinja (feces). Sehingga disarankan untuk mengkonsumsi antara 8-10 gelas atau 8-10 X 240 ml) yang dijadikan sebagai pedoman dalam pemenuhan kebutuhan cairan perhari (Wilmore dkk., 2008). Jumlah asupan air dari makanan sebanyak 700-1000 mL per hari, yang tergantung pada pola makan (Giriwijoyo, 2007). Makanan pokok orang Indonesia menyumbangkan 46% asupan air, sedangkan buah dan sayur menyumbangkan 30% asupan air. Makanan pokok orang Indonesia pada umumnya adalah nasi yang mengandung kadar air 25-35%, sementara buah meskipun kadar airnya tinggi, dikonsumsi dalam jumlah yang relatif sedikit (UNICEF, 2014). Sumber asupan cairan tubuh didistribusikan seperti Tabel 2.2. Kebutuhan air dipengaruhi oleh usia, berat badan, asupan energi, dan luas permukaan tubuh. Begitu juga dengan suhu lingkungan turut mempengaruhi kebutuhan
24
air. Kebutuhan cairan di daerah dengan suhu 40 0C lebih tinggi daripada di daerah dengan suhu 20 oC (Darwis dkk., 2007). Tabel 2.2 Sumber Asupan Cairan Tubuh Sumber
Jumlah (mL/hari)
Air minum Air dalam makanan Air dari hasil metabolism tubuh Jumlah
1.500 – 2.000 700 200 2.400 – 2.900
Sumber: Syaifuddin (2012). Kebutuhan air meningkat seiring bertambahnya usia, kebutuhan cairan bagi bayi sebanyak 0,6 liter akan meningkat pada anak-anak menjadi kira-kira 1,7 liter. Selain faktor usia, kebutuhan cairan juga dipengaruhi oleh aktivitas. Kebutuhan cairan pria dewasa pada kondisi normal sebanyak 2,9 liter per hari menjadi 4,5 liter per hari pada pekerja kasar yang bekerja di suhu tinggi (Kushartono, 2006). Orang dewasa pada aktivitas ringan membutuhkan air sekitar 2,5 liter per hari dan meningkat menjadi 3,2 liter per hari pada aktivitas sedang, sedangkan orang dewasa yang lebih aktif dan tinggal di daerah dengan suhu hangat membutuhkan air sekitar enam liter perhari. Kebutuhan air sebanyak 2,5 liter per hari pada pria usia 1929 tahun, 2,4 liter pada pria usia 30-49 tahun, dan 2,3 liter pada pria usia 50-64 tahun. Asupan air harian berdasarkan rekomendasi The National Research Council (NRC) sebesar satu mL/Kal energi yang dikeluarkan (Giriwijoyo, 2007). 2.4.6 Pengeluaran Cairan Tubuh Cairan yang dikonsumsi diserap usus, masuk ke pembuluh darah, beredar ke seluruh tubuh. Selanjutnya masuk ke dalam sel secara difusi. Dari darah difiltrasi di ginjal dan sebagian kecil dibuang sebagai urin, ke saluran cerna dikeluarkan sebagai liur yang umumnya diserap kembali, ke kulit dan saluran napas keluar sebagai keringat dan uap air. Bila suhu tubuh meningkat, secara refleks terjadi sekresi keringat. Komposisi air keringat mirip dengan cairan ekstraseluler tetapi kadar garamnya lebih rendah atau hipotonis (Darwis dkk., 2007).
25
Tabel 2.3 Pengeluaran cairan tubuh Keluar Melalui
jumlah (mL/hari)
Eksresi ginjal (urine) Pernapasan Melalui kulit - Keringat - Difusi Feses Jumlah
1.400 -1.900 350 100 350 200 2.400 – 2.900
Sumber: Syaifuddin (2012). Dalam keadaan homeostatis, jumlah cairan tubuh dipertahankan konstan di mana air tubuh yang keluar sama dengan yang masuk. Cairan tubuh yang keluar menurut Syaifuddin (2012), didistribusikan seperti Tabel 2.3. Perbedaan air yang masuk dan keluar tergantung dari berbagai hal di antaranya adalah: suhu udara dan kelembaban. Suhu tinggi meningkatkan pengeluaran keringat sedangkan suhu rendah menurunkan pengeluaran keringat. Kelembaban yang tinggi meningkatkan pengeluaran keringat sedangkan kelembaban yang rendah menurunkan pengeluaran keringat (Giriwijoyo, 2007). Tabel 2.4 Pengeluaran Cairan Tubuh pada Perubahan Suhu dan Aktivitas Kehilangan cairan melalui: Insensibel kulit Saluran napas Urin Keringat Feses Jumlah
Jumlah Pengeluaran Cairan Tubuh (mL) Pada suhu normal Pada suhu panas Saat bekerja berat 350 350 350 350 250 650 1400 1200 500 100 1400 5000 100 100 100 2300 3300 6600
Sumber: Darwis dkk. (2007). Kebutuhan air sangat dipengaruhi aktivitas fisik, suhu lingkungan serta suhu tubuh. Bila udara panas, keringat lebih banyak dihasilkan. Saat berolahraga atau kerja berat, di mana suhu tubuh meningkat, dihasilkan pula keringat yang lebih banyak.
26
Selain dipengaruhi oleh suhu udara, kebutuhan air dapat pula dipengaruhi oleh aktivitas, diet, dan kesehatan (Darwis dkk., 2007). 2.4.7 Ketidak Seimbangan Cairan Tubuh (Dehidrasi) Keseimbangan air di dalam tubuh adalah keadaan di mana volume air yang masuk ke dalam tubuh terhadap volume air yang keluar dari dalam tubuh besarnya sama (Siregar, 2011). Ketidakseimbangan cairan mengindikasikan hubungan yang tidak seimbang antara asupan cairan dan kehilangan cairan. Dehidrasi merupakan adanya keseimbangan negatif pada cairan tubuh atau menurunnya kandungan air tubuh hingga mencapai 2-6% (Wikipedia, 2014). Juga dinyatakan bahwa dehidrasi disebabkan karena meningkatnya cairan tubuh yang hilang melalui ginjal dan pencernaan, berkurangnya asupan air, atau gabungan ke duanya. Dehidrasi adalah keadaan di mana tubuh terlalu banyak kehilangan cairan baik disadari maupun tidak disadari. Penyebab dari dehidrasi adalah: berkeringat terlalu banyak, muntah hebat, dan diare. Apabila dehidrasi berlangsung lebih lama, maka perpindahan cairan intraseluler ke ekstraseluler terjadi dan membutuhkan pemulihan yang lama. Kehilangan cairan ekstraseluler sebanyak 60% dan cairan intraseluler 30% menyebabkan kematian (Syaifuddin, 2012). Rasa haus adalah sinyal untuk mengkonsumsi cairan. Rasa haus dirasakan karena menurunnya volume cairan tubuh, yang merupakan pertanda telah terjadi dehidrasi. Rasa haus tersebut harus segera direspon dengan meminum air dalam jumlah yang cukup. Jika tidak, keadaannya akan kian memburuk. Bertambahnya usia seseorang akan melemahkan respon terhadap rasa haus ini, akibatnya terjadi rasa lemah, lemas, letih, hilang kesadaran, bahkan kematian (Irawan, 2007b). Dehidrasi dapat menimbulkan gejala sesuai dengan tingkatannya. Dehidrasi ringan menimbulkan gejala haus, lelah, kulit kering, serta mulut dan tenggorokan kering. Dehidrasi sedang mengakibatkan denyut jantung cepat, pusing, tekanan darah rendah, lemas, urin pekat dan berkurang. Dehidrasi berat mengakibatkan kejang, lidah membengkak, dan kegagalan fungsi ginjal (Wikipedia, 2014).
27
2.4.8 Rehidrasi Penggantian cairan tubuh yang keluar dari tubuh disebut dengan rehidrasi. Kebutuhan tubuh terhadap air tergantung dari banyaknya air yang dikeluarkan tubuh. Normalnya dalam keadaan istirahat dengan tidak berkeringat, orang dewasa membutuhkan air antara 1500 sampai 2000 ml perhari yang didapat dari hasil oksidasi zat gizi, dari makanan, dan juga dari minuman (Ronald, 2009). Apabila volume cairan tubuh berkurang karena dehidrasi, aliran darah harus dibagi ke kulit sehingga daya tahan dan pengaturan suhu tubuh menjadi terganggu. Penurunan penampilan fisik sudah terlihat ketika cairan tubuh menurun sebesar 2% dari berat badan. Keadaan ini akan terus diperberat dengan peningkatan dehidrasi, yang diikuti dengan peningkatan denyut nadi dan suhu rektal (FPOK, 2010a). Selama berolahraga tubuh kehilangan cairan dan elektrolit seperti Na dan Cl. Untuk orang terlatih kadar garam dalam keringat lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak terlatih. Jadi orang yang terlatih kehilangan air lebih banyak dibandingkan dengan elektrolit sehingga cairan tubuh menjadi lebih pekat dan kebutuhan air akan meningkat selama latihan. Penggantian air yang hilang ini tergantung dari beratnya aktivitas fisik, dan kondisi lingkungan. Mengkonsumsi cairan elektrolit seperti pemberian air kelapa sebagai minuman olahraga alami selama latihan dapat membantu status hidrasi, menunda kelelahan, dan menjaga penampilan (Abidin, 2012; Alfiyana, 2012; Wikipedia, 2014). Hasil penelitian Bahri dkk., (2012), air kelapa dapat menangani rehidrasi setelah berolahraga. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah volume cairan, suhu cairan, dan kandungan dalam cairan. Volume cairan yang lebih banyak yaitu sebanyak 600 ml atau tiga gelas akan meninggalkan lambung lebih cepat dibandingkan dengan jumlah yang lebih sedikit. Akan tetapi jumlah yang lebih banyak akan menyebabkan rasa mual dan mengganggu pernapasan. Jumlah yang diharapkan untuk diminum adalah sebanyak satu gelas atau 150-200 ml setiap 15-20 menit, yang tergantung dari kondisi lingkungan. Pada kondisi lingkungan yang lebih dingin, penggantian cairan dapat
28
dilakukan sebanyak 150-200 ml setiap 25-30 menit. Suhu cairan yang lebih dingin sangat diharapkan dalam berolahraga yaitu berkisar antara 5-10 oC akan lebih cepat meninggalkan lambung dibandingkan pada suhu yang lebih tinggi. Kandungan cairan (osmolalitas) seperti glukose dan elektrolit juga berpengaruh terhadap kecepatan pengosongan lambung. Minuman dengan kandungan yang lebih pekat akan lebih lambat meninggalkan lambung dan yang lebih encer akan lebih cepat meninggalkan lambung. Pemberian glukose yang lebih rendah akan memberikan cadangan energi yg rendah sehingga harus minum dalam jumlah yang lebih besar. Minum dalam jumlah yg lebih besar akan mengganggu penampilan (FPOK, 2010b). Penambahan garam dalam air pada saat berolahraga juga penting dilakukan apabila berolahraga dalam waktu yang lama. Kadar elektrolit dan magnesium yang hilang saat berolahraga sangat sedikit dengan kadarnya di dalam keringat berkisar antara 0,5 - 0,6%. Defisiensi elektrolit selama olahraga 2-3 jam tidak terjadi apabila kandungannya di awal olahraga normal. Akan tetapi olahraga dalam waktu lebih lama dan berturut-turut dapat mengurangi kadar elektrolit tubuh sehingga diperlukan suplemen garam untuk memelihara kadar elektrolit cairan tubuh (UNICEP, 2014). Penurunan berat badan dengan pengeluaran keringat berlebih tidak dapat menghilangkan lemak tubuh, walaupun untuk sementara berat badan berkurang. Hal ini diakibatkan karena terjadi penurunan cairan tubuh yang justru menurunkan penampilan dan berakibat patal terhadap keselamatan. Olahragawan bela diri yang menurunkan berat badannya dengan pengeluaran keringat berlebihan akan membahayakan kesehatan karena menyebabkan dehidrasi kronik (UNICEF, 2012). Apabila berat badan menurun, atlet harus menambahkan sedikitnya 80% kembali berat badannya yang hilang selama latihan (FPOK, 2010b). Ada beberapa cara yang dilakukan untuk minum atau mengkonsumsi cairan ke dalam tubuh, di antaranya adalah dengan (Ronald, 2009):
29
1. Mengkonsumsi cairan sebanyak 500 mL air 10-15 menit sebelum latihan dan dapat dilakukan kapan saja sebelum latihan. Untuk olahraga dalam waktu singkat sebaiknya minum tidak kurang dari 30 menit. 2. Mengkonsumsi cairan selama olahraga dilakukan setiap 10-15 menit sebanyak 120-150 mL atau kurang dari satu gelas air yang bukan dilakukan hanya setelah merasakan haus. Pada saat olahraga sensasi haus tidak sepenuhnya dirasakan akan tetapi belum semua cairan digantikan. 3. Konsumsi cairan setelah berolahraga sangat penting dilakukan, apalagi akan menjalani pertandingan berikutnya. Maka mengkonsumsi minuman olahraga dibutuhkan untuk mempertahankan natrium dan osmolaritas plasma yang dapat menurunkan produksi urin dan menghambat rehidrasi. 4. Konsumsi cairan dengan metode konvensional dapat dilakukan saat atlet merasakan haus dan minum dihentikan ketika tidak merasakan haus lagi. 5. Konsumsi cairan dengan metode USATF (United State of Amecican Track and Field) dipakai untuk penggantian cairan tubuh yang optimal. Penggantian cairan tubuh dilakukan dengan menimbang berat badan setelah minum dan setelah buang air kecil. Penggantian cairan dilakukan dengan menimbang berat badan setelah latihan dan dilakukan minum sebanyak penurunan berat badan. 2.5 Sistem Kardiovaskular dalam Olahraga Jantung dan pembuluh darah berfungsi memasok kebutuhan darah ke seluruh tubuh. Jantung memompa darah dan pembuluh darah sebagai saluran keseluruh bagian tubuh (Irianto, 2010). Dengan meningkatnya aktivitas fisik, kebutuhan pasokan oksigen ke bagian tubuh yang aktif akan meningkat. Peningkatan ini hendaknya didukung oleh kemampuan jantung dan pembuluh (Ganong, 2012). Kemampuan jantung dan pembuluh darah yang lebih baik dapat ditentukan dengan beberapa hal di antaranya adalah tekanan darah dan frekuensi denyut nadi berada pada batas normal (Powers dan Howley, 2009; Sharkey, 2012).
30
2.5.1 Anatomi Sistem Kardiovaskular 2.5.1.1 Jantung. Jantung merupakan organ kardiovaskular berotot dengan berat sekitar 300 gram yang terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut, berongga dengan puncaknya miring ke sebelah kiri (Pearce, 2012). Jantung terdiri atas dua pompa terpisah yaitu jantung kanan dan jantung kiri. Jantung kanan berfungsi memompa darah ke paru dan jantung kiri memompa darah ke organ perifer atau sistemik (Kusnanik dkk., 2011). Kedua pompa ini terdiri atas bagian atas (atrium) dan bagian bawah (ventrikel). Atrium kanan menuangkan darah ke ventrikel kanan dan dengan tenaga tertentu mendorong darah ke paru untuk dioksigenisasi. Atrium kiri menuangkan darah ke ventrikel kiri dan ventrikel kiri memompa darah ke sistemik dan termasuk ke otot jantung (Ganong, 2012; Syaifuddin, 2012). 2.5.1.2 Pembuluh darah Pembuluh darah merupakan organ dari sistem kardiovaskular yang menyalurkan darah dari jantung ke seluruh tubuh dan ke paru. Pembuluh darah yang menyalurkan darah dari jaringan ke jantung disebut dengan vena dan yang menyalurkan darah dari jantung ke jaringan disebut dengan arteri (Sherwood, 2012). Pembuluh darah merupakan prasarana untuk kelangsungan aliran darah ke seluruh tubuh (Syaifuddin, 2012). Pembuluh darah ini terdiri dari arteri, arteriole, kapiler, venule, dan vena (Kusnanik dkk., 2011; Pearce, 2012). 2.5.1.3 Darah Darah adalah cairan tubuh yang berfungsi mengirimkan sari makanan dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh, mengangkut bahan hasil metabolisme, dan sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri (Ganong, 2012: Syaifuddin, 2012). Cairan tubuh berfungsi mengatur fungsi normal tubuh yaitu transfortasi oksigen, bahan makanan, maupun sisa metabolisme serta mendistribusikan berbagai jenis hormon dan antibodi (Kusnanik dkk., 2011).
31
Darah manusia sebanyak sekitar seperduabelas dari berat badan atau sekitar lima liter. Komposisi darah terdiri dari beberapa jenis sel darah yang membentuk 45% bagian dari darah dan 55% sisanya berupa cairan kekuningan yang membentuk medium cairan darah yang disebut plasma darah (Pearce, 2012). Sel darah terdiri dari eritrosit (sel darah merah), lekosit (sel darah putih), dan trombosit atau butir pembeku (Ganong, 2012). Eritrosit mengisi sekitar 99% yang mengandung hemoglobin dan berfungsi mengedarkan O2. Trombosit mengisi sekitar 0,6-1,0% dari sel darah yang berperan dalam proses pembekuan darah. Lekosit mengisi sekitar 0,2% dari sel darah, yang berperan dalam sistem imun untuk memusnahkan virus dan bakteri yang membahayakan tubuh (Syaifuddin, 2012). Plasma darah adalah larutan air yang mengandung: 91% air, 8% protein, dan 9% mineral. Protein terdiri atas albumin, protrombin, globulin, dan fibrinogen sedangkan mineral terdiri dari natrium klorida, natrium bikarbonat, garam kalsium, fosfor, magnesium, besi, dan lain-lain. Di samping itu plasma darah juga mengandung bahan organik seperti glukose, lemak, asam urat, asam amino, urea, kolesterol, dan kreatinin (Pearce, 2012). 2.5.2 Kontrol Terhadap Sistem Kardiovaskular 2.5.2.1 Kontrol sistem saraf terhadap kardiovaskular Sistem saraf otonom yang terdiri dari saraf simpatik dan saraf parasimpatik mensarafi organ dalam tubuh, yang berperan sebagai homeostasis dengan ujung saraf sensoriknya berada pada dinding pembuluh darah (Irianto, 2010). Serat saraf simpatis meninggalkan spinalis melalui saraf thorakis dan lumbalis, kemudian memasuki kedua sisi kolumna vertebralis. Inervasi arteri kecil dan arteriola merangsang saraf simpatis pembuluh darah arteri untuk meningkatkan hambatannya, sehingga aliran darah ke jaringan menurun. Inervasi pembuluh darah vena, merangsang saraf simpatis untuk menurunkan volume aliran, sehingga darah terdorong ke dalam jantung untuk proses pengaturan pompa jantung. Saraf simpatis pada jantung berperan dalam peningkatan denyut jantung, kekuatan dan volumenya (Ganong, 2012). Saraf
32
parasimpatis berperan dalam pengaturan fungsi otonom dalam tubuh
seperti pada
regulasi sirkulasi yaitu mengontrol detak jantung melalui nervus vagus dalam penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas otot jantung (Masud, 2012). Bagian yang berperan dalam pengaturan impuls simpatis dan parasimpatis adalah pusat vasomotor yang terletak di batang otak. Impuls parasimpatis melalui nervus vagus dikirimkan ke jantung dan mengirimkan impuls simpatis melaui serat spinalis dan saraf simpatis perifer dan selanjutnya menuju ke arteri, arteriola, dan vena (Barret dkk., 2012). Pusat vasomotor mengontrol aktivitas jantung dengan mengirim impuls melalui saraf simpatis ke jantung saat tubuh membutuhkan peningkatan denyut jantung, sedangkan saat tubuh membutuhkan penurunan denyut jantung, vasomotor mengirimkan sinyal ke nervus vagus untuk mentransmisikan impuls parasimpatik ke jantung, sehingga denyut jantung menurun. Denyut jantung dan kekuatan kontraksi meningkat apabila terjadi vasokonstriksi dan penurunan denyut jantung terjadi ketika vasokonstriksi dihambat (Guyton dan Hall, 2012). Peningkatan output saraf dari batang otak ke saraf simpatis menurunkan diameter pembuluh darah, meningkatkan stroke volume, dan denyut jantung. Keadaan ini berperan penting dalam meningkatkan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah akan meningkatkan aktivitas baroreceptor, yang memberikan sinyal ke batang otak untuk mengurangi output saraf ke saraf simpatis (Barret dkk., 2012). 2.5.2.2 Kontrol hormonal terhadap kardiovaskular Saraf otonom adalah yang utama mengatur denyut jantung, tetapi epinephrine juga sama perannya. Epinephrin adalah hormon yang disekresikan oleh medulla pada rangsangan simpatis yang berfungsi untuk mengatur irama jantung. Pengaturan ini dilakukan dengan cara yang sama dengan norepinephrin untuk meningkatkan denyut jantung. Jadi epinephrin secara langsung dapat memperkuat irama jantung seperti yang dimiliki oleh sistem saraf simpatis (Ganong, 2012).
33
2.5.3 Adaptasi Sistem Kardiovaskular dalam Olahraga Menurut Sharkey (2012), aktivitas fisik berpengaruh langsung pada sistem kardiovaskular di antaranya adalah: meningkatkan ukuran jantung, meningkatkan persediaan darah, menurunkan risiko penggumpalan darah, menormalkan tekanan darah, dan memperbaiki pendistribusian darah. Di samping itu aktivitas fisik juga berperan dalam pengaturan metabolisme lemak, karbohidrat, protein, dan metabolisme lainnya. Sementara itu Neil-Nedley (2009) berpendapat, olahraga secara teratur mengurangi risiko kematian dari penyakit jantung koroner. Kuntaraf dan Kuntaraf (2009). mengatakan, bahwa ada beberapa keuntungan dari berolahraga terhadap fungsi kardiovaskular di antaranya adalah: memperkuat otot jantung, menormalkan tekanan darah, meningkatkan kapasitas darah dalam mengangkut oksigen, menurunkan frekuensi denyut nadi istirahat, memperlancar peredaran darah, mengurangi risiko mendapatkan penyakit jantung, menurunkan risiko arteroklerosis, menurunkan LDL dan trigliserida serta meningkatkan HDL. Lebih lanjut Wahyuni (2009), mengatakan bahwa olahraga secara teratur bermanfaat untuk memperbaiki profil lemak darah yaitu menurunkan kolosterol yaitu LDL dan trigliserida, meningkatkan HDL, menurunkan risiko hipertensi, kegemukan, serta diabetes militus. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada jantung akibat dari aktivitas fisik adalah: isi sekuncup, curah jantung, aliran darah, dan tekanan darah (Kadir, 2010): Saat aktivitas fisik, jantung dan pernapasan terasa berdetak lebih kencang. Makin meningkat aktivitas, frekuensi denyut jantung dan frekuensi pernapasan akan meningkat dan begitu juga sebaliknya. Setelah beristirahat beberapa saat frekuensi denyut jantung dan frekuensi pernapasan akan normal seperti semula. Perubahan di atas merupakan efek akut dari latihan. Apabila pelatihan fisik dilakukan dengan dosis yang tepat dalam waktu berkesinambungan, akan terjadi perubahan pada fungsi tubuh. Efek yang disebabkan oleh pelatihan dalam waktu yang lama terhadap fungsi tubuh disebut dengan efek tertunda atau kronik (Nala, 2011).
34
2.5.3.1 Efek akut latihan a). Perubahan terhadap frekuensi denyut nadi Denyut nadi adalah gelombang yang dirasakan pada arteri apabila darah dipompa keluar jantung (Pearce, 2012). Denyut nadi dapat diraba di beberapa arteri yang melintas dekat permukaan tubuh, misalnya arteri radialis yang terletak di depan pergelangan tangan, arteri temporalis di atas tulang temporal, atau arteri dorsalis pedis di belokan mata kaki (Ganong, 2012). Frekuensi denyut nadi tergantung dari berbagai faktor diantaranya: posisi tubuh, umur, jenis kelamin, dan aktivitas fisik. Posisi tubuh dijelaskan bahwa orang yang tidur berbeda denyut nadinya dengan orang yang duduk, begitu juga dengan orang yang berdiri. Peningkatan umur akan menurunkan frekuensi denyut nadi dan akan terjadi peningkatan menjelang usia tua (McArdle dkk., 2010). Jenis kelamin juga mempengaruhi frekuensi denyut nadi istirahat (seperti Tabel 2.5). Anak-anak memiliki frekuensi denyut nadi maximal lebih tinggi dan isi sekuncup lebih rendah daripada orang dewasa, baik dalam keadaan istirahat maupun olahraga. Tetapi anak-anak memiliki penyesuaian peredaran darah perifer yang lebih baik terhadap olahraga dari pada orang dewasa, yang menyebabkan terjadinya perbedaan kandungan O2 darah arteri dan vena yang lebih besar, yang menunjukkan terjadinya extraksi O2 yang lebih efisen di dalam jaringan tubuh (McArdle dkk., 2010). Apabila intensitas latihan ditingkatkan, maka diikuti dengan peningkatan frekuensi denyut nadi dan bila intensitas diturunkan maka frekuensi denyut nadi akan menurun secara linier sesuai dengan Azas Conconi. Apabila intensias latihan ditingkatkan lagi, maka hubungannya tidak linier lagi (Janssen, 1993). Hubungan yang linier antara intensitas latihan dengan frekuensi denyut nadi hanya berlaku jika melibatkan otot-otot besar dan cukup banyak. Oleh karena itu frekuensi denyut nadi dapat dipakai sebagai tolok ukur intensitas latihan yang melibatkan otot besar, seperti berlari, berenang, dan bersepeda (McArdle dkk., 2010).
35
Tabel 2.5 Frekuensi Denyut Nadi Istirahat sesuai Umur dan Jenis Kelamin Umur (tahun) 2-7 8-14 14-21 21-28 28-35 35-42 42-49 49-56 56-63 63-70 70-77 77-84 Sumber: MCArdle dkk. (2010).
Rata-rata denyut nadi permenit (X/mt) Laki-laki Perempuan 97 98 84 94 76 82 73 80 70 78 68 78 70 77 67 76 68 77 70 78 67 81 71 82
Berdasarkan frekuensi denyut nadi, latihan fisik dibedakan menjadi lima tingkatan yang disebut dengan training zone yaitu: sona-1 (Healthy training zone) dengan intensitas 50-60%, sona-2 (temperate zone) dengan intensitas 60-70%, sona-3 (aerobic zone) dengan intensitas 70-80%, sona-4 (anaerobic sone) dengan intensitas 80-90%, dan sona-5 (red line zone) dengan intensitas 90-100% (Edward, 2007). b). Perubahan isi sekuncup Isi sekuncup (stroke Volume) merupakan jumlah darah yang dapat dipompa oleh jantung setiap denyutnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi volume darah yang dipompa setiap kontraksi jantung (Kadir, 2010): 1). Meningkatnya jumlah darah yang dikembalikan ke jantung. 2). Ukuran ventrikel yang bertambah karena latihan fisik secara teratur. 3). Kekuatan otot jantung untuk memompa darah yang didapat dengan latihan fisik, dan 4). Tekanan aorta atau tekanan arteri paru. Peningkatan isi sekuncup saat latihan terjadi karena saat olahraga ventrikel mengembang dan diisi darah lebih banyak, maka akan berkontraksi lebih kuat. Hasilnya adalah isi sekuncup lebih banyak, sesuai hukum Frank-Starling. Jumlah darah yang kembali dari vena (venous return) terbatas karena waktu pengisian ventrikel
36
menurun sehingga volume akhir diastolik menurun. Isi sekuncup pada saat berolahraga ditingkatkan akibat penurunan tahanan perifer oleh karena terjadinya vasodilatasi pembuluh darah pada otot yang aktif (Widiyanto, 2010d). Pada saat istirahat isi sekuncup sekitar 70 cc, saat berlatih dapat meningkat sampai 90 cc per denyut. Orang terlatih saat istirahat sekitar 90 - 120 cc, sedangkan pada saat berlatih dapat mencapai 150-170 cc. Frekuensi denyut jantung orang tidak terlatih ketika bangur tidur (basal) sekitar 60-70 denyut per menit, ketika berlatih dapat meningkat antara 160-170 denyut per menit. Bagi orang yang terlatih denyut jantung basal, dapat di bawah 50 denyut per menit. Pada saat berlatih meningkat, dapat mencapai sekitar 180 kali denyutan per menit (Bompa dan Haff, 2009). c). Perubahan curah jantung Curah jantung (Cardiac Output) merupakan jumlah darah (liter) yang dipompa oleh jantung dalam satu menit yang dinyatakan dalam L/menit (Gabriel, 2012). Curah jantung meningkat ketika berlahraga, hal ini disebabkan karena curah kerja dari otot rangka yang meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan konsumsi oksigen akan meningkatkan diameter pembuluh darah (vasodilatasi) ke otot dan meningkatkan aliran balik vena dan terjadi peningkatan curah jantung (Widiyanto, 2010d). Curah jantung dari beberapa tingkat latihan ditunjukkan pada Tabel 2.6. Tabel 2.6 Curah Jantung dari Beberapa Tingkat Latihan No 1 2
Aktivitas
Curah jantung pada pria muda saat istirahat Curah jantung maksimum selama latihan pada pria muda tidak terlatih 3 Curah jantung maksimum selama latihan pada pelari maraton pria Sumber: Guyton dan Hall (2012).
Curah Jantung (L/menit 5,5 23 30
Dari tabel dapat diuraikan, orang tidak terlatih dapat meningkat curah jantungnya empat kali lebih tinggi pada saat latihan dibandingkan dengan pada saat istirahat dan atlet terlatih dapat meningkatkan sampai enam kali, sedangkan pelari
37
maraton dapat meningkat 7-8 kali. Curah jantung atlet bisa mencapai 40 L/menit. Curah jantung ini mempengaruhi daya serap oksigen maksimum (VO2Max). Makin tinggi curah jantung, VO2Max semakin meningkat (Kadir, 2010). Latihan fisik secara teratur menyebabkan hipertropi otot jantung. Menebalnya lapisan jantung mengakibatkan peningkatan ruang jantung, yang sejalan dengan curah jantung. Pada pelari maraton curah jantung meningkat sampai 40% yang disebabkan karena pembesaran terjadi sebanyak 40%. Peningkatan ukuran dan curah jantung ini dapat terjadi pada olahraga daya tahan dan bukan pada olahraga kekuatan seperti lari cepat (Guyton dan Hall, 2012). Darah yang dipompa jantung setiap menit tergantung dari kecepatan pemompaan jantung (frekuensi denyut jantung) dan stroke Volume. Yang dapat dihitung dengan persamaan (Kadir, 2010): Cardiac output = Frekuensi jantung X stroke Volume d). Perubahan terhadap tekanan darah Tekanan adalah suatu gaya yang bekerja pada satuan luas (Bresnick, 2010). Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan oleh darah pada dinding arteri. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi saat jantung relaksasi. Tekanan darah merupakan daya yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding pembuluh darah. Bila tekanan darah sistolik sebesar 110 mmHg berarti bahwa daya yang dihasilkan cukup untuk mendorong darah melawan gravitasi sampai setinggi 110 mmHg (Gabriel, 2013). Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik (Ganong, 2012). Tekanan darah sistolik normal orang dewasa berada dibawah 120 dan diastolik sebesar 80 mmHg yang dituliskan dengan 120/80 mmHg, prahipertensi libih kecil dari 139/89 mmHg, hiprtensi ringan tekanan sistolik anatara 140-149 mmHg dan tekanan diastolik 90-99 mmHg, untuk hipertensi sedang tekanan sistolik berada antara 160-169 mmHg dan tekanan diastolik antara 100-110 mmHg. Tekanan sistolik di atas 170
38
mmHg dan diastolik di atas 110 mmHg termasuk hipertensi berat (Mirchandani, 2008). Tekanan sistolik relatif lebih rendah pada anak-anak, tetapi tekanan darah yang rendah ini tidak memberikan gangguan ataupun keuntungan bagi kapasitas daya-tahannya. Begitu juga pada saat olahraga, rata-rata tekanan darah sistolik anak-anak lebih rendah dari orang dewasa (FPOK, 2010a). Ada beberapa hal yang mempengaruhi tekanan darah tinggi, di antaranya adalah: asupan garam yang tinggi, obesitas, plak pada arteri, kurangnya aktivitas fisik, kebiasaan merokok, estrogen, dan alkohol (Ludington dan Diehl, 2011). Tekanan darah dalam keadaan istirahat masing-masing orang berbeda, hal ini disebabkan oleh berbagai hal seperti (Davine, 2012): riwayat keluarga, penyakit diabetes atau penyakit ginjal, jenis kelamin, usia, merokok atau tidak, obesitas, minum obat KB, konsumsi alkohol berlebih, dan gaya hidup pasif. Berikut adalah klasifikasi tekanan darah untuk orang dewasa (Tabel 2.7). Tekanan darah akan meningkat seiring dengan peningkatan intensitas olahraga, baik tekanan sistolik, diastolik maupun tekanan rata-rata. Tekanan darah sistolik pada keadaan istirahat 120 mmHG meningkat menjadi 140-250 mmHg pada saat olahraga dengan intensitas maksimum untuk olahraga daya tahan yang melibatkan otot-otot besar pada orang terlatih. Peningkatan tekanan darah ini diakibatkan oleh peningkatan curah jantung (Kusnanik dkk., 2011). Tabel 2.7 Klasifikasi Tekanan Darah Untuk Orang Dewasa Kelas
Tekanan Sistolik (mmHg)
Optimal Normal Prahipertensi Hipertensi tahap-1 Hipertensi tahap-2 Hipertensi tahap-3 Sumber: Davine (2012).
< 120 < 130 130-139 140-159 160-179 >180
Tekanan Diastolik (mmHg) < 80 < 85 85-89 90-99 100-109 >110
Meningkatnya hormon epinefrin saat latihan menyebabkan semakin kuatnya kontraksi otot jantung. Walaupun demikian tekanan sistolik tidak terus meningkat,
39
karena epinefrin juga dapat menyebabkan vasodilatsi pembuluh darah. Dengan demikian kenaikan tekanan darah saat latihan akan dapat terjadi (Guyton dan Hall, 2012). Dilatasi pembuluh darah saat latihan juga disebabkan oleh meningkatnya suhu tubuh. Banyaknya keringat yang keluar menyebabkan plasma darah keluar, volume darah menurun, sehingga tekanan darah naik berlebihan (Gabriel, 2012). Tekanan darah sistolik maupun diastolik meningkat sangat tinggi ketika seorang atlet angkat besi mengangkat barbel. Tekanan sistolik dapat meningkat dari 120 mmHg sampai 180 mmHg dan bisa mencapai 480 mmHg. Tekanan ini menyebabkan meningkatnya tahanan perifer. Hal tersebut terjadi karena banyak otot rangka yang berkontraksi sehingga mendesak pembuluh-pembuluh darah. Tekanan yang naik cukup tinggi tersebut terjadi hanya sesaat, begitu angkatan dilepaskan akan turun kembali ke dalam keadaan normal. Agar tidak mengalami hal yang fatal maka diharapkan pada penderita tekanan darah tinggi, tidak melaksanakan olahraga dengan intensitas tinggi secara mendadak. Perlu disiapkan lebih dahulu semua otot telah panas agar pembuluh darah di seluruh tubuh vasodilatasi. Apabila pembuluh darah belum siap, sedangkan jantung memompa dengan kuat akan terjadi peningkatan tekanan darah yang cukup tinggi (Kusnanik dkk., 2011). Perubahan yang dapat terjadi sesaat setelah berolahraga adalah penurunan tekanan darah (hipotensi). Hipotensi adalah turunnya tekanan darah sistolik sebesar 20 mmHg dan diastolik sebesar 10 mmHg (Setiati, 2006). Keadaan turunnya tekanan darah setelah berolahraga ini dikenal dengan istilah postexercise hypotension (Pescatello dkk., 2004; Faraji dkk., 2010; Chen dan Bonhan, 2011; Delavar dan Faraji, 2011; Kenney dan Seals, 2011). Penurunan tekanan darah ini disebabkan karena vasodilatasi berkelanjutan otot dan pembuluh darah yang terjadi pada saat olahraga. Selama periode pemulihan dari aktivitas fisik, penurunan tekanan darah dimediasi oleh aktivitas saraf simpatik serta mekanisme vasodilatator lokal (Lockwood dkk., 2005). Menurut Halliwill dkk. (2013), penurunan tekanan darah setelah latihan dengan intensitas sedang disebabkan karena perlawanan vaskular yang dimediasi oleh saraf
40
otonom. Vasodilatasi pada otot dan pembulih darah disebabkan karena pemuaian otot dan darah yang disebabkan oleh peningkatan suhu tubuh (Guyton dan Hall, 2012). Penurunan tekanan darah setelah olahraga, terjadi pengurangan aliran darah ke otak yang dipicu oleh berbagai hal, di antaranya adalah kemampuan jantung tidak kuat untuk memompa darah, kemampuan pembuluh darah untuk vasodilatasi atau vasokontriksi, dan cukup tidaknya darah dan cairan pada pembuluh darah. Peran cairan tubuh sangat penting karena banyak yang keluar untuk mengantarkan panas (Guyton dan Hall, 2012). Pengurangan cairan tubuh menyebabkan suplai darah ke otak berkurang yang menyebakan berbagai gejala, seperti pening, kebingungan, mual dan pingsan. Berkurangnya aliran darah ke otak sebesar 20% atau kurang dari 60 mmHg menyebabkan kehilangan kesadaran (Elfriadi, 2011). Hasil penelitian McDonald dkk. (2003), terhadap orang coba yang diberikan olahraga dengan intensitas 50% dan 75% VO2-maks selama 30 menit, kemudian masing-masing diukur tekanan darahnya pada menit ke 5, 10, 15, 30, 45, dan 60 setelah aktivitas. Terjadi penurunan tekanan darah sistolik pada menit ke-5 sampai ke-15 dan penurunan tertinggi pada ke dua kelompok terjadi sebesar delapan mmHg pada menit ke-5. Tekanan darah diastolik terjadi penurunan pada menit ke-5 sampai dengan menit ke-45 dan kembali setelah menit berikutnya. Setelah olahraga aerobik dengan intensitas 40% VO2-max selama 20-60 menit, terjadi penurunan tekanan darah sistolik sebesar 18 - 20 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 7 - 9 mmHg (Kenney dan Seals, 2011). Penelitian lain yang mendukung terjadinya penurunan tekanan darah setelah latihan adalah penelitian Pescatello dkk. (2004), yang menguji efek dari olahraga dengan intensitas 40% VO2-max dan 60% VO2-max terhadap 49 orang. Didapatkan terjadi penurunan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik setelah latihan dibandingkan dengan sebelum pelatihan. Untuk menanggulangi terjadinya penurunan tekanan darah setelah latihan fisik, maka pemulihan, intensitas pemulihan dan waktu pemulihan sangat perlu diperhatikan. Oleh karena itu pendinginan merupakan hal yang sangat penting dilakukan untuk
41
menghindari terjadinya penurunan tekanan darah setelah latihan fisik, sehingga tidak berakibat fatal terhadap tubuh (Halliwill dkk., 2013) . e). Perubahan pendistribusian dan kandungan darah Olahraga dengan kontraksi intermiten pada betis selama enam menit terjadi peningkatan aliran sebesar 13 kali lipat dan terjadi penurunan aliran setiap kontraksi otot. Penurunan aliran hanya bersifat sementara karena otot rangka memeras darah intramuscular. Aliran darah selama keadaan istirahat sebesar 3,6 mL/100g otot/menit dan aliran darah selama latihan maksimal sebesar 90 mL/100g otot/menit atau terjadi peningkatan aliran darah maksimum sebanyak 25 kali lipat selama latihan maksimum dibandingkan saat istirahat. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan metabolisme otot yang menyebabkan vasodilatasi intramuscular. Penurunan hambatan pembuluh darah akan meningkatkan aliran sebesar dua kali lipat dibandingkan dengan saat istirahat (Guyton dan Hall, 2012). Peningkatan aliran darah juga disebabkan oleh peningkatan tekanan arteri sebesar 30% yang memaksa pembuluh darah vasodilatasi dan hasil akhirnya terjadi penurunan hambatan pembuluh darah (Gabriel, 2012). Aliran darah meningkat tergantung dari aktivitas otot. Makin tinggi aktivitas otot, aliran darah semakin meningkat. Sebaliknya, makin rendah aktivitas otot aliran darah akan menurun. Distribusi darah dari otot yang aktif meningkat dari 650 cc menjadi 20.850 cc saat olahraga sedangkan pada usus terjadi penurunan distribusi darah dari 3100 cc saat istirahat menjadi 600 cc saat olahraga (Kadir, 2010). Untuk menghindari berkurangnya aliran darah ke otot yang aktif, maka waktu makan sebelum berolahraga perlu diperhatikan. Makanan berat tidak dikonsumsi 2-3 jam sebelum olahraga, karena darah akan dialirkan ke pencernaan sebanyak 30% untuk proses pencernaan makanan. Hal ini akan mengurangi aktivitas otot dan penampilan akan berkurang (Wilmore dkk., 2008; McArdle dkk., 2010). Pendistribusian darah ke berbagai bagian tubuh pada berbagai aktivitas fisik disajikan seperti Tabel 2.8.
42
Darah terdiri dari 91% air, 8% protein, 0,9% mineral dan sisanya bahan organik seperti glukose, lemak, urea, asam urat, kreatinin, kolesterol, dan asam amino, yang dijaga untuk mempertahankan homeostasis tubuh (Pearce, 2012). Tabel 2.8 Pendistribusian Darah Pada Berbagai Intensitas Latihan Jaringan
Istirahat Intensitas 5800 cc Ringan 9500 cc Otak (%) 13 8 jantung (%) 4 3,5 Otot (%) 21 47 Kulit (%) 8,5 16 Ginjal (%) 19 9,5 Saluran cerna (%) 24 11,5 Lain-lain (%) 10,5 0,5 Sumber: Wilmore dkk. (2008).
Intensitas Berat 17500 cc 4 4 72 11 3,5 3,5 2
Intensitas Maks 25000 cc 4 4 88 2,5 1 > 1 < 1
Kualitas darah berperan dalam menunjang kelangsungan metabolisme tubuh saat berolahraga. Kandungan oksigen dalam darah sangat penting diperhatikan mengingat oksigen sangat dibutuhkan dalam olahraga daya tahan. Oksigen yang cukup, metabolisme di dalam jaringan akan berlangsung dengan sempurna sehingga penumpukan asam laktat berlebihan tidak akan terjadi (Guyton dan Hall, 2012). Dalam keadaan istirahat, kandungan oksigen dalam darah sebesar 20 mL O2/100 mL darah pada arteri dan sebesar 14 mL di dalam vena yang dikembalikan ke jantung. Perbedaan sebesar enam mL disebut dengan a-v O2 difference. Menurut Kusnanik dkk. (2011), pada saat beristirahat otot hanya mendapat 15-20% suplai darah, tetapi pada saat olahraga dengan intensitas tinggi otot mendapatkan 80-85% dari curah jantung. Pada saat dimulainya olahraga, otot yang aktif akan mendapatkan darah yang mengangkut oksigen lebih tinggi melalui rangsangan simpatik yang bersifat vasokontriksi. Sedangkan saat otot aktif sifat vasodilatatsi lokal lebih dominan. Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan PH darah, tekanan O2 dan adenosin monofosfat serta peningkatan suhu otot dan kadar CO2 (Barret dkk., 2012). Peningkatan intensitas olahraga, meningkatkan selisih O2 antara darah arteri dan vena (a-v O2 difference) secara progresif sampai tiga kali lipat dibandingkan pada saat
43
istirahat, sehingga kandungan oksigen di dalam vena menurun. Penurunan ini disebabkan karena oksigen lebih banyak dimanfaatkan dalam proses metabolisme makanan. Kadar minimum O2 vena sebesar empat mL/100 mL darah. Jumlah ini karena percampuran antara darah dari jaringan yang aktif dengan darah dari jaringan yang tidak aktif. Kadar O2 dari jaringan yang tidak aktif lebih tinggi daripada yang aktif (Kusnanik dkk., 2011). Dalam hal ini pendistribusian darah sangat penting. Pada latihan yang cukup lama, jika tidak diimbagi dengan minum yang cukup, plasma darah dapat berkurang karena keluar melalui keringat. Dengan demikian volume darah juga akan berkurang sehingga hematokrit (kadar butir darah) akan meningkat (Gabriel, 2012). Aktivitas fisik membutuhkan energi, sehingga energi harus diambil dari tempat penyimpanan. Lemak akan dipecah dari sel penyimpanan sehingga asam lemak dan gliserol dalam plasma akan meningkat. Glikogen dalam hati akan dipecah, sehingga glukosa darah saat latihan meningkat. Semakin tinggi intensitas latihan, katabolisme karbohidrat semakin tinggi agar gula darah tidak terlalu rendah (Almatsier, 2013). Pada latihan interval dengan intensitasnya maksimal seperti yang sering diterapkan untuk meningkatkan kecepatan seperti sprint 100 meter berulang-ulang dapat terjadi penurunan glukose darah. Penurunan glukose darah disebabkan karena sel otot banyak menggunakan glukose, tetapi pembentukan glukose atau pemecahan dari glikogen hati berjalan dengan lambat (Giriwijoyo, 2007). Banyak sel darah merah pecah karena benturan dengan alat atau lintasan pada saat olahraga sehingga konsentrasinya berkurang. Nilai normal pada laki-laki sebesar 16 gr% dan pada wanita 14 gr% dengan daya ikat terhadap O2 sebesar 1,34 mL O2 (Pearce, 2012). Jika latihan dilaksanakan terus-menerus dan tidak ada hari untuk pemulihan maka sel darah akan semakin berkurang (Guyton dan Hall, 2012). Akibatnya adalah menurunnya kadar Hb, dan menurunnya sistem imun terhadap penyakit infeksi (Abbas dan Lichtman, 2005). Oleh karena itu dalam latihan, setiap minggu perlu adanya satu hari istirahat dengan tidur yang cukup (Nala, 2011).
44
Pendistribusian darah terjadi peningkatan pada otot yang terlibat dalam gerak untuk mencukupi kebutuhan latihan seperti lemak, gula untuk penyediaan energi dan mengangkut sisa metabolisme seperti air dan CO2. Semakin tinggi intensitas latihan, darah yang ke otot akan semakin meningkat (McArdle dkk., 2010). 2.5.3.2 Efek kronik latihan Latihan aerobik akan menyebabkan menigkatnya ruang pada atrium maupun ventrikel jantung. Dengan demikian isi sekuncup (stroke volume) akan meningkat. Dengan meningkatnya isi sekuncup, maka untuk memenuhi kebutuhan oksigen maupun untuk mengangkut hasil produk metabolisme seperti karbon dioksida dan asam laktat, jantung tidak perlu memompa darah dengan frekuensi yang tinggi. Oleh karena itu atlet yang terlatih daya tahan aerobik, denyut nadi istirahatnya di bawah 60 denyut per menit, bahkan lebih rendah dari 50 atau 40 kali permenit. (Janssen, 1993). Latihan airobik yang pemulihannya kurang dari satu kali per minggu, menyebabkan menebalnya otot jantung yang tidak diikuti meningkatnya ruang jantung, baik atrium maupun ventrikel. Penyedian energi jantung dalam keadaan normal secara aerobik menggunakan sumber energi lemak. Tetapi bila intensitas latihan ditingkatkan, frekuensi denyut jantung meningkat dan sumber penyediaan energi menjadi karbohidrat atau glukosa darah, dan jika glukosa tidak mencukupi maka akan menggunakan glikogen yang ada pada sel otot jantung. Jika latihan sering menggunakan glikogen otot jantung, dan bertahan pada frekuensi denyut nadi maksimal maka timbunan glikogen otot jantung akan meningkat. Peningkatan glikogen otot jantung akan menyebabkan penyempitan pembuluh koroner dan penebalan otot jantung (Wilmore dkk., 2008). Menurut Hakim (2011), dalam penelitiannya yang dilakukan terhadap penderita hipertensi dengan bersepeda santai selama dua bulan, dapat menurunkan tekanan darah dibandingkan dengan sebelum pelatihan. Tekanan darah yang menurun secara signifikan adalah tekanan diastolik, tetapi tekanan sistolik secara statistik tidak menurun walaupun ada penurunan angka rerata tekanan. Hasil penelitian Syatria (2006), olahraga secara teratur selama 12 minggu pada mahasiswa Fakultas Kedokteran
45
Universitas Diponogoro mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik. Latihan aerobik juga meningkatkan jumlah pembuluh darah pada otot jantung, sehingga dapat mengurangi terganggunya aliran darah. Dengan banyaknya pembuluh darah, apabila ada pembuluh yang tersumbat, perannya diambil alih oleh pembuluh darah yang lain (Wilmore dkk., 2008). 2.6 Metabolisme Energi Metabolisme adalah merupakan proses dari seluruh reaksi fisik dan kimia dengan terjadinya perubahan energi dalam tubuh untuk mendukung kelangsungan kehidupan (Sloane, 2004). Metabolisme terjadi untuk mengubah zat-zat makanan seperti karbohidrat, lemak dan protein menjadi senyawa-senyawa yang diperlukan dalam proses kehidupan yang merupakan sumber energi yaitu ATP (Adenosine Tri Phosphate). Energi ini berguna untuk aktivitas otot, menjaga potensial membran sel otot dan saraf, sekresi kelenjar, dan sintesis substansi sel (Guyton dan Hall, 2012). Dinyatakan juga, bahwa metabolisme yang terjadi di dalam tubuh memungkinkan kehidupan suatu sel. Aktivitas fisik terdiri dari dua jenis yaitu aktivitas yang bersifat aerobik dan yang bersifat anaerobik. Jenis olahraga seperti jogging, lari maraton, dan bersepeda merupakan jenis olahraga dengan komponen aktivitas aerobik yang dominan sedangkan olahraga yang membutuhkan tenaga besar dalam waktu singkat seperti angkat berat, push-up, pull up, sprint, dan atletik jenis lompat adalah olahraga dengan komponen aktivitas anaerobik yang dominan (Irawan, 2007b; Sandi dan Womsiwor, 2014). Aktivitas aerobik adalah aktivitas fisik yang bergantung pada ketersediaan oksigen dalam proses pembakaran sumber energi yang terdapat di dalam tubuh. Aktivitas fisik ini bergantung dari berat ringannya kinerja dari organ-organ tubuh seperti jantung, paru dan pembuluh darah untuk dapat mengangkut oksigen keseluruh bagian tubuh yang membutuhkan agar proses pembakaran sumber energi dapat berjalan dengan sempurna. Metabolisme energi secara aerobik selain menghasilkan energi,
46
proses tersebut juga menghasilkan produk samping berupa karbondioksida (CO2) dan air (H2O) (Rizka, 2010). Aktivitas
anaerobik
adalah
aktivitas
dengan
intensitas
tinggi
yang
membutuhkan energi secara cepat dalam waktu yang sangat singkat. Aktivitas ini tidak dapat dilakukan secara kontinu untuk durasi waktu yang lama karena proses metabolisme energi secara anaerobik dapat menghasilkan ATP dengan laju yang lebih cepat jika dibandingkan dengan metabolisme energi secara aerobik (Sharkey, 2012). Untuk gerakan olahraga yang membutuhkan tenaga yang besar dalam waktu yang singkat, proses metabolisme energi secara anaerobik dapat menyediakan ATP dengan cepat namun hanya untuk waktu yang terbatas yaitu hanya sekitar ± 90 detik. Walaupun prosesnya dapat berjalan secara cepat, namun metabolisme energi secara anaerobik ini menghasilkan molekul ATP lebih rendah dibandingkan dengan metabolisme energi secara aerobik yaitu setiap satu molekul glukose menghasilkan 2 ATP untuk anaerobik dibandingkan dengan 36 ATP untuk aerobik (Kholmeier, 2003). Produk samping yang dihasilkan dari metabolism berupa asam laktat yang apabila terakumulasi, maka dapat menghambat kontraksi otot dan menyebabkan rasa nyeri. Oleh karena itu, gerakan bertenaga saat berolahraga tidak dapat dilakukan secara kontinu dalam waktu yang panjang dan harus diselingi dengan interval istirahat. Selain itu, asam laktat yang diserap oleh darah merupakan penyebab asidosis metabolik (Widiyanto, 2007a; Widiyanto, 2010a). Olahraga beregu dan individual terdapat pula gerakan meloncat, melompat, mengoper, melempar, menendang, memukul, dan juga mengejar bola dengan cepat yang bersifat anaerobik. Oleh sebab itu maka beberapa cabang olahraga seperti sepakbola, bola basket atau juga tenis lapangan merupakan olahraga dengan kombinasi antara aktivitas aerobik dan anaerobik (Widiyanto, 2010c). Energi yang dibutuhkan untuk aktivitas otot bersumber dari karbohidrat, lemak, dan protein (Hardinge dan Shryock, 2003; Ngili, 2009). Sumber energi yang didapat
47
dipergunakan untuk membentuk ATP yang berfungsi sebagai sumber energi dari sel otot (Guyton dan Hall, 2012). Semua jenis metabolisme yang terjadi di dalam tubuh bertujuan untuk meresintesis molekul ATP yang prosesnya berjalan secara aerobik maupun anearobik. Proses hidrolisis ATP yang menghasilkan energi ini dapat dituliskan melalui persamaan reaksi kimia berikut (Kholmeier, 2003): ATP + H2O ---> ADP + H + Pi Dalam jaringan otot, hidrolisis 1 mol ATP menghasilkan energi sebesar 31 kJ (7.3 kkal) dan menghasilkan produk lain berupa adenosine diphospate (ADP) dan inorganik fosfat (Pi). Pada saat berolahraga, terdapat tiga jalur metabolisme energi yang dapat digunakan oleh tubuh untuk menghasilkan ATP yaitu hidrolisis fosfokreatin (PC), glikolisis anaerobik glukosa serta pembakaran simpanan karbohidrat, lemak dan juga protein (Janssen, 1993). Olahraga dengan aktivitas aerobik yang dominan, metabolisme energi berjalan melalui pembakaran simpanan karbohdrat, lemak dan sebagian kecil yaitu ± 5% dari pemecahan simpatan protein untuk menghasilkan ATP. Proses metabolisme ke tiga sumber energi ini berjalan dengan kehadiran oksigen (O2) yang diperoleh melalui pernapasan. Sedangkan aktivitas yang bersifat anaerobik, energi diperoleh melalui hidrolisis PC serta melalui glikolisis glukose secara anaerobik. Proses metabolisme energi secara anaerobik ini dapat berjalan tanpa kehadiran oksigen (Irawan, 2007b). 2.6.1 Metabolime Energi Secara Anaerobik Di dalam tubuh terdapat zat kimia yang menyebabkan otot berkontraksi dan relaksasi yang disebut dengan Adenosin trifosfat (ATP). ATP selama aktivitas otot diubah menjadi ADP dan menghasilkan energi yang dipakai untuk kontraksi otot. Secara skematis dituliskan (Astrand dan Rodahl, 2003): ATP → ADP + Energi
48
2.6.1.1 Sistem fosfokreatin (PC) Sistem fosfokreatin atau yang dikenal dengan sistem fosfagen adalah penyediaan ATP yang berasal dari PC yang terdapat di dalam otot. Fosfokreatin dipecah menjadi fosfat dan kreatin. Fosfat yang dihasilkan diikat oleh ADP menjadi ATP dengan bantuan enzim kreatin kinase. Ketika pemecahan ATP menjadi ADP dan fosfat, diikat kembali menjadi fosfokreatin. Persamaan ini dituliskan sebagai berikut (Soetopo dkk,. 2007; Wolinsky dan Driskell, 2008): Kreatin fosfat + ADP → Kreatin + ATP. Di dalam otot, kreatin yang sudah terfosforilasi yaitu PC, berperan penting dalam metabolisme energi secara anaerobik untuk menghasilkan ATP. Dengan bantuan enzim kreatin kinase, PC yang tersimpan di dalam otot dipecah menjadi Pi dan kreatin di mana proses ini juga disertai pelepasan energi sebesar 43 kJ setiap satu mol PC. Inorganik fosfat yang dihasilkan, dapat mengikat molekul ADP dan kembali membentuk molekul ATP (Kohlmeier, 2003). Melalui proses hidrolisis PC, energi dalam jumlah 2.3 mMol ATP/kg berat basah otot per detiknya dapat dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan energi pada saat olahraga dengan intensitas tinggi. Namun karena terbatasnya simpanan PC di dalam jaringan otot yaitu hanya sekitar 14 - 24 mMol ATP/kg berat badan, maka energi yang dihasilkan melalui proses hidrolisis ini hanya dapat bertahan untuk mendukung aktivitas anaerobik selama 5 - 10 detik. Singkatnya waktu penyediaan energi sistem ATP - PC ini disebabkan karena tidak membutuhkan kehadiran oksigen dan energi ini sudah tersedia dalam otot (Janssen, 1993). 2.6.1.2 Sistem asam laktat Sistem asam laktat atau sistem glikolisis anaerobik, merupakan bentuk metabolisme energi secara anaerobik tanpa kehadiran oksigen. Metabolisme energi ini mengunakan simpanan glukose yang sebagian besar diperoleh dari glikogen otot atau dari glukose darah untuk menghasilkan ATP. Inti dari proses glikolisis yang terjadi di dalam sitoplasma ini adalah mengubah molekul glukose menjadi asam piruvat yang
49
disertai dengan pembentukan ATP. Jumlah ATP yang dihasilkan dalam proses glikolisis ini tergantung dari asal molekul glukose. Jika molekul glukosa berasal dari darah maka 2 ATP akan dihasilkan dan jika berasal dari glikogen otot maka sebanyak tiga ATP akan dihasilkan. Penyediaan energi dari sistem asam laktat ini dapat dituliskan sebagai berikut (Astrand dan Rodahl, 2003; Purba, 2016b): Glukose + ADP → Laktat + ATP Asam piruvat yang terbentuk dari proses glikolisis ini, dapat mengalami metabolisme lanjut baik secara aerobik maupun anaerobik yang bergantung pada ketersediaan oksigen di dalam tubuh. Pada olahraga dengan intensitas rendah, ketersediaan oksigen di dalam tubuh cukup besar, molekul asam piruvat yang terbentuk ini dapat diubah menjadi CO2 dan H2O di dalam mitokondria. jika ketersediaan oksigen terbatas di dalam tubuh atau saat pembentukan asam piruvat terjadi secara cepat seperti saat melakukan sprint, maka asam piruvat terkonversi menjadi asam laktat. 2.6.2 Metabolisme Energi Secara Aerobik ATP yang dihasilkan dalam metabolisme energi aerobik, simpanan energi yang digunakan yaitu simpanan karbohidrat, simpanan lemak, dan simpanan protein (Ludington dan Diehl, 2011). Sistem ini merupakan pembentukan kembali ATP melalui fosforilasi oksidatif yang berlangsung di mitokondria. Yang merupakan pengikatan kembali Pi menggunakan sumber energi dari makanan (Sugiharto, 2011). Proses persediaan energi dari aktivitas yang menggunakan energi karbohidrat dan lemak dituliskan sebagai berikut (Janssen, 1993): Glukose + O2 + ADP → CO2 + ATP + H2O Lemak + O2 + ADP → CO2 + ATP + H2O Menurut Sugiharto (2011), proses yang terjadi dalam mitokondria terbagi menjadi tiga tahapan yaitu: glikolisis aerobik, siklus kreb, dan sistem transportasi elektron. Sistem glikolisis aerobik merupakan tahap awal dari perubahan, dimana mulai terjadi pemecahan glikogen menjadi CO2 dan H2O. Dalam proses ini, satu molekul
50
glikogen dipecah menjadi dua mol asam piruvat dan menghasilkan energi untuk meresintesis tiga mol ATP. Yang dituliskan sebagai berikut: Glukose (C6H12O6) → 2 asam piruvat + energi (2 ATP) + 4H Energi + 3 ADP +3 Pi → 3 ATP. Pemecahan glukose berikutnya adalah dua asam piruvat dengan bantuan koenzim A (Ko-A) menjadi asetil A, CO2, dan H (dituliskan asam piruvat + Ko-A → Asetil A + 2 CO2 + 4H) dan selanjutnya Asetil Ko-A masuk dalam siklus Kreb atau siklus asam sitrat. Periode ini disebut dengan siklus Kreb. Proses berikutnya adalah pemecahan glikogen pada membran mitokondria dengan terbentuknya H2O yang dihasilkan dari senyawa pada siklus Kreb dan O2 yang masuk ke jaringan. Rangkaian ini disebut siklus transportasi elektron. 2.6.2.1 Metabolisme karbohidrat Karbohidrat merupakan zat gula (karbohidrat sederhana) dan zat tepung (karbohidrat komplek) yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi setiap hari. Setelah dicerna, kedua jenis karbohidrat ini diabsorsi oleh usus dan diedarkan oleh darah berupa glukose. Karbohidrat juga tersimpan dalam otot dan hati berupa glikogen (Ludington dan Diehl, 2011). Karbohidrat adalah nutrisi yang paling penting dalam melangsungkan aktivitas seseorang, mengingat karbohidrat merupakan sumber energi yang segera dapat digunakan, maka harus dikonsumsi oleh atlet antara 60-70% dari total energi yang dibutuhkan. Dari hasil penelitian didapatkan pada kelompok atlet dengan diet tinggi karbohidrat mampu berlari selama 167 menit, kelompok dengan makanan yang biasa dimakan sehari-hari mampu berlari selama 114 menit dan kelompok diet tinggi protein dan lemak hanya mampu berlari tanpa berhenti dalam waktu 57 menit (Sihadi, 2006; Neil-Nedley, 2009). Karbohidrat adalah nutrisi terpenting dalam olahraga. Dengan jumlah yang memadai, sangat dibutuhkan sebagai sumber energi utama bagi otot yang sedang
51
bekerja, meningkatkan fungsi otak dan sistem saraf pusat (SSP), dan membantu tubuh dalam memanfaatkan lemak tubuh seefisien mungkin (Burke, 2001). Asam piruvat yang dihasilkan melalui proses glikolisis ini diubah menjadi Asetil koenzim-A (Asetil-KoA) dalam mitokondria. Proses ini juga menghasilkan produk sampingan berupa NADH, yang menghasilkan 2 - 3 molekul ATP. Hasil konversi asam piruvat ini akan masuk ke dalam siklus asam sitrat (siklus Kreb) untuk memenuhi kebutuhan energy bagi sel tubuh yang aktif. Hasil akhirnya adalah karbon dioksida (CO2), ATP, NADH, dan FADH2 (McArdle dkk., 2010). Persamaan reaksinya dituliskan sebagai reaksi sederhana Asetil-KoA + ADP + Pi + 3NAD + FAD + 3H2O → 2CO2 + CoA + ATP + 3NADH + 3H + FADH2 (Irawan, 2007b). Setelah melampaui reaksi asam pirupat, dilanjutkan dengan reaksi fosforilasi oksidatif, di mana molekul NADH yang dihasilkan dalam siklus asam piruvat diubah menjadi ATP dan H2O. Dalam proses ini satu molekul NADH menghasilkan tiga molekul ATP dan satu molekul FADH2 menghasilkan dua molekul ATP. Metabolisme energi secara aerobik melalui metabolism simpanan energi glukose maupun glikogen menghasilkan 38 molekul ATP dan menghasilkan produk samping berupa karbon dioksida (CO2), dan air (O2). Persamaan reaksi sederhana dapat dituliskan sebagai berikut (Irawan, 2007b): Glukose + 6O2 + 38 ADP + 38Pi → 6CO2 + 6H2O + 38ATP 2.6.2.2 Metabolisme lemak Lemak adalah senyawa yang tidak larut dalam air, yang didapat dari organisme yang diekstrak dengan menggunakan pelarut non polar atau pelarut yang kepolarannya lemah (Ngili, 2009). Lemak dapat terbentuk dari asam lemak yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah kecil untuk mengoptimalkan kesehatan yaitu untuk mengurangi ateroklerosis (Mirchandani, 2008). Lemak merupakan zat gizi yang menghasilkan energi terbesar yaitu 1 gr menghasilkan 9 kilo kalori. Akan tetapi kelebihan lemak dapat menurunkan daya tahan tubuh (Sihadi, 2006).
52
Metabolisme lemak diawali dengan pemecahan simpanan lemak di dalam jaringan adipose dan jaringan otot berupa trigliserida (intramuscular triglyserides) melalui suatu proses yang disebut lipolisis. Trigliserida ini akan dikonversi menjadi asam lemak (fatty acid) dan gliserol. Dalam proses ini, satu molekul trigliserida menghasilkan tiga molekul asam lemak dan satu molekul gliserol. Trigliserida yang terbentuk dipecah menjadi bagian yang kecil melalui proses β-oksidasi yang akan menghasilkan ATP di dalam mitokondria, sedangkan gliserol yang dihasilkan masuk ke dalam siklus metabolisme dan diubah menjadi glukose. Proses β-oksidasi yang terjadi berjalan dengan adanya oksigen dan memerlukan adanya korbohidrat, sehingga proses pembakaran asam lemak berjalan dengan sempurna. Asam lemak yang terdiri dari 16 atom karbon dipecah menjadi unit kecil yang dibentuk dari dua atom karbon. Setiap dua atom karbon, dapat mengikat sebanyak satu molekul KoA dan terbentuk asetil KoA. Asetil KoA yang terbentuk akan masuk ke dalam siklus asam piruvat dan menghasilkan energi (Kholmeier, 2003). 2.6.2.3 Metabolisme protein Protein yang terbentuk dari asam amino bermanfaat untuk membangun dan memperbaiki jaringan tubuh yaitu otot, ligament dan tendon, membentuk sel darah merah dan hormon. Protein meningkatkan penampilan atlet seperti mempercepat pemulihan setelah latihan, dan meningkatkan kekebalan tubuh (Cribb, 2006). Bila protein yang dikonsumsi melebihi batas yang dibutuhkan, maka kelebihan asam amino ini disimpan sebagai lemak (Burke, 2001). Menurut Sihadi (2006), protein yang diabsorpsi dipergunakan sebagai zat pembangun, pertumbuhan dan perkembangan jaringan tubuh, sel-sel khusus seperti hemoglobin, albumin, globulin, serta senyawa kimia lain yang digunakan untuk metabolisme. Kebutuhan protein seorang atlet adalah 0,8 - 1 g/kgBB/hari. Untuk daya tahan tubuh sebanyak 1 - 1,2 g/kgBB/hari dan untuk olahraga kekuatan sebanyak 1,3 1,6 g/kgBB/hari, sedangkan untuk olahraga usia dini butuh sebanyak 2,0 g/kgBB/hari.
53
Orang dewasa perlu 0,8 - 1 g/kgBB/hari dan orang Amerika yang aktif membutuhkan sebanyak 1,5 g/kgBB/hari untuk pertumbuhan dan perkembangan otot (Burke 2001). 2.7
Asam Laktat
2.7.1 Pengertian Asam Laktat Asam laktat atau asam 2-hidroksipropanoat (CH3-CHOH-CHOH) adalah senyawa kimia yang penting dalam proses biokimia (Wikipedia, 2013). Asam laktat merupakan hasil lanjutan dari metabolisme glukose yang merupakan produk akhir dari metabolisme anaerobik (Widiyanto, 2010b). Asam laktat merupakan produk samping metabolisme dari usaha tubuh yang intensif (Sharkey, 2012). Hal yang sama juga disampaikan oleh Ramadhan (2012), bahwa asam laktat adalah hasil sampingan dari metabolisme pembentukan energi. Asam laktat adalah perubahan dari energi kimia menjadi energi mekanik yang menyebabkan otot berkontraksi. 2.7.2 Efek Positif Asam Laktat dalam Olahraga Asam laktat sangat penting karena memungkinkan tubuh untuk mengubah glikogen menjadi energi tanpa kehadiran oksigen. Dengan mengubahnya menjadi asam laktat, ketika tidak ada persediaan oksigen, memungkinkan proses glikolisis berlangsung selama beberapa menit dan bahkan hanya beberapa detik. Setelah tubuh memiliki cukup cadangan oksigen, glikogen dapat dikonversi menjadi ATP dan asam laktat dapat dikonversi kembali menjadi glukose oleh hati dan jaringan lain yang digunakan kemudian. Hal ini membuat penggunaan glikogen lebih efisien ketika tubuh kekurangan pasokan oksigen (Amazine, 2012a). Asam laktat yang terbentuk pada aktivitas fisik, diubah menjadi asam piruvat dan dipecah menjadi CO2 dan H2O di dalam mitokondria. Asam laktat dapat berdifusi ke luar sel otot yaitu darah yang dapat digunakan oleh otot lain. Asam laktat dibawa ke hati dan diubah menjadi glikogen hati sebagai simpanan. Melalui glikogenolisis, glikogen dipecah menjadi glukose dan diangkut kembali ke otot dan digunakan untuk kontraksi otot, sehingga latihan fisik dapat dilakukan dalam waktu yang lebih lama
54
(Hairy, 2008). Otot rangka mendapatkan ATP selama aktivitas fisik melalui glikolisis, yang hasil akhirnya berupa asam laktat dan diedarkan melalui darah. Laktat yang dihasilkan diubah menjadi piruvat di dalam hati dengan bantuan isoenzim LDH5 (M4). Jalur glukoneogenesis mengubah piruvat menjadi glukose 6-fosfat dengan bantuan enzim glukose 6-fosfatase dan akhirnya diedarkan oleh darah dan masuk otot rangka. Dalam otot, glukose diubah menjadi glukose 6-fosfat dengan bantuan enzim heksokinase dan memasuki glikolisis (Ngili, 2009). Proses yang terjadi pada otot dalam menggunakan asam laktat sebagai bahan bakar adalah sebagai berikut. Sel-sel otot mengkonversi glikogen menjadi asam laktat ketika tidak ada cukup oksigen untuk mengubahnya menjadi ATP. Asam laktat kemudian dapat digunakan sebagai bahan bakar oleh mitokondria, yang merupakan penghasil energi dalam sel otot (Amazine, 2012a). Pelatihan daya tahan secara intensif dapat meningkatkan massa mitokondria dalam sel otot lebih dari dua kali lipat, yang dapat membantu otot untuk menggunakan asam laktat sebagai bahan bakar. Hal ini memungkinkan sel otot bekerja lebih keras dan lebih lama dalam situasi cadangan oksigen rendah. Jadi salah satu alasan atlet dapat tampil lama saat bertanding adalah karena latihan intensif yang dilakukan memungkinkan sel otot untuk menyerap asam laktat lebih cepat dan lebih efisien karena meningkatnya massa mitokondria (Amazine, 2012a). Asam laktat dalam sistem pencernaan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan usus dalam menyerap zat mutagenik. Zat ini berperan dalam mencegah penyakit kanker yang terdapat pada berbagai sumber seperti makanan, minuman, sayursayuran dan buah-buahan (Agustrisno, 2011). Menurut Indo-Combucha (2010), asam laktat yang berada pada teh kombucha sangat dibutuhkan bagi sistem pencernaan sebagai indikator dari penyakit kanker. 2.7.3 Efek Negatif Asam Laktat dalam Olahraga Latihan yang dilangsungkan secara glikolisis anaerobik akan meningkatkan asam laktat. Terjadi peningkatan konsentrasi asam laktat darah antara sebelum dan
55
sesudah latihan terhadap sekelompok orang pada latihan bench press (Bloomer dan Cole, 2009). Akumulasi asam laktat berlebihan akan mengganggu kontraksi otot. Meningkatnya asam laktat dan akumulasi karbondioksida menyebabkan kesukaran bernapas yang diikuti dengan kelelahan dan ketidaknyamanan (Sharkey, 2012). Pada saat olahraga dengan intensitas tinggi dalam waktu yang lama akan meningkatkan aliran darah pada otot yang aktif, yang dapat menyebabkan pembengkakan. Pembengkakan menyebabkan peningkatan tekanan yang merangsang reseptor nyeri sehingga dirasakan nyeri (Yuliastrid, 2012). Penumpukan asam laktat dapat menyebabkan asidosis sel otot (Gladden, 2009). Janssen (1993) menyatakan, ada beberapa kerugian yang diakibatkan oleh peningkatan konsentrasi asam laktat di antaranya adalah: 1). Mengakibatkan asidosis yang disebabkan karena rusaknya sel otot yang menyebabkan kebocoran sel otot. Dalam keadaan asidosis kinerja enzim menurun yang menurunkan kemampuan daya tahan aerobik. Penurunan ini dapat berlangsung berhari-hari dan kembali dalam keadaan semula dalam waktu antara 24 - 96 jam. 2). Mengganggu koordinasi. Dalam olahraga yang membutuhkan keterampilan tinggi seperti sepak bola dan bulu tangkis, latihan sebaiknya tidak dilakukan pada saat konsentrasi laktat antara 6 - 8 mM/L karena akan mengganggu koordinasi, sehingga latihan ketrampilan tidak bermanfaat. 3). Meningkatkan risiko cedera. Kerusakan ini apabila tidak pulih semuanya akan menyebabkan kerusakan yang lebih berat. 4). Terhambatnya pembentukan fosfokreatin. Pada keadaan otot bersifat asam, pembentukan kembali PC akan terhambat, sehingga pada latihan anaerobik seperti sprint didak dianjurkan pada kadar asam laktat yang tinggi. 5). Oksidasi lemak mengalami stagnasi. Pada kadar laktat yang tinggi suplai energi akan terganggu karena melambatnya oksidasi lemak.
56
Menurut Ulya (2009), kelelahan otot disebabkan karena penumpukan asam laktat. Penumpukan asam laktat pada intramuscular sangat erat hubungannya dengan penurunan penampilan. Akumulasi asam laktat akan menghalangi fungsi otot dan menyebabkan penurunan PH. Peningkatan asam laktat, akan meningkatkan konsentrasi ion H+. Sebaliknya, peningkatan ion H+ akan menghalangi eksitasi karena terjadi penurunan Ca+ dan gangguan dalam mengikat Ca+. Peningkatan ion H+ menyebabkan timbulnya kelelahan pada otot rangka (Septiani dkk., 2010). Penurunan PH menyebabkan penurunan reaksi enzim dalam sel otot karena enzim sangat peka terhadap perubahan PH. Penurunan kecepatan reaksi enzim mengakibatkan terjadinya penurunan metabolisme dan produksi ATP (Widiyanto, 2010b). Penurunan PH atau peningkatan konsentrasi ion H+ akan mengganggu metabolisme sel otot. Gangguan terhadap metabolisme sel otot yaitu berupa: 1). Menghambat enzim aerobik dan anaerobik sehingga menyebabkan penurunan daya tahan aerobik dan anaerobik. 2). Menghambat terbentuknya PC dan mengganggu koordinasi. 3). Menghambat enzim fosfofruktokinase. 4). Menghambat pelepasan ion Ca++ yang mengganggu kontraksi otot. 5). Menghambat aktivitas mATPase pada otot putih yang peka terhadap keadaan asam (Messonnier dkk., 2007; Joel, 2008). Latihan fisik dengan intensitas 50% VO2-Max dan submaksimal akan meningkatkan konsentrasi asam laktat dan menurunkan PH darah. Pada latihan fisik PH darah menurun mencapai 7,0 dan pada latihan fisik maksimal seperti lari cepat (sprint) PH darah mencapai 6,5 dari keadaan normalnya 7,4. Penurunan PH darah ini menyebabkan peningkatan asam laktat pada jaringan yang kekurangan O2 dan menurunkan glikolisis pada hati (Kusnanik dkk., 2011). Hasil penelitian Herdyanto dan Yonny (2007), ada penurunan PH darah setelah latihan fisik intensif dibandingkan dengan sebelum latihan dan kelompok kontrol. Menurut Amazine (2012b), asam laktat berperan dalam metabolisme, akan tetapi ada beberapa fakta tentang informasi asam laktat seperti berikut: 1). Asam laktat tetap diproduksi pada saat istirahat, yang jumlahnya meningkat sesuai dengan
57
peningkatan aktivitas. 2). Bukan hanya kekurangan oksigen, tetapi ketidak hadiran dari molekul nicotinomide adenine dinucleotide (NAD) dan flavin adenine dinucleotide (FAD) berperan jauh lebih tinggi terhadap peningkatan asam laktat. Kedua molekul ini berperan dalam mengangkut hidrogen ke dalam sel otot untuk memproduksi energi. 3). Asam laktat dipakai sebagai bahan bakar. Di mana dalam waktu 30 menit setelah aktivitas asam laktat akan menghilang di dalam otot, yang digunakan oleh hati sebagai sumber energi. 4). Peningkatan asam laktat mempercepat kelelahan yang akan menurunkan penampilan fisik atlet. Kelelahan ini disebabkan kerena peningkatan hidrogen yang mengurangi produksi ATP akibat dari penurunan enzim yang terlibat dalam produksi energi. Peningkatan hidrogen akan menghalangi kalsium. Penurunan kalsium akan menurunkan aktivitas otot. 5). Delayed onset muscle soreness (DOMS) yaitu rasa nyeri pada otot yang dirasakan setelah beraktivitas 24 - 48 jam. DOMS diakibatkan karena aktivitas berlebihan, yang dapat merusak otot atau jaringan ikat sehingga dirasakan nyeri. 2.7.4 Latihan Fisik dan Asam Laktat Asam laktat darah meningkat sebanding dengan meningkatnya intensitas latihan, yang menunjukkan transisi dari aktivitas aerobik dengan aktivitas anaerobik (Alfaro dkk., 2002; Budiman, 2006; Maxnes dan Sandbakk, 2012). Asam laktat akan meningkat apabila melakukan latihan fisik dengan intensitas tinggi (Muhardisyaflin, 2011). Latihan yang dilakukan dengan intensitas yang lebih tinggi menyebabkan akumulasi kadar asam laktat (Huteri, 2012; Ramadhan, 2012). Ada hubungan positif antara kadar asam laktat darah dengan frekuensi denyut nadi, baik frekuensi denyut nadi istirahat maupun frekuensi denyut nadi latihan (Sugiharto dan Sumartiningsih, 2012). Konsentrasi asam laktat darah dalam keadaan istirahat sebesar satu mM/L dan terus meningkat sesuai dengan peningkatan aktivitas. Saat aktivitas dengan intensitas 70 - 80% VO2Max asam laktat mencapai 4 mM/L (Hernawati, 2009). Pada akhir lomba, pelari jarak 400 meter meningkat menjadi 18 mM/L dan akan meningkat mencapai 23 mM/L pada atlet yang lebih intensif. Juga dinyatakan bahwa pelari yang
58
berlari dengan waktu 10 detik sampai 10 menit menghasilkan asam laktat melalui metabolisme anaerobik (Amazine, 2012b). Aktivitas fisik dalam intensitas submaksimal menyebabkan perubahan fungsi transportasi oksigen. Perubahan tersebut menurunkan produksi asam laktat atau peningkatan ambang anaerobik (Muhardisyaflin, 2011). Ambang laktat atau ambang anaerobik dapat didefinisikan sebagai titik di mana produksi laktat meningkat secara dramatis pada tingkat tertentu misalnya sebesar empat mM/L. Dalam keadaan ini akumulasi laktat mulai meningkat dan tubuh mulai tidak dapat memenuhi permintaan energi melalui mekanisme aerobik (Bompa dan Haff, 2009). Pemulihan asam laktat darah dan otot pada latihan melelahkan ke dalam keadaan normal membutuhkan waktu 1-2 jam. Pemulihan akan lebih cepat apabila diakhiri dengan pemulihan aktif dengan intensitas 50% VO2Max dibandingkan dengan pemulihan pasif. Pumulihan aktif akan lebih cepat menurunkan kadar asam laktat karena pada pemulihan aktif aliran darah masih tinggi yang dapat mempercepat difusi asam laktat keluar otot untuk segera dioksidasi (Kusnanik dkk., 2011). Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Purnomo (2011), bahwa asam laktat dalam darah berangsur-angsur menurun sesuai dengan penurunan waktu. Sugiharto dan Sumartiningsih (2012) mengatakan, pemulihan secara aktif selama lima menit setelah latihan argocycle dapat mempercepat penurunan asam laktat. Pemulihan asam laktat darah dapat dipercepat dengan manipulasi sport massage dan sirculo massage setelah latihan (Widiyanto, 2007a). Pemulihan asam laktat setelah latihan dengan intensitas submaksimal sangat berhubungan dengan VO2Max (Yuliastrid, 2013). Di samping itu suplemen juga sangat berpengaruh terhadap penurunan asam laktat. Pemberian pisang raja dapat menurunkan selisih konsentrasi asam laktat dibandingkan dengan plasebo (Bahri dkk., 2007).
59
2.8 Suhu Tubuh 2.8.1 Pengaturan Suhu Tubuh Suhu tubuh yang didapat dari hasil metabolisme yang sebagian besar menghasilkan panas, baik dar kontraksi otot lurik, otot jantung, maupun otot polos, berusaha dikeluarkan dari dalam tubuh melalui sistem pengaturan. Pengaturan suhu tubuh adalah pengaturan secara kompleks dari fisiologis tubuh dimana terjadi keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas sehingga suhu tubuh dipertahankan konstan sebesar 36,7 ± 0,2 oC (Ganong, 2012). Pengaturan suhu tubuh dilakukan oleh hipotalamus, yaitu organ tubuh yang terletak di dasar ventrikel otak ke-3. Kerja sistem ini tergantung dari karakteristik lingkungan, di mana respon tubuh bisa berupa kontriksi ataupun dilatasi pembuluh darah ke kulit dan dapat juga berupa menggigil atau berkeringat (Gabriel, 2012). Hipotalamus sebagai thermostat berfungsi meningkatkan dan menurunkan suhu tubuh. Apabila informasi dari reseptor panas menunjukkan adanya peningkatan suhu dari yang semestinya, maka akan dibangkitkan infuls eferen dari bagian anterior hipotalamus yang akan mengaktifkan mekanisme pembuangan panas dengan terbentuknya vasodilatasi pembuluh darah ke kulit dan mengaktifkan kelenjar keringat (Guyton dan Hall, 2012). Apabila informasi gabungan dari reseptor panas berupa penurunan suhu tubuh dari yang semestinya, maka hipotalamus yang terletak pada bagian posterior mengaktifkan mekanisme penyimpanan panas. Mekanisme penyimpanan panas ini akan diikuti dengan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah ke kulit dan diikuti dengan menggigil (Ganong, 2012). 2.8.2 Prinsip Pertukaran Suhu Tubuh Kehilangan cairan tubuh (insensible water loss) adalah kehilangan cairan tubuh yang berlangsung secara terus menerus melalui evavorasi dari traktus respiratori dan difusi melalui kulit. Kehilangan cairan tubuh melalui traktus respiratorius berkisar antara 300 - 400 mL/hari dengan rata-rata 350 mL/hari dan kehilangan cairan tubuh
60
melalui keringat kurang lebih 300 - 400 mL/hari. Ketika cuaca dingin ekstrim, tekanan atmosfir menurun, menyebabkan kehilangan cairan melalui respirasi meningkat yang menimbulkan perasaan kering pada saluran pernapasan (Guyton dan Hall, 2012). Tingginya produksi panas karena peningkatan aktifitas fisik perlu diimbangi dengan kecepatan pembuangan panas. Pembuangan panas dari tubuh ke lingkungan dapat melalui beberapa cara di antaranya adalah; radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi (Gabriel, 2012). 1). Radiasi Radiasi adalah transfer panas dari suatu permukaan objek ke objek lain tanpa mengalami kontak dari ke dua objek tersebut. Besarnya energi radiasi sama dengan tetapan Plank dikalikan dengan frekuensi radiasi. Dituliskan E = nhf, di mana E adalah energi radiasi, n adalah bilangan bulat, h adalah tetapan Plank, dan f adalah frekuensi radiasi. Tubuh manusia selalu memancarkan panas dalam bentuk gelombang infra merah. Pakaian berwarna terang lebih sedikit menyerap panas daripada yang berwarna gelap. Perubahan sikap tubuh menyebabkan permukaan radiasi berkurang, misalnya terjadi pengurangan permukaan radiasi sebesar 10 - 15% dari sikap berdiri ke duduk (Cameron dkk., 2012). 2). Konduksi Konduksi adalah perpindahan panas dari objek yang mempunyai temperatur lebih tinggi ke objek yang lainnya yang mempunyai temperatur lebih rendah. Kecepatan perpindahan panas konduksi dari tubuh ke lingkungan tergantung dari perbedaan suhu antara tubuh dan lingkungan yang bersentuhan langsung. Oleh karena itu, pemanjat tebing dapat mempercepat kehilangan panas melalui konduksi pada material yang dipegangnya. Udara yang terjebak di antara sela pakaian, merupakan isolator yang baik terhadap dingin, sehingga pakaian untuk mencegah kedinginan bukan ditentukan oleh tebalnya pakaian, tetapi lebih ditentukan oleh berapa banyak bahan pakaian itu dapat memerangkap udara (Gabriel, 2012).
61
3). Konveksi Konveksi atau aliran adalah perpindahan panas dari suatu objek ke objek yang lainnya di mana zat perantara ikut berpindah. Perpindahan ini terjadi karena massa jenis udara panas lebih ringan dibandingkan dengan udara dingin. Pertukaran panas secara konveksi dapat terjadi pada media air atau udara yang mengenai tubuh. Angin yang secukupnya mengenai tubuh dapat mempercepat kehilangan panas. Hal ini terjadi bila terkena aliran angin dari kipas angin atau bila tubuh bergerak terhadap udara atau air, misalnya bersepeda, ski atau berenang, atau berada dalam air yang mengalir, sehingga kehilangan panas berjalan lebih cepat. Pakaian yang dipakai menyebabkan udara terjebak di permukaan kulit dan menjadi panas, dengan demikian akan mengurangi pembuangan panas. Sebaliknya dalam iklim panas, tubuh dapat menerima panas lingkungan melalui konveksi (Cameron dkk., 2012). 4). Evaporasi Evaporasi atau penguapan adalah perpindahan panas dari objek ke objek yang lainnya melalui cairan menjadi uap. Evaporasi adalah cara terpenting pembuangan panas selama olahraga dalam iklim apapun. Peristiwa ini terjadi bila keringat berubah status dari cair menjadi uap dan panas diambil dari tubuh. Pembuangan panas ini terjadi dari difusi keringat melalui kulit akibat rangsangan suhu, sekresi kelenjar keringat dan penguapan melalui saluran pernapasan. Bila pengeluaran panas dalam lingkungan panas tidak terjadi, maka suhu inti tubuh pada orang yang berlatih berat dalam 20 menit meningkat dari 37 oC menjadi 40 oC. Evaporasi berkurang apabila kelembaban relatif lingkungan tinggi. Kelembaban tinggi pada lingkungan yang panas akan mempersulit pengeluaran panas tubuh. Keadaan ini akan mempercepat pengeluaran keringat dan mempercepat terjadinya dehidrasi (Cameron dkk., 2012).
62
2.9 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penampilan Fisik dalam Olahraga Untuk mencapai penampilan puncak pada aktivitas fisik perlu memperhatikan beberapa faktor, yang secara garis besarnya dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu faktor intenal dan faktor eksternal. 2.9.1
Faktor Internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh atlet sendiri di
antaranya; umur, genetik, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, teknik, mental, motivasi, disiplin dan pengalaman. 1. Umur. Hampir semua komponen biomotorik dipengaruhi oleh umur. menunjukkan tingkat kematangan
Umur
yang berkaitan dengan pengalaman.
Peningkatan kekuatan otot berkaitan dengan pertambahan umur, dimensi, anatomi atau diameter otot dan kematangan seksual.
Kekuatan otot terus
meningkat sampai mencapai puncaknya pada umur 20-30 tahun. Setelah umur tersebut kekuatan otot akan menurun mencapai 20% pada umur 65 tahun dari kekuatan puncaknya umur 20-30 tahun (Nala, 2011). 2. Genetik. Genetik bersifat pembawaan yang sering kali ikut berperan dalam penampilan fisik seperti proporsi tubuh, karakter fsikologis, otot putih dan otot merah serta suku (Astrand dan Rodahl, 2003). Pengaruh genetik terhadap kecepatan, kekuatan dan daya tahan pada umumnya berhubungan dengan komposisi serabut otot yang terdiri dari serabut otot putih dan otot merah. Atlet yang memiliki lebih banyak serabut otot putih lebih mampu untuk melakukan kegiatan yang bersifat anaerobik, sedangkan yang lebih banyak memiliki serabut otot merah lebih tepat melakukan kegiatan yang bersifat aerobik. Dengan demikian faktor genetik juga berpengaruh terhadap pencapaian prestasi atlet. 3. Jenis kelamin. Secara umum jenis kelamin mempengaruhi kemampuan anak dalam beraktivitas apalagi setelah mengalami pubertas, baik kekuatan, daya tahan, maupun kecepatan. Hal ini terjadi karena adanya hormon testosteron pada anak laki-laki (Astrand dan Rodahl, 2003). Perbedaan kekuatan otot antara pria
63
dan wanita disebabkan oleh adanya perbedaan proporsi dan besar otot dalam tubuh. Pada umur yang sama setelah wanita mengalami menstruasi mengalami peningkatan jaringan lemak sehingga atot wanita yang aktif relatif lebih sedikit. Perbedaan nilai kekuatan otot tidak sama setiap kelompok otot.
Pada otot
ekstensor dan fleksor panggul nilai kekuatan otot wanita 80% dari pada laki-laki, kekuatan alat tubuh bagian atas hanya 50% dari laki-laki, sedangkan alat tubuh bagian bawah berkisar antara 30% lebih lemah dari laki-laki. Dengan demikian jelas bahwa jenis kelamin mempengaruhi penampilan fisik. 4. Berat badan. Berat badan seseorang sangatlah bersifat individual, yang berarti bahwa orang yang mempunyai berat lebih tinggi belum tentu lebih gemuk daripada yang mempunyai berat lebih rendah. Akan tetapi kelebihan berat badan ditandai dengan terjadi peningkatan berat badan sebesar 10-19% di atas berat badan ideal, 20% ke atas disebut dengan obesitas (Ludington dan Diehl, 2011). Berat badan sangat mempengaruhi penampilan fisik dalam berolahraga. Hal ini disebabkan karena berat badan merupakan gaya berat yang dipengaruhi oleh percepatan gravitasi. Makin tinggi gaya berat, maka gaya otot yang dibutuhkan untuk mengangkat badan semakin besar. Sehingga dengan gaya otot yang sama pada berat badan yang lebih kecil akan lebih mudah tubuh terangkat. Sehingga penampilan dalam berolahraga semakin meningkat. 5. Indeks massa tubuh.
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan hasil dari
perhitungan antara berat badan (BB) dengan kuadrat tinggi badan (TB) yang dituliskan dengan IMT = BB/TB2 (kg/mt2) (Kuntaraf dan Kuntaraf, 2009). 6. Kebugaran fisik. Menurut Giriwijoyo (2007), kebugaran fisik adalah kecocokan keadaan fisik untuk dapat melaksanakan tugas fisik tertentu dengan hasil yang baik sesuai dengan tugasnya. Kebugaran fisik dikaitkan dengan kemampuan individu untuk bekerja dengan lebih efektif dan menikmati masa senggang, hal ini hanya dapat dicapai dengan olahraga secara berkelanjutan (Kementrian Pelajaran Malaysia, 2010). Kebugaran fisik merupakan kemampuan untuk
64
melakukan kegiatan sehari-hari tanpa merasa lelah berlebihan dan masih memiliki cadangan tenaga untuk menikmati waktu luang dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya mendadak (Nala, 2011). Daya tahan umum yang menyangkut kemampuan paru, jantung dan pembuluh darah (Respiratio Cardiovascular Endurance) adalah merupakan salah satu unsur utama kebugaran fisik. Daya tahan paru, jantung, dan pembuluh darah dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan tugas-tugas berat yang melibatkan kelompok-kelompok otot besar untuk jangka waktu yang lama. Tingginya tingkat daya tahan umum menunjukkan tingginya kapasitas kerja fisik, yang merupakan kemampuan untuk melepaskan jumlah energi yang relatif tinggi dalam jangka waktu yang lama (Ananto, 2000). Kebugaran fisik didapat dari olahraga yang meningkatkan HDL yaitu pada model olahraga yang lebih aktif atau aerobik yang membuat terjadi peningkatan denyut jantung dan memerlukan pergerakan tubuh yang berirama dan napas dalam (Neil-Nedley, 2009). Kebugaran fisik dapat diukur dengan berlari secepat-cepatnya sejauh 2,4 km yang dinyatakan dalam waktu tempuh, satuan menit, ketelitian 0,01 menit. 7. Intensitas latihan. Intensitas latihan ditentukan oleh besar daya yang diperlukan dan dapat disediakan oleh mekanisme metabolisme anaerobik persatuan waktu. Secara subjektif dintensitas latihan itentukan oleh besar kesenjangan antara metabolisme aerobik (kemampuan memasok O2) terhadap metabolisme anaerobik (tanpa tuntutan akan O2) yang terjadi (Giriwijoyo, 2007). 8. Teknik. Teknik sangat menentukan penampilan dalam berolahraga. Tanpa penguasaan teknik yang memadai sulit untuk memperoleh prestasi yang diharapkan. Dalam penelitian ini semua sampel dianggap mempunyai teknik yang sama karena semua sampel sebelumnya telah diajarkan teknik. Sebelum pengambilan data diajarkan teknik dasar dengan volume, waktu dan teknik yang sama dan telah dicoba dengan kesempatan yang sama setiap sampel.
65
9. Mental. Mental tidak kalah pentingnya dibandingkan faktor-faktor di atas karena betapapun sempurnanya fisik, teknik dan taktik apabila mentalnya kurang bagus penampilan puncak tidak mungkin tercapai. Oleh karena itu mental perlu ditingkatkan dengan cara pelatihan. Pelatihan mental ini penekanannya pada perkembangan kedewasaan serta emosional dan impulsif misalnya; semangat bertanding, sikap pantang menyerah, sportivitas, percaya diri, dan kejujuran. Dengan memberikan pelatihan maka fungsi fisiologis dan fsikologis tubuh meningkat sehinga mampu mencapai puncak penampilannya (Pinel, 2009). 10. Motivasi. Motivasi untuk berprestasi setinggi-tingginya atau ingin sukses merupakan faktor yang menentukan prestasi atlet dengan cara memakai daya dan upaya yang ada. Dengan motivasi yang tinggi dapat meningkatkan besar dan frekuensi infuls saraf sehingga membangkitkan tenaga yang tinggi dan akan mempercepat pelaksanaan gerak (Narendra, 2008). 11. Disiplin. Faktor disiplin juga penting diperhatikan untuk mencapai penampilan puncak. Disiplin ini termasuk dalam pelatihan, kehadiran dalam berlatih dan disiplin dalam pengambilan data. Tanpa disiplin yang tinggi atlet sulit untuk mencapai prestasi yang diinginkan (Narendra, 2008). 12. Pengalaman.
Pengalaman juga ikut berperan dalam mencapai penampilan
puncak, baik menyangkut teknik, mental maupun kemampuan dalam mengatasi hambatan eksternal seperti hambatan udara (Enamait, 2005). 2.9.2 Faktor Eksternal Faktor eksternal sangat mempengaruhi penampilan fisik atlet. Faktor tersebut menyangkut; suhu dan kelembaban lingkungan, arah dan kecepatan angin, dan ketinggian tempat. 1. Suhu dan kelembaban relatif udara. Pada umumnya orang Indonesia beraklimatisasi pada suhu tropis antara 18-30 oC dengan kelembaban relatif bervariasi antara 40-60%. Bila atlet biasa berlatih pada suhu lingkungan sebesar 29 oC kemudian akan bertanding pada tempat panas dengan temperatur lebih
66
tinggi, maka harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan selama 12-14 hari dan bila temperatur tempat bertanding lebih kecil dibandingkan tempat latihan penyesuaian hanya dibutuhkan beberapa hari saja. Penyesuaian ini dilakukan dengan cara berlatih di tempat bertanding dalam waktu tertentu atau membuat ruangan tempat berlatih suhunya sama dengan di tempat bertanding (Giriwijoyo, 2007). Penurunan atau peningkatan suhu udara secara langsung akan mempengaruhi kelembaban relatif udara dengan perbandingan berbanding terbalik (Kanginan, 2000). Perubahan ini akan mempengaruhi penampilan fisik atlet bila berada di luar batas kenyamanan. 2. Arah dan kecepatan angin. Arah dan kecepatan angin tidak berpengauh bila aktivitas dilakukan di dalam ruangan (indor). Arah angin diukur dengan bendera angin atau kantong angin sedangkan kecepatannya dengan anemometer (Kanginan, 2000). Arah dan kecepatan angin tempat penelitian berada pada batas toleransi, apalagi penelitian dilakukan di dalam ruangan. Diharapkan pengaruhnya dapat ditekan sekecilnya atau tempat pengambilan data berada pada kondisi yang sama. 3. Ketinggian tempat. Setiap peningkatan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut terjadi penurunan percepatan gravitasi sebesar 0,3 cm/dt2 (Cameron dkk., 2012). Hal ini akan mempengaruhi penampilah fisik. Tempat yang percepatan gravitasinya rendah akan lebih mudah mengangkat tubuh karena beratnya berkurang sebanding dengan penurunan percepatan gravitasi. Keuntungan ini dibayar dengan kerugian yang lebih besar yaitu setiap ketinggian 100 meter di atas permukaan laut akan terjadi penurunan tekanan udara sebesar 6-10 mmHg (Gabriel, 2013; Pulung dan Ika, 2006). Penurunan tekanan udara ini akan menurunkan kadar O2. Sehingga bila atlet biasa berlatih di dekat permukaan laut kemudian bertanding di tempat tinggi dengan kadar O2 rendah, maka frekuensi pernapasannya akan meningkat karena konsumsi O2 sama dengan saat berlatih sedangkan banyaknya O2 yang dihirup sekali nafas berkurang. Hal ini akan
67
menjadi beban yang cukup besar. Ketinggian tempat pengambilan data antara 075 meter di atas permukaan laut (Wikipedia, 2011). Ketinggian tempat dianggap tidak berpengaruh terhadap hasil penelitian karena subjek terbiasa beraktivitas tidak jauh dari tempat penelitian dan pada tempat yang sama pada ke dua kelompok. 2.10
Pemanasan Pemanasan yang cukup memadai dalam suatu aktivitas fisik, baik kerja atau
olahraga sangat perlu dilakukan, karena ketika beristirahat sistema tubuh berada dalam keadaan tidak aktif. Untuk itu perlu diadakan adaptasi selama beberapa menit, baik fisik maupun fsikologis dari sikap pasif ke sikap aktif. Pemanasan yang dilakukan akan meningkatkan suhu tubuh terutama otot skeletal meningkat dengan cepat (McGowan dan Castolli, 2007). Jumlah darah yang mengangkut oksigen ke otot skeletal meningkat pula yang akan mengaktifkan sumber energi di dalam otot dan merangsang keluarnya hormon serta meningkatkan kerja enzim (Nala, 2011). Pemanasan akan membantu berlatih lebih baik dan mengurangi rasa sakit yang biasanya dirasakan. Pemanasan bertujuan untuk menyiapkan otot menjalani pelatihan inti dan memungkinkan persediaan oksigen mempersiapkan diri untuk menghadapi latihan. Diuraikan bahwa otot akan berfungsi lebih baik jika suhu tubuh telah meningkat dari normal (Burke (2001). Pendapat di atas didukung oleh Brick (2002), yang menyatakan ada lima alasan dilakukannya pemanasan, yaitu; 1). berangsur-angsur menaikkan denyut jantung, 2). Mempersiapkan otot-otot dan sendi, 3). Meningkatkan suhu inti tubuh, 4). Meningkatkan sirkulasi darah dalam tubuh, dan 5). Mempersiapkan diri secara psikologis dan emosional. Pemanasan ini sangat bermanfaat untuk menunjang kinerja sel otot skeletal, otot jantung, paru, dan pembuluh darah. Selain itu pemanasan juga mengaktifkan sistem saraf yang mengkoordinasikan kinerja sistem tubuh lainnya sehingga menjadi lebih baik. Meningkatkan kecepatan infuls saraf yang merambat melalui rangsangan dari pusat rangsangan menuju saraf motorik dan tujuan akhirnya otot skeletal. Akibatnya
68
adalah mempercepat reaksi motorik, meningkatkan reflek dan kontraksi otot serta koordinasinya, sehingga penampilan atlet akan diperbaiki, cedera dikurangi, dan mental menjadi tambah siap untuk bertanding. Pemanasan yang umum dilakukan dalam olahraga adalah pemanasan aktif, yaitu dengan aktivitas fisik, bukan pemanasan pasif seperti; mandi uap, menggunakan selimut panas, sinar inframerah, dengan bahan kimia yang efeknya sangat terbatas pada organ tubuh, tidak setinggi aktivitas fisik yaitu dengan kontraksi otot (Chandler dan Broown, 2008; Guyton dan Hall, 2012). Intensitas dan durasi pemanasan bervariasi tergantung dari aktivitas yang dilakukan. Pemanasan untuk mengerahkan seluruh otot tubuh berkisar antara 20-30 menit atau 10-20 menit (Bompa dan Haff, 2009) sedangkan Powers dan Howley (2009) menyatakan, denyut jantung meningkat 20-40 persen dari denyut jatung istirahat dengan 5 menit terakhir digunakan untuk pemanasan khusus. Menurut Burke (2001) serta Thomas dkk. (2008), waktu yang dibutuhkan untuk pemanasan kira-kira 5-10 menit, atau jika menggunakan patokan denyut jantung telah mencapai 50-60% denyut nadi maksimum. Patokan lain adalah keluarnya keringat yang tergantung dari berbagai faktor yaitu; suhu dan kelembaban lingkungan, umur, kebugaran fisik, berat ringannya aktivitas dan lain-lain. Tipe pemanasan yang dilakukan tergantung dari cabang olahraganya. Menurut Nala (2011), tipe pemanasan dibagi menjadi tiga tahapan yaitu: 1. Peregangan, merupakan aktivitas otot yang pertama kali dilakukan dalam pemanasan. Gerakannya tidak boleh dilakukan secara tiba-tiba, tetapi perlahanlahan untuk mengindari cedera. Pada setiap akhir peregangan posisinya ditahan selama 20-30 detik. Peregangan membantu darah kembali ke jantung, menurunkan risiko cedera dan merasakan diri santai (Brick, 2002). 2. Kalisthenik, adalah menggerakkan sekelompok otot yang secara aktif berulangulang dengan tujuan untuk meningkatkan suhu dan aliran darah pada otot yang
69
terlibat. Misalnya gerakan baring-duduk (sit-ups) untuk meningkatkan suhu dan aliran darah pada perut dan pinggang, yang dilakukan cukup 5-10 kali. 3. Aktivitas spesifik, merupakan gerakan pemanasan yang disesuaikan dengan aktivitas yang dilakukan. Jadi disesuaikan dengan olahraga spesialisasinya. 2.11 Pendinginan Pendinginan adalah bagian dari sesi latihan yang berperan khusus sebagai proses tubuh kembali ke kondisi normal, termasuk kondisi biomekanis, fisiologis, psikologis dan spiritual atau keadaan sebelum latihan (Brick, 2002). Bila latihan dilakukan, sangat penting untuk kembali pada tahap semua organ tubuh berada pada tingkat normal mereka. Hal ini bertujuan untuk memulihkan kekuatan otot, relaksasi, teknik dan koordinasi, ketepatan gerakan, dan kondisi mental. Arti psikologis dari pendinginan baik setelah olahraga sehari-hari maupun setelah pertandingan sering diabaikan, walaupun sebetulnya sangatlah penting dilakukan (Giriwijoyo, 2007). Pendinginan bentuknya kurang lebih sama dengan pemanasan yaitu berupa gerakan-gerakan ringan yang menyerupai peregangan dan pelemasan. Latihan pendinginan adalah gerakan ringan yang untuk membantu melancarkan sirkulasi darah (mengaktifkan pompa pena), sehingga akan membantu mempercepat pengangkutan sisa metabolisme dari otot yang aktif saat melakukan aktivitas berat sehingga rasa pegalpegal dapat dikurangi. Pada hakekatnya pendinginan merupakan auto massage yaitu memijat oleh diri sendiri (Giriwijoyo, 2007). Pendinginan dilakukan dengan menurunkan intensitas latihan secara berangsur-angsur selama beberapa menit hingga mencapai denyut jantung 50% dari denyut maksimum (Burke, 2001). Jadi pendinginan merupakan latihan multi-dimensi dan harus dilakukan secara serius sebagai bagian utama dari sesi latihan. Bagian ini tidak memakan waktu banyak, tetapi bisa sedikit lebih lama dari pemanasan, karena kembalinya fungsi tubuh ke normal bisa menjadi merupakan proses yang lebih dituntut dibandingkan pemanasan. Bila ada lebih banyak kesempatan, pendinginan bisa dilakukan lebih lama dibandingkan waktu yang digunakan untuk pemanasan (Narendra, 2008).