2
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang berjudul “Peningkatan Kemampuan MembacaAnak Disleksia MelaluiMetode Fonik di Taman Kanak-Kanak Islam Adzkia Bukit Tinggi”. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) dengan subjek 20 orang anak TK. Penggunaan metode pengambilan data dalam penelitian ini adalah melalui observasi dan portofolio. Hasil penelitiannya menunjukkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terhadap 20 orang anak ini menunjukkan hasil yang positif terhadap peningkatan kemampuan membaca anak melalui metode fonik. Dalam jurnal lain yang juga memiliki beberapa kesamaan yaitu penelitian berjudul “Pengaruh Permainan Scrabble TerhadapPeningkatan Kemampuan Membaca pendekatan
kuantitatif
Anak
Disleksia”.
Penelitian ini
yang menyajikan data berupa
menggunakan
angka.
Subyek
penelitiannya adalah 2 orang anak Madrasah Ibtida‟iyah penyandang disleksia.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen subjek tunggal dengan pola desain A-B-A. Hasil akhir penelitian ini menunjukkan peningkatan kemampuan membaca pada subjek 2. Peningkatan kemampuan membaca ini setelah adanya perlakuan serta motivasi keluarga.
8
3
Selanjutnya penelitian ini juga relevan dengan penelitian yang berjudul “Pelaksanaan Pengajaran Membaca Menggunakan Kaedah Fonik Peringkat Prasekolah
Brunei
Darussalam”.Penelitian
ini
bersifat
kualitatif
yang
menggunakan teknik analisis dokumen.Subjek penelitian ini sebanyak 69 murid prasekolah di salah satu sekolah yang ada di Brunei. Subyek penelitian ini terdiri dari kelompok A 22 anak, kelompok B 23 anak dan kelompok C 24 anak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kelompok C memperoleh pencapaian tertinggi dalam tahapan proses membaca. Selain itu, penelitian ini juga relevan dengan penelitian lainnya yang berjudul “Metode Phonik Terhadap Kemampuan Membaca Permulaan Anak Tunagrahita Ringan Kelas III di Sekolah Luar Biasa”. Jenis penelitiannya adalah Pra-Eksperimen dengan desain “one group pretes postes design”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan subjek penelitian sebanyak 6 orang anak penyandang Tuna Grahita Ringan di kelas III SLB Dharma Wanita Madiun. Dari hasil penelitian diketahui bahwa kemampuan membaca anak Tuna Grahita ringan mengalami kenaikan dari nilai rata-rata 48,2 menjadi 72,2. Berdasarkan
hasil
dari
beberapa
penelitian
tersebut
penulis
menyimpulkan bahwa penelitian tersebut memiliki relevansi dengan penelitian penulis. Relevansi itu terdapatpada kesamaan beberapa variabel tentang penggunaan metode fonik dalam pembelajaran membaca.Perbedaannya terletak pada pemilihan variabel yang dikaitkan dengan variabel metode fonik dimana penulis memilih penggunaan metode fonik untuk meningkatkan kemampuan
4
siswa berkesulitan membaca (disleksia). Perbedaannya juga dapat dilihat dari segi teori dan metode yang digunakan. Selanjutnya penelitian ini juga relevan dengan penelitian lain dengan judul “Penanganan Anak Disleksia Melalui Metode Fonik (Bunyi) di TK Aisyiah Bustanul Athfal IV Ngerendeng Kaloran Gemolong Tahun Ajaran 2011/2012”. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus.dengan subyek penelitian yaitu anak disleksia berusia 5-6 tahun.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode fonik kesulitan anak dalam membaca dapat sedikit berkurang. Mereka sedikit demi sedikit dapat membedakan huruf dan membaca beberapa huruf dengan benar. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Arini Vidya Miyantika ini, Penelitian ini memiliki beberapa kesamaan dengan penelitian yang penulis kembangkan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan variabel a dan variabel b memiliki keterkaitan yang sama dengan penelitian penulis yaitu metode fonik untuk anak disleksia. Penelitian yang dilakukan penulis dalam hal ini adalah usaha membantu anak disleksia agar mampu membaca. Metode fonik sangat baik digunakan dalam peningkatan kemampuan membaca. Metode ini menyenangkan dan dapat mengembangkan berbagai aspek perkembangan anak. Peningkatan kemampuan membaca melalui metode fonik memberikan kesempatan kepada anak untuk terlibat langsung secara aktif dan kreatif. Metode yang digunakan penulis dalam pengumpulan data, dilakukan secara bersiklus sesuai dengan prinsip PTK untuk mengukur kemampuan anak dalam membaca. Setiap siklusnya akan di evaluasi sebagai bahan pertimbangan pada tindakan untuk siklus selanjutnya.
5
2.2 Teori Belajar 2.2.1 Kesulitan Belajar Blassic dan Jones (dalam Irham dan Wiyani, 2013:253-254) menjelaskan bahwa kesulitan belajar adalah “suatu gejala
yang menunjukkan adanya
kesenjangan atau jarak antara prestasi akademik yang diharapkan dengan prestasi akademik yang dicapai oleh siswa pada kenyataannya (prestasi aktual)”. Sedangkan menurut Rumini (dalam Irham dan Wiyani, 2013:254) kesulitan belajar merupakan “suatu kondisi saat siswa mengalami hambatan-hambatan tertentu untuk mengikuti proses pembelajaran dan mencapai hasil belajar secara optimal”. Dari kedua penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar adalah suatu kondisi dimana anak mengalami hambatan dalam proses pembelajaran yang menyebabkan adanya kesenjangan prestasi akademik yang diharapkan dengan prestasi yang dicapai (prestasi belajar rendah). Kesulitan belajar pada intinya merupakan sebuah permasalahan yang menyebabkan seorang siswa tidak dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik seperti siswa lain pada umumnya yang disebabkan faktor-faktor tertentu sehingga ia mengalami keterlambatan dalam belajar atau bahkan tidak dapat mencapai tujuan belajardengan baik sesuaidengan yang diharapkan. Pada dasarnya, siswa akan dikatakan mengalami kesulitan belajar apabila ia tidak mampu menguasai materi pembelajaran yang disampaikan guru.
6
Kesulitan belajar yang dialami siswa akan berpengaruh terhadap aktivitas siswa baik di sekolah, rutinitas keseharian, kehidupan keseharian, kehidupan
keluarga,
hubungan
dengan
teman
sebaya
bahkan
dalam
persahabatan dan bermain. Dengan demikian, kesulitan belajar apapun bentuknya akan menghambat proses belajar siswa yang pada akhirnya akan berdampak pada aspek-aspek kehidupan lainnya. Anak disleksia seringkali menampakkan gejala ketegangan, seperti mengernyitkan dahi, gelisah, ketidakstabilan intonasi suara, seringkali menggigit bibir bawah dan gejala-gejala serbaneka lainnya. Mereka juga akan merasakan ketakutan yang menyebabkan dirinya merasa tidak aman. Ahmad dan Supriyono (dalam Irham dan Wiyani, 2013:258) membagi kesulitan belajar ke dalam beberapa jenis sebagai berikut : 1)
2) 3)
4)
Dilihat dari jenis kesulitannya, kesulitan belajar dikelompokkan menjadi kesulitan belajar ringan,kesulitan belajar sedang dan kesulitan belajar tingkat berat. Dilihat dari jenis bidang studi yang dipelajarinya, kesulitan belajar pada sebagian kecil maupun sebagian besar bidang studi. Dilihat dari sifat kesulitannya, kesulitan belajar pada siswa dapat berupa kesulitan belajar yang sifatnya menetap atau permanen dan kesulitan belajar yang sifatnya sementara. Dilihat dari faktor penyebabnya,kesulitan belajar pada siswa dapat berupa kesulitan belajar karena faktor inteligensia dan kesulitan belajar karena faktor non-inteligensi.
Abdurrahman (2012:2) menjelaskan tentang kesulitan belajar yaitu berupa
gangguan
seperti
menampakkan
diri
dalam
bentuk
kesulitan
mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau berhitung. Berdasarkan penjelasan Abdurrahman tersebut dapat dilihat bahwa kesulitan belajar itu tidak hanya dialami pada satu bidang ilmu pengetahuan.
7
Kesulitan belajar pada hakikatnya merupakan suatu gejala yang tampakdalam berbagai jenis perwujudan tingkah laku (biopsikososial) baik secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat permanen dan memiliki potensi menghambat berbagai tahapan belajar siswa.Apapun bentuknya, kesulitan belajar merupakan suatu hambatan bagi anak untuk memperoleh pengetahuan.
2.3 Hakikat Membaca 2.3.1 Pengertian Membaca Dalman (dalam Suryani, 2015:10) mengartikan membaca sebagai suatu kegiatan atau proses kognitif yang berupaya untuk menemukan berbagai informasi yang terdapat dalam tulisan.
Sedangkan pengertian membaca
menurut Tarigan (dalam Suryani, 2015:10) adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media-media kata bahasa tulis. Kemudian Tampubolon (dalam Suryani, 2015:11) menyatakan bahwa membaca adalah satu dari empat kemampuan bahasa pokok dan merupakan satu bagian
atau
komponen
dari
komunikasi
lain.
Dalam
komunikasi
tulisan,sebagaimana telah dikatakan lambang-lambang tulisan atau huruf-huruf. Dari beberapa penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa membaca merupakan suatu kegiatan memperoleh informasi melalui bahasa tulis dalam bentuk lambang-lambang bunyi bahasa.Pada dasarnya membaca merupakan suatu proses pemerolehan pesan/informasi melalui media kata-kata atau bahasa tulis.
8
Membaca merupakan sebuah proses yang melibatkan kemampuan visual dan kemampuan kognisi. Kedua kemampuan ini diperlukan untuk memberikan lambang-lambang huruf agar dapat dipahami dan bermakna karena secara individual setiap anak memiliki kemampuan membaca yang berbeda. Dalam pengertian lain, Mercer (dalam Abdurrahman, 2012:158) menyatakan pendapatnya tentang kemampuan membaca yang tidak hanya memungkinkan seseorang meningkatkan keterampilan kerja dan penguasaan berbagai
bidang
akademik
tetapi
juga
memungkinkan
berpartisipasi
dalamkehidupan sosial-budaya, politik dan memenuhi kebutuhan emosional. Kemudian Lerner (dalam Abdurrahman,2012:157 ) menekankan bahwa anak harus belajar membaca agar ia dapat membaca untuk belajar. Dari beberapa pendapat tersebut jelaslah bahwa membaca merupakan aspek yang sangat penting sebagai kunci untuk menguasai berbagai bidang ilmu lainnya. Membaca merupakan tolak ukur dalam mencapai sebuah keberhasilan belajar membaca juga sebagai upaya menggaliinformasi dari berbagai jenis teks sesuai dengantujuan membaca untuk memperoleh informasi menggunakan strategi-strategi tertentu yang berupa keterampilan. Keterampilan membaca dapat dimulai sejak dini pada usia Sekolah Dasar
melalui
proses
membaca
permulaan.
Abdurrahman
(2012:159)
menjelaskan tentang tahapan membaca permulaan yang pada umumnya dimulai sejak anak masuk kelas satu Sekolah Dasar.
9
2.3.2 Karakteristik Membaca Suryani (2015:17) mengartikan “Membaca sebagai pengucapan katakata,mengidentifikasi kata dan mencari arti dari sebuah teks”.Dikatakan oleh Saadah dan Hidayah (2013:40) “Kemampuan membaca adalah kesanggupan dalammengucapkan dan memahami simbol-simbol tertulis melalui sebuah rangsangan dan juga ingatan”. Membaca untuk tingkat SD meliputi kegiatan membaca permulaan dan membaca tingkat lanjut. Menurut Kuntarto (2013:7) membaca permulaan merupakan hal pertama yang di ajarkan kepada anak pada awal masa sekolah. Selanjutnya, kemampuan ini menjadi landasan dasar bagi pemerolehan pengetahuan bidang-bidang ilmu lainnya di sekolah. Membaca yang dilakukan di tingkat awal inilah yang disebut sebagai membaca permulaan karena seluruh kemampuan dasar membaca terbentuk pada tahap ini. Maulani (dalam Yusniwati,2012:3)menjelaskan tentang kemampuan membaca awal yaitu membaca yang memang diprogramkan untuk anak usia sekolah dan menjadi usaha untuk mempersiapkan anak memasuki pendidikan dasar. Dari kedua penjelasan tersebut, kemampuan membaca dapat diperoleh pada usia dini bahkan pada usia pra sekolah untuk mempersiapkan anak memasuki usia pendidikan dasar sebagai upaya mengembangkan kemampuan membaca yang meliputi kepandaian dalam mengucapkan dan memahami simbol-simbol tulis.
10
Tujuan membaca permulaan seperti dikutip dari Kuntarto (2013:8-9) adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Ruspitasari
Memupuk dan mengembangkan kemampuan anak-anak untuk memahami dan mengenalkan cara membaca dengan benar. Melatih dan mengembangkan kemampuan anak untuk mengenal huruf-huruf. Melatih dan mengembangkan kemampuan anak untuk mengubah tulisan menjadi bunyi bahasa. Memperkenalkan dan melatih anak mampu membaca sesuai dengan teknik-teknik tertentu. Melatih keterampilan anak untuk memahami kata-kata yang dibaca,didengar dan mengingatnya dengan baik. Melatih keterampilan anak untuk dapat menetapkan arti tertentu dari sebuah kata dalam suatu konteks.
(dalam
Yusniwati,2012:3)
menguraikan
beberapa
tahap
perkembangan membaca awal yaitu :(1)Tahap Fantasi (magical stage), (2)Tahap Pembentukan Konsep Diri (self concept stage), (3) Tahap Membaca Gambar (bridging reading stage), (4)Tahap Pengenalan Bacaan (take of reader stage) (5)Tahap Membaca Lancar (independent reader stage) Pada tahap fantasi (magical stage) anak akan lebih senang jika mendengarkan cerita-cerita. Oleh karena itu, pada tahap awal ini pendidik maupun orang tua hendaknya dapat memperdengarkan atau membacakan sebuah cerita baik bersumber dari buku maupun VCD. Indikator yangdigunakan adalah mengenal simbol-simboluntuk persiapan membaca. Pada tahap pembentukan konsep diri(self concept stage) ini anak mulai tertarik belajar membaca, mempelajari huruf-huruf dan sejenisnya. Pada tahap ini anak mulai belajar tentang huruf atau berusaha mengenali huruf dalam bentuk tulisan secara sederhana. Dalam hal ini anak sudah dapat dilibatkan dalam kegiatan membaca baik yang dilakukan guru di sekolah maupun usaha
11
orang tua mengenalkan anak tentang huruf-huruf secara mandiri di rumah. Indikator yang digunakan adalah mampu mengenal huruf abjad secara acak. Pada tahapan membaca gambar (bridging reading stage) ini mulai tumbuhkesadaran pada diri anak tentang arti membaca.Mulai memahami konsep membaca walaupun belum terlalu mendalam. Ia mulai belajar memahami suatu bentuk tulisan di dalam buku. Oleh karenanya, pada tahap ini baik pendidik maupun orang tua dapat menyediakan buku bacaan atau permainan-permainan bahasa melalui media kartu kata sebagai alat penduikung anak untuk belajar membaca. Hal ini dilakukan agar anak dapat memahami tulisan dalam buku serta memperbanyak penguasaan kosakata.Indikator yang digunakan adalah dapat memahami hubungan antara bunyi dengan bentuk huruf. Pada
tahap
pengenalan
bacaan
(take
offreader
stage)anak
mulaimenggunakan 3 sistem isyarat (graphophonic, semantic, syntactic) secara bersama-sama. Pada tahap ini anak mulai memahami konsep membaca, dimana ia telah mampu memahami dan mengartikan sebuah tulisan yang di bacanya secara sederhana. Anak mulai memahami konteks bacaan melalui media-media yang dekat dengan lingkungannya. Indikator yang digunakan adalah dapat membaca gambar yang memiliki kata sederhana. Pada tahap ini anak dapat membaca berbagai jenis buku yang berbeda secara bebas. Kemudian pada tahap membaca lancar (independent reader stage) dapat dikatakan anak telah memiliki kemampuan membaca sepenuhnya.Anak mulai mampu memahami beberapa isi tulisan dari beberapa suku kata. Dalam tahap ini, bahan-bahan bacaan yang disiapkan untuk anak hendaknya adalah bahan-
12
bahan yang dekat dengan pengalamannya sehingga pembelajaran membaca dapat lebih konkrit dan bermakna. Indikator yang digunakan adalah dapat mengerti dan mengenal beberapa suku kata. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, tahap membaca awal pada peserta didik ternyata meliputi 5 tahapan penting. Dari tahapan yang paling mendasar, tahapan-tahapan selanjutnya menjadi tingkatan yang semakin lama semakin meningkat hingga pada tingkatan membaca lancar. Tahapan-tahapan ini sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan intelektualitas anak. Hal ini dapat diartikan bahwa membaca pada anak usia pendidikan dasar tidak dapat diabaikan sebagai suatu tahapan yang sangat penting bagi perkembangan kemampuannya dalam membaca. Dari proses membaca awal inilah anak belajar memproses informasi dari simbol-simbol tulis agar dapat menginterpretasikannya dengan baik.
2.4Disleksia (Kesulitan Membaca) 2.4.1
Istilah Disleksia dalam Dunia Pendidikan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa disleksia
adalah istilah linguistik gangguan pada penglihatan dan pendengaran yang disebabkan oleh kelainan syaraf pada otak sehingga anak mengalami kesulitan membaca.Mercer dalam Abdurrahman (2012:162) mengemukakan kelompok karakteristik kesulitan belajar membaca yaitu berkenaan dengan : (1)Kebiasaan membaca, (2)Kekeliruan mengenal kata, (3)Kekeliruan pemahaman, (4)Gejalagejala serbaneka.
13
Dari beberapa karakteristik yang dikemukakan oleh Mercer dapat disimpulkan bahwa anak-anak yang mengalami disleksia berada pada posisi gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh adanya suatu masalah yang berkaitan dengan pengetahuan dan dapat mempengaruhi kemampuan anak dalam mengenali huruf, kata atau simbol-simbol tulis.Anak-anak disleksia mengalami hambatan-hambatan tertentu dalam mencapai tujuan belajar. Hal ini dapat ditandai dengan adanya kesulitan dalam tugas-tugas akademik, baik disebabkan oleh problem-problem saraf maupun sebab-sebab psikologis lain yang berpengaruh pada rendahnya prestasi belajar. Reynolds, dkk (dalamSaadahdan Hidayah,2013:41) mengemukakan bahwa disleksia adalah suatu kendala yang terjadi dalam proses belajar bahasa yang dapatmempengaruhi kemampuan dalam pengenalan huruf seperti membaca,
menulisdan
mengeja.
Kemudian
Abdurrahman
(2012:166)
berpendapat bahwa keraguan dalam membaca juga sering disebabkan anak kurang mengenal huruf atau karena adanya suatu gangguan kekurangan pemahaman. Kemampuan membaca pada anak normal biasanya sudah dapat terlihat sejak anak berusia enam sampai tujuh tahun. Namun, kasus lain justru muncul pada anak disleksia yang tidak mampu untuk itu pada usia normal. Bahkan, sampai usia dewasa anak disleskia masih mengalami kemungkinan gangguan membaca. Seperti misalnya pengucapan kata “pulang” menjadi “puang” atau “mandi” menjadi “pagi” dan lain sebagainya.
14
“Disleksia biasanya ditandai dengan adanyakesulitan membaca yang terjadi pada anak atau dewasa yang seharusnya telah menujukkan kemampuan dan motivasi membaca dengan benar dan lancar” (Lidwina, 2012:10).Pada dasarnya tidak ada perlakuan khusus terhadap anak disleksia, namun jika tidak ditangani dengan sungguh-sungguh maka akan menimbulkan dampak berkelanjutan pada kelas - kelas berikutnya. 2.4.2 FaktorPenyebabDisleksia Dardjowidjojo (dalam Lidwina, 2012:13-14) menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami disleksia yaitu sebagai berikut :1) Faktor Pendidikan, 2) Faktor Psikologis, 3) Faktor Biologis, dan 4) Kecelakaan Disleksia memiliki kemungkinan disebabkan oleh penggunaan metode dalam pengajaran membaca terutama metode “whole-word” yang mengajarkan kata-kata sebagai satu kesatuan daripada mengajarkan kata sebagai bentuk bunyi dari suatu tulisan. Apabila anak berada dalam tahap belum bisa mengenal dan membedakan huruf-huruf yang mirip seperti b dan d, maka seharusnya anak dikenalkan dengan huruf satu persatu secara terpisah dalam pembelajaran membaca.` Pengajaran awal dapat dimulai dengan memfokuskan pembelajaran dengan huruf b. Huruf b tersebut, oleh guru dapat dituliskan dalam ukuran yang besar untuk kemudian anak-anak mengucapkan huruf tersebut diikuti dengan tangannya yang juga membentuk huruf sesuai alur huruf b. Hal ini dapat dilakukan secara terus-menerus hingga anak dapat mengenaldan benar-benar menguasai huruf b tersebut.
15
Setelah itu pembelajaran dapat berlanjut ke huruf-huruf berikutnya misal huruf d. Pembelajaran dengan huruf d ini dapat dilakukan seperti metode pembelajaran pada huruf-huruf sebelumnya. Pembelajaran melalui metode fonetik ini yang mengajarkan anak nama-nama huruf berdasarkan bunyinya dianggap memberikan dasar yang baik untuk membentuk kemampuan membaca. Adapula yang berpendapat bahwa melalui pembelajaran dengan metode fonetik ini akan memudahkan anak dalam mempelajari kata-kata baru. Selain hal itu, disleksia dapat juga disebabkan oleh adanya gangguan fungsi bagian-bagian tertentu pada otak.Hal ini mungkin dikarenakan beberapa fungsi bagian otak anak disleksia mengalami perkembangan yang lebih lamban dibanding anak-anak normal. Oleh karena itu, diperoleh suatu gambaran yang mungkin menyebabkan sejumah kasus penting disleksia berat.Faktor genetik (biologis) dari keluarga juga diprediksi ikut berperan dalam menyebabkan kasus disleksia. Artinya anak yang mengalami disleksia adalah mereka yang memiliki riwayat orang tua berdasarkan garis keturunan yang juga mengalami kasus disleksia yang sama. Gangguan membaca atau mengenali huruf dan sejenis simbol lainnya dapat diakibatkan adanya kerusakan saraf otak atau selaput otak yang disebabkan oleh kasus kecelakaan. Kerusakan yang terjadi pada saraf otak ini mengakibatkan otak tidak berfungsi dengan optimal dalam mengenali hal-hal yang ditangkap oleh indra penglihatan dikarenakan tidak adanya keseimbangan fungsi otak kanan dan kiri.
16
2.4.3 Gejala-GejalaDisleksia Menurut Lidwina (2012:11),anak disleksia memiliki perbedaan gejala satu sama lain. Satu-satunya sifat yang sama pada mereka adalah kemampuan membacanya yang sangat rendah dilihat dari usia dan tingkat intelegensi yang dimilikinya. Adapun gejala-gejala yang dialami anak disleksia menurut Lidwina (2012:11) antara lain: 1) 2)
3)
4) 5)
6)
Ragu-ragu dan lamban dalam berbicara Mengalami kesulitan dalam memilih kata yang tepat untuk menyampaikan maksud yang di ucapkannya. Memiliki masalah dalam menentukan arah (atas-bawah) dan waktu (sebelum-sesudah, sekarang-kemarin ). Melakukan kesalahan terus menerus dalam mengeja, seperti misalnya kata “gajah”diucapkan menjadi “gagah” kata ibu di ucapkan menjadi “ubi”dan kata “pipa” menjadi “papi” Lamban dalam membaca kata demi katadengan intonasi yang tidak stabil Terbalik-balik dalam mengenali huruf, kata dan angka yang bentuknya mirip seperti b dengan p, u dengan n, kata kuda dengan daku, palu dengan lupa, serta angka 2-5, 6-9 Mengalami kesulitan dalam menulis, seperti menuliskan namanya sendiri
Jika dilihat dari bermacam –macam gejala yang telah dipaparkan diatas, gejala disleksia sangat bervariasi dan umumnya tidak sama untuk tiap penderita sehingga terkadang sulit untuk dikenali, terutama sebelum mereka memasuki usia sekolah. Ada beberapa gen keturunan yang dianggap dapat mempengaruhi perkembangan otak yang mengendalikan fonologi yaitu kemampuan dan ketelitian dalam memahami suara atau bahasa lisan. Gejala-gejala ini memang dapat ditimbulkan dari dalam dirinya sendiri sehingga pada hakikatnya kesulitan belajar membaca dapat menghambat potensi akademik siswa itu sendiri. Selain itu, dapat pula mengakibatkan anak mengalami ketertinggalan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, masalahmasalah yang berkaitan dengan kesulitan belajar seperti ini harus cepat ditindak.
17
2.5 Metode Fonik ( Phonic Method ) 2.5.1 Hakikat Pembelajaran Fonik Metode fonik adalah pembelajaran membaca yang di dasarkan pada bunyi-bunyi fonologi.Tiap-tiap bahasa memiliki kaidah fonologi (unit suara) yang berbeda. Peningkatan kemampuan membaca pada anak melalui metode fonik merupakan kegiatan yang menyenangkan serta menciptakan kemudahan membaca bagi anak. Thahir (dalam Nofrienti, 2012:8) Menurut Vyrdina (2015:119) metode ini diajarkan dengan cara membelajarkan alfabet terlebih dahulu kepada anak-anak, mempelajari namanamahuruf dan bunyinya. Kemudian setelah itu,dilanjutkan dengan merangkai beberapa huruf tertentu yang menjadi kata-kata. Penerapan metode membaca dalam bentuk keterampilan ini diperlukan buku-buku penunjang pembelajaran yang harus dipersiapkan dan direncanakan dengan baik agar semua jenis huruf dan kata yang diajarkan bersifat teratur dan mudah untuk diucapkan. Kemudian Othman dkk (2012:95) menerangkan bahwa kaedah fonik digunakan untuk melatih anak mengenal huruf melalui penyesuaian padanan huruf dengan bunyinya. Thahir (dalam Nofrienti ,2012:4) menjelaskan bahwa membaca melalui metode fonik memiliki tiga tahapan yaitu sebagai berikut : 1) Tahap merah adalah membacadengan suku kata terbuka Contoh: Mata, papa, mama. 2) Tahap biru adalah membacakata yang mengandungsuku kata terbuka Contoh : Motor (mo-mtor) jendela (jen-dela)). 3) Tahap hijau adalah membaca katayang mengandung suku kata dobelvokal dan dobelkonsonan. Contoh dobel vokal : Pakai (pa-kai), Pulau (pu-lau) Contoh dobel konsonan : Nyenyak (nye-nyak), Bintang (bin-tang), Struktur (struk-tur)
18
Dari beberapa tahapan ini dapat dilihat perbedaan cara membaca menggunakan metode fonik pada tiap tahapnya. Tiap tahapan membaca dalam metode fonik memiliki ciri yang berbeda-beda tergantung pada proses pembelajaran yang dilakukan. Dalam penerapannya, metode fonik dapat diterapkan ke dalam dua prosedur pembelajaran membaca. Ningrum (2013) membagi kedua prosedur tersebut ke dalam prosedur pembelajaran sintetis dan analitik. Menurut Ningrum (2013) prosedur sintetis adalah pembelajaran pengenalan huruf menjadi kata, sementara prosedur analitik ialah pembelajaran kata yang diurai ke dalam bentuk huruf. Febriana (2015:3) menyebutkan bahwa fonik melibatkan asosiasi bunyi abjad dengan simbol tertulis. Artinya, ada keterkaitan antara pengucapan bunyi huruf abjad dengan huruf abjad secara tertulis. Dalam keterangan lain Hasnah dan Habibah (dalam Othman dkk, 2012:95) menerangkan beberapa langkah pelaksanaan kaedah fonik seperti berikut: 1. Pada dasarnya kaedahini adalah kegiatan mengajarkan anak untuk mengetahui hubungan simbol (huruf)dan bunyi (hubungan fonem-grafem)supaya mereka temui. 2. Anak diperkenalkan dengan bunyi huruf, bukan nama huruf. 3. Lambang huruf terus dikaitkan dengan bunyinya. Misalnya “a”dibaca „a‟..,‟„t‟ –„teh‟, „s‟- „ss‟-‟u‟ –„uu…‟, „z‟ „zz‟dan sebagainya. Anak-anak akan dilatih membunyikan huruf secara terpisahdan kemudian menggabungkannya dengan bunyi-bunyi huruf yang lain untuk membentuk suku kata, kata dan kalimat.. 4. Apabila mereka sudah mengetahuihubungan tiap-tiap huruf dengan bunyinya, maka selanjutnya dihubungkan dengan suku kata. Misalnya, „ba‟, „da‟, „tu‟, „ka‟, „lu‟, „mi‟ dan sebagainya. 5. Contoh lain seperti huruf “a” tidak dieja tetapiterus dibaca sebagai (a), dan begitu juga huruf-huruf dan suku kata yang lain. Misal, ba + ta dibaca (ba + ta) dan seterusnya disebut sebagai (bata). 6. Kemudian suku-suku kata ini digabungkan menjadi kata seperti „dada‟, „batu‟, „kata‟, „lalu‟ danlain sebagainya.
19
2.5.2 Kelebihan dan Kelemahan Metode Fonik Riduan (dalam Wulandari, 2012:360) menjelaskan bahwa metode fonik ini untuk guru tidak hanya mengajarkan anak membaca tetapi juga dapat mengajarkan anak tentang kemampuan berbahasa. Febriana (2015:3) mengungkapkan kemudahan metode fonik dalam penerapannya dapat menggunakan alat peraga yang dibuat sendiri. Hal ini tentu memudahkan bagi pengajar untukmenciptakan mediayang digunakan dalam pembelajaran membaca sehingga alat peraga yang digunakan dapat disesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran. a. Kelebihan Metode Fonik Metode fonik berdasarkan penjelasan Lily Ardas memiliki beberapa kelebihan diantaranya sebagai berikut: 1. Metode ini dapat diajarkan dengan struktur bahasa yang disesuaikan dengan kaidah linguistik dan perkembangan bahasa anak. 2. Dapat diterapkan di sekolah maupun di rumah. 3. Disesuaikan dengan kerja otak anak(tidak memaksa, bermakna dan bersifat kontekstual). 4. Anak tidak hanya sekedar bisa membaca tetapi juga memahami bahasa Indonesia . 5. Mengajarkan cara menulis yang proporsional dengan cara yangmenyenangkan.
b. Kelemahan Metode Fonik Musfiroh
(2009:29)
menyebutkan
bahwa“pembelajaran
dengan
metodefonik berpotensi jatuh ke dalam pembelajaran akademik dan memungkinkan tumbuhnya drill seperti pembelajaran klasikal, apabila kesadaran kaidah bunyi bahasa tidak diterapkan dalam bentuk permainan”. Oleh karena itu, sebaiknya metode ini diterapkan dengan permainan sehingga tidak menimbulkan kesan monoton dan membosankan.
20
Dilihat dari kelebihan dan kekurangan tersebut, metode fonik dapat dikatakan memiliki sisi positif dan negatif sebagai metode yangditerapkan dalam pembelajaran membaca, di satu sisi metode ini baikdan dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan kemampuan membaca anak khususnya anak penderita disleksia. Namun, di sisi lain metode inimemiliki kelemahan-kelemahan yang memungkinkan metode ini untuk tidak diterapkan pada pembelajaran membaca. Berdasarkan pertimbangan-pertimbanganyang ada,penggunaan metode inidapat diterapkan dengan variasi-variasi pembelajaran yang menyenangkan agar menciptakan antusias belajar yang dapatmengarahkannya pada peningkatan kemampuan membaca. Setiap metode yang digunakan dalam pembelajaran selalu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pendekatan fonik adalah salah satu metode yang mengajarkan pengenalan kata melalui
pembelajaran asosiasi grapheme-phoneme (huruf-
suara). Siswa belajar vokal, konsonan dan campuran serta belajar untuk melafalkan kata-kata dengan menggabungkan suara dan pencampuran mereka ke dalam kata-kata. Kekurangan dalam menggunakan metode fonik pendekatan pertama untuk membaca ialah mempelajari bunyi yang terpencil sangat abstrak bagi anak kecil. Anak-anak mungkin menganggap hal ini sebagai aktivitas yang membosankan dalam kegiatan membaca. Mereka hanya terfokus pada pembunyian huruf sesuai bentuknya sehingga mereka tidak dapat memahami makna seutuhnya.
21
2.6 Kerangka Berfikir
Kondisi Awal
Kemampuan membaca anak disleksia rendah
Kurangnya inisiatif guru mengembangkan metode membaca
Pembelajaran membaca menggunakan metode fonik
Tindakan
Hasil
Meningkatkankemampuanmembacaanak disleksia
1.1 Bagan Kerangka Berfikir
2.7 Hipotesis Tindakan Berdasarkan kerangka berfikir di atas,maka dapat dirumuskan hipotesis pada penelitian ini adalah apabila telah diberikan tindakan denganperencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran secara efektif dengan menggunakan metode fonik dalam pembelajaran membaca, maka kemampuan siswa berkesulitan membaca (disleksia) akan meningkat.